Anda di halaman 1dari 40

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gehad Mohammed Ahmed Naji at al. (2020) menerangkan bahwa dalam sistem

keselamatan kerja yang baik maka menempatkan indikator leading dan lagging sebagai elemen

penting untuk memantau hasil kinerja atau safety performance. Lagging Indicator adalah terkait

dengan angka kecelakaan, dan indikator incident frekuensi rate (IFR), dimana IFR menunjukan

angka kekerapan kecelakaan. Untuk itu perusahaan menetapkan angka target IFR (Incident

Frequency Rate) sebagai ukuran Safety Performance yang dipakai oleh perusahaan dan

dituangkan pada OTP (Objective Target dan Program).

Pada tahun 2021 perusahaan menargetkan pencapaian safety performance dalam bentuk

lagging indicator pada beberapa item, yaitu zero fatality, LTIFR = 0, TRIR=0, dan IFR kurang

dari 3. Target pencapaian dari tahun ke tahun selalu meningkat, menunjukkan bahwa perusahaan

mempunyai komitmen dan keseriusan yang tinggi dalam pengelolaan K3. Tiga indikator

tercapai, namun untuk parameter IFR tidak tercapai di tahun 2021, karena ada beberapa kejadian

kecelakaan di beberapa kecelakaan, sehingga menyebabkan angka IFR naik. Terinci dibawah

lagging indikator Safety Performance dari tahun 2018 sampai tahun 2021 di PT. XYZ :

Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa tidak tercapaiannya IFR yang di targetkan oleh

perusahaan di tahun 2021 yaitu IFR < 3, dimana posisi sekarang masih dibulan November 2021,

ada potensi lagi IFR akan naik jika factor factor yang significant tidak di Kelola dengan baik

oleh perusahaan.
Dengan adanya deviasi pencapaian IFR dari target yang di tetapkan di OTP 2021 yaitu <3

dan real pencapaiannya, maka akan menjadikan dasar untuk melakukan penelitian. Dalam hal ini

perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut faktor-faktor yang berpengaruh dan berkontribusi untuk

mengendalikan kejadian kecelakaan di perusahaan, sehingga bisa tercapai safety performance

yang ditargetkan.

Ada beberapa faktor yang menjadi perhatian dipertimbangkan terkait dengan Safety

Performance seperti pada gambar 1.1. adalah sebagai berikut :

1) Penelitian Yovita Vanesa Romuty at al.(2017) menetapkan bahwa Safety Leadership

berpengaruh positif terhadap safety performance, sehingga kuat lemahnya safety

performance ditentukan kepemimpinan keselamatan (safety leadership). Data table 1.2.

menunjukan peran serta manajemen di beberapa bulan Juli sampai dengan agustus

menunjukan penurunan dari pencapaian sebelumnya. Peran serta jajaran manajemen

menjadi bagian yang ditarget dalam program K3 setiap bulan seperti pada gambar 1.2

dibawah.
Gambar 1.2. Target besaran kontribusi dalam K3

Jajaran Manajemen proyek yang terdiri dari manajer proyek beserta jajaran manajer

dibawah tanggungjawabnya merupakan “role model” atau sebagai panutan yang akan

ditiru oleh semua karyawan di proyek tersebut dalam hal keterlibatan atau kontribusi

dalam program K3. Berikut gambar 1.3 menunjukan bahwa target besaran kontribusi K3

untuk jajaran manajemen dari bulan juni sampai September munjukkan hasil dibawah

target 5 (lima) persen yang telah ditetapkan.

2) Penelitian Daniel Wynalda dan Hendrik Sulistyo (2018) menetapkan bahwa faktor faktor

program K3 berpengaruh untuk menurunkan tingkat kecelakaan. PT. XYZ telah

menetapkan program K3 yang ditetapkan dalam konsep Perfect Day Every Day (sebagai

Leading Indicator target oleh perusahaan). Dimana Perusahaan telah menetapkan

pengendalian aspek bahaya terhadap K3 dalam setiap hari ke dalam program “Perfect

Card” masing masing unit bisnis. Secara garis besar program yang diterapkan meliputi :

Program BBS, Hazob, TSV, Training, Tanggap gawat daarurat, Inspeksi, pelaporan dan

kecelakaan, dan inisiatif lain sesuai kondisi operasional. Program ini direncanakan dalam

setiap bulan. Berikut dibawah adalah rata rata pencapaian lagging indikator target rata

rata di masing masing unit bisnis. Ada beberapa unit bisnis yang tidak mencapai target

yang ditetapkan yaitu masih dibawah 98 % pencapaian.

3) Menurut penelitian Winda Purnama Tagueba at al.(2018) bahwa ada pengaruh signifikan

antara penerapan manajemen risiko dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Di PT.XYZ

setiap karyawan mempunyai hak untuk menghentikan kegiatan kerja jika dipandang

berbahaya dengan kartu SWA (Stop Work Authority). Data gambar 1.3. menunjukan
bahwa masih ada proses kerja atau perilaku kerja dengan resiko tinggi yang berpotensi

untuk menciptakan suatu kecelakaan. Untuk itu pekerjaan diberhentikan sebentar, untuk

melakukan mitigasi resiko sampai level aman sesuai dengan matrik resiko yang

ditetapkan oleh perusahaan. Dalam penerapan manajemen risiko yang baik dan efektif

maka pengentian suatu pekerjaan karena bahaya bisa diminimalisasi sampai angka 0

(nol).

Gambar 1.5 : Temuan aktifitas resiko tinggi dengan dikeluarkan kartu SWA di PT.XYZ

1.2. Identifikasi Masalah Penelitian

Dengan gambaran fenomena yang telah dipaparkan di latar belakang diatas, maka dapat di

identifikasi masalah pada masing masing sebagai berikut :

1. Keterlibatan Safety Leadership pada tingkatan manajemen masih dibawah target yang

ditetapkan. Grafik gambar 1.3 menunjukan, bahwa pencapaian masih dibawah target

5 (lima) persen pada bulan januari – September.

