Anda di halaman 1dari 102

KISAH PERTEMUAN NABI MUSA DAN NABI KHIDIR

DALAM AL-QUR’AN SURAH AL-KAHFI AYAT 60-82


(KAJIAN SEMIOTIKA FERDINAND DE SAUSSURE)

SKRIPSI

Oleh:

MOCH. ALI FIKRI


NIM: U20171054

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
DESEMBER 2021
KISAH PERTEMUAN NABI MUSA DAN NABI KHIDIR DALAM
AL-QUR’AN SURAH AL-KAHFI AYAT 60-82
(KAJIAN SEMIOTIKA FERDINAND DE SAUSSURE)

SKRIPSI
diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh
gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:

MOCH. ALI FIKRI


NIM: U20171054

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN HUMANIORA
DESEMBER 2021

ii
KISAH PERTEMUAN NABI MUSA DAN NABI KHIDIR
DALAM AL-QUR’AN SURAH AL-KAHFI AYAT 60-82
(KAJIAN SEMIOTIKA FERDINAND DE SAUSSURE)

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Oleh:
Moch. Ali Fikri
NIM: U20171054

Disetujui Pembimbing

Dr.Uun Yusufa, M.A.


NIP. 19710821200710 1 002

iii
KISAH PERTEMUAN NABI MUSA DAN NABI KHIDIR
DALAM AL-QUR’AN SURAH AL-KAHFI AYAT 60-82
(KAJIAN SEMIOTIKA FERDINAND DE SAUSSURE)

SKRIPSI

Telah diuji dan diterima untuk memenuhi salah satu


persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora
Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Hari: Rabu
Tanggal: 15 Desember 2021

Tim Penguji

Ketua Sekertaris

Dr. H. Kasman, M.Fil.I Fitah Jamaludin, M.Ag


NIP. 197104261997031002 NIP. 199003192019031007.

Anggota:
1. Dr. H. Safrudin Edi Wibowo, Lc., M.Ag ( )

2. Dr.Uun Yusufa, M.A. ( )

Menyetujui
Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora

Dr. M. KHUSNA AMAL., S.Ag., M.Si


NIP. 197212081998031001

iv
MOTTO
ِِۗ ‫ص ِهم ِعْب رةٌ ِّّلُ ِوِل ْاّلَلْب‬
‫اب‬ ِ َ‫لََق ْد َكا َن ِِف ق‬
َ َ ْ ‫ص‬ َ ْ
‫صْي َل ُك ِّل َش ْي ٍء َّوُه ًدى َّوَر ْْحَةً لَِّق ْوٍم يُّ ْؤِمنُ ْو َن‬ ِ ‫ما َكا َن ح ِدي ثًا يُّ ْفتَ ٰرى وٰل ِكن تَص ِديق الَّ ِذي ب ْي ي َدي ِه وتَ ْف‬
َ ْ َ َ َْ ْ َ ْ ْ ْ َ ْ َ َ
Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang
mempunyai akal. (Al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi
membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan
(sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS.Yusuf 12:111).

v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk kedua orang tua saya, guru-guru

termasuk dosen-dosen saya, saudara-saudara, seluruh sahabat, dan teman-teman saya

khususnya kelas IAT 2 angkatan 2017 yang telah memberikan support.

vi
Abstrak
Moch. Ali Fikri, 2021: Kisah Pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam al-
Qur’an surah al-Kahfi ayat 60-82 (Kajian Semiotika Ferdinand de Saussure).
Kata kunci: Sintagmatik, Paradigmatik, Nabi Musa, Nabi Khidir, Saussure,
Kisah ini memiliki hal unik di dalamnya, karena dibangun dengan tiga
peristiwa besar dengan penggambaran tokoh yang berbeda karakternya, dimulai dari
pengerusakan perahu, pembunuhan anak kecil, hingga menegakkan dinding yang
hendak roboh. Kisah ini memiliki sejumlah pesan yang terkandung dalam setiap
peristiwanya. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan semiotika sebagai cabang
keilmuan yang meneliti tentang tanda-tanda bahasa yang terdapat dalam teks,
Berdasarkan hal tersebut, penulis memandang bahwa teori semiotika yang
dirumuskan oleh Ferdinand de Saussure dapat digunakan untuk menganalisis tanda-
tanda yang terdapat dalam pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir.
Fokus Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah: bagaimana pemaknaan
alur cerita kisah pertemuan Nabi Muda dan Nabi Khidir dalam al-Qur’an perspektif
struktural Ferdinand de Saussure, bagaimana implikasi hasil pemaknaan kisah
tersebut dalam kajian teks al-Qur’an.
Penelitian ini bertujuan untuk mencari makna tanda dan simbol yang terdapat
dalam kisah pertemuan antara Nabi Musa dan Nabi Khidir. Untuk mencari makna di
luar konteks pemaknaan teks secara bahasa saja dalam al-Qur’an, peneliti memilah
beberapa peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam kisah. Peneliti menggunakan
metode analisis deskriptif struktural teori rumusan Ferdinand de Saussure, sehingga
dapat menemukan struktur yang terbentuk dalam pemaknaan penanda dan
petandanya.
Adapun hasil yang ditemukan dalam penelitian ini tertuju pada aspek
pemaknaan alur kisah, terdapat tiga tokoh yang membangun kisah ini, Nabi Musa,
Nabi Khidir dan Yusha’ bin Nun yang dipertemukan ditempat pertemuan dua buah
lautan dengan ikan sebagai penandanya, perjalanan awal hingga akhir yang
memberikan pesan tentang pentingnya sikap tawadhu’. Relasi sintagmatik dan
paradigmatik mengungkap fonem yang sering digunakan dan muncul di tiap fragmen
kisah ini sebagai bagian dari struktur yang membangun susunan teks. Dua fonem
yang ditemukan ialah alif tathniyyah dan ḍomir nun, penggunaan fonem tersebut
dalam keseluruhan kisah mengungkap bahwa, penggunaan fonem alif thathniyyah
mengindikasikan tentang karakteristik keilmuan yang berbeda berdasarkan batas
kesanggupan kemampuan masing-masing, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Musa
dan Nabi Khidir. Penggunaan fonem ḍomir nun mengindikasikan tentang kesopanan,
dan keagungan dalam memuliakan ilmu yang disandarkan kepada Allah.
Mengindikasikan bahwa ilmu itu sangat luas dan tidak terbatas di sisi Allah.

vii
KATA PENGANTAR

‫بسمميحرلا نمحرلا هللا‬

Puji syukur penulis persembahkan kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan Rahmat Hidayah dan pertolongan-Nya, sehingga penulis dapat

berusaha dan menyelesaikan skripsi ini dengan tanpa hambatan yang berarti. Selawat

serta salam semmoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita semua baginda Nabi

Muhammad SAW yang telah membawa kita dari jaman jahiliyah hingga jaman yang

sekarang ini, yakni addînul Islam. Semoga di hari kiamat nanti, kita termasuk orang-

orang yang mendapatkan syafaatnya. Âmîn

Penyusunan skripsi berjudul “Kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir

dalam al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 60-82 (kajian semiotika Ferdinand de Saussure)”

penulis ajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana

dalam Ilmu Agama Islam Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir Universitas Islam

Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa

adanya bimbingan dan dorongan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala

kerendahan hati pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terimakasih dan

penghargaan yang terhormat kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Babun Suharto SE. M.M., selaku Rektor Universitas Islam

Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

viii
2. Bapak Dr. M. Khusna Amal M.Si., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Adab

dan Humaniora Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember.

3. Bapak Dr. H. Imam Bonjol M.Si., selaku wadek I dan dosen pembimbing

akademik yang telah membantu proses administrasi perkuliahan dengan baik

dari awal semester hingga terlaksananya tugas akhir skripsi.

4. Bapak Dr. Uun Yusufa M.A., selaku Kaprodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

sekaligus dosen pembimbing yang dengan sabar dan teliti telah membantu

meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan penulis guna

menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Seluruh dosen Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas Ushuluddin Adab

dan Humaniora Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember..

6. Seluruh teman-teman Prodi IAT 2 Angkatan 2017, seluruh rekan-rekan

organisasi baik IPNU, ICIS, keluarga besar TPQ Al-Ghofilin Jember, yang

selalu saling menguatkan, memotivasi, serta menjadi teman diskusi penulis

selama studi hingga selesainya penyusunan skripsi ini.

7. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, karena terlalu

banyak yang dilibatkan yang turut membantu proses penyusunan skripsi ini.

Semoga amal baik yang telah diberikan dapat diterima Allah SWT dan

mendapatkan balasan terbaik dari-Nya. Tiada kata yang pantas penulis ucapkan

selain rasa terima kasih yang sebesar-besarnya dan rasa syukur atas selesainya

penulisan skripsi ini. Akhirnya, penulis memohon maaf apabila dalam penulisan

skripsi ini terdapat banyak kesalahan, penulis mengharapkan adanya saran, kritik

ix
yang bisa membangun dan meningkatkan kualitas skripsi ini. Semoga penulisan

skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua pihak pada

umumnya.

Âmîn yâ Robbal Âlâmîn.

Jember, 15 Desember 2021

Penulis

x
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

Transliterasi adalah kata-kata arab yang digunakan dalam penyusunan skripsi.

Penyusunan skripsi ini berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Agama dan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, nomor 158 tahun 1987 dan

Nomor 0543b/U/1987. Pedoman yang digunakan adalah pedoman yang diterbitkan

oleh Perpustakaan Nasional Amerika Serikat (library of Congress) sebagai berikut:

I. KONSONAN TUNGGAL

HURUF ARAB NAMA HURUF LATIN


‫ا‬ Alif a/i/u

‫ب‬ Ba B

‫ت‬ Ta T

‫ث‬ Tsa Th

‫ج‬ Jim J

‫ح‬ Ha ẖ

‫خ‬ Kho Kh

‫د‬ Dal D

‫ذ‬ Dzal Dh

‫ر‬ Ro R

‫ز‬ Za Z

‫س‬ Sin S

‫ش‬ Syin Sh

‫ص‬ Shad ṣ

‫ض‬ Dlad ḍ

xi
‫ط‬ Tha ṭ

‫ظ‬ Zha ẓ

‫ع‬ ‘Ain ‘(ayn)

‫غ‬ Ghain Gh

‫ف‬ Fa F

‫ق‬ Qaf Q

‫ك‬ Kaf K

‫ل‬ Lam L

‫م‬ Mim M

‫ن‬ Nun N

‫و‬ Wau W

‫ه‬ Ha’ H

‫ء‬ Hamzah a/i/u

‫ي‬ Ya’ Y

xii
DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ........................................................................ iv

MOTTO ................................................................................................................ v

PERSEMBAHAN ................................................................................................. vi

ABSTRAK ............................................................................................................ vii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... viii

PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... xi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xiii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................... 1


B. Fokus Penelitian .................................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6
D. Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
E. Definisi Istilah ..................................................................................... 7
F. Sistematika Pembahasan ..................................................................... 9

BAB II KAJIAN KEPUSTAKAAN ................................................................... 11

A. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 11


B. Kajian Teori ........................................................................................ 15

xiii
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 23

A. Metode Penelitian ............................................................................... 23


1. Jenis dan Model Penelitian ............................................................ 23
2. Pendekatan dan Objek Penelitan ................................................... 23
3. Sumber Data .................................................................................. 23
a) Sumber Primer ......................................................................... 23
b) Sumber Sekunder .................................................................... 24
4. Langkah Pengunpulan Data .......................................................... 24
5. Analisis Data ................................................................................. 24

BAB IV ANALISIS STRUKTURAL FERDINAND DE SAUSSURE ............ 25

A. Pemaknaan alur kisah perspektif Ferdinand de Saussure .................... 25


1. Pemotongan teks (Sintagmatik dan Paradigmatik) ....................... 25
a) Fragmen I ayat 60-64 (Perjalanan Nabi Musa dengan Muridnya
Yusha’ bin Nun) ....................................................................... 25
b) Fragmen II ayat 65-70 (Bertemunya kedua Ilmu) .................... 33
c) Fragmen III ayat 71-76 (Ilmu yang tersembunyi) .................... 42
d) Fragmen IV ayat 77-82 (Takwil oleh Nabi Khidir) ................. 51
2. Fakta-fakta cerita dan interkstualitas ............................................ 59
a) Alur Kisah ................................................................................ 59
b) Tokoh dan Penokohan .............................................................. 62
c) Latar/Setting ............................................................................. 65
d) Gaya Pengungkapan Kisah ...................................................... 67
3. Tanda, Penanda dan Petanda ........................................................ 70
B. Implikasi hasil pemaknaan kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir
terhadap kajian al-Qur’an .................................................................... 75

BAB V PENUTUP ................................................................................................ 77

xiv
A. Kesimpulan .............................................................................................. 77
B. Saran ........................................................................................................ 78

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 80

LAMPIRAN

xv
DAFTAR TABEL

Hal

2.1 Kajian Pustaka 1 .................................................................................................. 11


2.2 Kajian Pustaka 2` ................................................................................................ 14
2.3 Sintagmatik dan Paradigmatik Fonemik ............................................................. 18
2.4 Sintagmatik dan Paradigmatik Sintaksis ............................................................. 20
4.1 Alur Kisah dan Fakta yang ada di dalamnya ...................................................... 61
4.2 Pola Hubungan Tokoh ........................................................................................ 62
4.3 Akhiran Ayat Bersajak ........................................................................................ 69
4.4 Tanda Penanda Dan Petanda ................................................................................ 70

xvi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir dalam Q.S al-Kahfi ayat 60-82

termasuk kisah yang unik. Keunikan kisah itu ialah, banyak kejadian yang dapat

dikatakan di luar nalar berfikir seseorang. Kejadian ketika Nabi Khidir membunuh

anak yang masih kecil dan sengaja merusak kapal yang masih bagus, ketika kapal

itu dalam kondisi berlayar. Masih banyak lagi kejadian menarik yang ada di dalam

kisah tersebut.

Beberapa kejadian unik yang ada, tidak terlepas dari kedua tokoh yang

berbeda antara Nabi Musa dan Nabi Khidir. Dapat dikatakan bahwa Nabi Musa

adalah gambaran manusia umum seperti biasa, cenderung memaknai atau

menafsirkan keadaan dengan fakta empirisnya sesuai dengan panca indera yang

ada. Tidak mengeherankan ketika Nabi Musa melihat dan mengetahui secara

langsung tindakan apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir, ia merasa tidak suka,

karena dianggap tidak sesuai dengan sepengetahuannya.

Nabi Khidir adalah gambaran manusia yang memiliki sebuah nilai plus

dibanding manusia pada umumnya, karena dalam kisah tersebut Nabi Khidir

digambarkan memiliki kemampuan mengetahui masa depan yang akan terjadi.

Dalam hal ini, tentunya setiap tutur kata maupun tindakan yang dilakukan oleh

Nabi Khidir mengandung makna berkaitan dengan masa depan yang sudah

1
2

diketahuinya. Sekilas ketika membaca kisah tersebut, ada beberapa nilai-nilai

penting yang terdapat di dalamnya. Dimulai dari aspek pendidikan, sosial,

keagamaan, serta ilmu pengetahuan yang mampu dijangkau ataupun yang tidak

bisa dijangkau oleh manusia pada umumnya.

Sayyid Qutb menjelaskan interpretasi terkait karakter Nabi Musa yang

dianggap sebagai tokoh yang tidak sabar, terlalu fanatik dan emosional.1

Ketidaksabaran Nabi Musa terhadap perbuatan Nabi Khidir itulah yang justru

membuat perjalanan di antara mereka berpisah. Al-Qur‟an dipandangnya sebagai

sebuah kitab dakwah keagamaan yang membentuk pola pemikiran dogmatis pada

pemahamannya terhadap al-Qur‟an.

Sementara itu, untuk menggali makna baru di luar pesan dasar kisah

tersebut, perlu adanya analisis baru pada aspek yang berbeda, yaitu pada

tekstualitas kisah perjalanan Nabi Musa bertemu dengan Nabi Khidir. Menarik

untuk dikaji terkait apa saja hubungan tanda yang membentuk struktur teks kisah

pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir, sehingga memunculkan makna lain. Teks

yang dikaji berimplikasi mempunyai banyak pelajaran yang terkandung di

dalamnya.

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir

sarat akan tanda. Hal tersebut tidak mungkin dipisahkan dari sifat al-Qur‟an yang

menyatakan bahwa dirinya adalah kitab tanda, ditandai dengan kata ayat (âyah)

1
Sayyid Qutb, Indahnya Al-Qur‟an Berkisah, Terj. Fathurrahman Abdul Hamid (Jakarta:
Gema Insani, 2004), 225.
3

artinya “Tanda” (âlamah), maksudnya adalah tanda kebenaran yang

menyampaikan al-Quran itu.2 Berdasarkan ungkapan tersebut, al-Qur‟an memiliki

keterkaitan dengan konsep “Tanda” dalam pengertian ilmu semiotika modern.

Adapun tanda dalam al-Qur‟an berbentuk teks yang unik dalam setiap susunan

katanya, maka salah satu teori yang membantu untuk memahami kisah secara

heuristik adalah teori semiotika.

Hasil kajian sebelumnya dilakukan oleh Agus Mushodiq dalam tesisnya,

memaparkan bagaimana kisah pertemuan Nabi Musa dan „Abd dianalisis dengan

menggunakan pendekatan semiotika teori Charles Sanders Pierce dan pendekatan

patologi sosial, dalam kacamata teori triadik Pierce, pada taraf Object, ayat yang

dikaji tersebut mengandung beberapa tanda indeks dan simbol. Tanda indeks yang

dimaksud seperti contoh kata muthannâ (dua orang/benda) dengan alif tathniyyah

yang terdapat pada kata kerja intalaqâ (mereka berdua berjalan) dan laqiyâ

(mereka berdua berjumpa) yang merujuk pada Nabi Musa dan „Abd.

Hasil kajian sebelumnya dilakukan oleh Isnan Hidayatullah dalam karya

tulis skripsinya, menjelaskan bahwa, Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam

surah al-kahfi ayat 66-82 merupakan representasi dari suatu karakter gaya hidup

(life style). Mitos yang ditemukan sebagai makna konotatifnya mengungkap

bahwa, kisah tersebut seakan mengukuhkan fenomena dialektika antara dua

epistimologi yang berlangsung sejak zaman yunani kuno. Musa yang bernalar

2
H.Salman Harun Dkk. “Kaidah-Kaidah Tafsir:Bekal Mendasar Untuk Memahami Makna
Al-Qur‟an Dan Mengurangi Kesalahan Pemahaman”, (Jakarta Selatan: Penerbit Qaf, 2020), 85.
4

bayani (positivistik) dan Khidir dengan karakter ilutif yang bernalar „irfani

(metafisis). 3

Pada pemaparan di atas, teks al-Qur‟an akan dikaji dengan menggunakan

pendekatan semiotika teori yang dirumuskan oleh Ferdinand de Saussure4. Jika

simbol yang dimaksud di atas dalam ranah kajian patologi sosial, serta

diungkapkannya karakter nalar dari kedua tokoh penting dalam kisah tersebut,

maka analisis ulang dengan pendekatan semiotika Ferdinand de Saussure, nantinya

akan mengungkap bagaimana struktur sebuah teks itu bisa berkomunikasi terhadap

kehidupan manusia. Penanda akan disinergikan dengan petanda melalui analisis

bahasa sintagmatik paradigmatik dan korelasinya dengan ungkapan langue,

langage, parole hingga memunculkan maknanya. Saussure dikenal sebagai bapak

strukturalisme, dengan menganalisis bagaimana seseorang berfikir dari konsep

hingga munculnya tanda-tanda dan menjadikan bentuk itu sebagai sistem bahasa.5

De Saussure (1857 M) dalam pembahasan semiotik-linguistik dan

hermeneutik mengatakan, bahwa makna tanda dapat disingkap eksistensinya jika

3
Isnan Hidayatullah, “Kisah Nabi Musa Dan Nabi Khidir Dalam Al-Qur‟an Surah Al-Kahfi
66-82 Studi Kritis Pendekatan Semiotika Roland Barthes,” (Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2004), 8.
4
Ferdinand de Saussure, orang pertama dan terutama yang merumuskan “linguistic
sinkronik,” dilahirkan pada tahun 1857 dan wafat pada tahun 1913. Dia mengajar pada Ecole Pratique
de Hautes Etudes di Paris dari tahun 1881 sampai dengan 1891, sebelum kembali ke Geneva. Saussure
sebenarnya terlatih sebagai seorang linguis konvensional, yang mengkaji perkembangan variasi bahasa
secara historis, dan mencapai kesuksesan yang banyak menarik perhatian pada usianya yang masih
sangat belia.bukunya yang berjudul Memoir sur le sistem primitive des voyelles dans les langues indo-
europe enes (1878) tetap menjadi pedoman dalam merekonstruksi bahasa-bahasa Proto-inderopa. Dia
meninggal sebelum sempat mempublikasikan sedikitpun teori nya tentang linguistic sinkronik. Dikutip
Dalam buku karya Kris Budiman, Kosa semiotika, (Yogyakarta: Lkis,1999), 105.
5
Khoirul Zaman Al Umma, “Ferdinand De Saussure: Structuralism And His Role In Modern
Linguistics”, Jurnal Lisanu Ad-Dhad Vol.02, No.1, (April, 2015), 6.
5

kedua komponen Signified dan Signifier tersebut saling dikaitkan atau

dihubungkan dengan menggunakan relasi sintagmatik (hubungan garis unsur

bahasa) dan paradigmatik (relasi makna yang dapat mengisi fungsi sintaksis) yang

ditempatkan dalam sistem penandaan (tanda).6 Sintagmatik paradigmatik berfungsi

sebagai analisis kebahasaan, dengan memperhatikan struktur teks yang tersusun

atas beberapa kata maupun satuan terkecil dari kata yang disebut fonem, dan

memunculkan Signification dari hasil hubungan penanda dan petanda.

