Anda di halaman 1dari 21

Jurnal

EVALUASI PENGOBATAN ANTIPSIKOTIK PADA PASIEN


SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA SAMBANG LIHUM

Disusun Oleh :
Elsha Nadhia Amanda 1710070100147
Siti Halimah 1710070100166

PRESEPTOR :
dr . Shinta Brisma, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU PSIKIATRI


RUMAH SAKIT JIWA PROF HB SAANIN PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH
PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa karena kehendak-Nya

penulis dapat menyelesaikan materi Jurnal tentang “Evaluasi Pengobatan

Antipsikotik pada pasien Skizofrenia di rumah sakit Jiwa Sambang Lihum”.

Materi ini dibuat sebagai salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik Psikiatri.

Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis serta waktu yang tersedia untuk

menyusun ini sangat terbatas, penulis sadar masih banyak kekurangan baik dari

segi isi, susunan bahasa, maupun sistematika penulisannya. Untuk itu kritik dan

saran pembaca yang membangun sangat penulis harapkan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada

dr. Shinta Brisma, Sp.KJ selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Psikiatri di

Rumah Sakit Jiwa Prof. HB. Saanin Padang, yang telah memberikan masukan

yang berguna dalam penyusunan materi ini.

Akhir kata penulis berharap kiranya materi Jurnal ini dapat menjadi

masukan yang berguna dan bisa menjadi informasi bagi tenaga medis dan profesi

lain terkait dengan masalah kesehatan pada umumnya.

Padang, 3 Maret 2022

Penulis

i
ABSTRAK

Latar Belakang: Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang sangat serius, yang

bermanifestasi sebagai sekumpulan gejala, termasuk gangguan proses berpikir,

gangguan mood, gangguan persepsi, dan gangguan perilaku yang dapat

menyebabkan kecacatan dan ketergantungan. Di RSJD Sambang Lihum

Kalimantan Selatan penyakit skizofrenia selalu masuk kedalam 10 besar penyakit

kejiwaan yang paling banyak ditangani.

Tujuan: untuk mengevaluasi penggunaan obat antipsikotik pada pasien

skizofrenia dan mengetahui hubungannya terhadap lama rawat inap pasien

skizofrenia di RSJD Sambang Lihum Kalimantan Selatan periode oktober –

desember 2020.

Metode: Penelitian ini bersifat observasional dengan rancangan analisis cross-

sectional. Pengumpulan data dilakukan dengan penulusuran terhadap rekam medik

di RSJD Sambang Lihum Kalimantan Selatan periode oktober – desember 2020

Hasil: Hasil studi evaluasi penggunaan antipsikotik pada penderita skizofrenia

menunjukkan bahwa obat yang tepat 96,7%, dosis yang benar 97,5%, dan

frekuensi yang benar 61,2%. Hubungan rasionalitas dengan lama rawat inap yang

di analisis menggunakan uji Chi-square dengan metode Continuity correction

diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,283 (lebih dari 0,05).

Kesimpulan: Kesimpulan yang didapatkan dari penggunaan antipsikotik pada

pasien skizofrenia belum rasional karena adanya evaluasi ketepatan yang tidak

sesuai dengan literatur. Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji Chi-square

tidak terdapat hubungan yang signifikan antara rasionalitas dengan lama rawat

inap pasien skizofrenia.

1
Kata kunci: Evaluasi, Antipsikotik, Skizofrenia, Rasionalitas

1. Pendahuluan

2
Skizofrenia adalah gangguan mental serius yang bermanifestasi sebagai

sekumpulan gejala, termasuk gangguan proses berpikir, gangguan afektif,

gangguan persepsi, dan gangguan perilaku. Perilaku ini dapat menyebabkan

kecacatan dan ketergantungan. Hampir semua penderita skizofrenia tidak dapat

sembuh dengan sendirinya (Setiadi, 2014). Skizofrenia terkait dengan stress,

gangguan neurobiologis yang ditandai dengan gangguan pikiran. Terdapat 6

macam tipe skizofrenia yaitu skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik,

skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, skizofrenia residual, dan skizofrenia

simpleks (PDSKJI, 2012).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) tahun 2013 disebutkan

bahwa skizofrenia merupakan penyakit gangguan jiwa yang menyerang hampir

24 juta masyarakat diseluruh dunia, lebih dari 50% penderita skizofrenia tidak

mendapat pelayanan yang tepatdan 90% penderita skizofrenia yang tidak terawat

berada di negara berkembang (Rahaya & Cahaya, 2016). Prevalensi skizofrenia di

Indonesia pada tahun 2013 adalah 1,7 per 1000 penduduk dan diperkirakan

sekitar 1 juta penduduk Indonesia mengalami skizofrenia dan di Kalimantan

Selatan adalah 1,4 per seribu penduduk (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan data

studi pendahuluan penyakit skizofrenia termasuk 10 besar penyakit kejiwaan

yang paling banyak ditangani di rumah sakit jiwa Sambang Lihum.

