SKRIPSI
Oleh:
SKRIPSI
diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
ii
KISAH PERTEMUAN NABI MUSA DAN NABI KHIDIR
DALAM AL-QUR’AN SURAH AL-KAHFI AYAT 60-82
(KAJIAN SEMIOTIKA FERDINAND DE SAUSSURE)
SKRIPSI
Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
Moch. Ali Fikri
NIM: U20171054
Disetujui Pembimbing
iii
KISAH PERTEMUAN NABI MUSA DAN NABI KHIDIR
DALAM AL-QUR’AN SURAH AL-KAHFI AYAT 60-82
(KAJIAN SEMIOTIKA FERDINAND DE SAUSSURE)
SKRIPSI
Hari: Rabu
Tanggal: 15 Desember 2021
Tim Penguji
Ketua Sekertaris
Anggota:
1. Dr. H. Safrudin Edi Wibowo, Lc., M.Ag ( )
Menyetujui
Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora
iv
MOTTO
ِِۗ ص ِهم ِعْب رةٌ ِّّلُ ِوِل ْاّلَلْب
اب ِ َلََق ْد َكا َن ِِف ق
َ َ ْ ص َ ْ
صْي َل ُك ِّل َش ْي ٍء َّوُه ًدى َّوَر ْْحَةً لَِّق ْوٍم يُّ ْؤِمنُ ْو َن ِ ما َكا َن ح ِدي ثًا يُّ ْفتَ ٰرى وٰل ِكن تَص ِديق الَّ ِذي ب ْي ي َدي ِه وتَ ْف
َ ْ َ َ َْ ْ َ ْ ْ ْ َ ْ َ َ
Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang
mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan
(sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS.Yusuf 12:111).
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya, guru-guru
vi
Abstrak
Moch. Ali Fikri, 2021: Kisah Pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam al-
Qur’an surah al-Kahfi ayat 60-82 (Kajian Semiotika Ferdinand de Saussure).
Kata kunci: Sintagmatik, Paradigmatik, Nabi Musa, Nabi Khidir, Saussure,
Kisah ini memiliki hal unik di dalamnya, karena dibangun dengan tiga
peristiwa besar dengan penggambaran tokoh yang berbeda karakternya, dimulai dari
pengerusakan perahu, pembunuhan anak kecil, hingga menegakkan dinding yang
hendak roboh. Kisah ini memiliki sejumlah pesan yang terkandung dalam setiap
peristiwanya. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan semiotika sebagai cabang
keilmuan yang meneliti tentang tanda-tanda bahasa yang terdapat dalam teks,
Berdasarkan hal tersebut, penulis memandang bahwa teori semiotika yang
dirumuskan oleh Ferdinand de Saussure dapat digunakan untuk menganalisis tanda-
tanda yang terdapat dalam pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir.
Fokus Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah: bagaimana pemaknaan
alur cerita kisah pertemuan Nabi Muda dan Nabi Khidir dalam al-Qur’an perspektif
struktural Ferdinand de Saussure, bagaimana implikasi hasil pemaknaan kisah
tersebut dalam kajian teks al-Qur’an.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari makna tanda dan simbol yang terdapat
dalam kisah pertemuan antara Nabi Musa dan Nabi Khidir. Untuk mencari makna di
luar konteks pemaknaan teks secara bahasa saja dalam al-Qur’an, peneliti memilah
beberapa peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam kisah. Peneliti menggunakan
metode analisis deskriptif struktural teori rumusan Ferdinand de Saussure, sehingga
dapat menemukan struktur yang terbentuk dalam pemaknaan penanda dan
petandanya.
Adapun hasil yang ditemukan dalam penelitian ini tertuju pada aspek
pemaknaan alur kisah, terdapat tiga tokoh yang membangun kisah ini, Nabi Musa,
Nabi Khidir dan Yusha’ bin Nun yang dipertemukan ditempat pertemuan dua buah
lautan dengan ikan sebagai penandanya, perjalanan awal hingga akhir yang
memberikan pesan tentang pentingnya sikap tawadhu’. Relasi sintagmatik dan
paradigmatik mengungkap fonem yang sering digunakan dan muncul di tiap fragmen
kisah ini sebagai bagian dari struktur yang membangun susunan teks. Dua fonem
yang ditemukan ialah alif tathniyyah dan ḍomir nun, penggunaan fonem tersebut
dalam keseluruhan kisah mengungkap bahwa, penggunaan fonem alif thathniyyah
mengindikasikan tentang karakteristik keilmuan yang berbeda berdasarkan batas
kesanggupan kemampuan masing-masing, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Musa
dan Nabi Khidir. Penggunaan fonem ḍomir nun mengindikasikan tentang kesopanan,
dan keagungan dalam memuliakan ilmu yang disandarkan kepada Allah.
Mengindikasikan bahwa ilmu itu sangat luas dan tidak terbatas di sisi Allah.
vii
KATA PENGANTAR
berusaha dan menyelesaikan skripsi ini dengan tanpa hambatan yang berarti. Selawat
serta salam semmoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita semua baginda Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari jaman jahiliyah hingga jaman yang
sekarang ini, yakni addînul Islam. Semoga di hari kiamat nanti, kita termasuk orang-
Penyusunan skripsi berjudul “Kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir
dalam al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 60-82 (kajian semiotika Ferdinand de Saussure)”
penulis ajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana
dalam Ilmu Agama Islam Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Universitas Islam
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa
adanya bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala
1. Bapak Prof. Dr. H. Babun Suharto SE. M.M., selaku Rektor Universitas Islam
viii
2. Bapak Dr. M. Khusna Amal M.Si., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Adab
dan Humaniora Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.
3. Bapak Dr. H. Imam Bonjol M.Si., selaku wadek I dan dosen pembimbing
4. Bapak Dr. Uun Yusufa M.A., selaku Kaprodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
sekaligus dosen pembimbing yang dengan sabar dan teliti telah membantu
5. Seluruh dosen Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab
dan Humaniora Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember..
organisasi baik IPNU, ICIS, keluarga besar TPQ Al-Ghofilin Jember, yang
7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, karena terlalu
banyak yang dilibatkan yang turut membantu proses penyusunan skripsi ini.
Semoga amal baik yang telah diberikan dapat diterima Allah SWT dan
mendapatkan balasan terbaik dari-Nya. Tiada kata yang pantas penulis ucapkan
selain rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan rasa syukur atas selesainya
penulisan skripsi ini. Akhirnya, penulis memohon maaf apabila dalam penulisan
skripsi ini terdapat banyak kesalahan, penulis mengharapkan adanya saran, kritik
ix
yang bisa membangun dan meningkatkan kualitas skripsi ini. Semoga penulisan
skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua pihak pada
umumnya.
Penulis
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN
Penyusunan skripsi ini berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, nomor 158 tahun 1987 dan
I. KONSONAN TUNGGAL
ب Ba B
ت Ta T
ث Tsa Th
ج Jim J
ح Ha ẖ
خ Kho Kh
د Dal D
ذ Dzal Dh
ر Ro R
ز Za Z
س Sin S
ش Syin Sh
ص Shad ṣ
ض Dlad ḍ
xi
ط Tha ṭ
ظ Zha ẓ
غ Ghain Gh
ف Fa F
ق Qaf Q
ك Kaf K
ل Lam L
م Mim M
ن Nun N
و Wau W
ه Ha’ H
ي Ya’ Y
xii
DAFTAR ISI
Hal
MOTTO ................................................................................................................ v
PERSEMBAHAN ................................................................................................. vi
xiii
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 23
xiv
A. Kesimpulan .............................................................................................. 77
B. Saran ........................................................................................................ 78
LAMPIRAN
xv
DAFTAR TABEL
Hal
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir dalam Q.S al-Kahfi ayat 60-82
termasuk kisah yang unik. Keunikan kisah itu ialah, banyak kejadian yang dapat
dikatakan di luar nalar berfikir seseorang. Kejadian ketika Nabi Khidir membunuh
anak yang masih kecil dan sengaja merusak kapal yang masih bagus, ketika kapal
itu dalam kondisi berlayar. Masih banyak lagi kejadian menarik yang ada di dalam
kisah tersebut.
Beberapa kejadian unik yang ada, tidak terlepas dari kedua tokoh yang
berbeda antara Nabi Musa dan Nabi Khidir. Dapat dikatakan bahwa Nabi Musa
menafsirkan keadaan dengan fakta empirisnya sesuai dengan panca indera yang
ada. Tidak mengeherankan ketika Nabi Musa melihat dan mengetahui secara
langsung tindakan apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir, ia merasa tidak suka,
Nabi Khidir adalah gambaran manusia yang memiliki sebuah nilai plus
dibanding manusia pada umumnya, karena dalam kisah tersebut Nabi Khidir
Dalam hal ini, tentunya setiap tutur kata maupun tindakan yang dilakukan oleh
Nabi Khidir mengandung makna berkaitan dengan masa depan yang sudah
1
2
keagamaan, serta ilmu pengetahuan yang mampu dijangkau ataupun yang tidak
dianggap sebagai tokoh yang tidak sabar, terlalu fanatik dan emosional.1
Ketidaksabaran Nabi Musa terhadap perbuatan Nabi Khidir itulah yang justru
sebuah kitab dakwah keagamaan yang membentuk pola pemikiran dogmatis pada
Sementara itu, untuk menggali makna baru di luar pesan dasar kisah
tersebut, perlu adanya analisis baru pada aspek yang berbeda, yaitu pada
tekstualitas kisah perjalanan Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir. Menarik
untuk dikaji terkait apa saja hubungan tanda yang membentuk struktur teks kisah
pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir, sehingga memunculkan makna lain. Teks
dalamnya.
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir
sarat akan tanda. Hal tersebut tidak mungkin dipisahkan dari sifat al-Qur‟an yang
menyatakan bahwa dirinya adalah kitab tanda, ditandai dengan kata ayat (âyah)
1
Sayyid Qutb, Indahnya Al-Qur‟an Berkisah, Terj. Fathurrahman Abdul Hamid (Jakarta:
Gema Insani, 2004), 225.
3
Adapun tanda dalam al-Qur‟an berbentuk teks yang unik dalam setiap susunan
katanya, maka salah satu teori yang membantu untuk memahami kisah secara
memaparkan bagaimana kisah pertemuan Nabi Musa dan „Abd dianalisis dengan
patologi sosial, dalam kacamata teori triadik Pierce, pada taraf Object, ayat yang
dikaji tersebut mengandung beberapa tanda indeks dan simbol. Tanda indeks yang
dimaksud seperti contoh kata muthannâ (dua orang/benda) dengan alif tathniyyah
yang terdapat pada kata kerja intalaqâ (mereka berdua berjalan) dan laqiyâ
(mereka berdua berjumpa) yang merujuk pada Nabi Musa dan „Abd.
tulis skripsinya, menjelaskan bahwa, Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam
surah al-kahfi ayat 66-82 merupakan representasi dari suatu karakter gaya hidup
epistimologi yang berlangsung sejak zaman yunani kuno. Musa yang bernalar
2
H.Salman Harun Dkk. “Kaidah-Kaidah Tafsir:Bekal Mendasar Untuk Memahami Makna
Al-Qur‟an Dan Mengurangi Kesalahan Pemahaman”, (Jakarta Selatan: Penerbit Qaf, 2020), 85.
