Disusun Oleh :
Elsha Nadhia Amanda 1710070100147
Siti Halimah 1710070100166
PRESEPTOR :
dr . Shinta Brisma, Sp.KJ
Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa karena kehendak-Nya
Materi ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Psikiatri.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang tersedia untuk
menyusun ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak kekurangan baik dari
segi isi, susunan bahasa, maupun sistematika penulisannya. Untuk itu kritik dan
Rumah Sakit Jiwa Prof. HB. Saanin Padang, yang telah memberikan masukan
Akhir kata penulis berharap kiranya materi Jurnal ini dapat menjadi
masukan yang berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi
Penulis
i
ABSTRAK
Latar Belakang: Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang sangat serius, yang
desember 2020.
menunjukkan bahwa obat yang tepat 96,7%, dosis yang benar 97,5%, dan
frekuensi yang benar 61,2%. Hubungan rasionalitas dengan lama rawat inap yang
pasien skizofrenia belum rasional karena adanya evaluasi ketepatan yang tidak
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara rasionalitas dengan lama rawat
1
Kata kunci: Evaluasi, Antipsikotik, Skizofrenia, Rasionalitas
1. Pendahuluan
2
Skizofrenia adalah gangguan mental serius yang bermanifestasi sebagai
24 juta masyarakat diseluruh dunia, lebih dari 50% penderita skizofrenia tidak
mendapat pelayanan yang tepatdan 90% penderita skizofrenia yang tidak terawat
Indonesia pada tahun 2013 adalah 1,7 per 1000 penduduk dan diperkirakan
Selatan adalah 1,4 per seribu penduduk (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan data
3
menyangkut bagaimana memilih dan menggunakan obat secara nyata. Pada
banyak terapi yang diberikan pada penderita skizofrenia masih banyak pasien
(atipikal) memiliki risiko lebih kecil dalam penyebab efek samping gejala
yang sesuai, untuk periode waktu yang tepat dan dengan harga yang terendah
(Kemenkes RI, 2011). Pengobatan yang tidak rasional seperti tidak tepat
indikasi, tidak tepat obat, tidak tepat dosis dan tidak tepat pasien sering kali
terapi serta menimbulkan reaksi obat yang tidak diinginkan (Wibowo & Gofir,
2001).
merupakan Rumah Sakit Jiwa yang menjadi rujukan pasien dengan gangguan
pengobatan antipsikotik pada pasien skizofrenia ditinjau dari aspek tepat obat,
4
tepat dosis, dan tepat frekuensi serta mengetahui hubungannya terhadap lama
2. Metode
Sampel terdiri dari pasien yang berusia dari 18– 45 tahun. Data diambil pada
ini adalah seluruh pasien Skizofrenia yang dirawat dan mempunyai Rekam Medik
memenuhi kriteria inklusi. Studi ini disetujui oleh komite etika Universitas
pasien dan lama rawatan pasien. Studi ini disetujui oleh komite etika Universitas
Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh pasien Skizofrenia
5
yang dirawat dan mempunyai Rekam Medik di Rumah Sakit Jiwa Daerah
dari setiap pasien adalah yang memenuhi kriteria inklusi. Data yang diperoleh
lama rawat inap pada pasien skizofrenia untuk mengevaluasi penggunaan obat
skizofrenia.
3. Hasil
pada laki-laki, karena laki-laki biasanya sangat agresif sehingga sulit untuk diobati di
bisa dirawat oleh anggota keluarganya di rumah. Hal ini juga sesuai dengan
6
literatur, yaitu laki-laki lebih cenderung menderita skizofrenia daripada
Sadock, 2010).
