Anda di halaman 1dari 3

*Al Indhibath (Disiplin)*

Secara etimologi indhibathberasal dari kata dhobth yang berarti komitmen dengan sesuatu. Ustadz
Fathi Yakan memberikan definisi al-indhibath dengan komitmen kepada Islam dan hukum-
hukumnya serta menjadikannya sebagai poros kehidupan, pijakan berfikir, dan sumber hukum dari
setiap permasalahan. Ada beberapa kisah mengenai AL-Indhibath.
Diantaranya adalah tentang seekor semut.
Konon bila ada seekor semut berjalan berputar-putar atau zigzag, maka artinya ia memang sedang
bertugas mencari bahan makanan bagi kaumya. Bila menemukan sepotong daging kembang gula
atau objek lainnya, di jamin ia tak akan menghabiskannya atau mengangkatnya sendirian. Ia akan
berputar-putar sejenak untuk mengukur dan menghitung berapa pasukan semut yang diperlukan.
Pulang ke sarang ia berjalan lurus dengan melepaskan asam melalui ekornya yang akan menjadi
garis navigasi bagi para pekerja yang akan melaluinya dengan disiplin. Coba-cobalah meletakkan
sekeping cokelat atau gula di tepi garis asam semut itu, mereka tetap takkan tergoda. Demikian
akurat semut menggunakan institusinya yang mengajarkan manusia kapan musim hujan dan
kapan musim kemarau akan datang, demikian pula disiplin mereka. Menimbun logistik untuk
musim yang lebih panjang dari usia mereka, tetapi bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan
kepentingan kaum dan bangsa.
Jangan coba-coba menaburkan gula atau kue manis dekat-dekat garis itu. Karena pasukan semut
takkan terangsang oleh provokasi atau jebakan itu. Entah dari mana datangnya dan bagaimana ia
mengintai, seekor semut eksekutor telah siap dengan kepala dan taring yang besar untuk
memenggal kepala semut yang terangsang mengambil makanan di luar garis navigasi.Ghayah dan
ahdaf (tujuan dan sasaran) mereka jelas, Amal jama’i mereka kompak, dan Disiplin mereka
tinggi. Bahwa nama semut menjadi sebutan bagi salah satu dari 114 surat Al-Qur’an, untuk apa
nama itu disebut dalam kitab suci, seperti surat An Naml dan An Nahl? selain diperuntukkan bagi
kita mempelajarinya.
Betapa mahalnya harga yang yang harus dibayar akibat tindakan liar sebagian pasukan artileri
yang ditempatkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam di bukit pada Perang Uhud itu.
Mereka dipesan untuk jangan meninggalkan front tanpa komando, baik pasukan kita kalah atau
menang. Tak pernah sepedih itu duka dan gundah yang dirasakan kanjeng Nabi Shalallahu
‘alaihi wa sallam. Bila jenis serangga ada yang bersuara, itulah nahl lebah yang di perintahkan
Allah untuk membangun hunian di gunung-gunung, di pohon-pohon, dan rumah-rumah
manusia(Qs An Nahl :68). Mereka disuruh memakan yang baik-baik dan memproduksi yang baik-
baik yang sangat berguna bagi kesehatan dan penyembuhan. Mereka berdengung di sarang seperti
pasukan mujahid Muslim di zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, mendengungkan
dzikir di malam hari setelah sepanjang siang dengan penuh semangat dan kesungguhan berjihad
membela kebenaran. Mereka tidak suka mengganggu siapapun, namun jangan coba-coba
melempari sarang lebah, mereka akan datang full team membalas setiap agresor. Muslim yang tak
bersengat bekerja seperti semut, dan yang sudah bersengat berjuang bagaikan lebah.Perumpamaan
seorang Muslim seperti Lebah, tak makan kecuali yang baik dan tak keluar pula dari perutnya
kecuali yang baik.
Telah banyak rambu dan ajarannya yang membentuk pelakunya bersikap disiplin. Di antaranya
shalat tepat waktu dan berjamaah dengan mengikuti imam. Namun lagi-lagi yang dialami
langsung dalam umat ini jauh dari kenyataan. Sehingga ketidak disiplinan acap kalai terjadi. Dan
menimbulkan kerugian serta kekalahan umat ini. Karenanya kedisiplinan ini meliputi:
Pertama, Al Indhibath As Syar’y (disiplin terhadap aturan syar’i)
Seorang kader dakwah selalu disiplin pada aturan yang telah ditetapkan Allah SWT. Aturan
tersebut harus mengikat dirinya. Agar ia tidak sembrono dalam berbuat. Dan dengan aturan itu
seorang kader dakwah mentaati rambu-rambu yang disinyalkan kepadanya. Kepahaman yang utuh
dan baik terhadap aturan itu akan menjaga kader dakwah dari penyimpangan syar’i. Oleh sebab
itu kader dakwah ini patut untuk meningkatkan kepahaman syar’inya. Sehingga tidak terjerumus
pada perbuatan yang melanggar ketentuan itu.
Kedua, Al Indhibath Al Khuluqy (disiplin perilaku atau akhlaq).
Disiplin pada akhlaq Islam sebagai wujud dari keimanannya. Karena kesempurnaan iman seorang
mukmin adalah mereka yang paling baik akhlaqnya. Kader dakwah yang senantiasa menjaga
norma perilakunya akan menjadi pintu gerbang simpati dan ketertarikan umat pada dakwah ini.
