KERJASAMA ANTARA
BADAN RESTORASI GAMBUT REPUBLIK INDONESIA
DENGAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN
TAHUN 2018
(JUDUL)
KAJIAN PALUDIKULTUR DAN AGROFORESTRY UNTUK
PENGELOLAAN LAHAN GAMBUT YANG
BERKELANJUTAN
Mengetahui:
Menyetujui:
Pejabat Pembuat Komitmen
Kedeputian Penelitian dan Pengembangan BRG
ii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN…………………………………………. ii
DAFTAR ISI………………………………………………………... iii
DAFTAR TABEL…………………………………………………... iv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………... v
I. PENDAHULUAN……………………………………………… 1
A. Latar belakang……………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah…………………………………………. 3
C. Tujuan……………………………………………………… 5
D. Sasaran…………………………………………………….. 6
E. Luaran kegiatan……………………………………………. 7
F. Manfaat kegiatan riset……………………………………… 7
G. State of the art……………………………………………… 8
II. METODOLOGI………………………………………………… 9
A. Lokasi……………………………………………………… 9
B. Bahan dan Alat…………………………………………….. 11
C. Metode penelitian………………………………………….. 11
1. Aspek revegetasi………………………………………... 13
2. Aspek kajian kelayakan finansial………………………. 13
3. Saluran pemasaran………………………………………. 15
III. HASIL DAN PEMBAHASAN…………….…………………… 16
A. Kegiatan di HLG Sei Londerang…………………………….. 16
1. Revegetasi………………………………………………... 16
2. Kajian ekonomi dan saluran pemasaran…………………. 32
a. Tanaman bira-bira…………………………………….. 32
b. Pinang…………………………………………………. 38
c. Kopi gambut…………………………………………... 42
B. Kegiatan di HLG Bram Itam………………………………… 45
1. Revegetasi………………………………………………... 45
2. Analisis kelayakan finansial……………………………… 49
a. Pola tanam sawit monokultur…………………………. 49
b. Pola tanam beberapa kombinasi tanaman kehutanan dan 49
tanaman pinang………………………………………..
IV. KESIMPULAN…………………………………………………. 56
V. DAFTAR PUSTAKA…………………………………………... 57
iii
DAFTAR TABEL
iv
DAFTAR GAMBAR
v
vi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia mendapat tantangan yang besar dalam memanfaatkan dan
mengelola lahan gambut yang berkelanjutan. Potensi lahan gambut yang luas yaitu
menurut data terakhir dari Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPIB) pada
hutan primer dan gambut menyebutkan angka 14,9 juta ha. Luas tersebut berarti sekitar
50% dari luas seluruh lahan gambut tropika atau sekitar 10,8% dari luas daratan
Indonesia, sehingga dikatakan Indonesia memiliki luas lahan gambut tropika terbesar
di dunia (Agus et al., 2012).
Potensi luasan lahan gambut merupakan suatu tantangan utama dalam
menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi, sosial dan lingkungan. Sementara itu, lahan
gambut tropis memiliki keragaman sifat fisik dan kimia yang besar, baik secara spasial
maupun vertikal. Karakteristiknya sangat ditentukan oleh ketebalan gambut,
substratum atau tanah mineral di bawah gambut, kematangan, dan ada tidaknya
pengayaan dari luapan sungai disekitarnya. Karakteristik lahan seyogyanya dijadikan
acuan arah pemanfaatan lahan gambut untuk mencapai produktivitas yang tinggi dan
berkelanjutan.
Kesalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut menyebabkan
terjadinya kerusakan ekosistem gambut. Kejadian kebakaran tahun 2015 ditenggarai
sebagai akibat akumulasi kesalahan dalam teknis pengelolaan ekosistem gambut.
Dampak kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2015 mencapai 2,6 juta hektar (sekitar
890.000 hektar diantaranya di lahan gambut), dengan perkiraan kerugian mencapai Rp.
221 triliun (KLHK, 2016). Komitmen pemerintah untuk mencegah degradasi lahan
dan kebakaran gambut dengan menempatkan program restorasi dan rehabilitasi
ekosistem gambut sebagai prioritas dalam pengelolaan gambut masa depan merupakan
hal yang sangat penting.
Upaya memperbaiki kembali kondisi sumberdaya lahan gambut yang
terdegradasi yaitu dengan cara melakukan kegiatan restorasi lahan gambut. Restorasi
gambut telah ditargetkan sebesar 2,4 juta ha mulai tahun 2016 sampai 2020. Areal
tersebut tersebar di 7 Provinsi yaitu: Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalbar, Kalteng,
1
alsel dan Papua). Dari target restorasi tersebut, terdapat 400 ribu hektar areal target
restorasi di APL dan dapat melibatkan masyarakat. Upaya pemulihan ekosistem
gambut dilakukan melalui tiga pilar kegiatan restorasi yang tidak terpisahkan satu
dengan lainnya, yaitu restorasi hidrologi, rehabilitasi vegetasi dan revitalisasi sosial
masyarakat.
Restorasi hidrologi dapat dilakukan dengan cara menyekat kanal-kanal yang
telah terbangun di ekosistem gambut (Suryadiputra et al., 2005; Ritzema et al., 2015).
Kanal meningkatkan laju subsiden gambut (Lisnawati et al., 2015), menurunkan tinggi
muka air tanah (Turetsky et al., 2014), mempercepat pengeringan gambut, sehingga
gambut akan mudah terbakar (Taufik et al., 2015). Dengan melakukan sekat kanal,
maka air gambut tidak dengan mudah keluar menuju sungai, sehingga kelembaban
gambut dapat terjaga. Hal ini mengurangi resiko kebakaran dan menurunnya laju
dekomposisi gambut.
Rehabilitasi vegetasi dilakukan melalui penanaman kembali dengan jenis-jenis
asli yang tumbuh di gambut, dan jenis adaptif di lahan gambut dan tidak bersifat
invasif. Teknik rehabilitasi gambut dengan jenis asli rawa dan rawa gambut pada lahan
gambut basah dan dibasahkan kembali dikenal dengan istilah paludikultur (Wicthmann
et al., 2016; Tata & Susmianto, 2016). Paludikultur atau budidaya di lahan gambut
merupakan salah satu teknik restorasi dan budidaya di lahan gambut yang diharapkan
dapat mengembalikan kondisi biofisik, fungsi ekologis dan dan fungsi ekonomi dari
ekosistem gambut. Beberapa jenis asli gambut potensial untuk dikembangkan adalah
jelutung rawa (Dyera lowii) (Tata et al., 2015; Bastoni, 2014; Harun, 2013), balangeran
(Shorea balangeran) (Atmoko, 2011; Darwo dan Bogidarmanti, 2016b), gelam
(Melaleuca sp.) (Prayitno dan Bakri, 2014).