pada usia 36– 45 tahun yaitu sebanyak 48 pasien (39,7%), selanjutnya terjadi
pada usia 26 – 35 tahun yaitu sebanyak 47 pasien (38,8%) dan yang paling
Mayoritas penderita pria dan wanita berusia antara 36-45 tahun, hal ini
dipengaruhi oleh faktor biologis pasien sedangkan pada usia 26-35 juga
banyak dikarenakan pada masa dewasa awal faktor lingkungan yang dapat
adalah tidak bekerja yaitu sebanyak 95 pasien (78,5%), mungkin hal ini
untuk bersosialisasi dalam masyarakat, karena sering diejek, isolasi social dan
ekonomi. Akibatnya, factor ini membatasi hak opini dan hak untuk bekerja
skizofrenia tak terinci dengan 60 pasien (49,6%), selanjutnya yang kedua adalah
yang lain yaitu skizofrenia simpleks dengan 3 pasien (2,5%) dan skizofrenia
7
katatonik dengan 2 pasien (1,7%). Berdasarkan data yang diperoleh, skizofrenia
Skizofrenia tak terinci merupakan salah satu jenis skizofrenia dimana gejala-
gejala yang muncul dari jenis ini sulit untuk diklasifikasikan (Arif, 2006). Gejala
yang terjadi pada penderita skizofrenia jenis ini sangat bervariasi, tergantung pada
latar belakang yang sesuai dari masalah penderita yang memicu gejala tersebut.
Jenis skizofrenia ini mungkin yang paling banyak di RSJD Sambang Lihum,
karena antara umur 25-44 tahun atau bisa dikatakan pada kelompok umur
produktif akan menghadapi banyak jenis masalah dari umum sampai individu,
2013).
Tabel 5. Menunjukkan distribusi lama rawat inap pasien di Rumah Sakit Jiwa
Sambang Lihum Kalimantan Selatan, pasien dengan lama rawat inap kurang
dari 21 hari yaitu sebanyak 82 pasien (67,8%) dan lebih dari 21 hari sebanyak
39 pasien (32,2%). Hasilnya menunjukkan bahwa pasien dengan rawat inap <21
hari adalah yang paling dominan hal ini dikarenakan jika pasien memenuhi
pengobatan teratur dan pola makan teratur maka diperbolehkan rawat jalan.
digunakan. Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa terapi yang
digunakan oleh penderita skizofrenia adalah terapi tunggal dan kombinasi. Data
8
diambil dari rekam medis RSJD Sambang Lihum. Obat antipsikotik yang
terdapat
pilihan pertama untuk mengobati pasien dengan depresi berat dan pikiran untuk
bunuh diri (Fatemi & Folsom, 2009). Sebagian besar kombinasi diperoleh dari
baik dalam mengurangi perilaku bunuh diri dan pengobatan yang efektif untuk
gejala positif dan negatif pasien skizofrenia refrakter (Bruno et al., 2015).
9
penggunaan kombinasi ini adalah untuk mengobati atau mengurangi gejala
positif dan negatif yang ada pada pasien, karena obat dari golongan tipikal
serotonin dan mengobati gejala positif dan negatif (Tjay & Rahardja, 2007).
diperlukan, namun kondisi semua pasien yang pulang ke rumah membaik. Ini
yang tepat obat sebanyak 117 pasien (96,7%) dan yang tidak tepat obat
sebanyak 4 pasien (3,3%) dari 121 pasien. Pasien dianggap tidak tepat obat
karena pasien memiliki gejala untuk bunuh diri tetapi tidak diberikan clozapine.
pilihan pertama untuk mengobati pasien dengan depresi berat dan pikiran untuk
bunuh diri (Fatemi & Folsom, 2009). Meskipun begitu pemberian risperidone
juga dapat mengatasi resiko bunuh diri pada pasien skizofrenia karena
gejala negatif seperti bunuh diri secara efektif dengan mekanisme kerja
10
dan reseptor D2, aktivitasnya melawan gejala negatif dikaitkan dengan
aktivitasnya terhadap 5HT2 yang juga tinggi (Amir et al., 2013). Hal ini
dibuktikan dengan keadaan pasien yang dapat membaik dan diizinkan untuk
pulang.
