Anda di halaman 1dari 98

ISBN 978-979-1099-06-6

MONOGRAF

Buku Ajar

STRUKTUR BETON
PRATEKAN PARSIAL
MADE DHARMA ASTAWA

Percetakan

Program Studi Teknik Sipil

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL
“VETERAN” JAWA TIMUR
Tahun 2013

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 1


KATA PENGANTAR

Dalam decade akhir ini Struktur Beton Prategang semakin popular digunakan pada
struktur bangunan, baik pada bangunan infra struktur seperti Balok Jembatan Jalan
Raya maupun Jembatan Kereta Api. Demikian juga pada Struktur Rangka Gedung,
terutama pada gedung yang menggunakan Balok Bentang Panjang, karena ternyata
penggunaan Beton Pratekan lebih efisien dibandingkan dengan Beton Bertulang.
Untuk Struktur yang dominan menerima beban gravitasi seperti pada
Bangunan-bangunan Gedung, desain Struktur dengan Balok Beton Full Prestress
dianggap oleh para Ahli kurang efisien karena pemakaian baja tulangan tidak bisa
dihindari padahal dalam perhitungan analisa struktur, beban lentur dianggap
sepenuhnya dipikul oleh Strand Tendon sedangkan baja tulangan dianggap sebagai
tulangan praktis.
Penggunaan Beton Partial Prestress dipilih sebagai alternative karena ternyata
lebih efisien dimana dengan dimensi penampang yang sama membutuhkan jumlah
Strand Tendon yang lebih sedikit karena baja tulangan dan strand tendon didesain untuk
bekerja sama dalam memikul beban lentur, sehingga ada perbandingan yang
proporsional antara baja tulangan dan strand tendon unutk bersama-sama memikul
beban lentur.
Melihat kenyataan bahwa buku referensi (tex books) untuk Struktur Beton
Pratekan masih relative minim, terutama untuk referensi Struktur Beton Pratekan
Parsial, maka penulis berinisiatif untuk menyusun buku berupa Modul Ajar Beton
Pratekan Parsial ini yang juga dilengkapi dengan beberapa contoh-contoh soal.
Namun dengan minimnya referensi sebagai rujukan dan keterbatasan
kemampuan yang ada pada penulis, tentu dalam penulisan buku ini masih terjadi
kekurang sempurnaan. Untuk itu maka kritik dan saran dari para ahli yang lebih
berkompeten dibidang ini akan diterima dengan penuh rasa terima kasih.

Penulis.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 2


DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
DAFTAR TABEL 4
DAFTAR GAMBAR 5
1. PENDAHULUAN 8
2. BETON PRATEKAN DAN BETON PRATEKAN PARSIAL 11
2.1. Klasifikasi Konstruksi Beton 11
2.2. Klasifikasi Beton Pratekan Parsial 13
2.3. Keuntungan & Kerugian Beton Partial Prestressed terhadap
Full Prestress 15

3. ANALISA PENAMPANG BETON PRATEKAN PARSIAL 17


3.1. Pendahuluan 17
3.2. Prosentase Pratekanan 17
3.3. Perhitungan Momen 19
4. STUDI EKSPERIMENTAL 22
4.1 Dtata Percobaan 22
4.2. Tinjauan Retak 23
4.3. Tinjauan Runtuh 26
5. BETON PRATEKAN DALAM PRAKTEK 32
5.1. Posisi Beton Pratekan Parsial terhsdsp Terhadap Beton Pratekan
Penuh dan Beton Bertulang 32
5.2. Analisa Penampang 32
5.3. Desain Lentur 38
6. BETON PRATEKAN YANG MENGALAMI
PENGOLAHAN DENGAN PANAS 39
6.1. Umum 39
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 3
6.2. Teganagn Tekan Beton 40
6.3. Perubahan Bentuk Betonatas Fungsi Waktu (Susut dan Rangkak) 41
6.4. Kehilangan Pratekan oleh Relaksasi akibat Treatment Thermique 42
6.5. Pemakaian 44
7. HASIL PEMBEBANAN BALOK PRATEKAN SEGMENTAL 45
7.1. Pendahuluan 45
7.2. Data Balok 45
7.3. Pembahasan 46
7.4. Hasil Percubaan 47
8. PERENCANAAN BALOK PRATEKAN PARSIAL 51
8.1. Perencanaan Balok Prategang 51
8.1.1. Kontrol Lendutan 51
8.2. Momen Retak 79
8.3. Penulangan non Prategang 83
8.4. Penulangan Geser pada Balok 84
8.5. Penulangan Geser pada Balok 93
9. DAFTAR PUSTAKA 95

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 4


DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel: 4.1. Prosentase Pratekan dan Data Tulangan Baja Lunak 22
Tabel: 4.2. Harga-Harga Momen Untuk Semua Tipe Balok 29

Table :6.1 . Penurunan kekuatan akhir (  fc) beton akibat pengaruh


dari Kecepatan kenaikan temperatur dan besarnya Tmax. 40
Tabel: 8.1. Tabel Koefisien Susut Post Tension 75
Tabel: 8.2. Nilai momen yang diakibatkan oleh gempa 85
Tabel: 8.3. Nilai momen yang diakibatkan oleh gempa 90

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 5


DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1.1 Perkembangan Bahan-Bahan Konstruksi Ditinjau Atas


Daya Tahannya Terhadap Gaya Yang Bekerja 8

Gambar 2.1 Keadaan Tegangan dan Regangan Beton, Dari


Penampang Balok Di Bawah Beban Maksimum Untuk
Struktur Kelas I 11
Gambar 2.2 Keadaan Tegangan dan Renggangan Beton, dari
Penampang Balok Di Bawah Beban Tertentu Untuk
Struktur Kelas II 12
Gambar 2.3 Keadaan Tegangan dan Regangan dari Permukaan Balok
Di Bawah Beban Tertentu Untuk Struktur Kelas III 13
Gambar 2.4 Keadaan Tegangan dan Regangan dari Penampang Balok
Di Bawah Beban Maximum Untuk Struktur Kelas IV 13
Gambar 2.5 Model Kurva Hubungan Beban dan Lendutan Element
Konstruksi Beton 14
Gambar 3.1 Sebuah Penampang Balok Pratekan 18
Gambar 3.2 Diagram Deformasi Sebuah Penampang Balok Beton
Pratekan Partiil Serta Gaya-Gaya Yang Timbul 20
Gambar 3.3 Diagram Deformasi Dalam Keadaan Batas 21
Gambar 4.1. Skema Penulangan dan Penampang setiap Tipe 22
Gambar 4.2 Skema Dari Sistem Pembebanan Balok 23

Gambar 4.3 Posisi Beban Retak Experimental Dibandingkan


Prediksi Teoritis 24
Gambar 4.4 Perbandingan Jarak Retak Antara Prediksi Teori Dengan
Experimen 25
Gambar 4.5 Perbandingan Lebar Retak Secara Teori dan Experimen
Pada Beban Kerja 26

Gambar 4.6 Keadaan Tegangan dan Deformasi Dari Suatu Penampang


Balok elang Runtuh 26

Gambar: 4.7 Diagram Deformasi Dalam Keadaan Sesaat Runtuh dan


Harga Momen Runtuh Teori Masing-Masing Balok 27

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 6


Gambar: 4.8 Diagram Deformasi Dalam Keadaan Batas (Ultimate)
dan Harga Momen Batas (Mu) Masing-Masing Balok 28

Gambar 4.9 Perbandingan Angka-Angka Keamanan Pada Metode


Posttension, Pretension Untuk Beban Langsung Dan
Beban Berulang 30

Gambar 5-1 : Analisa Tegangan Dengan Metode Elastis 33


Gambar: 5.2. Diagram Tegangan-Regangan pada Balok T 34
Gambar 6-1 Skema Perubahan Temperatur Dalam Sebuah Proses
Steam Curing Tmax Disarankan Berkisar 60 S/D 800C 39
Gambar 6-2 Kenaikan Tegangan Tekan Beton Pada Berbagai
Temperatur Untuk Beton Dengan Semen 350 Kg/M3
Dari Jenis CPA 400 Dengan Faktor Air Semen
W/C = 0,5. 40
Gambar: 6.3. Siklus Temperatur Dalam Suatu Proses Heat
Treatment 41
Gambar: 6.4. Skema Kehilangan Pratekan Oleh Relaksasi 43
Gambar: 7.1. Skema ukuran balok 45
Gambar: 7.2. Skema Pembebanan Balok Dan Letak Titik-Titik
Pengukuran Lendutan 46
Gambar: 7.3. Perbandingan Antara Lendutan Teoritis Dengan
Hasil Pengamatan Di Perempat Bentang 48
Gambar: 7.4. Perbandingan Antara Lendutan Teoritis Dengan Hasil
Pengamatan Di Tengah Bentang 49
Gambar: 7.5. Diagram Tegangan Beton Di Tengah Bentang Balok
Dengan Ft = Fo = 275 Ton 49
Gambar: 7.6. Diagram Tegangan Beton Di Tengah Bentang Balok
Dengan Ft – Fe = 240,9 Ton 49
Gambar: 8.1. Penampang Balok Pratekan 53
Gambar: 8.2. Momen Sebelum Komposit 55
Gambar: 8.3. Momen Setelah Komposit 56
Gambar: 8.4. Daerah Limit Kabel 58
Gambar: 8.5. Diagram Tegangan Sebelum Komposit 62
Gambar: 8.6. Diagram Tegangan Setelah Komposit 62
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 7
Gambar: 8.7. Angker Dengan 9 Strand 65
Gambar: 8.8. Penampang Angker Tengah Bentang Dengan 9 Strand 65
Gambar: 8.9. Potongan Memanjang Angker 66
Gambar: 8.10. Hasil Analisa SAP Akibat Kekangan Kolom 71
Gambar: 8.11. Penampang Balok Prategang 74
Gambar: 8.12. Diagram Tegangan Setelah Kehilangan Prategang 79
Gambar: 8.13. Tulangan Geser Pada Balok 94

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 8


I. PENDAHULUAN

Didalam perkembangannya, bahan-bahan konstruksi dapat digolongkan atas tiga


kategori. Bahan-bahan yang tahan terhadap gaya tekan, tahan terhadap gaya
[1]
tarik dan tahan terhadap keduanya yaitu gaya tekan dan gaya tarik . Secara
skhematis dapat dilihat dalam gambar 1-1 sebagai berikut :

BATU BATA BAMBU ROTAN KAYU

BETON KAWAT BAJA BAJA PROFIL

BETON
KERJASAMA PASIF
BERTULANG

BETON MUTU KAWAT BAJA MUTU


TINGGI TINGGI

KERJA SAMA AKTIF BETON PRATEKAN

BETON PRATEKAN PARTIIL


ATAU
BETON PRATEKAN BERTULANG

Gambar 1.1 Perkembangan Bahan-Bahan Konstruksi Ditinjau Atas Daya


Tahannya Terhadap Gaya Yang Bekerja

Dari skema di atas dapat dilihat bahwa kehadiran bahan beton bertulang yang
merupakan bahan gabungan, dengan maksud adanya pembagian tugas antara
bahan yang menerima tekan (beton) dan tarik (baja tulangan), belum bisa
menjawab semua tantangan di dalam problem struktur, maka kemudian lahirlah
bahan baru yaitu beton pratekan.
Dengan dikenalnya konstruksi ini maka beberapa kesulitan telah dapat
diatasi missal : masalah bentang besar, mengurangi dominasi oleh berat sendiri,
adanya retak-retak pada beton di bawah beban kerja dan sebagainya.
Pemakaian konstruksi beton pratekan total pada gedung-gedung, sering
mengalami hambatan, karena disini dituntut bahwa struktur harus mampu

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 9


menahan momen bolak-balik. Para perancang untuk itu biasa menggabungkan
pemakaian tulangan aktif (baja prategang) dan tulangan pasif (baja lunak).
Dari kenyataan ini lahirlah konstruksi campuran (mixture) antara beton
bertulang dan beton pratekan yang kemudian disebut dengan “beton pretekan
partial” atau secara harafiah bisa juga disebut dengan “beton pratekan
bertulang”.
Jadi kehadiran beton pratekan partial adalah merupakan langkah maju
dari perkembangan konstruksi beton. Banyak hal yang masih harus
diungkapkan, banyak hal yang masih harus dituntaskan. Dalam hal aplikasi
konstruksi beton pratekan didalam praktek dewasa ini (di Indonesia cukup
diminati dan penggunaannya tidak lagi terbatas pada struktur jembatan, namun
sudah banyak mengalih ke gedung-gedung.
Penggunaan struktur beton pratekan untuk gedung memerlukan adaptasi
tambahan karena kondisi beban yang bekerja, terutama oleh pengaruh beban
gempa, menuntut diterapkannya konsep beton pratekan parsiil. Hal ini
tampaknya oleh SKSNI T-15-1991-03 (tata cara penghitungan struktur beton
untuk bangunan gedung) telah diantisipasi dengan menerapkan bahwa ketentuan
untuk perencanaan gempa (bab 3.14 tabel 3.14.1) yang menyangkut daktilitas
struktur faktor jenis struktur K hanya tercantum untuk jenis bahan bangunan dari
jenis struktur rangka beton pratekan parsiil.
Melihat kecenderungan yang terjadi di lapangan maka pemahaman tentang
struktur jenis ini perlu digalakkan, dan perlu pembahasan yang lebih mendalam.
Kebutuhan akan waktu pelaksanaan yang serba cepat, penyediaan volume
pekerjaan dalam jumlah besar, membutuhkan inovasi pelaksanaan struktur yang
tepat. Suatu system struktur pracetak (khususnya beton pratekan) dengan
menggunakan sistem produksi komponen memakai “heat traitment” diharapkan
dapat menjadi salah satu alternative pelaksanaan struktur dimasa depan.
Sekilas menyangkut teknologi ini akan dicoba diuraikan dalam dua bab terakhir
dari buku ini, prihal beton pratekan yang mengalami pengolahan dengan panas

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 10


(heat treatment), dan juga akan disampaikan tentang sebuah pengalaman penulis
melakukan uji coba beban langsung pada component struktur pracetak yang
merupakan sebuah balok jembatan (segmental) dalam skala penuh.

II. BETON PRATEKAN DAN BETON PRATEKAN PARSIAL

2.1 Klasifikasi Konstruksi Beton


Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 11
Menurut CEB-FIB 1970 [2] ditinjau atas retak maka konstruksi beton
dibedakan atas :
1. Retak-retak dihindari.
Kelas I :
Keadaan batas dekompresi tidak pernah tercapai walaupun dalam kombinasi
pembebanan yang paling menguntungkan.
Struktur demikkan ditujukan pada keadaan-keadaan tertentu seperti :
- Keadaan sekeliling yang korosif.
- Elemen struktur yang menerima tarik murni.
- Elemen struktur yang diperuntukkan pada beban-beban berulang dimana
bahaya kelelahan mungkin timbul.

Dalam semua hal tegangan beton (σc) tidak boleh tarik.


Gambar 2.1 Keadaan Tegangan dan Regangan Beton, Dari Penampang
Balok Di Bawah Beban Maksimum Untuk Struktur Kelas I

Kelas II :
Keadaan formasi retak-retak tidak boleh timbul, walaupun dalam kondisi
kombinasi pembebanan yang terburuk, tetapi batas dekompresi boleh

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 12


tercapai di bawah beban permanent dan sebagian dari beban hidup. Umpama
λ sama dengan perbandingan beban permanent (g) atas batas total (g + p) :
g
 ; dimana 0 < λ < 1
gp
Dapat ditulis bahwa di bawah kombinasi beban : g + λp, keadaan penampang
masih harus seperti kelas I tersebut di atas.

σc ≥ 0 dibawah σc ≤ 0 dibawah kombinasi g + λp kombinasi p + g


Gambar 2.2 Keadaan Tegangan dan Renggangan Beton, dari Penampang
Balok Di Bawah Beban Tertentu Untuk Struktur Kelas II

2. etak-retak dapat diterima.


Lebar retak harus dibatasi yang didasarkan atas pertimbangan sifat beban
yang bekerja (lamanya beban) dan kondisi lingkungan.
Kelas III :
Pada umumnya penampang disini mempunyai tulangan campuran yaitu baja
prategang dan baja tulangan biasa.
Kondisi batas retak, dekompresi diperkenankan terjadi sampai batas-batas
tertentu harus ditaati.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 13


σc , Δσs dibatasi oleh kombinasi beban g + Δp, dengan wmax dibatasi oleh
kombinasi beban maksimum (g + p).
Gambar 2.3 Keadaan Tegangan dan Regangan dari Permukaan Balok
Di Bawah Beban Tertentu Untuk Struktur Kelas III

Kelas IV :
Penampang disini hanya mempunyai tulangan biasa (tanpa baja pratekan).
Kondisi batas retak harus dipatuhi.

Wmax dibatasi oleh beban g+λp , dengan 0<λ<1 atau oleh g+p (beban total)
Gambar 2.4 Keadaan Tegangan dan Regangan dari Penampang Balok
Di Bawah Beban Maximum Untuk Struktur Kelas IV

2.2 Klasifikasi Konstruksi Beton Pratekan Parsial.


Seperti telah disinggung pada Bab I, yaitu beton pratekan partial adalah
merupakan konstruksi campuran dari beton bertulang dan beton pratekan murni
(full prestress). Dari klasifikasi yang dianut oleh CEP-FIB seperti yang
diuraikan pada 2.1., maka posisi beton pratekan partial ini dengan mudah dapat
dikategorikan akan termasuk pada kelas II dan kelas III, kelas I diisi oleh full
prestress dan klasifikasi terakhir (kelas IV) adalah ditempati oleh beton
bertulang.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 14


Gambar 2.5 menunjukan hubungan beban dan lendutan balok-balok
pratekan total (fully prestresse), pratekan partiil dan beton bertulang dengan
kemampuan batas lentur yang sama [3].