Hasil dari analisisnya dihadapkan pada implikasi makna terhadap kajian

teks al-Qur‟an pada masa sekarang, kajian al-Qur‟an yang terus berkembang akan

memberikan warna tersendiri dalam kajian Islam yang begitu luas untuk dipahami

segala hal yang menarik di dalamnya. Tidak berlebihan jika penulis mengatakan

bahwa teori rumusan Saussure adalah salah satu teori yang tepat untuk

menganalisis struktur kisah dalam sebuah teks yang terdapat dalam al-Qur‟an.

Khususnya pada kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir yang terdapat

banyak tanda yang perlu untuk dianalisis dalam kajian semiotika hingga nantinya

mendapatkan hasil penelitian yang baru.

B. Fokus Penelitian

Permasalahan yang menjadi fokus penelitian ini antara lain:

1. Bagaimana pemaknaan alur cerita kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi

Khidir dalam al-Qur‟an perspektif struktural Ferdinand de Saussure?

6
Zainuddin Soga, Hadirman., Semiotika Signifikasi, 58.
6

2. Bagaimana Implikasi hasil pemaknaan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir

dalam kajian al-Qur‟an?

C. Tujuan penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain:

1. Mengungkap pemaknaan alur cerita kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi

Khidir dalam al-Qur‟an

2. Menjelaskan Implikasi hasil pemaknaan kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir

dalam kajian al-Qur‟an

D. Manfaat Penelitian

Tentunya hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat.baik secara

teoritis maupun secara praktis. Berikuti ini uraian manfaat teoritis maupun manfaat

praktis yang penulis harapkan dari penelitian ini.

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan menjadi ilmu pengetahuan baru dalam

perkembangan ilmu al-Qur‟an mengenai kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi

Khidir dalam surah al-Kahfi melalui pendekatan semiotika menggunakan teori

Ferdinand de Saussure. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan bagi

siapa saja yang ingin meneliti atau mengembangkan penelitian yang baru.

2. Manfaat Praktis

a. Manfaat bagi penulis

Secara pribadi, karya ini menjadi pengetahuan tambahan bagi penulis.

Sejak menekuni kajian keislaman dan tafsir di IAIN, sebagai penulis tentu
7

memiliki minat yang kuat tidak hanya menjalani perkuliahan secara formal,

namun juga berusaha keras untuk mencari tahu dan melakukan pembacaan

terhadap literatur – literatur yang berkaitan dengan pembahasan penelitian

tersebut.

b. Manfaat bagi Civitas Akademik PTAIN

Hasil dari penelitian ini penulis berharap nantinya bisa menjadi bahan

bacaan, mungkin juga dapat layak dijadikan sebagai referensi alternatif,

khususnya berkaitan dengan mata kuliah metodologi tafsir, semiotika al-

Qur‟an.

c. Bagi Masyarakat Umum

Penulis juga berharap bahwa kajian semiotika ini nantinya bisa

menjadi salah satu bahan bacaan yang menarik dan memberikan wawasan

keislaman bagi masyarakat umum peminat baca.

E. Definisi Istilah

Dalam judul penelitian ini, ada dua terminologi atau istilah yang perlu

dijelaskan batasan definisi dan maknanya, antara lain: “Kisah”, dan

“Semiotika”.

1. Kisah

Istilah kata Kisah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ialah

“cerita tentang kejadian (riwayat atau sebagainya)”, “Kisah” A Kejadian


8

(riwayat dsb); cerita; berkisah bercerita, mengisahkan menceritakan, 7 dalam

kehidupan seseorang dan sebagainya. Hal ini menunjukkan Makna kisah ialah

sebuah cerita atau kejadian yang telah terjadi, karena tidak mungkin sebuah

kejadian itu menjadi sebuah cerita yang akan dikisahkan kepada khalayak

umum tanpa didasari oleh keyakinan dan kenyataan yang ada.

2. Semiotika

Istilah semiotika berasal dari kata Yunani, semeion¸yang berarti tanda

atau dari kata semeiotikos, yang bearati teori tanda.8 Dalam konteks Eropa dan

Amerika Modern, ada dua istilah popular yang digunakan untuk menyebut

“Ilmu” tentang tanda, yaitu semiology dan semiotik.9. Pengertian semiotika

yang pernah dikatakan pada catatan sejarah semiotik, bahwasanya semiotika

merupakan ilmu tentang tanda-tanda yang menganggap fenomena komunikasi

sosial atau masyarakat dan kebudayaan.10 Sebagai ilmu tanda, semiotika

membagi aspek tanda meliputi penanda (Signifier) dan petanda (Signified)

dengan pemahaman penanda sebagai bentuk formal yang menandai petanda,

dipahami sebagai sesuatu yang ditandai oleh penanda.11

7
W.j.s, Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, cet.4, (Jakarta
Timur;: Pt.Balai Pustaka Persero, 2011 ), 601.
8
Dadan Rusmana, Filsafat Semiotika: Paradigma Teori Dan Metode Interpretasi Tanda
Dari Semiotika Structural Hingga Dekonstruksi Praktis, (Bandung: Cv Pustaka Setia, 2014), 20.
9
Dadan Rusmana, 20.
10
Ambarini AS, Nazia Maharani Umaya, Semiotika Teori Dan Aplikasi Karya Sastra, (PGRI
Semarang Press, T.Th), 28.
11
Ambarini AS, Nazia Maharani Umaya, 29.
9

F. Sistematika Pembahasan

Penelitian yang dilakukan tentu diperlukan sistematika pembahasan agar

penelitian tersebut bisa runtut dan teratur. Berdasarkan hal tersebut penelitian ini

disusun dalam beberapa bab dan tiap bab terdapat sub-bab. Sistematika penulisan

yang peneliti gunakan dalam penulisan skripsi nantinya adalah sebagai berikut:

Bab Pertama, merupakan pendahuluan yang akan meliputi latar belakang

sebagai awal dari munculnya permasalahan. Selain itu, dijelaskan juga tujuan dan

kegunaan dengan adanya penelitian ini. Serta definisi istilah, terakhir yakni

sistematika pembahasan sebagai kerangka penulisan agar penulisan dapat

sistematis.

Bab Kedua, dalam bab ini menjelaskan tentang kajian pustaka,

memaparkan beberapa data yang ditemukan terkait penelitian yang sudah pernah

dilakukan oleh para peneliti sebelumnya dengan tema yang sama namun berbeda

pendekatan yang digunakan. Selanjutnya adalah kajian teori, menjelaskan tentang

rumusan teori Ferdinand de Saussure yang akan digunakan sebagai bagian dari

medote analisis penelitian.

Bab Ketiga, bab ini menjelaskan tentang metodologi penelitian, yang

berisikan jenis dan model penelitian, pendekatan dan objek penelitian, sumber data

primer maupun sekunder, langkah-langkah pengumpulan data, dan yang terakhir

metode analisis data yang meliputi analisis deskriptif struktural teori rumusan

Ferdinand de Saussure.
10

Bab Keempat, bab ini menjelaskan pengaplikasian metode semiotika

Ferdinand de Saussure terhadap kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir

dalam al-Qur‟an. Sebagai bagian dari tatanan pertama, langkah pertama yang

harus dilakukan adalah melakukan analisis struktural pada kisah yang telah

dijadikan beberapa fragmen.

Selanjutnya, teks dianalisis serta diinterpretasi dengan berdasarkan

konvensi bahasa. dalam istilahnya disebut dengan pembacaan tingkat kedua.

Bagian ini merupakan inti dari semiotika Ferdinand de Saussure yakni menemukan

makna dibalik nilai-nilai psikologis, relasi sintagmatik, paradigmatik, ideologis,

maupun idealis dalam teks, terakhir implikasi makna terhadap kajian teks al-

Qur‟an.

Bab Kelima, merupakan bagian akhir yang berupa kesimpulan dari hasil

penelitian dan saran yang bisa disampaikan penulis berkaitan dengan penelitian.

Pada kesimpulan ini pemaknaan yang dicari akan dapat disimpulkan. Pemaknaan

tanda dan simbol yang telah ditemukan merupakan bukti bahwa sebuah teks

dinamis dan dapat berkomunikasi dengan pembaca.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

1. Penelitian Terdahulu

Berdasarkan data yang ditemukan, penelitian terdahulu tentang kisah

pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam surah al-Kahfi sudah banyak

dilakukan. Meski demikian, sejauh ini penelitian yang ada memiliki

kecenderungan-kecenderungan yang berbeda-beda.. Pertama, studi yang

menganilisis tentang nilai-nilai hikmah secara umum yang terdapat dalam

kisah. Kedua, studi pemikiran tokoh sebagai metode analisis terhadap kisah.

Berdasarkan penelitian tersebut, masih jarang ditemukan penelitian

menggunakan studi pendekatan tokoh barat seperti metode yang dikembangkan

dalam analisis hermeneutik dan semiotika.

Studi yang menganalisis tentang tema yang sama dengan pendekatan

metode analisis yang sama namun berbeda tokoh dapat ditemukan sebagai

berikut:

Tabel 2.1
Kajian pustaka 1

No. Nama, Judul, tahun Kategori Temuan Data

1. Isnan Hidayatullah dari Skripsi Hasil penelitian tersebut


UIN Sunan Kalijaga, mengungkapkan bahwa
dengan judul “Kisah Nabi Kisah Nabi Musa dan Nabi
Musa dan Nabi Khidir Khidir dalam surah al-
dalam al-Qur‟an surah al- Kahfi: 66-82 merupakan

11
12

kahfi 66-82 studi kritis representasi dari suatu


dengan pendekatan karakter gaya hidup (live
semiotika Roland style) bahkan epistimologi
Barthes.” 2004 dari suatu konteks
masyarakat tertentu. Musa
dengan karakternya yang
empiris merupakan
simulacrum dari konteks
masyarakat yang bernalar
bayani (positivistik),
sedangkan Khidir dengan
karakter pemikirannya yang
ilutif dan metafisis
merupakan simbol dari
konteks masyarakat yang
bernalar „irfani (metafisis).
Kisah ini seakan
mengukuhkan fenomena
dialektika antara dua
epistimologi ini yang telah
berlangsung sejak zaman
yunani kuno.12
2. Muhammad Agus Tesis Hasilnya pada taraf Object,
Mushoddiq dari UIN ayat yang dikaji tersebut
Sunan Kalijaga mengandung beberapa tanda
Yogyakarta, dengan judul indeks dan simbol. Tanda
“Kisah Nabi Musa dan indeks yang dimaksud
„Abd di dalam Al-Qur‟an seperti contoh kata
studi analisis semiotika, muthannâ (dua
Patologi Sosial, dan „Ȃbid orang/benda) dengan alif
al-Jâbirỉ.” 2016. tathniyyah yang terdapat
pada kata kerja intalaqâ
(mereka berdua berjalan)
dan laqiyâ (mereka berdua
berjumpa) yang merujuk
pada Nabi Musa dan „Abd.
Dari segi simbol yang akan
disinergikan dengan tanda
indeks itu lebih diarahkan

12
Isnan Hidayatullah, “Kisah Nabi Musa Dan Nabi Khidir Dalam Al-Qur‟an Surah Al-Kahfi
66-82 Studi Kritis Pendekatan Semiotika Roland Barthes,” (Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2004), 8.
13

kepada kajian patologi


sosial seperti dalam kata
qatala (membunuh) ada
pemaknaan leksikal atau
denotasi secara patologi
sosial memiliki hukum
makna perbuatan kriminal
dan epistimologi „Ȃbid al-
Jâbirỉ, kaitannya dengan
patologi sosial
mengungkapkan bahwa
semata-mata tindakan
membunuh „Abd didasari
dengan pengetahuan teologi
yang orang lain tidak bisa
menjangkaunya. Hal ini
memiliki kesimpulan „Abd
tidak bisa dikatakan sebagai
pelaku kriminal, karena
perbuatannya didasari
dengan alasan yang kuat
serta merupakan petunjuk
dari tuhan-Nya.13
Sedangkan hasil dari
Epistimologi „Ȃbid al-Jâbirỉ
mengungkapkan bahwa
Nabi Musa menggunakan
nalar bayani dan burhani
dalam merespon „Abd.
Sedangkan „Abd
menggunakan nalar bayani,
burhani, irfani, dan pseudo
irfani dalam melakukan
perbuatannya.
Studi yang menganalisis tentang tema yang sama dengan fokus mengambil

nilai-nilai hikmah secara umum yang terdapat dalam kisah Nabi Musa dan Nabi

Khidir dapat ditemukan dalam penelitian berikut:

13
Muhammad Agus Mushodiq, Kisah Nabi Musa Dan „Abd Dalam Al-Qur‟an Sudi Analisis
Semiotika Patologi Sosial Epistimologi „Abid Al-Jabiri, (Tesis, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta,
2016). 1-140.
14

Tabel 2.2
Kajian Pustaka 2

No. Nama, Judul, Tahun Kategori Temuan Data


1. Jaya Famili dari UIN Skripsi Hasil dari penelitian tersebut
Raden Fatah Palembang, ialah Kisah pertemuan Nabi
dengan judul “Nilai-nilai Musa dan Nabi Khidir memiliki
hikmah dalam kisah nilai-nilai hikmah yang
pertemuan Nabi Musa terkandung di dalamnya, karena
dam Nabi khidir Studi setiap kejadian mengandung
tafsir tematik Q.s.Al- hikmah, tentunya pertemuan
Kahfi ayat 60-82.” 2020. antara dua nabi yang berbeda
karakter memberikan warna
tersendiri.14

2. Didin Saputra dari IAIN Skripsi hasil dari penelitian tersebut


Surakarta, dengan judul adalah mengungkap nilai-nilai
berjudul “Nilai-nilai spiritual yang dihasilkan dalam
spiritual dalam kisah perjalanan Nabi Musa dan Nabi
Nabi Musa dengan Khidr Khidir15
di dalam surah Al-
Kahfi”. 2014.
3. Rizza Faesal Awaludin Jurnal Hasil dari penelitian tersebut
dan Ika Wahyu Setiani mengungkapkan bahwa setiap
dari UNSURI Ponorogo, tindak tutur kata seseorang tidak
jurnal dengan judul semuanya bisa kita maknai
“Fenomena pragmatis secara bebas tanpa dikaitkan
dalam al-qur‟an analisis dengan kondisi lingkungan
tindak tutur ilokasi pada maupun kondisi psikis ketika hal
percakapan musa dan itu berlangsung.16
khidir” 2019.

14
Jaya Famili, “Nilai- Nilai Hikmah Dalam Kisah Pertemuan Nabi Musa As Dan Nabi
Khidhir As Studi Tafsir Tematik Q.S. Al-Kahfi: 60-82,” (Skripsi, UIN Raden Fatah Pelembang, 2020),
1-20.
15
Didin Saputra, “Nilai-Nilai Spiritual Pada Kisah Nabi Musa A.S Dengan Khidir Dalam
Surah Al-Kahfi,” (Skripsi, Fakultas Ushuluddin Dan Dakwah, IAIN Surakarta, 2014), 8.
16
Riza Faesal Awaludin, Ika Wahyu Susiani, “Fenomena Pragmatis Dalam Al-Qur‟an
Analisis Tindak Tutur Ilokusi Pada Percakapan Musa A.S Dan Khidr”, Jurnal Al-Adabiya, Vol 14 No.
02, (INSURI, Ponorogo, 2019), 118-130.
15

Berdasarkan data di atas penulis akan menggunakan pendekatan semiotika

teori Ferdinand de Saussure yang belum penulis temukan ada yang

memakainya dalam penelitian tema yang sama. Akan tetapi, ada pendekatan

semiotika yang memakai teori Roland Barthes dan Charles Sanders Pierce.

B. Kajian Teori

1. Kisah dalam al-Qur’an

Lafal “kisah” pada umumnya berasal dari bahasa Arab qishshat

jamaknya qishah. Menurut Muhammad Ismail Ibrahim, berarti “hikayat dalam

bentuk prosa panjang.” Kemudian Mannâ‟ al-Qaththân menjelaskan pengertian

kisah al-Qur‟an, berarti “Informasi al-Qur‟an tentang umat-umat yang silam,

para Nabi, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi.”17

Kisah-kisah dalam al-Qur‟an ketika diamati, dapat ditemukan tiga

kategori. Pertama, kisah mengenai para Nabi. Pada umummnya menceritakan

tentang mukjizat dan perjalanan dakwah Nabi kepada kaumnya pada zamannya.

Kedua, kisah tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Akan tetapi,

bukan para Nabi, seperti halnya cerita Zulkarnain, Maryam, Qabil dan Habil,

dan lain-lain.

Ketiga, kisah-kisah yang terjadi pada masa Rasul Allah seperti perang

yang terekam dalam sejarah Islam, perang Badar, perang Uhud dalam al-Imron,

perang Hunain dan Tabuk di surah at-Taubah, Isrâ, dan sebagainya.18

17
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru ILMU TAFSIR, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016),
223-224.
18
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, 229-230.
16

Berdasarkan pemaparan di atas, kisah-kisah dalam al-Qur‟an dijelaskan

dalam rangka memberikan pendidikan kepada umat. Pendidikan bagaimana

cara hidup sebagai khilafah yang diserahi amanah untuk memakmurkan dan

membangun kehidupan yang layak bagi umat manusia di muka bumi ini. Dari

situlah kisah berisi berbagai materi antara lain: tauhid, akhlak, dan mu‟amalah.

Ketiga unsur tersebut sangat penting dalam kehidupan umat.

2. Semiotika Struktural Ferdinand de Saussure

Beberapa teori dasar semiotika Ferdinand de Saussure sebagai berikut:

a) Sintagmatik dan Paradigmatik

Bahasa bagi Saussure bukanlah sekedar nomenklatur. Tinanda-

tinandanya bukanlah konsep yang sudah ada dari dulu, tetapi konsep-konsep

yang dapat berubah-ubah mengikuti perubahan kondisi ke kondisi yang lain.

Tinanda dengan demikian tidaklah mandiri dan otonom yang masing-masing

memiliki esensi atau inti yang menentukannya. Ketinandaan dan kepenandaan

ditentukan oleh “hubungan-hubungannya”. Dalam hubungan ini, Saussure lalu

membaginya menjadi dua. Pertama, hubungan associative, atau yang biasa

dikenal dengan istilah paradigmatik, dan kedua hubungan syntagmatic.

Hubungan ini terdapat dalam kata sebagai rangkaian bunyi maupun sebagai

konsep.19

19
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; hermeneutika hingga ideologi, (Yogyakarta:
LKIS, 2013), 229
17

Sebuah sintagmatik merujuk kepada hubungan in praesentia antara

satu kata dengan kata-kata yang lain, atau antara suatu satuan gramatikal

dengan satuan-satuan yang lain, didalam ujaran atau tindak tutur tertentu.

Atau dalam kata lain proses sintagmatik dibangun oleh kombinasi linier antar

tanda yang membentuk kalimat. Poros paradikmatik mengacu kepada arena

tanda (misalnya sinonim) yang darinya segala tanda yang ada diseleksi.

Makna diakumulasikan di sepanjang poros sintagmatik, sementara seleksi dari

arena paradigmatik mengubah makna pada poin tertentu dalam kalimat.

Secara umum hubungan sintagmatik dapat terjadi pada setiap tataran

analisis bahasa.20

1) Pada tataran fonemik

Pada dasarnya, urutan fonem dalam kata pada umumnya tidak

dapat diubah, di sini ada hubungan sintagmatik tertentu antara fonem

dalam setiap kata misalnya: a m a l, a l a m, lama, mala

Contoh hubungan sintagmatik dalam bahasa Arab dalam kata ‫ججس‬.

Pada kata tersebut terdapat hubungan fonem-fonem (harf-harf) yang

terdiri dari: jim ba dan ro. Apabila urutannya dirubah, maka akan berubah

pula maknanya atau bahkan tidak bermakna sama sekali.21

20
M. S. Yoon et al., “Effects of Vagal Stimulation, Atropine, and Propranolol on Fibrillation
Threshold of Normal and Ischemic Ventricles,” American Heart Journal 93, no. 1 (January 1977): 54,
https://doi.org/10.1016/s0002-8703(77)80172-5.
21
Sahkholid Nasution, PENGANTAR LINGUISTIK: Bahasa Arab, Cet. 1, (Malang: Lisan
Arabi, 20 17), 21.
18

Tabel 2.3.
Sintagmatik dan Paradigmatik Fonemik

Kata Maknanya
‫( ججس‬jabara) Memperbaiki/membantu, memaksa, menghibur
‫( جسة‬Jariba) Berkudis
‫( ثجس‬Bajara) Besar Perut
‫( ثسج‬Baraja) Tampak dan tertinggi
‫( زجت‬Rajaba) Mengagungkan
‫( زثج‬Rabaja) Bodoh

2) Pada tataran morfologi

Lalu urutan morfem dalam kata pada umumnya tidak dapat

diubah misalnya: me-lukis tidak dapat diubah urutannya menjadi lukis-

me. Pada tataran morfologi tampak pada morfem-morfem urutan pada

suatu kata, dalam bahasa Arab hal yang sama akan ditemukan. Kata

(kataba) ‫ كزت‬tidak akan sama maknanya dengan kata ‫( كزجي‬katabna).

3) Pada tataran sintagmatik

Kemudian urutan dalam kalimat terkadang boleh diubah tanpa

mengubah arti, hal ini bergantung pada adanya hubungan sintagmatik,

misalnya: kemarin dia datang – dia datang kemarin – dia kemarin

datang, sebaliknya, kalimat Santi memanggil indra berbeda artinya

dengan kalimat Indra memanggil Santi.