Tabel 10. Menunjukkan distribusi tepat dosis obat antipsikotik untuk pasien
skizofrenia, dari hasil penelitian didapatkan tepat dosis sebanyak 118 pasien
(97,5%) dan yang tidak tepat dosis sebanyak 3 pasien (2,5%) dari 121 pasien
bagi penderita skizofrenia, sebaiknya obat antipsikotik yang diminum dari dosis
dosis tinggi dapat segera diberikan sesuai dengan kondisi pasien dan
kurang dosis. Dikatakan bahwa dosis 2 pasien kurang tepat karena dosis
clozapine tidak mencukupi yaitu 12,5 mg / hari, yang kisaran dosisnya adalah
25- 50 mg / hari dan kisaran dosis target adalah 100- 800 mg / hari. Akan
tetapi, jika clozapine yang diberikan adalah dosis awal maka pemberian
clozapine menjadi tepat karena untuk dosis awal clozapine adalah 12,5 mg 1-2
kali sehari (DIH, 2009). Pasien yang lain dikatakan kurang dosis karena dosis
hari. Jika dosisnya kurang dari dosis terapeutik, tidak mungkin mendapatkan
efek yang diinginkan. Dalam pengobatan skizofrenia, jika efek yang diinginkan
tidak tercapai, gejala tidak dapat ditekan, sehingga pengobatan menjadi sia-sia
karena maksud dan tujuan pengobatan tidak dapat tercapai (Maharani, 2004).
11
Tabel 11. Menunjukkan distribusi ketepatan frekuensi penggunaan
yang tepat (61,2%) dan yang tidak tepat frekuensi sebanyak 47 pasien (38,8%)
dari 121 pasien. Frekuensi pemberian obat dengan fungsi organ normal dapat
ditentukan dengan melihat waktu paruh (t1 / 2) obat. Waktu paruh (t1 / 2)
kali sehari, tetapi dosis pemeliharaannya 100 mg per hari. Waktu paruh (t1 / 2)
clozapine adalah 12 jam (antara 10- 16 jam). Oleh karena itu, mengonsumsi
clozapine dua kali sehari sudah cukup untuk mempertahankan tingkat obat
Penggolongan dinilai bedasarkan kategori tepat obat, tepat dosis dan tepat
terdapat salah satu kategori yang dinyatakan tidak tepat maka pengobatan
Tabel 13. Menunjukkan hasil uji Chi-square dari data yang didapatkan
signifikansi lebih dari 0,05 maka hipotesis ditolak yang artinya bahwa tidak ada
hubungan yang signifikan antara kerasionalan dengan lama rawat inap pasien
Hal ini mungkin disebabkan pengobatan yang rasional tidak termasuk dalam
12
faktor yang memiliki hubungan dengan lama perawatan pasien skizofrenia
karena menurut penelitian yang dilakukan oleh Hermiati & Harahap, (2018)
dosis, dan frekuensi tetap menjadi penting menyesuaikan kondisi pasien dan
mengikuti tata laksana skizofrenia yang baik dengan pemantauan respons klinis
dan efek samping serta pemantauan kesehatan fisik pasien (Ih et al., 2016).