Riset paludikultur telah dilakukan oleh beberapa pihak dan hasil-hasilnya telah
tersedia, namun dukungan Litbang untuk tehnologi paludikultur dan agroforestry
sangat dibutuhkan. Kegiatan pembangunan demplot paludikultur dan agroforestry
telah dilakukan oleh Puslitbang Hutan yaitu di daerah Tanjung Jabung Timur yaitu
Hutan Lindung Gambut Sungai Londrang untuk tipe gambut dalam, tergenang
periodic, dan merupakan areal bekas terbakar total serta di Tanjung Jabung Barat di
2
HLG Sungai Bram Itam untuk tipe gambut dangkal, ada draenase, dan merupakan
kawasan yang sudah ada perambahan masyarakat. Kajian yang dilakukan adalah uji
adaptibilitas jenis yang tahan genangan yang terintegrasi dengan kajian aspek
hidrologi, social ekonomi masyarakat sekitar dan kajian agrosilvopasteur untuk
mengatasi perluasan perambahan. Kajian dari Tim Puslitbang Hutan diharapkan dapat
mengatasi permasalahan-permasalahan pada kedua kawasan tersebut.
Keberlanjutan program paludikultur membutuhkan pelibatan masyarakat di
dalam pengelolaan lahan gambut hal ini terkait dengan kearifan lokal masyarakat
dalam mengembangkan paludikultur. Kegiatan perencanaan pengelolaan lahan dapat
melibatkan masyarakat secara aktif sejak tahap perencanaan, pelaksanaan hingga
monitoring dan evaluasi kegiatan menjadi salah satu bentuk pendekatan yang dapat
mendukung program restorasi gambut. Penguatan kelembagaan kelompok tani
diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan dari demplot disamping adanya kegiatan
pemeliharaan. Tujuan utama perencanaan pengelolaan lahan gambut dengan
melibatkan masyarakat adalah untuk meningkatkan keberhasilan kegiatan restorasi
dengan memastikan bahwa kegiatan pengelolaan lahan gambut dilakukan secara
berkelanjutan dan menghindari terjadinya konflik dengan mempertimbangkan kondisi
sosial dan ekonomi dari masyarakat. Selanjutnya potensi usaha dan peluang pasar
untuk produk-produk yang dihasilkan dari kegiatan rehabilitasi perlu digali lebih lanjut.
B. Rumusan Masalah
Berbagai upaya pengendalian dan penurunan laju kerusakan ekosistem gambut
telah dilaksanakan, namun laju degradasi gambut masih terjadi. Konversi lahan,
kebakaran, dan kanalisasi telah menyebabkan terjadinya degradasi terhadap lahan
gambut. Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama kerusakan hutan
tropis di Indonesia. Pada tahun 2015 kebakaran hutan dan lahan tercatat mencapai 2,6
juta hektar, sekitar 890.000 hektar diantaranya di lahan gambut. Sebagian besar
kebakaran yang terjadi di hutan gambut tergolong berat, dampaknya menyebabkan
hilangnya vegetasi di atasnya dan rusaknya lapisan gambut. Selain itu, kelemahan
dalam pengelolaan lahan gambut hanya menitik beratkan pada aspek teknis saja,
3
kurang memperhatikan aspek ekologis dan kesejahteraan ekonomi masyarakat
sekitarnya. Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan IPTEK yang berkembang,
maka harus ada pergeseran titik berat pengelolaan lahan gambut dari hanya untuk
memperoleh keuntungan kelompok ekonomi kuat ke arah peningkatan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyat, tanpa mengabaikan fungsi hutan terhadap perlindungan
lingkungan.
Permasalahan utama dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut adalah
lansekap gambut belum dikelola dan dimanfaatkan secara ramah gambut sehingga
berakibat lansekap gambut belum mampu menjamin manfaat ekonomi, ekologi dan
sosial secara berkelanjutan. Permasalahan tersebut disebabkan oleh tiga hal, yaitu (a)
masih adanya jenis-jenis tanaman yang berasal dari lahan kering ditanam di lahan
gambut; (b) kebakaran hutan dan lahan gambut belum mampu dikendalikan
sepenuhnya; dan (c) dukungan IPTEK belum maksimal dalam pengelolaan dan
pemanfaatan hutan dan lahan yang ramah gambut. Dukungan IPTEK belum maksimal
dikarenakan: (a) teknologi agroforestry belum diterapkan secara ramah gambut, (b)
jenis-jenis tanaman yang dikembangkan belum menerapkan teknik paludikultur, (c)
kurangnya dukungan riset jenis-jenis yang adaptif dan mempunyai nilai ekonomi dan
ekologi yang tinggi, dan (c) masyarakat sekitar hutan belum dilibatkan secara aktif
dalam perencanaan sampai pengelolaan tanaman. Permasalahan pengelolaan dan
pemanfaatan lahan gambut disajikan dalam Gambar 1.
Kegiatan riset aksi ini dilakukan dalam upaya memperbaiki kondisi lahan
gambut yang rusak akibat kebakaran dan perambahan. Pelaksanaan kegiatan
merupakan riset aksi yang bersinergi dengan beberapa pihak untuk mendukung
keberhasilan restorasi gambut. Pelaksanaan kegiatan adalah merupakan perluasan riset
aksi yang meliputi beberapa aspek yaitu hidrologi, biofisik lahan, silvikultur, sosial
ekonomi, peningkatan nilai hasil produk dan penguatan kelembagaan yang bersinergi
dengan beberapa pihak untuk mendukung pelaksanaan restorasi gambut sehingga
penerapan teknologi pada restorasi lahan gambut dapat dipertanggung jawabkan secara
ilmiah. Disamping itu, kegiatan tersebut diharapkan dapat untuk meningkatkan
4
pengelolaan dan produktivitas lahan gambut yang terdegradasi sehingga menjadi lahan
yang dapat dikelola secara berkelanjutan.
C. Tujuan
Tujuan kegiatan ini adalah mengimplementasikan teknik paludikultur dan
agoforestry menuju lansekap gambut produktif yang mampu menjamin manfaat
ekonomi, ekologi dan sosial secara berkelanjutan.
5
D. Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan ini adalah:
1. Tersedianya demplot paludikultur dan agroforestry yang dapat direplikasi untuk
penyempurnaan implementasi restorasi gambut oleh BRG.