Dalam bahasa Arab kita akan menemukan hal yang sama pada

contoh berikut:22

22
Sahkholid Nasution, PENGANTAR LINGUISTIK, 22.
19

‫علي ذىب إىل ادلكتبة أمسي‬


‫ذىب علي إىل ادلكتبة أمسي‬
‫أمسي ذىب علي إىل ادلكتبة‬
‫علي ذىب أمسي إىل ادلكتبة‬
Yang mungkin dapat diubah dan makna kalimatnya juga berubah

dapat dilihat pada contoh berikut:

‫عبد هللا نصر عليا‬


‫علي نصر عبد هللا‬

Setelah kita pahami hubungan sintagmatik di atas, maka kita juga

harus mengenal adanya hubungan yang disebut paradigmatik, yakni

hubungan antara satuan-satuan bahasa yang mempunyai persesuaian-

persesuaian tertentu secara sistematis. Adanya hubungan paradigmatik ini

diperoleh dengan cara substitusi atau penggantian.23

1). Pada tataran fonemik

Fonem /t/ dalam kata tari mempunyai hubungan paradigmatik

dengan fonem yang dapat menggantikannya, seperti fonem /d/, /c/, /j/,

dan /‫ح‬/, /‫ج‬/, /‫خ‬/ dan /‫م‬/ pada kata bahasa Arab berikut:

T ari : tari ‫حسد‬

D : dari ‫جسد‬

C : cari ‫خسد‬

J : jari ‫هسد‬

23
M. S. Yoon et al.,Effects of Vagal Stimulation, 54-55
20

2). Pada tataran morfologi

Morfem me- dalam kata melukis mempunyai hubungan

paradigmatik dengan morfem di-ter-, atau pe-. Dan sufiks /‫د‬/, /‫ى‬/, /‫روب‬/,

pada contoh berikut:

Me- mbaca : membaca ‫ضسثذ‬

di- : dibaca ‫ضسثي‬

ter- : terbaca ‫ضسثزوب‬

pe- : pembaca

2). Pada tataran sintaksis

Kata-kata dalam kalimat contoh di bawah ini mempunyai

hubungan paradigmatik:.

Tabel 2.4
Sintagmatik dan Paradigmatik Sintaksis

Dalam Bahasa Indonesia Dalam Bahasa Arab

Sofyan Meminum Kopi ‫سوفيان يشرب القهوة‬


Andri Menulis Surat ‫أنذري يكتب الرسالة‬
Aisyah Memasak Makanan ‫عاءشة تطبخ ادلائدة‬

Maka dengan mempelajari hubungan sintagmatik dan hubungan

paradigmatik antara tiap unsur seperti di atas, semua dapat memberikan

distribusi masing-masing unsur tersebut. Dengan kata lain semua dapat

memberikan tempat hadirnya masing-masing unsur dalam keseluruhan

pola.
21

b) Sign, Signifier dan Signified

Sebuah tanda, khususnya tanda kebahasaan, merupakan identitas

psikologis yang berisi dua atau berdwimuka, terdiri dari unsur penanda

(citra-bunyi) dan petanda (konsep). Berikut dalam gambarannya:

Sign (tanda)

Realitas
Eksternal
Tersusun atas Pertandaan atau makna
Sign (tanda)

Signifier (Penanda) Signified (Petanda)


Sign (tanda) Sign (tanda)
Eksistensi fisik dari tanda Konsep mental

Dari tiga model makna tanda di atas, dapat ditarik kesimpulan

bahwa tanda merupakan sesuatu yang bersifat fisik, bisa dipersepsi oleh

panca indera; tanda mengacu pada sesuatu diluar tanda itu sendiri; dan

bergantung pada pengenalan oleh penggunanya sehingga bisa disebut

tanda. Saussure beranggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku

manusia membawa makna dan berfungsi sebagai tanda, maka di

belakangnya terdapat sistem perbedaan dan konvensi yang memungkinkan

makna itu.24

Dalam persepektif semiotika, bahasa adalah penanda (signified)

yang terkait dengan yang ditandai (signifier). Bagi Ferdinand de Saussure,

24
Ismayani, “Pesan Dakwah Dalam Film Aku Kau Dan Aku Analisis Semiotika Ferdinand
De Saussure,” (Skripsi Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar: 2017), 34.
22

seorang ahli linguistik, bahasa sebagai sistem tanda (sign) itu hanya dapat

dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa, bila

mengekspresikan atau menyampaikan ide-ide atau pengertian-pengertian

tertentu.25

c) Langue Parole dan Langage

Menurut Saussure Langue adalah sistem dari bahasa dimana

individu mengasimilasikan bahasa yang ia dengar. Sistem gramatikal yang

lahir dari lingkungan sosial individu tersebut. Sementara itu Parole adalah

kombinasi darimana individu menggunakan kode dari sistem bahasa untuk

mengekspresikan pemikirannya.

Saussure mengeksplorasi aturan dan konvensi yang mengatur

bahasa (langue) ketimbang pemakaian dan ujaran secara spesifik yang

dipakai individu dalam kehidupan sehari-hari (parole). Saussure dan

strukturalisme secara umum, lebih banyak menaruh perhatian kepada

struktur bahasa daripada pemakaian sebenarnya.26

25
Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia; Hermeneutika Hingga Ideologi, 229
26
Fajriannoor Fanani, Semiotika Strukturalisme Saussure, Jurnal the messenger, Vol.V No.1
(Ilmu Komunikasi Universitas Semarang: Januari, 2013), 14.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

1. Jenis dan Model Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, karena data

yang dianalisis berupa teks yang membutuhkan pemakanaan dan penafsiran

mendalam. Jenis penelitian kualitatif ini digunakan untuk menjawab

pertanyaan dalam rumusan masalah, yaitu menemukan, mengungkap, serta

membuat penjelasan secara mendalam atas fenomena yang dijadikan objek

dalam kajian ini. Sedangkan model penelitian ini adalah penelitian pustaka.

2. Pendekatan dan Objek Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotika. Objek materialnya

adalah ayat-ayat yang membahas tentang kisah pertemuan Nabi Musa dan

Nabi Khidir dalam al-Qur‟an surah al-Kahfi ayat 60-82. Sedangkan yang

menjadi objek formalnya ialah semiotika Ferdinand de Saussure yang

digunakan untuk mengkaji kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir

dalam al-Qur‟an surah al-Kahfi ayat 60-82.

3. Sumber data

a. Data Primer

Data primer yang menjadi acuan penulis dalam penelitian ini adalah

kitab suci al-Qur‟an tentang kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir

23
24

yaitu al-Qur‟an surah al-Kahfi ayat 60-82 dan beberapa kitab tafsir klasik

hingga kontemporer, tafsir ibnu katsir, tafsir al-Munir, maupun al-Misbah

sebagai tafsir kontemporer nya.

b. Data sekunder

Data sekunder yang digunakan oleh penulis adalah kitab, buku, jurnal

literatur atau hasil penelitian yang setara dengan pembahasan tentang kisah

pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam al-Qur‟an surah al-Kahfi dan

semiotika Ferdinand de Saussure.

4. Langkah Pengumpulan data

Pertama, data penelitian ini dikumpulkan dan diseleksi dari ayat-ayat

al-Qur‟an, kemudian analisisnya diambil secara sistematis, sesuai urutan ayat

yang berbicara tentang pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam al-

Qur‟an. Kedua, mengklasifikasikan ayat-ayat berdasarkan kesamaan isi.

Ketiga, membagi kisah menjadi empat fragmen.

5. Analisis Data

Data yang terhimpun kemudian dianalisis, penulis menggunakan

pendekatan semiotik, pembacaan terhadap ayat-ayat al-Qur‟an dengan

menggunakan teori struktural Ferdinand de Saussure.


25

BAB IV

ANALISIS SEMIOTIKA STRUKTURAL FERDINAND DE SAUSSURE

A. Pemaknaan Alur Cerita Perspektif Struktural Ferdinand de Sasussure

1. Pemotongan Teks (Relasi Sintagmatik dan Paradigmatik)

a) Fragmen I ayat 60-64 (Perjalanan Nabi Musa dengan Muridnya

Yusha’ bin Nun)

Kisah ini disusun dengan fonem yang kompleks, yakni setiap

komponen yang disebut harf memiliki peran tersendiri dalam susunan

sintaksis ayat, jadi ketika fonem itu berubah ataupun diubah, maka akan

menghasilkan makna yang berbeda. Analisis sintagmatik dalam ayat

berfungsi untuk mencari makna dan konteks yang masuk dalam struktur

kebahasaan. Hubungan paradigmatik dalam ayat berfungsi untuk

mengetahui perbendaharaan kata dalam sebuah susunan kalimat. Relasi

makna yang terdapat dalam surat al-Kahfi ayat 60-82 berupa sinonim

) ‫)مرادف‬, antonim, )‫ )مضاد‬hiponimi (‫) حيبونيمي‬, dan hipernimi (‫)حيبرينيمي‬.

ِ ‫ال مو ٰسى لَِفتٰىو ََلٓ اَب رح ح ّٰٓت اَب لُ َغ َْرلمع الْبحري ِن اَو اَم‬
‫ض َي ُح ُقبًا‬ ِ
ْ ْ َْ ْ َ َ َ ْ ّ َ ُ َْ ُ ْ ُ َ َ‫َوا ْذ ق‬
‫الشاب‬
ّ
Sintagmatik ‫خادم‬

Paradigmatik
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada pembantunya, “Aku tidak
akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua laut; atau aku akan
berjalan (terus sampai) bertahun-tahun.”27
27
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahan, diakses pada tanggal
4 Juni, 2021, https://quran.kemenag.go.id/.

25
26

Kisah ini dimulai dengan penggunaan preposisi idh (ketika).

preposisi idh (ketika) merupakan tanda yang menunjukkan keterangan

waktu (dharf-makân). Penempatan idh di awal setelah huruf wau

isti‟nâfiyah membuat kalimat yang mengikutinya menjadi tidak begitu

sempurna, penggunaan kata ini memiliki makna “ingatlah” (‫)اذكر‬.28 Dalam

hal ini, perlu ditegaskan bahwasanya al-Qur‟an bukanlah buku sejarah,

namun al-Qur‟an adalah kitab petunjuk, maka ketika di dalamnya terdapat

kisah-kisah terdahulu titik tekannya pada pesan moralnya.29 Tanda idh

selain memberikan arti demikian, juga mengacu pada perjalanan waktu

rangkaian cerita kisah perjalanan Nabi Musa dari awal sampai akhir.

Kata Mûsâ yang disebutkan di permulaan cerita merupakan tanda

penting berikutnya, mengacu pada salah satu tokoh sentral cerita, bisa

disebut tokoh pertama. Mûsâ merupakan tokoh yang nantinya akan banyak

berinteraksi melalui komunikasi maupun pemikirannya dengan beberapa

tokoh yang lain yang ada dalam cerita. Wa idh qâla Mûsâ (dan ingatlah

ketika Nabi Musa berkata) lifatâhu, kepada seorang anak remaja yang

diketahui dalam tafsir al-jalâlayn bernama Yusha‟ bin Nun, dia adalah

murid yang setia mengikuti dan melayani Nabi Musa sebagai gurunya.30

28
Salman Harun dkk, kaidah Tafsir, 357.
29
Nadirsyah Hosen, TAFSIR AL-QUR‟AN BIL MEDSOS; Mengkaji makna dan rahasia ayat
suci pada era media sosial, Cet.1, (Bandung: Mizan Media Utama, 2019), 290.
30
Jalâl al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî, Jalal al-Din „Abdurrahman bin Abî Bakr
al-Suyûṭî, Tafsîr al-jalâlayn, (t.t. Dâr al-Ḥadîth, t.th), 389.
27

Kata (‫“ )فّت‬Fatâ” tersebut memiliki hubungan paradigmatik dengan

kata (‫“ )الشاب‬ash-Shâbbu” dan (‫“ )خادم‬Khâdam” yang sama-sama

memiliki arti pemuda dan memiliki peran membantu. Penggunaan kata

(‫“ )فّت‬Fatâ” disebutkan sebanyak tiga kali dalam al-Qur‟an, pertama pada

surah Yusuf ayat 30, surah al-Anbiya‟ ayat 60, dan surah al-Kahfi ayat 60,

kata tersebut merupakan tanda yang menunjukkan usia pemuda, pemuda

yang telah masuk masa dewasa bentuk fisik yang kuat bertenaga dan akal

fikiran sudah terbuka untuk menerima wawasan baru dan memiliki karakter

setia. Pemilihan kata “Fatâ” adalah contoh kesopanan Islam, agar orang

muda pembantu itu jangan disebut “ash-Shâbbu” atau “Khâdam”.31

Lâ abroẖu ẖattâ ablugho majma‟al-baẖroyni, frase majma‟ al-

baẖroyni ialah tanda isim ma‟rifah karena ketambahan (‫ )ال‬yang

menandakan tempat tersebut sudah diketahui keberadaannya sesuai

historis, maka perjalanan untuk mencari sesuatu itu tidak akan berhenti

sampai benar-benar berada di suatu tempat yang ingin dituju ( ‫الروم‬


ُّ ‫ُم ْلتَ َقى ََْبر‬

ِِ ِ ِ
َ ‫اْلَ ِامع ل َذل‬
‫ك‬ ْ ‫) َوََْبر فَا ِرس ِمَّا يَلي الْ َم ْش ِرق أ‬
ْ ‫َي الْ َم َكان‬ tempatnya di antara

31
Hamka, TAFSIR AL-AZHAR: Diperkaya dengan pendekatan sejarah, sosiologi tawasuf,
ilmu kalam, satsra dan psikologi, Jilid 5 (Jakarta: GEMA INSANI, 2015), 404.
28

berkumpulnya pertemuan dua laut, yakni laut Romawi yang berada di

sebelah baratnya dan laut persia berada di sebelah timurnya32 atau

pertemuan antara Laut Merah dan Samudera Hindia di Bab al-

Mandab.33Aw amdiya ẖuquban sebagai bentuk keseriusan dan semangat

tinggi Nabi Musa yang akan terus berjalan berapapun tahun lamanya

hingga sampai pada petunjuk yang ia punya itu.

‫فَلَ َّما بَلَغَا َْرل َم َع بَْينِ ِه َما نَ ِسيَا ُح ْوتَ ُه َما فَ َّاَّتَ َذ َسبِْي لَوُ ِف الْبَ ْح ِر َسَرًب‬
Maka ketika mereka sampai ke pertemuan dua laut itu, mereka
lupa ikannya, lalu (ikan) itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.34

Falammâ balagha majma‟a baynihimâ ketika Nabi Musa dengan

muridnya telah sampai di antara pertemuan dua buah lautan tersebut

sesuatu hal terjadi, nasiyâ ẖûtahumâ, mereka berdua Nabi Musa dan

muridnya lupa terhadap ikannya. Keduanya melupakan sesuatu, diketahui

Nabi Musa dan muridnya ketika perjalanan membawa ikan. Lalu dalam

perjalanannya ketika telah melewati pertemuan dua buah laut tersebut,

kemudian beristirahat di sebuah batu, ikan menjadi penanda terkait tempat

yang dijadikan sebagai isyarat pertemuan, dalam frase fattakhodâ sabîlahu

fil baẖri saroban.

32
Jalǎl al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî, Tafsîr al-jalâlayn, 389.
33
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 16, 287.
34
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
29

Kata “‫ ”احلوت‬memiliki hubungan paradigmatik dengan kata “‫”مسك‬

yang sama-sama bermakna ikan, penggunakaan kata ẖût dalam konteks

kisah ini, menandakan ikan tersebut berukuran besar yang cukup apabila

dikonsumsi oleh dua atau tiga orang. Kata (‫“ )سبيل‬Sabîl” tersebut memiliki

hubungan paradigmatik dalam kata (‫“ )طريق‬Ṭorîq” dan kata (‫“ )صرط‬Ṣirôṭ”

yang sama-sama memiliki arti jalan.35

Dalam struktur ayat ini kata (ُ‫سبِْي لَو‬


َ ) berkedudukan sebagai maf‟ul

biẖ, konteks ayat menunjukkan makna jalan yang berkaitan dengan tempat

dalam ayat sebelumnnya (majma‟al-baẖroyni). Keunikan yang terjadi, tiba-

tiba ikan tersebut melompat seolah-olah sudah mengetahui jalannnya yang

telah disediakan ke dalam laut. Prof. Wahbah az-Zuhaylî menjelaskan

dalam kitabnya, menurut sebuah pendapat, Allah menahan air yang akan

dilalui ikan tersebut sehingga ikan tersebut seperti terapung-apung di

atasnya.36

35
Kata as-Sabîl jamaknya subul, asbul dan asbilah berarti aṭ- ṭarîq (jalan) atau sesuatu yang
dapat menjelaskan (menerangkan) dari padanya. Kata aṭ-ṭarîq jamaknya adalah ṭuruq dan aṭruq dan
aṭtiqa‟ dan ṭariqat yang mempunyai arti as-Sabîl (jalan). Kata ṣirōṭ atau ṣaratǎ: as-ṣurǎt jamaknya
ṣuruṭi yang berarti ṭarîq “jalan” (terambil dari bahasa yunani), ṣirǎt adalah pedang yang panjang yang
digunakan untuk memotong. Dikutip dari skripsi karya Ali Fathi Daraini, “Tafsir ayat Shirat, Sabil,
Thariq, dan Salkan dalam al-Qur‟an; Studi analisis Tafsir al-Qurthubhy,” (Skripsi: UIN Sumatera
Utara Medan, 2018), 54.
36
Wahbah az-Zuhailî, “F. Huruf-Huruf yang Terdapat di Awal Sejumlah Surah (Huruuf
Muqaththa‟ah) 20 G. Tasybiih,Isti‟aaroh, Majaaz, dan Kinaayah dalam Al-Qur‟an 21,” n.d., 280.
30

ِ ِ ِ ۖ ۤ ِ ِ
‫صبًا‬
ََ‫ن‬ ‫ا‬ ‫ذ‬
َ ‫ى‬
ٰ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ‫ال ل َفتٰىوُ اٰتنَا َغ َداء‬
‫َن‬
‫ر‬ ‫ف‬‫س‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ا‬ ‫ن‬ ‫ي‬ ‫ق‬ ‫ل‬
َ ‫د‬
ْ ‫ق‬َ‫ل‬ ‫َن‬ َ َ‫فَلَ َّما َج َاوَزا ق‬
Maka ketika mereka telah melewati (tempat itu), Musa berkata
kepada pembantunya, “Bawalah kemari makanan kita; sungguh kita telah
merasa letih karena perjalanan kita ini.”37

Rangkaian tanda itu berlanjut dalam frase falammâ jâ wazâ qâla

lifatâhu âtinâ ghodâanâ tatkala mereka berdua sampai di suatu tempat,

Nabi Musa berkata kepada muridnya untuk membawakan makanannya.

Kata (‫“ ) َغ َداء‬Ghodâ” maknanya makanan siang, artinya Nabi Musa dan

muridnya telah melakukan perjalanan hingga berganti hari dan masuk

waktu siang.38 Dalam kata tersebut memakai ḍomir nun, artinya makanan

itu untuk keduanya bukan hanya untuk satu orang.

Selanjutnya ia menjelaskan bahwa makanan itu sangat dibutuhkan

karena laqod laqînâ min safarinâ hâdha nasobâ preposisi lâm (lâm al-

Ibtida‟) dan qad (laqad/sesungguhnya) ialah tanda yang merupakan

morfem terikat, sebab dua preposisi ini hanya akan memiliki arti apabila

dihubungkan dengan morfem lain. Konteks kalimat di atas, preposisi lâm

dan qad dihubungkan dengan verba lampau (fi‟il maḍi) laqîna dengan

ḍomir mustatir yang kata dasarnya dari kata laqâ, sehingga berfungsi

37
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
38
Muhammad Warson Munawwir, AL-MUNAWWIR; Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya:
PUSTAKA PROGRESSIF, 2002), 998.
31

sebagai taukîd (penguat).39 Penggunaan ḍomir nun dalam ayat ini

memberikan makna teks dialog yang digunakan oleh Nabi Musa bermakna

kebersamaan.
ۖ
‫ت َوَمآ اَنْ ٰسىنِْيوُ اََِّل الشَّْي ٰط ُن‬
َ ‫احلُْو‬
ْ ‫ت‬ ِ ِِ‫الصخرِة فَا‬
ُ ‫ّن نَسْي‬
ِ
ّْ َ ْ َّ ‫ت ا ْذ اََويْنَآ ا َىل‬
ِ ‫ال اَراَي‬
َ ْ َ َ َ‫ق‬
ُۚ
‫اَ ْن اَذْ ُكَرهُ َو َّاَّتَ َذ َسبِْي لَوُ ِف الْبَ ْح ِر َع َجبًا‬
Dia (pembantunya) menjawab, “Tahukah engkau ketika kita
mencari tempat berlindung di batu tadi, maka aku lupa (menceritakan
tentang) ikan itu dan tidak ada yang membuat aku lupa untuk
mengingatnya kecuali setan, dan (ikan) itu mengambil jalannya ke laut
dengan cara yang aneh sekali.”40

Frase selanjutnya dilanjutkan dengan hubungan komunikasi murid

kepada gurunya yakni Nabi Musa ketika muridnya berkata qâla aroayta

idh awaynâ ilâ ṣokhroti fainnî nasîtul ẖût, kata idh yang setelahnya berupa

fi‟il maḍi mengisyaratkan kembali kepada kita sebagai pembaca untuk

kembali melihat runtutan peristiwa yang terjadi ketika dimulainya

perjalanan itu dilakukan, ada keterhubungan tanda di frase sebelumnya.

Ayat 63 ini bermunasabah41 dengan ayat-ayat sebelumnya, qâla

aroayta idh awaynâ ila ṣokhroti fainnî nasîtul ẖût ketika sang murid

berkata kepada Nabi Musa, “Tahukah anda dan ingkatkah anda ketika kita

hendak mencari tempat dan beristirahat dibalik batu tadi, maka Sungguh

39
H.Abdul Haris, TEORI DASAR NAHWU & SHOROF; Sebuah Terobosan Dalam Belajar
Membaca Kitab Kuning, Cetakan 1 (Jember: Pustaka Al-Bidayah, 2017), 21.
40
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
41
Munasabah dari segi etimologi adalah hubungan antara dua pihak atau lebih, dari segi
terminologi adalah pengetahuan tentang makna yang terkandung dalam perurutan pernyataan dalam al-
Qur‟an
32

aku telah melupakan ikan yang dibawa.” Murid tersebut lupa mengatakan

tentang kejadian ikan itu kepada Nabi Musa karena tipu daya setan yang

mempengaruhinya.