Penanganan skizofrenia salah satunya dengan menggunakan pengobatan

antipsikotik. Obat antipsikotik merupakan terapi utama yang efektif mengobati

skizofrenia. Antipsikotik dibedakan menjadi dua generasi, yaitu generasi

pertama (tipikal) dan generasi kedua (atipikal). Banyaknya antipsikotik yang

tersedia ternyata memberikan masalah tersendiri dalam praktik terutama karena

3
menyangkut bagaimana memilih dan menggunakan obat secara nyata. Pada

banyak terapi yang diberikan pada penderita skizofrenia masih banyak pasien

yang menggunakan obat generasi pertama, meskipun efek samping yang

disebabkan oleh obat antipsikotik generasi pertama lebih besar dibandingkan

dengan obat antipsikotik generasi kedua. Obat antipsikotik generasi kedua

(atipikal) memiliki risiko lebih kecil dalam penyebab efek samping gejala

ekstrapiramidal berupa distonia akut, ataksia, tardif diskinesia dan gejala

parkinsonisme (Lally & MacCabe, 2015).

Menurut WHO pengobatan dikatakan rasional apabila pasien menerima obat

yang sesuai, untuk periode waktu yang tepat dan dengan harga yang terendah

(Kemenkes RI, 2011). Pengobatan yang tidak rasional seperti tidak tepat

indikasi, tidak tepat obat, tidak tepat dosis dan tidak tepat pasien sering kali

dijumpai dalam praktek sehari-hari, baik di pusat kesehatan primer

(puskesmas), rumah sakit, maupun praktek swasta. Selain itu kurangnya

pemahaman dalam pemilihan obat yang tepat dapat menimbulkan kegagalan

terapi serta menimbulkan reaksi obat yang tidak diinginkan (Wibowo & Gofir,

2001).

Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan penelitian tentang evaluasi

pengobatan antipsikotik pada pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Sambang Lihum. Peneitian dilakukan di RSJD Sambang Lihum karena

merupakan Rumah Sakit Jiwa yang menjadi rujukan pasien dengan gangguan

jiwa dan sebelumnya belum pernah dilakukan penelitian mengenai evaluasi

pengobatan antipsikotik pada pasien skizofrenia ditinjau dari aspek tepat obat,

4
tepat dosis, dan tepat frekuensi serta mengetahui hubungannya terhadap lama

rawat inap pasien.

2. Metode

2.1. Peserta dan prosedur

Sampel terdiri dari pasien yang berusia dari 18– 45 tahun. Data diambil pada

bulan Oktober, November dan Desember di tahun 2020. Pengumpulan data

dilakukan secara retrospektif, yaitu mengumpulkan dokumen terdahulu berupa

penulusuran rekam medik pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Sambang Lihum Kalimantan Selatan. Populasi yang digunakan pada penelitian

ini adalah seluruh pasien Skizofrenia yang dirawat dan mempunyai Rekam Medik

di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sambang Lihum Kalimantan Selatan yang

memenuhi kriteria inklusi. Studi ini disetujui oleh komite etika Universitas

Muhammadiyah Banjarmasin (isn 2598 - 2095).

Setelah survei, kami mengumpulkan faktor demografis (usia, jenis kelamin,

pekerjaan), dan kami mengevaluasi penggunaan obat antipsikotik bagi pasien

Skizofrenia. Penggunaan obat antipsikotik disesuaikan dengan tipe skizofrenia

pasien dan lama rawatan pasien. Studi ini disetujui oleh komite etika Universitas

Muhammadiyah Banjarmasin (isn 2598 - 2095).

2.2. Analisis statistik


Penelitian ini bersifat observasional dengan menggunakan rancangan analisis

cross-sectional. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif, yaitu

mengumpulkan dokumen terdahulu berupa penulusuran rekam medik pasien

Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sambang Lihum Kalimantan Selatan.