2. Show window IPTEK pengelolaan lahan ramah gambut.
3. Tersedianya hasil kajian jenis-jenis tanaman hutan dan tanaman pertanian yang
adaptif dan bernilai ekonomi untuk dikembangkan di lahan gambut.
4. Tersedianya hasil analisis sosial, ekonomi dan kelembagaan dalam pengelolaan dan
pemanfaatan lahan gambut yang produktif.
5. Tersedianya hasil kajian model-model pemanfaatan lahan gambut.
6. Tersedianya hasil kajian dinamika pertumbuhan jenis-jenis tanaman pada petak ukur
permanen yang dibangun.
6
Target kegiatan 2018:
1. Melakukan kegiatan pemeliharaan (penyiangan gulma) dan pengukuran
pertumbuhan tanaman.
2. Melakukan pengamatan pertumbuhan tanaman pada areal studi kajian paludikultur
di masyarakat untuk jenis bira-bira.
3. Melakukan kajian analisis biaya dan manfaat untuk tanaman paludikultur dan
tanaman di lahan gambut.
7
2. Menjadi jendela pembelajaran dan transfer pengetahuan untuk produktivitas lahan
maupun untuk fungsi hidro-orologis dan bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi
masyarakat sekitar hutan.
8
II. METODOLOGI
A. Lokasi
Kegiatan ini dilakukan di dua areal prioritas untuk direstorasi di Propinsi Jambi
yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Kabupatern Tanjung Jabung Barat,
Provinsi Jambi. Lokasi penelitian terletak di Hutan Lindung Gambut (HLG) Sungai
Londerang dan HLG Sungai Bram Itam. Demplot penelitian di HLG Sungai
Londerang terletak di Blok I, secara administrasi berada di Kelurahan Parit Culum II,
Kecamatan Muara Sabak Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Propinsi Jambi.
Secara geografis lokasi Blok I berada pada koordinat 103 046’37,42’’–103047’18,19’’
BT dan 1018’0,97’’ – 1019’7,59’’ LS. HLG Sei Londerang merupakan kawasan hutan
lindung gambut yang berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jambi 2013-
2033 memiliki luasan 12.488 hektar. HLG Sei Londerang merupakan kawasan hutan
lindung gambut terluas di Provinsi Jambi. Secara administratif, HLG Londerang
terletak diantara 2 Kabupaten yaitu: Kabupaten Muaro Jambi di bagian selatan dan
Kabupaten Tanjung Jabung Timur di bagian Utara. Peta lokasi demplot penelitian di
HLG Londerang disajikan pada Gambar 2. Total luas demplot riset paludikultur pada
tahun 2017 adalah di HLG Londrang 12,5 ha dan di areal penggunaan lain yang
dikelola masyarakat adalah 1,5 ha.
Demplot yang dibangun di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dilakukan di KPHL
Sungai Bram Itam dalam KHG Baung Batara (Gambar 3). Total luas demplot yang
dibangun 10,5 hektar yaitu di lokasi 1 seluas 7,5 hektar, lokasi 2 seluas 2 hektar dan
lokasi 3 seluas 1 hektar. Secara administrasi pemerintahan ketiga lokasi tersebut
berada di Desa Bram Itam Raya, Kecamatan Bram Itam, Kabupaten Tanjung Jabung
Barat, Provinsi Jambi.
9
Gambar 2. Peta lokasi demplot paludikultur di Kabupaten Tanjung Jabung Timur.
10
Gambar 3. Peta Lokasi Demplot di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi
C. Metode penelitian
Kegiatan ini merupakan lanjutan kegiatan riset paludikultur dan pilot project
implementasi paludikultur dan agroforestry. Tahapan dan alur kegiatan penelitian
disajikan pada Gambar 4.
11
Kajian paludikultur dan
agroforestry
Pengukuran secara
periodik
Pemeliharaan
tanaman dan demplot
12
1. Aspek revegetasi
Kegiatan revegetasi telah dimulai pada tahun 2017 dengan pembuatan demplot
riset paludikultur, implementasi paludikultur dan agroforestry. Penanaman telah
dilakukan untuk luasan 12 ha di kawasan Hutan Lindung Gambut Sei Londerang.
Penanaman dengan menggunakan sistem jalur dengan pola monokultur dan campuran
untuk koleksi jenis (model arboretum). Jenis-jenis yang ditanam pada pola monokultur
(10.5 ha) adalah pasir-pasir (Elaeocarpus floribundus BI), jelutung rawa (Dyera lowii),
balangeran (Shorea balangeran), bira-bira (Fragraea crenulata), pulai (Alstonia
pneuciflorum), gaharu (Aquilaria microcarpa Baill), dan sagu (Metroxylon sp). Pola
campuran model arboretum (1,5 ha) terdiri dari jenis-jenis balangeran (Shorea
balangeran), punak (Tetramerista glabra), perupuk (Lopopethalum javanicum),
medang (Alseodaphne sp), beriang (Alseodaphne sp), bintaro (Cerbera manghas),
meranti rawa (Shorea ovalis), jambu-jambu (Eugenia sp), pisang-pisang (Polyalthia
sp), ramin (Gonistylus bancanus), keranji (Dialium indum) dan rotan jernang
(Daemonorops sp), kayu labu (Endospermum diadenum), tembesu (Fragraea
fragrans).
Pada kegiatan revegetasi tahun 2018 dititikberatkan untuk pemeliharaan
tanaman dan demplot yang sudah dibangun pada tahun 2017.
Kegiatan pemeliharaan pada tahun pertama dapat dilakukan apabila persentase
hidup tanaman mencapai ≥ 60%. Pada plot sagu pada tahun 2018 tidak
dilakukan pemeliharaan karena hamper semua tanaman dirusak oleh hama babi.
Kegiatan pemeliharaan pada tahun 2018 berupa penyulaman, dan pembersihan
gulma.
2. Kajian kelayakan finansial
Salah satu aspek penting yang harus dikaji untuk mendukung penerapan
teknologi inovasi paludikultur di lahan gambut adalah kajian mengenai kelayakan
secara finansial dari pola-pola yang telah dibangun. Pendekatan penelitian yang
digunakan adalah analisis kelayakan usaha menggunakan parameter Net Present Value
(NPV), Internal Rate of Return (IRR), dan Benefit Cost Ratio (BCR). Data yang
13
diperlukan adalah komponen pendapatan dan biaya-biaya yang dikeluarkan selama
jangka waktu satu daur kegiatan penanaman.