4
bayani (positivistik) dan Khidir dengan karakter ilutif yang bernalar „irfani
(metafisis). 3
simbol yang dimaksud di atas dalam ranah kajian patologi sosial, serta
diungkapkannya karakter nalar dari kedua tokoh penting dalam kisah tersebut,
akan mengungkap bagaimana struktur sebuah teks itu bisa berkomunikasi terhadap
hingga munculnya tanda-tanda dan menjadikan bentuk itu sebagai sistem bahasa.5
3
Isnan Hidayatullah, “Kisah Nabi Musa Dan Nabi Khidir Dalam Al-Qur‟an Surah Al-Kahfi
66-82 Studi Kritis Pendekatan Semiotika Roland Barthes,” (Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2004), 8.
4
Ferdinand de Saussure, orang pertama dan terutama yang merumuskan “linguistic
sinkronik,” dilahirkan pada tahun 1857 dan wafat pada tahun 1913. Dia mengajar pada Ecole Pratique
de Hautes Etudes di Paris dari tahun 1881 sampai dengan 1891, sebelum kembali ke Geneva. Saussure
sebenarnya terlatih sebagai seorang linguis konvensional, yang mengkaji perkembangan variasi bahasa
secara historis, dan mencapai kesuksesan yang banyak menarik perhatian pada usianya yang masih
sangat belia.bukunya yang berjudul Memoir sur le sistem primitive des voyelles dans les langues indo-
europe enes (1878) tetap menjadi pedoman dalam merekonstruksi bahasa-bahasa Proto-inderopa. Dia
meninggal sebelum sempat mempublikasikan sedikitpun teori nya tentang linguistic sinkronik. Dikutip
Dalam buku karya Kris Budiman, Kosa semiotika, (Yogyakarta: Lkis,1999), 105.
5
Khoirul Zaman Al Umma, “Ferdinand De Saussure: Structuralism And His Role In Modern
Linguistics”, Jurnal Lisanu Ad-Dhad Vol.02, No.1, (April, 2015), 6.
5
bahasa) dan paradigmatik (relasi makna yang dapat mengisi fungsi sintaksis) yang
atas beberapa kata maupun satuan terkecil dari kata yang disebut fonem, dan
teks al-Qur‟an pada masa sekarang, kajian al-Qur‟an yang terus berkembang akan
memberikan warna tersendiri dalam kajian Islam yang begitu luas untuk dipahami
segala hal yang menarik di dalamnya. Tidak berlebihan jika penulis mengatakan
bahwa teori rumusan Saussure adalah salah satu teori yang tepat untuk
menganalisis struktur kisah dalam sebuah teks yang terdapat dalam al-Qur‟an.
Khususnya pada kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir yang terdapat
banyak tanda yang perlu untuk dianalisis dalam kajian semiotika hingga nantinya
B. Fokus Penelitian
1. Bagaimana pemaknaan alur cerita kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi
6
Zainuddin Soga, Hadirman., Semiotika Signifikasi, 58.
6
2. Bagaimana Implikasi hasil pemaknaan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir
C. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain:
1. Mengungkap pemaknaan alur cerita kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi
2. Menjelaskan Implikasi hasil pemaknaan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir
D. Manfaat Penelitian
teoritis maupun secara praktis. Berikuti ini uraian manfaat teoritis maupun manfaat
1. Manfaat Teoritis
perkembangan ilmu al-Qur‟an mengenai kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi
siapa saja yang ingin meneliti atau mengembangkan penelitian yang baru.
2. Manfaat Praktis
Sejak menekuni kajian keislaman dan tafsir di IAIN, sebagai penulis tentu
7
memiliki minat yang kuat tidak hanya menjalani perkuliahan secara formal,
namun juga berusaha keras untuk mencari tahu dan melakukan pembacaan
tersebut.
Hasil dari penelitian ini penulis berharap nantinya bisa menjadi bahan
Qur‟an.
menjadi salah satu bahan bacaan yang menarik dan memberikan wawasan
E. Definisi Istilah
Dalam judul penelitian ini, ada dua terminologi atau istilah yang perlu
“Semiotika”.
1. Kisah
Istilah kata Kisah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah
kehidupan seseorang dan sebagainya. Hal ini menunjukkan Makna kisah ialah
sebuah cerita atau kejadian yang telah terjadi, karena tidak mungkin sebuah
kejadian itu menjadi sebuah cerita yang akan dikisahkan kepada khalayak
2. Semiotika
atau dari kata semeiotikos, yang bearati teori tanda.8 Dalam konteks Eropa dan
Amerika Modern, ada dua istilah popular yang digunakan untuk menyebut
7
W.j.s, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, cet.4, (Jakarta
Timur;: Pt.Balai Pustaka Persero, 2011 ), 601.
8
Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika: Paradigma Teori Dan Metode Interpretasi Tanda
Dari Semiotika Structural Hingga Dekonstruksi Praktis, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2014), 20.
9
Dadan Rusmana, 20.
10
Ambarini AS, Nazia Maharani Umaya, Semiotika Teori Dan Aplikasi Karya Sastra, (PGRI
Semarang Press, T.Th), 28.
11
Ambarini AS, Nazia Maharani Umaya, 29.
9
F. Sistematika Pembahasan
penelitian tersebut bisa runtut dan teratur. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini
disusun dalam beberapa bab dan tiap bab terdapat sub-bab. Sistematika penulisan
yang peneliti gunakan dalam penulisan skripsi nantinya adalah sebagai berikut:
sebagai awal dari munculnya permasalahan. Selain itu, dijelaskan juga tujuan dan
kegunaan dengan adanya penelitian ini. Serta definisi istilah, terakhir yakni
sistematis.
memaparkan beberapa data yang ditemukan terkait penelitian yang sudah pernah
dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dengan tema yang sama namun berbeda
rumusan teori Ferdinand de Saussure yang akan digunakan sebagai bagian dari
berisikan jenis dan model penelitian, pendekatan dan objek penelitian, sumber data
metode analisis data yang meliputi analisis deskriptif struktural teori rumusan
Ferdinand de Saussure.
10
Ferdinand de Saussure terhadap kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir
dalam al-Qur‟an. Sebagai bagian dari tatanan pertama, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah melakukan analisis struktural pada kisah yang telah
Bagian ini merupakan inti dari semiotika Ferdinand de Saussure yakni menemukan
maupun idealis dalam teks, terakhir implikasi makna terhadap kajian teks al-
Qur‟an.
Bab Kelima, merupakan bagian akhir yang berupa kesimpulan dari hasil
penelitian dan saran yang bisa disampaikan penulis berkaitan dengan penelitian.
Pada kesimpulan ini pemaknaan yang dicari akan dapat disimpulkan. Pemaknaan
tanda dan simbol yang telah ditemukan merupakan bukti bahwa sebuah teks
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Penelitian Terdahulu
pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam surah al-Kahfi sudah banyak
kisah. Kedua, studi pemikiran tokoh sebagai metode analisis terhadap kisah.
metode analisis yang sama namun berbeda tokoh dapat ditemukan sebagai
berikut:
Tabel 2.1
Kajian pustaka 1
11
12
12
Isnan Hidayatullah, “Kisah Nabi Musa Dan Nabi Khidir Dalam Al-Qur‟an Surah Al-Kahfi
66-82 Studi Kritis Pendekatan Semiotika Roland Barthes,” (Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2004), 8.
13
nilai-nilai hikmah secara umum yang terdapat dalam kisah Nabi Musa dan Nabi
13
Muhammad Agus Mushodiq, Kisah Nabi Musa Dan „Abd Dalam Al-Qur‟an Sudi Analisis
Semiotika Patologi Sosial Epistimologi „Abid Al-Jabiri, (Tesis, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2016). 1-140.
14
Tabel 2.2
Kajian Pustaka 2
14
Jaya Famili, “Nilai- Nilai Hikmah Dalam Kisah Pertemuan Nabi Musa As Dan Nabi
Khidhir As Studi Tafsir Tematik Q.S. Al-Kahfi: 60-82,” (Skripsi, UIN Raden Fatah Pelembang, 2020),
1-20.
15
Didin Saputra, “Nilai-Nilai Spiritual Pada Kisah Nabi Musa A.S Dengan Khidir Dalam
Surah Al-Kahfi,” (Skripsi, Fakultas Ushuluddin Dan Dakwah, IAIN Surakarta, 2014), 8.
16
Riza Faesal Awaludin, Ika Wahyu Susiani, “Fenomena Pragmatis Dalam Al-Qur‟an
Analisis Tindak Tutur Ilokusi Pada Percakapan Musa A.S Dan Khidr”, Jurnal Al-Adabiya, Vol 14 No.
02, (INSURI, Ponorogo, 2019), 118-130.
15
memakainya dalam penelitian tema yang sama. Akan tetapi, ada pendekatan
semiotika yang memakai teori Roland Barthes dan Charles Sanders Pierce.
B. Kajian Teori
tentang mukjizat dan perjalanan dakwah Nabi kepada kaumnya pada zamannya.
Kedua, kisah tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Akan tetapi,
bukan para Nabi, seperti halnya cerita Zulkarnain, Maryam, Qabil dan Habil,
dan lain-lain.
Ketiga, kisah-kisah yang terjadi pada masa Rasul Allah seperti perang
yang terekam dalam sejarah Islam, perang Badar, perang Uhud dalam al-Imron,
17
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru ILMU TAFSIR, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016),
223-224.
18
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 229-230.
16
cara hidup sebagai khilafah yang diserahi amanah untuk memakmurkan dan
membangun kehidupan yang layak bagi umat manusia di muka bumi ini. Dari
situlah kisah berisi berbagai materi antara lain: tauhid, akhlak, dan mu‟amalah.
tinandanya bukanlah konsep yang sudah ada dari dulu, tetapi konsep-konsep
Hubungan ini terdapat dalam kata sebagai rangkaian bunyi maupun sebagai
konsep.19
19
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; hermeneutika hingga ideologi, (Yogyakarta:
LKIS, 2013), 229
17
satu kata dengan kata-kata yang lain, atau antara suatu satuan gramatikal
dengan satuan-satuan yang lain, didalam ujaran atau tindak tutur tertentu.
Atau dalam kata lain proses sintagmatik dibangun oleh kombinasi linier antar
tanda (misalnya sinonim) yang darinya segala tanda yang ada diseleksi.
analisis bahasa.20
terdiri dari: jim ba dan ro. Apabila urutannya dirubah, maka akan berubah
20
M. S. Yoon et al., “Effects of Vagal Stimulation, Atropine, and Propranolol on Fibrillation
Threshold of Normal and Ischemic Ventricles,” American Heart Journal 93, no. 1 (January 1977): 54,
https://doi.org/10.1016/s0002-8703(77)80172-5.
21
Sahkholid Nasution, PENGANTAR LINGUISTIK: Bahasa Arab, Cet. 1, (Malang: Lisan
Arabi, 20 17), 21.
18
Tabel 2.3.
Sintagmatik dan Paradigmatik Fonemik
Kata Maknanya
( ججسjabara) Memperbaiki/membantu, memaksa, menghibur
( جسةJariba) Berkudis
( ثجسBajara) Besar Perut
( ثسجBaraja) Tampak dan tertinggi
( زجتRajaba) Mengagungkan
( زثجRabaja) Bodoh
suatu kata, dalam bahasa Arab hal yang sama akan ditemukan. Kata
Dalam bahasa Arab kita akan menemukan hal yang sama pada
contoh berikut:22
22
Sahkholid Nasution, PENGANTAR LINGUISTIK, 22.