Wamâ ansânîhu illa shaiṭônu an adhkuroh, ada mâ nafy yang

mengindikasikan bahwa sebenarnya dia dalam hal ini muridnya Nabi Musa

tidak akan melupakan ikan tersebut kecuali setan yang membuat dia

menjadi lupa terhadap ikan tersebut. Wattakhodha sabîlahu fil baẖri

„ajaban sebagai penjelas tentang kejadian yang dilihat oleh muridnya

tersebut, ketika ikan itu sedang mengambil jalannya di laut dengan cara

yang tampak aneh dan lantas membuat keduanya merasa keheranan dan

takjub.42

‫صا‬ ِ‫ال ٰذلِك ما كنَّا ن ب ِۖغ فارتدَّا ع ٰلٓى اَٰث ِر‬


ً َ َ َ َ َْ َ َْ ُ َ َ َ َ‫ق‬
‫ص‬َ‫ق‬ ‫ا‬‫ِه‬

Dia (Musa) berkata, “Itulah (tempat) yang kita cari.” Lalu keduanya
kembali, mengikuti jejak mereka semula.43

Nabi Musa berkata kepada muridnya, qâla dhâlika mâ kunnâ

nabghi itulah sesuatu (yang merujuk tempat) yang kita cari-cari. Kata isim

isyâroh (‫ )ذلك‬sebagai pernyataan keterkaitan dengan yang ditunjuk itu

sangat jelas (al-Isyârah bi dhâlika).44 Kejelasan itu diungkap oleh Nabi

42
Jalǎl al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî, Tafsîr al-jalâlayn, 391.
43
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
44
Salman Harun dkk, kaidah Tafsir, 668.
33

Musa bahwa kejadian aneh ikan tersebut serta tempat peristirahan itu

merupakan pertanda bahwa dirinya akan menemukan sesuatu yang dicari.

Penggalan ayat selanjutnya menjelaskan tentang kesigapan Nabi

Musa dan muridnya fartaddâ „alâ âthârihimâ qoṣoṣon, keduanya langsung

kembali ketempat yang digunakan untuk beristirahat sebelumnya. Jika

diperhatikan secara cermat, struktur bahasa itu ada unsur yang

membentuknya ketika di telisik tiap unsur yang membangun dan hal yang

berkaitan dengannya. Ayat yang ada dalam fragmen pertama ini

menunjukkan bahwa jika menginginkan sesuatu, carilah dengan

menggunakan petunjuk yang sudah ada. Allah SWT bisa saja dengan

kehendak-Nya menjadikan perjalanan Nabi Musa dengan muridnya itu

berlangsung singkat dan dihadapkan pada suatu tempat tertentu, bukan hal

yang sulit bagi Allah SWT untuk melakukannya. Salah satu letak nilai

pelajarannya bahwa segala sesuatu itu, ada proses terkait waktu dan tempat

yang harus di tempuh untuk memperoleh apa yang di inginkan.

b) Fragmen II: 65-70 (Bertemunya kedua Ilmu)

Fragmen ini pada garis besar alur ceritanya dapat dibagi menjadi

lima tahap. Pertama, bertemunya Nabi Musa dengan seorang hamba Allah

yang merupakan salah satu tokoh penting dalam alur cerita ini. Kedua,

Nabi Musa ingin mengikuti seorang hamba Allah tersebut kemanapun dia

berada sampai bisa belajar sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya.


34

Ketiga, hamba Allah berkata kepada Nabi Musa bahwa perjalanan yang

akan dilakukannya nanti akan membuatnya tidak sanggup untuk

mengikutinya. Keempat, Nabi Musa memberikan jawaban bahwa dia akan

benar-benar mengikutinya dengan sabar. Kelima, hamba Allah memberikan

salah satu syarat kepada Nabi Musa agar tidak menanyakan sesuatu apapun

selama perjalanan berlangsung.

‫فَ َو َج َدا َعْب ًدا ِّم ْن ِعبَ ِاد ََنٓ اٰتَْي نٰوُ َر ْْحَةً ِّم ْن ِعْن ِد ََن َو َعلَّ ْمنٰوُ ِم ْن لَّ ُد ََّن ِع ْل ًما‬

Lalu mereka berdua bertemu dengan seorang hamba di antara


hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat kepadanya dari sisi
Kami, dan yang telah Kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi Kami.45

Fawajadâ „abdan, ketika keduanya mendapati (bertemu) dengan

seorang hamba, ada alif tathniyyah yang menandai dua orang, artinya

keduanya, yaitu Nabi Musa dan muridnya bertemu salah seorang hamba.

Kata (‫ )عبدا‬dikatakan Nabi Khidir yang memiliki nama Balya bin Malkan.46

Kata al-Khidr sendiri bermakna hijau, Nabi SAW bersabda bahwa

penamaan itu disebabkan karena suatu ketika ia duduk di bulu yang

berwarna putih, tiba-tiba warnanya berubah menjadi hijau (HR. Bukhâri

melalui Abû Hurairah).47

45
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
46
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 16, 288.
47
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, kesan, dan keserasian Al-Qur‟an, Vol. 8,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), 94
35

Lafadz harf jer (‫ )من‬yang terdapat dalam ayat ini juga digunakan

untuk menjelaskan sesuatu yang belum jelas yang disebutkan

sebelumnya.48 Min „ibâdinâ menandai bahwa seorang hamba itu dari

hamba-hamba kami (Allah). Âtaynâhu roẖmatan min „indinâ yang telah

kami berikan rahmat) kepadanya dari sisi kami, yakni kenabian menurut

suatu pendapat dalam tafsir jalâlayn.49 Wa „allamnâhu min ladunnâ „ilman

yang telah kami ajarkan ilmu kepadanya dari sisi kami. Lafadz „ilman

menjadi maf‟ul thani, yaitu berkaitan dengan masalah-masalah kegaiban.

Min yang ketiga, menjadi pelengkap diantara dua konjungsi min, artinya

ilmu yang diberikan kepada seorang hamba tersebut tidak ada seorang pun

yang mengetahui sebelumnya.

Salah satu kemukjizatan al-Qur‟an terlihat jelas, alangkah serasinya

penetapan waktu dan tempat yang menjadi pertemuan kedua tokoh penting

itu dengan pertemuan dua laut, yakni laut air dan laut ilmu, oleh karena

keduanya adalah sosok yang berilmu. Kendati demikian, didapati bahwa

keilmuan yang berbeda itu dipertemukan di satu tempat yang bermakna

kedua lautan itu sebagai gambaran bahwa ilmu itu luas adanya, tidak hanya

luas namun juga menunjukkan kedalaman. Hal yang menarik lainnya ialah,

pertemuan itu ditandai oleh ikan yang juga dinamai oleh al-Qur‟an Nûn

48
Salman Harun dkk, kaidah Tafsir, 348.
49
Jalâl al-Dîn Muhammad bin Ahmad al-Mahallî, Tafsîr al-jalǎlayn, 393.
36

serta digunakan-Nya untuk bersumpah bersama dengan pena dan apa yang

ditulisnya (QS. Nûn/al-Qalam [68]: 1-2).50

Mayoritas ulama berpendapat bahwa Nabi Khidir digambarkan

dengan orang yang tampak selalu menutupkan sehelai kain putih pada

kepalanya. Nabi Musa pun memberi salam kepadanya dan Nabi Khidir pun

menjawab salam tersebut. Nabi Musa memperkenalkan diri, “Saya Musa.”

Nabi Khidir meyakinkan dirinya, “Musa Nabi Bani Isra‟il?.” “Benar,”

jawab Nabi Musa.51

ِ ِ ِ ٓ َ ‫وسى ىل اَتَّبِع‬
َ ‫ك َع ٰلى اَ ْن تُ َعلّ َم ِن ِمَّا عُلّ ْم‬
‫ت ُر ْش ًدا‬ ُ ْ َ ٰ ‫ال لَوُ ُم‬
َ َ‫ق‬
Musa berkata kepadanya, “Bolehkah aku mengikutimu agar engkau
mengajarkan kepadaku (ilmu yang benar) yang telah diajarkan kepadamu
(untuk menjadi) petunjuk?”52

Qâla lahu Mûsâ dalam frase ini ditandai dengan mulai adanya

komunikasi awal yang ditunjukkan setelah bertemunya Nabi Musa dan

muridnya dengan Nabi Khidir. Hal attabi‟uka, bolehkah aku mengikutimu,

ada hal istifhâm Nabi Musa meminta izin kepada Nabi Khidir supaya bisa

mengikutinya dan berharap berkenan untuk diajarkannya ilmu. qâla lahû

mûsâ hal attabi‟uka „alâ an tu‟allimani mimmâ „ullimta rushdan ( ‫من العلم‬

50
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 8, 91.
51
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 16, 288.
52
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
37

‫احلق‬
ّ ‫)الذي علمك هللا ما ىو رشاد إىل‬, ilmu yang ada pada Nabi Khidir dan
53

diketahui diberikan oleh Allah SWT sebagai orang yang memiliki petunjuk

untuk memperoleh kebenaran.

Dalam kajian Bahasa dikenal dengan sebutan psikolinguistik, Ilmu

yang mempelajari bahasa akibat latar belakang kejiwaan penutur bahasa

dan juga mempelajari proses perolehan bahasa seseorang. Redaksi ayat 66

memperlihatkan tentang sistem kode langage yang merupakan bagian dari

langue, kemudian ayat tersebut juga merupakan bentuk ujaran parole. Nabi

Musa sebagai Penutur dan Nabi Khidir sebagai penerima ujaran. Oleh

karena itu, ujaran pertanyaan yang diungkapkan oleh Nabi Musa

merupakan pertanyaan yang penuh dengan kelembutan, dan itu merupakan

sebuah etika yang baik. Menandakan bahwa tidak ada pengharusan ataupun

pemaksaan di dalamnya, karena yang demikianlah sebaiknya pertanyaan

seorang murid kepada gurunya.

Kata rushdan yang memiliki makna leksikal petunjuk (kebenaran)

yang merupakan mashdar dan kedudukannya sebagai maf‟ul lajlih (yakni

alasan terjadinya sesuatu pekerjaan) isim yang dibaca naṣob.54 Jika

dperhatikan secara menyeluruh struktur sintaksis yang ada pada ayat 66.

Diketahui Nabi Musa secara langsung meminta izin untuk berguru kepada

53
Muhammad bin jarîr bin yazîd bin kathîr bin ghôllib al-Âmalî Abû ja‟far aṭ-Ṭobarî, Tafsîr
aṭ-Ṭobari; jâmi‟ul bayân „an ta‟wîl ay al-Qur‟ân, jilid 15, (t.t. Dâr hijr liṭobâ‟at, 2001), 71.
54
H.Abdul Haris, TEORI DASAR NAHWU & SHOROF, 170.
38

seseorang yang diyakini memiliki keilmuan lebih dari dirinya. Alasan

dibalik itu semua ialah untuk mempelajari suatu ilmu dan mengindikasikan

kepada pembaca, dianjurkan untuk mempelajari ilmu kepada seseorang

yang diyakini sebagai ahlinya.

‫صْب ًرا‬ ِ ِ ِ َ َ‫ق‬


َ ‫َّك لَ ْن تَ ْستَطْي َع َمع َي‬
َ ‫ال ان‬
Dia menjawab, “Sungguh, engkau tidak akan sanggup sabar
bersamaku.55

Nabi Khidir berkata qâla innaka, inna merupakan morfem terikat

yang artinya (sesungguhnya) juga merupakan kata penegasan atas sesutau

hal. Nabi Khidir memberikan penegasan bahwa Nabi Musa tidak akan

sanggup untuk mengikutinya. lan merupakan (harf nafy) dan kata tastati‟a

kedudukannya sebagai fi‟il muḍori‟ yang mengindikasikan makna tidak

akan sanggup terkait zaman istiqbâl (sesuatu yang akan terjadi) ma‟iya

menjadi (dharf makân).56 Maksudnya merujuk terhadap perjalanan dan

suatu tempat yang akan disinggahi itu belum diketahui secara pasti ketika

nantinya Nabi Musa ikut bersamanya. Di akhir struktur sintaksis ini ada

kata ṣobron yang berkedudukan sebagai maf‟ul bih, makna leksikalnya

adalah (sabar).

Perkataan Nabi Khidir terhadap Nabi Musa sesungguhnya kamu

tidak akan mampu bersabar terhadap perkara yang akan kamu lihat dariku.

55
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
56
Muhyiddîn Ad-Darwîs, I‟rob al-Qur‟ǎn al-Kǎrim wa Bayǎnuhŭ, Jilid 4, (Beirût: Dâr-Ibn
kathîr, 1999), 519
39

Karena adanya perbedaan ilmu diantara kita yang Allah berikan. Maka

perbedaan itu juga mengisyaratkan kepada pembaca, bahwa tugas diantara

manusia berbeda dan tidak untuk disamakan.57

‫صِِبُ َع ٰلى َما ََلْ ُُِت ْط بِو ُخْب ًرا‬


ْ َ‫ف ت‬
َ ‫َوَكْي‬
Dan bagaimana engkau akan dapat bersabar atas sesuatu, sedang
engkau belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”58

Wa kayfa, wau aṭaf dan kayfa (harf istifhâm) bermakna dan

bagaimana kamu (Nabi Musa) taṣbiru (fi‟il muḍori‟) terkait zaman istiqbâl

(yang akan terjadi) makna leksikalnya akan bersabar „alâ mâ lam tuẖiṭ bihî

ghubron atas apa yang kamu belum mempunyai pengetahuan tentang

sesuatu yang kamu ingin pelajari dariku. Lafadz ghubron disini berbentuk

mashdar, kedudukannya sebagai maf‟ul muthlaq yang dibaca naṣob,

berfungsi sebagai penguat.59

Pertanyaan Nabi Musa pada ayat 68 ini memperkuat pernyataan

dari Nabi Khidir di ayat sebelumnya, karena semakin menegaskan

perbedaan ilmu antara keduanya. Ayat ini juga merupakan salah satu

isyarat kepada kita sebagai pembaca bahwa ilmu pengetahuan apapun juga

memiliki spesifikasi yang berbeda, cara menempuh dan karakteristiknya,

jalannya adalah menerima instruksi apapun sesuai dari guru dengan

bersabar sebagai kuncinya.

57
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 8, 322.
58
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
59
Muhyiddîn Ad-Darwîs, I‟rob al-Qur‟ân al-Kârim wa bayânuhû, 519
40

ِ ِ ۤ ِ ِ ِ
‫ك اَْمًرا‬َ‫ل‬ ‫ي‬
َ ْ ْ ‫ص‬ ‫ع‬‫ا‬
َ ‫َل‬
ٓ ‫و‬
ََّ ‫ا‬
‫ر‬ ‫ا‬‫ص‬ ٰ
ً َ ُّ َ ‫ّنٓ ا ْن َش‬
‫ب‬ ‫اّلل‬ ‫ء‬ ‫ا‬ ْ ‫ال َستَج ُد‬
َ َ‫ق‬
Dia (Musa) berkata, “Insya Allah akan engkau dapati aku orang yang
sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam urusan apa pun.”60

Nabi Musa mulai menanggapi perkataan dari Nabi Khidir tersebut

qâla satajidunî (engkau akan mendapati aku), sin di sana merupakan

morfem terikat, dalam bahasa Arab merupakan sin tanfis yang

menunjukkan arti “Akan”, dan masa terjadinya dekat (‫)للتقريب‬, hanya

masuk kepada fi‟il muḍori‟ saja.61

Inshâ Allahu ṣôbiron, ialah salah satu adab yang baik ketika Nabi

Musa menyandarkan dirinya kepada kehendak Allah dengan menyadari

bahwa Allah segalanya dalam berkehendak, dan sadar akan keterbatasan

dirinya sebagai manusia ciptaan-Nya. Frase tersebut bukan sekedar

menjadi langue secara teks saja, tetapi bisa menjadi parole bagi para

mukmin. Artinya pernyataan tersebut merupakan sandaran tertinggi dari

sebuah gambaran manusia yang taat dan sadar bahwa dirinya tidak lebih

besar dari Allah sebagai tuhan semesta alam.

Wa lâ a‟ṣîlaka amron artinya menegaskan bahwa Nabi Musa tidak

akan menentang segala urusan (ٍ‫شيء‬ ‫ك ِِف‬ ِ ‫ وََل أ‬:‫)أَي‬.62


َ ْ َ ‫ُخال ُف‬
َ َ ْ Ayat tersebut

60
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
61
H.Abdul Haris, TEORI DASAR NAHWU & SHOROF, 21.
62
Abû al-Fidâi Ismâil bin „umar bin Kathîr al-Qurshî al-Biṣrî ad-Dimashqî, Tafsîr al-Qur‟ân
al-„aẓîm, Jilid 8 (t.t. Dâr-lilnashri wa at-Tawzî‟, 1999), 774
41

menunjukkan sikap positif sebagai upaya meyakinkan Nabi Khidir untuk

menerimanya dan berharap bertambahnya ilmu.63

‫ك ِمْنوُ ِذ ْكًرا‬ ِ ٍ ِ َ َ‫ق‬


َ ‫ال فَا ِن اتَّبَ ْعتَِ ِْن فَ ََل تَ ْسَْل ِ ِْن َع ْن َش ْيء َح ّّٰٓت اُ ْحد‬
َ َ‫ث ل‬
Dia berkata, “Jika engkau mengikutiku, maka janganlah engkau
menanyakan kepadaku tentang sesuatu apa pun sampai aku menerangkannya
kepadamu.”64

Fragmen kedua ini ditutup dengan frase penegasan yang merupakan

syarat dari Nabi Khidir terhadap Nabi Musa jika memang benar-benar

ingin mengikutinya. Qâla fainittaba‟tanî, maka jika kamu mengikutiku, fa‟

aṭaf digabung dengan in merupakan penanda memiliki makna syarat. Falâ

tas‟alnî „an shai‟in ẖatta uhdithalaka minhu dhikron maksud dari ayat

tersebut ialah, ketika Nabi Musa melihat perkara yang dilakukan oleh Nabi

Khidir sesungguhnya perkara itu benar. Akan tetapi, kebenaran atas

perkara tersebut samar bagi Nabi Musa hingga mengakibatkan dirinya

menjadi bingung dan Nabi Khidir memerintahkannya untuk menahan diri

dengan cara tidak bertanya maupun mencegahnya ( ‫وىذا من آداب ادلتعلم مع‬

‫)العاَل‬.65

63
Abû al-Qâsim Mahmûd bin „Umar bin Ahmad az-Zamakhsharî, Tafsîr al-Kashâf „an
haqâiq ghowâmiḍu al-Tanzîl, Jilid 2, (Beirût: Dâr al-Kitâb al-„Arabî, 1986), 734.
64
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
65
Az- Zamakhsharî, Tafsîr al-Kashâf, 735.
42

c) Fragmen III: 71-76 (Ilmu yang tersembunyi)

Fragmen ketiga ini dimulai dengan awal perjalanan Nabi Musa dan

Nabi Khidir.

‫ت َشْيًا اِ ْمًرا‬ ‫ئ‬


ْ ِ ‫ال اَخرقْ ت ها لِت ْغ ِر َق اَىلَه ُۚا لََق ْد‬
‫ج‬ َ َ‫ق‬
ۗ
‫ا‬ ‫ه‬ ‫ق‬
َ‫ر‬ ‫خ‬ ِ َ‫الس ِفي ن‬
‫ة‬ َّ ‫ف‬ِ ‫ا‬ ‫ب‬ِ‫فَانْطَلَ َق ۗا ح ّٰٓت اِ َذا رك‬
َ َ ْ ُ َ
َ ََ َ ََ ْ َ َ َّ
Maka berjalanlah keduanya, hingga ketika keduanya menaiki perahu
lalu dia melubanginya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa engkau melubangi
perahu itu, apakah untuk menenggelamkan penumpangnya?” Sungguh,
engkau telah berbuat suatu kesalahan yang besar.66

Fanṭolaqâ, fa‟ isti‟nâfiyah dan inṭolaqâ yang merupakan fi‟il maḍî

dengan alif tathniyyah67 yang memiliki makna Nabi Musa dan Nabi Khidir

tersebut melakukan awal perjalanannya. Hal ini berhubungan dengan fragmen

sebelumnya, pembaca diajak kembali melihat tentang sebab awal sebelum

perjalanan itu dimulai, kemudian diketahui bahwa yang melakukan perjalanan

ini adalah Nabi Musa dan Nabi Khidir, tidak lagi melibatkan murid yang

sebelumnya mengikutinya. Ketika keduanya menemukan sebuah perahu dan

menaikinya, penumpang perahu menuduh mereka sebagai perampok dan mau

mengusirnya. Hal tersebut diketahui oleh pemilik perahu, kemudian pemilik

perahu membela keduanya, karena ia melihat tanda kenabian terhadap

mereka.68

66
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
67
Ahmad „abîd ad-Da‟âs Ahmad Muhammad Hamîdân Ismâil Mahmûd al-Qâsim, I‟rôb al-
Qur‟ân al-Karîm, Jilid 2 (Dimasqi: Dâr al-Munîr wa Dâr al-Fârabî, 1999), 226.
68
Az- Zamakhsharî, Tafsîr al-Kashâf, 735.
43

Ḥattâ idha rokibâ fi safinati khoroqohâ perjalanan itu mengacu pada

morfem terikat ẖattâ (sehingga) dihubungkan dengan morfem idhâ (tatkala),

keduanya berjalan dalam kata rokibâ yang merupakan fi‟il maḍi ditambah

dengan alif tathniyyah yang menunjukkan arti fa‟il dua orang dengan di

iḍofah kan kepada fî safînati, termasuk isim ma‟rifah dengan ketambahan (‫)ال‬

artinya perahu itu sudah diketahui secara khusus lalu kemudian ada insiden

khoroqohâ yakni pengerusakan perahu dalam kata (‫ )خرق‬dengan cara

dilubanginya kapal tersebut.69

Nabi Khidir melubanginya dengan kapak ( ‫أخذ اخلضر فأساً فخرق السفينة‬

‫)أبن قلع لوحني من ألواحها‬,70 mengakibatkan kerusakan pada perahu hingga

tampak berbeda dari sebelumnya. Pengerusakan perahu itu bukan

pengerusakan biasa yang hanya membuat perahu tergores, tapi lebih jauh dari

itu, menggunakan kapak untuk melubanginya hingga mampu membuat perahu

menjadi rusak parah.