2. Pencapaian Program Kerja K3 terkait dengan leading indikator diperusahaan belum

maksimal. Grafik gambar 1.4 menunjukan, bahwa ada beberapa unit bisnis yang
pencapaian Program kerja K3 masih dibawah 98 % seperti yang di tetapkan oleh

perusahaan.

3. Pengelolaan Manajemen Resiko terkait dengan pekerjaan belum maksimal. Grafik

gambar 1.5 menunjukan, bahwa masih ditemukan banyak kegiatan resiko tinggi yang

harus dihentikan sementara, untuk melakukan tindakan mitigasi bahaya untuk

mencegah potensi kecelakaan.

1.3. Rumusan Masalah Penelitian

Dengan memperhatikan latar belakang dan identifikasi masalah penelitian, yang telah

dijelaskan diatas, maka bisa dibuat rumusan masalah penelitian masing-masing adalah sebagai

berikut:

1. Apakah terdapat pengaruh positif dan signifikan antara safety leadership terhadap

safety performance di PT XYZ?

2. Apakah terdapat pengaruh positif dan signifikan antara pencapaian program kerja K3

terhadap safety performance di PT XYZ?

3. Apakah terdapat pengaruh positif dan signifikan antara manajemen resiko terhadap

safety performance di PT XYZ?

4. Apakah terdapat pengaruh positif dan signifikan antara safety leadership, pencapaian

program kerja K3, dan manajemen risiko secara simultan terhadap safety

performance di PT. XYZ ?

1.4. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertimbangan pada rumusan masalah yang telah disebutkan diatas, maka

tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh antara safety leadership terhadap safety performance di

PT.XYZ
2. Mengetahui pengaruh antara program kerja K3 terhadap safety performance di

PT.XYZ

3. Mengetahui pengaruh antara manajemen resiko terhadap safety performance di

PT.XYZ

4. Mengetahui pengaruh antara safety leadership, pencapaian program kerja K3, dan

manajemen risiko secara simultan terhadap safety performance di PT.XYZ

1.5. Kontribusi Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat serta kegunaan bagi semua pihak yang

terkait, terutama dalam bentuk manfaat akademis dan manfaat praktis. Manfaat akademis yang

diharapkan diperoleh dari penelitian ini antara lainnya adalah memberikan sumbangan pemikiran

tentang upaya peningkatan penerapan K3 yang baik serta efektif dan efisien dalam suatu bidang

bisnis pelayanan logistik terpadu dan penyedian pelayanan infra struktur tangki terminal (tangki

timbun). Sedangkan manfaat praktis yang diharapkan diperoleh dari penelitian ini antara lainnya

adalah memberikan masukan kepada manajemen perusahaan tentang upaya peningkatan K3 serta

menjadi pertimbangan kepada manajemen perusahaan akan pentingnya pelaksanaan K3 dalam

bekerja agar tidak terjadi kecelakan kerja.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Obyek Penelitian

Dalam menciptakan operasi yang terbaik, perusahaan melakukan tata kelola semua bidang

termasuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja sesuai dengan tuntutan pelanggan. Untuk itu Peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian terkait Safety Performance di PT.XYZ. beberapa variable

yang dipakai adalah Safety Leadership, Program Kerja K3 dan Manajemen Risiko.

2.2. Keselamatan dan kesehatan kerja (K3)

Anita Dewi (2012), pengertian kesehatan keselamatan kerja (K3) atau Occupational

Safety and Health (OSH) menurut ILO adalah meningkatan serta memelihara derajat tertinggi

semua karyawan baik secara hal fisik, mental, dan kesejahteraan sosial pada semua jenis

pekerjaan, mencegah terjadinya gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh pekerjaan,

melindungi pekerja pada setiap pekerjaan dari risiko yang timbul dari faktor-faktor yang dapat

mengganggu kesehatan dan keselamatan, menempatkan dan memelihara pekerja di lingkungan

kerja yang sesuai dengan kondisi fisologis dan psikologis pekerja dan untuk menciptakan

kesesuaian antara pekerjaan dengan pekerja dan setiap orang dengan tugasnya.

Aita Dewi (2012), menurut Occupational Safety Health Administrasi (OSHA) pengertian

K3 (kesehatan dan keselamatan kerja) adalah aplikasi ilmu dalam mempelajari risiko

keselamatan manusia dan properti baik dalam industri maupun bukan. Kesehatan keselamatan

kerja merupakan mulitidispilin ilmu yang terdiri atas fisika, kimia, biologi dan ilmu perilaku

dengan aplikasi pada manufaktur, transportasi, penanganan material bahaya.

Berdasarkan kedua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan definisi K3

menurut WHO-ILO dan OSHA. Pertama, pendekatan yang dilakukan WHO-ILO mengarah

pada perlindungan kesehatan masyarakat pekerja melalui upaya promotif, prefentif, kuratif dan
rehabilitasi. Sasarannya pekerja. Sedangkan OSHA lebih menekankan pada pengendalian

lingkungan kerja fisik, kimia, biologi dan ergonomi psikologi yang dapat mengganggu status

kesehatan dan keselamatan pekerja. Sasarannya lingkungan kerja. Perbedaan yang kedua

adalah WHO-ILO menekankan pada kesehatan kerja sedangkan OSHA pada keselamatan

kerja. Namun demikian perlu digarisbawahi, bahwa masalah K3 tidak bisa dipisahkan antara

masalah kesehatan atau keselamatan, karena keduanya saling berkaitan.