Gambar 2.5 Model Kurva Hubungan Beban dan Lendutan Element Konstruksi Beton

Dari gambar di atas dapat dilihat besaran-besaran beban yang bekerja, termasuk
beban yang menimbulkan retak untuk yang pertama.
Jelas dapat dilihat bahwa pada beton pratekan total beton mengalami
retak pada saat beban rencana (service load) bekerja penuh, sedang untuk beton
bertulang pada saat yang sama penampang sudah retak. Jadi jelas bahwa posisi
beton pratekan partiil dan sifat-sifatnya akan terltak diantara kedua tipe struktur
terdahulu masing-masing menjadi batas atas (pratekan total) dan batas bawah
(beton bertulang).
Sehubung tidak retaknya penampang balok beton pratekan total pada saat
beban kerja, maka tegangan baja pratekan tidak terlalu banyak meningkat,
hampir dapat dikatakan tetap, hal ini akan berbeda pada beton pratekan
partiil, karena penampang retak, balok kehilangan kekakuan, dan akan
terjadilah loncatan tegangan yang cukup besar selama berubah-ubahnya

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 15


beban yang bekerja, posisi retak balok berada di daerah pengaruh beban
hidup (q =g + λp, dengan 0 < λ < 1).
2.3. Keuntungan & Kerugian Beton Partial Prestressed Terhadap Full
Prestressed
1. Keuntungan Pratekan [4]
a. analisa penampang lebih sederhana pada beban kerja untuk beton Pratekan
total, karena pada saat itu keadaan penampang masih dalam stadium
elastis sempurna. Berbeda halnya untuk beton Pratekan Partiil untuk
beban yang sama (service load), karena penampang sudah retak, analisa
akan jauh lebih kompleks dan panjang.
b. Sehubung dengan retaknya penampang beton pratekan partiil seperti
disebutkan di atas maka akan terjadi variasi tegangan cukup besar pada
baja prategang maupun pada baja lunaknya. Gejala ini lebih
memungkinkan terjadinya bahaya kelelahan *). Sedang pada beton
pratekan total penampang tidak retak, variasi tegangan adalah kecil
sehingga dari sudut pandang ini beton pratekan total lebih
menguntungkan.
c. Masih sehubungan dengan retaknya penampang, maka lendutan yang akan
terjadi
akibat beban kerja pada beton pratekan partiil relative lebih besar
dibanding pratekan total.
d. Untuk daerah lingkungan yang korosif, maka beton pratekan total lebih
cocok karena penampang belum retak.

Catatan :
* Untuk ketentuan variasi tegangan-tegangan (beton maupun baja) salah satunya diatur
dalam CEP-FIP 1978 [5].

2. Keuntungan Pratekan [4]

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 16


a. Tidak jarang didapat bahwa beton pratekan partiil memberi nilai lebih
ekonomis, karena pemanfaatan tegangan-tegangan lebih efektif.
b. Akibat besarnya gaya pratekan yang diberikan pada beton pratekan total,
dapat
menimbulkan lendutan ke atas (camber) lebih besar, untuk kasus tertentu
dapat menimbulkan masalah.
c. Pada pratekan total akan membutuhkan penampang prakompressi yang
relatif lebih besar, dengan demikian berakibat pada berat sendiri akan
lebih besar. Dengan pratekan partiil penampang bisa dibuat lebih
ramping.
d. Kehadiran baja tulangan biasa pada beton pratekan partiil memberikan
daktilitas dan energy dissipation lebih baik terutama dalam penampang-
penampang krisis waktu terjadi beban siklus (cyclic loading). Keunggulan
ini adalah keuntungan tersendiri pada beton pratekan partiil, apalagi
dikaitkan dengan beban gempa yang mungkin terjadi.
e. Pada dasarnya beban kerja adalah jarang terjadi penuh, yaitu q = g + p.
Yang sering terjadi adalah : q = g + λp; dimana 0 < λ < 1.
Menurut Leonhard yang disebut PARK [4], harga λ berkisar (20 @ 70)
%. Keadaan ini sangat menguntungkan beton pratekan partiil. Konsiderasi
penampang retak pada beban kerja penuh adalah jarang terjadi.
f. terhadap bahaya kebakaran, beton pratekan total dapat kehilangan
kemampuan secara drastis tetapi pada pratekan partiil karena adanya baja
tulangan lunak hal ini lebih menguntungkan.

III. ANALISA PENAMPANG BETON PRATEKAN PARTIAL

3.1 Pendahuluan
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 17
Menurut note dari FIP [5], dinyatakan bahwa untuk beton pratekan
partiil ini masih ada beberapa perbedaan pendapat cara-cara pendekatannya. Di
dalam laporan tersebut ditulis bahwa secara garis besar pendapat terbagi atas
dua keinginan, sebagian mengarah ke Amerika dan yang lain cenderung ke
Eropa.
Pada dasarnya mereka sepakat bahwa beban batas runtuh, beton
bertulang, beton pratekan total maupun pratekan partiil, keadaan penampang
tidak berbeda sejak masing-masing penampang balok sudah retak. Keadaan
keseimbangan berlaku yaitu FC = FT, dimana FC adalah gaya tekan total dan FT
adalah gaya tarik total oleh tulangan (beton tarik diabaikan).
Untuk keadaan beban kerja (service load) beton pratekan partiil
mempunyai sifat-sifat diantara beton bertulang dan beton pratekan total (lihat
gambar 2.1).
3.2 Prosentase Pratekanan
Kembali lagi dapat dilihat dalam Gambar 2.1, bahwa prosentase pratekan
ini dapat berkisar dari 0 sampai dengan 1, atau (0 s/d 100%) pratekan.
Balok dengan prosentase 0% pratekan adalah balok beton bertulang, dan
balok dnegan 100% pratekan adalah balok pratekan total (fully prestressing).
3.2.1 Partiil Prestressed Ratio Atas Dasar Momen Runtuh :
Cara ini didasarkan atas kapasitas batas dari masing-masing tulangan [3] [5] [6].
A p .f p.u .z p.u
P.P.R =
A p .f p.u .z p.u  As .fs.u .zs.u

Dimana :
PPR adalah partial prestressing ratio
A adalah luasan
f adalah tegangan
z adalah lengan momen dalam
huruf indek :
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 18
p, untuk baja pratekan
s, untuk baja lunak
u, untuk keadaan batas

Gambar 3.1 Sebuah Penampang Balok Praekan

Apabila PPR dinyatakan dalam momen, maka :


(M u ) p
PPR =
(M u ) p  (M u )s

3.2.2 Prosentase Pratekan Atas dasar perbandingan momen dekompressi


terhadap momen beban kerja penuh (full service load)
Cara ini dikembangkan oleh BACHMAN [7], dengan “K” sebagai
simbol dari
M dek
degree of prestressing. K =
M(g  p)
Bila M dekompressi tidak ada (Mdek = 0) maka K = 0, ini berarti adalah beton
tanpa baja prategang atau beton bertulang sedang bila Mdek = M (g + p), berarti

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 19


K = 1, jadi ini berarti adalah pratekan penuh (pada pratekan penuh) M (g + p)
bekerja, penampang belum retak, dalam hal ini Mdek ≥ M (g + p).
Dengan cara ini, dapat direncanakan besarnya Mdek sesuai yang diinginkan
untuk mengimbangi momen oleh beban yang dianggap sering terjadi : M (g +
λp), harga λ sesuai Leonhard berkisar (20 @ 70)%, tergantung jenis strukturnya.
Jadi dengan demikian, dengan pratekan partiil suatu struktur dapat didesain
secara efisien.
3.3 Perhitungan Momen
3.3.1 Hypotesa :
1. Penampung daftar tetap datar sebelum dan sesudah balok mengalami
deformasi.
Asumsi ini tetap dipertahankan walaupun balok sudah dalam stadium
retak. Balok dan baja mengalami deformasi secara bersamaan (tidak
terjadi slip antara beton dan tulangan akibat rusaknya lekatan).
2. Keruntuhan didapat apabila perpendekan beton mencapai batas, εcu =
3,5 ̊ / ̥ ̥ untuk menahan momen diabaikan.
3. Setelah retak, adil beton tarik untuk menahan momen diabaikan.
4. Diagram tegangan beton dianggap diagram blok (block stress)
3.3.2 Metode Perhitungan :
3.3.2.1 Diagram deformasi :

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 20


Gambar 3.2 Diagram Deformasi Sebuah Penampang Balok Beton
Pratekan Partiil Serta Gaya-Gaya Yang Timbul

Gambar 3.2, menunjukan diagram deformasi dan gaya-gaya yang ditimbulkan,


untuk penampang balok beton pratekan partiil.
Dari gambar 3.2 tersebtu di atas dapat ditulis :
εp = εp,0 + Δ1 εp + Δ2 εp
............................................................................................................................... (
3-1.a)
εs = εs,0 + Δ1 εs + Δ2 εs
............................................................................................................................... (
3-2.a)
dimana :
εp,0 , εs,0 adalah deformasi initial dari baja pratekan (p) dan baja lunak (s)
berturut-turut.
Δ1 εp , Δ1 εs adalah deformasi tembahan yang disebabkan oleh dekompressi.
Δ2 εp , Δ2 εs adalah deformasi lanjut sejak dekompressi sampai keadaan batas.
3.3.2.1 Keadaan Seimbang :
Mdalam = Mluar
M = Fs . Zs + Fp . Zp
............................................................................................................................... (
3.2)
ΣH = 0
Fc = Fs + Fp
............................................................................................................................... (
3.3)
Untuk menghitung momen batas (Mu), maka tegangan-tegangan beton dan
bajanya harus ditetapkan sesuai ketentuan [8] :

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 21


0,85.fck
σ*bu =
γc

............................................................................................................................... (
3.4.a)
f yk
σ*pu =
1,15
............................................................................................................................... (
3.4.b)
f sk
σ*bu =
1,15
............................................................................................................................... (
3.4.c)
Dengan pembatasan deformasi (Gambar 3.3) keseimbangan dapat diperoleh :
εcu = 3,5 ̊ /̥̥
............................................................................................................................... (
3.5.a)
εsu = 10 ̊ /̥̥
............................................................................................................................... (
3.5.b)
εpu = 10 ̊ /̥̥
............................................................................................................................... (
3.5.c)

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 22


Gambar: 3.3. Diagram Deformasi Dalam Keadaan Batas

Dengan demikian momen batas dapat dihitung lewat rumus (3.2)


Mu = Fs,u . Zs,u + Fp,u . Zp.u
.................................................................................................................... (
3.6.a)
atau
Mu = Fc,u . Zc,u
.................................................................................................................... (
3.6.a)
Jadi momen kerja (momen service) dapat ditentukan :
Mu
Mserv =
γs
.................................................................................................................... (
3.6.a)

IV. STUDI EKSPERIMENTAL

4.1 Data Percobaan


Adapun percobaan ini dilakukan terbatas pada balok berpenampang
persebig (gambar 4.1).balok menerima beban lentur dengan skema pembebanan
seperti gambar 4.2. presentase tulangan, prosentase pratekan untuk setiap balok
dapat dilihat pada tabel 4.1. Prosentase Pratekan dan Data Tulangan Baja Lunak
Untuk Masing-Masing
Tabel: 4.1. Prosentase Pratekan dan Data Tulangan Baja Lunak
Tipe Balok A B C D E
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 23
% Pratekan 0 40 60 80 100
As  Ap
ωtotal = .100% 1,21 0,98 0,89 0,72 0,60
b.h
As
ωs = .100% 1,21 0,74 0,54 0,24 0
b.h
Ap
ωp = .100% 0 0,24 0,35 0,48 0,60
b.h
- A balok beton beton bertulang biasa ( p  0 )

- B, C, D balok beotn pratekan partiil dengan prosentas pratekanan berturut-


turut 40%, 60% dan 80%
- E balok beton pratekan total ( s  0 )

Gambar 4.1 Skema Penulangan Dan Penampang Setiap Tipe

* Adapun data lengkap tentang percobaan ini dapat dilihat pada kepustakaan no 9.

Gambar 4.2 Skema Dari Sistem Pembebanan Balok


4.2 Retak
4.2.1 Prediksi Teori
Untuk perhitungan ini menggunakan metode Code Mode CEB-FIB 78 [8].
Wk = 1,7 Wm …………. (4.1)
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 24
Dimana :
Wk = lebar retak karakteristik
Wm = lebar retak rata-rata

Wm = Srm.εsm ………(4.2)
Dimana :
Srm = jarak retak rata-rata
εsm = perpanjangan baja tulangan rata-rata
Adapun jarak retak rata-rata Srm, perpanjangan baja rata-rata εsm dapat dihitung
*)
sebagai berikut :
s 
Srm = 2(c  )  k1.k 2 ………..(4.3)
10 r

s   sr  
εsm = 1  12    0,4 s ………(4.3)
Es   s  Es

beban retak kemudian dapat ditetapkan [9].


4.2.2 Beban Retak :
Secara teoritis beban retak dapat dihitung, kondisi initial balok
memegang peranan sangat penting.
Dengan memperhitungkan semua variabel yang berpengaruh (susut, creep,
relaxatie)
*) beban
perumusan retak kemudian
lengkap dapat dilihatdapat
pada ditetapkan [9]. no 8.
buku kepustakaan
Adapun perbandingan prediksi teoritis dengan hasil percobaan dapat dilihat pada
gambar 4.3 :

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 25


Gambar 4.3 Posisi Beban Retak Experimental Dibandingkan Prediksi Teoritis

Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa hasil prediksi cukup memadai. Dengan
penglihatan mata manusia tanpa alat bantu, ternyata retak terdeteksi cukup
terlambat.
4.2.3 Jarak Retak :
Adapun jarak retak pada sebuah balok tidak selalu sama, ada jarak
minimal dan maximal.
Gambar 4.4, menunjukan perbandingan antara prediksi teoritis dengan
experimental. Untuk teoritis dicoba dihitung atas dua konsiderasi, pertama
dengan menganggap bahwa kehadiran baja prategang (untuk tipe B, C, D)
memberi pengaruh dan kedua kehadirannya dianggap tidak punya adil.

Gambar 4.4 Perbandingan Jarak Retak Antara Prediksi

Teori Dengan Experimen

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 26


Terlihat bahwa hasil jarak retal maximal dan minimal mempunyai perbedaan
yang sangat berarti. Namun secara rata-rata prediksi teoritis memberikan
tapsiran yang memadai. Pada balok tipe A (beton bertulang) hasilnya paling
memuaskan dibanding tipe balok yang lain.
4.2.4 Lebar Retak Pada Beban Kerja :
Perhitungan lebar retak pada beton pratekan partiil menjadi suatu hal
yang harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat adanya baja prategang yang
sangat peka terhadap korosi.
Perumusan yang dianut oleh Code modele CEP-FIP 78 [8], ternyata dapat
diterapkan pada penampang beton pratekan partiil dengan baik. Hal ini terlihat
dari hasil perbandingan teoritis dengan experimen lebar retak tersebut seperti
terlihat pada Gambar 4.5.
Hasil lebar retak maximal teoritis cukup memberi keamanan dibanding
hasil percobaan.

Gambar 4.5 Perbandingan Lebar Retak Secara Teori dan Experimen


Pada Beban Kerja
4.2.4 Kesimpulan :

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 27


Dari hasil yang diperoleh seperti disebutkan diatas maka untuk beban
kerja balok beton pratekan partiil tidak menunjukan sifat retak diluar perumusan
yang dianut.
Jadi dengan demikian dari segi retak sampai dengan beban kerja tidak timbul
masalah. Namun demikian dianjurkan bahwa penetapan kondisi initial balok
harus dilakukan cukup teliti dengan memperhitungkan adanya variabel yang
bisa berpengaruh.
4.3 Runtuh
4.3.1 Prediksi Teoritis :
Secara teoritis perhitungan memakai anggapan / hypothesa seperti
halnya pada penampang beton bertulang atau beton pratekan total.
Keadaan tegangan pada saat menjelang runtuh dilukiskan seperti gambar 4.6.

Gambar 4.6 Keadaan Tegangan dan Deformasi Dari Suatu


Penampang Balok elang Runtuh
Deformasi akhir dari baja tulangan didapat :
εp = εp,o + Δ1εp +Δ2εp (untuk baja prategang) ………(4.5.a)
εs = εs,o + Δ1 εs + Δ2 εs (untuk baja lunak) ………(4.5.b)
dimana : εp,o dan εs,o adalah deformasi initial
Δ1 εp dan Δ1 εs adalah tambahan deformasi penampang saat dekompressi.
Δ2 εp dan Δ2 εs adalah deformasi yang terjadi sejak dekompresi.
Dengan syarat ;
Mrt = Fs . Es + Fp . zp ………(4.6)
Fc = Fs + Fp ……….(4.7)
Dimana : Mrt = momen runtuh
zp dan zs = lengan momen dalam untuk baja pratekan dan baja lunak.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 28


Dengan data bahan yang dipakai harga momen runtuh teori (Mrth) dapat
dijumpai pada tabel 4.2.
Sedang untuk momen batas (Mu) dihitung seperti dimuat pada bab III, dan
hasilnya terlihat pada tabel 4.3

Gambar: 4.7 Diagram Deformasi Dalam Keadaan Sesaat Runtuh dan Harga
Momen Runtuh Teori Masing-Masing Balok

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 29


Gambar: 4.8 Diagram Deformasi Dalam Keadaan Batas (Ultimate) dan Harga
Momen Batas (Mu) Masing-Masing Balok

4.3.2 Momen Runtuh Experimental :


Harga-harga momen ni diberikan dalam tabel 4.4, yang sekaligus
dibandingkan dengan momen runtuh teori (Mrth), momen batas (Mu) serta
momen akibat beban-beban kerja (Mserv).