Kejadian pengerusakan perahu tersebut memunculkan tanggapan dari

Nabi Musa, qâla akhoroqtahâ litughriqo ahlahâ, dalam frase ini terdapat

huruf hamzah yang bermakna istifhâm (pertanyaan) seputar pengerusakan

69
Ahmad „abîd ad-Da‟âs, I‟rôb al-Qur‟ân al-Karîm, 226.
70
Nâṣir al-Dîn Abû Sa‟îd „Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Shairôzî al-Baiḍowî, Tafsîr
Anwâr al-Tanzîl wa Asrôr al-Takwîl, Jilid 3 (Beirût: Dâr Ihyâ‟ al-Tarôth al-„Arobî, 1997), 288.
44

perahu tersebut. Dilanjutkan dengan klausa litughriqo ahlahâ, lam di sana

termasuk (‫التعليل‬ ‫)َلم‬ yang berkaitan dengan sebuah “alasan” apakah kamu

(Nabi Khidir) merusak perahu tersebut untuk bermaksud menenggelamkan

para penumpangnya?.71

Nabi Musa menjelaskan jika demikian alasannya maka dalam frase

laqod ji‟ta shai an imron yang mana terdapat morfem terikat lam dan qod

ketika digabungkan memiliki makna penegasan terhadap perilaku yang

ditunjukkan oleh Nabi khidir itu merupakan sebuah kesalahan besar dalam

pandangan Nabi Musa. Perilaku tersebut dianggap sebagai sesuatu yang dapat

merugikan banyak orang termasuk orang-orang yang tidak berdosa di

dalamnya dan hal tersebut sebagai bentuk kufur nikmat atas dirinya yang telah

diberikan tumpangan perahu namun tidak bisa memberikan apa-apa.72

‫صْب ًرا‬ ِ ِ ِ َّ‫ال اَََل اَقُل ل‬


َ ‫َّك لَ ْن تَ ْستَطْي َع َمع َي‬
َ ‫ك ان‬
َ ْ ْ َ َ‫ق‬
Dia berkata, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa sesungguhnya
engkau tidak akan mampu sabar bersamaku?”73

Qâla alam aqul terdapat hamzah istifhâm digabung dengan huruf

jazm yang bermakna nafy (ingkar) menjazmkan fi‟il yang jatuh sesudahnya,

yakni dalam kata fi‟il muḍori‟ “aqul” yang keseluruhan bermakna “bukankah

telah aku katakan” dilanjutkan frase innaka lan tastaṭi‟a ma‟iya ṣobron ada

71
Ahmad „abîd ad-Da‟âs, I‟rôb al-Qur‟ân al-Karîm, 227.
72
Muhammad Jamâl al-Dîn bin Muhammad Sa‟îd bin Qôsim al-Hallâq al-Qôsimî, Tafsîr
Mahâsin al-Takwîl, jilid 7(Beirût: Dâr al-Kutub al-„ilmiyah, 1996 ), 49.
73
Depag RI, Al-Qu‟ran dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
45

morfem terikat inna yang menandai penegasan kepada Nabi Musa bahwa ini

terkait persyaratan sebelumnya yang sudah pernah disepakati. Peringatan

tentang Nabi Musa tidak akan mampu sabar dalam perjalanan yang akan dia

tempuh bersama Nabi Khidir (‫تقدم‬ ‫)أذكره ما‬.74 Nabi Khidir menambahkan

bahwa sesungguhnya dia (Nabi Musa) belum mempunyai pengetahuan yang

cukup tentang hal-hal perbuatan ketika dia melihat secara langsung, padahal

perbuatan tersebut mengandung maslahat yang tidak dia ketahui.75

‫ت َوََل تُ ْرِى ْق ِ ِْن ِم ْن اَْم ِر ْي عُ ْسًرا‬ ِ ِ ِ‫اخ ْذ‬


ُ ‫ّن ِبَا نَسْي‬
ِ
ْ ‫ََ َال ََل تُ َؤ‬
Dia (Musa) berkata, “Janganlah engkau menghukum aku karena
kelupaanku dan janganlah engkau membebani aku dengan suatu kesulitan
dalam urusanku.”76

Atas ungkapan tersebut Nabi Musa berkata lâ tuâkhidhnî bimâ

nasîtu, lam di sana termasuk nahy yang bermakna larangan pada klausa

tuâkhidhnî menandai kekhawatirannya dengan memohon untuk tidak dihukum

bimâ nasîtu atas kelupaannya. Wa lâ turhiqnî min amrî „usron meminta agar

tidak bersikap keras dan tidak membebaninya dengan perkara yang sulit,

karena seperti itulah yang telah disebutkan dalam sebuah hadis dari

ً َ‫نِ ْسي‬
Rosulullah SAW yang bersabda: "‫اَن‬ ‫وسى‬ ِ َ ‫ت ْاْل‬
َ ‫ُوىل م ْن ُم‬
ِ َ‫ " َكان‬:‫ال‬
َ َ‫ق‬.77

74
Abû al-Ṭoyyib Muhammad Ṣodîq Khôn bin Hasan bin „Alî ibn Luṭfi Allah al-Husainî al-
Bukhorî al-Qinwajî al-Mutawwifî, Tafsîr fath al-Bayân fî maqôṣid al-Qur‟ân, Jilid 8, (Beirût: al-
Maktabah al-„Iṣriyyah Liṭṭoba‟ah wa al-Nashr, 1992), 85.
75
Ibn Kathîr al-Qurshî al-Biṣrî ad-Dimashqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„aẓîm, Jilid 8,183.
76
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
77
Ibn Kathîr al-Qurshî al-Biṣrî ad-Dimashqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„aẓîm, Jilid 8,183.
46

Secara keseluruhan dalam ayat ini memberikan makna harapan dari

Nabi Musa sebagai murid kepada Nabi Khidir selaku gurunya agar tetap

berkenan untuk memberikannya kesempatan untuk bisa terus mengikutinya

dan memaafkan dirinya.

‫ت َشْيًا نُكًْرا‬ ِ ٍۗ ‫ۢبِغَ ِْي نَ ْف‬؈ً‫ت نَ ْف ًسا َزكِيَّة‬


َ ‫س لََق ْد جْئ‬ َ َ‫فَانْطَلَ َقا َۗح ّّٰٓت اِ َذا لَِقيَا غُ ٰل ًما فَ َقتَ لَوُ َق‬
َ ‫ال اَقَتَ ْل‬
‫رجل‬

Maka berjalanlah keduanya; hingga ketika keduanya berjumpa dengan


seorang anak muda, maka dia membunuhnya. Dia (Musa) berkata, “Mengapa
engkau bunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain?
Sungguh, engkau telah melakukan sesuatu yang sangat mungkar.”78

Masuk kedalam pembahasan ayat 74 diawali dengan klausa

fanṭolaqâ, keduanya mulai melanjutkan perjalanannya setelah keluar dari

perahu yang ditumpanginya.79 Terlihat bahwa ada jarak waktu dan tempat

dalam perjalanan tersebut hingga kemudian bertemu dengan seorang anak

laki-laki hattâ idhâ laqiyâ ghulâman (‫القرطيب‬ ‫ ذكره‬،‫)قيل كان امسو مشعون‬.80

Faqotalah, disebutkan dalam tafsir fath al-Bayân fî maqôṣid al-Qur‟ân bahwa

beberapa pendapat tentang cara Nabi Khidir membunuh anak laki-laki yang

ditemuinya, menyembelih dengan menggunakan pisau atau kepalanya

dibenturkan kedinding.81

78
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
79
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr fî al-„Aqîdah wa as-Sharî‟ah wa al-
Manhaj, jilid 15 (Dimasqi: Dâr al-Fikr al-Ma‟âṣir, 1996), 289.
80
Abû al-Ṭoyyib Muhammad Ṣodîq, Tafsîr fath al-Bayân fî maqôṣid al-Qur‟ân, Jilid 8, 86.
81
Abû al-Ṭoyyib Muhammad Ṣodîq, Tafsîr fath al-Bayân fî maqôṣid al-Qur‟ân, Jilid 8, 86.
47

Qâla aqotalta nafsan zakiyyatan bighori nafsin, perkataan itu

merupakan tanggapan spontanitas dari Nabi Musa ketika melihat secara

langsung kejadian pembunuhan tersebut. Kata (‫“ )زكية‬Zakiyyah” berarti suci

karena dia (‫ )الغَلم‬Ghulâm belum dewasa dan belum dibebani satu tanggung

jawab keagamaan, sehingga kesalahannya tidak dinilai dosa, kemudian

dibunuh begitu saja tanpa ada sebab yang jelas dalam pertemuannya.82

Laqod ji‟ta shai‟an nukron untuk yang kedua kalinya Nabi Musa

berkata bahwa sungguh perbuatan pembunuhan tersebut ialah tindakan

kemungkaran. Kali ini memakai kata (‫“ )نكرا‬Nukron” menandai kemungkaran

yang lebih besar dari sebelumnya ketika melubangi perahu yang telah lalu.

Nabi Musa memiliki kesadaran penuh ketika berkata demikian dan bukan lagi

karena lupa seperti konteks ayat 73.

‫صْب ًرا‬ ِ ِ ِ َّ‫ال اَََل اَقُل ل‬


َ ‫َّك لَ ْن تَ ْستَطْي َع َمع َي‬
َ ‫ك ان‬
َ ْ ْ َ َ‫ق‬
Dia berkata, “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa engkau
tidak akan mampu sabar bersamaku?”83

Pada ayat 75 Nabi Khidir mengulang perkataannya seperti pada ayat

72, dalam redaksinya ketambahan lafadz (‫ )لك‬hal ini bermakna teguran

82
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, 104.
83
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
48

kepada Nabi Musa.84 Ayat ini merupakan penguat sekaligus pengingat atas

syarat yang telah disepakati diawal tentang ketidak mampuan Nabi Musa

untuk bersabar menghadapinya. Teguran yang dilakukan oleh Nabi Khidir

merupakan teguran positif, karena mengandung pelajaran untuk Nabi Musa

agar benar-benar mengingat perjanjian awal yang telah disepakati dan tidak

melanggar perjanjian tersebut.

ِ ‫ص ِحب ِ ُِۚن قَ ْد ب لَ ْغ‬ ٍۢ ِ َ َ‫ق‬


ّْ ِ‫ت م ْن لَّ ُد‬
‫ّن ُع ْذ ًرا‬ َ َ ْ ْ ٰ ُ‫ك َع ْن َش ْيء بَ ْع َد َىا فَ ََل ت‬
َ ُ‫ال ا ْن َساَلْت‬
Dia (Musa) berkata, “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu
setelah ini, maka jangan lagi engkau memperbolehkan aku menyertaimu,
sesungguhnya engkau sudah cukup (bersabar) menerima alasan dariku.”85

Pada ayat 76 qâla in saaltuka „an shaiin ba‟dahâ falâ tuṣôẖibnî, pada

frase ini Nabi Musa menegaskan bahwa, jika dirinya bertanya ataupun

menyanggah kembali terhadap apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir, dirinya

meminta untuk tidak lagi dijadikan sahabatnya. Qod balaghta min ladunnî

„uḍron, sungguh engkau (Nabi Khidir) telah cukup sabar menerima beberapa

alasan dariku dan sebab itulah menjadikan kalimat tersebut dinamakan

sebagai ungkapan penyesalan.86

‫ضيِّ ُف ْو ُِهَا فَ َو َج َدا فِْي َها ِج َد ًارا‬ ِ ِ


ْ ِ‫فَانْطَلَ َقا َۗح ّّٰٓت اذَآ اَتَيَآ اَ ْى َل قَ ْريَة‬
َ ُّ‫استَطْ َع َمآ اَ ْىلَ َها فَاَبَ ْوا اَ ْن ي‬

‫ت َعلَْي ِو اَ ْجًرا‬ ِ َ َ‫ض فَاَقَامو َۗق‬


َ ‫َّخ ْذ‬
َ ‫ت لَت‬
َ ‫ال لَ ْو شْئ‬ ُ َ َّ ‫يُِّريْ ُد اَ ْن يَّْن َق‬
‫السقوط‬
84
Muhammad Jamâl al-Dîn bin Muhammad Sa‟îd bin Qôsim al-Hallâq al-Qôsimî, Tafsîr
Mahâsin al-Takwîl, jilid 7, 50.
85
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
86
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 16, 299.
49

Maka keduanya berjalan; hingga ketika keduanya sampai kepada


penduduk suatu negeri, mereka berdua meminta dijamu oleh penduduknya,
tetapi mereka (penduduk negeri itu) tidak mau menjamu mereka, kemudian
keduanya mendapatkan dinding rumah yang hampir roboh (di negeri itu), lalu
dia menegakkannya. Dia (Musa) berkata, “Jika engkau mau, niscaya engkau
dapat meminta imbalan untuk itu.”87

Fragmen ketiga ini ditutup dengan keduanya sepakat untuk

melanjutkan kembali perjalanannya. Fanṭolaqâ, terdapat klausa yang sama

dalam setiap kejadian berbeda. Hal ini memberitahukan bahwa kedunya

melakukan perjalanan dengan rentang waktu yang menunjukkan jarak dan

tempat dari yang semula terhadap tujuan setelahnya.

Ḥattâ idhâ âtayâ ahla qoryati istaṭ‟amâ ahlahâ faabaw an yuḍoyyifŭ

humâ berjalan hingga ketika keduanya tiba di sebuah desa. Keduanya

meminta makanan kepada penduduk setempat layaknya seorang tamu yang

datang pada umumnya. Akan tetapi, mereka (penduduk desa) menolak untuk

menjamu keduanya, sikap yang ditunjukkan oleh penduduk desa tersebut

merupakan sikap bakhil dan kikir karena tidak menjamu tamu sebagaimana

mestinya, diketahui bahwa penduduk desa tersebut adalah Antiokhia.88

Setelah keinginan keduanya ditolak oleh para penduduk negeri

tersebut, di sisi yang lain keduanya melihat tampak ada bangunan yang

dindingnya akan roboh dalam frase fawajadâ fîhâ jidâron yurîdu an yanqoḍḍo

faaqômahû. Bentuk kata kerja (‫“ )يريد‬ingin” digunakan untuk “dinding”

87
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
88
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 16, 299.
50

merupakan bentuk isti‟araah, hal ini karena kata (‫ )يريد‬untuk makhluk

memiliki kecenderungan. Hubungan paradigmatik kata (‫ )ينقض‬dengan

mashdar (‫ )اَلنقضاض‬artinya (‫“ )السقوط‬jatuh”, kata (‫ )يريد‬adalah untuk makhluk

yang berakal atau manusia, sedangkan kata (‫ )ينقض‬khusus untuk benda mati

dan semisalnya.89

Nabi Khidir memiringkannya dengan tangannya hingga dinding

tersebut dalam keadaan rata seimbang ( ،‫فوجدا فيها حائطًا مائَل يوشك أن يسقط‬

‫مستوي‬ ِ َ‫)فعدَّل اخل‬,90 kejadian tersebut merupakan suatu mukjizat


‫ضر َمْي لَو حّت صار‬
ً

Nabi Khidir yang diperlihatkan langsung kepada Nabi Musa.

Kejadian tersebut mengundang reaksi dari Nabi Musa dengan berkata

qâla law shi‟ta lattakhodhta „alaihi ajron, jika memang Nabi Khidir telah

memperbaiki dinding yang hendak roboh itu, tentu kalau ia mau bisa meminta

upah kepada penduduk desa setempat sebagai jasa terhadap dirinya atas apa

yang telah ia lakukan. Hal tersebut lumrah sebagai ganti dari makanan yang

89
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 16, 299.
90
Nakhbah Min Asâtidah al-Tafsîr, Tafsîr al-Muyassar, jilid 1 Cet.2 (Su‟ûdiyyah: Liṭobâ‟ah
al-Muṣhaf al-Sharîf, 2009), 301.
51

tidak ia terima dari penduduk desa setempat ( ‫ لو شئت ْلخذت على‬:‫قال لو موسى‬

‫أجرا تصرفو ِف ُتصيل طعامنا حيث َل يضيفوَن‬


ً ‫)ىذا العمل‬.
91

Pada frase tersebut Nabi Musa seperti memberikan saran kepada Nabi

Khidir dan secara tidak langsung Nabi Musa kembali telah melanggar

kesepakatan yang telah ia terima sebelumnya. Meskipun perkataanya kali ini

bukan tentang pertanyaan maupun sanggahan, namun hal itu telah cukup

memberitahukan kepada pembaca, bahwa Nabi Musa memang tidak sanggup

untuk bersabar terhadap apa yang ia lihat dan ia alami, ketika bersama dengan

Nabi Khidir.

d) Fragmen IV: 77-82 (Takwil oleh Nabi Khidir)

Fragmen keempat ini merupakan puncak klimaks dari rangkaian alur

cerita yang terdapat pada fragmen-fragmen sebelumya. Dimulai dari

perpisahan antara Nabi Musa dengan Nabi Khidir, kemudian hamba tersebut

menjelaskan pelajaran terkait insiden-insiden yang terjadi sebelumnya.


ُۚ ِ
‫صْب ًرا‬ ِ ‫ك بِتَأْ ِوي ِل ما ََل تَستَ ِطع َّعلَي‬
‫و‬
َ ْ ْ ْ ْ َ ْ َ ‫ئ‬
ُ ِ
‫ب‬َ‫ن‬ُ‫ا‬‫س‬ ‫ك‬
َ ُ ‫ال ٰى َذا فَِر‬
ّ َ ‫اق بَْي ِ ِْن َوبَْين‬ َ َ‫ق‬

Dia berkata, “Inilah perpisahan antara aku dengan engkau; aku akan
memberikan penjelasan kepadamu atas perbuatan yang engkau tidak mampu
sabar terhadapnya.92

91
Nakhbah Min Asâtidah al-Tafsîr, Tafsîr al-Muyassar, jilid 1, 302.
92
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
52

Frase qâla hâdhâ firôqu baynî wa baynika, dalam tafsir al-Munîr

dikatakan (‫)ىذا وقت الفراق بيِن وبينك‬.93 Ungkapan ini merupakan salah satu

isyarat akan terjadinya perpisahan di antara keduanya. Perpisahan itu disertai

dengan suatu pesan penting yang akan disampaikan kepada Nabi Musa.

Nabi Khidir meneruskan perkataannya dengan berkata saunabbiuka

bita‟wîli mâ lam tastati‟ „alaihi ṣobron, sin merupakan harf istiqbâl yang

menunjukkan sesuatu dalam waktu dekat. Nabi Khidir akan memberitahu

maksud dari kejadian-kejadian yang terjadi tepat sebelum waktu perpisahan

benar-benar terjadi ( ‫صِبا‬


ً ‫ واليت َل تستطع‬،‫علي من أفعايل اليت فعلتها‬
َّ ‫سأخِبك ِبا أنكرت‬

‫علي فيها‬
َّ ‫)على ترك السؤال عنها واإلنكار‬.
94

Kata (‫ )أتويل‬ta‟wil terambil dari kata (‫اوَل‬-‫أيول‬-‫َل‬


ّ ‫ )ا‬âla-ya‟ûlu-aulan

yang pada mulanya berarti kembali. Al-Qur‟an menggunakannya dalam arti

makna dan penjelasan atau substansi sesuatu yang merupakan hakikatnya

menandai tibanya masa sesuatu.95


ۤ ۗ
ٌ ِ‫ت اَ ْن اَ ِعْي بَ َها َوَكا َن َوَراءَ ُى ْم َّمل‬
‫ك‬ ُّ ‫ني يَ ْع َملُ ْو َن ِف الْبَ ْح ِر فَاََرْد‬ ِ ِ َ‫الس ِفي نَةُ فَ َكان‬
َ ْ ‫ت ل َم ٰسك‬
ْ ْ َّ ‫اََّما‬

ٍ ِ
ْ ‫َّأيْ ُخ ُذ ُك َّل َسفْي نَة َغ‬
‫صبًا‬
93
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Muniîr, jilid 16, 7.
94
Nakhbah Min Asâtidah al-Tafsîr, Tafsîr al-Muyassar, jilid 1, 302.
95
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol. 8, 107.
53

Adapun perahu itu adalah milik orang miskin yang bekerja di laut; aku
bermaksud merusaknya, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
akan merampas setiap perahu.96

Ayat 79 mengandung penjelasan tentang alasan Nabi Khidir

melubangi perahu yang ditumpanginya. Ini merupakan jawaban dari perkara

yang sulit dimengerti oleh Nabi Musa maupun perkara lahiriyah yang pernah

diingkari olehnya, maka Allah berkenan menampakkannya kepada Nabi

Khidir dalam batinnya untuk disampaikan kepada Nabi Musa.97

Penjelasan itu dimulai dari insiden pengerusakan kapal dalam frase

ammâas safînatu fakânats limasâkîna ya‟malûna fîl baẖri faarodtu an a‟îbahâ

dalam tafsir at-Ṭabari dijelaskan ( ‫ت لَِق ْوٍم‬ ِ ِ ِ َّ ‫أ ََّما فِعلِي ما فَع ْلت ِب‬
ْ َ‫ فَِلَن ََّها َكان‬،‫لسفينَة‬ ُ َ َ ْ

‫ني‬ ِ
َ ‫) َم َساك‬. Alasan pertama dirusaknya kapal itu
98
ialah karena di dalam kapal

tersebut milik orang-orang miskin, banyak orang miskin bekerja dikapal itu

sebagai mata pencahariannya di laut. Konteks ini terlihat bahwa memang ada

kesengajaan dari Nabi Khidir terhadap pengerusakan tersebut dalam klausa

(‫اَ ِعْي بَ َها‬ ‫ت اَ ْن‬


ُّ ‫)فَاََرْد‬.