19
dengan fonem yang dapat menggantikannya, seperti fonem /d/, /c/, /j/,
dan /ح/, /ج/, /خ/ dan /م/ pada kata bahasa Arab berikut:
D : dari جسد
C : cari خسد
J : jari هسد
23
M. S. Yoon et al.,Effects of Vagal Stimulation, 54-55
20
paradigmatik dengan morfem di-ter-, atau pe-. Dan sufiks /د/, /ى/, /روب/,
pe- : pembaca
hubungan paradigmatik:.
Tabel 2.4
Sintagmatik dan Paradigmatik Sintaksis
pola.
21
psikologis yang berisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur penanda
Sign (tanda)
Realitas
Eksternal
Tersusun atas Pertandaan atau makna
Sign (tanda)
bahwa tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi oleh
panca indera; tanda mengacu pada sesuatu diluar tanda itu sendiri; dan
makna itu.24
24
Ismayani, “Pesan Dakwah Dalam Film Aku Kau Dan Aku Analisis Semiotika Ferdinand
De Saussure,” (Skripsi Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar: 2017), 34.
22
seorang ahli linguistik, bahasa sebagai sistem tanda (sign) itu hanya dapat
tertentu.25
lahir dari lingkungan sosial individu tersebut. Sementara itu Parole adalah
mengekspresikan pemikirannya.
25
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; Hermeneutika Hingga Ideologi, 229
26
Fajriannoor Fanani, Semiotika Strukturalisme Saussure, Jurnal the messenger, Vol.V No.1
(Ilmu Komunikasi Universitas Semarang: Januari, 2013), 14.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
dalam kajian ini. Sedangkan model penelitian ini adalah penelitian pustaka.
adalah ayat-ayat yang membahas tentang kisah pertemuan Nabi Musa dan
Nabi Khidir dalam al-Qur‟an surah al-Kahfi ayat 60-82. Sedangkan yang
digunakan untuk mengkaji kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir
3. Sumber data
a. Data Primer
Data primer yang menjadi acuan penulis dalam penelitian ini adalah
kitab suci al-Qur‟an tentang kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir
23
24
yaitu al-Qur‟an surah al-Kahfi ayat 60-82 dan beberapa kitab tafsir klasik
b. Data sekunder
Data sekunder yang digunakan oleh penulis adalah kitab, buku, jurnal
literatur atau hasil penelitian yang setara dengan pembahasan tentang kisah
pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam al-Qur‟an surah al-Kahfi dan
yang berbicara tentang pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam al-
5. Analisis Data
BAB IV
sintaksis ayat, jadi ketika fonem itu berubah ataupun diubah, maka akan
berfungsi untuk mencari makna dan konteks yang masuk dalam struktur
makna yang terdapat dalam surat al-Kahfi ayat 60-82 berupa sinonim
ِ ال مو ٰسى لَِفتٰىو ََلٓ اَب رح ح ّٰٓت اَب لُ َغ َْرلمع الْبحري ِن اَو اَم
ض َي ُح ُقبًا ِ
ْ ْ َْ ْ َ َ َ ْ ّ َ ُ َْ ُ ْ ُ َ ََوا ْذ ق
الشاب
ّ
Sintagmatik خادم
Paradigmatik
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak
akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan
berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.”27
27
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahan, diakses pada tanggal
4 Juni, 2021, https://quran.kemenag.go.id/.
25
26
rangkaian cerita kisah perjalanan Nabi Musa dari awal sampai akhir.
penting berikutnya, mengacu pada salah satu tokoh sentral cerita, bisa
disebut tokoh pertama. Mûsâ merupakan tokoh yang nantinya akan banyak
tokoh yang lain yang ada dalam cerita. Wa idh qâla Mûsâ (dan ingatlah
ketika Nabi Musa berkata) lifatâhu, kepada seorang anak remaja yang
diketahui dalam tafsir al-jalâlayn bernama Yusha‟ bin Nun, dia adalah
murid yang setia mengikuti dan melayani Nabi Musa sebagai gurunya.30
28
Salman Harun dkk, kaidah Tafsir, 357.
29
Nadirsyah Hosen, TAFSIR AL-QUR‟AN BIL MEDSOS; Mengkaji makna dan rahasia ayat
suci pada era media sosial, Cet.1, (Bandung: Mizan Media Utama, 2019), 290.
30
Jalâl al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî, Jalal al-Din „Abdurrahman bin Abî Bakr
al-Suyûṭî, Tafsîr al-jalâlayn, (t.t. Dâr al-Ḥadîth, t.th), 389.
27
(“ )فّتFatâ” disebutkan sebanyak tiga kali dalam al-Qur‟an, pertama pada
surah Yusuf ayat 30, surah al-Anbiya‟ ayat 60, dan surah al-Kahfi ayat 60,
yang telah masuk masa dewasa bentuk fisik yang kuat bertenaga dan akal
fikiran sudah terbuka untuk menerima wawasan baru dan memiliki karakter
setia. Pemilihan kata “Fatâ” adalah contoh kesopanan Islam, agar orang
historis, maka perjalanan untuk mencari sesuatu itu tidak akan berhenti
ِِ ِ ِ
َ اْلَ ِامع ل َذل
ك ْ ) َوََْبر فَا ِرس ِمَّا يَلي الْ َم ْش ِرق أ
ْ َي الْ َم َكان tempatnya di antara
31
Hamka, TAFSIR AL-AZHAR: Diperkaya dengan pendekatan sejarah, sosiologi tawasuf,
ilmu kalam, satsra dan psikologi, Jilid 5 (Jakarta: GEMA INSANI, 2015), 404.
28
tinggi Nabi Musa yang akan terus berjalan berapapun tahun lamanya
فَلَ َّما بَلَغَا َْرل َم َع بَْينِ ِه َما نَ ِسيَا ُح ْوتَ ُه َما فَ َّاَّتَ َذ َسبِْي لَوُ ِف الْبَ ْح ِر َسَرًب
Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka
lupa ikannya, lalu (ikan) itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.34
sesuatu hal terjadi, nasiyâ ẖûtahumâ, mereka berdua Nabi Musa dan
Nabi Musa dan muridnya ketika perjalanan membawa ikan. Lalu dalam
32
Jalǎl al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî, Tafsîr al-jalâlayn, 389.
33
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 16, 287.
34
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
29
kisah ini, menandakan ikan tersebut berukuran besar yang cukup apabila
dikonsumsi oleh dua atau tiga orang. Kata (“ )سبيلSabîl” tersebut memiliki
hubungan paradigmatik dalam kata (“ )طريقṬorîq” dan kata (“ )صرطṢirôṭ”
biẖ, konteks ayat menunjukkan makna jalan yang berkaitan dengan tempat
dalam kitabnya, menurut sebuah pendapat, Allah menahan air yang akan
atasnya.36
35
Kata as-Sabîl jamaknya subul, asbul dan asbilah berarti aṭ- ṭarîq (jalan) atau sesuatu yang
dapat menjelaskan (menerangkan) dari padanya. Kata aṭ-ṭarîq jamaknya adalah ṭuruq dan aṭruq dan
aṭtiqa‟ dan ṭariqat yang mempunyai arti as-Sabîl (jalan). Kata ṣirōṭ atau ṣaratǎ: as-ṣurǎt jamaknya
ṣuruṭi yang berarti ṭarîq “jalan” (terambil dari bahasa yunani), ṣirǎt adalah pedang yang panjang yang
digunakan untuk memotong. Dikutip dari skripsi karya Ali Fathi Daraini, “Tafsir ayat Shirat, Sabil,
Thariq, dan Salkan dalam al-Qur‟an; Studi analisis Tafsir al-Qurthubhy,” (Skripsi: UIN Sumatera
Utara Medan, 2018), 54.
36
Wahbah az-Zuhailî, “F. Huruf-Huruf yang Terdapat di Awal Sejumlah Surah (Huruuf
Muqaththa‟ah) 20 G. Tasybiih,Isti‟aaroh, Majaaz, dan Kinaayah dalam Al-Qur‟an 21,” n.d., 280.
30
ِ ِ ِ ۖ ۤ ِ ِ
صبًا
ََن ا ذ
َ ى
ٰ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َال ل َفتٰىوُ اٰتنَا َغ َداء
َن
ر فس ن م ا ن ي ق ل
َ د
ْ قَل َن َ َفَلَ َّما َج َاوَزا ق
Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu), Musa berkata
kepada pembantunya, “Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah
merasa letih karena perjalanan kita ini.”37
Kata (“ ) َغ َداءGhodâ” maknanya makanan siang, artinya Nabi Musa dan
waktu siang.38 Dalam kata tersebut memakai ḍomir nun, artinya makanan
karena laqod laqînâ min safarinâ hâdha nasobâ preposisi lâm (lâm al-
morfem terikat, sebab dua preposisi ini hanya akan memiliki arti apabila
dan qad dihubungkan dengan verba lampau (fi‟il maḍi) laqîna dengan
ḍomir mustatir yang kata dasarnya dari kata laqâ, sehingga berfungsi
37
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
38
Muhammad Warson Munawwir, AL-MUNAWWIR; Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:
PUSTAKA PROGRESSIF, 2002), 998.
31
memberikan makna teks dialog yang digunakan oleh Nabi Musa bermakna
kebersamaan.
ۖ
ت َوَمآ اَنْ ٰسىنِْيوُ اََِّل الشَّْي ٰط ُن
َ احلُْو
ْ ت ِ ِِالصخرِة فَا
ُ ّن نَسْي
ِ
ّْ َ ْ َّ ت ا ْذ اََويْنَآ ا َىل
ِ ال اَراَي
َ ْ َ َ َق
ُۚ
اَ ْن اَذْ ُكَرهُ َو َّاَّتَ َذ َسبِْي لَوُ ِف الْبَ ْح ِر َع َجبًا
Dia (pembantunya) menjawab, “Tahukah engkau ketika kita
mencari tempat berlindung di batu tadi, maka aku lupa (menceritakan
tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk
mengingatnya kecuali setan, dan (ikan) itu mengambil jalannya ke laut
dengan cara yang aneh sekali.”40
kepada gurunya yakni Nabi Musa ketika muridnya berkata qâla aroayta
idh awaynâ ilâ ṣokhroti fainnî nasîtul ẖût, kata idh yang setelahnya berupa
aroayta idh awaynâ ila ṣokhroti fainnî nasîtul ẖût ketika sang murid
berkata kepada Nabi Musa, “Tahukah anda dan ingkatkah anda ketika kita
hendak mencari tempat dan beristirahat dibalik batu tadi, maka Sungguh
39
H.Abdul Haris, TEORI DASAR NAHWU & SHOROF; Sebuah Terobosan Dalam Belajar
Membaca Kitab Kuning, Cetakan 1 (Jember: Pustaka Al-Bidayah, 2017), 21.