NPV = (Rt)/(1+r)t
Keterangan:
Rt = Pendapatan bersih selama masa daur tanam (Pemasukan – Biaya)
r = suku bunga
t = tahun
BCR = ∑ B/(1 + r)t / ∑ C/(1 + r)t
Keterangan :
B = Benefit (Pendapatan)
14
C = Cost (Biaya)
r = suku bunga
t = masa daur tanaman
3. Saluran Pemasaran
Pengambilan data penelitian dilakukan dengan metode wawancara semi
terstruktur menggunakan kuesioner. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari lembaga-
lembaga tataniaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga komoditas bira-bira, pinang,
dan kopi seperti : petani, pedagang pengumpul kecil, pedagang pengumpul sedang,
agen dan konsumen. Lembaga tataniaga yang terlibat ditelusuri mulai dari produsen
(petani) sampai dengan konsumen. Data-data sekunder diperoleh dari hasil-hasil
penelitian/kajian dan laporan dari instansi terkait antara lain : Dinas Perkebunan dan
Badan Pusat Statistik. Metode analisis dalam penelitian ini adalah analisa kualitatif
untuk mengidentifikasi lembaga pemasaran dan saluran pemasaran.
15
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
16
genangan ± 50 cm; pada musim kemarau muka air tanah dapat mencapai 90 cm
dibawah permukaan tanah; secara umum kondisi keseburan alami mempunyai status
sedang. Curah hujan tahunan di HLG Sei Londrang cukup berfluktuatif, dengan curah
hujan tertinggi terjadi paada Bulan November dan terendah terjadi pada Bulan Juni.
Kondisi vegetasi sebelum dilakukan pembangunan demplot adalah merupakan semak
belukar yang didominasi oleh jenis pakis-pakisan. Tutupan vegetasi sebelum
dilakukan pembangunan demplot disajikan pada Gambar 5.
b. Penyiapan Lahan
Penyiapan lahan dilakukan untuk luasan 12,5 ha, dilakukan secara manual dan
tanpa pembuatan parit. Tahap penyiapan lahan meliputi:
1) pembabadan yang dilakukan secara manual,
2) penyemprotan dengan herbisida,
3) pengajiran.
Proses kegiatan penyiapan lahan, penyemprotan, dan pengajiran disajikan pada
Gambar 6.
17
Pembersihan lahan dengan Lokasi demplot yang telah dilakukan
pembabadan. pembersihan lahan.
18
c. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan menggunakan sistem jalur dengan pola
monokultur dan campuran untuk koleksi jenis (model arboretum). Sebagian besar
kondisi lahan terdapat genangan, dari genangan rendah hingga sedang. Konsep
penanaman tidak melakukan pengeringan dengan membuat kanal, namun dengan cara
manipulasi lingkungan dan pemilihan jenis yang adaptif pada genangan, sehingga
konsep tehnik paludikultur dapat dicapai. Penanaman dilakukan dengan menggunakan
sistem jalur, dengan jarak tanam 3 x 3 m (1200/ha), dan khusus untuk tanaman sagu
menggunakan jarak tanam 10 x 10 m. Pada saat penanaman tidak dilakukan pembuatan
lubang tanam hanya dengan cara menugal, terkecuali untuk jenis sagu.
Sistem penugalan disamping lebih efisien juga untuk mencegah tersingkapnya
lapisan pirit. Polybag pada saat penanaman tidak dilepas hanya disobek bagian
bawahnya, hal ini untuk menjaga agar media bibit tetap kompak, dengan demikian
diharapkan persentase hidup tanaman lebih tinggi. Untuk areal tanam yang
mempunyai tinggi genangan > 50 cm, penanaman dilakukan dengan cara membuat
manipulasi lingkungan dengan menggunakan bronjong, karung dan ember bekas cat.
Proses penanaman disajikan pada Gambar 7.
19
Manipulasi lingkungan pada penanaman Manipulasi lingkungan pada penanaman
pasir-pasir dengan menggunakan pasir-pasir dengan menggunakan ember
bronjong. bekas cat.
20
Petak coba paludikultur pola tanam campuran jenis
21
Petak coba paludikultur pola tanam monokultur jenis pasir-pasir
22
Petak coba paludikultur pola tanam monokultur jenis bira-bira
23
Petak coba paludikultur pola tanam monokultur jenis sagu
d. Pemeliharaan
Salah satu tantangan atau kendala kegiatan penanaman di lahan gambut adalah
kecepatan pertumbuhan gulma yang mengalahkan pertumbuhan tanaman pokok,
sehingga dapat berakibat mengganggu pertumbuhan tanaman pokok maupun
menurunkan persen hidup tanaman. Pertumbuhan gulma yang cepat juga menjadikan
biaya pemeliharaan menjadi tinggi.
Dalam kegiatan ini pemeliharaan dilakukan secara semi intensif full land
clearing, yaitu pembersihan total gulma dan meninggalkan sisa penebasan di lahan
tanpa menggunakan herbisida. Kegiatan pemeliharaan dilakukan sebanyak tiga kali
dalam setahun. Pertumbuhan gulma pada musim penghujan lebih cepat dibandingkan
pada musim kemarau. Dari hasil pengamatan pada musim penghujan bahwa gulma
24
yang sudah ditebas total dapat tumbuh kembali setelah 10 hari tebas. Beberapa
kenampakan kondisi lahan setelah beberapa waktu dilakukan penebasan gulma
disajikan pada Gambar 9.
25
Kegiatan pemeliharaan disamping pembersihan gulma juga dilakukan kegiatan
penyulaman tanaman. Petak tanaman yang disulam adalah yang mempunyai persen
hidup diatas 60%. Rata-rata persen hidup tanaman masih di atas 75% setelah satu tahun
tanam, terkecuali gaharu yang dibawah 50% dan sagu yang mengalami kegagalan total
karena dirusak oleh hama babi.
Tabel 1. Hasil pengukuran diameter, tinggi dan persen hidup tanaman pada demplot
paludikultur di HLG Sei Londerang.
26
Sagu 250 Novemb 0
er 2017 (dirusak
hama
babi)
Campuran 1.200 Oktober 81
jenis 2017
Mangga 30 Oktober 100
2017
Nanas 5000 Oktober Mahkota Sudah 95
2017 buah nanas mulai
berbuah
Rambutan 30 Oktober 100
2017
Balangeran
27
Meranti rawa
Jelutung rawa
28
Bira-bira
Pulai
29
Kenampakan tanaman gaharu satu tahun setelah tanam
30
Kenampakan tanaman keranji satu tahun setelah tanam
Gambar 10. Kondisi beberapa jenis tanaman pada saat awal penanaman dan
setelah satu tahun penanaman.