Populasi yang digunakan pada penelitian ini adalah seluruh pasien Skizofrenia

5
yang dirawat dan mempunyai Rekam Medik di Rumah Sakit Jiwa Daerah

Sambang Lihum Kalimantan Selatan pada bulan Oktober, November dan

Desember di tahun 2020 sebanyak 121 pasien. Pengambilan sampel pada

penelitian menggunakan metode purposive sampling karena data yang diambil

dari setiap pasien adalah yang memenuhi kriteria inklusi. Data yang diperoleh

kemudian dianalisis dengan uji univariat, yang menggambarkan karakteristik

pasien, dan uji Chi- Square untuk menganalisis hubungan rasionalitas

pengobatan antipsikotik terhadap lama rawat inap pasien, menggunakan metode

Continuity Correction dengan aplikasi SPSS 26.

Kami melakukan uji-chi square yang menhubungkan rasionaliiitas dengan

lama rawat inap pada pasien skizofrenia untuk mengevaluasi penggunaan obat

antipsikootik. Analisis yang sama dilakukan untuk setiap sub-komponen yaitu

evaluasi pengobatan antipsikotik (tepat obat, tepat dosis, tepat frekuensi),

golongan obat antipsikotik, dan tipe dari skizofrenia, untuk memberikan

gambaran halus tentang evaluasi pengobatan antipsikotik berdasarkan tipe

skizofrenia.

3. Hasil

Tabel 1. Menunjukkan distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin dimana

pasien dengan jenis kelamin laki-laki (80,2%) lebih banyak dibandingkan

perempuan (19,8%) dari 121 pasien skizofrenia. Skizofrenia biasanya ditemukan

pada laki-laki, karena laki-laki biasanya sangat agresif sehingga sulit untuk diobati di

rumah sendiri, sedangkan keagresifan perempuan pada penderita skizofrenia masih

bisa dirawat oleh anggota keluarganya di rumah. Hal ini juga sesuai dengan

6
literatur, yaitu laki-laki lebih cenderung menderita skizofrenia daripada

perempuan, dan mengalami pubertas lebih awal daripada perempuan, karena

kematangan fungsi otak mempengaruhi kerentanan mental seseorang (Sadock &

Sadock, 2010).

Tabel 2. Menunjukkan bahwa pasien skizofrenia yang paling banyak terjadi

pada usia 36– 45 tahun yaitu sebanyak 48 pasien (39,7%), selanjutnya terjadi

pada usia 26 – 35 tahun yaitu sebanyak 47 pasien (38,8%) dan yang paling

sedikit terjadi pada usia 18 – 25 tahun yaitu sebanyak 26 pasien (21,5%).

Mayoritas penderita pria dan wanita berusia antara 36-45 tahun, hal ini

dipengaruhi oleh faktor biologis pasien sedangkan pada usia 26-35 juga

banyak dikarenakan pada masa dewasa awal faktor lingkungan yang dapat

mempengaruhi perkembangan emosi (Sadock & Sadock, 2010).

Tabel 3. Menunjukkan distribusi pekerjaan pasien yang paling banyak

adalah tidak bekerja yaitu sebanyak 95 pasien (78,5%), mungkin hal ini

disebabkan kurangnya motivasi diri karena gejala negatif yang mendasari,

deskriminasi terhadap orang-orang dengan gangguan mental mencegah mereka

untuk bersosialisasi dalam masyarakat, karena sering diejek, isolasi social dan

ekonomi. Akibatnya, factor ini membatasi hak opini dan hak untuk bekerja

(Saperstein et al., 2011).

Tabel 4. Menunjukkan jenis-jenis skizofrenia yang terbanyak yaitu

skizofrenia tak terinci dengan 60 pasien (49,6%), selanjutnya yang kedua adalah

skizofrenia paranoid dengan 50 pasien (41,3%), urutan ketiga terdapat skizofrenia

hebefrenik sebanyak 6 pasien (5,0%), kemudian diikuti dengan jenis skizofrenia

yang lain yaitu skizofrenia simpleks dengan 3 pasien (2,5%) dan skizofrenia

7
katatonik dengan 2 pasien (1,7%). Berdasarkan data yang diperoleh, skizofrenia

tak terinci merupakan jenis skizofrenia tersering di RSJD Sambang Lihum.

Skizofrenia tak terinci merupakan salah satu jenis skizofrenia dimana gejala-

gejala yang muncul dari jenis ini sulit untuk diklasifikasikan (Arif, 2006). Gejala

yang terjadi pada penderita skizofrenia jenis ini sangat bervariasi, tergantung pada

latar belakang yang sesuai dari masalah penderita yang memicu gejala tersebut.