Era Manajemen dan Manjemen K3, Perkembangan era manajemen modern dimulai sejak

tahun 1950-an hingga sekaran. Perkembangan ini dimulai dengan teori Heinrich (1941) yang

meneliti penyebab penyebab kecelakaan bahwa umumnya (85%) terjadi karena faktor manusia

(substandar act) dan faktor kondisi kerja yang tidak aman (substandar condition). Pada era ini

berkembang sistem automasi pada pekerjaan untuk mengatasi masalah sulitnya melakukan

perbaikan terhadap faktor manusia. Namun sistem otomasi menimbulkan masalahmasalah

manusiawi yang akhirnya berdampak kepada kelancaran pekerjaan karena adanya blok-blok

pekerjaan dan tidak terintegrasinya masing-masing unit pekerjaan.

Sejalan dengan itu Frank Bird. (1990) mengemukakan teori Loss Causation Model yang

menyatakan bahwa faktor manajemen merupakan latar belakang penyebab yang menyebabkan

terjadinya kecelakaan. Berdasarkan perkembangan tersebut serta adanya kasus kecelakaan di

Bhopal tahun 1984, akhirnya pada akhir abad 20 berkembanglah suatu konsep keterpaduan

sistem manajemen K3 yang berorientasi pada koordinasi dan efisiensi penggunaan sumber-

daya. Keterpaduan semua unit-unit kerja seperti safety, health dan masalah lingkungan dalam

suatu sistem manajemen juga menuntut adanya kualitas yang terjamin baik dari aspek input

proses dan output. Hal ini ditunjukkan dengan munculnya standar-standar internasional seperti

ISO 9000, ISO 14000 dan ISO 18000.


2.3. Safety Leadership (Kepemimpinan K3)

Menurut Blanchard & Hersey. (1995), kepemimpinan merupakan suatu proses

mempengaruhi aktifitas-aktifitas seseorang atau sekelompok orang sebagai cara mencapai suatu

tujuan pada situasi tertentu. Kepemimpinan (Leadership) merupakan proses untuk

mempengaruhi atau memberi teladan yang dilakukan oleh pemimpin kepada pengikutnya atau

anggotanya yang bertujuan untuk mencapai tujuan perusahaan atau organisasi. Kepemimpinan

sebagai salah satu perihal terpenting guna menentukan bagi keberhasilan manajemen suatu

organisasi. Kepemimpinan yang efektif akan mampu mendorong motivasi anggota organisasi

sehingga produktifitas, loyalitas dan kepuasan bawahan atau anggota organisasi meningkat.

Gibson, Ivancevich, dan Donnelley (1991), merangkan pengertian kepemimpinan sebagai

suatu usaha pemanfaatan jenis pengaruh bukan paksaan guna memotivasi sekelompok orang

untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan kata lain bahwa sebagai leader adalah orang yang

mempunyai kemampuan untuk mengajak orang lain dengan tanpa paksaan, sehingga dapat

secara bersama-sama dapat mencapai visinya.

Gunawan F.A (2013) Safety Leadership (kepemimpinan keselamatan kerja) adalah suatu

kemampuan yang dimiliki pemimpin untuk menggerakkan angora organisasi, agar bersemangat

dalam upaya mengendalikan risiko kerja dan operasi, sehingga dapat dicegah terjadinya insiden

yang merugikan (manusia, harta dan lingkungan).

Gunawan F.A (2013) sebagai tindakan nyata seorang pemimpin dalam safety leadership

adalah dengan :

1) Menunjukkan komitment dalam upaya keselamatan kerja

2) Menjadi contoh perilaku (role model) bahwa keselamatan kerja sama penting dengan

operasi

3) Memastikan bekerjanya sistem manajemen K3


4) Menjadikan keselamatan kerja sebagai bagian penting kinerja terpilih (KPI)

5) Memantau kinerja K3 baik indikator” lagging” maupun” Leading” dan mendukung

penuh terhadap tindak lanjut untuk memperbaiki sistem pengendalian manajemen

berdasarkan prioritas risiko secara berkelanjutan

Wu at al., (2008) mendefinisikan safety leadership sebagai proses interaksi antara pimpinan dan

pekerja, yang mana pimpinan dapat mempengaruhi pekerja untuk mencapai tujuan keselamatan

kerja organisasi dengan kondisi yang ada pada organisasi dan diri pekerja. Wu at al., (2008)

menyatakan bahwa safety leadership diukur melalui tiga dimensi (subscale) yaitu :

1) kepedulian terhadap keselamatan kerja (safety caring),

2) pembinaan terhadap keselamatan kerja (safety coaching), dan

3) pengontrolan terhadap keselamatan kerja (safety controlling).

Pimpinan dan Manajer pada suatu perusahaan selalu memberi contoh terkait dengan

keselamatan, yaitu sebagai contoh melalui keterlibatannya secara individu langsung dalam

pelatihan serta pengawasan untuk aktifitas yang penting. Setiap individu karyawan dalam

organisasi berupaya untuk meneladani perilaku dan nilai yang ditunjukkan oleh Pimpinan secara

individu. Sehingga sebagai tolak ukur suatu standar hendaknya diatur pada organisasi sebagai

faktor yang penting terhadap leadership terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.

1) Peran Kepemimpinan Sebagai Role Model

Komitmen pimpinan yang dituliskan dalam kebijakkan K3 perusahaan,

dikomunikasikan dengan jelas oleh pimpinan kepada jajaran dan karyawan, diberbagai

metode kesempatan yang ada secara konsisten. Komunikasi atau hubungan antara

pimpinan dengan pekerja ini diperlukan dengan beberapa metode, untuk mengurangi

jarak (power distance) yang bisa menghambat proses pengembangan keberhasilan

perusahaan, termasuk penguatan budaya atau kultur keselamatan yang dicanangkan.