Tabel: 4.2. Harga-Harga Momen Untuk Semua Tipe Balok


Tipe Balok
Momen
(kN-m) A B C D E

Mserv 28,19 29,81 31,19 30,33 30,60


Mu 42,29 44,72 46,79 45,49 45,91
Mrth 60,40 66,21 64,59 61,48 61,85
Mrexp 59,11 66,31 63,11 63,71 63,11

4.3.3 Pengaruh Beban Bertulang :

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 30


Untuk mendapatkan gambaran akibat adanya beban berulang * maka
disini akan diberikan bebarapa hasil percobaan [10] [11] [12]. Semua hasil tersebut
dapat dilihat pada gambar 4.7.
M exp M exp
Dengan memakai angka keamanan (ᵞ) ᵞ s = dan ᵞr = ,
M serv M rth
dapat dilihat bahwa secara keseluruhan percobaan (beban langsung maupun
beban berulang) mempunyai keramanan terhadap beban kerja (Mserv) berkisar ᵞ s
= 2. Harga ini menunjukan bahwa keamanan struktur terhadap momen lentur
mantap (peraturan menganut ᵞ s = 1,5 misal PBI

*)
Karakteristik beban berulang yang diterapkan pada percobaan ini adalah 2 siklus permenit
dengan jumlah terbatas yaitu 1500 kali (± 12,5 jam pembebanan) dengan level beban (0,25
s/d 0,5) Mrth dan 600 kali pada level beban (0,375 s/d 0,75) Mrth.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 31


Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 1

Gambar 4.9 Perbandingan Angka-Angka Keamanan Pada Metode Posttension, Pretension Untuk Beban Langsung Dan Beban Berulang

30
Ditinjau terhadap keamanan atas beban runtuh (Mrth), ternyata ᵞr untuk
metode pretension ada yang berharga lebih kecil dari satu. Jadi beban
berulang ini kiranya lebih peka pada metode pretension. Namun demikian
secara global dapat disimpulkan tidak menimbulkan perubahan yang berarti.
4.3.4 Kesimpulan :
Dari hasil tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Prediksi perhitungan balok beton pratekan partiil ini dapat diterapkan
sebagaimana halnya pada balok-balok beton bertulang atau pada beton
pratekan total.
2. Keamanan terhadap beban kerja cukup mantap (ᵞ s ≥ 1,5).
3. Akibat adanya beban berulang dengan catatan level beban tidak terlalu
besar, keruntuhan balok pratekan partiil nampaknya tidak berubah.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 31


V. BETON PRATEKAN DALAM PRAKTEK

5.1. Posisi Beton Pratekan Parsiil Terhadap Beton Pratekan Penuh Dan
Beton Bertulang
Berpijak pada salah satu prinsip dasar beton pratekan menurut T.Y.LIN,
bahwa beton pratekan itu sesungguhnya beton bertulang hanya saja
merupakan gabungan antara dua material : beton dan baja yang
masing-masing bermutu tinggi, disamping juga sejak awal tulanganya
(tendon) diberi tegangan tarik, sehingga ada gaya dalam, secara awal
yang bekerja, yang nantinya diharapkan mengantisipasi gaya-gaya luar
yang akan bekerja (beban-beban). Apabila hubungan antara beban dan
defleksi sebuah element struktur (balok) digambar bersama seperti
terlihat dalam gambar 2-5, maka dapat dilihat secara jelas bahwa posisi
beton pratekan parsiil adalah merupakan posisi antara, dari beton
pratekan penuh dan beton bertulang, batas atas beton pratekan penuh
dan batas bawah adalah beton bertulang biasa. Dari gambar 2-5 tersebut
menarik untuk diamati bahwa pada beban kerja penuh, beton pratekan
belum retak, namun beton bertulang akibat beban mati saja
penampangsudah retak. Untuk struktur rangka pada gedung-gedung
desain penampang sering ditentukan oleh beban gravitasi (U = 1,2D +
1,6L) ataupun oleh kombinasi gempa : (U = 1,05 (D + LR ± E atau U =
0,9 (D ± E)
Dengan beton pratekan parsiil, nampaknya cocok karena pada beban
gravitasi seolah-olah diterima oleh pratekannya (arah beban pasti) dan
pada waktu beban gempa (bekerja bolak balik) lebih cocok ditahan
tulangan lunak.
5.2. Analisa Penampang
5.2.1. Penampang Sebelum Retak

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 32


Untuk beton pratekan termasuk pratekan parsiil analisa kekuatan
sebelum penampang retak dilakukan untuk pemeriksaan tegangan-
tegangan pada beban kerja dan keadaan-keadaan beban kritis yang
mungkin terjadi missal sewaktu pelaksanaan jacking dimana beban
dalam keadaan terendah (minimum).
Tegangan-tegangan dapat dihitung dengan sederhana yaitu memakai
metode elastis :

Gambar 5-1 : Analisa Tegangan Dengan Metode Elastis


a. Penampang balok
b. Tegangan oleh gaya axial (F) dibagi luas penampang
c. Tegangan oleh adanya excentrisitas tendon (cgs) terhadap pusat
berat penampang (cgc) sejauh “e”
d. Tegangan oleh beban luar yang bisa terdiri dari berat sendiri/mati
(MD) dan oleh beban hidup (ML)
F F .e M
 Tegangan Beton : Fct,b =   ……… (5-1)
A Wt , b W t , b

Dimana :
F = gaya pratekan
e = excenstrisitas gaya pratekan terhadap cgc
A = luas penampang
W = momen tahanan penampang
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 33
M = momen luar balok
fc = tegangan beton
t = indek untuk serta atas (top)
b = indek untuk serat bawah (bottom)
 Tegangan baja lunak fs = n.fcns
Dimana :
Es
fcns = tegangan beton pada level baja lunak, dan =
Ec
Es = modulus elastis baja lunak
Ec = modulus elastis beton
5.2.2. Penampang Sesudah Retak Pada Beban Kerja
1. Asumsi
 Penampang datar tetap datar sebelum dan sesudah balok
mengalami deformasi. Asumsi ini tetap dipertahankan
walaupun balok sudah dalam stadium retak. Beton dan baja
mengalami deformasi secara bersama (tidak terjadi slip antara
beton dan tulangan akibat rusaknya lekatan)
 Baik baja tulangan (lunak dan pratekan) dan baton, diagram
tegangan-tegangannya (    ) diketahui
 Setelah retak andil beton tarik tidak dianggap ada (diabaikan)
Sebuah penampang T dari Balok Pratekan Parsiil seperti pada
gambar 5-2 :

Gambar: 5.2. Diagram Tegangan-Regangan pada Balok T

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 34


a. Penampang balok dalam keadaan retak
b. Diagram regangan saat sebelum dan sesudah retak
c. Distribusi tegangan, untuk beton karena beban masih jauh dari
beban runtuh dianggap linear
Dari kondisi keseimbangan :  H=0

c (b  bw)(c  hfl ) 2
Ap.fp + As.fs = b.fct + AS1fs1 (5-2)
2 2c
Dan dari  M=0

Ap.fp(dp- x ) + As.fs(ds- x ) = M (5-3)


Dimana :

1  bc 3  (b  bw)(c  hfl ) 2 (c  2hfl )  As' (c  ds' )ds' 


x   (5-4)
3 bc 2  (b  bw)(c  hfl ) 2  2 As' (c  ds' ) 
Dari hubungan tegangan regangan linier dan keselarasan regangan
diperoleh :
fct
ct  (5-5)
Ec
fs' fct (c  ds' )
s' =  (5-6)
Es Ec.c
fs
s = = -fct(ds – cEc.c) (5-7)
Es
 dp  c 
ps = se + c + -fctEc   (5-8)
 c 
Es  ds  c 
fs = fct   (5-9)
Ec  c 
Ep  db  c 
fps = Eps.ps = Eps (se + ce) + fct   (5-10)
Ec  c 
Manipulasi dari persamaan-persamaan diatas, yaitu persamaan (5-2)
hingga persamaan (5-10) diperoleh persamaan pangkat tiga dalam
c, yaitu letak sumbu netral :
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 35
 Ap.Ep  3  Ap.Ep  2
 3M ( se   ce )bw  c  bw  M ( se   ce )bw  c 
   

 2 As.Es 2 As.' Es' 2 Ap.Ep Ap.Ep 


2(b  bw)hfl  Ec  Ec  Ec  Ec ( se   ce )
 

 2 As.Es 2 As' Es' 


2(b  bw)hfl.dp  (b  bw)hfl  (ds  dp)  (ds'  dp
2

 Ec Ec 

 2
- (b  bw)hfl 2  ( As.Es.ds  As' Es ' ds'  Ap.Ep.dp)
 Ec
Aps.Eps 2 2 As.Es
+ ( se   ce )  (b  bw)hfl 3  (ds  dp)ds
M 3 Ec

2 2 As.Es 
+ (b  bw)hfl 3  (ds  dp)ds = 0 (5-11)
3 Ec 
Karena penampang dan sifat material telah diketahui, maka harga c
tergantung pada besarnya M. Jadi untuk mengevaluasi pengaruh
besaran M  Mcr, persamaan diatas bentuknya dapat disederhanakan :
1  2  2  4   6 
c 3   bw  c    3  c    5  0
M  M  M  M
Setelah harga c dapat dihitung, maka tegangan-tegangan pada beton
dan baja dapat dihitung.
 Tegangan pada beton :
Aps.Epsse  se
fct= …(5-12)
2
 b  bw   2
 Ap.Ep
bc     c  hfl   dp  c  As.Es
ds  c  As' Es'
(ds'  c)
 2   Ec Ec Ec
 Tegangan pada baja pratekan :
Eps  dp  c 
tps = Eps ce  se  fct   (5-13)
Ec  c 
 Tegangan pada baja lunak :
Tulangan tarik :

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 36


Es  ds  c 
fs = fct   (5-14)
Ec  c 
Tulangan tekan :
Es  ds'c 
fs' = fct   (5-15)
Ec  c 
5.2.3. Penampang Sesudah Retak Pada Beban Batas
Untuk menghitung momen batas asumsinya sama seperti pada beban kerja,
kecuali diagram tegangan beton pada penampang dianggap blok-
stress.

 H=0 (5-16)

T=C (5-17)
T = Ap.fps + As.fy (5-18)
C = 0,85 fc' . b.a + As'. fs' (5-19)
 p  fpu d 
Fps = fpu 1   p  (   '  (5-20)
 1  fc' dp 
(lihat SKSNI persamaan 3.11-3)
Dengan ini persamaan garis netral dapat dihitung berarti :
Mn = T x Z (5-21)
Z = lengan momen dalam, dapat dihitung setelah letak garis netral
diketahui
Sebagai control, bahwa balok dapat dipakai
Mu <  Mn (5-22)
5.3. Desain Lentur (NAAMAN)
Untuk menghitung luas tulangan Ap dan As, urut-urutannya sebagai
berikut :
1. Menghitung PPR (rasio pratekan parsiil)
1,4M D
PPR = (5-23)
1,4 M D  1,7 M L

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 37


2. Menentukan “d”
d = dp (PPR) + ds (1 – PPR) (5-24)
3. Menghitung 
Mu
 (1 – 0,59  ) = (5-25)
 b d 2 fc'
Dari perumusan ACI (sebetulnya bisa diambil juga dari SKSNI) fps
dapat dihitung.
4. Fu =  .b.d.fc' (PPR) (5-26)
5. Menentukan Ap

b.dp. fc'  2 Fu 
Ap = 1  1   (5-27)
fpu  b.dp. fc' 

Atau kalau dinyatakan dalam MU


Mu
Ap = PPR (5-28)
 .d . fps(1  0,59 )
6. Menghitung As
Ap. fps(1  PPR )
As = (5-29)
PPR . fy
Dari perhitungan awal Ap dan As didapat, balok yang sudah ada ini
kemudian dikontrol serviceabilitynya : control tegangan, lendutan dan
retak, kalau semua persyaratan memenuhi, desain dapat dilanjutkan.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 38


VI. BETON PRATEKAN YANG MENGALAMI
PENGOLAHAN DENGAN PANAS

6.1. Umum
Mengingat kebutuhan pasar yang selalu menghendaki pekerjaan serba
cepat, pemakaian panas (traitment thermique/heat traitment) dalam
mempercepat pengerasan beton (misalnya dengan metode steam curing)
merupakan salah satu cara pelaksanaan konstruksi yang dianggap dapat
memberi harapan terutama pada elemen beton pratekan pracetak.
Pemakaian methode ini dalam praktek membawa beberapa konsekwensi:
a. Merubah besaran yang dipakai dalam perhitungan seperti tegangan
beton pada umur 28 hari, susut dan rangkak (creep)
b. Merubah estimasi kehilangan pratekan akibat adanya kenaikan
temperatur
Dibawah ini (gambar 3-1) merupakan sebuah skema suatu roses
kenaikan temperatur pada pengolahan pengerasan memakai panas
(heat treatment)

Gambar 6-1 Skema Perubahan Temperatur Dalam Sebuah Proses


Steam Curing Tmax Disarankan Berkisar 60 S/D 800C

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 39


6.2. Tegangan Tekan Beton
Sebuah hasil penelitian menunjukan bahwa akibatnya adanya panas
dapat berpengaruh pada kekuatan tekan beton baik kecepatan
mengerasnya (lebih cepat) ataupun kekuatan akhirnya (gambar 3-2)

Gambar 6-2 Kenaikan Tegangan Tekan Beton Pada Berbagai Temperatur


Untuk Beton Dengan Semen 350 Kg/M3 Dari Jenis CPA 400 Dengan
Faktor Air Semen W/C = 0,5.

Dari gambar tampak bahwa untuk temperatur diatas 800C hasilnya tidak
menguntungkan. Untuk temperatur maximum (Tmax) dibawah 800C
makin besar T maximumnya makin cepat kenaikan tegangan betonnya.
Pada waktu jangka panjang pengaruh kenaikan temperatur ini bersifat
tidak menguntungkan karena dapat menurunkan kekuatannya, seperti
terlihat dalam table 3-1 dibawah ini.
Table 6-1 :
Penurunan kekuatan akhir (  fc) beton akibat pengaruh dari
Kecepatan kenaikan temperatur dan besarnya Tmaximum
Temperatur maximum Kecepatan naiknya Pengurangan tegangan
temperatur akhir beton
0
Tmax = 70 C 0
VT = 10 C/jam  fc = ± 10%
VT = 300C/jam  fc = ± 20%
0
Tmax = 90 C 0
VT = 10 C/jam  fc = ± 20%
VT = 300C/jam  fc = ± 33%

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 40


Secara umum pada beton yang mengalami pengolahan panas secara standard
(600 C < Tmax < 800C), dan dengan kecepatan kenaikan temperature VT =
100C/jam menurut BPEL 1991 penurunan tegangan pada 28 hari dapat
diambil sekitar  Fc = 10%.
6.3.Perubahan Bentuk Beton Atas Fungsi Waktu (susut dan rangkak)
Karena adanya kenaikan temperature maka diadakan koreksi umum :
teb = tpa. 1,08 Tmax  20 (6-1)
dimana : teb = umur equivalent beton
tpa = waktu rata-rata isothermik pada temperatur Tmax
Apabila curva kenaikan temperaturnya seperti gambar 3-3, maka :

 T (t )  20dt
1 tf
tpa = (6-2)
T max 20 0

dengan tf = umur beton pada saat mana dia kembali ke temperatur


sekelilingnya (dalam rumus ini 200C)

Gambar: 6.3. Siklus Temperatur Dalam Suatu Proses Heat


Treatment
6.3.1. Susut
 Rumus susut beton tanpa traitment :
r(to, t) = r{r(t) – r(to)]
t
dengan : r(t) = (6-3)
t  9 rm

r = ks.0

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 41


1 As
ks = dengan  s =
1  20 s Ac
0 = 60.10-6 bila komponen direndam air
 80   6
0 (100 – Rh) 6  10
 10  3rm 
Rh = relative kumodity
rm = jari-jari rata-rata komponen yang ditinjau (dalam cm)
 Rumus susut beton dengan traitment thermik (dengan anggapan
apabila t < tf, susut dianggap nol)
r(t', t") = r[r(t" + teb) – r(t' + teb)] (6-4)
6.3.2. Rangkak
 Rumus rangkak beton tanpa traitment :
fe(t) = tclKfe(t1)f(t-t1) (6-5)
(penjelasan perumusan secara lengkap dapat dilihat langsung pada
BPEL 1991 Annexe 1)
 Rumus rangkak beton dengan traitment identik seperti pada susut
hanya perlu koreksi umur “teb”
fe(t) = tclKfe(t + teb) f (t – t1) (6.-6)
6.4.Kehilangan Pratekan Oleh Relaksasi Akibat Adanya Traitment
Thermique
Dalam hal ini ada dua unsur sumber penyebab kehilangan :
 Akibat relaksasi dalam temperatur Tmaximum
 Akibat phenomena dilatasi
6.4.1. Relaksasi
Umumnya halnya dijumpai dalam pratekan metode pra-tarik, seperti
tampak dalam skema digambar 6-4.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 42


Gambar 6-4 : Skema Kehilangan Pratekan Oleh Relaksasi

 Rumus untuk beton tanpa traitment :


3
1  
 t 4 10  7,5
∆p(x, t) = k1 1000   .e pmt(x) (6-7)
 1000  2
 Rumus untuk beton dengan traitment thermique
t diganti dengan tep = tpa . 1,14Tmax -20 (6-8)
6.4.2. Phenomena Dilatasi
∆ Tmax = Ep.b (Tmax – To) (1 - ) (6-9)
dengan
Ep = modulus Elastisitas baja prategang
b = coefisient dilatasi baja prategang
Tmax = temperatur maximum yang mengintari baja prategang
To = temperatur initial saat jacking

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 43


 = suatu koefisien sehubungan dengan proses ada percobaan
dapat diambil  = 0,1, hal ini diambil pada keadaan traitment
yang paling tidak menguntungkan.
Harga  harus selalu lebih kecil 0,5 (  0,5)
6.5. Pemakaian
Dari pengaruh adanya traitment termik maka besaran-besaran yang
biasanya dipakai dalam perhitungan berubah. Setelah dilakukannya
koreksi umur pada beton (teb) maupun pada baja (tep) proses selanjutnya
dapat dikerjakan seperti halnya pada beton tanpa traitment.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 44