Wa kâna warô ahum malikun ya‟khudha kulla safînatin ghosban,

diketahui karena para pemilik perahu itu akan melalui penjagaan raja yang

96
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
97
Ibn Kathîr al-Qurshî al-Biṣrî ad-Dimashqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„aẓîm, Jilid 8,184.
98
Abû ja‟far aṭ-Ṭobarî, Tafsîr aṭ-Ṭobari, 353.
54

zalim dengan perahu tersebut. Nama raja tersebut adalah (Hadad ibnu

Badad)99 kebiasaannya merampas tiap-tiap bahtera yang berada di depannya.

Ketika perahu itu nampak cacat, raja yang zolim itu tidak mau merampasnya

karena perahu tersebut ada kecacatan. Sehingga pemilik perahu akan bisa

terus menggunakannya dan mengambil manfaat sebanyak banyaknya sebagai

bentuk mencari nafkah, menurut suatu pendapat bahwa pemilik perahu

tersebut adalah anak yatim.100

ِ
ً َ‫ني فَ َخ ِشْي نَآ اَ ْن يُّْرى َق ُه َما طُ ْغي‬
‫اَن َّوُك ْفًرا‬ ِ ْ َ‫واََّما الْغُٰلم فَ َكا َن اَبَواهُ ُم ْؤِمن‬
َ ُ َ
‫خوف‬ ‫مسلم‬

Dan adapun anak muda (kafir) itu, kedua orang tuanya mukmin, dan
kami khawatir kalau dia akan memaksa kedua orang tuanya kepada kesesatan
dan kekafiran.101

Wa ammâl ghulâmu fakâna abawâhu mu‟minaini, diketahui anak laki-

laki tersebut bernama Syam‟un Hasyur atau Hasyun yang kelak akan menjadi

kafir di kemudian hari.102 Sedangkan kedua orang tuanya seorang mukmin

yang taat dan sangat menyayanginya, fakhoshînâ an yurhiqohumâ tughyânan

wakufron, klausa ‫ فغشينا‬menggunakan ḍomir nun yang berarti kekhawatiran itu

99
Ibnu Juraij telah meriwayatkan dari Wahb ibnu Salman, dari Syu‟aib Al-Jiba‟i, dalam
riwayat Imam Bukhari yang telah disebutkan pula bahwa nama raja tersebut tertera di dalam kitab
taurat sebagai keturunan dari Al-Is ibnu Ishaq, dia termasuk salah seorang yang namanya tertera di
dalam kitab taurat, dinukil dalam kitab yang ditulis oleh Muhammad „alî al-Ṣobunî, Mukhtaṣṣor tafsîr
ibnu kathîr, Jilid 3 (Beirût Lebanôn: Dâr al-Qur‟ân al-Karîm, 1981), 431.
100
Ibn Kathîr al-Qurshî al-Biṣrî ad-Dimashqî, Tafsîr al-Qur‟ân al-„aẓîm, Jilid 8,184.
101
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
102
Wahbah bin Muṣtofâ al-Zuhaylî, al-Tafsîr al-Wasîṭ lilzuhaylî , jilid 2 (Dimasqhi: Dâr al-
Fikr, 1996), 1447.
55

bukan hanya berasal dari pengetahuan Nabi Khidir semata, namun juga atas

kehendak Allah yang memberikannya pengetahuan. Khawatir di sini bukan

bermakna takut, khawatir di sini lebih kepada kasih sayang Allah terhadap

hamba-hambanya yang saleh, seperti kedua orang tua tersebut. Pada

hakikatnya mereka telah diselamatkan oleh Allah dari potensi kekafiran yang

disebabkan oleh anak mereka sendiri.

ِ ِ
َ ‫فَاََرْد ََنٓ اَ ْن يُّْبد َذلَُما َربُّ ُه َما َخْي ًرا ّمْنوُ َزٰكوًة َّواَقْ َر‬
‫ب ُر ْْحًا‬

Kemudian kami menghendaki, sekiranya Tuhan mereka menggantinya


dengan (seorang anak) lain yang lebih baik kesuciannya daripada (anak) itu
dan lebih sayang (kepada ibu bapaknya).103

Allah bersifat Maha adil, ketika sesuatu itu dikehendaki untuk diambil

tentu ada ganti yang lebih baik dari apa yang telah diambil tersebut. Faarodnâ

an yubdilahumâ robbuhumâ khoyron minhu zakâtan wa aqroba ruẖman,

maka sesungguhnya Allah menghendaki kedua orang tua tersebut memiliki

anak lagi yang lebih baik aqidahnya, baik hatinya, dan taat kepada orang

tuanya daripada anak mereka sebelumnya ( ‫{خيا منو زكاة} طهارة ونقاء من‬

‫)الذنوب‬.104

103
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
104
Abû al-Burkât „Abdullah bin Ahmad bin Mahmûd hâfidh al-Dîn al-Nafasî, Tafsîr al-
Nafasî, Jilid 3 (Beirût: Dâr al-Kalam al-Ṭoyyib, 1998), 314.
56

‫ني ِف الْ َم ِديْنَ ِة َوَكا َن َُْتتَوٗ َكْن ٌز َّذلَُما َوَكا َن اَبُ ْو ُِهَا‬ ِ ِٰ
ِ ْ ‫ني يَتِْيم‬ ِْ ‫واََّما‬
َ ْ ‫اْل َد ُار فَ َكا َن لغُل َم‬ َ

ۗ ُۚ ِ ِ ُۚ ِ
‫ك َوَما فَ َع ْلتُوٗ َع ْن اَْم ِر ْي‬
َ ّ‫َِّهَا َويَ ْستَ ْخ ِر َجا َكْن َزُِهَا َر ْْحَةً ّم ْن َّرب‬
ُ ‫ك اَ ْن يَّْب لُغَآ اَ ُشد‬
َ ُّ‫صاحلًا َفَاََر َاد َرب‬
َ

ِ ِ ِ
َ ‫ك َأتْ ِويْ ُل َما ََلْ تَ ْسط ْع عَّلَْيو‬
‫صْب ًرا‬ َ ‫ٰذل‬

Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu,
yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang
yang saleh. Maka Tuhanmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan
keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Tuhanmu. Apa
yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan
perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya.”105

Fragmen keempat ini ditutup dengan penjelasan tentang alasan di

tegakkannya dinding yang hampir roboh, serta apa yang membuat Nabi Khidir

melakukan pekerjaan-pekerjaan sebelumnya. Wa ammâ jidâru fakâna

lighulâmaini yatîmayni fîl madînati wa kâna taẖtahu kanzun lahumâ wa kâna

abûhumâ ṣôliẖan, diketahui bahwa dinding rumah itu adalah milik dua anak

yatim yang tinggal di fîl madînah tempat penduduk desa Antiokhia berada.

Dalam frase ini terdapat klausa ghulâmaini yatîmayni, penyebutan kata

(‫ )الغَلم‬memiliki makna anak laki-laki yang masih kecil dan belum baligh,

karena disebutkan dengan statusnya, keduanya adalah anak yatim. Kemudian

105
Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahan, https://quran.kemenag.go.id/.
57

di bawah dinding yang hendak roboh tersebut tersimpan harta sangat banyak

untuk keduanya (‫اإلنسان‬ ‫)والكنز ادلال الكثي ادلدفون ِف بطن اْلرض بدفن‬,106

Kemudian di bawah dinding yang hendak roboh tersebut, tersimpan

harta sangat banyak untuk keduanya. Harta simpanan yang banyak itu,

merupakan warisan dari ayahnya yang sengaja dikubur di bawah tanah

dinding dan bermaksud menyembunyikannya dari manusia agar tidak

diambil.107 Klausa abûhumâ ṣôliẖan, ayahnya adalah termasuk hamba Allah

yang saleh, Allah pun menjaga kedua anaknya dan juga harta warisan yang

tersimpan untuk bekal masa depan anaknya. Penggalan ayat ini sedang

berbicara tentang adanya keluarga dengan garis keturunan yang baik.

Klausa faarôda robbuka, merupakan tanda penisbatan sesuatu yang

baik, masa depan kedua anak yatim tersebut dinisbatkan pada kehendak Allah.

Nabi Khidir memberitahukan, bahwa suatu maslahat yang akan terjadi pada

masa yang akan datang ialah suatu kehendak Allah yang Maha Suci, dan

hanya Allahlah yang mengetahuinya, Nabi Khidir dikehendaki sebagai

perantara dalam menyampaikan pesan yang tersimpan dalam kejadian

tersebut.108

Klausa Roẖmatan min robbika, menandakan bahwa semua hal tersebut

ialah bentuk rahmat kasih sayang Allah terhadap hamba-hambanya. Itulah


106
Muhammad bin Ahmad bin Muṣtofâ bin Ahmad al-Ma‟rûf bi Abî Zahroh, Zahroh al-
Tafsîr, jilid 10 (Arab: Dâr al-Fikr, t.th), 447.
107
Ahmad al-Ma‟rûf bi Abî Zahroh, Zahroh al-Tafsîr, jilid 10, 447.
108
Ahmad al-Ma‟rŭf bi Abî Zahroh, Zahroh al-Tafsîr, jilid 10, 457
58

wujud tuhan yang maha hidup diantara semua kehidupan yang ada di dunia.

Penggalan ayat ini sedang berbicara tentang sifat baik dan kehendak Allah

terhadap makhluknya.

Dalam fragmen penutup ini, Nabi Khidir mengatakan dalam frase

wamâ fa‟altuhu an amrî. Mâ di sana merupakan harf nafy yang merujuk pada

pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya sebelumnya. Nabi Khidir

mengungkap bahwa, apa yang diperbuatnya bukan semuanya semata mata

atas kemauan dirinya sendiri. Akan tetapi, atas kehendak Allah juga melalui

wahyu yang diberikan kepadanya ( ‫وإمنا فعلتو بوحي من ريب؛ وىذا أيضاً دليل على نبوة‬

‫)اخلضر عليو السَلم‬.109

Dhâlika ta‟wîlu mâ lam tastati‟ „alayhi ṣobron, yang demikian itulah

ta‟wil (maksud/penjelasan) apa-apa yang tidak kamu (Nabi Musa) dapati dan

tidak mampu berlaku sabar atas kejadian-kejadian tersebut. Pada ayat di atas

ditemukan perbedaan dalam kata (‫ )َل تسطع‬lam tasṭi‟ tanpa menggunakan

huruf (‫ )ت‬ta‟ sedangkan pada ayat sebelumnya menggunakannya, yakni

(‫ )تستطع‬tastaṭi‟. Menurut kesan al-Biqa‟i karena di sini Nabi Musa sudah

109
Muhammad „Abd al-Laṭîf bin al-Khoṭîb, Awaḍôhu al-Tafǎsîr, jilid 1 (Mesir: al-Muṭoba‟ah
al-Miṣriyyah wa Maktabatuha, 1964), 362.
59

mengetahui latar belakang peristiwa-peristiwa itu, sedang sebelumnya belum

mengetahuinya.110

2. Fakta-fakta cerita dan intertekstualitas

a) Alur Kisah

Pada tahapan ini diungkapnya keseluruhan alur cerita, dari latar

belakang yang mendorong Nabi Musa untuk melakukan perjalanan untuk

bertemu dengan seseorang sebagaimana petunjuk dari Allah. Kemudian

mengalami beberapa kejadian yang menurut nalar berfikirnya ialah sesuatu

yang hampir tidak masuk akal secara empiris, dan puncaknya sampai pada

perpisahan antara dirinya dengan seseorang tersebut.

Dalam penelitian ini menghasilkan beberapa pemahaman yang cukup

kompleks dari segi analisis bahasa dan nilai-nilai pelajaran yang terdapat

dalam keseluruhan kisahnya. Salah satu hasil penelitian menunjukkan dalam

struktur teks (ayat al-Qur‟an) yang menyusun kisah pertemuan Nabi Musa dan

Nabi Khidir ditandai dengan beberapa fonem khusus yang sering muncul dan

memberikan makna tersendiri dalam tiap ayat, bahasa Arab menamai dengan

kata harf, ada alif tathniyah dan ḍomir nun yang ditemukan sering digunakan

dalam sebagian besar ayat yang bercerita tentang kisah ini berdasarkan

analisis relasi sintagmatik dan paradigmatik menunjukkan beberapa makna.

Pertama, alif tathniyyah dalam fragmen awal dan kedua menunjukkan

arti dua orang, Nabi Musa dengan muridnya. Kedua, alif tathniyyah dalam
110
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah:Vol. 8, 110.
60

fragmen ketiga menunjukka arti berbeda dari yang pertama, ketika di fragmen

pertama yang ditonjolkan adalah Nabi Musa dengann muridnya, maka

fragmen ketiga ini yang ditonjolkan adalah Nabi Musa dengan Nabi Khidir.

Ketiga, fragmen keempat alif tathniyyah menunjukkan arti keserasian antara

penyebab dan akibat.

Penggunaan fonem alif tathniyyah yang terdapat pada kisah ini secara

keseluruhan menunjukkan al-Qur‟an ingin menyampaikan kepada pembaca

bahwa kehidupan ini selalu mempunyai dua sisi, dalam konteks ayat kisah ini

yang dicontohkan oleh bertemunya Nabi Musa dan Nabi Khidir menunjukkan

adanya karakteristik keilmuan yang berbeda. Keserasian dengan tempat

majma‟ al-baẖroyni berimplikasi pada makna perbedaan ilmu benar adanya,

bukan untuk disatukan, namun lebih kepada eksistensinya yang akan berjalan

dengan sendirinya sesuai dengan kapasitasnya. Kemudian penggunaan ḍomir

nun yang terdapat pada kisah ini terdapat dua makna, pertama, bermakna

kesopanan, kedua, bermakna mengagungkan.

Hubungan sintagmatik dan paradigmatik dalam kajian bahasa al-

Qur‟an menampilkan pemaknaan bahasa dalam sudut pandang Saussure.

Sintagmatik berperan sebagai analisis perpaduan antar kata sehingga

menimbulkan makna, sedangkan paradigmatik berperan sebagai analisis untuk

mengetahui perbendaharaan kata yang terdapat dalam ayat, dan mengetahui

dibalik alasan penggunaan kata tersebut.


61

Tabel 4.1. Alur Kisah dan Fakta yang ada di dalamnya:


Keduanya
Nabi Musa sedang Nabi Musa dan Nabi Musa dan muridnya melewati Ikan yang dibawanya sampai di
111berkhotbah dihadapan muridnya melakukan pertemuan dua lautan dan beristirahat hilang secara misterius majma‟al
awal
kaum Bani Isra‟il perjalanan jauh karena kelelahan baẖroyni

Bertemunya Nabi Nabi Musa meminta Nabi Khidir Nabi Khidir merespon Nabi Musa Nabi Musa berkata Nabi Khidir
Musa dengan Nabi untuk menjadi gurunya agar bisa dan mengatakan bahwa dirinya akan bersabar memberikan syarat
Khidir diberikan ilmu tidak akan mampu bersabar semampu dirinya jika Nabi Musa
memang ingin ikut
dengannya
Keduanya mulai Keduanya menaiki perahu Nabi Musa merespon Nabi Khidir memperingatkan
melakukan kemudian Nabi Khidir kejadian itu dengan Nabi Musa terkait syarat yang
perjalanan merusak perahu tersebut menegur Nabi Khidir telah disepakati sebelumnya Nabi Musa meminta
maa f kepada Nabi
Khidir
Keduanya mulai
berjalan hingga Nabi Khidir Membunuh Nabi Musa
keduanya bertemu anak kecil yang kembali menegur Nabi Khidir menegur Nabi Musa, hingga keduanya berjalan kembali dan
anak kecil ditemuinya Nabi Khidir sampai di suatu negeri, keduanya tidak disambut dengan baik oleh
penduduk negeri, keduanya mendapati dinding yang hendak roboh dan
Tiga teguran dari Nabi Musa sudah cukup memberitahu bahwa Nabi Musa seketika Nabi Khidir menegakkannya, Nabi Musa menegurnya kembali
tidak mampu bersabar, Nabi Khidir menjelaskan takwil kejadian” tersebut hingga Nabi Khidir memutuskan untuk mengakhiri perjalanannya

111
Di dalam hadits riwayat imam bukhori dan Muslim, dari Abi bin Ka‟ab ra. Telah mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Ketika suatu saat Nabi
Musa berdiri berkhotbah di hadapan kaumnya, Bani Isra‟il, salah seorang bertanya: “Siapa orang yang paling tinggi ilmunya”, Nabi Musa as. Menjawab:
“Saya”. Kemudian Allah menegur Musa dan berfirman kepadanya, supaya Musa tidak mengulangi statemannya itu; “Aku mempunyai seorang hamba yang
tinggal di pertemuan antara dua samudera, adalah seorang yang lebih tinggi ilmunya daripada kamu”. Nabi Musa as berkata: “Ya Tuhanku, bagaimana aku bisa
menemuinya”. Tuhannya berfirman: “bawalah ikan sebagai bekal perjalanan, apabila di suatu tempat ikan itu hidup lagi, maka di situlah tempatnya, kalimat
hadits dari Imam Bukhori”. Dikutip dari buku karya Muhammad Luthfi Ghozali, SEJARAH ILMU LADUNI, (Semarang: ABSHOR, 2006), 16-17.
62

b) Tokoh dan Penokohan

Dialog sebagai unsur tak terpisahkan yang ada pada cerita,

menjadikan ketiga tokoh yang disebutkan di atas menjadi hidup. Peranan

akan terlihat dengan jelas dan keterkaitan antar tokoh, dalam cerita

tersebut, ditemukan model dialog dua arah, antara Nabi Musa dengan

Yusha‟ bin Nun kemudian Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Tokoh yang

paling aktif dalam cerita ini adalah Nabi Musa. Berikut pola hubungan

ketiga tokoh dalam cerita tersebut.112

Tabel 4.2.
Pola Hubungan Tokoh
Nabi Khidir

Nabi Musa Yusha‟ bin Nun

Dalam pola hubungan tersebut Nabi Khidir berada dalam posisi

tertinggi, kemudian terlihat garis komunikasi panah panjang dua arah

secara jelas antara Nabi Musa dan Nabi Khidir, garis komunikasi dua arah

antara Nabi Musa dengan muridnya, garis komunikasi putus-putus Nabi

Khidir terhadap Yusha‟ bin Nun. didapati Nabi Musa dan Nabi Khidir

melakukan komunikasi lebih sering dari komunikasi yang dilakukan oleh

112
M. Faisol, “STRUKTUR NARATIF CERITA NABI KHIDIR DALAM AL-QUR‟AN,”
Adabiyyāt: Jurnal Bahasa dan Sastra 10, no. 2 (December 31, 2011): 254,
https://doi.org/10.14421/ajbs.2011.10202.
63

Nabi Musa kepada muridnya yang hanya muncul dalam satu fragmen.

Sedangkan garis putus-putus menandakan tidak adanya komunikasi

langsung antara Nabi Khidir dengan Yusha‟ bin Nun.

Cerita ini juga menyebutkan beberapa tokoh yang tidak disebutkan

secara eksplisit. Akan tetapi, beberapa tokoh ini juga berada dalam bagian

cerita. pertama pada kata (‫ )اىلها‬ahlahâ atau dalam redaksi lainnya

disebutkan (‫ )مساكني‬masâkîn, para penumpang dan pemilik perahu.

Diketahui bahwa mereka adalah para pejuang keluarga, karena sedang

berusaha mencari rezeki dengan menaiki perahu mengarungi lautan,

mengizinkan Nabi Musa dan Nabi Khidir untuk ikut bersama perahunya

merupakan gambaran karakter pemilik perahu tersebut ialah orang baik,

walaupun sebagian penumpangnya ada yang sempat melarangnya.

Kedua, pada kata (‫قرية‬ ‫)اىل‬ ahl qoryah, penduduk desa yang

diketahui mereka adalah Antiokhia. Digambarkan penduduk desa tersebut

adalah orang yang bakhil dan kikir. Tidak menyambut dengan baik

kedatangan Nabi Musa dan Nabi Khidir, layaknya tamu sebagaimana

biasanya di hormati kedatangannya. Ketiga, pada kata (‫ )ملك‬malik yang

berarti seorang raja dalam pembacaan retroaktif diketahui bernama Hadad

ibnu Badad. Digambarkan bahwa raja ini memiliki karakter yang keras,
64

termasuk zolim, karena pekerjaannya adalah merampas seluruh perahu

yang berada disekitarnya tanpa peduli apapun. Dalam hal ini dapat diambil

hikmah, bahwa kekuasaan memungkinkan membuat seseorang menjadi

merasa tinggi dibanding yang lainnya.

Keempat, pada kata (‫ )غَلم‬ghulâm maknanya anak laki-laki yang

belum baligh, kebanyakan para mufassir dalam kitabnya menjelaskan

bahwa anak muda yang dimaksud adalah yang masih belum baligh. Tidak

dapat diketahui bagaimana karakter dari tokoh ini, namun ketika

disebutkan sebagai anak yang masih muda dan belum baligh, tentulah

tokoh ini masuk kepada kategori manusia yang masih polos dan belum

mengenal dunianya secara menyeluruh, dunia anak-anak identik dengan

kesenangan yang suka bermain.

Berikut adalah pola yang menggambarkan tokoh-tokoh di atas

dalam cerita:
Nabi Khidir

Pemilik & Penumpang


perahu

Raja (hadad Anak muda


ibnu badad)

Nabi Musa Penduduk desa

Yusha‟
bin Nun
65

Pada pola hubungan tersebut dapat diketahui, bahwa ketiga tokoh

yang pertama disebutkan dalam cerita terdapat hubungan yang jelas

terhadap ketiganya, komunikasi maupun alurnya, namun beberapa tokoh

yang disebutkan berada dalam lingkaran tersebut menandakan beberapa

unsur-unsur tambahan dalam cerita.

c) Latar/Setting

Kisah tidak dapat dipisahkan dari unsur latar atau setting,

keduanya dapat menandai alur yang terdapat dalam setiap bagian cerita,

begitu pula pada kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir yang telah

diungkap berdasarkan pembacaan heuristik dan pembacaan retroaktif di

atas.