Pimpinan atau Manajer memiliki pengaruh dalam merubah pola pikir pekerja,

terkait dengan cara mereka berpikir, bersikap dan berperilaku untuk membangun budaya

K3. Perlu disadari bahwa faktor utama dalam membangun budaya keselamatan, adalah

pembangunan sikap dan perilaku selamat dari nilai-nilai keselamatan yang ditanamkan

dalam budaya atau kultur perusahaan. Gambar 2.3 menunjukkan budaya suatu organisasi

yang akan mendukung keberhasilan pengembangan budaya / kultur keselamatan, dimulai

dari personality and values, emotional, commitment pimpinan yang membuat Leadership

style untuk membangun best practices yang ditumbuhkan untuk memperkokoh budaya /

kultur organisasi.

Unsur keteladanan pada safety leadership sangat diutamakan untuk

mengembangkan budaya keselamatan pada suatu organisasi. Pimpinan dan manajer

dapat memberi contoh nilai-nilai K3, yang ditunjukkan pada perilaku dan tindakan juga

etika kerja. Safety Leadership dari pimpinan harus menunjukkan kepedulian dan

keteladanan yang tinggi dengan cara keterlibatan langsung pada program K3 yang

ditetapkan.

Kepemimpinan dalam K3 harus memberikan contoh tindakan dan perilaku yg

benar tentang K3 yang baik. Jika pimpinan atau manajer melihat suatu pekerjaan

dilakukan tidak benar, maka harus segera melakukan perbaikan kondisi tersebut untuk

menyakinkan pada pekerja bahwa tidak ada toleransi untuk suatu penyimpangan

instruksi kerja atau prosedur. Pemenuhan ketentuan K3 harus 100 %, untuk mencegah

potensi timbulnya bahaya yang mengakibatkan kecelakaan.

Pimpinan / Manajer mendelegasikan tanggungjawab kepada sub ordinatenya.

Kadang menyalahkan korban dan tidak mengidentifikasi kegagalan terhadap sistem dan

akar masalahnya, tidak menanyakan hal-hal K3, dan tidak berkenan mendapatkan
informasi buruk tentang penerapan keselamatan. Beberapa item yang bisa ditingkatkan

oleh manajer untuk meningkatkan motivasi karyawan terkait K3 diantaranya dengan :

1. Melakukan kunjungan ke lapangan dan minta karyawan membantu memberitahukan

kondisi dan perilaku tidak aman.

2. Sampaikan apa yg dilakukan sebagai pimpinan / manajer terhadap aspek K3 dan

mengapa hal ini dilakukan.

Dengan contoh melakukan kunjungan atau pemeriksaan komitmen secara

periodik, maka perbaikan dalam komitmen dan keterlibatan manajemen secara riil akan

meningkat. Pemimpin yang mempunyai safety leadership yang bagus sangat dibutuhkan

oleh perusahaan dalam proses percepatan transformasi pembangunan budaya

keselamatan.

2) Berbagi Pengetahuan

Safety leadership harus jelas dalam mengembangkan dan membangun budaya kultur

keselamatan, mempunyai atribut terhadap pentingnya pimpinan / manajer melakukan

transfer knowledge kepada jajarannya. Sehingga pimpinan dapat berperan sebagai guru

bagi para jajarannya, untuk membekali dan meningkatkan kompetensi dan kemampuan

terkait dengan keselamatan pada sumberdaya manusia pada lingkungan kerjanya.

Berdasarkan konsep behavior base safety leadership team building gambar berikut,

dapat melihat dari pengalaman dalam bekerja, serta pelatihan untuk meningkatkan

kemampuan dan ketrampilan sumberdaya manusia dapat diberikan oleh seorang

pimpinan yang telah berpengalaman.

3) Coaching (Pembinaan)

Coaching yang umum dilakukan di berbagai organisasi atau perusahaan, diwujudkan

dalam metode workshop, pelatihan, atau pada saat pimpinan / manajer melakukan pemeriksaan
ke lapangan. Menurut Avanti Vontana dalam bukunya Inovate We Can halaman 213, “tugas

coach ialah memberikan dukungan guna meningkatkan sumberdaya, kapabilitas, dan kreativitas

yang ada pada pekerja, baik dengan cara banyak akal (resourceful), alamiah kreatif (creative),

dan serta utuh (whole)”. Berdasarkan tugas coach ini, maka pimpinan bisa berperan sebagai

coach dengan efektif, karena pimpinan / manajer berpengetahuan luas dan punya pengalaman

dalam organisasi. Manajer lebih akan memahami dan serta menjiwai apa-apa yang

dibutuhkan oleh karyawan untuk berhasil mendukung visi organisasi.

Consulting sebagai transfer knowledge dari atasan sub ordinate perihal bahan

yang dikonsultasikan, waktunya bisa dilakukan kapan saja. Mentoring adalah transfer

pengetahuan tasit yang diperoleh dari pengalaman saat bekerja, dari pimpinan ke

bawahan yang akan melanjutkan pekerjaan itu.

Ada istilah mengatakan, jika kita ingin menyentuh perihal masa depan, maka kita

harus mendidik orang lain untuk bisa melanjutkan cita-cita. Kita tidak selamanya ada,

tetapi tujuan, harapan serta cita-cita, tidak akan pernah punah, karena kita telah mendidik

juga mempersiapkan penggantinya atau orang lain.

Ini fungsi mentoring dari manajer atau pimpinan diperlukan untuk mendukung

dalam pengembangan keahlian dan menyiapkan estafet keberhasilan kepemimpinan

mendatang di dalam suatu organisasi. Dalam program terkait mentoring ini, pimpinan

bertindak sebagai seorang partner untuk mengembangkan keberhasilan bawahannya.