VII. HASIL PEMBEBANAN BALOK PRATEKAN SEGMENTAL

7.1. Pendahuluan
Sebuah pengalaman di beton pratekan dalam praktek kiranya pada
tulisan ini disajikan hasil test sebuah balok beton pratekan pracetak
segmental methode pasca tarik yang sempat dilakukan oleh
Laboratorium Struktural Jurusan Teknik Sipil FTSP-ITS tepatnya pada
tanggal 07 Oktober 1992, untuk projeck jembatan Fly-over Kali
Krembangan jalan tol SURABAYA – GRESIK.
Tujuan : Mengetahui keadaan balok pada saat beban kerja.
Pemilik balok : PT. WIJAYA KARYA
Pemilik Projek: PT. TIRTO BUMI
Konsultan : PT. BUANA ARSIKON
7.2. Data Balok
Data balok yang dites diberikan oleh PT. WIKA. Adapun data-data
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Skema ukuran balok

Gambar: 7.1. Skema ukuran balok


2. Material
 Beton
Komponen pracetak K-500
 Kondisi awal : ci = 182,6 kg/cm2
 Kondisi akhir : c = 166 kg/cm2
 Modulus Elastisitas beton : Ec = 3,0789 x 105 kg/cm2
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 45
 Kabel pratekan (uncoated stress relieve seven wires) strand 270
ASTM A.416
 Diameter ()  ½"
 Luas penampang effective = 0,987 cm2
 Modulus Elastisitas baja pratekan Ep = 1,95 x 106 kg/ cm2
 Ultimate tensil strength = 19.000 kg/cm2
3. Curva garis berat tendon (cgs)
Berbentuk parabola
4. Gaya pratekan
Fo = 275 ton (kondisi jacking)
Fe = 240,9 ton (kondisi beban kerja)
7.3. Pembahasan
1. Skema pembebanan dan titik-titik pengukuran.
Gambar 7-2, menunjukkan skema titik pembebanan dan titik-titik
pengukuran (alat ukur dial gauge). Gambar 7-2, menunjukkan skema
titik pembebanan dan titik-titik

Gambar: 7.2. Skema Pembebanan Balok Dan Letak Titik-


Titik Pengukuran Lendutan

2. Beban Kerja
Sesuai data lengkap dari balok, beban kerja (diluar berat sendiri dan
berat alat pembebanan) di dapat P = 33,4 ton

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 46


3. Tahapan Pembebanan
Untuk memperoleh data maximal, pada setiap pembebanan dicatat
besarnya beban serta lendutannya. Tahapan pembebanan diberikan
secara progressive dengan kenaikan beban setiap 3 (tiga) ton.
4. Pencatatan
Pencatatan lendutan (penurunan) yang dibuat pada setiap
pembebanan dilakukan pada saat 2 menit setelah beban mencapai
tahapannya. Hal ini diperlukan untuk memberi kesempatan pada
balok agar mempunyai perubahan bentuk yang cukup stabil.
Pada saat beban mencapai puncak, dimana P = 33,4 ton, untuk
meyakinkan observasi keadaan balok saat itu, maka beban ditahan
selama 1 jam. Sementara itu lendutan terus dicatat pada setiap 10
menit, untuk mengetahui perkembangan balok selama beban puncak
tersebut.
5. Alat Pembeban
Untuk memperoleh beban digunakan load cell seperti layaknya pada
load test untuk tiang pancang.
Data alat :
Merk : Soiltest, inc. Evanston, ill, USA DR-725 GM
Kapasitas : 180.000 kilogram
Ketelitian : 300 KGS/DIV
6. Alat ukur lendutan
Untuk mengukur lendutan dipakai dial gauge. Ketelitian pembacaan
mencapai 0,01 mm. Kapasitas maksimal 30 mm.
7.4. Hasil Percobaan
1. Lendutan Balok
Dari hasil pengamatan setelah dirata-rata (DG-1 dan DG-3,
diseperempat bentang, serta DG-2a dan DG 2b di tengah bentang)

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 47


diperoleh curva hubungan antara beban P dan lendutan seperti
tampak dalam gambar 4-3 dan 4-4.
Dalam gambar tersebut sekaligus juga ditampilkan prediksi teoritis
dari lendutan, tampak bahwa hasil lendutannya hasilnya lebih kecil.
Hal ini secara logika dapat dijelaskan karena data-data bahan yang
dipakai dalam teori adalah data krakteristik, yang tentunya sedikit
dibawah nilai sebenarnya pada balok (renungkan pengertian
karakteristik). Perlu dicatat bahwa perhitungan lendutan dikerjakan
dengan teori elastis (balok belum retak).
2. Penampilan (performance) balok
Selama pembebanan penampilan balok diamati secara visual. Dari
pengamatan ini dapat dikatakan tidak dijumpai hal-hal yang
meragukan terhadap penampilan balok untuk beban yang diberikan
(beban kerja).
Mengingat umur balok saat dibebani dapat disimpulkan bahwa gaya
pratekan yang terjadi sesungguhnya diantara Fo dan Fe.
Fe < Ft < Fo
Ft = besarnya gaya pratekan saat pembebanan

Gambar: 7.3. Perbandingan Antara Lendutan Teoritis Dengan Hasil


Pengamatan Di Perempat Bentang

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 48


Balok Beton Pratekan Segmental Pada Setengah Bentang

Gambar: 7.4. Perbandingan Antara Lendutan Teoritis Dengan Hasil


Pengamatan Di Tengah Bentang
Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam analisa tegangan, kedua gaya
pratekan ekstrem coba dipakai (Fo & Fe). Rumus yang dipakai adalah rumus
dasar yang sudah banyak dikenal :
Ft Ft .e M D  P
Fet,b =  
A Wt , b Wt , b

 Tegangan beton bila Ft = Fo

Gambar: 7.5. Diagram Tegangan Beton Di Tengah Bentang Balok


Dengan Ft = Fo = 275 Ton
 Tegangan beton bila Ft = Fe

Gambar: 7.6. Diagram Tegangan Beton Di Tengah Bentang Balok


Dengan Ft – Fe = 240,9 Ton

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 49


Keterangan :
Diagram tengangan diperoleh :
(1) F/A (4) MP/W
(2) F.e/W (5) 1 + 2 + 3
(3) MD/W (6) 1 + 2 + 3 + 4 (setelah P berkerja)
Dari analisa tegangan tersebut diatas dapat dilihat bahwa sesungguhnya
di serat bahwa balok sudah terjadi tegangan tarik antara 16,33 kg/cm2
sampai 40,29 kg/cm2 (16,33 < fct < 40,29).
Dari pengamatan yang dilakukan dengan keadaan tegangan tersebut
secara visual belum dijumpai adanya retak lentur pada sisi yang
tertarik. Sekedar pembanding untuk K500 (ft 0,83*50), modulus of

rupture beton menurut SKSNI T15-03 fr = 0,7 fc 1 = 45,09 kg/cm2


sesungguhnya memang belum dilampaui. Jadi logis belum retak.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 50


VIII. PERENCANAAN BALOK BETON PRATEKAN PARSIAL

8.1. Perencanaan Balok Prategang


8.1.1. Tegangan Ijin Beton Prategang
Sebelum menetukan gaya awal pretegang yang terjadi harus terlebih
dahulu dihitung tegangan ijin pada balok prategang baik tegangan ijin
beton maupun tegangan ijin baja sesuai SNI 03-2847-2002 pasal 20.4.
Adapun data perancangan dan perhitungan tegangan ijin balok
prategang adalah sebagai berikut :
Mutu beton (fc’) = 37 Mpa
fci (curing 14 hari) = 0,88 x 37 = 32,56 Mpa
1. Tegangan ijin beton sesaat setelah penyaluran gaya prategang (saat
jacking).
Menurut SNI 03-2847-2002 Ps 20.4.1 (1)
Tegangan Tekan : σci = 0,6 x fci …… (8.2)
σci = 0,6 x 32,56 = 19,536 Mpa
Menurut SNI 03-2847-2002 Ps 20.4.1 (2)
Tegangan Tarik : σti = 0,25 x √𝑓𝑐𝑖 …... (8.3)

σti = 0,25 x √32,56 = 1,427 Mpa


2. Tegangan ijin beton sesaat sesudah kehilangan prategang (saat
beban bekerja).
Menurut SNI 03-2847-2002 Ps 20.4.2 (1)
Tegangan Tekan : σc = 0,45 x fc .... (8.4)
σc = 0,45 x 37 = 16,65 Mpa
- Menurut SNI 03-2847-2002 Ps 20.4.2 (3)
Tegangan Tarik : σt = 0,5 x √𝑓𝑐 ….... (8.5)
σt = 0,5 x √37 = 3,041 Mpa

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 51


8.1.2. Dimensi penampang
Perhitungan mengenai dimensi penampang juga diperlukan sebelum
melakukan analisa gaya awal prategang yang terjadi. Pada analisa
dimensi penampang selain menghitung penampang sesudah komposit
juga memperhitungkan letak kern pada balok yang hendak digunakan
untuk desain tata letak tendon.
Data dan perancangan :
- Dimensi balok pratekan 40 / 60 cm
- Bw = 40 cm dan h = 60 cm dengan tebal pelat = 12 cm
- Panjang balok prategang 1500 cm
- d’ (jarak serat terluar tarik hingga titik berat tendon) = 7,5 cm
(Sesuai SNI 03-2847-2002)
Perhitungan lebar efektif :
1 1
- be1 = 4 L = 4 1500 = 375 cm

- be2 = bw + 8t = 40 + (8 x 12) = 136 cm


1 1
- be2 = 2 (Lb - bw) = 2 (1500 - 40) = 725 cm

Digunakan nilai be terkecil dari nilai-nilai di atas sehingga digunakan be


= 136 cm. Berdasarkan SNI 03-2847-2002 Ps. 10.5.1 maka nilai
modulus elastisitas beton untuk masing-masing pelat dan balok adalah
sebagai berikut.
Ecbalok = 4700 x √𝑓𝑐 = 4700 x √37 = 28588,98 Mpa

Ecpelat = 4700 x √𝑓𝑐 = 4700 x √37 = 28588,98 Mpa


𝐸𝑐𝑏𝑎𝑙𝑜𝑘 28588,98
n= = =1
𝐸𝑐𝑝𝑒𝑙𝑎𝑡 28588,98

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 52


be = 1360 mm

120 mm
Yt
dt
cgc

dp
600 mm garis netral galok

480 mm
Yb

d'

bw = 400 mm

Gambar: 8.1. Penampang Balok Pratekan


Dari gambar 4.22 dapat dilihat tebal pelat (t) adalah 120 mm atau 12 cm
dengan jarak garis berat pelat terhadap cgc adalah dt dan jarak garis
netral balok terhadap yp sebesar dp sedangkan yt adalah garis netral
penampang balok pratekan secara keselururuhan dari serat atas pelat.
Untuk mendapatkan besarnya yt perlu diketahui luas penampang balok
dan pelat secara total dan pealt secara total.
Luas penampang balok pratekan didapat sebagai berikut :
𝑏𝑒 𝑥 𝑡 136 𝑥 12
Apelat = = = 1632 cm2
𝑛 1

Abalok = bw x (h-t) = 40 x (60-12) = 1920 cm2 +


Atotal = 3552 cm2
Nilai statis momen garis netral penampang balok sebagai berikut :
ℎ 60
c=2+t= + 12 = 42 cm
2

 t 
 Apelat x 2    Abalok xc  [(1632 𝑥 12)+(1920 𝑥 42)]
yt =
   = 2
= 20,46 cm
Atotal 3552

yb = 60 – 20,46 = 39,54 cm
𝑡 12
dt = yt - 2 = 20,46 - = 14,46 cm
2
ℎ−𝑡 60−12
dp = yb - = 39,54 - = 15,54 cm
2 2

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 53


Setelah didapat data-data diatas diperlukan nilai batasan letak kabel
tendon hendak dipasang yang disebut sebagai daerah limit kabel.
Tendon dipasang pada daerah yang menyebabkan beton menjadi
tertekan dimana daerah tersebut dibatasi oleh nilai dan wilayah pada
penampang balok. Dimana :
𝑊𝑏 𝑊𝑡
Kt = 𝐴 dan Kb = 𝐴 dengan nilai
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙

𝐼𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡 𝐼𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡
Wt = dan Wb =
𝑦𝑡 𝑦𝑏

Keterangan :
Kt = Kern Atas
Kb = Kern Bawah
I = Momen Inertia
Nilai I komposit didapat sebagai berikut :
1 1 𝑏𝑒 3
I = 12 𝑏ℎ3 + (𝐴𝑏𝑎𝑙𝑜𝑘 𝑥 dp2) + 12 t + Apelat x dt2
𝑛
1 1 136
= 12 x 40 x (60-12)3 + (1920 x 15,542) + 12 x x123 + 1632 x
1

14,462
= 1193125,363 cm4
𝐼𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡 1193125,363
Wt = = = 58315,02 cm3
𝑦𝑡 20,46
𝐼𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡 1193125,363
Wb = = = 30175,15 cm3
𝑦𝑏 39,54
𝑊𝐵 30175,15
Kt = 𝐴 = = 8,5 cm
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 3552
𝑊𝑇 58315,02
Kb = 𝐴 = = 16,42 cm
𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 3552

8.1.3. Mencari Momen Akibat Berat Sendiri dan Komposit


1. Akibat Berat Sebelum Komposit
Beban yang terjadi pada saat sebelum komposit adalah berupa
berat sendiri balok sebagai beban terbagi rata. Momen yang
terjadi akibat berat sendiri sebelum komposit diasumsikan
sebagai momen pada perletakan sendi-sendi karena balok beton
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 54
pratekan dibuat terlebih dahulu, sebelum ada beban dari kolom
diatas balok pratekan (kolom monolit dibuat setelah balok
pratekan selesai dibuat pada saat setelah komposit).

Gambar: 8.2. Momen Sebelum Komposit


Gambar 4.23 menunjukan permodelan yang digunakan untuk
menghitung momen akibat berat sendiri balok pratekan sebelum
komposit dengan asumsi perletakan sendi-sendi. Didapatkan
bilai beban merata akibat berat sendiri sebesar : Atotal x ɤbeton =
0,3552 x 2400 = 852,48 kg/m, sehingga momen akibat berat
sendiri sebelum komposit MG = 23976 kgm.
2 Akibat Beban Mati dan Hidup Setelah Komposit
Sedangkan beban-beban setelah komposit terdiri dari berat
sendiri balok, berat sendiri pelat ditambah komponen-komponen
yang berada diatas pelat (pelat lantai karena letak balok prestress
berada pada lantai 6), selain itu terdapat pula beban akibat reaksi
perletakan pada salah satu sisi balok prestress yang
direncanankan. Beban hidup yang bekerja dihitung sebesar 100
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 55
kg/m2 pada tiap luasan pelat yang mampu menampung beban
hidup yang terjadi karena ruangan dipakai untuk ruangan
meeting. Sehingga didapat momen sebagai berikut.

Gambar: 8.3. Momen Setelah Komposit


Dari hasil SAP 2000 V.14 dengan kombinasi pembebanan 1D + 1L
didapat momen pada balok prestress setelah komposit seperti pada
Gambar 4.24 dimana terdapat momen negatif pada ujung-ujung
tumpuan dan momen positif pada tengah bentang. Pada ujung
tumpuan besarnya momen negatif yang terjadi adalah sebesar -
26803,84 kgm sedangkan pada daerah lapangan (l = 7,5 m) terdapat
momen positif sebesar 39326,84 kgm.
8.1.4. Penentuan Daerah Limit Kabel Dan Gaya Awal Prategang
Setelah didapat momen sebelum dan sesudah komposit, momen
tersebut digunakan untuk mendesain gaya prategang awal yang
hendak direncanakan. Momen yang digunakan untuk mendesain gaya
awal prategang yang terjadi diambil dari momen setelah komposit.
Pemilihan momen setelah beban komposit bekerja dipilih momen
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 56
tengah bentang. Pada gambar 4.24 dapat dilihat bahwa selisih momen
tumpuan dan lapangan lebih dari 10%, sehingga diambil nilai momen
tengah bentang untuk batasan desain pendahuluan.
1. Desain Pendahuluan
Desain pendahuluan dilakukan untuk mengetahui batasan dari nilai
gaya prategang yang hendak digunakan. Desain ini dihitung sesuai
desain pendahuluan (Lin and Burn 1996 subbab 6-1). Momen yang
digunakan dipilih momen lapangan dengan kombinasi beban 1D + 1L
sehingga didapat besar momen untuk desain pendahuluan sebesar
39326.43 kgm. Maka gaya prategang didapat sebagai berikut:
𝑀 𝑇 39326.43
F = 0,65ℎ = 0,65 𝑥 0,6 = 100837 kg