Dimulai dari awal perjalanan terdapat kata (‫البحرين‬ ‫ )رلمع‬majma‟

al-baẖroyni yakni laut Romawi yang berada di sebelah baratnya dan laut

persia berada disebelah timurnya. Pendapat lainnya ada yang mengatakan

pertemuan antara laut Romawi dan Samudra Atlantik atau lebih tepatnya

antara Laut Tengah dan Samudra Atlantik di selat Gibraltar yang ada di

Thanjah. Inilah yang menjadi tempat pertemuan antara Nabi Musa dan

Nabi Khidir gambaran tempat yang sama-sama memiliki sebuah sejarah

panjang pada zamannya, tentu hal ini semakin mngukuhkan bahwa

keserasian tempat dengan unsur yang ada di dalamnya termasuk karya

sastra yang sangat istimewa sebagai kalam ilahi yang tiada tandingan.
66

Terkait waktu jarak tempuh Nabi Musa memulai awal perjalanan

hingga sampai pada tempat tersebut ditandai dengan (‫حقبًا‬ ‫ )أمضي‬amḍiya

ẖuquban. Meski tidak ada yang mengungkapkan secara jelas berapa lama

dan seberapa jauh dalam pembacaan heuristik maupun retroaktif, namun

dalam konteks ini sudah sedikit menjelaskan bahwa Nabi Musa dan

muridnya telah berjalan beberapa hari hingga sampai pada tempat yang

dituju dan bahkan berpotensi tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai

di tempat tersebut yang menunjukkan waktu lebih lama lagi. Kemudian

pada kata (‫جاوزا‬ ‫ )فلما‬falammâ jâwazâ keduanya berjalan melewati tempat

yang dituju hingga merasa kelelahan yang menunjukkan berjalannya waktu

perjalanan dan bergantinya hari pada kata (ٗ‫صا‬


ً‫ص‬َ َ‫ق‬ ‫)ا َٰ ََث ِرِِهَا‬ âthârihimâ

qoṣoṣon ketika keduanya memutuskan untuk kembali dari apa yang telah

dilewatkannya.

Pada perjalanan awal Nabi Musa dengan Nabi Khidir tempat

pertama disinggahinya berada pada sebuah perahu dalam kata (‫الس ِفْي نَ ِة‬
َّ ) al-

safînah yang berada di sekitar sana. Kemudian perjalanan kedua sampai

pada sebuah tempat yang ditandai dalam kata (‫قَ ْريَِة‬ ‫)اَتَيَآ اَ ْى َل‬ ahl qoryah

diketahui Antokhia, tidak ditemukan secara jelas di mana tempat itu berada
67

dan menurut sebagian kecil pendapat tempat itu yang disebut Armenia.

Namun sumber ini tidak terlalu akurat dan tidak sepenuhnya valid, maka

berdasarkan hal ini titik tekannya ada pada keunikan kisahnya, tiga tempat

berbeda yang sama-sama memiliki nilai hikmah di setiap kejadiannya.

d) Gaya Pengungkapan Kisah

Kisah ini didominasi dengan dialog antar tokoh yang disebutkan

dalam cerita. Kisah yang diceritakan dalam surah al-Kahfi ini termasuk

diungkapkan dalam bentuk ringkas, sehingga pembaca bisa dengan baik

memahami alur ceritanya tanpa harus membuang banyak waktu.

Ringkasnya ungkapan cerita itu menandai kemukjizatan al-Qur‟an sebagai

kitab petunjuk, karena dalam kisah tersebut banyak sekali nilai-nilai

pelajaran yang dapat diambil.

Beberapa keunikan yang ada dalam kisah pertemuan Nabi Musa

dan Nabi Khidir ini adalah pada gaya bahasa yang digunakan, sering kali

al-Qur‟an mengulang bahasa ataupun kalimat dalam bentuk yang sama,

namun kadang berbeda letak, sisi dan redaksinya, tentu hal tersebut

berimplikasi pada pemaknaan. Jika dicermati dengan seksama di akhir

ayat, terdapat persamaan bunyi huruf serupa yang menimbulkan

musikalitas huruf yang sama, yakni bunyi huruf berharakat fatẖah. Coba

perhatikan akhiran kata yang dipakai dalam cerita Nabi Musa dan Nabi

Khidir dalam surah al-Kahfi ini, pasti akan mendapati model bunyi

persajakan.
68

Dalam ilmu balaghah dikenal kalam sajak yang secara bahasa

bermakna bunyi atau indah. Secara terminologis sajak dapat diartikan

sebagai kesamaan huruf akhir pada dua susunan kalimat atau lebih

sehingga membentuk bunyi dan nada huruf yang indah dan berirama.113

Susunan lafadz atau kata akhir pada suatu kalimat disebut fashilah, fashilah

dari suatu kalimat dibandingkan dengan kalimat lainnya, dua kalimat

dibandingkan ini disebut dengan qarinah, dan qarinah yang dibandingkan

ini disebut dengan faqroh. Di dalam al-Qur‟an terdapat banyak sajak yang

membuktikan bahwa al-Qur‟an adalah karya sastra yang paling indah,

contohnya akan kita temukan dalam cerita ini.

Tabel di bawah ini adalah kalam sajak yang di temukan dalam

cerita yang telah dibagi berdasarkan wazannya, cerita Nabi Musa dan Nabi

Khidir dinarasikan dengan begitu indah dalam bahasa sastrawi bentuk

prosa yang bersajak diakhirnya. Mari perhatikan tabel berikut ini untuk

mengetahui akhiran kata yang membentuk nada huruf yang sama dalam

cerita:

113
Hifni, Qawâ‟id al-Lughoh al-„Arobiyyah li tilmidh al-Madâris al-Thânawiyyah,
(Surabaya: al-Maktabah al-Hidâyah, t.th), 134.
‫‪69‬‬

‫‪Tabel 4.3.‬‬
‫‪Akhiran Ayat Bersajak‬‬

‫فَ ْعالً أو فِ ْعالً أو فُ ْعالً‬

‫لَ ْن رُ ِح ْ‬
‫ط ثِ ٖه ُخ ْج ًسا‬ ‫ِه ْي لَّ ُدًَّب ِع ْل ًوب‬ ‫صجْسً ا‬
‫َه ِع ًَ َ‬
‫ِه ْي اَ ْه ِسيْ ُع ْس ًسا‬ ‫لَكَ ِه ٌْهُ ِذ ْكسً ا‬ ‫صجْسً ا‬
‫َه ِع ًَ َ‬
‫لَقَ ْد ِج ْئذَ َشيْـًب ًُ ْكسً ا‬ ‫لَقَ ْد ِج ْئذَ َشيْـًب اِ ْهسً ا‬ ‫لَزَّ َخ ْردَ َعلَ ْي ِه اَجْ سًا‬
‫ࣖ‬
‫ِه ْي لَّ ُدًِّ ًْ ع ُْر ًزا‬ ‫ك اَ ْهسًا‬
‫ص ًْ لَ َ‬
‫ََّل اَ ْع ِ‬
‫وَ ٓ‬
‫طُ ْغيَبًًب َّو ُك ْفسً ا‬ ‫ُك َّل َسفِ ْيٌَ ٍخ غَصْ جًب ‪-‬‬
‫ٰ‬
‫شَكوحً َّواَ ْق َس َ‬
‫ة زُحْ ًوب‬ ‫لَ ْن رَ ْسز َِط ْع َّعلَ ْي ِه َ‬
‫صجْسًا‬
‫صجْسً ۗا ࣖ‬
‫لَ ْن رَ ْس ِط ْع َّعلَ ْي ِه َ‬

‫فَ َعالً أو فُ ُعالً‬

‫فِى ْالجَحْ ِس َس َسثًب‬

‫ِه ْي َسفَ ِسًَب ٰه َرا ًَ َ‬


‫صجًب‬

‫فِى ْالجَحْ ِس ع ََججًب‬

‫ٰ‬
‫اثَ ِ‬
‫بز ِه َوب قَ َ‬
‫صصًب‬

‫َأوِ أَمِضِيَ حُقُبّا‬


70

3. Tanda Penanda & Petanda

Tabel 4.4
Tanda Penanda & Petanda
Tanda Keteranga
No. Petanda Signifikasi
(penanda) n
ِ ِ ‫اَو اَم‬
ُ‫ال ُم ْو ٰسى ل َفتٰىو‬ َ َ‫ق‬ ‫ض َي‬
1. Penyebutan nama secara jelas Simbol
ْ ْ itu menandai bahwa Nabi
‫ََلٓ اَبْ َر ُح َح ّّٰٓت اَبْلُ َغ‬ ‫ُح ُقبًا‬ Musa ialah salah satu tokoh
utama yang harus diperhatikan.
‫َْرل َم َع الْبَ ْحَريْ ِن‬ Nabi Musa digambarkan
sebagai sosok yang semangat
dan penuh ambisi, dalam artian
ambisi yang mengarah kepada
sesuatu hal yang positif.
2. ‫لفتاه‬ ‫َح ّّٰٓت اَبْلُ َغ َْرل َم َع‬ fatâ, bernama Yusha‟ bin Nun. Simbol
dalam redaksi ayat disandarkan
‫الْبَ ْحَريْ ِن‬ pada ḍomir hu yang merujuk
kepada Nabi Musa, ini seakan
menunjukkan bahwa ada
kedekatan antara seseorang
tersebut dengan Nabi Musa.
Kedekatan yang dimaksud
bukan dalam konteks
kekerabatan, Secara bahasa,
tidak disebutkannya nama dari
fatâ ini secara langsung dalam
ayat, ada hikmah dalam alur
cerita, didapati bahwa
penyebutan kata tersebut
menunjukkan makna umum.
Setiap pemuda yang dalam
cerita dicontohkan dengan
Yusha‟ bin Nun, diharapkan
untuk semangat dalam
mempelajari ilmu dan taat
kepada gurunya. Yusha‟ bin
Nun ini digambarkan memiliki
sifat kesetiaan dan taat,
terbukti ketika ia setia
mendampingi Nabi Musa
71

dalam melakukan
perjalanannya hingga sampai
pada tepat yang dituju, dan
sosok yang taat ketika Nabi
Musa memerintahkan sesuatu,
ia pun melaksanakannya.

3. ‫فَ َّاَّتَ َذ َسبِْي لَوُ بَلَغَا َْرل َم َع بَْينِ ِه َما‬ Kejadian ikan berjalan seperti isyarat
mengambil jalannya yang telah
‫ب نَ ِسيَا ُح ْوتَ ُه َما‬ ً ‫ِف الْبَ ْح ِر َسَر‬ disediakan menjadi isyarat
bahwa tempat yang dituju
sudah sangat dekat
4. ‫ت‬
َ ‫ُح ْو‬ ‫ُِهَا‬ kata ẖût dalam konteks kisah Metafora
ini, menandakan ikan tersebut
berukuran besar yang cukup
apabila dikonsumsi oleh dua
atau tiga orang.
5. ‫ال‬َ َ‫فَلَ َّما َج َاوَزا ق‬ ‫لََق ْد لَ ِقْي نَا ِم ْن‬ Karakter yang ditunjukkan Simbol
ۖ ۤ ِ ِ Nabi Musa tentang rasa
‫ل َفتٰىوُ اٰتنَا َغ َداءَ ََن‬ ‫َس َف ِرََن ٰى َذا‬ kebersamaann bersama
muridnya. Memintanya agar
‫صبًا‬
َ َ‫ن‬ membawakan ikan yang
dibawa untuk dimakan
bersama karena sudah merasa
kelelahan
6. ‫ت اِ ْذ اََويْنَآ اِ َىل‬ ِ ِ
َ ْ‫َوَمآ اَنْ ٰسىنْيوُ اََّل اََراَي‬
Sebagaimana diungkapkan, dia Simbol
(muridnya) tidak akan lupa
‫ّن‬ِِ ِ َّ ‫الشَّْي ٰط ُن اَ ْن‬
ّْ ‫الص ْخَرة فَا‬ ُۚ
terhadap ikan kecuali setan
ۖ ِ َ‫ن‬ yang menghendakinya. Itulah
‫ت‬ ‫و‬ ‫احل‬
َ ُْ ُ ْْ ‫ت‬ ‫ي‬ ‫س‬ ُ‫اَذْ ُكَر‬
‫ه‬ gambaran bagaimana sosok
manusia yang tidak luput dari
godaan setan.
ۖ ِ
7.
َ ‫ٰذل‬
‫ك َما ُكنَّا نَْب ِغ‬ ‫فَ ْارتَدَّا َع ٰلٓى‬ Kejelasan tempat yang Simbol
ditunjukkan oleh beberapa
ِ
‫صا‬
ً‫ص‬ َ َ‫اٰ ََث ِرِهَا ق‬ isyarat
sebelumnya
yang telah ada

8. ‫َعْب ًدا‬ ٓ‫ِّم ْن ِعبَ ِاد ََن‬ „Abdan (hamba Allah yang
Sholih) diketahui sebagai Nabi
Simbol

Khidir, nama aslinya Balya bin


72

ً‫اٰتَْي نٰوُ َر ْْحَة‬


Malkan. Penyebutan kata
„Abdan berbentuk nakirah
berfungsi sebagai tafkhîm,
menunjukkan bahwa
kedudukannya berada di atas
kedua tokoh yang telah
disebutkan sebelumnya.114
Nabi Khidir digambarkan
sebagai sosok guru yang
bijaksana, tegas, baik dalam
berkata maupun bertindak, dan
juga sosok yang sangat cerdas.
Terbukti dalam dialognya yang
langsung mengarah pada inti
dari apa yang dimaksud tanpa
bertele-tele.
ِِ ِ ‫ِع ْل ًما‬
ُ‫ّم ْن عْند ََن َو َعلَّ ْمنٰو‬
9. Keilmuan Nabi Khidir Simbol
merupakan Rahmat dari Allah
‫ِم ْن لَّ ُد ََّن‬ dan tidak ada yang mengetahui
ilmu tersebut selain dia.
10. ‫وسى َى ْل‬
ٰ ‫ال لَوُ ُم‬َ َ‫َع ٰلٓى اَ ْن تُ َعلِّ َم ِن ق‬ Salah satu adab yang baik
diperlihatkan oleh Nabi Musa
Simbol

ِ ِ
َ ُ‫اَتَّبِع‬
‫ك‬ ‫ت‬َ ‫ِمَّا عُلّ ْم‬ kepada Nabi Khidir untuk
meminta izin agar
‫ُر ْش ًدا‬ diperkenankan belajar
keilmuan yang ia tidak ketahui.

‫َّك لَ ْن‬ ِ َ َ‫ق‬ ‫صْب ًرا‬


َ ‫ال ان‬
11. Ungkapan yang terkait dengan Simbol
َ sesuatu yang akan terjadi,
‫تَ ْستَ ِطْي َع َمعِ َي‬ yakni Tidak akan pernah
mampu untuk bersabar.
12. ‫صِ ُِب‬
ْ َ‫ف ت‬
َ ‫َوَكْي‬ ‫َما ََلْ ُُِت ْط بِو‬ Ungkapan penegas tentang Simbol
perbedaan keilmuan diantara
‫ُخْب ًرا‬ Nabi Musa dan Nabi Khidir

13. ‫ّنٓ اِ ْن‬ ِ َ َ‫ق‬


ْ ِ‫ال َستَج ُد‬ ‫ك‬ ِ ‫َّوََلٓ اَ ْع‬
َ َ‫ص ْي ل‬
Bentuk sandaran tertinggi Simbol
seorang hamba kepada
Tuhannya yang merasa dirinya

114
Wahbah bin Muṣṭofâ az-Zuhaylî, Tafsîr al-Munîr, jilid 16, 280.
73

ۤ
‫صابًِرا‬ ٰ
َ ُّ َ ‫َش‬
‫اّلل‬ ‫ء‬ ‫ا‬ ‫اَْمًرا‬ memiliki keterbatasan.

14. ‫فَاِ ِن اتَّبَ ْعتَِ ِْن فَ ََل‬ ‫ث‬ ِ


َ ‫َح ّّٰٓت اُ ْحد‬
Syaarat yang harus dipatuhi Simbol
oleh Nabi Musa.
‫ك ِمْنوُ ِذ ْكًرا تَ ْسَْل ِ ِْن َع ْن َش ْي ٍء‬ َ َ‫ل‬
‫الس ِفْي نَ ِة‬ ِ ِ
15.
َّ ‫ت َشْيًا ا َذا َركِبَا ِف‬ َ ‫لََق ْد جْئ‬
Peristiwa pengerusakan perahu
merupakan sebuah perbuatan
Simbol
ۗ
‫َخَرقَ َها‬ ‫اِ ْمًرا‬ yang mungkar menurut Nabi
Musa.

‫ّن ِِبَا‬ ِ ِ ِ ِ
ْ ‫م ْن اَْمر ْي عُ ْسًرا ََل تُ َؤاخ ْذ‬
16. Ungkapan penyesalan dari Simbol
Nabi Musa terhadap sesuatu
‫ت َوََل تُ ْرِى ْق ِ ِْن‬ ِ
ُ ‫نَسْي‬ yang telah ia langgar.

17. ‫غُ ٰل ًما‬ ‫ت نَ ْف ًسا‬ َ ‫اَقَتَ ْل‬


Membunuh anak kecil yang Simbol
masih belum baligh dinilai oleh
‫ۢبِغَ ِْي‬؈ً‫َزكِيَّة‬ Nabi Musa sebagai sebuah
perbuatan yang lebih mungkar
‫س لََق ْد‬ ٍۗ ‫نَ ْف‬ dari merusak perahu
‫ت َشْيًا‬ ِ
َ ‫جْئ‬
‫نُكًْرا‬

‫ك َع ْن‬ ِ ‫ت ِم ْن‬
َ ُ‫ا ْن َساَلْت‬ َ ‫قَ ْد بَلَ ْغ‬
18. Permohonan Nabi Musa Simbol
kepada Nabi Khidir agar
‫َش ْي ٍۢء بَ ْع َد َىا فَ ََل‬ ‫ّن ُع ْذ ًرا‬ ِ َّ
ّْ ‫ل ُد‬ diberikan satu kesempatan lagi.
ُۚ
‫ص ِحْبنِْيا‬ ٰ ُ‫ت‬
ٓ‫استَطْ َع َما‬ ِ
ْ ِ‫اَ ْى َل قَ ْريَة‬ ‫فَاَبَ ْوا اَ ْن‬
19. Penduduk desa yang diketahui Simbol
mereka adalah Antiokhia.
‫اَ ْىلَ َها‬ ‫ضيِّ ُف ْو ُِهَا‬
َ ُّ‫ي‬ Digambarkan penduduk desa
tersebut adalah orang yang
bakhil dan kikir. Tidak
menyambut dengan baik
kedatangan Nabi Musa dan
Nabi Khidir, layaknya tamu
sebagaimana biasanya di
hormati kedatangannya.
74

20. ‫فَ َو َج َدا فِْي َها ِج َد ًارا‬ ُ‫فَاَقَ َامو‬


Nabi Khidir memiliki sifat adil, Simbol
yakni yang dapat menegakkan
‫ض‬َّ ‫يُِّريْ ُد اَ ْن يَّْن َق‬ sebuah perkara.

21. ‫اق بَْي ِ ِْن‬ُ ‫ك بِتَأْ ِويْ ِل ٰى َذا فَِر‬ َ ُ‫َساُنَبِّئ‬


Ungkapan perpisahan yang Simbol
ُۚ ِ disertai penjelasan terhadap
‫ك‬
َ ‫َوبَْين‬ ‫َما ََلْ تَ ْستَ ِط ْع‬ apa yang sudah dialami

‫صْب ًرا‬ ِ
َ ‫عَّلَْيو‬
ِ َّ ۤ
‫ت‬ْ َ‫السفْي نَةُ فَ َكان‬ ‫ك‬ٌ ِ‫َوَراءَ ُى ْم َّمل‬
22. Nabi Khidir melakukan Simbol
pengerusakan terhadap perahu
‫ني يَ ْع َملُ ْو َن‬ ِ ِ ‫َّأيْ ُخ ُذ ُك َّل‬
َ ْ ‫ل َم ٰسك‬ karena kehendaknya,
berdasarkan pengalamannya,
ُّ ‫صبًا ِف الْبَ ْح ِر فَاََرْد‬ ٍ ِ
‫ت‬ ْ ‫َسفْي نَة َغ‬ karena beliau mengetahui
ۗ
‫اَ ْن اَ ِعْي بَ َها‬ bahwa ada malik yang berarti
seorang raja diketahui bernama
Hadad ibnu Badad.
Digambarkan bahwa raja ini
memiliki karakter yang keras,
termasuk zolim, karena
pekerjaannya adalah merampas
seluruh perahu yang berada
disekitarnya tanpa peduli
apapun. Dalam hal ini dapat
diambil hikmah, bahwa
kekuasaan memungkinkan
membuat seseorang menjadi
merasa tinggi dibanding yang
lainnya.

22.
ُ‫الْغُٰل ُم فَ َكا َن اَبَ َواه‬ ‫فَ َخ ِشْي نَآ اَ ْن‬ Allah Mengehendaki Nabi Simbol
Khidir untuk membunuh anak
ِ ْ َ‫ُم ْؤِمن‬
‫ني‬ ‫يُّْرِى َق ُه َما‬ kecil tersebut karena kedua
orang tuanya orang yang solih,
‫اَن َّوُك ْفًرا‬ً َ‫طُ ْغي‬ hal iyu dikhawatirkan
dikemudian hari akan
memaksa kedua orang tuanya
masuk kedalam jurang
kekafiran.
75

23. ‫فَاََرْد ََنٓ اَ ْن يُّْب ِد َذلَُما‬ َ ‫َزٰكوًة َّواَقْ َر‬


‫ب‬ Pembunuhan anak kecil Simbol
tersebut sebagai bentuk kasih
ِ
ُ‫َربُّ ُه َما َخْي ًرا ّمْنو‬ ‫ُر ْْحًا‬ sayang Allah terhadap kedua
orang tuanya yang mukmin,
menggantinya dengan anak
yang lebih baik dari
sebelumnya

‫اْلِ َد ُار فَ َكا َن‬ ُۚ


24.
ْ ‫ك اَ ْن َواََّما‬ َ ُّ‫َفَاََر َاد َرب‬
Dinding yang ditegakkan
kembali merupakan bentuk
Simbol

‫ني ِف‬ ِ ِٰ
ِ ْ ‫ني يَتِْيم‬
َ ْ ‫َِّهَا لغُل َم‬ ُ ‫يَّْب لُغَآ اَ ُشد‬ sifat keadilan yang dimiliki
oleh Nabi Khidir atas kehendak
ِ ِ
ُ‫َويَ ْستَ ْخ ِر َجا الْ َمديْنَة َوَكا َن َُْتتَو‬ Allah. Sebagai Rahmat dari-
Nya harta itu tersimpan rapi
‫َكْن ٌز َّذلَُما َوَكا َن‬ ً‫َكْن َزُِهَا َر ْْحَة‬ dibawah dinding, karena harta
ِ ‫اَب و ُِها ص‬ ُۚ
‫احلًا‬ َ َ ُْ ‫ك‬َ ِّ‫ِّم ْن َّرب‬ tersebut milik anak yatim yang
kedua orang tuanya termasuk
golongan orang-orang solih.