2.4. Program Kerja K3

Organisasi harus menetapkan tujuan K3 pada fungsi dan tingkat yang relevan dalam

rangka memelihara dan meningkatkan sistem manajemen dan kinerja K3 secara

berkesinambungan (ISO 45001, 2018). Tujuan K3 perusahaan biasanya dituangkan pada

dokumen Objective, Target, dan Program (OTP).


Untuk mencapai OTP yang telah ditetapkan, maka perusahaan harus menyusun program

kerja yang akan mewujudkan komitmen yang tertuang pada kebijakan perusahaan. Menurut

Prasetyo (2019) mengemukakan bahwa rencana kerja disusun untuk setiap tingkat manajemen

sebagai landasan operasional yang mempertimbangkan:

1) Penentuan tanggungjawab serta wewenang guna pencapaiannya pada semua tingkat

fungsi bisnis, divisi atau departemen. Program keselamatan dan kesehatan kerja agar

dipadukan dengan program perusahaan secara keseluruhan. Hal ini dapat menjadi

salah satu faktor dalam pencapaian target organisasi pada tingkatan korporasi,

bisnis, divisi atau departemen.

2) Dukungan sumberdaya ataupun sarana yang diperlukan untuk pencapaian program,

sebagai contoh terkait dengan keuangan, tenaga, infra struktur dana atau dukungan

komitmen lainnya.

3) Jangka waktu penyelesaian atau jadwal pelaksanaan serta penyelesaian terkait

program kerja.

Sebagai contoh, Prasetyo (2019) menerangkan bahwa beberapa bagian dari program kerja

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah sebagai berikut: Kelengkapan Administrasi K3,

Pelaksanaan Kegiatan K3 di Lapangan dan Pelatihan K3. Namun program kerja dibuat sesuai

dengan permasalahan yang ada dalam suatu organisasi.

Menurut Canadian Centre for Occupational Health and Safety (CCOHS, 2021), mereka

memberikan contoh beberapa program kerja keselamatan dan kesehatan kerja di suatu

organisasi, yang bisa menjadi inspirasi suatu organisasi / perusahaan untuk diterapkan adalah

sebagai berikut dibawah ini :


1) Identifikassi bahaya dan penilaian resiko. Penerapan diperusahaan biasanya

dilakukan dengan Hazard Identifikasi Risk assessment and determining control

(HIRADC) dan Job hazard Analysis (JHA)

2) Pelaporan dan investigasi kecelakaan

3) Tanggap Gawat Darurat

4) Ergonomi

5) Komite Keselamatan dan Kesehatan Kerja

6) Medical Check Up

7) Pemeriksaan tempat kerja, Perlatan dan Mesin

8) Pencegahan Pelanggaran K3 di tempat kerja

Namun perusahaan dapat menginisiasi program lainnya yang merujuk pada ketentuan

penerapan dari standard ISO 45001 (2018) adalah sebagai berikut :

1) Identifikasi peraturan dan perundangan. Hal ini dilakukan sesuai dengan bahaya

yang ada pada aktifitas dan bisnis perusahaan

2) Penetapan tujuan dan program organisasi yng dituangkan pada dokumen OTP.

3) Pelatihan K3.

4) Media komunikasi K3 cetak. Ini bisa meliputi spanduk, poster, banner, atau

sejenisnya terkait dengan topik K3.

5) Media komunikasi K3 elektronik. Program ini bisa dilakukan dengan digitalisasi K3,

komunikasi via WA atau sejenisnya

6) Rambu K3. Ini dalam bentuk fisik dipasang di tempat kerja sebagai infomasi

larangan, ajakan dana tau perintah terkait dengan K3.

7) Pelaporan kinerja K3. Pelaporan ini bisa terkait dengan internal atau ke pihak

pemerintah yang mencakup kegiatan K3 perusahaan dalam kurun waktu tertentu.


8) Konsultasi K3. Program ini memberikan kesempatan untuk seluruh karyawan

mendiskusikan K3 di lingkup kerjanya.

9) Ide berkelanjutan. Adalah sumbang saran dari karywan untuk memberikan perbaikan

dari masalah K3 yang ada.

10) Pengamatan bahaya di tempat kerja. Ini sebagai kontribusi karyawan bisa di

tuangkan pada program pengamatan bahaya oleh karyawan.

11) Manajemen visit. Sebagai program rutin tingkatan manajemen untuk mengetahui

penerapan K3 di lapangan dan langsung didialog dengan karyawan.

12) Safety Talk adalah briefing kepada karyawan terkait dengan K3, dilakukan sebelum

pekerjaan dimulai dana atau secara berkala.

13) Prosedure K3. Semua langkah kerja suatu aktifitas dibakukan dan bentuk dokumen

sebagai acuan karyawan.

14) Contractor Safety Management System. Pengelolaan keselamatan kontraktor yang

berada di lingkup organisasi

15) Pengukuran lingkungan kerja. Adanya pemantauan dan pengukuran semua potentsi

bahaya yang ada di kegiatan perusahaan.

16) Audit K3. Untuk mengukur kepatuhan penerapan K3 sesuai dengan standard dan

rujukan yang digunakan oleh perusahaan.

Semua program program yang diterangkan diatas, perusahaan bisa menerapkan dalam organisasi

dan menjadi rujukan untuk menyelesaaikan permasalahan K3 yang ada di organisasi untuk

mencapai kinerja K3 yang baik.

2.5. Manajemen Resiko

Menurut ISO 31000, bahwa mengelola risiko adalah bagian dari tata kelola dan

kepemimpinan, dan merupakan dasar bagaimana organisasi dikelola di semua tingkatan. Ini
berkontribusi pada peningkatan sistem manajemen. Mengelola risiko adalah bagian dari semua

kegiatan yang terkait dengan organisasi dan termasuk interaksi dengan pemangku kepentingan.