Dicoba F = 100837 kg
Dari gaya prategang F diatas, akan ditambahkan gaya prategang
sebesar 20%, dikarenakan asumsi kehilangan prategang sebesar 20 %.
Jadi Fi = 100837 / 0,8 = 126046,25 kg
2. Daerah Limit Kabel
Daerah limit kabel selain dibatasi oleh kern pada balok juga dibatasi
oleh nilai amin dan amax yang didapat dari perhitungan berikut :
𝑀𝑇 39326.43
amax = = = 0,39 m = 39 cm
𝐹𝑒 100837

syarat: amax ≤ (yb + KT – d’) = 39,54 + 8,5 – 7,5 = 40,54 cm


39 cm ≤ 40,54 cm …………ok
𝑀𝐺 23976
amin = = 150000 = 0,1598 m = 15,98 cm
𝐹𝑜

Nilai perhitungan analisa diatas dapat dilihat pada gambar 4.25


mengenai batasan daerah dimana letak kabel dapat atau boleh
ditempatkan.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 57


yt
cgc kt
amax kb h
yb
amin
Gambar: 8.4. Daerah Limit Kabel
Pemilihan letak tendon harus berada pada range daerah limit kabel
sesuai pada gambar 8-4 skema diatas, selain itu pemilihan letak
tendon juga harus diperhatikan tebal decking yang disyaratkan oleh
SNI yaitu minimal 7.5 cm sehingga untuk daerah lapangan:
amax – KT < eo lapangan < KB + amin – selisih syarat
Dimana selisih syarat didapat dengan nilai:
amin – (syarat amin) dengan (syarat amin) sebesar (yB – KB – d’) agar
terpenuhi syarat minimum decking sebesar 7,5 cm,
jadi selisih syarat : 15,98 – (39,54 – 16,42 – 7,5) = 0,36 cm
sehingga : amax – KT < eo lapangan < KB + amin – selisih syarat
30,5 < 31 < 32,04
Diambil eo lapangan = 310 mm (terletak di bawah cgc)
eo tumpuan < KT = 8,5 cm sehingga diambil eo tumpuan = 8 cm
(diatas cgc).
8.1.5. Kontrol Tegangan
Tegangan pada setiap tahap pelaksanaan harus dicek dahulu agar
memenuhi syarat tegangan ijin tarik maupun tekan, yang terjadi pada
saat beban segera setelah peralihan ataupun pada saat beban segera
setelah peralihan atau pada saat beban kerja sudah bekerja ditambah
dengan beban-beban mati tembahan lainnya (tegangan ijin sesaat
setelah penyaluran gaya prategang dan setelah kehilangan prategang).
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 58
Pengecekan ini dilakukan untuk mengetahui apakah tendon yang
terpasang memiliki tegangan yang sesuai dengan kapasitas tegangan
ijin beton dalam memikul momen yang terjadi.
Sebelum pengecekan dilakukan, maka momen-momen yang terjadi
pada setiap tahapan harus dihitung terlebih dahulu. Perhitungan
momen-momen yang bekerja pada balok pratekan adalah sebagai
berikut:
1. Momen Akibat Berat Sendiri Balok (sebelum beban hidup
bekerja).
MG = 23976 kgm
2. Momen Setelah Beban Hidup dan Mati Tambahan Bekerja.
Beban mati tambahan yang bekerja pada saat ini berupa berat sendiri
pelat setelah di cor dan berat mati tambahan di atas pelat serta beban
hidup yang bekerja didapat dari hasil SAP 2000 V.14 seperti pada
subbab 4.2.3.2 didapat momen MT pada tumpuan adalah -26803,84
kgm sedangkan momen ML pada daerah lapangan (l = 7,5 m) terdapat
momen positif sebesar 39326,43 kgm.
Sehingga kontrol tegangan dapat dilakukan sebagai berikut:
a). Kontrol Tegangan Saat Gaya Prategang Awal
Kontrol tegangan saat sebelum komposit saat penyaluran gaya
prategang bekerja beban hanya berupa berat sendiri balok sehingga
momen yang digunakan berupa MG dengan gambar momen sesuai
dengan gambar 8-2 sehingga tegangan yang dicek hanya tegangan
yang terjadi pada daerah lapangan balok.
(i) Serat Atas (serat atas tertarik akibat F dan MG)
𝐹𝑖 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑀
σti ≥ - + - 𝑊𝐺
𝐴 𝑊𝑇 𝑇

126 150 𝑥 0,31 23,976


1,427 Mpa ≥ - 0,3552 + 58315,02 𝑥 10−6 - 58315,02 𝑥 10−6

1,427 Mpa ≥ - 350,73 + 797,4 – 411,15

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 59


1,427 N/mm2 ≥ - 31,52 t/m2 = - 0,3152 N/mm2 ……..ok!
(ii) Serat Bawah (tertekan akibat F dan MG)
𝐹𝑖 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑀
σci ≤ - - + 𝑊𝐺
𝐴 𝑊𝐵 𝐵

121 150 𝑥 0,31 23,976


-19,536 Mpa ≤ - 0,3552 - 30175,15 𝑥 10−6 + 30175,15 𝑥 10−6

-19,536 Mpa ≤ - 350,73 – 1541 + 794,56


-19,536 Mpa ≤ - 1097,17 t/m2 = - 10,97 N/mm2 ……..ok!
b). Kontrol Tegangan Saat Beban Tambahan Bekerja (sesudah
komposit)
Kontrol tegangan (sesudah komposit) setelah beban lain tambahan
berupa berat mati pelat, balok anak, berat mati tambahan lainnya
ditambah dengan beban hidup bekerja terjadi momen seperti pada
gambar 4.24 dimana terdapat momen negatif pada tumpuan sebesar –
26803,84 kgm dan 39326,43 kgm pada daerah lapangan sehingga
pengecekan kontrol tegangan dilakukan pada daerah tumpuan dengan
eksentrisitas 80 mm dan daerah lapangan dengan eksentrisitas 310
mm dari cgc.
b).1. Pada Daerah Lapangan
(i) Serat Atas (serat atas tertekan akibat F dan MT)
𝐹𝑖 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑀
σc ≤ - + - 𝑊𝐿
𝐴 𝑊𝑇 𝑇

100,837 100,837 𝑥 0,31 39,326


-16,65 Mpa ≤ - + 58315,02 𝑥 10−6 - 58315,02 𝑥 10−6
0,3552

-16,65 Mpa ≤ - 283,89 + 536,04 – 674,37


-16,65 Mpa ≤ - 422,22 t/m2 = - 4,2 Mpa ………ok!
(ii) Serat Bawah (tartarik akibat F dan MG)
𝐹𝑖 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑀
σt ≥ - - + 𝑊𝐿
𝐴 𝑊𝐵 𝐵

100,837 100,837 x 0,31 39,326


3,041 Mpa ≥ - - 30175,15 𝑥 10−6 + 30175,15 𝑥 10−6
0,3552

3,041 Mpa ≥ - 283,89 – 1035,93 + 1303,26


3,041 Mpa ≥ - 16,56 t/m2 = - 0,17 Mpa ……..ok!
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 60
b).2. Pada Daerah Tumpuan
Kontrol tegangan pada daerah di tumpuan untuk batas tarik
diperbolehkan melebihi tegangan ijin tarik yang terjadi pada
daerah tumpuan karena pada daerah tumpuan akan diberikan
tulangan lunak tarik dan tekan untuk menanggulangi kebutuhan
tegangan tarik dan untuk memikul 25% beban gempa yang
terjadi secara bolak balik.
Tegangan tarik untuk daerah tumpuan yang terjadi akibat beban
setelah komposit adalah sebagai berikut:
(i) Serat Atas Tarik
𝐹𝑖 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑀
σt ≥ - - + 𝑊𝑇
𝐴 𝑊𝑇 𝑇

100,837 100,837 𝑥 0,08 26,8


3,041 Mpa ≥ - - 58315,02 𝑥 10−6 + 58315,02 𝑥 10−6
0,3552

3,041 Mpa ≥ - 283,89 – 138,33 + 459,57


3,041 Mpa ≥ 37,35 t/m2 = 0,37 Mpa …….ok!
(ii) Serat Bawah Tertekan
𝐹𝑖 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑀
σc ≤ - + - 𝑊𝑇
𝐴 𝑊𝐵 𝐵

100,837 100,837 𝑥 0,08 26,8


-16,65 Mpa ≤ - + 30175,15 𝑥 10−6 - 30175,15 𝑥 10−6
0,3552

-16,65 Mpa ≤ - 283,89 + 267,34 – 888,15


-16,65 Mpa ≤ - 904,7 t/m2 = - 9,05 Mpa ……..ok!
Tegangan yang terjadi tersebut dapat digambarkan sebagai
berikut:

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 61


Gambar: 8.5. Diagram Tegangan Sebelum Komposit

Gambar: 8.6. Diagram Tegangan Setelah Komposit


Dimana :
a = tegangan akibat gaya prategang
b = tegangan akibat eksentrisitas
c = tegangan akibat beban yang terjadi
d = sisa tegangan yang terjadi
8.1.6. Penentuan Dimensi Tulangan Lunak
Kehancuran penampang dapat mulai pada baja atau beton dan dapat
berakhir pada salah satu atau lainnya. Ada situasi dimana baja
prategang dan tulangan biasa digunakan bersamaan pada balok
prategang. Pada kasus ini total baja tarik dipertimbangkan sepanjang

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 62


kemungkinan baja tekan. Perbandingan penulangan batas diberikan
sebagai berikut:
(ω + ωp – ω’) ≤ 0,30 ……..(8-6)
Jika perbandingan dari persamaan 4-6 melampaui 1, kehancuran
beton secara tiba-tiba tanpa terjadi pertambahan panjang baja yang
nyata. Jika nilainya kurang dari 0,1, putusnya kabel akan terjadi
mengikuti terjadinya retak-retak pada beton.
Dimana:
Tulangan baja tarik (As) dan tulangan baja tekan (A’s) dicoba
menggunakan diameter 22; As = 380,13 mm2, fy = 350 Mpa dan luas
area kawat tendon (Aps) = 143,3 mm2
dps = eT + yB = 80 + 395,4 = 475,4 mm,
d = 600 – 50 – 8 – 0,5 x 22 = 531 mm
 As   380,13 
  fy  350
 ω = ρfy / f’c =  b.d 
=  400.531 
= 0,018
f 'c 35
 ωp = ρpfps / f’c
dimana:
ρp = Aps / b x dps = 1289,7 /(400 x 475,4) = 0,00678
𝑓𝑝𝑢 1744,592
fps = fpu (1 − 0,5𝜌𝑝 𝑓′ 𝑐 ) = 1744,592 (1 − 0,5 𝑥 0,00678 x )=
35

1449,8 Mpa
Sehingga
0,00678 𝑥 1449,8
ωp = ρpfps / f’c ≤ 0,30 ωp = = 0,27 ≤ 0,30 … (OK)
37

 As   380,13 
  fy  350
 ω = ρ’fy / f’c dan ρ’ = A’s / bd =
′  b.d 
=  400.531 
= 0,018
f 'c 35
Menurut persamaan (ω + ωp – ω’) ≤ 0,30
(0,018 + 0,27 – 0,018) ≤ 0,30 0,27 ≤ 0,30 …(OK)
Sehingga tulangan lunak dengan diameter 22 dapat digunakan.
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 63
8.1.7. Penentuan Jumlah Strand
Dari gaya prategang yang telah ditentukan dengan tegangan sesuai
dengan tegangan ijin maka penentuan jumlah strand kabel dapat
dilakukan. Adapun data-data strand kabel diambil dari table VSL
sebagai berikut:
- Menggunakan data dari table VSL strand properties to AS-1311
untuk post tensioning.
- Termasuk jenis uncoated low relaxation strand.
- Nominal diameter digunakan sebesar 15,2 mm dengan luas nominal
area kawat 143,3 mm2.
- Minimal breaking load 250 KN.
Penggunaan kabel strand untuk tendon prategang diatur dalam SNI
03-2847-2002 pasal 20.5 tentang tegangan ijin untuk baja prategang
dimana tegangan akibat gaya pengangkuran tendon diambil nilai
terkecil antara 0,94fpy , 0,80fpu dan 0,7fpu dimana nilai fpu dan fpy dapat
dihitung sebagai berikut:
- fpu = minimum breaking load : luasan strand.
Minimum breaking load = 250kN = 250000 N sehingga
250000
fpu = = 1744,592 Mpa
143,3

- nilai fpy diambil 0,9 fpu untuk tendon low relaxation strand (Edward
Nawy jilid 1)
fpy = 0,9 x 1744,592 = 1570,1326 Mpa
Didapat tegangan ijin tendon:
(i) 0,94fpy = 0,94 x 1570,1326 = 1475,925 Mpa
(ii) 0,80fpu = 0,80 x 1744,592 = 1395,674 Mpa
(iii) 0,7fpu = 0,7 x 1744,592 = 1221,214 Mpa
Diambil nilai terkecil diantara keduanya yaitu 1221,214 Mpa = fst

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 64


Dengan nilai tegangan ijin tendon yang didapat, dapat dihitung
jumlah luasan strand yang dibutuhkan untuk menghasilkan gaya
prategang F = 126046,25 kg = 1260462,5 N yang diinginkan.
1260462,5
Aps = = 1032,14 mm2
1221,214
1032,14
n= = 7,2 buah ~ 9 buah
143,3

kontrol tegangan tendon terpasang


𝐹𝑖 1260462,5
< 0,7 fPU  < 0,7 x 1744,592
𝐴𝑝𝑠 9 𝑥 143,3

977,33 Mpa < 1221,214 Mpa … (OK)

9 D15
225 mm 153 mm

185 mm

Gambar: 8.7. Angker Dengan 9 Strand

Gambar: 8.8. Penampang Angker Tengah Bentang Dengan 9 Strand


Untuk data selebihnya diambil dari tabel freyssinet prestressing, sehingga
bisa dilihat di gambar dibawah ini:
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 65
Gambar: 8.9. Potongan Memanjang Angker
8.1.8. Pekerjaan Grouting
Grouting adalah proses pengisian rongga udara antara strand dengan
duct dan rongga pada bagian dalam casting dengan bahan grout.
Tujuannya adalah untuk menjaga bahaya korosi juga untuk mengikat
strand dengan beton disekelilingnya menjadi satu kesatuan.
Digunakan campuran semen dengan air dan ditambahkan non
shrinkage additives.
1. Ijin pelaksanaan grouting.
2. Persiapan material grouting diantaranya semen PC, air bersih dan
additive. Banyaknya material disesuaikan dengan komposisi yang
telah disetujui.
3. Persiapan lubang-lubang inlet dan outlet serta membersihkan jika
ada sumbatan pada lubang tersebut.
4. Air dimasukkan kedalam mixer, disusul semen PC dan additive
kemudian diaduk
hingga mencapai campuran yang homogen.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 66


5. Grout pump dihubungkan dengan lubang inlet dengan
menggunakan hose dan selang grouting.
6. Mortar grouting dipompa kedalam tendon melalui lubang inlet
hingga keluar melalui lubang outlet benar-benar kental lalu tutup
lubang tersebut beberapa saat.
7. Setelah tekanan pada manometer grout pump mencapai 5 Mpa,
tekuk PE grout pada lubang inlet dan ikat dengan kawat ikat
sehingga rapat
8. Setelah hasil grouting diterima maka strand pada stressing lenght
dapat dipotong setelah 12 jam
8.1.9. Kehilangan Prategang
1. Kehilangan Prategang Langsung
Kehilangan prategang langsung meliputi 4 hal, yaitu akibat
perpendekan elastis, akibat pengangkuran, akibat gesekan (Woble
efek) dan akibat kekangan kolom. Pada subbab ini keempat hal
tersebut akan dibahas lebih mendetail.
(1) Kehilangan Prategang Akibat Perpendekan Elastis
Akibat dari gaya jacking yang terjadi oleh tendon prategang maka
beton akan mengalami perpendekan elastis (karena tekanan gaya
prestress yang cukup besar), struktur balok akan memendek dan kabel
juga akan ikut mengalami perpendekan yang menyebabkan
berkurangnya gaya prategang awal. Namun pada konstruksi pasca
tarik dengan satu tendon saja kehilangan akibat elastisitas beton
sangatlah kecil dan cenderung diabaikan, karena penarikan kabel
hanya terjadi satu kali dan kehilangan akibat tarikan tendon terakhir.
Sehingga kehilangan prategang akibat perpendekan elastis tidak perlu
diperhitungkan.
(2) Kehilangan Akibat Gesekan

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 67


Besarnya nilai kehilangan akibat gesekan dapat dihitung sebagai
berikut:
Dimana:
FpF = gaya prategang setelah terjadi kehilangan akibat friction.
ΔfpF = besarnya gaya kehilangan prategang akibat friksi
Fi = gaya prategang awal
α = sudut kelengkungan
µ = koefisien friksi (gesekan)
K = koefisien wobble
L = panjang balok
Nilai sudut kelengkungan didapat dengan rumus sebagai berikut:
8𝑓
α= ..……..(8-7)
𝐿

dengan f adalah panjang fokus tendon (dari cgs)


8𝑓 8 𝑥 390
α= = = 0,208 rad
𝐿 15000

Sedangkan nilai K dan µ didapat dari Tabel 14 SNI 03-2847-2002


pasal 20.6.1 tentang friksi dan wobble efek, untuk kawat strand
dengan untaian 7 kawat didapat nilai K = 0,0016 – 0,0066 diambil K
= 0,0016 /m dan µ = 0,15 – 0,25 diambil µ = 0,15. Sehingga nilai F
kehilangan akibat friksi adalah sebagai berikut:
FpF = Fi x e-((µxα)+(KxL)) = 1260462,5 x e-((0,15x0,208)+(0,0016x15)) =
1192770,458 N = 1192,77 KN
ΔfpF = Fi – FpF = 1260462,5 – 1192770,458 = 67692,042 N = 67,7 KN
Jadi jumlah besarnya kehilangan prategang akibat gesekan adalah
sebesar 67,7 KN.
(3) Kehilangan Akibat Slip Angkur
Besarnya nilai kehilangan prategang akibat slip angkur dapat dihing
dengan perumusan berikut:

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 68


Dimana:
FpA = kehilangan gaya prategang akibat slib angkur
Aps = luas penampang tendon (dari subbab 4.3.3 didapat Aps=9 x
143,3 = 1289,7 mm2.
ΔfpA = jumlah kehilangan tegangan prategang akibat angkur.
fst =besarnya tegangan ijin baja tendon minimum yang disyaratkan
SNI 03-2002-2847.
α = sudut kelengkungan
µ = koefisien friksi = 0,15 rad
K = koefisien wobble = 0,0016 /m = 0,0000016 /mm.
L = panjang balok = 15000 mm
X = koefisien slip angkur berdasarkan bentuk profil tendon
(digunakan profil tendon parabola.