B. Implikasi Hasil Pemaknaan Kisah Pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir

Terhadap Kajian al-Qur’an

Al-Qur‟an memilliki kolektifitas cabang keilmuan ketika dianalisis

secara mendalam. Salah satu pemikir Islam kontemporer kelahiran Aljazair,

Mohammed Arkoun berpendapat, menurutnya al-Qur‟an merupakan kitab

wahyu yang berisi sejumlah pemaknaan atau potensial yang diusulkan Tuhan

kepada segenap manusia. Ayat-ayat al-Qur‟an, lanjut Arkoun, ada yang

berfungsi menjadi lambang (simbol), tanda (sign), dan sinyal (signal).115

Maka untuk menganalisis hal semacam ini semiotika yang merupakan bagian

115
Abdullah A.Thalib, Filsafat Hermeneutika dan Semiotika, Cet. 1 (Sulawesi Tengah: LPP
Mitra Edukasi, 2018), 233.
76

dari hermeneutika memiliki peran yang cukup memberikan pemahaman

terhadap analisis yang diharapkan.

Jika teks al-Qur‟an hanya dipahami sebagai sebuah mukjizat secara

umum saja, maka tidak banyak pelajaran yang dapat diambil. Semiotika

memberikan jalan tentang bagaimana memahami teks itu dengan warna baru,

teks tidak sekedar tulisan yang dapat dipahami, namun juga dapat

diaplikasikan kedalam kehidupan. Lahirnya sebuah teks dapat mempengaruhi

si penerima teks atau ujaran, inilah satu sisi yang dinamis dari penelitian

sebuah al-Qur‟an.

Hasil pemaknaan ini semakin mengukuhkan bahwa al-Qur‟an dapat di

analisis dengan berbagai metode pendekatan sesuai dengan perkembangan

zaman. Kisah ini memberikan pesan yang mendalam bahwa manusia tidak

bisa merubah apapun tanpa kehendak dari Tuhannya. Setiap perjalanan yang

ditempuh, memiliki nilai pendidikan dan hikmah yang berbeda-beda. Panjang

dan pendeknya proses perjalanannya, menanamkan nilai kesabaran bagi

seseorang yang ingin menempuhnya. Jika sudah berhasil menempuh

perjalanannya dengan baik dan mendapatkan apa yang diinginkan, maka sikap

tertinggi dari seseorang tersebut adalah tawadhu‟, menyadari sepenuhnya

bahwa semuanya dalam kuasa dan kehendak dari Tuhannya.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kisah ini ditandai oleh dua tokoh sebagai peran utama, dan satu tokoh

tambahan, ketiganya merupakan simbol yang memiliki peran masing-masing. Dua

tokoh yang menjadi pemeran utama adalah Nabi Musa dan Nabi Khidir, keduanya

adalah tanda yang dipertemukan melalui penanda ikan yang dibawa oleh tokoh

tambahan yakni Yusha‟ bin Nun ketempat bertemunya dua buah lautan yang

menjadi petandanya. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda klausa

majma‟ al-baẖroyni merupakan ungkapan metafora yang menjelaskan hubungan

antara kedua tokoh utama yang mengindikasikan tentang karakteristik keilmuan

mereka berbeda dan proses yang dilaluinya. Pada proses perjalanan dalam kisah

ini berdasarkan analisis struktur teksnya, Nabi Musa tidak mendapat tambahan

ilmu dari Nabi Khidir, namun hanya dapat memahami hikmah dibalik setiap

perbuatan yang dilakukan oleh Nabi Khidir karena ia telah menyampaikannya.

Nabi Khidir diutus oleh Allah untuk menyampaikan pesan kepada Nabi Musa

tentang pentingnya sikap Tawadhu‟ dan tidak merasa tinggi hati karena sudah

memiliki ilmu.

Implikasi hasil pemaknaan terhadap kajian teks al-Qur‟an menunjukkan

bahwa semiotika mampu menyesuaikan dengan metode analisis teks yang lebih

dulu ada, namun sifat dan kecenderungannya yang berbeda-beda sesuai dengan

77
78

teori rumusan yang dipakai, kisah ini mngungkap bahwa tampilan dialog antara

Nabi Musa dengan Nabi Khidir mencontohkan hubungan antara guru dengan

murid yang senantiasa menjaga diri untuk belajar tentang ilmu. Mengindikasikan

bahwa belajar keilmuan memiliki sanad (guru) yang ahli di bidangnya, kisah ini

juga berpesan tentang pentingnya taat kepada guru dengan disertai sabar sebagai

kunci dalam proses menuntut ilmu. Penggunaan kata „Abd dalam kisah ini

mengindikasikan bahwa siapapun hamba Allah yang dikehendaki oleh-Nya, dapat

mempelajari ilmu yang sangat luas seperti halnya Nabi Khidir yang dikehendaki

oleh Allah yang dapat memberikan gambaran kepada Nabi Musa tentang ilmu

yang tidak dimilikinya.

B. Saran-saran

Setalah melalui proses dari pembahasan analisis kisah pertemuan Nabi

Musa dan Nabi Khidir dengan menggunakan pendekatan semiotika teori

Ferdinand de Saussure. Harus penulis akui bahwa objek kajian dalam penelitian

skripsi ini kurang mendalam dari segi pendekatan semiotika, karena keterbatasan

wawasan penulis, pemaknaan teks hanya berdasarkan 3 teori dasar Saussure.

penulis menyarankan kepada para peneliti (terutama mahasiswa Ilmu al-Qur‟an

dan tafsir) yang hendak melakukan penelitian dengan tema relatif sama. Oleh

karena itu penulis perlu mengemukakan saran untuk penelitian lebih lanjut yakni:

1. Perlunya untuk mengkaji lebih lanjut terkait apa saja hal-hal yang terkait

dengan kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam surah al-Kahfi

menggunakan pendekatan semiotika dengan teori pengembangan Sausssure


79

agar dapat melengkapi makna dari kajian sebelumnya. Hasil temuan penulis

hanya mengungkap pemaknaan secara global, untuk itu perlu adanya analisis

ulang sebagai bentuk pengembangan.

2. Penulis juga menyarangkan agar peneliti setelahnya menggunakan teori yang

belum pernah digunakan oleh peneliti sebelumnya, karena setiap metode yang

digunakan berkemungkinan untuk menghasilkan makna dan hasil penelitian

yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:

Al-Qatthan, Manna‟ Khalil. Studi ilmu-ilmu al-Qur;an, Terj. Mudzakir AS, Bogor:
Litera antarnusa. 2016.

AS, Ambarini, Nazia Maharani Umaya. Semiotika teori dan Aplikasi karya sastra,
Semarang: PGRI Semarang Press. T.th.

Baidan, Nashruddin, Erwati Aziz. Metodologi khusus Penelitian Tafsir, Yogyakarta:


Pustaka pelajar. 2016.

Budiman, Kris. Kosa semiotika, Yogyakarta: Lkis. 1999.

Culler, Jonathan. SAUSSURE, Terj. Dr.Rochayah, Dra. Siti Suhayati, Jakarta: proyek
pembinaan bahasa dan kebudayaan, 1996.

Gusmian, Islah. Khazanah Tafsir Indonesia; hermeneutika hingga ideologi,


Yogyakarta: LKIS, 2013.

Haris, H.Abdul. TEORI DASAR NAHWU & SHOROF; Sebuah Terobosan Dalam
Belajar Membaca Kitab Kuning, Cetakan 1, Jember: Pustaka Al-Bidayah,
2017.

Harun, H.Salman. Thiba Raya, H. Ahmad. Tahido Yanggo, Hj. Huzaemah. Anwar,
H. Hamdani. Ali Syibromalisi, Hj. Faizah. Mu‟thi, A,Wahib. “Kaidah-kaidah
tafsir:bekal mendasar untuk memahami Makna Al-Qur‟an dan mengurangi
kesalahan pemahaman”, Jakarta selatan: penerbit Qaf, 2020.

Hosen, Nadirsyah. Tafsir Al-Qur‟an di Medsos mengkaji makna dan rahasia ayat
suci pada era media sosial, Yogyakarta: Bentang Pustaka. 2019.

Husein alhamid, Zaid. Kisah 25 Nabi & Rasul, Jakarta: Pustaka Amani. 1995.

Imron, Ali. Semiotika Al-Qur‟an Metode dan aplikasi terhadap kisah yusuf,
Yogyakarta: Teras. 2011.

J. Boulatta Isa, and M. Quraish Shihab. Al - quran yang menakjubkan, Indonesia:


Lentera, 2008.

Kridalaksana, Harimukti. Mongin Ferdinand De Saussure 1857-1913: peletak dasar


strukturalisme dan linguistic modern, Jakarta: Yayasan obor Indonesia. 2005.

80
81

Luthfi Ghozali, Muhammad. Sejarah ilmu Laduni mencari jati jilid 2, Semarang;
ABSHOR. 2008.

Nasution, Sahkholid. PENGANTAR LINGUISTIK: Bahasa Arab, Cet. 1, Malang:


Lisan Arabi, 20 17.

Pateda, Mansoer. Linguistik: sebuah pengantar Bandung, Indonesia: ANGKASA,


1994.

Poerwadarminta, W.j.s. Kamus umum bahasa Indonesia edisi ketiga, cet.4, Jakarta
Timur: Pt.Balai Pustaka persero. 2011.

Putri, Nimas Permata. “KETERAMPILAN MEMBACA: TEORI FERDINAND DE


SAUSSURE,” t.t. t.b. t.th.

Qutb, Sayyid. Indahnya Al-Qur‟an Berkisah, Terj. Fathurrahman Abdul Hamid


Jakarta: Gema Insani. 2004.

Rusmana, Dadan. Filsafat semiotika : paradigma teori dan metode interpretasi tanda
dari semiotika structural hingga dekonstruksi praktis, Bandung : Cv pustaka
setia, 2014.

Samsuri. Analisis Bahasa, Jakarta: Penerbit Erlangga. 1994.

Widarsini, Ni Putu N. “PENGANTAR LINGUISTIK UMUM,” t.t. t.tb. t.th..

Jurnal:

Dian rizky Amalia et al., “LINGUISTIK PERSPEKTIF FERDINAND DE


SAUSSURE DAN IBN JINJI,” Al-Fathin, Edisi 2, Volume 2 2019.

Faesal Awaludin, Riza, Ika wahyu Susiani. “Fenomena Pragmatis dalam al-Qur‟an
analisis tindak tutur ilokusi pada percakapan Musa a.s dan Khidir a.s,” Jurnal
al-Adabiya, Vol 14 No. 02, INSURI, Ponorogo, 2019.

Faisol, M. “Struktur naratif Cerita Nabi Khidir dalam al-Qur‟an,” Adabiyyat, Vol. X
No. 2 Desember. 2011.

Fanani, Fajriannoor. 2013. “Semiotika Strukturalisme Saussure,” Jurnal the


messenger, Vol.V No.1 (Ilmu Komunikasi Universitas Semarang.
82

Habibi, M Dani. “Interpretasi Semiotika Ferdinand De Saussure dalam Hadis Liwa


dan Rayah,” Mashdar: Jurnal Studi Al-Qur‟an dan Hadis 1, no. 2 December
12, 2019, https://doi.org/10.15548/mashdar.v1i2.612.

Hatta, Jauhar. “Urgensi Kisah-Kisah dalam al-Qur‟an al-karim bagi proses


pembelajaran PAI pada MI,SD,” UIN Sunan Kalijaga. T.th.

Hidayati Rodiah, Nurul. “Kisah-kisah dalam al-Qur‟an dan Relevansinya dalam


Pendidikan Anak Usia SD/MI”, 14, Vol II, Jurnal al-bidayah PGMI. T.th.

M. S. Yoon et al., “Effects of Vagal Stimulation, Atropine, and Propranolol on


Fibrillation Threshold of Normal and Ischemic Ventricles,” American Heart
Journal 93, no. 1 January 1977. https://doi.org/10.1016/s0002-
8703(77)80172-5.

Muhammad Arkoun, “Analisis Ketampanan Nabi Yusuf dalam perspektif semiotika


al-Qur‟an” Jurnal Arabiyat Vol.I, No.2, Desember, 2014.

Nasruddin. “Sejarah penulisan al-qur‟an kajian antropologi budaya”,Jurnal Rihlah


Volume.II No.1 Mei. 2005.

Romadhony, Ali. “Semiotika morris dan tradisi penafsiran Al-Qur‟an: sebuah


tawaran tafsir kontekstual,” Al-A‟raf jurnal pemikiran islam dan filsafat VOL.
XIII, No.2, Juli-Desember. 2016.

Soga, Zainuddin, Hadirman. “Semiotika signifikansi : analisis struktur dan


penerapannya dalam alqur‟an,” Jurnal Aqlam, Vol. 3, No. 1 Juni, 2018.

Kitab:

Abî Bakr al-Suyûṭî, Ahmad al-Mahallî, Jalâl al-Dîn Muhammad bin, Jalal al-Din
„Abdurrahman bin. Tafsîr al-jalâlayn, t.t. Dâr al-Hadîth, t.th.

Abî Zahroh, bin Muṣtofâ, Muhammad bin Ahmad, bin Ahmad al-Ma‟rûf bin. Zahroh
al-Tafsîr, jilid 10, Arab: Dâr al-Fikr, t.th.

Ad-Darwîs, Muhyiddîn. I‟rob al-Qur‟ân al-Kârim wa Bayânuhû, Jilid 4, Beirŭt:


Dâr-Ibn kathîr, 1999.

Ad-Dimashqî, bin „umar bin Kathîr, Abŭ al-Fidâi Ismâil, al-Qurshî al-Biṣrî. Tafsîr al-
Qur‟ân al-„aẓîm, Jilid 8 t.t. Dâr-lilnashri wa at-tawzî‟, 1999.
83

Al-Baiḍowî, Umar bin, Abû Sa‟îd, Nâṣir al-Dîn, „Abdullah bin, Muhammad al-
Shairôzî. Tafsîr Anwâr al-Tanzîl wa Asrôr al-Takwîl, Jilid 3, Beirût: Dâr Ihyâ‟
al-Tarôth al-„Arobî, 1997.

Al-Khoṭîb, Muhammad „Abd al-Laṭîf bin. Awaḍôhu al-Tafâsîr, jilid 1, Mesir: al-
Muṭoba‟ah al-Miṣriyyah wa Maktabatuha, 1964.

Al-Mutawwifî, bin „Alî ibn Luṭfi Allah, Muhammad Ṣodîq, Abû al-Ṭoyyib, Khôn bin
Hasan, al-Husainî al-Bukhorî al-Qinwajî. Tafsîr fath al-Bayân fî maqôṣid al-
Qur‟ân, Jilid 8, Beirût: al-Maktabah al-„Iṣriyyah Liṭṭoba‟ah wa al-Nashr,
1992.

Al-Nafasî, „Abdullah bin Abŭ al-Burkât, Ahmad bin Mahmŭd hâfidh al-Dîn. Tafsîr
al-Nafasî, Jilid 3, Beirût: Dâr al-Kalam al-Ṭoyyib, 1998.

Al-Qâsim, Ismâil, ad-Da‟âs, Ahmad „abîd, Ahmad Muhammad Hamîdân, Mahmûd.


I‟rôb al-Qur‟ân al-Karîm, Jilid 2, Dimasqi: Dâr al-Munîr wa Dâr al-Fârabî,
1999.

Al-Qôsimî, Sa‟îd bin, al-Dîn, Muhammad Jamâl, bin Muhammad, Qôsim al-Hallâq.
Tafsîr Mahâsin al-Takwîl, jilid 7, Beirût: Dâr al-Kutub al-„ilmiyah, 1996.

Al-Ṣobunî, Muhammad „alî. Mukhtaṣṣor tafsîr ibnu kathîr, Jilid 3, Beirût Lebanôn:
Dâr al-Qur‟ân al-Karîm, 1981.

Al-Tafsîr, Nakhbah Min Asâtidah. Tafsîr al-Muyassar, jilid 1 Cet.2 Su‟ûdiyyah:


Liṭobâ‟ah al-Muṣhaf al-Sharîf, 2009.

Az-Zamakhsharî, Mahmŭd bin, Abû al-Qâsim, „Umar bin Ahmad. Tafsîr al-Kashâf
„an haqâiq ghowâmiḍu al-Tanzîl, Jilid 2, Beirŭt: Dâr al-Kitâb al-„Arabî, 1986.

Az-Zuhaylî, Wahbah bin Muṣtofâ, al-Tafsîr al-Wasîṭ lilzuhaylî , jilid 2, Dimasqhi:


Dâr al-Fikr, 1996.

Az-Zuhaylî, Wahbah bin Muṣṭofâ. Tafsîr al-Muniîr fî al-„Aqîdah wa as-Sharî‟ah wa


al-Manhaj, jilid 15, Dimasqi: Dâr al-Fikr al-Ma‟âṣir, 1996.

Hamka. TAFSIR AL-AZHAR: Diperkaya dengan pendekatan sejarah, sosiologi


tawasuf, ilmu kalam, satsra dan psikologi, Jilid 5 Jakarta: GEMA INSANI,
2015

Hifni, Qawâ‟id al-Lughoh al-„Arobiyyah li tilmidh al-Madâris al-Thânawiyyah,


Surabaya: al-Maktabah al-Hidâyah, t.th.
84

Munawwir, Muhammad Warson. AL-MUNAWWIR; Kamus Arab-Indonesia,


Surabaya: PUSTAKA PROGRESSIF, 2002.

Shihab, M.Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an, Vol
7, Jakarta : Lentera Hati. 2002.

Skripsi dan Tesis:

Agus Mushodiq, Muhammad. “Kisah Nabi Musa dan „Abd dalam al-Qur‟an studi
analisis semiotika patologi sosial epistimologi „abid al-jabiri,” Tesis, UIN
sunan Kalijaga, Yogyakarta. 2016.

Daraini, Ali Fathi. “Tafsir ayat Shirat, Sabil, Thariq, dan Salkan dalam al-Qur‟an;
Studi analisis Tafsir al-Qurthubhy,” Skripsi: UIN Sumatera Utara Medan,
2018.

Famili, Jaya. “Nilai- nilai hikmah dalam kisah pertemuan Nabi Musa as dan Nabi
Khidhir as studi tafsir tematik q.s. al-kahfi: 60-82,” Skripsi, UIN Raden Fatah
Pelembang. 2020.

Hidayatullah, Isnan. “Kisah Nabi Musa dan Nabi Khidr dalam al-Qur‟an surah al-
kahfi 66-82 studi kritis pendekatan semiotika Roland Barthes,” Skripsi,
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2004.

Ismayani. “Pesan dakwah dalam film aku kau dan kua analisis semiotika Ferdinand
de Saussure,” Skripsi, Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin
Makassar. 2017.

Prasetya, Juli. “Kajian makna simbolik pada wayang bawor,” Skripsi Fakultas
Dakwah IAIN purwokerto. 2016.

Saputra, Didin. “Nilai-nilai spiritual pada kisah Nabi Musa A.S dengan Khidir dalam
surah al-Kahfi,” Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan dakwah, IAIN Surakarta,
2018.

Website:

Departemen Agama Republik Indonesia, Alquran dan Terjemahan, diakses pada


tanggal 1 November, 2020, https://quran.kemenag.go.id/.
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Moch.Ali Fikri

Nim : U20171054

Prodi/Jurusan : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir

Fakultas : Ushuluddin, Adab dan Humaniora

Institusi : Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq Jember

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini yang berjudul “Kisah Pertemuan

Nabi Musa dan Nabi Khidir dalam al-Qur’an surah al-Kahfi ayat 60-82 (Kajian

Semiotika Ferdinand de Saussure)” adalah hasil saya sendiri, yang tidak didasarkan

pada data palsu atau hal lainnya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar benarnya dan tanpa paksaan

dari siapapun.

Jember, 09 Desember 2021

Moch. Ali Fikri


U20171054
DAFTAR RIWAYAT HIDUP

A. Identitas Diri
Nama : Moch. Ali Fikri
Tempat/tgl. Lahir : Jember, 22 Desember 1996
Alamat Rumah : Jln. Letjen Panjaitan 2 No.24 kelurahan Kebonsari
Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember.
Nama Ayah : Alm. M. Rifa’i Taufiq
Nama Ibu : Nuriyah
No.HP : +628997049080
E-Mail : fikerscrew@gmail.com
B. Riwayat Pendidikan
1. Pendidikan Formal
a. MI : MIMA KH SHIDDIQ JEMBER (2004-2010)
b. MTs : MTS NEGERI 1 JEMBER (2010-2013)
c. SMK : SMKN 5 JEMBER (2013-2016)
2. Pendidikan Non-Formal (-)
C. Pengalaman Organisasi
a. Pengurus Osis koor. Sie.Bid V SMKN 5 JEMBER (2014-2015)
b. Ketua TUTOR SMKN 5 JEMBER (2013-2015)
c. TIM MEDIA ICIS IAIN JEMBER (2017-2018)
d. Sekertaris PAC IPNU IPPNU Sumbersari (2018-2019)
e. Anggota Devisi Dakwah PC IPNU JEMBER (2019-2020)

Anda mungkin juga menyukai