Mengelola risiko mempertimbangkan konteks eksternal dan internal organisasi, termasuk

manusiafaktor perilaku dan budaya. Mengelola risiko didasarkan pada prinsip, kerangka kerja,

dan proses yang diuraikan dalam dokumen ini, sebagai diilustrasikan pada Gambar 2.3.

Komponen-komponen ini mungkin sudah ada secara penuh atau sebagian di dalam organisasi,

namun, mereka mungkin perlu diadaptasi atau ditingkatkan sehingga pengelolaan risiko menjadi

efisien, efektif dan konsisten.

Gambar2.4. Principles, framework and process ISO 31000


Sumber Standard ISO 31000

Dalam praktek penerapan pengelolaan managemen resiko pada industry dilakukan dengan 2

(dua) metode yaitu :


1) Pertama menurut ISO 45001 (2018) terkait dengan keseluruhan resiko aktifitas bisnis

organisasi dilakukan dengan metode HIRADC (Hazard Identification Risk Assessment

and Determining Control).

2) Kedua menurut standard OSHA 3671 (2002), untuk detail analisa resiko setiap tahapan

pekerjaan dilakukan dengan metode JHA ( Job Hazard Analysis ).

Salah satu perusahaan oil & gas menerapkan program SWA (Stop Work Authority), dimana

dijelaskan pada “procedure stop work” BP (2019) menerangkan bahwa:

 Semua karyawan karyawan dan kontraktor memiliki wewenang dan kewajiban untuk

berhenti bekerja ketika ada alasan untuk percaya bahwa seseorang kesehatan,

keselamatan, keamanan, atau lingkungan dapat terancam dengan kartu SWA (Stop Work

Authority).

 Pekerjaan yang telah dihentikan tidak boleh dilanjutkan sampai masalah “berhenti

bekerja” dan kekhawatiran telah ditangani sesuai dengan prosedur ini. Insiden

penghentian pekerjaan harus dilaporkan sesuai dengan ini prosedur.

 Tidak akan ada retribusi manajemen, intimidasi, atau disiplin tindakan yang dihasilkan

dari tindakan menghentikan pekerjaan.

 Karyawan dan kontraktor yang melakukan pekerjaan untuk perusahaan harus memahami

kewajiban mereka untuk berhenti bekerja sesuai dengan prosedur ini.

Dari rujukan diatas, SWA program merupakan langkah terakhir untuk melakukan pencegahaan

kecelakaan jika pengelolaan manajemen resiko belum maksimal pekerjaan dilakukan dengan

aman. Sehingga menjadi tolak ukur atau parameter terhadap performance pengelolaan risiko

dalam keselamatan.

2.6. Safety Performance


Menurut ISO 45001 (2018), Safety Performance adalah hasil yang terukur (kinerja) terkait

dengan efektivitas (sejauh mana kegiatan yang direncanakan direalisasikan dan hasil yang

direncanakan) pencegahan cedera dan kesehatan yang buruk pada pekerja dan penyediaan

tempat kerja yang aman dan sehat.

Dalam kutipan dari Wu, T, Chen, C & Li, C. (2008), safety performance diartikan suatu

kinerja dari kegiatan yang dilakukan oleh organisasi guna menjamin keselamatan kerja dalam

suatu organisasi. Safety performance direncanakan untuk mengukur tingkat keselamatan dan

kesehatan kerja (K3) pada suatu organisasi. Safety performance diukur berdasarkan pada dimensi

organisasi dan manajemen K3. Safety performance mencakup indicator reaktif (lagging

indicator) dan indikator aktif (leading indicator).

Merujuk pada standart OSHA 3970 (2019), pengukuran Safety Performance bisa dilakukan

dengan 2(dua) indikator yaitu indikator leading (proaktif) dan lagging (reaktif). Indikator reaktif

(lagging) mengukur kejadian dan frekuensi kejadian yang terjadi di masa lalu, seperti jumlah

atau tingkat cedera, penyakit, dan kematian. Dan indikator lagging dapat mengingatkan akan

kegagalan di suatu area program keselamatan dan kesehatan kerja atau keberadaan suatu bahaya,

untuk mengukur efektivitas. Contoh lagging indikator adalah:

 Biaya akibat kecelakaan

 Jumlah Kecelakaan

 LTI Freq Rate

 Incident Freq Rate (IFR)

 Recordable and Reportable FR

 Recordable & Reportable SR

 Jumlah Pelanggaran regulasi


 Jumlah Ketidaksesuaian

 Jumlah Unplanned Shutdowns

2.7. Analisa Regresi Linier berganda dengan SPSS

Regresi Linier Berganda yang akan disimulasikan pada bagian ini menggunakan

pendekatan Ordinary Least Squares (OLS). Penjelasan akan dibagi menjadi 4 (empat) tahapan,

yaitu:

1) Persiapan Data (Tabulasi Data)

2) Estimasi Model Regresi Linier (Berganda)

3) Pengujian Asumsi Klasik

4) Uji Kelayakan Model (Goodness of Fit Model)

5) Intepretasi Model Regresi Linier (Berganda)

Persiapan data dimaksudkan untuk melakukan input data ke dalam software SPSS. Setelah

data di-input kedalam software SPSS, maka langkah selanjutnya adalah melakukan estimasi

(pendugaan) model (persamaan) regresi linier, baru dilanjutkan dengan pengujian asumsi klasik.