Jenis skizofrenia ini mungkin yang paling banyak di RSJD Sambang Lihum,

karena antara umur 25-44 tahun atau bisa dikatakan pada kelompok umur

produktif akan menghadapi banyak jenis masalah dari umum sampai individu,

masalah tersebut lebih rumit, seperti masalah di tempat kerja, hubungan

interpersonal, masalah lingkungan, pasangan hidup dan keluarga (Jarut et al.,

2013).

Tabel 5. Menunjukkan distribusi lama rawat inap pasien di Rumah Sakit Jiwa

Sambang Lihum Kalimantan Selatan, pasien dengan lama rawat inap kurang

dari 21 hari yaitu sebanyak 82 pasien (67,8%) dan lebih dari 21 hari sebanyak

39 pasien (32,2%). Hasilnya menunjukkan bahwa pasien dengan rawat inap <21

hari adalah yang paling dominan hal ini dikarenakan jika pasien memenuhi

kriteria pasien pulang selama berobat, yaitu tenang, kooperatif, mandiri,

pengobatan teratur dan pola makan teratur maka diperbolehkan rawat jalan.

Tabel 6 menunjukkan Antipsikotik yang digunakan di RSJD Sambang

Lihum jumlahnya terbatas, sehingga tidak semua jenis antipsikotik yang

digunakan. Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa terapi yang

digunakan oleh penderita skizofrenia adalah terapi tunggal dan kombinasi. Data

8
diambil dari rekam medis RSJD Sambang Lihum. Obat antipsikotik yang

paling banyak digunakan adalah klozapin.

Kombinasi antipsikotik yang paling umum digunakan di RSJD Sambang

Lihum adalah kombinasi Clozapine - Haloperidol. Secara keseluruhan data

antipsikotik yang digunakan oleh pasien skizofrenia RSJD Sambang Lihum

terdapat

12 jenis antipsikotik yaitu olanzapin, risperidon, klorpromazin, klozapin,

trifluoperazin, haloperidol, iodomer, haldol decanoat, quetiapin, aripiprazole,

fluphenazin, dan sulpiride.

Clozapine adalah obat antipsikotik yang dapat mengobati sindrom positif,

negatif dan kognitif tanpa menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Ini adalah

pilihan pertama untuk mengobati pasien dengan depresi berat dan pikiran untuk

bunuh diri (Fatemi & Folsom, 2009). Sebagian besar kombinasi diperoleh dari

kombinasi clozapine- haloperidol, yang merupakan salah satu kombinasi

antipsikotik atipikal. Clozapine telah terbukti memiliki kemanjuran yang sangat

baik dalam mengurangi perilaku bunuh diri dan pengobatan yang efektif untuk

gejala positif dan negatif pasien skizofrenia refrakter (Bruno et al., 2015).

Tabel 7. Menunjukkan golongan obat yang paling banyak digunakan pada

pasien skizofrenia adalah kombinasi antara antipsikotik atipikal dan tipikal

sebanyak 71 pasien (58,7%). Penggunaan terbanyak kedua adalah antipsikotik

golongan atipikal dengan 32 pasien (26,4%) dan yang terakhir merupakan

penggunaan yang paling sedikit yaitu golongan tipikal sebanyak 18 pasien

(14,9%). Kombinasi obat antipsikotik golongan tipikal dan atipikal merupakan

kombinasi yang paling banyak digunakan di RSJD Sambang Lihum. Tujuan

9
penggunaan kombinasi ini adalah untuk mengobati atau mengurangi gejala

positif dan negatif yang ada pada pasien, karena obat dari golongan tipikal

biasanya hanya merespons gejala positif, oleh karena itu dikombinasikan

dengan obat atipikal. Antipsikotik atipikal dapat secara efektif memblokir

serotonin dan mengobati gejala positif dan negatif (Tjay & Rahardja, 2007).

Tabel 8. Menunjukkan bahwa meskipun pengobatan rawat jalan masih

diperlukan, namun kondisi semua pasien yang pulang ke rumah membaik. Ini

karena jika Anda menghentikan pengobatan secara tiba-tiba, gejala skizofrenia

akan kambuh. Pengobatan skizofrenia juga membutuhkan waktu yang lama,

sehingga pengobatan rawat jalan dapat membantu mengurangi pelayanan medis

rumah sakit. Rehabilitasi dapat dilakukan di rumah dengan bantuan anggota

keluarga, dan kesehatan pasien dapat dikontrol secara teratur.