31
2. Kajian ekonomi dan saluran pemasaran
Dari beberapa jenis yang ditanam di demplot paludikultur di HLG Londerang,
bira-bira mempunyai potensi ekonomi yang cukup tinggi dan dapat dikembangkan di
lahan gambut, oleh karena itu perlu dilakukan kajian ekonomi dan saluran pemasaran
untuk jenis tersebut sebagai gambaran untuk peluang bisnisnya. Disamping jenis bira-
bira terdapat jenis tanaman pertanian yang ditanam di lahan gambut di sekitar HLG
Londerang yang mempunyai nilai ekonomi tinggi seperti pinang dan kopi liberika.
32
cerah menyerupai ramin, mudah dikerjakan, permukaan kayu halus dan mudah
difinishing. Profil pohon Bira-bira disajikan pada Gambar 11.
Kayu Bira-bira memiliki serat kayu yang halus dan berwarna putih dan kuning
yang bersih, namun tetap kuat, tahan air dan tahan rayap. Beberapa kelebihan kayu
bira-bira tersebut menjadi alasan mengapa masyarakat di Sabak Timur
menggunakannya sebagai kayu pertukangan yang dimanfaatkan sebagai bahan
bangunan seperti : kayu reng untuk atap bangunan rumah seperti kusen, pintu, jendela,
serta dimanfaatkan juga untuk pembuatan furniture seperti : kursi, meja dan lemari.
Kegunaan kayu Bira-bira disajikan pada Gambar 12.
33
(a) (b)
34
Tabel 2. Biaya, Penerimaan dan Keuntungan Petani Bira-bira
Pohon bira-bira dapat dipanen pada rentang usia 10 s.d 15 tahun. Kekuarangan
kayu bira-bira yang dipanen pada usia 10 tahun adalah masih terdapat pulur (hati) pada
kayu, hal ini kurang disukai oleh pengrajin atau bangsal kayu sehingga umumnya
petani memanen pohon bira-bira pada usia 15 tahun. Pohon bira-bira umur 15 tahun
umumnya memiliki diameter > 25 cm dan tinggi sekitar 8 meter, umumnya papan kayu
yang diperoleh adalah sekitar 0,5 meter kubik per pohon. Petani ada yang langsung
menjual pohon bira-bira dengan harga Rp. 1.000.000 per pohon. Jika di dalam luasan
satu hektar terdapat 625 batang pohon bira-bira (jarak tanam 4 x 4 m), maka
penerimaan petani dari kegiatan pengelolaan kebun bira-bira adalah sebesar Rp.
312.500.000,- per hektar.
Komponen biaya yang dikeluarkan dalam pengelolaan pohon Bira-bira terdiri
dari biaya pembelian bibit tanaman, biaya terbas, biaya pembelian herbisida
(gramason) dan biaya upah pekerja harian. Kegiatan pemeliharaan intensif dilakukan
pada tahun ke-1 sampai dengan tahun ke-3 saja, Tajuk pohon bira-bira yang lebar
35
membuat daerah dibawah tegakan tertutupi tajuk, sehingga tidak banyak gulma yang
tumbuh dan biaya pemeliharaan tumbuhan bawah pembersihan lahan akan berkurang
pada saat tanaman menginjak usia tahun ke 4 dan tahun ke-10.
Total biaya yang dikeluarkan oleh petani di dalam pengelolaan pohon bira-bira
adalah sebesar Rp. 44. 975.000,- per hektar, dan keuntungan yang diperoleh petani
dalam mengelola pohon Bira-bira adalah sebesar Rp. 267.525.000,- per hektar. Jika
dikonversi ke dalam tegakan, maka keuntungan menanam bira-bira adalah sebesar Rp.
428.040 per pohon atau jika diasumsikan 1 pohon menghasilkan 0,5 m3 kayu maka
margin (keuntungan) pemasaran kayu bira-bira di tingkatan petani adalah sebesar Rp.
856.080/m3.
36
Saluran Pemasaran 1,
Petani menjual produk kayu Bira-bira dalam bentuk pohon berdiri (standing
stock) yang dimilikinya kepada konsumen akhir yang pada umumnya adalah
masyarakat atau rumah tangga yang berdomisili dekat dengan petani tersebut atau pun
kebun lokasi pohon tersebut. Masyarakat yang membeli kayu Bira-bira langsung
kepada pemilik pohon umumnya dikarenakan sedang membutuhkan kayu untuk
pembangunan rumah. Harga pohon Bira-bira yang dijual petani berkisar dari
Rp.700.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000,- per batang tergantung dari besaran
diameter pohonnya.
Saluran Pemasaran 2,
Petani menjual produk kayu Bira-bira dalam bentuk pohon kepada pengrajin
pembuat perabotan atau dikenal dengan sebutan bangsal kayu. Pengrajin di bangsal
kayu membeli pohon bira-bira dengan diameter minimal 25 cm dengan harga
Rp.1.000.000,- per pohon . Pengrajin menyimpan papan kayu bira-bira sebagai stock
untuk digunakan sebagai bahan pembuatan furniture atau perabot. Jumlah stock papan
kayu Bira-bira pada bangsal kayu di Muara Sabak hulu adalah sebanyak 2 meter kubik.
Saluran Pemasaran 3,
Petani menjual produk kayu Bira-bira dalam bentuk papan kayu ukuran 2 meter
kepada pengrajin pembuat perabotan atau bangsal kayu. Pengrajin di bangsal kayu
membeli papan bira-bira seharga Rp. 3.000.000,- per meter kubik. Petani yang menjual
dalam bentuk papan umumnya menggunakan jasa penggesek kayu (penebang kayu),
dengan upah sebanyak Rp. 500.000,- per meter kubik papan kayu yang dihasilkan.
Biaya penebangan dan pembuatan papan dibebankan kepada petani pemilik pohon
bira-bira.
Pengrajin di bangsal kayu membuat bahan bangunan seperti : kusen, jendela
dan pintu serta furniture pesanan masyarakat seperti meja, kayu dan lemari dari kayu
Bira-bira. Masyarakat membeli bahan bangunan serta furniture dari pengrajin kayu.
Harga jual pintu kayu bira-bira adalah sebesar Rp. 800.000,- per unit sedangkan harga
lemari dari kayu bira-bira berkisar Rp. 1.000.000 s.d Rp. 3.0000.000,- per unit. Bagan
saaluran pemasaran kayu bira-bira disajikan pada Gambar 13.