E ps .g L
X=  ………. (8.8)
 µ.  2
f st   K
 L 
Dimana:
Eps = 180000 hingga 205000 Mpa diambil 200000 Mpa
g = diasumsi 0,08 cm = 0,8 mm
Nilai tegangan ijin tendon diambil dari table VLS berdasarkan SNI
03-2002-2847 pasal 20.5 tegangan ijin baja tendon diambil nilai
minimum dari syarat pasal 20.5.1 hingga 20.5.3 sebagai berikut:
(i) fps = 0,94fpy
(ii) fps = 0,94fpu
(iii) fps = 0,7fpu
Dengan nilai fpu didapat dari gaya maksimum yang dapat dipikul oleh
strand tendon dibagi luasan strand dan fpy sebesar 0,9fpu untuk tendon
low relaxation.
250000
fpu = = 1744,592 Mpa
143,3
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 69
fpy = 0,9 x fpu = 0,9 x 1744,592 Mpa
sehingga fst dapat diambil nilai minimum dari niali-nilai berikut:
(i) fps = 0,94fpy = 0,94 x 1570,1326 = 1475,925 Mpa
(ii) fps = 0,94fpu = 0,8 x 1744,592 = 1395,674 Mpa
(iii) fps = 0,7fpu = 0,7 x 1744,592 = 1221,214 Mpa
dari ketiga nilai diatas diambil nilai minimum fst = 1221,214 Mpa didapat
nilai X sebesar :

(200000)(0,8) 15000
X= 
 0,15 x0,208  2
1221,214  0,0000016 
 15000 
= 5966,78 mm < 7500 mm ………..(OK)
µ 
fpA = 2 fst x  KxX
 L 
0,15 𝑥 0,208
fpA = 2 x 1221,214 x ( + 0,0000016) x 5966,78 = 53,63 Mpa
15000

Jadi besarnya kehilangan prategang akibat slip angkur adalah sebesar :


ΔfpA = fpA x Aps
ΔfpA = 53,63 x 1289,7 = 69166,9 N = 69,17 KN.
Kehilangan Akibat Kekangan Kolom
Besarnya nilai kehilangan akibat kekangan kolom didapat dari bantuan
analisa program santu SAP v.14 dengan memodelkan portal sederhana
dengan tendon seperti gambar 4.3 dengan kekakuan balok dan kolom
dalam menerima momen diasumsikan 0,7 dari kekakuan penuh. Beban
yang bekerja berupa beban sendiri balok karena saat jacking, beton
diasumsikan sebagai bahan elastis yang belum menerima beban mati
tambahan dan beban hidup. Kombinasi beban yang digunakan adalah 1D +
1pres dimana prees adalah besarnya gaya jacking pada tendon sebesar
126046,25 kg.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 70


Besarnya gaya prategang yang hilang dapat dihitung dari gaya yang
diberikan dikurangi gaya aksial balok yang terjadi setelah melakukan
run analisa program.

Gambar: 8.10. Hasil Analisa SAP Akibat Kekangan Kolom


Dari gambar diatas dapat dilihat gaya aksial yang terjadi setelah
running program
didapat sebesar 125651,02 kg sedangkan gaya prategang awal adalah
126046,25 kg, sehingga dapat diketahui bahwa besarnya kehilangan
gaya prategang akibat kekakuan kolom didapat sebesar.
ΔfpR = 126046,25 – 125651,02 = 395,23 kg = 3,95 KN
Total kehilangan prategang akibat proses kehilangan langsung dapat
dijumlahkan sebagai berikut:
ΔFH = FpF + FpA + FpR = 67,7 + 69,17 + 3,95 = 140,82 KN
Sisa gaya prategang setelah terjadi kehilangan langsung adalah
Fi = F - ΔFH = 1260,46 – 140,82 = 1119,64 KN

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 71


2 Kehilangan Prategang Tidak Langsung
Perhitungan untuk kehilangan prategang secara tak langsung dibagi
menjadi beberapa tahapan yaitu pada saat sesaat setelah gaya
peralihan yaitu 24 jam awal, tahap II dihitung saat beban tambahan
dan beban hidup bekerja yaitu pada 60 hari, tahap III dihitung saat
akhir umur rencana. Perhitungan dapat dilihat pada tiap – tiap tahapan
sebagai berikut :
TAHAP I
Pada tahap ini karena sesaat setelah penyaluran gaya prategang maka
kehilangan akibat susut dan rangkak sangat kecil, cendrung diabaikan
jadi kehilangan akibat susut dan rangkak pada tahap sesaat setelah
penyaluran gaya prategang adalah no l.
(1). Akibat Relaksasi Baja
Diketahui dari perhitungan sebelumnya nilai gaya prategang yang
tersisa setelah kehilangan langsung, luas strand dan tegangan setelah
kehilangan berturut – turut adalah : Sisa gaya prategang (Fic) =
1119,64 KN = 1119640 N
Luas strand (Aps) = 9 x 143,3 = 1289,7 mm2
𝐹 1119640
Sisa tegangan prategang (fci) = 𝐴 𝑖𝑐 = = 868,14 N/mm2
𝑝𝑠 1289,7

fpy = 0,9 x fpu = 0,9 x 1744,592 = 1570,13 Mpa


𝑓 𝑓 868,14
sehingga didapat nilai 𝑓 𝑐𝑖 sebagai berikut : .𝑓 𝑐𝑖 = 1570,13 = 0,553 >
𝑝𝑦 𝑝𝑦

0,55  sehingga relaksasi baja kehilangan prategang perlu


diperhitungkan.
Nilai besarnya tegangan yang hilang akibat relaksasi baja sebesar :
log 𝑡2 −log 1 𝑓𝑐𝑖
ΔfpRe = fci ( ) (𝑓𝑝𝑦 − 0,55)
45

Nilai t1 diasumsikan 1 jam dan t2 = 24 jam sehingga diperoleh nilai


𝑙𝑜𝑔24−log 1
ΔfpRe = 868,14 ( ) (0,553 − 0,55) = 0,08 MPa
45

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 72


FpRe = ΔfpRe x Aps = 0,08 x 1289,7 = 103,02 N
Gaya prategang yang tersisa sebesar :
Fi = Fic - FpRe = 1119640 – 103,02 = 1119536,98 N =1119,54 kN
TAHAP II
Tahap dua terjadi dari rentang waktu sesaat setelah gaya penyaluran
prategang diberikan hingga beban mati tambahan dan beban hidup
bekerja (60 hari = 1440 jam).
(1) Akibat Relaksasi Baja
Diketahui dari perhitungan sebelumnya nilai gaya prategang yang
tersisa setelah kehilangan langsung, luas strand dan tegangan setelah
kehilangan berturut-turut adalah : Fic = 1119536,98 N
Aps = 9 x 143,3 = 1289,7 mm2
𝐹 1119536,98
Fci = 𝐴 𝑖𝑐 = = 868,06 N/mm2
𝑝𝑠 1289,7

fpy = 0,9 x fpu = 0,9 x 1744,592 = 1570,13 Mpa


𝑓
sehingga didapat nilai 𝑓 𝑐𝑖 sebagai berikut:
𝑝𝑦

𝑓 868,06
.𝑓 𝑐𝑖 = 1570,13 = 0,553 > 0,55  akibat relaksasi baja kehilangan
𝑝𝑦

prategang perlu diperhitungkan.


Nilai besarnya tegangan yang hilang akibat relaksasi baja sebesar :
log 𝑡2 −log 1 𝑓𝑐𝑖
ΔfpRe = fci ( ) (𝑓𝑝𝑦 − 0,55)
45

Nilai t1 diasumsikan 1 jam dan t2 = 24 jam sehingga diperoleh nilai


𝑙𝑜𝑔1440−log 24
ΔfpRe = 868,06 ( ) (0,553 − 0,55) = 0,103 MPa
45

FpRe = ΔfpRe x Aps = 0,103 x 1289,7 = 132,71 N


(2) Akibat Susut
Kehilangan akibat susut dipengaruhi oleh ratio penampang dan
kelembaban udara. Jika kelembaban udara relative rata – rata

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 73


diasumsikan sebesar RH = 78%, maka perbandingan ratio penampang
𝑉
adalah perbandingan antara luas dan keliling.
𝑆

Jika penampang balok prategang berupa balok seperti gambar 4.32


maka

be = 1360 mm

120 mm
Yt
dt
cgc

dp
600 mm garis netral galok

480 mm
Yb

d'

bw = 400 mm
Gambar: 8.11. Penampang Balok Prategang

Luas penampang (dengan nilai Ec yang sama) didapat dari nilai


𝑏𝑒 𝑥 𝑡 136 𝑥 12
Apelat = = ……………...= 1632 cm2
𝑛 1

Abalok = bw x (h-t) = 40 x (60-12) = 1920 cm2 +


Jumlah Atotal = 3552 cm2
Keliling penampang sebesar :
Kell = 2 x 136 + ((12 + 48) x 2) = 392 cm
𝑉 3552
Maka nilai 𝑆 = = 9,06
392

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 74


Tabel 8.1 Tabel Koefisien Susut Post Tension
Waktu Akhir Perawatan Hingga
KSH
Pemberian Gaya Prategang (hari)
0,92 1
0,85 3
0,8 5
0,77 7
0,73 10
0,64 20
0,58 30
0,45 60

KsH = diambil dari Tabel 4.10 didapat nilai KSH untuk 60 hari sebesar
0,45, sehingga didapat nilai susut sebagai berikut :
𝑉
ΔfPsh = 8,2 x 10-6 . KSH . ES . (1 − 0,0236 )(100-RH)
𝑆

= 8,2 x 10 x 0,45 x 2 x 10 (1 – 0,0236 x 9,06)(100-78) = 12,76 Mpa


-6 5

FpSH = ΔfPsh x Aps = 12,76 x 1289,7 = 16456,572 N


(3) Akibat Rangkak
Akibat rangkak, kehilangan prategang yang dipengeruhi oleh
tegangan berat sendiri dengan asumsi, saat usia 60 hari beban mati
tambahan belum bekerja begitu pula dengan beban hidup. Sehingga
nilai fcds adalah tegangan yang didapat dari momen akibat berat
sendiri saja dan fcs merupakan tegangan beton pada daerah cgs akibat
gaya prategang sesaat setelah transfer. Besarnya nilai creep dapat
dihitung dengan perumusan berikut:
ΔfpCr = nKre(fcs – fcds) …….(8-9)

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 75


Nilai Kre diambil 1,6 untuk post tension prestress. Nilai ratio modulus
(n) merupakan perbandingan nilai modulus elastisitas baja prategang
dengan modulus elastisitas beton.
𝐸𝑃𝑆
n= nilai EPS adalah modulus elastisitas baja prategang diasumsi
𝐸𝐶

sebesar 2 x 105 dan EC adalah modulus elastisitas beton prategang


sebesar 4700 x √𝑓𝑐 = 4700 x √37 = 28588,98 Mpa, sehingga nilai
𝐸𝑃𝑆 2 𝑥 105
ratio modulus sebesar : n = = 28588,98 = 7
𝐸𝐶

Nilai fcs merupakan besarnya tegangan akibat berat sendiri sesaat


setelah gaya jacking, diasumsikan besarnya gaya jacking yang terjadi
sudah dikurangi oleh kehilangan prategang langsung dan relaksasi
pada tahap pertama sehingga besarnya gaya prategang digunakan
sebesar Fic = 1119536,98 N. fcs didapat dengan perumusan sebagai
berikut :
𝐹𝑖 𝑓𝑖 𝑥 𝑒 2 𝑀𝐺 𝑥 𝑒 2
fcs= - − − ……. (8-10)
𝐴 𝐼 𝐼

Data – data lainnya diambil sebagai berikut :


Luas Penampang (A) = 3552 cm2
Eksentrisitas tengan bentang dari cgc = 39 cm
I = 1193125,363 cm4
Momen akibat berat sendiri sesaat setelah transfer didapat dari analisa
SAP berupa portal prategang setelah diberi gaya jacking, sebesar 7,6
tm. Momen akibat berat mati tambahan ditambah beban hidup dimana
beban hidup yang terjadi antara 0,3 hingga 0,7. Dari hasil analisa
ETABS 9.7.1 didapat MD tot adalah momen akibat berat sendiri, berat
mati tambahan dan 0,7 beban hidup sebesar 39,292 tm.
Tegangan pada beton didaerah cgs segera setelah transfer gaya
prategang. Dalam hal ini berarti beton hanya menerima momen akibat
berat sendiri tanpa adanya berat mati tambahan.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 76


Serat bawah tertekan akibat F dan tertarik akibat MG
𝐹𝑖 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 2 𝑀𝐺 𝑥 𝑒
fcs = - - +
𝐴 𝐼 𝐼
111,95 111,95 𝑥 0,392 7,6 𝑥 0,39
fcs = - 0,3552 - 1193125,363 x 10−8 + 1193125,363 x 10−8 = - 1493,89 t/m2 = -

14,94 MPa
Akibat berat mati tambahan (fcds) adalah momen akibat beban mati
tambahan dan beban hidup 70%.
𝑀𝐷 𝑥 𝑒 35,3 𝑥 0,39
fcds = = 1193125,363 x 10−8 = 1153,86 t/m2 = 11,54 Mpa
𝐼

Sehingga didapat nilai rangkak sebagai berikut:


ΔfpCr = nKre (fcs – fcds) = 7 x 1,6 (14,94 – 11,54) = 38,08 MPa
FpCR = ΔfpCr x Aps = 38,08 x 1289,7 = 49111,776 N = 49,11 KN
Total kehilangan prategang pada tahap 2:
Δf2 = ΔfpRe + ΔfPsh + ΔfpCr = 0,103 + 12,76 + 38,08 = 50,943 MPa
ΔF2 = Δf2 x Aps = 50,943 x 1289,7 = 65701,19 N
Fci2 = Fic - ΔF2
Fci2 = 1119536,98 - 65701,19 =1053835,793 N = 1053,84 kN
% kehilangan = 100% - (1053,84/1260,46)% = 16,39 %
TAHAP III
Tahap tiga terjadi dari rentan waktu 60 hari saat semua beban – beban
telah bekerja hingga akhir umur rencana (10 tahun = 365 hari).
Akibat Relaksasi Baja
Diketahui dari perhitungan sebelumnya nilai gaya prategang yang
tersisa setelah kehilangan langsung, luas strand dan tegangan setelah
kehilangan berturut – turut adalah : Fic = 1053835,793 N
Aps = 1289,7 mm2
𝐹𝑖𝑐 1053835,793
fci = 𝐴𝑝𝑠 = = 817,12 N/mm2
1289,7

fpy = 0,9 x fpu = 0,9 x 1744,592 = 1570,13 MPa


𝑓
sehingga didapat nilai sehingga didapat nilai 𝑓 𝑐𝑖 sebagai berikut:
𝑝𝑦

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 77


𝑓 817,12
.𝑓 𝑐𝑖 = 1570,13 = 0,52 < 0,55  sehingga relaksasi baja (kehilangan
𝑝𝑦

prategang tidak perlu diperhitungkan). Sehingga nilai dari kehilangan


prategang akibat relaksasi baja (FpRe) = 0.
Total kehilangan prategang pada tahap 3:
Δf3 = 0 MPa
Δf2 = 0 x 1289,7 = 0 N
Fci2 = Fic - Δf2
Fci2 = 1053835,793 – 0 = 1053835,793 N =1053,84 kN
% kehilangan = 100% - (1053,84 / 1260,46)% = 16,39 %
% kehilangan yang terjadi < kehilangan asumsi gaya prategang
16,39 %< 20 % ……(OK)
8.1.10. Kontrol Tegangan Setelah Kehilangan
kontrol tegangan pada daerah lapangan tegangan yang terjadi adalah :
(i) Serat Atas (tertekan akiabt F dan MT)
𝐹𝑖 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑀𝐿
σc ≤ − 𝐴 + −
𝑊𝑇 𝑊𝑇
105,38 105,38 𝑥 0,31 39,32
- 16,65 ≤ − 0,3552 + −
58315,02 x 10−6 58315,02 x 10−6

- 16,65 ≤ −296,68 + 506,2 − 674,27


- 16,65 MPa ≤ - 410,75 t/m2 = - 4,1 MPa ……(OK)
(ii) Serat Bawah (tertarik akibat F dan MT)
𝐹𝑖 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑀𝐿
σt ≥ − 𝐴 − +
𝑊𝐵 𝑊𝐵
105,38 105,38 x 0,31 39,32
3,041 ≥ − 0,3552 − +
30175,15 x 10−6 30175,15 x 10−6

3,041 ≥ − 296,68 − 1082,6 + 1303,06


3,041 MPa ≥ - 76,22 t/m2 = - 0,76 MPa ……(OK)

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 78


Gambar: 8.12. Diagram Tegangan Setelah Kehilangan Prategang
Dimana :
a = tegangan akibat gaya prategang
b = tegangan akibat eksentrisitas
c = tegangan akibat beban yang terjadi
d = sisa tegangan yang terjadi
Kontrol tegangan pada daerah tumpuan tegangan yang terjadi adalah:
(i) Serat Atas Tertarik
𝐹𝑖 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑀𝑇
σt ≥ − 𝐴 − +
𝑊𝑇 𝑊𝑇
105,38 105,38 𝑥 0,08 26,8
3,041 ≥ − 0,3552 − +
58315,02 x 10−6 58315,02 x 10−6

3,041 ≥ − 296,68 − 144,57 + 459,57


3,041 ≥ 18,32 t/m2 = 0,18 MPa
(ii) Serat Bawah Tertekan
𝐹𝑖 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑀𝑇
σc ≤ − 𝐴 + −
𝑊𝐵 𝑊𝐵
105,38 105,38 𝑥 0,08 26,8
a). 16,65 ≤ − 0,3552 + −
30175,15 x 10−6 30175,15 x 10−6

b). 16,65 ≤ −296,68 + 279,38 − 888,15


16,65 MPa ≤ - 905,45 t/m2 = - 9,05 MPa ……(OK)
8.2. Kontrol Lendutan
Kemampuan layan struktur beton prategang ditinjau dari perilaku
defleksi komponen tersebut. Elemen beton prategang memiliki dimensi
yang lebih langsing dibanding beton bertulang biasa sehingga kontrol
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 79
lendutan sangat diperlukan untuk memenuhi batas layan yang
disyaratkan.