40
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
41
Munasabah dari segi etimologi adalah hubungan antara dua pihak atau lebih, dari segi
terminologi adalah pengetahuan tentang makna yang terkandung dalam perurutan pernyataan dalam al-
Qur‟an
32
aku telah melupakan ikan yang dibawa.” Murid tersebut lupa mengatakan
tentang kejadian ikan itu kepada Nabi Musa karena tipu daya setan yang
mempengaruhinya.
mengindikasikan bahwa sebenarnya dia dalam hal ini muridnya Nabi Musa
tidak akan melupakan ikan tersebut kecuali setan yang membuat dia
tersebut, ketika ikan itu sedang mengambil jalannya di laut dengan cara
yang tampak aneh dan lantas membuat keduanya merasa keheranan dan
takjub.42
Dia (Musa) berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya
kembali, mengikuti jejak mereka semula.43
nabghi itulah sesuatu (yang merujuk tempat) yang kita cari-cari. Kata isim
42
Jalǎl al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî, Tafsîr al-jalâlayn, 391.
43
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
44
Salman Harun dkk, kaidah Tafsir, 668.
33
Musa bahwa kejadian aneh ikan tersebut serta tempat peristirahan itu
membentuknya ketika di telisik tiap unsur yang membangun dan hal yang
menggunakan petunjuk yang sudah ada. Allah SWT bisa saja dengan
berlangsung singkat dan dihadapkan pada suatu tempat tertentu, bukan hal
yang sulit bagi Allah SWT untuk melakukannya. Salah satu letak nilai
pelajarannya bahwa segala sesuatu itu, ada proses terkait waktu dan tempat
Fragmen ini pada garis besar alur ceritanya dapat dibagi menjadi
lima tahap. Pertama, bertemunya Nabi Musa dengan seorang hamba Allah
yang merupakan salah satu tokoh penting dalam alur cerita ini. Kedua,
Nabi Musa ingin mengikuti seorang hamba Allah tersebut kemanapun dia
Ketiga, hamba Allah berkata kepada Nabi Musa bahwa perjalanan yang
salah satu syarat kepada Nabi Musa agar tidak menanyakan sesuatu apapun
فَ َو َج َدا َعْب ًدا ِّم ْن ِعبَ ِاد ََنٓ اٰتَْي نٰوُ َر ْْحَةً ِّم ْن ِعْن ِد ََن َو َعلَّ ْمنٰوُ ِم ْن لَّ ُد ََّن ِع ْل ًما
seorang hamba, ada alif tathniyyah yang menandai dua orang, artinya
keduanya, yaitu Nabi Musa dan muridnya bertemu salah seorang hamba.
Kata ( )عبداdikatakan Nabi Khidir yang memiliki nama Balya bin Malkan.46
45
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
46
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 16, 288.
47
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur‟an, Vol. 8,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), 94
35
Lafadz harf jer ( )منyang terdapat dalam ayat ini juga digunakan
kami berikan rahmat) kepadanya dari sisi kami, yakni kenabian menurut
yang telah kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi kami. Lafadz „ilman
Min yang ketiga, menjadi pelengkap diantara dua konjungsi min, artinya
ilmu yang diberikan kepada seorang hamba tersebut tidak ada seorang pun
penetapan waktu dan tempat yang menjadi pertemuan kedua tokoh penting
itu dengan pertemuan dua laut, yakni laut air dan laut ilmu, oleh karena
kedua lautan itu sebagai gambaran bahwa ilmu itu luas adanya, tidak hanya
luas namun juga menunjukkan kedalaman. Hal yang menarik lainnya ialah,
pertemuan itu ditandai oleh ikan yang juga dinamai oleh al-Qur‟an Nûn
48
Salman Harun dkk, kaidah Tafsir, 348.
49
Jalâl al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî, Tafsîr al-jalǎlayn, 393.
36
serta digunakan-Nya untuk bersumpah bersama dengan pena dan apa yang
dengan orang yang tampak selalu menutupkan sehelai kain putih pada
kepalanya. Nabi Musa pun memberi salam kepadanya dan Nabi Khidir pun
ِ ِ ِ ٓ َ وسى ىل اَتَّبِع
َ ك َع ٰلى اَ ْن تُ َعلّ َم ِن ِمَّا عُلّ ْم
ت ُر ْش ًدا ُ ْ َ ٰ ال لَوُ ُم
َ َق
Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau
mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu
(untuk menjadi) petunjuk?”52
Qâla lahu Mûsâ dalam frase ini ditandai dengan mulai adanya
ada hal istifhâm Nabi Musa meminta izin kepada Nabi Khidir supaya bisa
mûsâ hal attabi‟uka „alâ an tu‟allimani mimmâ „ullimta rushdan ( من العلم
50
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 8, 91.
51
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 16, 288.
52
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
37
احلق
ّ )الذي علمك هللا ما ىو رشاد إىل, ilmu yang ada pada Nabi Khidir dan
53
diketahui diberikan oleh Allah SWT sebagai orang yang memiliki petunjuk
langue, kemudian ayat tersebut juga merupakan bentuk ujaran parole. Nabi
Musa sebagai Penutur dan Nabi Khidir sebagai penerima ujaran. Oleh
sebuah etika yang baik. Menandakan bahwa tidak ada pengharusan ataupun
dperhatikan secara menyeluruh struktur sintaksis yang ada pada ayat 66.
Diketahui Nabi Musa secara langsung meminta izin untuk berguru kepada
53
Muhammad bin jarîr bin yazîd bin kathîr bin ghôllib al-Âmalî Abû ja‟far aṭ-Ṭobarî, Tafsîr
aṭ-Ṭobari; jâmi‟ul bayân „an ta‟wîl ay al-Qur‟ân, jilid 15, (t.t. Dâr hijr liṭobâ‟at, 2001), 71.
54
H.Abdul Haris, TEORI DASAR NAHWU & SHOROF, 170.
38
dibalik itu semua ialah untuk mempelajari suatu ilmu dan mengindikasikan
hal. Nabi Khidir memberikan penegasan bahwa Nabi Musa tidak akan
sanggup untuk mengikutinya. lan merupakan (harf nafy) dan kata tastati‟a
akan sanggup terkait zaman istiqbâl (sesuatu yang akan terjadi) ma‟iya
suatu tempat yang akan disinggahi itu belum diketahui secara pasti ketika
nantinya Nabi Musa ikut bersamanya. Di akhir struktur sintaksis ini ada
adalah (sabar).
tidak akan mampu bersabar terhadap perkara yang akan kamu lihat dariku.
55
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
56
Muhyiddîn Ad-Darwîs, I‟rob al-Qur‟ǎn al-Kǎrim wa Bayǎnuhŭ, Jilid 4, (Beirût: Dâr-Ibn
kathîr, 1999), 519
39
Karena adanya perbedaan ilmu diantara kita yang Allah berikan. Maka
bagaimana kamu (Nabi Musa) taṣbiru (fi‟il muḍori‟) terkait zaman istiqbâl
(yang akan terjadi) makna leksikalnya akan bersabar „alâ mâ lam tuẖiṭ bihî
sesuatu yang kamu ingin pelajari dariku. Lafadz ghubron disini berbentuk
perbedaan ilmu antara keduanya. Ayat ini juga merupakan salah satu
isyarat kepada kita sebagai pembaca bahwa ilmu pengetahuan apapun juga
57
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 8, 322.
58
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
59
Muhyiddîn Ad-Darwîs, I‟rob al-Qur‟ân al-Kârim wa bayânuhû, 519
40
ِ ِ ۤ ِ ِ ِ
ك اَْمًراَل ي
َ ْ ْ ص عا
َ َل
ٓ و
ََّ ا
ر اص ٰ
ً َ ُّ َ ّنٓ ا ْن َش
ب اّلل ء ا ْ ال َستَج ُد
َ َق
Dia (Musa) berkata, “Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang
sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.”60
Inshâ Allahu ṣôbiron, ialah salah satu adab yang baik ketika Nabi
menjadi langue secara teks saja, tetapi bisa menjadi parole bagi para
sebuah gambaran manusia yang taat dan sadar bahwa dirinya tidak lebih
60
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
61
H.Abdul Haris, TEORI DASAR NAHWU & SHOROF, 21.
62
Abû al-Fidâi Ismâil bin „umar bin Kathîr al-Qurshî al-Biṣrî ad-Dimashqî, Tafsîr al-Qur‟ân
al-„aẓîm, Jilid 8 (t.t. Dâr-lilnashri wa at-Tawzî‟, 1999), 774
41
syarat dari Nabi Khidir terhadap Nabi Musa jika memang benar-benar
tas‟alnî „an shai‟in ẖatta uhdithalaka minhu dhikron maksud dari ayat
tersebut ialah, ketika Nabi Musa melihat perkara yang dilakukan oleh Nabi
dengan cara tidak bertanya maupun mencegahnya ( وىذا من آداب ادلتعلم مع
)العاَل.65
63
Abû al-Qâsim Mahmûd bin „Umar bin Ahmad az-Zamakhsharî, Tafsîr al-Kashâf „an
haqâiq ghowâmiḍu al-Tanzîl, Jilid 2, (Beirût: Dâr al-Kitâb al-„Arabî, 1986), 734.
64
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
65
Az- Zamakhsharî, Tafsîr al-Kashâf, 735.
42
Fragmen ketiga ini dimulai dengan awal perjalanan Nabi Musa dan
Nabi Khidir.
dengan alif tathniyyah67 yang memiliki makna Nabi Musa dan Nabi Khidir
ini adalah Nabi Musa dan Nabi Khidir, tidak lagi melibatkan murid yang
mereka.68
66
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
67
Ahmad „abîd ad-Da‟âs Ahmad Muhammad Hamîdân Ismâil Mahmûd al-Qâsim, I‟rôb al-
Qur‟ân al-Karîm, Jilid 2 (Dimasqi: Dâr al-Munîr wa Dâr al-Fârabî, 1999), 226.
68
Az- Zamakhsharî, Tafsîr al-Kashâf, 735.
43
keduanya berjalan dalam kata rokibâ yang merupakan fi‟il maḍi ditambah
dengan alif tathniyyah yang menunjukkan arti fa‟il dua orang dengan di
iḍofah kan kepada fî safînati, termasuk isim ma‟rifah dengan ketambahan ()ال
artinya perahu itu sudah diketahui secara khusus lalu kemudian ada insiden
Nabi Khidir melubanginya dengan kapak ( أخذ اخلضر فأساً فخرق السفينة
pengerusakan biasa yang hanya membuat perahu tergores, tapi lebih jauh dari
Nabi Musa, qâla akhoroqtahâ litughriqo ahlahâ, dalam frase ini terdapat
69
Ahmad „abîd ad-Da‟âs, I‟rôb al-Qur‟ân al-Karîm, 226.
70
Nâṣir al-Dîn Abû Sa‟îd „Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Shairôzî al-Baiḍowî, Tafsîr
Anwâr al-Tanzîl wa Asrôr al-Takwîl, Jilid 3 (Beirût: Dâr Ihyâ‟ al-Tarôth al-„Arobî, 1997), 288.
44
termasuk (التعليل )َلم yang berkaitan dengan sebuah “alasan” apakah kamu
para penumpangnya?.71
laqod ji‟ta shai an imron yang mana terdapat morfem terikat lam dan qod
ditunjukkan oleh Nabi khidir itu merupakan sebuah kesalahan besar dalam
pandangan Nabi Musa. Perilaku tersebut dianggap sebagai sesuatu yang dapat
dalamnya dan hal tersebut sebagai bentuk kufur nikmat atas dirinya yang telah
jazm yang bermakna nafy (ingkar) menjazmkan fi‟il yang jatuh sesudahnya,
yakni dalam kata fi‟il muḍori‟ “aqul” yang keseluruhan bermakna “bukankah
telah aku katakan” dilanjutkan frase innaka lan tastaṭi‟a ma‟iya ṣobron ada
71
Ahmad „abîd ad-Da‟âs, I‟rôb al-Qur‟ân al-Karîm, 227.