37
Petani Pohon Bira-Bira
Bengkel Perabot
Konsumen Akhir
38
adaptif dan cocok ditanam pada lahan gambut dalam. Masyarakat di Desa Sungai
beras`menanam pinang sebagai monokultur dan maupun tumpang sari dengan tanaman
lainnya (kelapa, sawit dan kopi). Tanaman pinang merupakan komoditas dari Desa
Sungai Beras yang memiliki prospek yang baik, bahkan melebihi komoditas sawit. Saat
ini harga pinang kering di petani adalah berkisar Rp. 13.000 s/d Rp. 15.000,- per
kilogram. Proses pengeringan pinang disajikan pada Gambar 14.
39
3) Pedagang pengumpul sedang di Desa Sungai Beras
4) Pedagang pengumpul sedang di luar Desa Sungai Beras (Mendahara Tengah
dan Sinar Wajo)
5) Pedagang pengumpul besar (agen) di Tungkal, Tanjung Jabung Barat
40
kemudian membawa biji pinang kering dan menjualnya kepada agen yang berada
di Tungkal (Kabupaten Tanjung Jabung Barat). Agen Besar kemudian membawa
ke luar negeri (ekspor).
Saluran Pemasaran 3,
Petani di Desa Sungai Beras menjual produk berupa biji buah pinang dalam
kondisi kering langsung kepada pedagang pengumpul sedang yang berada di Desa
Sungai Beras. Umumnya petani yang menjual ke pedagang pengumpul sedang
yang berada di desa karena memiliki jumlah panenan biji pinang dalam kondisi
kering yang cukup banyak seperti sebanyak 100 kilo. Pedagang pengumpul sedang
kemudian membawa biji pinang kering kepada agen yang berada di Tungkal
(Kabupaten Tanjung Jabung Barat). Agen Besar kemudian membawa ke luar
negeri (ekspor). Saluran pemasaran pinang di Desa Sungai Beras disajikan pada
Gambar 15.
Petani
41
c. Saluran Pemasaran komoditas Kopi gambut
Kopi gambut atau dikenal dengan nama liberika tungkal komposit atau biasa
disingkat Libtukom merupakan salah satu varietas kopi yang cocok dengan kondisi
lahan gambut. Tanaman kopi ini membutuhkan naungan untuk dapat berkembang
dengan baik. Petani dapat membudidayakan jenis kopi ini dengan system tumpang sari
dengan pohon pinang atau pohon kelapa. Salah satu ciri khas kopi gambut adalah
ukuran buahnya yang relative lebih besar bila dibandingkan dengan varietas kopi
lainnya. Kenampakan buah kopi libtukom disajikan pada Gambar 16.
42
c.1. Lembaga Pemasaran
Berdasarkan hasil penelitian dapat diidentifikasi lembaga-lembaga pemasaran
untuk komoditas kopi gambut di Sungai Beras sebagai berikut :
1. Petani pemilik pohon kopi
2. Pedagang pengumpul kecil di Desa Sungai Beras
3. Penggiling kopi
4. Pedagang pengumpul sedang di Serdang
5. Pedagang pengumpul besar (agen) di Tungkal, Tanjung Jabung Barat
6. Konsumen
c.2. Saluran Pemasaran
Terdapat 3 saluran pemasaran untuk komoditas kopi di Desa Sungai Beras yaitu:
(1) Petani → konsumen (kafe); (2) Petani → pedagang pengumpul di desa →
konsumen (kafe); (3) Petani → pedagang pengumpul di Serdang→ Agen di
Tungkal→Ekspor
Saluran Pemasaran 1,
Petani di Desa Sungai Beras menjual langsung biji kopinya sesuai dengan permintaan
konsumen yaitu pemilik kafe. Umumnya untuk saluran pemasaran ini petani telah
memiliki keterampilan mengolah biji kopi sesuai dengan keinginan konsumen.
Umumnya proses pengolahannya dilakukan sedemikian rupa untuk menghasilkan
pengolahan kopi yang menghasilkan mutu dan citarasa kopi specialty dengan harga
jual kopi mencapai Rp. 80.000,- per kilogram.
Saluran Pemasaran 2,
Petani di Desa Sungai Beras menjual biji kopinya kepada pedagang pengumpul yang
kemudian menjual kopi kepada pemilik kafe. Umumnya untuk saluran pemasaran ini
petani dan pedagang pengumpul telah memiliki pengetahuan mengolah biji kopi sesuai
dengan keinginan konsumen di kafe. Pemilihan buah-buah kopi yang berkualitas
menjadi dan proses pengolahan kopi menjadi kunci di dalam saluran pemasaran 1 dan
2.
43
Saluran Pemasaran 3,
Petani di Desa Sungai Beras menjual produk biji kepada pedagang pengumpul di
daerah Serdang Pedagang pengumpul kemudian membawa kopi kepada agen
yang berada di Tungkal (Kabupaten Tanjung Jabung Barat). Agen Besar kemudian
membawa ke luar negeri (ekspor). Untuk saluran pemasaran 3 tidak dilakukan
pemilihan biji kopi secara selektif, dan pengolahan kopi dilakukan secara biasa
saja. Untuk saluran pemasaran 3 ini tidak dihasilkan kopi dengan citarasa yang
maksimal dengan harga kopi Rp. 25.000,- per kilogram. Bagan saluran pemasaran
kopi gambut di desa Sungai Beras disajikan pada Gambar 17.
Petani
44
B. Kegiatan di HLG Sungai Bram Itam
1. Revegetasi
Dalam rangka pemulihan fungsi ekosistem lahan gambut di HLG Sungai Bram
Itam, telah dilakukan 2 (dua) kegiatan dari 3 (tiga) kegiatan dalam restorasi yakni
revegetasi dan revitalisasi. Kegiatan revegetasi dilakukan dengan memperhatikan
aspek sosial ekonomi masyarakat yang sudah lama bergantung terhadap lahan yang ada
di kawasan HLG Sungai Bram Itam. Sehingga aspek revitalisasi kehidupan masyarakat
menjadi faktor lain yang dipertimbangkan dalam kegiatan revegetasi tersebut.
Kawasan HLG Sungai Bram Itam merupakan areal dengan status konservasi,
namun ada ± 5.000 ha wilayah HLG Sungai Bram Itam telah beralih fungsi menjadi
lahan pertanian dan perkebunan. Hal ini dikarenakan masyarakat sekitar HLG Sungai
Bram Itam yang mayoritas merupakan pendatang dan memiliki mata pencaharian
utama sebagai petani. Terkait dengan ketergantungan masyarakat yang tinggi terhadap
lahan gambut di kawasan HLG Sungai Bram Itam tersebut, maka dalam kegiatan
revegetasi perlu diarahkan untuk merevitalisasi kehidupan masyarakat.