Tabel 9. Menunjukkan ketepatan pemilihan obat pada pasien skizofrenia

yang tepat obat sebanyak 117 pasien (96,7%) dan yang tidak tepat obat

sebanyak 4 pasien (3,3%) dari 121 pasien. Pasien dianggap tidak tepat obat

karena pasien memiliki gejala untuk bunuh diri tetapi tidak diberikan clozapine.

Clozapine adalah obat antipsikotik yang dapat mengobati sindrom positif,

negatif dan kognitif tanpa menyebabkan gejala ekstrapiramidal. Ini adalah

pilihan pertama untuk mengobati pasien dengan depresi berat dan pikiran untuk

bunuh diri (Fatemi & Folsom, 2009). Meskipun begitu pemberian risperidone

juga dapat mengatasi resiko bunuh diri pada pasien skizofrenia karena

risperidone merupakan obat antipsikotik golongan atipikal yang dapat melawan

gejala negatif seperti bunuh diri secara efektif dengan mekanisme kerja

risperidone sebagai antagonis kuat baik terhadap serotonin (terutama 5-HT2)

10
dan reseptor D2, aktivitasnya melawan gejala negatif dikaitkan dengan

aktivitasnya terhadap 5HT2 yang juga tinggi (Amir et al., 2013). Hal ini

dibuktikan dengan keadaan pasien yang dapat membaik dan diizinkan untuk

pulang.

Tabel 10. Menunjukkan distribusi tepat dosis obat antipsikotik untuk pasien

skizofrenia, dari hasil penelitian didapatkan tepat dosis sebanyak 118 pasien

(97,5%) dan yang tidak tepat dosis sebanyak 3 pasien (2,5%) dari 121 pasien

berdasarkan Texas Medication Algorithm Project Procedural Manual dan

Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Menurut Maharani (2004),

bagi penderita skizofrenia, sebaiknya obat antipsikotik yang diminum dari dosis

rendah terlebih dahulu, kemudian dosis ditingkatkan secara perlahan, atau

dosis tinggi dapat segera diberikan sesuai dengan kondisi pasien dan

kemungkinan efek sampingnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 3 pasien

kurang dosis. Dikatakan bahwa dosis 2 pasien kurang tepat karena dosis

clozapine tidak mencukupi yaitu 12,5 mg / hari, yang kisaran dosisnya adalah

25- 50 mg / hari dan kisaran dosis target adalah 100- 800 mg / hari. Akan

tetapi, jika clozapine yang diberikan adalah dosis awal maka pemberian

clozapine menjadi tepat karena untuk dosis awal clozapine adalah 12,5 mg 1-2

kali sehari (DIH, 2009). Pasien yang lain dikatakan kurang dosis karena dosis

yang diberikan hanya 100 mg / hari sedangkan dosis terapinya 300-600 mg /

hari. Jika dosisnya kurang dari dosis terapeutik, tidak mungkin mendapatkan

efek yang diinginkan. Dalam pengobatan skizofrenia, jika efek yang diinginkan

tidak tercapai, gejala tidak dapat ditekan, sehingga pengobatan menjadi sia-sia

karena maksud dan tujuan pengobatan tidak dapat tercapai (Maharani, 2004).

11
Tabel 11. Menunjukkan distribusi ketepatan frekuensi penggunaan

antipsikotik untuk pasien skizofrenia dari hasil penelitian didapatkan 74 pasien

yang tepat (61,2%) dan yang tidak tepat frekuensi sebanyak 47 pasien (38,8%)

dari 121 pasien. Frekuensi pemberian obat dengan fungsi organ normal dapat

ditentukan dengan melihat waktu paruh (t1 / 2) obat. Waktu paruh (t1 / 2)

klorpromazin adalah 16-37 jam. Dosis awal klorpromazin adalah 30-75 mg 3

kali sehari, tetapi dosis pemeliharaannya 100 mg per hari. Waktu paruh (t1 / 2)

clozapine adalah 12 jam (antara 10- 16 jam). Oleh karena itu, mengonsumsi

clozapine dua kali sehari sudah cukup untuk mempertahankan tingkat obat

dalam plasma. Risperidone memiliki waktu paruh 24 jam sehingga dapat

diberikan satu kali sehari (Amir et al., 2013).