72
Muhammad Jamâl al-Dîn bin Muhammad Sa‟îd bin Qôsim al-Hallâq al-Qôsimî, Tafsîr
Mahâsin al-Takwîl, jilid 7(Beirût: Dâr al-Kutub al-„ilmiyah, 1996 ), 49.
73
Depag RI, Al-Qu‟ran dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
45
morfem terikat inna yang menandai penegasan kepada Nabi Musa bahwa ini
tentang Nabi Musa tidak akan mampu sabar dalam perjalanan yang akan dia
tempuh bersama Nabi Khidir (تقدم )أذكره ما.74 Nabi Khidir menambahkan
cukup tentang hal-hal perbuatan ketika dia melihat secara langsung, padahal
nasîtu, lam di sana termasuk nahy yang bermakna larangan pada klausa
bimâ nasîtu atas kelupaannya. Wa lâ turhiqnî min amrî „usron meminta agar
tidak bersikap keras dan tidak membebaninya dengan perkara yang sulit,
karena seperti itulah yang telah disebutkan dalam sebuah hadis dari
ً َنِ ْسي
Rosulullah SAW yang bersabda: "اَن وسى ِ َ ت ْاْل
َ ُوىل م ْن ُم
ِ َ " َكان:ال
َ َق.77
74
Abû al-Ṭoyyib Muhammad Ṣodîq Khôn bin Hasan bin „Alî ibn Luṭfi Allah al-Husainî al-
Bukhorî al-Qinwajî al-Mutawwifî, Tafsîr fath al-Bayân fî maqôṣid al-Qur‟ân, Jilid 8, (Beirût: al-
Maktabah al-„Iṣriyyah Liṭṭoba‟ah wa al-Nashr, 1992), 85.
75
Ibn Kathîr al-Qurshî al-Biṣrî ad-Dimashqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„aẓîm, Jilid 8,183.
76
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
77
Ibn Kathîr al-Qurshî al-Biṣrî ad-Dimashqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„aẓîm, Jilid 8,183.
46
Nabi Musa sebagai murid kepada Nabi Khidir selaku gurunya agar tetap
perahu yang ditumpanginya.79 Terlihat bahwa ada jarak waktu dan tempat
laki-laki hattâ idhâ laqiyâ ghulâman (القرطيب ذكره،)قيل كان امسو مشعون.80
beberapa pendapat tentang cara Nabi Khidir membunuh anak laki-laki yang
dibenturkan kedinding.81
78
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
79
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr fî al-„Aqîdah wa as-Sharî‟ah wa al-
Manhaj, jilid 15 (Dimasqi: Dâr al-Fikr al-Ma‟âṣir, 1996), 289.
80
Abû al-Ṭoyyib Muhammad Ṣodîq, Tafsîr fath al-Bayân fî maqôṣid al-Qur‟ân, Jilid 8, 86.
81
Abû al-Ṭoyyib Muhammad Ṣodîq, Tafsîr fath al-Bayân fî maqôṣid al-Qur‟ân, Jilid 8, 86.
47
karena dia ( )الغَلمGhulâm belum dewasa dan belum dibebani satu tanggung
dibunuh begitu saja tanpa ada sebab yang jelas dalam pertemuannya.82
Laqod ji‟ta shai‟an nukron untuk yang kedua kalinya Nabi Musa
yang lebih besar dari sebelumnya ketika melubangi perahu yang telah lalu.
Nabi Musa memiliki kesadaran penuh ketika berkata demikian dan bukan lagi
82
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 104.
83
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
48
kepada Nabi Musa.84 Ayat ini merupakan penguat sekaligus pengingat atas
syarat yang telah disepakati diawal tentang ketidak mampuan Nabi Musa
agar benar-benar mengingat perjanjian awal yang telah disepakati dan tidak
Pada ayat 76 qâla in saaltuka „an shaiin ba‟dahâ falâ tuṣôẖibnî, pada
frase ini Nabi Musa menegaskan bahwa, jika dirinya bertanya ataupun
menyanggah kembali terhadap apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir, dirinya
meminta untuk tidak lagi dijadikan sahabatnya. Qod balaghta min ladunnî
„uḍron, sungguh engkau (Nabi Khidir) telah cukup sabar menerima beberapa
datang pada umumnya. Akan tetapi, mereka (penduduk desa) menolak untuk
merupakan sikap bakhil dan kikir karena tidak menjamu tamu sebagaimana
tersebut, di sisi yang lain keduanya melihat tampak ada bangunan yang
dindingnya akan roboh dalam frase fawajadâ fîhâ jidâron yurîdu an yanqoḍḍo
87
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
88
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 16, 299.
50
yang berakal atau manusia, sedangkan kata ( )ينقضkhusus untuk benda mati
dan semisalnya.89
tersebut dalam keadaan rata seimbang ( ،فوجدا فيها حائطًا مائَل يوشك أن يسقط
qâla law shi‟ta lattakhodhta „alaihi ajron, jika memang Nabi Khidir telah
memperbaiki dinding yang hendak roboh itu, tentu kalau ia mau bisa meminta
upah kepada penduduk desa setempat sebagai jasa terhadap dirinya atas apa
yang telah ia lakukan. Hal tersebut lumrah sebagai ganti dari makanan yang
89
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 16, 299.
90
Nakhbah Min Asâtidah al-Tafsîr, Tafsîr al-Muyassar, jilid 1 Cet.2 (Su‟ûdiyyah: Liṭobâ‟ah
al-Muṣhaf al-Sharîf, 2009), 301.
51
tidak ia terima dari penduduk desa setempat ( لو شئت ْلخذت على:قال لو موسى
Pada frase tersebut Nabi Musa seperti memberikan saran kepada Nabi
Khidir dan secara tidak langsung Nabi Musa kembali telah melanggar
bukan tentang pertanyaan maupun sanggahan, namun hal itu telah cukup
untuk bersabar terhadap apa yang ia lihat dan ia alami, ketika bersama dengan
Nabi Khidir.
perpisahan antara Nabi Musa dengan Nabi Khidir, kemudian hamba tersebut
Dia berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan engkau; aku akan
memberikan penjelasan kepadamu atas perbuatan yang engkau tidak mampu
sabar terhadapnya.92
91
Nakhbah Min Asâtidah al-Tafsîr, Tafsîr al-Muyassar, jilid 1, 302.
92
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
52
dikatakan ()ىذا وقت الفراق بيِن وبينك.93 Ungkapan ini merupakan salah satu
dengan suatu pesan penting yang akan disampaikan kepada Nabi Musa.
bita‟wîli mâ lam tastati‟ „alaihi ṣobron, sin merupakan harf istiqbâl yang
علي فيها
َّ )على ترك السؤال عنها واإلنكار.
94
ٍ ِ
ْ َّأيْ ُخ ُذ ُك َّل َسفْي نَة َغ
صبًا
93
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 16, 7.
94
Nakhbah Min Asâtidah al-Tafsîr, Tafsîr al-Muyassar, jilid 1, 302.
95
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 8, 107.
53
Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku
bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
akan merampas setiap perahu.96
yang sulit dimengerti oleh Nabi Musa maupun perkara lahiriyah yang pernah
dalam tafsir at-Ṭabari dijelaskan ( ت لَِق ْوٍم ِ ِ ِ َّ أ ََّما فِعلِي ما فَع ْلت ِب
ْ َ فَِلَن ََّها َكان،لسفينَة ُ َ َ ْ
ني ِ
َ ) َم َساك. Alasan pertama dirusaknya kapal itu
98
ialah karena di dalam kapal
tersebut milik orang-orang miskin, banyak orang miskin bekerja dikapal itu
sebagai mata pencahariannya di laut. Konteks ini terlihat bahwa memang ada
diketahui karena para pemilik perahu itu akan melalui penjagaan raja yang
96
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
97
Ibn Kathîr al-Qurshî al-Biṣrî ad-Dimashqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„aẓîm, Jilid 8,184.
98
Abû ja‟far aṭ-Ṭobarî, Tafsîr aṭ-Ṭobari, 353.
54
zalim dengan perahu tersebut. Nama raja tersebut adalah (Hadad ibnu
Ketika perahu itu nampak cacat, raja yang zolim itu tidak mau merampasnya
karena perahu tersebut ada kecacatan. Sehingga pemilik perahu akan bisa
ِ
ً َني فَ َخ ِشْي نَآ اَ ْن يُّْرى َق ُه َما طُ ْغي
اَن َّوُك ْفًرا ِ ْ َواََّما الْغُٰلم فَ َكا َن اَبَواهُ ُم ْؤِمن
َ ُ َ
خوف مسلم
Dan adapun anak muda (kafir) itu, kedua orang tuanya mukmin, dan
kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan
dan kekafiran.101
laki tersebut bernama Syam‟un Hasyur atau Hasyun yang kelak akan menjadi
99
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Wahb ibnu Salman, dari Syu‟aib Al-Jiba‟i, dalam
riwayat Imam Bukhari yang telah disebutkan pula bahwa nama raja tersebut tertera di dalam kitab
taurat sebagai keturunan dari Al-Is ibnu Ishaq, dia termasuk salah seorang yang namanya tertera di
dalam kitab taurat, dinukil dalam kitab yang ditulis oleh Muhammad „alî al-Ṣobunî, Mukhtaṣṣor tafsîr
ibnu kathîr, Jilid 3 (Beirût Lebanôn: Dâr al-Qur‟ân al-Karîm, 1981), 431.
100
Ibn Kathîr al-Qurshî al-Biṣrî ad-Dimashqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„aẓîm, Jilid 8,184.
101
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
102
Wahbah bin Muṣtofâ al-Zuhaylî, al-Tafsîr al-Wasîṭ lilzuhaylî , jilid 2 (Dimasqhi: Dâr al-
Fikr, 1996), 1447.
55
bukan hanya berasal dari pengetahuan Nabi Khidir semata, namun juga atas
bermakna takut, khawatir di sini lebih kepada kasih sayang Allah terhadap
hakikatnya mereka telah diselamatkan oleh Allah dari potensi kekafiran yang
ِ ِ
َ فَاََرْد ََنٓ اَ ْن يُّْبد َذلَُما َربُّ ُه َما َخْي ًرا ّمْنوُ َزٰكوًة َّواَقْ َر
ب ُر ْْحًا
Allah bersifat Maha adil, ketika sesuatu itu dikehendaki untuk diambil
tentu ada ganti yang lebih baik dari apa yang telah diambil tersebut. Faarodnâ
anak lagi yang lebih baik aqidahnya, baik hatinya, dan taat kepada orang
tuanya daripada anak mereka sebelumnya ( {خيا منو زكاة} طهارة ونقاء من
)الذنوب.104
103
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
104
Abû al-Burkât „Abdullah bin Ahmad bin Mahmûd hâfidh al-Dîn al-Nafasî, Tafsîr al-
Nafasî, Jilid 3 (Beirût: Dâr al-Kalam al-Ṭoyyib, 1998), 314.