Masyarakat telah memanfaatkan lahan di kawasan HLG Sungai Bram Itam
untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Mayoritas masyarakat menanam kelapa
sawit dan pinang di kawasan HLG Sungai Bram Itam tersebut. Pola penanaman yang
dilakukan oleh masyarakat berupa sawit monokultur, pinang monokultur, sawit
dicampur dengan pinang dan kopi dicampur dengan pinang.
Untuk mengakomodir fungsi ekologi, sosial dan ekonomi dari kawasan HLG
Sungai Bram Itam, kegiatan pembuatan demplot paludikultur dan agroforestri ini
dibangun dengan mengkombinasikan jenis tanaman asli gambut dengan komoditi
tanaman pertanian/perkebunan berupa tanaman pinang. Pada demplot ini dibangun
dengan menanam kombinasi antara tanaman asli gambut dengan tanaman pinang yang
ditanam sistem jalur yang selang-seling antara tanaman kehutanan dengan tanaman
pinang.
Pemilihan tanaman asli gambut diharapkan dapat berperan dalam pemulihan
fungsi ekosistem, sedangkan pemilihan jenis pinang diharapkan dapat mengakomodir
fungsi ekonomi untuk merevitalisasi kehidupan masyarakat sekitar hutan. Dipilih jenis
45
pinang dikarenakan jenis pinang hanya menghasilkan buahnya sehingga cocok untuk
dikembangkan di kawasan lindung.
Tanaman pinang telah lama dibudidayakan di lahan gambut oleh masyarakat
dan terbukti mampu memberikan dampak yang baik secara ekonomi dan sosial.
Terdapat jenis asli gambut yang menghasilkan HHBK berupa getah yakni jenis
jelutung. Namun saat ini getah jelutung belum ada lagi nilai ekonominya karena belum
ada pasar yang menampung getah jelutung.
Dari hasil pengukuran pertumbuhan tanaman pada demplot yang dibangun
diperoleh rata-rata diameter, tinggi dan persen hidup (survival) tanaman menunjukan
bahwa semua jenis tanaman kehutanan yaitu jelutung rawa (Dyeara lowii), balangeran
(Shorea balangeran), kelat (Sizigium campanulatum), jambu-jambu (Sizigium
accuminata), laban (Vitex pinnata), kayu teluk (Illex cymosa), medang putih (Litsea
caiseapolia), dan medang mangga (Litsea robusta) mampu tumbuh baik di lahan
gambut tersebut. Persen hidup kedelapan jenis tanaman kehutanan tersebut pada umur
1 tahun berkisar antara 55,6 – 82,7% (Gambar 18). Persen hidup yang tertinggi jenis
kayu telak (Illex cymosa) dan terendah jenis medang putih (Litsea caiseapolia).
Gambar 18. Rata-rata survival tanaman pada umur 1 tahun di HLG Sungai Bram
Itam
Dari 8 jenis asli gambut tanaman kehutanan diperoleh rata-rata diameter antara
1,55 – 3,11 cm dengan diameter yang terbesar adalah jenis laban (Vitex pinnata) dan
46
terkecil ialah medang putih (Litsea caiseapolia) (Gaambar 2). Rata-rata tinggi tanaman
berkisar antara 2,45 – 1,03 m dengan tinggi tanaman yang tertinggi adalah balangeran
(Shorea balangeran) dan terrendah ialah jelutung rawa (Dyera lowii) (Gambar 19 dan
20). Kondisi pertumbuhan tanaman disajikan pada Gambar 21.
Gambar 19. Rata-rata diameter tanaman pada umur 1 tahun di HLG Sungai Bram
Itam
Gambar 20. Rata-rata tinggi tanaman pada umur 1 tahun di HLG Sungai Bram Itam
47
Medang putih Jambu-jambu Illex cymosa
Gambar 21.Kenampakan tanaman pada umur 1 tahun di HLG Sungai Bram Itam
48
Untuk tanaman pinang diperoleh rata-rata survival 63,3% dengan standar deviasi
3,3%. Rata-rata persen hidup tanaman kopi liberika adalah 32,0% dengan standar
deviasi 15,5%. Kopi liberika tidak mampu tumbuh baik jika ditanam pada lahan
gambut yang tergenang dan tidak cocok untuk dikembangkan pada gambut dengan
kedalaman lebih dari 75 cm.
Tanaman asli gambut di sini berupa jeltung rawa, balangeran, medang putih,
medang mangga, jambu-jambu, kelat, laban, dan kayu teluk (Illex cymosa). Pola tanam
dilakukan dengan sistem jalur yang diselang-seling antara tanaman kehutanan dengan
49
tanaman pinang. Jarak tanamnya adalah 3 x 3 m. Total tanaman dalam 1 hektar
sebanyak 1.100 batang. Komposisi pola tanam disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Skenario pola tanam yang diterapkan di HLG Sungai Bram Itam
c. Komposisi biaya
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, maka diperoleh data dan
infomrasi berupa biaya yang dikeluarkan pada pola pemanfaatan lahan saat ini. Lahan
gambut yang sudah dirambah telah membuat parit utama dan parit cacing. Jika parit
utama ini disekat, maka akan menimbulkan masalah dengan masyarakat karena parit
utama digunakan juga untuk sarana transportasi. Untuk menyelesaikan permasalahan
lahan gambut yang telah terlanjur dirambah tersebut, maka perlu dicari solusinya yaitu
menerapkan skenario pola tanam campuran seperti pada Tabel 3. Untuk besarnya biaya
yang diperlukan disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Biaya yang dikeluarkan untuk budidaya sawit di HLG Sungai Bram Itam
50
Tabel 5. Biaya yang diperlukan dalam revegetasi lahan gambut di HLG Sungai Bram
Itam
No Komponen kegiatan dan barang lainnya Jumlah (Rp)
1. Penebangan kayu dan tebas 3.500.000/ha
2. Pembuatan parit utama 1.275.000/ha
3. Pembuatan parit cacing 3.750.000/ha
4. Pembelian bibit pinang 5.500/batang
5. Pembelian bibit tanaman kehutanan 5.500/batang
Penanaman tanaman kehutanan dan pinang (lubang 6.000.000/ha
6.
tanam, langsir bibit, mengajir, menanam)
7. Urea 600.000/ha
8. Dolomit 750.000/ha
9. Herbisida 1.050.000/ha
10. Penyemprotan 1.000.000/ha
10. Pupuk untuk buah 1.200.000/ha
Pemeliharaan 3 kali setahun sampai tahun ke-3 4.500.000/ha/tahu
11.
n
Pemeliharaan 2 kali setahun mulai tahun ke-4 3.000.000/ha/tahu
12.
n
13. Biaya panen pinang per kg buah pinang basah 200/kg
14. Biaya angkut pinang basah per kg buah pinang basah 200/kg
15. Biaya belah, cungkil, jemur menjadi biji pinang kering 2000/kg
d. Pendapatan
Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, maka diperoleh data dan
infomrasi berupa pendapatan yang diperoleh pada pola pemanfaatan lahan jika
ditanami sawit secara monokultur saat ini seperti disajikan pada Tabel 6, sedangkan
perkiraan produksi dan pendatan dari buah pinang disajikan pada Tabel 7.