8.2.1. Lendutan Ijin


Lendutan ijin pada komponen beton prategang harus memenuhi syarat
Tabel 9 SNI 03-2847-2002 pasal 11.5 yaitu lendutan untuk konstruksi
yang menahan atau yang disatukan oleh komponen non struktural
sebesar:
𝐿 15000
Δijin = 480 = = 31,25 mm
480

8.2.2. Lendutan Awal Saat Jacking


Pada saat awal transfer gaya prategang nilai lendutan yang terjadi
adalah sebagai berikut:
1. Lendutan Akibat Saat Jacking
Tekanan tendon menyebabkan balok tertekuk keatas sehingga
lendutan yang terjadi berupa lendutan kearah atas. Sedangkan syarat
ijin lendutan mengarah ke bawah, sehingga lendutan akibat tendon
dapat melawan lendutan kebawah yang diakibatkan oleh beban dan
berat sendiri.
5 𝑃𝑜 𝑥 𝑙4
ΔlPO = 384 x ……... (8-11)
𝐸𝑐 𝑥 𝐼

Dengan nilai P sebesar


8 𝑥 𝐹𝑜 𝑥 𝑓
Po = …….. (8-12)
𝑙2

Dimana :
Fo = Gaya Awal Prategang (sebelum kehilangan, N)
f = Fokus tendon (eksentrisitas dari cgs, mm)
l = Panjang efektif (dalam mm)
Ec = Modulus elastisitas beton (MPa)
I = Inertia balok (dalam mm)
8 𝑥 1260462,5 𝑥 390
Po = = 17,48 N/mm
150002

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 80


5 17,48 𝑥 150004
ΔlPO = 384 x 28589 𝑥 1193125,363 x 104 = 33,78 mm ( )

2. Lendutan Akibat Eksentrisitas Tepi Balok


Eksentrisitas tepi balok terhadap cgc pada letak tendon menyebabkan
lendutan ke awah bawah (karena menyebabkan momen negatif).
Besarnya lendutan ini dipengaruhi oleh momen akibat gaya dan
eksentrisitas tepi balok terhadap cgc. Besarnya nilai lendutan yang
diakibatkan oleh eksentrisitas adalah :
𝐹𝑜 𝑥 𝑒 𝑥 𝑙2
Δlme = ……. (8-13)
8 𝐸𝑐 𝑥 𝐼

Dimana :
Fo = Gaya awal prategang (sebelum kehilangan, N)
e = eksentrisitas terhadap cgc pada tepi balok
l = Panjang efektif (dalam mm)
Ec = Modulus elastisitas beton (MPa)
I = Inertia balok (dalam mm)
1260462,5 𝑥 80 𝑥 147002
Δlme = = 7,99 mm ( )
8 𝑥 28589 𝑥 1193125,363 x 104

3. Lendutan akibat berat sendiri


Berat sendiri balok menyebabkan balok tertekuk ke bawah sehingga
yang terjadi berupa lendutan ke bawah. Besarnya lendutan ke bawah
akibat berat sendiri adalah:
5 𝑞𝑜 𝑥 𝑙4
ΔlqO = 384 x .…. (8-14)
𝐸𝑐 𝑥 𝐼

Dimana :
qo = Berat sendiri saat jacking (N/mm)
= 0,3552 x 2400 = 852,48 kg/m = 8,52 N/mm
f = Fokus tendon (eksentrisitas dari cgs, mm)
l = Panjang efektif (dalam mm)
Ec = Modulus elastisitas beton (MPa)
I = Inertia balok (dalam mm)

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 81


5 8,52 𝑥 150004
ΔlqO = 384 x 28589 𝑥 1193125,363 x 104 = 16,46 mm ( )

Total lendutan pada saat awal transfer gaya prategang sebesar (dengan
mengasumsikan tanda (-) adalah lendutan ke atas karena berlawanan
awah dengan arah terjadinya lendutan) :
ΔlA = ΔlPO + Δlme + ΔlqO = - 33,78 + 7,99 + 16,46 = - 9,33 mm ( )
Lendutan ke bawah belum terjadi.
8.2.3. Lendutan Saat Beban Bekerja Saat F Efektif
Saat beban – beban sepenuhnya bekerja gaya prategang yang terjadi
berupa gaya prategang efektif setelah terjadi berbagai tahap dan
macam kehilangan dengan nilai Fefektif = 1053835,793 N lendutan
yang terjadi antara lain:
1. Lendutan Akibat Tekanan Tendon (Fefektif)
8 𝑥 1053835,793 𝑥 390
Po = = 14,61 N/mm
150002
5 14,61 𝑥 147004
ΔlPO = 384 x 28589 𝑥 1193125,363 x 104 = 26,04 mm ( )

2. Lendutan Akibat Eksentrisitas


1053835,793 𝑥 80 𝑥 147002
Δlme = 8 𝑥 28589 𝑥 1193125,363 x 104 = 6,68 mm ( )

3. Lendutan Akibat Beban – Beban Yang Bekerja


Beban yang telah sepenuhnya bekerja berupa berat sendiri balok,
beban mati tambahan dan beban hidup. Besarnya lendutan akibat
beban yang telah bekerja seluruhnya dapat dihitung dengan
menggunakan program bantu SAP 2000 V.14 lendutan yang didapat
sebesar 7,621 mm ( ).
8.2.4. Lendutan Total
Sehingga total lendutan pada saat beban – beban telah bekerja dengan
gaya prategang efektif (dengan mengasumsikan tanda (-) adalah
lendutan ke atas karena berlawanan arah dengan arah terjadinya
lendutan) sebesar:

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 82


ΔlA=ΔlPO +Δlme+ΔlqO=- 26,04+6,68+7,621=11,739mm< 31,25 mm ……(OK)
8.3. Momen Retak
Perhitungan kuat ultimate dari balok prategang harus memenuhi
persyratan SNI 03-
2847-2002 pasal 20.8.3, jumlah total baja tulangan non prategang dan
prategang harus cukup untuk dapat menghasilkan beban terfaktor paling
sedikit 1,2 beban retak yang terjadi berdasarkan nilai modulus retak
sebesar 0,7 √𝑓𝑐, sehingga didapat ϕMn ≥ 1,2 MCr dengan nilai ϕ = 0,85.
Perhitungan momen retak dan momen batas akan dibahas menjadi dua
yaitu untuk tumpuan dan lapangan. Karena kebutuhan tulangan lunak
pada daerah tumpuan lebih dibutuhkan mengingat kontrol tarik pada
daerah tumpuan tidak memenuhi syarat. Selain itu pada serat atas
sedangkan pada lapangan tegangan tarik terjadi pada serat bawah.
Momen retak adalah momen yang mengkasilkan retak – retak rambut
pertama pada balok prategang dihitung dengan teori elastic, dengan
menganggap bahwa retak mulai terjadi saat tarik pada serat beton
mencapai modulus keruntuhannya. Yang perlu diperhatikan pula bahwa
modulus keruntuhan hanyalah merupakan ukuran permulaan retak
rambut pertama yang sering kali terlihat oleh mata secara langsung. Nilai
momen retak dapat dihitung sebagai berikut (dengan asumsi tanda (+)
adalah serat yang mengalami tekan):
1. Untuk serah bawah mengalami tarik (pada daerah lapangan) maka:
𝐹𝑖 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑀𝐶𝑟 𝑥 𝑌𝐵
- Fr = + x Yb - ……..(8-15)
𝐴 𝐼 𝐼
𝐹𝑖 𝐼 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑥 𝑌𝐵 𝐼 𝐼
MCr = ( 𝐴 𝑥 )+( 𝑥 ) + (𝑓𝑟 𝑥 ) ………(8-16)
𝑌𝐵 𝐼 𝑌𝐵 𝑌𝐵

MCr = (𝑓𝑖 𝑥 𝐾𝑇 ) + (𝑓𝑖 𝑥 𝑒) + (𝑓𝑟 𝑥𝑊𝐵 ) ………(8-17)


Dimana : Fi = Gaya prategang efektif = 1280023,135 N
KT = Kern atas = 8,5 cm = 85 mm
e = eksentrisitas dari cgc = 310 mm
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 83
fr = modulus keruntuhan = 0,7 √𝑓𝑐 = 0,7 x √37 = 4,23
𝐼𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡 1193125,363
Wb = = = 30175,15 cm3
𝑦𝑏 39,54

Sehingga didapat nilai MCr untuk daerah lapangan adalah


MCr = (1280023,135 x (85 + 310)) + (4,23 x 30175,15)
= 505736779,2 Nmm
1,2 x MCr = 1,2 x 505736779,2 = 606884135,1 Nmm
2. Serat bawah mengalami tekan (pada daerah tumpuan), maka
𝐹𝑖 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑀𝐶𝑟 𝑥 𝑌𝐴
- fr = + x YA - ……..(8-18)
𝐴 𝐼 𝐼
𝐹𝑖 𝐼 𝐹𝑖 𝑥 𝑒 𝑥 𝑌𝐴 𝐼 𝐼
MCr = ( 𝐴 𝑥 )+( 𝑥 ) + (𝑓𝑟 𝑥 ) ………(8-19)
𝑌𝐴 𝐼 𝑌𝐴 𝑌𝐴

MCr = (𝑓𝑖 𝑥 𝐾𝐵 ) + (𝑓𝑖 𝑥 𝑒) + (𝑓𝑟 𝑥𝑊𝑇 ) ………(8-20)


Dimana : Fi = Gaya prategang efektif = 1053835,793 N
KB = Kern bawah = 16,42 cm = 164,2 mm
e = eksentrisitas dari cgc = 80 mm
fr = modulus keruntuhan = 0,7 √𝑓𝑐 = 0,7 x √37 = 4,23
𝐼𝑘𝑜𝑚𝑝𝑜𝑠𝑖𝑡 1193125,363
Wt = = = 58315,02 cm3
𝑦𝑡 20,46

Sehingga didapat nilai MCr untuk daerah tumpuan adalah


MCr = (1053835,793 x (164,2 + 80)) + (4,23 x 58315,02) =
257593373,2 Nmm
1,2 x MCr = 1,2 x 257593373,2 = 309112047,8 Nmm
8.4. Penulangan Non-Prategang
Beban gempa pada komponen balok beton prategang untuk nilai
momen positif dipikul sepenuhnya oleh tulangan lunak balok (tulangan lentur
tambahan). Sedangkan momen negatifnya 25% dipikul oleh tendon prestress
dengan mengandalkan eksentrisitas tumpuan untuk melawan momen negatif
akibat gempa, sedangkan 75% momen negatif akibat gempa dipikul oleh
tulangan lunak (serat atas). Hal ini sesuai dengan ACI 2008 pasal 21.5.2
mengenai pembagian gaya gempa pada komponen prestress. Juga dilakukan
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 84
berupa kontrol momen nominal balok dengan memperhitungkan keseluruhan
tulangan lunak terpasang dengan komponen tendon yang ada dalam
menerima beban ultimate.
Momen pada daerah Tumpuan.
Data-data perencanaan didapat sebagai berikut:
 Mutu beton (fc’) = 37 MPa
 Mutu baja (fy) = 350 MPa
 Dimensi balok = 40 x 60 cm
 Diameter rencana = 22 mm
 Diameter sengkang = 8 mm
 Selimut beton = 50 mm
 d = 600 – 50 – 8 – 0,5 x 22 = 531 mm
Tabel 8.2 Nilai momen yang diakibatkan oleh gempa
Story Beam Load Loc P V2 V3 T M2 M3
ATAP B150 1.2D+1L+1FY 0.298 0 -14694.1 0 -1981.13 0 -35867.773
ATAP B150 1.2D+1L-FY 14.721 0 14555.48 0 2877.694 0 -35080.542
ATAP B150 1.2D+1L+1FX 0.298 0 -13243.8 0 -2111.08 0 -27698.318
ATAP B150 1.2D+1L-1FX 14.721 0 12518.58 0 4771.787 0 -25660.402

ATAP B151 1.2D+1L-FY 14.721 0 18435.82 0 571.723 0 -43094.847


ATAP B151 1.2D+1L+1FY 0.298 0 -17749.5 0 139.236 0 -44642.048
ATAP B151 1.2D+1L-1FX 14.721 0 17438.37 0 2093.776 0 -39032.348
ATAP B151 1.2D+1L+1FX 0.298 0 -16890.8 0 391.262 0 -38415.707

ATAP B152 1.2D+1L-FY 14.721 0 18805.47 0 -271.628 0 -43777.748


ATAP B152 1.2D+1L+1FY 0.298 0 -18005.8 0 915.692 0 -44565.832
ATAP B152 1.2D+1L-1FX 14.721 0 18066.03 0 1197.685 0 -40884.216
ATAP B152 1.2D+1L+1FX 0.298 0 -17272.6 0 1125.917 0 -39596.099

ATAP B153 1.2D+1L-FY 14.721 0 18455.96 0 -335.208 0 -44074.443


ATAP B153 1.2D+1L+1FY 0.298 0 -17681.4 0 981.463 0 -42770.160
ATAP B153 1.2D+1L-1FX 14.721 0 17933.87 0 1125.151 0 -40533.871
ATAP B153 1.2D+1L+1FX 0.298 0 -17160.4 0 1177.481 0 -39256.603

ATAP B154 1.2D+1L-FY 14.721 0 17868.4 0 -635.013 0 -41525.119


ATAP B154 1.2D+1L+1FY 0.298 0 -17147.2 0 1262.806 0 -40349.608
ATAP B154 1.2D+1L-1FX 14.721 0 17565.02 0 834.473 0 -39474.469
ATAP B154 1.2D+1L+1FX 0.298 0 -16842.8 0 1468.548 0 -38298.594

ATAP B155 1.2D+1L-FY 14.721 0 16024.12 0 -1417.76 0 -35297.103


ATAP B155 1.2D+1L-1FX 14.721 0 16008.8 0 106.937 0 -34892.701
ATAP B155 1.2D+1L+1FY 0.298 0 -15668.8 0 2034.908 0 -34815.465
ATAP B155 1.2D+1L+1FX 0.298 0 -15510.3 0 2289.199 0 -34060.482

ATAP B156 1.2D+1L-1FX 14.721 0 12165.81 0 -1602.08 0 -24234.600


ATAP B156 1.2D+1L+1FX 0.298 0 -11638.8 0 3852.806 0 -22672.333
ATAP B156 1.2D+1L-FY 14.721 0 11581.6 0 -3198.39 0 -22401.396
ATAP B156 1.2D+1L+1FY 0.298 0 -11580.2 0 3729.006 0 -22167.322

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 85


Dari data ETABS diambil nilai gempa pada daerah tumpuan yang
mempunyai nilai terbesar. Yakni momen sebesar 44642.048 kgm
= 446420.48 Nm pada jarak 0,3 m.
8.4.1. Besar momen yang dipikul oleh tendon.
dp = eT + yB = 80 + 395,4 = 475,4 mm
𝐴 1289,7
ρps = 𝑏 𝑥 𝑃𝑆 = = 0,0068
𝑑 𝑃𝑆 400 𝑥 475,4

1. Syarat I
Selimut beton ≤ 0,15 x dps (SNI 03-2847-2002 pasal 20.7.2(a))
50 (0,15 x 475,4)  50 mm ≤ 71,31 mm………………ok
2. Syarat II
𝑓𝑢 𝑑
Xo = ρp x + 𝑥 (ω − ω′ ) > 0,17 ………SNI 03-2847-2002
𝑓𝑐 𝑑𝑝

pasal 20.7.2 (109)


Dimana :
ρp adalah ratio tulangan prategang terpasang
ω adalah indeks penulangan tulangan tarik
ω' adalah indeks penulangan tulangan tekan
karena diameter tulangan tarik dan tekan sama sehingga, ω = ω'
 380,13 
𝐴𝑠  350
ω = ω' = ρfy / f’c =
( )𝑓
𝑏𝑥𝑑 𝑦
=  400.531 
= 0,018
𝑓′𝑐 35
𝑓𝑃𝑈 𝑑 1744,592
Xo = ρps x 𝑓𝑐
+ 𝑑𝑝
𝑥 (ω − ω′ ) = 0,0179 x 37
+
532
𝑥 (0,018 − 0,018)
475,4

= 0,844 ≥ 0,17 ………(OK)


Sehingga didapat
𝛾 0,28
fPS =fPU x(1 − 𝛽𝑃 𝑥 𝑋𝑜 )=1744,592 x(1 − 0,81 𝑥 0,844)=1235,6 MPa
1

𝐴𝑝𝑠 𝑥 𝑓𝑝𝑠 1289,7 𝑥 1235,6


a = 0,85 𝑥 𝑓𝑐 𝑥 𝑏𝑒 = 0,85 𝑥 37 𝑥 1360 = 37,26 mm

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 86


Besarnya momen akibat gaya gempa lateral yang dapat dipikul oleh
tendon berdasarkan peraturan ACI adalah 25%, sehingga dapat
dihitung sebagai berikut;
𝑎
MnTp = Aps x fps x (𝑑𝑝 − 2 ) x 0,25 = 1289,7 x 1235,6 x (475,4 −
37,26
) x 0,25
2

= 181971837,5 Nmm
Sisa momen yang mampu dipikul oleh tendon akan dilimpahkan pada
tulangan lunak yaitu sebesar :
Mu - MnTp = 446420.48 – 181971,84 = 264448,64 Nm = 264448640
Nmm.
8.4.2. Besar momen yang dipikul oleh tulangan lunak.
Dari perhitungan di atas didapatkan Mu yang dipikul oleh tulangan
lunak sebesar 264448640 Nmm. Setelah menetapkan data dan
perencanaan yang hendak digunakan, maka dilakukan perhitungan
untuk menetapkan nilai β1, ρbalance, ρmax dan ρmin sebagai berikut : β1 =
𝑓𝑐 ′ −30 37−30
0,85 – 8 ( ) = 0,85 – 8 ( 1000 ) = 0,794
1000
0,85 𝑥 β1 x fc′ 600
ρbalance = 𝑥
𝑓𝑦 600+ 𝑓𝑦

0,85 𝑥 0,794 x 37 600


= 𝑥 = 0,045
350 600+ 350

ρmax = 0,75 x ρbalance = 0,75 x 0,045 = 0,034


Menurut SNI 03-2847-2002 pasal 12.5.1 nilai ρmin tidak boleh kurang
√𝑓′𝑐 1,4
dari dan tidak boleh lebih kecil dari 𝑓𝑦 .
4𝑓𝑦
1,4 1,4
ρmin = 𝑓𝑦 = 350 = 0,004

√𝑓′𝑐 √37
ρmin = = 4 𝑥 350 = 0,00434
4𝑓𝑦

sehingga diambil ρmin = 0,004


𝑓𝑦 350
m = 0,85 𝑥 𝑓 ′ = 0,85 𝑥 37 = 11,13
𝑐

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 87


sehingga didapat ratio tulangan perlu adalah sebagai berikut:
𝑀𝑛 264448640
Rn = 𝜙𝑏 𝑥 𝑑2 = 0,8 𝑥 400 𝑥 531 2 = 2,93 N/mm