56
ني ِف الْ َم ِديْنَ ِة َوَكا َن َُْتتَوٗ َكْن ٌز َّذلَُما َوَكا َن اَبُ ْو ُِهَا ِ ِٰ
ِ ْ ني يَتِْيم ِْ واََّما
َ ْ اْل َد ُار فَ َكا َن لغُل َم َ
ۗ ُۚ ِ ِ ُۚ ِ
ك َوَما فَ َع ْلتُوٗ َع ْن اَْم ِر ْي
َ َِّّهَا َويَ ْستَ ْخ ِر َجا َكْن َزُِهَا َر ْْحَةً ّم ْن َّرب
ُ ك اَ ْن يَّْب لُغَآ اَ ُشد
َ ُّصاحلًا َفَاََر َاد َرب
َ
ِ ِ ِ
َ ك َأتْ ِويْ ُل َما ََلْ تَ ْسط ْع عَّلَْيو
صْب ًرا َ ٰذل
Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu,
yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang
yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan
keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa
yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan
perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.”105
tegakkannya dinding yang hampir roboh, serta apa yang membuat Nabi Khidir
abûhumâ ṣôliẖan, diketahui bahwa dinding rumah itu adalah milik dua anak
yatim yang tinggal di fîl madînah tempat penduduk desa Antiokhia berada.
( )الغَلمmemiliki makna anak laki-laki yang masih kecil dan belum baligh,
105
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
57
di bawah dinding yang hendak roboh tersebut tersimpan harta sangat banyak
untuk keduanya (اإلنسان )والكنز ادلال الكثي ادلدفون ِف بطن اْلرض بدفن,106
harta sangat banyak untuk keduanya. Harta simpanan yang banyak itu,
yang saleh, Allah pun menjaga kedua anaknya dan juga harta warisan yang
tersimpan untuk bekal masa depan anaknya. Penggalan ayat ini sedang
baik, masa depan kedua anak yatim tersebut dinisbatkan pada kehendak Allah.
Nabi Khidir memberitahukan, bahwa suatu maslahat yang akan terjadi pada
masa yang akan datang ialah suatu kehendak Allah yang Maha Suci, dan
tersebut.108
wujud tuhan yang maha hidup diantara semua kehidupan yang ada di dunia.
Penggalan ayat ini sedang berbicara tentang sifat baik dan kehendak Allah
terhadap makhluknya.
wamâ fa‟altuhu an amrî. Mâ di sana merupakan harf nafy yang merujuk pada
atas kemauan dirinya sendiri. Akan tetapi, atas kehendak Allah juga melalui
wahyu yang diberikan kepadanya ( وإمنا فعلتو بوحي من ريب؛ وىذا أيضاً دليل على نبوة
ta‟wil (maksud/penjelasan) apa-apa yang tidak kamu (Nabi Musa) dapati dan
tidak mampu berlaku sabar atas kejadian-kejadian tersebut. Pada ayat di atas
109
Muhammad „Abd al-Laṭîf bin al-Khoṭîb, Awaḍôhu al-Tafǎsîr, jilid 1 (Mesir: al-Muṭoba‟ah
al-Miṣriyyah wa Maktabatuha, 1964), 362.
59
mengetahuinya.110
a) Alur Kisah
yang hampir tidak masuk akal secara empiris, dan puncaknya sampai pada
kompleks dari segi analisis bahasa dan nilai-nilai pelajaran yang terdapat
struktur teks (ayat al-Qur‟an) yang menyusun kisah pertemuan Nabi Musa dan
Nabi Khidir ditandai dengan beberapa fonem khusus yang sering muncul dan
memberikan makna tersendiri dalam tiap ayat, bahasa Arab menamai dengan
kata harf, ada alif tathniyah dan ḍomir nun yang ditemukan sering digunakan
dalam sebagian besar ayat yang bercerita tentang kisah ini berdasarkan
arti dua orang, Nabi Musa dengan muridnya. Kedua, alif tathniyyah dalam
110
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah:Vol. 8, 110.
60
fragmen ketiga menunjukka arti berbeda dari yang pertama, ketika di fragmen
fragmen ketiga ini yang ditonjolkan adalah Nabi Musa dengan Nabi Khidir.
Penggunaan fonem alif tathniyyah yang terdapat pada kisah ini secara
bahwa kehidupan ini selalu mempunyai dua sisi, dalam konteks ayat kisah ini
yang dicontohkan oleh bertemunya Nabi Musa dan Nabi Khidir menunjukkan
bukan untuk disatukan, namun lebih kepada eksistensinya yang akan berjalan
nun yang terdapat pada kisah ini terdapat dua makna, pertama, bermakna
Bertemunya Nabi Nabi Musa meminta Nabi Khidir Nabi Khidir merespon Nabi Musa Nabi Musa berkata Nabi Khidir
Musa dengan Nabi untuk menjadi gurunya agar bisa dan mengatakan bahwa dirinya akan bersabar memberikan syarat
Khidir diberikan ilmu tidak akan mampu bersabar semampu dirinya jika Nabi Musa
memang ingin ikut
dengannya
Keduanya mulai Keduanya menaiki perahu Nabi Musa merespon Nabi Khidir memperingatkan
melakukan kemudian Nabi Khidir kejadian itu dengan Nabi Musa terkait syarat yang
perjalanan merusak perahu tersebut menegur Nabi Khidir telah disepakati sebelumnya Nabi Musa meminta
maa f kepada Nabi
Khidir
Keduanya mulai
berjalan hingga Nabi Khidir Membunuh Nabi Musa
keduanya bertemu anak kecil yang kembali menegur Nabi Khidir menegur Nabi Musa, hingga keduanya berjalan kembali dan
anak kecil ditemuinya Nabi Khidir sampai di suatu negeri, keduanya tidak disambut dengan baik oleh
penduduk negeri, keduanya mendapati dinding yang hendak roboh dan
Tiga teguran dari Nabi Musa sudah cukup memberitahu bahwa Nabi Musa seketika Nabi Khidir menegakkannya, Nabi Musa menegurnya kembali
tidak mampu bersabar, Nabi Khidir menjelaskan takwil kejadian” tersebut hingga Nabi Khidir memutuskan untuk mengakhiri perjalanannya
111
Di dalam hadits riwayat imam bukhori dan Muslim, dari Abi bin Ka‟ab ra. Telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Ketika suatu saat Nabi
Musa berdiri berkhotbah di hadapan kaumnya, Bani Isra‟il, salah seorang bertanya: “Siapa orang yang paling tinggi ilmunya”, Nabi Musa as. Menjawab:
“Saya”. Kemudian Allah menegur Musa dan berfirman kepadanya, supaya Musa tidak mengulangi statemannya itu; “Aku mempunyai seorang hamba yang
tinggal di pertemuan antara dua samudera, adalah seorang yang lebih tinggi ilmunya daripada kamu”. Nabi Musa as berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa
menemuinya”. Tuhannya berfirman: “bawalah ikan sebagai bekal perjalanan, apabila di suatu tempat ikan itu hidup lagi, maka di situlah tempatnya, kalimat
hadits dari Imam Bukhori”. Dikutip dari buku karya Muhammad Luthfi Ghozali, SEJARAH ILMU LADUNI, (Semarang: ABSHOR, 2006), 16-17.
62
akan terlihat dengan jelas dan keterkaitan antar tokoh, dalam cerita
tersebut, ditemukan model dialog dua arah, antara Nabi Musa dengan
Yusha‟ bin Nun kemudian Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Tokoh yang
paling aktif dalam cerita ini adalah Nabi Musa. Berikut pola hubungan
Tabel 4.2.
Pola Hubungan Tokoh
Nabi Khidir
secara jelas antara Nabi Musa dan Nabi Khidir, garis komunikasi dua arah
Khidir terhadap Yusha‟ bin Nun. didapati Nabi Musa dan Nabi Khidir
112
M. Faisol, “STRUKTUR NARATIF CERITA NABI KHIDIR DALAM AL-QUR‟AN,”
Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra 10, no. 2 (December 31, 2011): 254,
https://doi.org/10.14421/ajbs.2011.10202.
63
Nabi Musa kepada muridnya yang hanya muncul dalam satu fragmen.
secara eksplisit. Akan tetapi, beberapa tokoh ini juga berada dalam bagian
mengizinkan Nabi Musa dan Nabi Khidir untuk ikut bersama perahunya
Kedua, pada kata (قرية )اىل ahl qoryah, penduduk desa yang
adalah orang yang bakhil dan kikir. Tidak menyambut dengan baik
ibnu Badad. Digambarkan bahwa raja ini memiliki karakter yang keras,
64
yang berada disekitarnya tanpa peduli apapun. Dalam hal ini dapat diambil
bahwa anak muda yang dimaksud adalah yang masih belum baligh. Tidak
disebutkan sebagai anak yang masih muda dan belum baligh, tentulah
tokoh ini masuk kepada kategori manusia yang masih polos dan belum
dalam cerita:
Nabi Khidir
Yusha‟
bin Nun
65
c) Latar/Setting
keduanya dapat menandai alur yang terdapat dalam setiap bagian cerita,
begitu pula pada kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir yang telah
atas.
al-baẖroyni yakni laut Romawi yang berada di sebelah baratnya dan laut
pertemuan antara laut Romawi dan Samudra Atlantik atau lebih tepatnya
antara Laut Tengah dan Samudra Atlantik di selat Gibraltar yang ada di
Thanjah. Inilah yang menjadi tempat pertemuan antara Nabi Musa dan
sastra yang sangat istimewa sebagai kalam ilahi yang tiada tandingan.
66
ẖuquban. Meski tidak ada yang mengungkapkan secara jelas berapa lama
dalam konteks ini sudah sedikit menjelaskan bahwa Nabi Musa dan
muridnya telah berjalan beberapa hari hingga sampai pada tempat yang
dituju dan bahkan berpotensi tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai
qoṣoṣon ketika keduanya memutuskan untuk kembali dari apa yang telah
dilewatkannya.
pertama disinggahinya berada pada sebuah perahu dalam kata (الس ِفْي نَ ِة
َّ ) al-
pada sebuah tempat yang ditandai dalam kata (قَ ْريَِة )اَتَيَآ اَ ْى َل ahl qoryah
diketahui Antokhia, tidak ditemukan secara jelas di mana tempat itu berada
67
dan menurut sebagian kecil pendapat tempat itu yang disebut Armenia.
Namun sumber ini tidak terlalu akurat dan tidak sepenuhnya valid, maka
berdasarkan hal ini titik tekannya ada pada keunikan kisahnya, tiga tempat
dalam cerita. Kisah yang diceritakan dalam surah al-Kahfi ini termasuk
dan Nabi Khidir ini adalah pada gaya bahasa yang digunakan, sering kali
namun kadang berbeda letak, sisi dan redaksinya, tentu hal tersebut
musikalitas huruf yang sama, yakni bunyi huruf berharakat fatẖah. Coba
perhatikan akhiran kata yang dipakai dalam cerita Nabi Musa dan Nabi
Khidir dalam surah al-Kahfi ini, pasti akan mendapati model bunyi
persajakan.
68
sebagai kesamaan huruf akhir pada dua susunan kalimat atau lebih
sehingga membentuk bunyi dan nada huruf yang indah dan berirama.113
Susunan lafadz atau kata akhir pada suatu kalimat disebut fashilah, fashilah
ini disebut dengan faqroh. Di dalam al-Qur‟an terdapat banyak sajak yang
cerita yang telah dibagi berdasarkan wazannya, cerita Nabi Musa dan Nabi
prosa yang bersajak diakhirnya. Mari perhatikan tabel berikut ini untuk
mengetahui akhiran kata yang membentuk nada huruf yang sama dalam
cerita:
113
Hifni, Qawâ‟id al-Lughoh al-„Arobiyyah li tilmidh al-Madâris al-Thânawiyyah,
(Surabaya: al-Maktabah al-Hidâyah, t.th), 134.