Tahun ke-3 6
Tahun ke-4 12
Tahun ke-5 18
Tahun ke-6 24
Tahun ke-7 24
Tahun ke-8 24
Tahun ke-9 24
51
Tahun ke-10 24
Tahun ke-11 24
Tahun ke-12 24
Tahun ke-13 18
Tahun ke-14 12
Tahun ke-15 6
52
(11) Produktivitas sawit rata-rata antara 1- 1,5 ton/panen/ha
(12) Dalam analisis ini, pohon asli gambut tidak menghasilkan secara ekonomi
Hasil analisis finansial jika menerakan pola tanam di HLG Sungai Bram Itam, Kab.
Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil analisis kelayakan finansial berdasarkan skenario jika akan diterapkan
berbagai pola tanam di HLG Sungai Bram Itam (per hektar)
Pendapatan Pendapatan
Skenario NPV BCR IRR
pertahun perbulan
Pola tanam sawit murni -23.203.594 0,72 - rugi Rugi
(Pola tanam 1
Pola tanam 1 dengan harga 6.772.239 1,08 13% 451.483 17.624
sawit Rp 800
Pola tanam 1 dengan harga 145.799.671 2,75 56% 9.582.343 792.529
sawit Rp 2.000
Pola tanam 1 dengan 237.358.188 3,24 73% 15.598.392 1.299.866
produksi naik 50% dan harga
sawit Rp 2.000
Pola tanam 2 437.543.393 2,60 69% 29.169.560 2.430.797
Pola tanam 3 273.930.530 2,37 55% 18.262.035 1.521.836
Pola tanam 4 108.887.819 1,85 35% 7.259.188 604.932
Pola tanam 2 produksi turun 338.946.721 2,47 61% 22.596.448 1.883.037
20%
Pola tanam 3 produksi turun 207.484.491 2,21 48% 13.832.299 1.152.692
20%
Pola tanam 4 produksi turun 76.022.262 1,67 29% 5.068.151 422.346
20%
Pola tanam 2 harga turun 295.219.156 2,08 57% 19.681.277 1.640.106
20%
Pola tanam 3 harga turun 179.047.706 1,89 45% 11.936.514 994.709
20%
Pola tanam 4 harga turun 61.446.407 1,48 26% 4.096.427 341.369
20%
53
harga sawit Rp 800, maka pola tanam 1 mulai untung pada tahun ke-12 tetapi belum
layak untuk memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Apabila harga sawit Rp 2.000,
maka mengusahakan sawit secara monokultur seluas 1 hektar di lahan gambut layak
secara finansial, namun belum bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jika
mengusahakan sawit secara monokultur dengan luas minimal 4 hektar ternyata baru
mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Dari hasil analisis finansial dengan menerapkan skenario campuran antara
tanaman kehutanan asli gambut dan tanaman pinang, maka pola tanam 2 (275 batang
tanaman kehutanan asli di gambut + 825 batang tanaman pinang) dan pola tanam 3
(550 batang tanaman kehutanan asli gambut + 550 batang tanaman pinang) layak
secara finansial dan mampu memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga di Kabupaten
Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi dengan syarat luas lahan yang diusahakan
minimal 1,75 hektar per kepala keluarga. Pola tanam 2 dan 3 bisa diterapkan dalam
kegiatan restorasi lahan gambut di HLG Sungai Bram Itam.
Dengan demikian, pola tanam 2 dan pola tanam 3 menjadi solusi kegiatan
restorasi di HLG Sungai Bram Itam terutama pada aspek revegetasi dan revitalisasi
kehidupan masyarakat sekitar hutan. Pola tanam tersebut cocok diterapkan di HLG
Sungai Bram Itam pada blok pemanfaatan yang saat ini telah dirambah masyarakat
seluas ± 5.000 hektar. Di areal blok inti direkomendasikan untuk direhabilitasi dengan
menggunakan jenis-jenis tanaman kehutanan asli gambut yaitu jelutung rawa (Dyeara
lowii), balangeran (Shorea balangeran), kelat (Sizigium campanulatum), jambu-jambu
(Sizigium accuminata), laban (Vitex pinnata), kayu teluk (Illex cymosa), medang putih
(Litsea caiseapolia), dan medang mangga (Litsea robusta).
54
IV. KESIMPULAN
55
mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan baru bisa memenuhi kebutuhan
rumah tangga per kepala keluarga apabila luas lahan yang diusahakan lebih dari 4
hektar. Pola tanam agroforestri dengan menerapkan pola tanam 2 (275 tanaman
kehutanan+ 825 pinang) dan pola tanam 3 (555 tanaman kehutanan+555 pinang), maka
layak secara finansial dan mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan syarat
luas lahan yang diusahakan minimal 1,75 ha.
56
V. DAFTAR PUSTAKA
57
Orangutan Habitat in Tripa in Aceh, Indonesia? Mitigation and Adaptation
Strategies for Global Change. Doi 10.1007/s11027-013-9524-5.
Tata, H.L., dan Susmianto, A., 2016. Prospek paludikultur ekosistem Gambut
Indonesia. Bogor, Indonesia: Forda Press.
Taufik M, Setiawan BI, van Lanen HAJ. 2015. Modification of a fire drought index for
tropical wetland ecosystems by including water table depth. Agricultural and
Forest Meteorology. 203:1-10.
Turetsky, M.R., Benscoter, B., Page, S., Rein, G., van der Werf, G., Watts, A., 2014.
Global vulnerability of peatlands to fire and carbon loss.Nature Geoscience.
Published online: 23 December 2014. DOI: 10.1038/NGEO2325.
58