Nilai odds ratio yang diperoleh adalah 1,4 artinya, pasien yang mendapatkan
obat antipsikotik yang tidak rasional memiliki resiko waktu perawatan 1,4x
lebih lama dari pada pasien yang mendapatkan pengobatan antipsikotik yang
rasional atau dengan kata lain pada penelitian ini, pasien yang mendapatkan
pengobatan yang rasional memiliki waktu rawat inap yang lebih cepat
13
Tidak bekerja 95 pasien 78,5%
Wiraswasta 3 pasien 2,5%
1 pasien 0,8%
PNS 9 pasien 7,4%
Swasta 5 pasien 4,1%
7 pasien 5,8%
Buruh
1 pasien 0,8%
Petani
Nelayan
Total 121 pasien 100%
Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)
14
Tipikal 18 pasien 14,9%
Atipikal 32 pasien 26,4%
Tipikal 71 pasien 58,7%
atipikal
Total 121 pasien 100%
Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)
Tabel 8. Distribusi keadaan pulang pasien skizofrenia
Keadaan Pulang Jumlah Persentase
Membaik 121 100%
Tidak membaik pasien 0%
0 pasien
Total 121 pasien 100%
Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)
Tabel 9. Distribusi tepat obat pada pasien skizofrenia
15
5 71, 2 28, 10
Rasio 73
nal 2 2 18 0
1,4
Tidak 3 61, 1 32, 10 0,42
48 0,6-
Rasional 0 5 82 0 0
3,2
8 67, 3 32, 12 10
Juml 2 8 92 1 0
ah
Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)
4. Diskusi
dengan lama rawat inap pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sambang
variabel meningkat begitu juga variabel lainnya dan sebaliknya (Cohen, 1988,
1992), dan serupa dengan penelitian sebelumnya (Sosso & Kuss, 2018; Wong et
al., 2020). Kualitas hidup yang dilaporkan remaja berhubungan negatif dengan
IGD, insomnia, depresi, kecemasan, dan stres dengan efek kecil hingga
menurun dan sebaliknya (Cohen, 1988, 1992). Hal ini serupa dengan penelitian
sebelumnya (Adib-Hajbaghery et al., 2015; Freire & Ferreira, 2018; Raknes et al.,
2017; Wartberg et al., 2017). Demikian pula, kualitas hidup yang dilaporkan
orang tua berhubungan negatif dengan insomnia, depresi, dan kecemasan tetapi
secara positif dengan stres dan IGD dengan efek kecil hingga sedang. Seperti yang
dilaporkan remaja kualitas hidup, ketika salah satu variabel meningkat variabel
lainnya menurun dan sebaliknya kecuali stres dan IGD yang meningkat sedangkan
kualitas hidup yang dilaporkan orang tua menurun dan sebaliknya. Meskipun
demikian, ada hubungan positif antara kualitas hidup yang dilaporkan remaja dan
16
kualitas hidup yang dilaporkan orang tua dengan pengaruh besar yang
Keterkaitan antara rasionalitas dan lama rawat inap yang ditemukan dalam rekam
medis dapat dijelaskan dengan analisis mediasi. Hasil analisis mediasi
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang singnifikan antara rasionalitas
pengobatan dengan lama rawat inap pada pasien skizofrenia di rumah sakit
sambang lihum kalimantan selatan. Hal ini menunjukkan bahwa rasionalitas
pengobatan secara singnifikan tidak mempengaruhi lama rawatan inap pasien
skizofrenia.
5. Kesimpulan
17
REFERENSI
Amir, N., Kusumawardhani, A., Husain, A., Adikusumo, A., & Damping, C.
(2013). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Arif, I. (2006). Skizofrenia : Memahami Dinamika
Keluarga Pasien. Bandung: Refika aditama.
Bruno, V., Valiente-Gómez, A., & Alcoverro, O. (2015). Clozapine and Fever:
A Case of Continued Therapy with Clozapine. Clinical
Neuropharmacology, 38(4), 151–153.
DIH. (2009). Drug Information Handbook, 17th Edition. In American
Pharmacists Association.
Fatemi, S. H., & Folsom, T. D. (2009). The neurodevelopmental hypothesis of
Schizophrenia, revisited. Schizophrenia Bulletin, 35(3), 528–548.
https://doi.org/10.1093/schbul/sbn187
Ih, H., Putri, R. A., & Untari, E. K. (2016). Perbedaan Jenis Terapi
Antipsikotik Terhadap Lama Rawat Inap Pasien Skizofrenia Fase Akut Di
RSJD Sungai Bangkong Pontianak. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia,
5(2), 115–122.
https://doi.org/10.15416/ijcp.2016.5.2.115
18
Maharani, F. R. . (2004). Kajian Penggunaan Obat Antipsikosis pada
Pasien Skizofrenia di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Grhasia
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Periode Januari-Desember
2003. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.
Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2010). KAPLAN & SADOCK Buku Ajar
Psikiatri Klinis (2nd ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tjay, T. H., & Rahardja, K. (2007). Obat - Obat Penting (6th ed.). Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Wibowo, S., & Gofir, A. (2001). Farmakoterapi Dalam Neurologi. Jakarta:
Salemba Medika.
19