69
Tabel 4.3.
Akhiran Ayat Bersajak
لَ ْن رُ ِح ْ
ط ثِ ٖه ُخ ْج ًسا ِه ْي لَّ ُدًَّب ِع ْل ًوب صجْسً ا
َه ِع ًَ َ
ِه ْي اَ ْه ِسيْ ُع ْس ًسا لَكَ ِه ٌْهُ ِذ ْكسً ا صجْسً ا
َه ِع ًَ َ
لَقَ ْد ِج ْئذَ َشيْـًب ًُ ْكسً ا لَقَ ْد ِج ْئذَ َشيْـًب اِ ْهسً ا لَزَّ َخ ْردَ َعلَ ْي ِه اَجْ سًا
ࣖ
ِه ْي لَّ ُدًِّ ًْ ع ُْر ًزا ك اَ ْهسًا
ص ًْ لَ َ
ََّل اَ ْع ِ
وَ ٓ
طُ ْغيَبًًب َّو ُك ْفسً ا ُك َّل َسفِ ْيٌَ ٍخ غَصْ جًب -
ٰ
شَكوحً َّواَ ْق َس َ
ة زُحْ ًوب لَ ْن رَ ْسز َِط ْع َّعلَ ْي ِه َ
صجْسًا
صجْسً ۗا ࣖ
لَ ْن رَ ْس ِط ْع َّعلَ ْي ِه َ
ٰ
اثَ ِ
بز ِه َوب قَ َ
صصًب
Tabel 4.4
Tanda Penanda & Petanda
Tanda Keteranga
No. Petanda Signifikasi
(penanda) n
ِ ِ اَو اَم
ُال ُم ْو ٰسى ل َفتٰىو َ َق ض َي
1. Penyebutan nama secara jelas Simbol
ْ ْ itu menandai bahwa Nabi
ََلٓ اَبْ َر ُح َح ّّٰٓت اَبْلُ َغ ُح ُقبًا Musa ialah salah satu tokoh
utama yang harus diperhatikan.
َْرل َم َع الْبَ ْحَريْ ِن Nabi Musa digambarkan
sebagai sosok yang semangat
dan penuh ambisi, dalam artian
ambisi yang mengarah kepada
sesuatu hal yang positif.
2. لفتاه َح ّّٰٓت اَبْلُ َغ َْرل َم َع fatâ, bernama Yusha‟ bin Nun. Simbol
dalam redaksi ayat disandarkan
الْبَ ْحَريْ ِن pada ḍomir hu yang merujuk
kepada Nabi Musa, ini seakan
menunjukkan bahwa ada
kedekatan antara seseorang
tersebut dengan Nabi Musa.
Kedekatan yang dimaksud
bukan dalam konteks
kekerabatan, Secara bahasa,
tidak disebutkannya nama dari
fatâ ini secara langsung dalam
ayat, ada hikmah dalam alur
cerita, didapati bahwa
penyebutan kata tersebut
menunjukkan makna umum.
Setiap pemuda yang dalam
cerita dicontohkan dengan
Yusha‟ bin Nun, diharapkan
untuk semangat dalam
mempelajari ilmu dan taat
kepada gurunya. Yusha‟ bin
Nun ini digambarkan memiliki
sifat kesetiaan dan taat,
terbukti ketika ia setia
mendampingi Nabi Musa
71
dalam melakukan
perjalanannya hingga sampai
pada tepat yang dituju, dan
sosok yang taat ketika Nabi
Musa memerintahkan sesuatu,
ia pun melaksanakannya.
3. فَ َّاَّتَ َذ َسبِْي لَوُ بَلَغَا َْرل َم َع بَْينِ ِه َما Kejadian ikan berjalan seperti isyarat
mengambil jalannya yang telah
ب نَ ِسيَا ُح ْوتَ ُه َما ً ِف الْبَ ْح ِر َسَر disediakan menjadi isyarat
bahwa tempat yang dituju
sudah sangat dekat
4. ت
َ ُح ْو ُِهَا kata ẖût dalam konteks kisah Metafora
ini, menandakan ikan tersebut
berukuran besar yang cukup
apabila dikonsumsi oleh dua
atau tiga orang.
5. الَ َفَلَ َّما َج َاوَزا ق لََق ْد لَ ِقْي نَا ِم ْن Karakter yang ditunjukkan Simbol
ۖ ۤ ِ ِ Nabi Musa tentang rasa
ل َفتٰىوُ اٰتنَا َغ َداءَ ََن َس َف ِرََن ٰى َذا kebersamaann bersama
muridnya. Memintanya agar
صبًا
َ َن membawakan ikan yang
dibawa untuk dimakan
bersama karena sudah merasa
kelelahan
6. ت اِ ْذ اََويْنَآ اِ َىل ِ ِ
َ َْوَمآ اَنْ ٰسىنْيوُ اََّل اََراَي
Sebagaimana diungkapkan, dia Simbol
(muridnya) tidak akan lupa
ّنِِ ِ َّ الشَّْي ٰط ُن اَ ْن
ّْ الص ْخَرة فَا ُۚ
terhadap ikan kecuali setan
ۖ ِ َن yang menghendakinya. Itulah
ت و احل
َ ُْ ُ ْْ ت ي س ُاَذْ ُكَر
ه gambaran bagaimana sosok
manusia yang tidak luput dari
godaan setan.
ۖ ِ
7.
َ ٰذل
ك َما ُكنَّا نَْب ِغ فَ ْارتَدَّا َع ٰلٓى Kejelasan tempat yang Simbol
ditunjukkan oleh beberapa
ِ
صا
ًص َ َاٰ ََث ِرِهَا ق isyarat
sebelumnya
yang telah ada
8. َعْب ًدا ِّٓم ْن ِعبَ ِاد ََن „Abdan (hamba Allah yang
Sholih) diketahui sebagai Nabi
Simbol
ِ ِ
َ ُاَتَّبِع
ك تَ ِمَّا عُلّ ْم kepada Nabi Khidir untuk
meminta izin agar
ُر ْش ًدا diperkenankan belajar
keilmuan yang ia tidak ketahui.
114
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Munîr, jilid 16, 280.
73
ۤ
صابًِرا ٰ
َ ُّ َ َش
اّلل ء ا اَْمًرا memiliki keterbatasan.
ّن ِِبَا ِ ِ ِ ِ
ْ م ْن اَْمر ْي عُ ْسًرا ََل تُ َؤاخ ْذ
16. Ungkapan penyesalan dari Simbol
Nabi Musa terhadap sesuatu
ت َوََل تُ ْرِى ْق ِ ِْن ِ
ُ نَسْي yang telah ia langgar.
ك َع ْن ِ ت ِم ْن
َ ُا ْن َساَلْت َ قَ ْد بَلَ ْغ
18. Permohonan Nabi Musa Simbol
kepada Nabi Khidir agar
َش ْي ٍۢء بَ ْع َد َىا فَ ََل ّن ُع ْذ ًرا ِ َّ
ّْ ل ُد diberikan satu kesempatan lagi.
ُۚ
ص ِحْبنِْيا ٰ ُت
ٓاستَطْ َع َما ِ
ْ ِاَ ْى َل قَ ْريَة فَاَبَ ْوا اَ ْن
19. Penduduk desa yang diketahui Simbol
mereka adalah Antiokhia.
اَ ْىلَ َها ضيِّ ُف ْو ُِهَا
َ ُّي Digambarkan penduduk desa
tersebut adalah orang yang
bakhil dan kikir. Tidak
menyambut dengan baik
kedatangan Nabi Musa dan
Nabi Khidir, layaknya tamu
sebagaimana biasanya di
hormati kedatangannya.
74
صْب ًرا ِ
َ عَّلَْيو
ِ َّ ۤ
تْ َالسفْي نَةُ فَ َكان كٌ َِوَراءَ ُى ْم َّمل
22. Nabi Khidir melakukan Simbol
pengerusakan terhadap perahu
ني يَ ْع َملُ ْو َن ِ ِ َّأيْ ُخ ُذ ُك َّل
َ ْ ل َم ٰسك karena kehendaknya,
berdasarkan pengalamannya,
ُّ صبًا ِف الْبَ ْح ِر فَاََرْد ٍ ِ
ت ْ َسفْي نَة َغ karena beliau mengetahui
ۗ
اَ ْن اَ ِعْي بَ َها bahwa ada malik yang berarti
seorang raja diketahui bernama
Hadad ibnu Badad.
Digambarkan bahwa raja ini
memiliki karakter yang keras,
termasuk zolim, karena
pekerjaannya adalah merampas
seluruh perahu yang berada
disekitarnya tanpa peduli
apapun. Dalam hal ini dapat
diambil hikmah, bahwa
kekuasaan memungkinkan
membuat seseorang menjadi
merasa tinggi dibanding yang
lainnya.
22.
ُالْغُٰل ُم فَ َكا َن اَبَ َواه فَ َخ ِشْي نَآ اَ ْن Allah Mengehendaki Nabi Simbol
Khidir untuk membunuh anak
ِ ْ َُم ْؤِمن
ني يُّْرِى َق ُه َما kecil tersebut karena kedua
orang tuanya orang yang solih,
اَن َّوُك ْفًراً َطُ ْغي hal iyu dikhawatirkan
dikemudian hari akan
memaksa kedua orang tuanya
masuk kedalam jurang
kekafiran.
75
ني ِف ِ ِٰ
ِ ْ ني يَتِْيم
َ ْ َِّهَا لغُل َم ُ يَّْب لُغَآ اَ ُشد sifat keadilan yang dimiliki
oleh Nabi Khidir atas kehendak
ِ ِ
َُويَ ْستَ ْخ ِر َجا الْ َمديْنَة َوَكا َن َُْتتَو Allah. Sebagai Rahmat dari-
Nya harta itu tersimpan rapi
َكْن ٌز َّذلَُما َوَكا َن ًَكْن َزُِهَا َر ْْحَة dibawah dinding, karena harta
ِ اَب و ُِها ص ُۚ
احلًا َ َ ُْ كَ ِِّّم ْن َّرب tersebut milik anak yatim yang
kedua orang tuanya termasuk
golongan orang-orang solih.
B. Implikasi Hasil Pemaknaan Kisah Pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir
wahyu yang berisi sejumlah pemaknaan atau potensial yang diusulkan Tuhan
Maka untuk menganalisis hal semacam ini semiotika yang merupakan bagian
115
Abdullah A.Thalib, Filsafat Hermeneutika dan Semiotika, Cet. 1 (Sulawesi Tengah: LPP
Mitra Edukasi, 2018), 233.