Tabel 12. Menunjukkan distribusi pengobatan yang rasional sebanyak 72

pasien (59,5%) dan yang tidak rasional sebanyak 49 pasien (40,5%).

Penggolongan dinilai bedasarkan kategori tepat obat, tepat dosis dan tepat

frekuensi dikatakan rasional jika ketiga kategori dinyatakan tepat apabila

terdapat salah satu kategori yang dinyatakan tidak tepat maka pengobatan

dikatakan tidak rasional.

Tabel 13. Menunjukkan hasil uji Chi-square dari data yang didapatkan

hubungan kerasionalan dengan lama rawat inap pasien diperoleh nilai

signifikansi sebesar 0,420 berdasarkan literatur menyatakan jika nilai

signifikansi lebih dari 0,05 maka hipotesis ditolak yang artinya bahwa tidak ada

hubungan yang signifikan antara kerasionalan dengan lama rawat inap pasien

skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sambang Lihum Kalimantan Selatan.

Hal ini mungkin disebabkan pengobatan yang rasional tidak termasuk dalam

12
faktor yang memiliki hubungan dengan lama perawatan pasien skizofrenia

karena menurut penelitian yang dilakukan oleh Hermiati & Harahap, (2018)

faktor yang termasuk yaitu genetik, psikososial, dukungan keluarga dan

kepatuhan minum obat mempunyai hubungan yang signifikan terhadap

kejadian skizofrenia. Walaupun tidak ada hubungan pemilihan ketepatan obat,

dosis, dan frekuensi tetap menjadi penting menyesuaikan kondisi pasien dan

mengikuti tata laksana skizofrenia yang baik dengan pemantauan respons klinis

dan efek samping serta pemantauan kesehatan fisik pasien (Ih et al., 2016).

Nilai odds ratio yang diperoleh adalah 1,4 artinya, pasien yang mendapatkan

obat antipsikotik yang tidak rasional memiliki resiko waktu perawatan 1,4x

lebih lama dari pada pasien yang mendapatkan pengobatan antipsikotik yang

rasional atau dengan kata lain pada penelitian ini, pasien yang mendapatkan

pengobatan yang rasional memiliki waktu rawat inap yang lebih cepat

dibandingkan pasien yang mendapatkan pengobatan yang tidak rasional.

Tabel 1. Distribusi jenis kelamin pasien skizofrenia


Jenis Kelamin Jumlah Persentase
Laki-laki 97 pasien 80,2%
Perempuan 24 pasien 19,8%

Total 121 pasien 100%


Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)

Tabel 2. Distribusi usia pasien skizofrenia


Umur Jumlah Persentase
18 – 25 26 pasien 21,5%
26 – 35 47 pasien 38,8%
36 – 45 48 pasien 39,7%

Total 121 pasien 100%


Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)
Tabel 3. Distribusi pekerjaan pasien skizofrenia
Pekerjaan Jumlah Persentase

13
Tidak bekerja 95 pasien 78,5%
Wiraswasta 3 pasien 2,5%
1 pasien 0,8%
PNS 9 pasien 7,4%
Swasta 5 pasien 4,1%
7 pasien 5,8%
Buruh
1 pasien 0,8%
Petani
Nelayan
Total 121 pasien 100%
Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)

Tabel 4. Distribusi diagnosa pasien skizofrenia


Tipe Skizofrenia Jumlah Persentase
Paranoid 50 pasien 41,3%
Hebefrenik 6 pasien 5,0%
2 pasien 1,7%
Katatonik 60 pasien 49,6%
Tak terinci 3 pasien 2,5%
Simpleks
Total 121 pasien 100%
Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)

Tabel 5. Distribusi lama rawat inap pasien skizofrenia


Lama Rawat Inap Jumlah Persentase
<21 82 pasien 67,8%
>21 39 pasien 32,2%

Total 121 pasien 100%


Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)

Tabel 6 Distribusi obat antipsikotik pasien skizofrenia

Tabel 6 Distribusi obat antipsikotik pasien skizofrenia


Olanzapin 4 1,8%
Risperidon 28 12,8%
5 2,3%
Klorpromazin 75 34,4%
Klozapin 29 13,3%
61 28,0%
Trifluoperazin
4 1,8%
Haloperidol 3 1,4%
Iodomer 5 2,3%
2 0,9%
Haldol decanoat
1 0,5%
Quetiapin 1 0,5%
Aripiprazole
Fluphenazin
Sulpiride
Total 218 obat 100%
Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)