Pengujian asumsi klasik dilakukan setelah model regresi diestimasi, bukan sebelum model

diestimasi. Tidak mungkin pengujian asumsi klasik dilakukan sebelum model regresi diestimasi,

karena pengujian asumsi klasik yang meliputi normalitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi

membutuhkan data residual model yang didapat setelah model terbentuk. Apabila model yang

terbentuk tidak memenuhi asumsi klasik yang disyaratkan, maka dibutuhkan

modifikasi/transformasi/ penyembuhan terhadap data ataupun model regresi. Pada bagian ini

tidak dibahas langkah-langkah yang harus ditempuh apabila tidak dipenuhinya asumsi klasik

dalam model regresi linier. Pada bagian ini data yang digunakan untuk mengestimasi model

regresi linier dengan OLS telah memenuhi semua asumsi klasik. Tahap terakhir dari bagian ini
akan dijelaskan bagaimana melihat layak tidaknya model dan menginterpretasikan model yang

terbentuk.

2.8. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan peneliti dalam melakukan penelitian

sehingga peneliti dapat memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian yang

dilakukan. Dari penelitian terdahulu, peneliti tidak menemukan penelitian dengan judul yang

sama seperti judul penelitian peneliti. Namun peneliti mengangkat beberapa penelitian sebagai

referensi dalam memperkaya bahan kajian pada penelitian ini. Selengkapnya terdapat pada

Tabel

BAB III.
METODE PENELITIAN

3.1. Design Penelitian

Penenitian ini bermaksud untuk bisa memberikan saran peningkatan Safety Performance (

Kinerja K3) di PT. XYZ. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kausal, yaitu bertujuan

untuk menguji hipotesis tetang pengaruh beberapa variable independen (X1,X2 danX3) terhadap

variable dependen (Y). Metode pendekatan yang dipakai yaitu metode survei. Data diperoleh

melalui survei dengan memberikan kuesioner kepada semua karyawan di perusahaan PT.XYZ.

Pertanyaan yang diberikan bersikap tetap (statis) atau sudah standar. Karyawan sebagai pengisi

kuisioner, akan menerima pertanyaan yang sama, dan akan menjawab pertanyaan yang sama.

Dan praktis tidak akan ada kesempatan untuk mengajukan pertanyaan lebih lanjut dalam

menjawab pertanyaan yang diberikan. Kuisioner dibuat dalam bentuk google form, dan secara

online.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif dengan pengujian

hipotesis. Menurut Sugiyono (2017) metode kuantitatif adalah metode penelitian yang

berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel

tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif

atau statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan.

Teknik analisa statistik yang digunakan adalah analisis regresi linier berganda dengan

program software SPSS. Menurut Sugiyono (2019) analisa regresi digunakan untuk

memprediksikan seberapa jauh perubahan nulai variable dependen, bila nilai variable independen

dimanipulasi/dirubah-rubah atau dinaik-turunkan.

SPSS adalah sebuah program aplikasi yang memiliki kemampuan analisis statistic cukup

tinggi serta sistem manajemen data pada lingkungan grafis dengan menggunakan menu-menu

deskriptif dan kotak-kotak dialog yang sederhana sehingga mudah untuk dipahami cara

pengoperasiannya. SPSS banyak digunakan dalam berbagai riset pemasaran, pengendalian dan

perbaikan mutu (quality improvement), serta riset-riset sains. Pada awalnya SPSS dibuat untuk

keperluan pengolahan data statistik untuk ilmu-ilmu sosial, sehingga kepanjangan SPSS itu

sendiri adalah Statistical Package for the Social Sciences. Sekarang kemampuan SPSS diperluas

untuk melayani berbagai jenis pengguna (user), seperti untuk proses produksi di pabrik, riset

ilmu sains dan lainnya. Dengan demikian, sekarang kepanjangan dari SPSS Statistical Product

and Service Solutions.

Alur pada penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 3.1.
Gambar 3.1. Alur Penelitian
Olahan Peneliti 2021
Tabel 3.1. Operasional Variabel
3.2. Definisi dan Operasionalisasi Variabel

3.2.1. Definisi Naratif

Menurut Sugiono (2020) Variable penelitian adalah setiap hal dalam suatu penelitian yang adatanya ingin diperoleh.

Variable penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang ditetapkan oleh peneliti, sehingga diperoleh informasi

tentang hal tersebut, dan kemudian ditarik kesimpulannya.

Ada 2 (dua) macam variable yang digunakan pada penelitian ini yaitu variable independen (variable bebas) dan variable

dependen (variable terikat). Pengertian variable menurut Sugiyono (2020) adalah variable yang mempengaruhi atau yang

menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variable dependen (terikat).

Variable dependen (terikat) yang digunakan pada penelitian ini adalah Safety Serformance (Y). Dalam kutipan dari Wu,

T, Chen, C & Li, C. (2008), Safety Performance diartikan suatu kinerja dari kegiatan yang dilakukan oleh organisasi guna

menjamin keselamatan kerja dalam suatu organisasi. Variable Independen (bebas) yang digunakan pada penelitian ini adalah

safety leadership (X1), program kerja K3, manajemen risiko (X3). Hubungan antara kedua variable adalah hasil dan nilai

variable dependen (terikat) dipengaruhi oleh variable independen (bebas). Berikut dibawah ini definisi dari masing-masing

variable :

1. Safety Performance. Safety Performance adalah suatu kinerja dari kegiatan yang dilakukan oleh organisasi guna

menjamin keselamatan kerja dalam suatu organisasi Wu, T, Chen, C & Li, C. (2008)
Tabel 3.1. Operasional Variabel
2. Safety leadership. Gunawan F.A (2013) Safety leadership (kepemimpinan keselamatan kerja) adalah suatu kemampuan

yang dimiliki pemimpin untuk menggerakkan angora organisasi, agar bersemangat dalam upaya mengendalikan risiko

kerja dan operasi, sehingga dapat dicegah terjadinya insiden yang merugikan (manusia, harta dan lingkungan).