76
umum saja, maka tidak banyak pelajaran yang dapat diambil. Semiotika
memberikan jalan tentang bagaimana memahami teks itu dengan warna baru,
teks tidak sekedar tulisan yang dapat dipahami, namun juga dapat
si penerima teks atau ujaran, inilah satu sisi yang dinamis dari penelitian
sebuah al-Qur‟an.
zaman. Kisah ini memberikan pesan yang mendalam bahwa manusia tidak
bisa merubah apapun tanpa kehendak dari Tuhannya. Setiap perjalanan yang
perjalanannya dengan baik dan mendapatkan apa yang diinginkan, maka sikap
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kisah ini ditandai oleh dua tokoh sebagai peran utama, dan satu tokoh
tokoh yang menjadi pemeran utama adalah Nabi Musa dan Nabi Khidir, keduanya
adalah tanda yang dipertemukan melalui penanda ikan yang dibawa oleh tokoh
tambahan yakni Yusha‟ bin Nun ketempat bertemunya dua buah lautan yang
mereka berbeda dan proses yang dilaluinya. Pada proses perjalanan dalam kisah
ini berdasarkan analisis struktur teksnya, Nabi Musa tidak mendapat tambahan
ilmu dari Nabi Khidir, namun hanya dapat memahami hikmah dibalik setiap
Nabi Khidir diutus oleh Allah untuk menyampaikan pesan kepada Nabi Musa
tentang pentingnya sikap Tawadhu‟ dan tidak merasa tinggi hati karena sudah
memiliki ilmu.
bahwa semiotika mampu menyesuaikan dengan metode analisis teks yang lebih
dulu ada, namun sifat dan kecenderungannya yang berbeda-beda sesuai dengan
77
78
teori rumusan yang dipakai, kisah ini mngungkap bahwa tampilan dialog antara
Nabi Musa dengan Nabi Khidir mencontohkan hubungan antara guru dengan
murid yang senantiasa menjaga diri untuk belajar tentang ilmu. Mengindikasikan
bahwa belajar keilmuan memiliki sanad (guru) yang ahli di bidangnya, kisah ini
juga berpesan tentang pentingnya taat kepada guru dengan disertai sabar sebagai
kunci dalam proses menuntut ilmu. Penggunaan kata „Abd dalam kisah ini
mempelajari ilmu yang sangat luas seperti halnya Nabi Khidir yang dikehendaki
oleh Allah yang dapat memberikan gambaran kepada Nabi Musa tentang ilmu
B. Saran-saran
Ferdinand de Saussure. Harus penulis akui bahwa objek kajian dalam penelitian
skripsi ini kurang mendalam dari segi pendekatan semiotika, karena keterbatasan
dan tafsir) yang hendak melakukan penelitian dengan tema relatif sama. Oleh
karena itu penulis perlu mengemukakan saran untuk penelitian lebih lanjut yakni:
1. Perlunya untuk mengkaji lebih lanjut terkait apa saja hal-hal yang terkait
dengan kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam surah al-Kahfi
agar dapat melengkapi makna dari kajian sebelumnya. Hasil temuan penulis
hanya mengungkap pemaknaan secara global, untuk itu perlu adanya analisis
belum pernah digunakan oleh peneliti sebelumnya, karena setiap metode yang
yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Al-Qatthan, Manna‟ Khalil. Studi ilmu-ilmu al-Qur;an, Terj. Mudzakir AS, Bogor:
Litera antarnusa. 2016.
AS, Ambarini, Nazia Maharani Umaya. Semiotika teori dan Aplikasi karya sastra,
Semarang: PGRI Semarang Press. T.th.
Culler, Jonathan. SAUSSURE, Terj. Dr.Rochayah, Dra. Siti Suhayati, Jakarta: proyek
pembinaan bahasa dan kebudayaan, 1996.
Haris, H.Abdul. TEORI DASAR NAHWU & SHOROF; Sebuah Terobosan Dalam
Belajar Membaca Kitab Kuning, Cetakan 1, Jember: Pustaka Al-Bidayah,
2017.
Harun, H.Salman. Thiba Raya, H. Ahmad. Tahido Yanggo, Hj. Huzaemah. Anwar,
H. Hamdani. Ali Syibromalisi, Hj. Faizah. Mu‟thi, A,Wahib. “Kaidah-kaidah
tafsir:bekal mendasar untuk memahami Makna Al-Qur‟an dan mengurangi
kesalahan pemahaman”, Jakarta selatan: penerbit Qaf, 2020.
Hosen, Nadirsyah. Tafsir Al-Qur‟an di Medsos mengkaji makna dan rahasia ayat
suci pada era media sosial, Yogyakarta: Bentang Pustaka. 2019.
Husein alhamid, Zaid. Kisah 25 Nabi & Rasul, Jakarta: Pustaka Amani. 1995.
Imron, Ali. Semiotika Al-Qur‟an Metode dan aplikasi terhadap kisah yusuf,
Yogyakarta: Teras. 2011.
80
81
Luthfi Ghozali, Muhammad. Sejarah ilmu Laduni mencari jati jilid 2, Semarang;
ABSHOR. 2008.
Poerwadarminta, W.j.s. Kamus umum bahasa Indonesia edisi ketiga, cet.4, Jakarta
Timur: Pt.Balai Pustaka persero. 2011.
Rusmana, Dadan. Filsafat semiotika : paradigma teori dan metode interpretasi tanda
dari semiotika structural hingga dekonstruksi praktis, Bandung : Cv pustaka
setia, 2014.
Jurnal:
Faesal Awaludin, Riza, Ika wahyu Susiani. “Fenomena Pragmatis dalam al-Qur‟an
analisis tindak tutur ilokusi pada percakapan Musa a.s dan Khidir a.s,” Jurnal
al-Adabiya, Vol 14 No. 02, INSURI, Ponorogo, 2019.
Faisol, M. “Struktur naratif Cerita Nabi Khidir dalam al-Qur‟an,” Adabiyyat, Vol. X
No. 2 Desember. 2011.
Kitab:
Abî Bakr al-Suyûṭî, Ahmad al-Mahallî, Jalâl al-Dîn Muhammad bin, Jalal al-Din
„Abdurrahman bin. Tafsîr al-jalâlayn, t.t. Dâr al-Hadîth, t.th.
Abî Zahroh, bin Muṣtofâ, Muhammad bin Ahmad, bin Ahmad al-Ma‟rûf bin. Zahroh
al-Tafsîr, jilid 10, Arab: Dâr al-Fikr, t.th.
Ad-Dimashqî, bin „umar bin Kathîr, Abŭ al-Fidâi Ismâil, al-Qurshî al-Biṣrî. Tafsîr al-
Qur‟ân al-„aẓîm, Jilid 8 t.t. Dâr-lilnashri wa at-tawzî‟, 1999.
83
Al-Baiḍowî, Umar bin, Abû Sa‟îd, Nâṣir al-Dîn, „Abdullah bin, Muhammad al-
Shairôzî. Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa Asrôr al-Takwîl, Jilid 3, Beirût: Dâr Ihyâ‟
al-Tarôth al-„Arobî, 1997.
Al-Khoṭîb, Muhammad „Abd al-Laṭîf bin. Awaḍôhu al-Tafâsîr, jilid 1, Mesir: al-
Muṭoba‟ah al-Miṣriyyah wa Maktabatuha, 1964.
Al-Mutawwifî, bin „Alî ibn Luṭfi Allah, Muhammad Ṣodîq, Abû al-Ṭoyyib, Khôn bin
Hasan, al-Husainî al-Bukhorî al-Qinwajî. Tafsîr fath al-Bayân fî maqôṣid al-
Qur‟ân, Jilid 8, Beirût: al-Maktabah al-„Iṣriyyah Liṭṭoba‟ah wa al-Nashr,
1992.
Al-Nafasî, „Abdullah bin Abŭ al-Burkât, Ahmad bin Mahmŭd hâfidh al-Dîn. Tafsîr
al-Nafasî, Jilid 3, Beirût: Dâr al-Kalam al-Ṭoyyib, 1998.
Al-Qôsimî, Sa‟îd bin, al-Dîn, Muhammad Jamâl, bin Muhammad, Qôsim al-Hallâq.
Tafsîr Mahâsin al-Takwîl, jilid 7, Beirût: Dâr al-Kutub al-„ilmiyah, 1996.
Al-Ṣobunî, Muhammad „alî. Mukhtaṣṣor tafsîr ibnu kathîr, Jilid 3, Beirût Lebanôn:
Dâr al-Qur‟ân al-Karîm, 1981.
Az-Zamakhsharî, Mahmŭd bin, Abû al-Qâsim, „Umar bin Ahmad. Tafsîr al-Kashâf
„an haqâiq ghowâmiḍu al-Tanzîl, Jilid 2, Beirŭt: Dâr al-Kitâb al-„Arabî, 1986.
Shihab, M.Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, Vol
7, Jakarta : Lentera Hati. 2002.
Agus Mushodiq, Muhammad. “Kisah Nabi Musa dan „Abd dalam al-Qur‟an studi
analisis semiotika patologi sosial epistimologi „abid al-jabiri,” Tesis, UIN
sunan Kalijaga, Yogyakarta. 2016.
Daraini, Ali Fathi. “Tafsir ayat Shirat, Sabil, Thariq, dan Salkan dalam al-Qur‟an;
Studi analisis Tafsir al-Qurthubhy,” Skripsi: UIN Sumatera Utara Medan,
2018.
Famili, Jaya. “Nilai- nilai hikmah dalam kisah pertemuan Nabi Musa as dan Nabi
Khidhir as studi tafsir tematik q.s. al-kahfi: 60-82,” Skripsi, UIN Raden Fatah
Pelembang. 2020.
Hidayatullah, Isnan. “Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr dalam al-Qur‟an surah al-
kahfi 66-82 studi kritis pendekatan semiotika Roland Barthes,” Skripsi,
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2004.
Ismayani. “Pesan dakwah dalam film aku kau dan kua analisis semiotika Ferdinand
de Saussure,” Skripsi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin
Makassar. 2017.
Prasetya, Juli. “Kajian makna simbolik pada wayang bawor,” Skripsi Fakultas
Dakwah IAIN purwokerto. 2016.
Saputra, Didin. “Nilai-nilai spiritual pada kisah Nabi Musa A.S dengan Khidir dalam
surah al-Kahfi,” Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan dakwah, IAIN Surakarta,
2018.
Website:
Nim : U20171054
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini yang berjudul “Kisah Pertemuan
Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 60-82 (Kajian
Semiotika Ferdinand de Saussure)” adalah hasil saya sendiri, yang tidak didasarkan
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar benarnya dan tanpa paksaan
dari siapapun.
A. Identitas Diri
Nama : Moch. Ali Fikri
Tempat/tgl. Lahir : Jember, 22 Desember 1996
Alamat Rumah : Jln. Letjen Panjaitan 2 No.24 kelurahan Kebonsari
Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember.
Nama Ayah : Alm. M. Rifa’i Taufiq
Nama Ibu : Nuriyah
No.HP : +628997049080
E-Mail : fikerscrew@gmail.com
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. MI : MIMA KH SHIDDIQ JEMBER (2004-2010)
b. MTs : MTS NEGERI 1 JEMBER (2010-2013)
c. SMK : SMKN 5 JEMBER (2013-2016)
2. Pendidikan Non-Formal (-)
C. Pengalaman Organisasi
a. Pengurus Osis koor. Sie.Bid V SMKN 5 JEMBER (2014-2015)
b. Ketua TUTOR SMKN 5 JEMBER (2013-2015)
c. TIM MEDIA ICIS IAIN JEMBER (2017-2018)
d. Sekertaris PAC IPNU IPPNU Sumbersari (2018-2019)
e. Anggota Devisi Dakwah PC IPNU JEMBER (2019-2020)