Tabel 7. Distribusi golongan obat pasien skizofrenia


Golongan Obat Jumlah Persentase

14
Tipikal 18 pasien 14,9%
Atipikal 32 pasien 26,4%
Tipikal 71 pasien 58,7%

atipikal
Total 121 pasien 100%
Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)
Tabel 8. Distribusi keadaan pulang pasien skizofrenia
Keadaan Pulang Jumlah Persentase
Membaik 121 100%
Tidak membaik pasien 0%
0 pasien
Total 121 pasien 100%
Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)
Tabel 9. Distribusi tepat obat pada pasien skizofrenia

Hasil Jumlah Persentase


Tepat obat 117 pasien 96,7%
Tidak tepat obat 4 pasien 3,3%

Total 121 pasien 100%

Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)


Tabel 10 Distribusi tepat dosis pada pasien skizofrenia
Hasil Jumlah Persentase
Tepat dosis 118 97,5%
Tidak tepat dosis pasien 2,5%
3 pasien
Total 121 pasien 100%
Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)

Tabel 11. Distribusi tepat frekuensi pada pasien skizofrenia


Hasil Jumlah Persentase
Tepat frekuensi 74 pasien 61,2%
Tidak tepat frekuensi 47 pasien 38,8%

Total 121 pasien 100%


Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)

Tabel 12. Distribusi data rasionalitas pada pasien skizofrenia


Rasionalitas Jumlah Persentase
Rasional 73 pasien 60,3%
Tidak rasional 48 pasien 39,7%

Total 121 pasien 100%


Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)
Tabel 13. Analisis bivariat dengan uji Chi-Square
Lama Rawat Inap OR
Total
Rasionalita Cepat Lama (95
P
s %
n % n% n %
CI)

15
5 71, 2 28, 10
Rasio 73
nal 2 2 18 0
1,4
Tidak 3 61, 1 32, 10 0,42
48 0,6-
Rasional 0 5 82 0 0
3,2
8 67, 3 32, 12 10
Juml 2 8 92 1 0
ah
Source: Data sekunder yang diolah tahun (2020)

4. Diskusi

Penelitian ini meneliti tentang mengevaluasi pengobtan antipsikotik pada

pasien skizofrenia di rumah sakit jiwa sambang lihum. Hasil korelasi

menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kerasionalan

dengan lama rawat inap pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sambang

Lihum Kalimantan Selatanada. Temuan ini menunjukkan bahwa ketika satu

variabel meningkat begitu juga variabel lainnya dan sebaliknya (Cohen, 1988,

1992), dan serupa dengan penelitian sebelumnya (Sosso & Kuss, 2018; Wong et

al., 2020). Kualitas hidup yang dilaporkan remaja berhubungan negatif dengan

IGD, insomnia, depresi, kecemasan, dan stres dengan efek kecil hingga

menengah, menunjukkan bahwa ketika satu variabel meningkat, variabel lainnya

menurun dan sebaliknya (Cohen, 1988, 1992). Hal ini serupa dengan penelitian

sebelumnya (Adib-Hajbaghery et al., 2015; Freire & Ferreira, 2018; Raknes et al.,

2017; Wartberg et al., 2017). Demikian pula, kualitas hidup yang dilaporkan

orang tua berhubungan negatif dengan insomnia, depresi, dan kecemasan tetapi

secara positif dengan stres dan IGD dengan efek kecil hingga sedang. Seperti yang

dilaporkan remaja kualitas hidup, ketika salah satu variabel meningkat variabel

lainnya menurun dan sebaliknya kecuali stres dan IGD yang meningkat sedangkan

kualitas hidup yang dilaporkan orang tua menurun dan sebaliknya. Meskipun

demikian, ada hubungan positif antara kualitas hidup yang dilaporkan remaja dan

16
kualitas hidup yang dilaporkan orang tua dengan pengaruh besar yang

menunjukkan keandalan antar penilai yang baik.

Keterkaitan antara rasionalitas dan lama rawat inap yang ditemukan dalam rekam
medis dapat dijelaskan dengan analisis mediasi. Hasil analisis mediasi
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang singnifikan antara rasionalitas
pengobatan dengan lama rawat inap pada pasien skizofrenia di rumah sakit
sambang lihum kalimantan selatan. Hal ini menunjukkan bahwa rasionalitas
pengobatan secara singnifikan tidak mempengaruhi lama rawatan inap pasien
skizofrenia.