1 2𝑚 𝑥 𝑅𝑛
ρperlu = 𝑚 x (1 − √1 − )
𝑓𝑦

1 2 𝑥 11,13 𝑥 2,93
= 11,13 x (1 − √1 − )
350

= 0,0088 > ρmin, sehingga menggunakan ρperlu


Karena ρmax > ρperlu > ρmin maka balok prategang termasuk dalam
sistem perencanaan under-reinforce.
Sehingga didapatkan Asperlu :
Asperlu = ρperlu x b x d = 0,0088 x 400 x 531= 1869,12 mm2
Tulangan pasang 5-D22 (Asada = 1901 mm2)
Kontrol jumlah tulangan maksimum dalam 1 baris :
(400  2.50  2.8  5.22)
s = 43,5 mm ≥ 25 mm (OK), sehingga
5 1
tulangan longitudinal balok dapat disusun dalam 1 baris.
Jadi jumlah tulangan cukup memenuhi syarat.
Dimisalkan tulangan tekan leleh maka:
𝐴𝑠 𝑥 𝑓𝑦 1901 𝑥 350
Mn=Asxfyx(𝑑 − 2 𝑥 0,85 𝑥 𝑓𝑐 ′𝑥 𝑏𝑤)=1901x350x(531 − )
2 𝑥 0,85 𝑥 37𝑥 400

=335705833,2 Nmm > 264448640 Nmm ……(OK)


Karena Mn > Mu perlu, diasumsikan beton cukup kuat menahan gaya
gempa kiri dengan tulangan tarik saja, sehingga desain tulangan tekan
untuk mengatasi momen gempa negatif menggunakan desain tulangan
minimum sebagai berikut :
d' = 600 – d = 600 – 531 = 69 mm
Astekan = ρmin x b x d’ = 0,004 x 400 x 69 = 110,4 mm2
Sehingga tulangan tekan yang di pasang berdasarkan SNI, bahwa
50% dari tulangan tarik 3D22 (Asada = 1140 mm2)

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 88


Kontrol :
𝑎 𝑎
Mn = Aps x fps x (𝑑𝑝 − 2) + 𝐴𝑠 𝑥 𝑓𝑦 𝑥 (𝑑 − 2)
37,26 37,26
Mn=1289,7 x1235,6x(475,4 − ) + 1901 𝑥 350 𝑥 (531 − )
2 2

= 1068792729 Nmm
ϕMn = 0,8 x Mn > Mu
dimana nilai Mu adalah nilai momen ultimit saat beban ultimit
bekerja. Nilai momen ultimit didapat dari analisa ETABS V 9.7.1
sebesar 385323717 Nmm dari kombinasi beban 1,2D + 1,6L.
ϕMn=0,8x1068792729=855034183,6 Nmm > 385323717 Nmm ….ok
Momen pada daerah lapangan.
Data-data perencanaan didapat sebagai berikut:
 Mutu beton (fc’) = 37 MPa
 Mutu baja (fy) = 350 MPa
 Dimensi balok = 40 x 60 cm
 Diameter rencana = 22 mm
 Diameter sengkang = 8 mm
 Selimut beton = 50 mm
 d = 600 – 50 – 8 – 0,5 x 22 = 531 mm

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 89


Tabel 8.3. Nilai momen yang diakibatkan oleh gempa
Story Beam Load Loc P V2 V3 T M2 M3
ATAP B156 1.2D+1L-1FX 6000 0 -14556.1 0 28218201 0 145403469
ATAP B156 1.2D+1L-FY 6000 0 -13977 0 28160056 0 141380082
ATAP B156 1.2D+1L+1FY 6000 0 -13112.3 0 32359836 0 131092887
ATAP B156 1.2D+1L+1FX 6000 0 -12533.3 0 32301690 0 127069501

ATAP B155 1.2D+1L-1FX 7125 0 368.2 0 3795514 0 235687305


ATAP B155 1.2D+1L-FY 7125 0 -143.61 0 2633451 0 234694098
ATAP B155 1.2D+1L+1FY 7687.5 0 279.82 0 4572906 0 232719808
ATAP B155 1.2D+1L+1FX 7687.5 0 806.99 0 3125746 0 231427891

ATAP B154 1.2D+1L+1FY 8250 0 -1646.76 0 1965781 0 279911393


ATAP B154 1.2D+1L+1FX 7968.75 0 -897.91 0 778335.4 0 277694848
ATAP B154 1.2D+1L-1FX 7687.5 0 -300.37 0 327438.5 0 276419860
ATAP B154 1.2D+1L-FY 7406.25 0 -888.91 0 -769374 0 275745511

ATAP B153 1.2D+1L+1FY 8250 0 -3953.33 0 1464822 0 290426758


ATAP B153 1.2D+1L+1FX 8250 0 594.36 0 253354.6 0 286834067
ATAP B153 1.2D+1L-1FX 7687.5 0 -570.07 0 -199844 0 284892597
ATAP B153 1.2D+1L-FY 7406.25 0 698.53 0 -1393624 0 284400236

ATAP B152 1.2D+1L+1FY 8250 0 -6114.7 0 1487785 0 294128457


ATAP B152 1.2D+1L+1FX 8250 0 364.74 0 251618.6 0 289150093
ATAP B152 1.2D+1L-1FX 7687.5 0 -596.25 0 -258312 0 286692445
ATAP B152 1.2D+1L-FY 7406.25 0 895.59 0 -1505300 0 286492545

ATAP B151 1.2D+1L+1FY 8250 0 19321.76 0 6594618 0 279616782


ATAP B151 1.2D+1L+1FX 7968.75 0 -850.95 0 -1278626 0 274468140
ATAP B151 1.2D+1L-FY 6843.75 0 -822.78 0 -3882169 0 271062858
ATAP B151 1.2D+1L-1FX 7687.5 0 -544.2 0 -2315653 0 268032428

ATAP B150 1.2D+1L+1FY 8250 0 -5127.09 0 2644859 0 169425560


ATAP B150 1.2D+1L+1FX 8250 0 477.94 0 6970397 0 167804663
ATAP B150 1.2D+1L-FY 6000 0 -5870.64 0 -3.8E+07 0 162336438
ATAP B150 1.2D+1L-1FX 7968.75 0 489.26 0 6000274 0 152978979
Dari data ETABS diambil nilai gempa pada daerah tumpuan yang
mempunyai nilai terbesar. Yakni momen sebesar 29412.85 kgm =
294128.5 Nm pada jarak 8,25 m.
8.4.3. Besar momen yang dipikul oleh tendon.
dp = elap + yT = 310 + 204,6 = 514,6 mm
𝐴 1289,7
ρps = 𝑏 𝑥 𝑃𝑆 = = 0,0063
𝑑 𝑃𝑆 400 𝑥 514,6

1. Syarat I
Selimut beton ≤ 0,15 x dps (SNI 03-2847-2002 pasal 20.7.2(a))
50 (0,15 x 514,6 )  50 mm ≤ 77,19 mm……(OK)

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 90


2. Syarat II
𝑓𝑢 𝑑
Xo = ρp x + 𝑥 (ω − ω′ ) ≥ 0,17 ………SNI 03-2847-2002
𝑓𝑐 𝑑′

pasal 20.7.2 (109)


Dimana ρp adalah ratio tulangan prategang terpasang. Dengan jumlah
tulangan tarik sama dengan tulangan tekan, maka nilai ω = ω’, nilai ω
didapat sebagai berikut:
𝑓𝑃𝑈 1744,592
Xo = ρps x = 0,0063 x = 0,314 ≥ 0,17 ……(OK)
𝑓𝑐 35

Sehingga didapat
𝛾 0,28
fPS = fPU x (1 − 𝛽𝑃 𝑥 𝑋𝑜 ) = 1744,592 x (1 − 0,81 𝑥 0,314 ) =
1

1555,23 MPa
𝐴𝑝𝑠 𝑥 𝑓𝑝𝑠 1289,7 𝑥 1555,23
a = 0,85 𝑥 𝑓𝑐 𝑥 𝑏𝑒 = = 46,89 mm
0,85 𝑥 37 𝑥 1360

Besarnya momen akibat gaya gempa lateral yang dapat dipikul oleh
tendon berdasarkan peraturan ACI adalah 25%, sehingga dapat
dihitung sebagai berikut;
𝑎 46,89
MnTp=Apsxfpsx(𝑑𝑝 − 2)x0,25=1289,7 x1235,6x(514,6 )x0,25
2

= 195670420,2 Nmm
Sisa momen yang mampu dipikul oleh tendon akan dilimpahkan pada
tulangan lunak yaitu sebesar :
Mu-MnTp= 294128.5 – 195670.42 = 98458,08 Nm = 98458080 Nmm.

8.4.4 Besar momen yang dipikul oleh tulangan lunak.


Dari perhitungan di atas didapatkan Mu yang dipikul oleh tulangan
lunak sebesar 98458080 Nmm. Setelah menetapkan data dan
perencanaan yang hendak digunakan, maka dilakukan perhitungan
untuk menetapkan nilai β1, ρbalance, ρmax dan ρmin sebagai berikut:
𝑓𝑐 ′ −30 37−30
β1 = 0,85 – 8 ( ) = 0,85 – 8 ( 1000 ) = 0,794
1000

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 91


0,85 𝑥 β1 x fc′ 600 0,85 𝑥 0,794 x 37 600
ρbalance = 𝑥 = 𝑥 = 0,045
𝑓𝑦 600+ 𝑓𝑦 350 600+ 350

ρmax = 0,75 x ρbalance = 0,75 x 0,045 = 0,034


Menurut SNI 03-2847-2002 pasal 12.5.1 nilai ρmin tidak boleh kurang
√𝑓′𝑐 1,4
dari dan tidak boleh lebih kecil dari 𝑓𝑦 .
4𝑓𝑦
1,4 1,4
ρmin = 𝑓𝑦 = 350 = 0,004

√𝑓′𝑐 √37
ρmin = = 4 𝑥 350 = 0,00434
4𝑓𝑦

sehingga diambil ρmin = 0,004


𝑓𝑦 350
m = 0,85 𝑥 𝑓 ′ = 0,85 𝑥 37 = 11,13
𝑐

sehingga didapat ratio tulangan perlu adalah sebagai berikut:


1
Tabel 8.3. Nilai momen yang diakibatkan oleh gempa ρperlu = x
𝑚

2𝑚 𝑥 𝑅𝑛
(1 − √1 − )
𝑓𝑦

1 2 𝑥 11,13 𝑥 1,09
= 11,13 x (1 − √1 − )
350

= 0,0032 < ρmin, sehingga menggunakan ρmin


Karena menggunakan ρmin maka balok prategang termasuk dalam
sistem perencanaan under-reinforce.
Sehingga didapatkan Asperlu :
Asperlu = ρmin x b x d
= 0,004 x 400 x 531 = 849,6 mm2
Tulangan pasang 3-D22 (Asada = 1140 mm2)
Kontrol jumlah tulangan maksimum dalam 1 baris :
(400  2.50  2.8  3.22)
s = 109 mm ≥ 25 mm … ok, sehingga
3 1
tulangan longitudinal balok dapat disusun dalam 1 baris.
Jadi jumlah tulangan cukup memenuhi syarat.
Dimisalkan tulangan tekan leleh maka:
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 92
𝐴𝑠 𝑥 𝑓𝑦
Mn = As x fy x (𝑑 − )
2 𝑥 0,85 𝑥 𝑓𝑐 ′ 𝑥 𝑏𝑤
1140 𝑥 350
=1140x350x(531 − )=205541456,3Nmm >8458080
2 𝑥 0,85 𝑥 37𝑥 400

Nmm ……(OK)
Karena Mn > Mu perlu, diasumsikan beton cukup kuat menahan gaya
gempa kiri dengan tulangan tarik saja, sehingga desain tulangan tekan
untuk mengatasi momen gempa negatif menggunakan desain tulangan
minimum sebagai berikut :
d' = 600 – d = 600 – 531 = 69 mm
Astekan = ρmin x b x d’ = 0,004 x 400 x 69 = 110,4 mm2
Sehingga tulangan tekan yang di pasang 3D22 (Asada = 1140 mm2)
Kontrol :
𝑎 𝑎
Mn = Aps x fps x (𝑑𝑝 − 2) + 𝐴𝑠 𝑥 𝑓𝑦 𝑥 (𝑑 − 2)
46,89 46,89
Mn=1289,7x1555,23x(514,6 − ) + 1140 𝑥350 𝑥 (531 − )
2 2

= 1187663385 Nmm
ϕMn = 0,8 x Mn > Mu
dimana nilai Mu adalah nilai momen ultimit saat beban ultimit
bekerja. Nilai momen ultimit didapat dari analisa ETABS V 9.7.1
sebesar 287780788.84 Nmm dari kombinasi beban 1,2D + 1,6L.
ϕMn = 0,8 x 1187663385 = 950130708,2 Nmm > 287780788,84
Nmm ……(OK)
8.5. Penulangan Geser Pada Balok
Vmax = 204002.75 N = 204,00275 KN
d = 531 mm; ½ h = 300 mm; L = 15000 mm
Jarak muka kolom (x) = (d + ½ h) = (531 + 300) = 831 mm
6,968 x 204
Vu = = 182,24 kN
7,8
As 1901
ρw = =  0,009
b.d 400 x531
Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 93
V max 204
q=   26,15 kN/m
7,8 7,8
Mu = Vu . x – 0,5 . q . x2 – Mmax
= 204 x 0,831 – 0,5 x 26,15 x 0,8312 – 224,056 = -63,56 kNm = -
63560000 Nmm
 V max .d  b.d
Vc=  fc'  120.w. .
 M max  7

 204000 x531  400 x531


 37  120 x0,009 x x =128718,6709N= 128,718
  63560000  7
kN.
√f′c x b x d √37 x 400 x 528
ϕVc = 0,75 x = 0,75 x = 161497,3452 N
6 6

Vc<Vu>ϕVc ….Sehingga perlu menggunakan tulangan sengkang


Vs = Vu – Vc = 182,24 – 128,718 = 53,522 kN
Av = 2 x luas sengkang ϕ 8 = 100,53 mm2
Av x fy x d 100,53 x 240 x 531
S= = = 391,37 mm
Vs 53522

Kontrol :
 S ≤ ¾ h ; S ≤ ¾ x 600
S ≤ 450 mm
 S ≤ 600 mm
Sehingga menggunakan sengkang daerah tumpuan yang terkecil ϕ8-300
mm, sedangkan lapangan menggunakan sengkang praktis sehingga
menggunakan sengkang maksimum ϕ8-500

Gambar: 8.13. Tulangan Geser Pada Balok

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 94


DAFTAR PUSTAKA

1. ACI 318-08, 2008, “Building Code Recuirements for Structural


Concrete” an Commentary, 38800 Country Club Drive Farmington Hills,
MI 48331, U.S.A, June 2008.
2. ACI 318M-14, 2014, “Building Code Recuirements for Structural
Concrete”, American Concrete Institute 38800 Country Club Drive,
Farmington Hills, MI 48331.
3. Dharma Astawa Made, 2006, “Struktur Beton I”, Modul ajar, Hibah
Grant Kompetisi A1, Jurusan Teknik Sipil FTSP-UPN “Veteran” Jawa
Timur, ISBN : 978-979-1005-21-0.
4. Naaman Antoine E, 1982, “Prestressed Concrete Analysis and Design”,
Mc Growhill Book Company, New York, San Fransisco, Auckland,
Bogota, Hamburg, Johannesburg, London,Madrid, atc.
5. Naaman Antoine E, 1985, “Partially Prestressed Concrete (Review and
Recommendation)”, Special report, PCI Journal.
6. Lin T. Y, Burns Ned H, 2000, “Desain Struktur Beton Prategang” Jilid
1 dan 2, Intraksara-Jakarta.
7. Lie Fransiskus X.E, Dharma Astawa Made, Kartini Wahyu, 2013,
“Perencanaan Beam-Column Joint dengan Menggunakan Metode
Beton Prategang Partial”, Gedung Perkantoran BPR Jatim, Tugas Akhir
Jurusan Teknik Sipil FTSP-UPN “Veteran” Jatim.
8. Nawy Edward G, 2003, “Prestressed Concrete”, Pearson Prentice Hall,
upper Saddle River, New Jersey 07458.Nilson Arthur H, 1987, Design of
Prestressed Concrete, John Wiley & sons, Inc, New York, Chichester,
Brisbane, Toronto, Singapore.
9. RAKA IGP,1987, ”Beton pratekan parsial” Pidato ilmiah dalam rangka
dies natalis ITS ke XXVII, November 1987
10. Raka IGP, 1992, “LAPORAN Hasil pembebanan balok Jembatan
Pratekan Segmental untuk projek Jembatan Fly-over Kali Krembangan
jalan Tol Surabaya – Gresik” Laboratorium Struktur Jurusan Teknik
Sipil FTSP-ITS, Oktober 1992
11. HIBBAN AH dan ARIF S. HADI, RAKA IGP, “Analisa dan disain
lentur balok beton pratekan parsiil”. Tugas Akhir Jurusan Teknik Sipil
FTSP-ITS, Surabaya
12. REGLES B.P.E.L 1991, “Regles technique de conception et de calcul
des ouvrages et constructions en beton precontraint”, suivant la
methode des etats-limites Eyrolles Paris 1993.
13. SNI 1727: 2013, “Beban Minimum untuk Perancangan Bangunan
Gedung dan Struktur Lain”, Badan Standardisasi Nasional BSN, Jakarta
2013.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 95


14. SNI 2847: 2013, “Persyaratan Beton Struktural untuk Bangunan
Gedung”, Badan Standardisasi Nasional BSN, Jakarta 2013.
15. LACROIX R et FUENTES A, 1992, “Le project de beton precontraint”
Eyrolles Paris 1978
16. THONIER H, 1992, “Le beton precontraint aux etats-limites Presses de
l”, Ecole national des Ponts et Chaussees Paris 1992.

Monograf Struktur Beton Pratekan Parsial 96

Anda mungkin juga menyukai