Bukankah modal besar Rasulullah SAW. dalam dakwahnya juga dari norma perilaku beliau yang
sangat menawan hati. Hingga beliau mendapatkan gelar al amin, orang yang tepercaya. Ada pula
paparan kisah seorang penuntut umum yang tertarik pada dakwah ini karena mendapatkan bantuan
dari seorang ulama dakwah di saat sang penuntut umum itu amat sangat membutuhkan bantuan.
Lantaran itu ia lebih bersikap sebagai pembela ketimbang sebagai jaksa saat menghadapi kasus-
kasus dakwah.
Ketiga, Al Indhibath Al Amaly (disiplin amal)
Disiplin dalam melakukan sesuatu secara sistematis tidak serampangan apalagi tak beraturan.
Sikap ini karena mampu mengintegrasikan antara waktu dan tugas. Ia bisa memenej waktunya
agar tidak merugikan yang lain. Tidak terlambat dalam melakukan sesuatu dan tidak juga
terlampau di awal waktu karena dapat merepotkan orang lain. Imam Hasan Al Banna menyatakan
at tabkir kat ta’khir (orang yang datang lebih-lebih awal sama seperti orang yang datang
terlambat). Unagkapan untuk mengingatkan kita agar disiplin amal yang tidak merugikan orang
lain. Bagi mereka yang datang lebih-lebih awal kadang merepotkan orang yang didatangi. Dan
orang yang hadir terlambat menzhalimi hak orang yang datang terdahulu.
Disiplin Amal juga mampu menata tugas-tugasnya dengan baik. Dengan itu tidak ada tugas-tugas
yang molor apalagi tidak tertuntaskan. Karena itu Rasulullah SAW. memotivasi dengan sabdanya:
“Allah SWT. menyukai amal salah seorang di antaramu yang rapih amalnya”.
Dan amal yang tertata baik berimplikasi pada produktivitas dan nuansa orang yang melakukannya.
Keempat, Al Indhibath At Tarbawi (disiplin tarbiyah)
Disiplin dalam bertarbiyah maknanya adalah terus membina diri untuk mencapai keshalihah
pribadi dan sosial dengan menerapkan aturan manhaj secara tepat dan pas. Kedisiplinan ini
berawal dari komitmen bahwa tarbiyah amal prioritas dari amalan lainnya. Agar mampu
mengokohkan bangunan keterikatan dan keterlibatan dalam amal tarbawi ini. Ada hal yang sangat
menarik saya saat saya temukan satu halaqah tarbiyah yang membangun prinsip kebersamaan
dalam komitmen tarbiyah ini dengan sikap tidak boleh meninggalkan halaqah tarbiyah ini kecuali
mati. Prinsip kebersamaan ini sah-sah saja dalam tarbiyah. Untuk membangkitkan semangat
membina diri secara kontinyu dan terarah.
Bila kelonggaran dalam tarbiyah ini ditolerir terus menerus maka keutuhan tarbiyah ini dapat
runtuh. Bahkan imbasannya mungkin tertular pada amal lainnya. Bisa saja pada kesetiaan terhadap
dakwah. Oleh karena itu komitmen pada dakwah ini tidak perlu ditawar-tawar. Allah SWT.
menganggap mereka yang mulai kendor pengorbanan dan kesetiaannya pada dakwah ini
disejajarkan dengan bunuh diri. Firman Allah SWT.:
“Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu
sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang berbuat baik”. (Al-Baqarah: 195).
Kelima, Al Indhibath At Tanzhimy (disiplin struktural).
Disiplin pada ketentuan yang dikeluarkan oleh struktural. Ketentuan tersebut menjadi kebijakan
yang mengikat kader-kader yang berhimpun didalamnya. Dengan begitu seluruh sikap kader atas
arahan yang menjadi kebijakan struktural. Tidak ‘mentil’ sendirian. Karena sikap semacam itu
akan berakibat bagi yang lainnya dan tanzhim secara langsung. Karenanya mereka yang
melakukan perbuatan semisal itu dikategorikan sebagai sikap indisipliner.
Sebagaimana yang pernah dilakukan Khathib bin Abi Balta’ah RA. Yang memberikan isyarat
dengan meletakkan tangannya di leher saat ditanya keputusan Rasulullah SAW. atas kaum Yahudi.
Padahal Rasulullah SAW. hanya menugaskan Khathib untuk mengawasi mereka bukan
menyampaikan vonis yang telah ditetapkan bagi mereka. Namun generasi masa lalu adalah
generasi pilihan. Ketika mereka salah dalam bersikap mereka lantas diarahkan Allah SWT. dan
menjadi pelajaran untuk generasi berikutnya. Akan tetapi hal itu tidaklah mempersempit kader
dakwah melakukan kreativitas dan inovasi. Sebab dua hal ini juga disarankan ajaran ini kepada
seluruh muslim. Agar dua hal yang berbeda itu berada pada posisinya secara seimbang.
Alasan yang amat jelas akan posisi tersebut karena tugas-tugas berat lainnya sedang menunggu
siapakah gerangan yang akan memikulnya. Bukankah kewajiban itu lebih banyak dari waktu yang
kita miliki. Al Wajibat (kewajiban). Jika sikap tarbawiyah ini menjadi patokan bagi kader-
kadernya, mengapa harus lama untuk kembali pada siklus edukasi kita. Mengapa pula kita lambat
untuk kembali pada pangkuan tarbiyah kita. Dan mengapa pula kita abai akan sinyal-sinyal
dakwah yang menuntut kita untuk segera tampil sebagai pemegang panji dakwah ini. Jangan
keasyikan.
Wallahu ‘alam bishshawab.

Anda mungkin juga menyukai