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, 121 sampel pasien skizofrenia di ruang rawat


inap RS Jiwa Sambang Lihum memenuhi kriteria inklusi, dan kesimpulannya
adalah sesuai Texas Medication Algorithm Project Procedural Manual dan
Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia. Pengobatan antipsikotik di
Rumah Sakit Jiwa Daerah Sambang Lihum Kalimantan Selatan pada pasien
skizofrenia diperoleh evaluasi dengan hasil tepat obat sebanyak 117 pasien
(96,7%), tepat dosis 118 pasien (97,5%), dan tepat
frekuensi 74 pasien (61,2%). Hubungan rasionalitas yang dianalisis
menggunakan uji Chi- Square didapatkan hasil nilai signifikansi 0,420 (>0,05)
artinya, tidak ada hubungan yang signifikan antara rasionalitas pengobatan
terhadap lama rawat inap pasien skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Sambang Lihum.

17
REFERENSI

Amir, N., Kusumawardhani, A., Husain, A., Adikusumo, A., & Damping, C.
(2013). Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Arif, I. (2006). Skizofrenia : Memahami Dinamika
Keluarga Pasien. Bandung: Refika aditama.

Bruno, V., Valiente-Gómez, A., & Alcoverro, O. (2015). Clozapine and Fever:
A Case of Continued Therapy with Clozapine. Clinical
Neuropharmacology, 38(4), 151–153.
DIH. (2009). Drug Information Handbook, 17th Edition. In American
Pharmacists Association.
Fatemi, S. H., & Folsom, T. D. (2009). The neurodevelopmental hypothesis of
Schizophrenia, revisited. Schizophrenia Bulletin, 35(3), 528–548.
https://doi.org/10.1093/schbul/sbn187

Ih, H., Putri, R. A., & Untari, E. K. (2016). Perbedaan Jenis Terapi
Antipsikotik Terhadap Lama Rawat Inap Pasien Skizofrenia Fase Akut Di
RSJD Sungai Bangkong Pontianak. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia,
5(2), 115–122.
https://doi.org/10.15416/ijcp.2016.5.2.115

Jarut, M. J., Fatimawali, & Wiyono, W. I. (2013). Tinjauan Penggunaan


Antipsikotik Pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Prof. Dr.
V. L. Ratumbuysang Manado Periode Januari 2013-Maret 2013.
Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi-UNSRAT, 2(3), 54–57.
Kemenkes RI. (2011). Modul Penggunaan Obat Rasional. Jakarta:
Kurikulum Pelatihan Penggunaan Obat Rasional (POR).

Kemenkes RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta:


Badan Penelitian Pengembangan Kesehatan.
https://doi.org/10.1517/13543784.7.5.803

Lally, J., & MacCabe, J. H. (2015). Antipsychotic Medication In


Schizophrenia: A Review. British Medical Bulletin, 114(1), 169–179.
https://doi.org/10.1093/bmb/ldv017

18
Maharani, F. R. . (2004). Kajian Penggunaan Obat Antipsikosis pada
Pasien Skizofrenia di Unit Rawat Inap Rumah Sakit Grhasia
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Periode Januari-Desember
2003. Yogyakarta: Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. (2012). Pedoman


Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Jiwa/Psikiatri. Jakarta: PP
PDSKJI.

Rahaya, A., & Cahaya, N. (2016). Studi Retrospektif Penggunaan


Trihexyfenidil Pada Pasien Skizofrenia Rawat Inap Yang Mendapat Terapi
Antipskotik Di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum. Galenika Journal of
Pharmacy,2(2),124–131.https://doi.org/10.22487/j24428744.2016.v2.i
2.5986

Sadock, B. J., & Sadock, V. A. (2010). KAPLAN & SADOCK Buku Ajar
Psikiatri Klinis (2nd ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Saperstein, A. ., Fiszdon, J. ., & Bell, M. . (2011). Intrinsic motivation as a


predictor of work outcome after vocational rehabilitation in schizophrenia.
J Nerv Ment, 199(2), 672.
Setiadi, G. (2014). Pemulihan Gangguan Jiwa: Pedoman Bagi Penderita,
Keluarga dan Relawan Jiwa. Purworejo, Jawa Tengah: Pusat
Pemulihan dan Pelatihan Gangguan Jiwa.

Tjay, T. H., & Rahardja, K. (2007). Obat - Obat Penting (6th ed.). Jakarta:
Elex Media Komputindo.
Wibowo, S., & Gofir, A. (2001). Farmakoterapi Dalam Neurologi. Jakarta:
Salemba Medika.

19

Anda mungkin juga menyukai