3. Program kerja K3. Menurut Canadian Centre for Occupational Health and Safety (2021), mereka memberikan contoh

beberapa program kerja keselamatan dan kesehatan kerja di suatu organisasi, yang bisa menjadi inspirasi suatu

perusahaan untuk diterapkan. Prasetyo (2019) menerangkan bahwa beberapa bagian dari program kerja Keselamatan

dan Kesehatan Kerja (K3) bisa diterapkan, namun program kerja dibuat sesuai dengan permasalahan yang ada dalam

suatu organisasi.

4. Manajemen risiko. (ISO 31000, 2018) manajemen risiko adalah bagian dari tata kelola dan kepemimpinan, dan

merupakan dasar bagaimana organisasi dikelola di semua tingkatan. Ini berkontribusi pada peningkatan sistem

manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Proaktif penerapan manajemen risiko memiliki dampak langsung,

positif efek pada hasil keselamatan kerja (Beatriz Fernandez Muniz at al., 2014)

3.2.2. Operasional Variabel

Operasional variabel menjelaskan mengenai variabel yang diteliti, dengan memaparkan dimensi, indikator, atau item

pengukuran variabel. Operasionalisasi variabel dalam penelitian ini adalah safety performance yang dijelaskan dengan safety

leadership, program kerja K3, dan manajemen risko, dapat dilihat di Tabel 3.1. Definisi operasional yang disebutkan pada tabel
Tabel 3.1. Operasional Variabel
tersebut, selanjutnya diterjemahkan ke dalam bentuk statement kuesioner untuk masing-masing item. Dalam proses

penghitungan / pengujian dengan menggunakan analisa regresi berganda dengan software PLSS
3.3. Populasi dan Sample Penelitian

(Sugiyono, 2020) Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas : obyek / subyek

yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian diterik kesimpulannya. Adapun untuk penelitian ini mengambil populasi

orang yang bekerja PT. XYZ untuk semua tingkatan. Dimana semua karyawan di PT.XYZ

terlibat dengan program K3 dan memerlukan konsen yang sama untuk melakukan peningkatan

safety performance untuk menghindari kecelakaan baik secara individu atau secara umum.

(Sugiyono, 2020) Sample adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut. Sampel dalam penelitian ini diambil dari karyawan yang aktif bekerja di

PT.XYZ dalam semua tingkatan. Teknik sampling dilakukan dengan sampling jenuh, yaitu

penentuan sampel bila semua anggota digunakan sebagai sample (Sugiyono, 2020).

Dengan rumus Slovin (Amirin, T., 2011), dan sampel yang akan ditentukan oleh peneliti

dengan persentase kelonggaran ketidaktelitian (tingkat kesalahan dalam memilih anggota sampel

yang ditolelir) adalah sebesar 5 persen. Rumus Solvin :

Dimana: n = Ukuran sampel

N = Ukuran populasi

ℯ = tingkat kesalahan dalam memilih anggota sampel yang ditolelir

Jumlah populasi yang akan diteliti telah ditentukan dengan jumlah sebanyak 110 orang. Maka

dari data tersebut didapatkan ukuran sampel dengan menggunakan rumus Slovin sebagai berikut:

n = 133 / (1+(133*0.05*0.05)

n = 99,8
Maka dapat disimpulkan, sampel pada penelitian ini menggunakan 100 orang responden.
3.4. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini akan mendapatkan data dari dua sumber data adalah sebagai berikut :

1) Data Primer, adalah data yang akan didapatkan dari hasil kuisioner yang telah diisi oleh

partisipasi karyawan semua tingkatan yang ada di PT.XYZ.

2) Data Sekunder, adalah data yang didapat berdasarkan studi pustaka dan rujukan yang ada

serta history data perusahaan di PT.XYZ

Skala Likert adalah dipakai untuk skala pengukuran indikator, berdasarkan Sugiyono

(2020) Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau

sekelompok orang tentang fenomena sosial. Dengan skala Likert, maka variabel yang akan

diukur dijabarkan menjadi indikator variabel. Kemudian, indikator tersebut dijadikan sebagai

titik tolak untuk menyusun item-item instrumen yang dapat berupa pernyataan atau pertanyaan.

Skala Likert yang digunakan adalah dibawah ini :

 Sangat setuju dengan skor 5

 Setuju dengan skor 4

 Ragu ragu dengan skor 3

 Tidak setuju dengan skor 2

 Sangat tidak setuju dengan skor 1.

3.5. Metode Analisa Data

Penelitian ini menggunakan metode analisa regresi linier benganda. Dimana menurut

Rosalendro Eddy Nugroho (2021) Analisis regresi linier berganda adalah regresi linier untuk

menganalisis besarnya hubungan dan pengaruh variabel independen yang jumlah variabelnya

lebih dari dua.

Adapun persamaan regresi untuk tiga variable independen adalah (Sugiyono, 2020) :
Y = a + b1X1+ b2X2 + b3X3 ……….…………………………… (3.2)

Keterangan :

Y = Subyek dalam variable dependen yang diprediksikan

a = Harga Y ketika harga X = 0 ( harga konstan )

b = Angka arah atau koefisien regresi, yang menunjukkan angka

peningkatan ataupun penurunan variable dependen yang didasarkan

pada perubahan variable independen. Bila (+) arah garis naik, dan

bila (-) maka arah garis turun

X = Subyek pada variable independen yang mempunyai nilai tertentu.

Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini ialah Analisis Regresi Linear Berganda.

Analisis regresi linear berganda merupakan analisa yang digunakan untuk mengetahui pengaruh

variabel independen terhadap variabel dependen, atau untuk menguji hipotesa. Jenis pengolahan

data menggunakan software SPSS 23.0.

Uji t digunakan untuk melakukan uji pengaruh variabel independen secara partial. Hasil

uji t menunjukkan sebagai berikut: Jika probabilitasnya (nilai sig) > 0.05 atau t hitung < t tabel

maka H0 tidak ditolak. Jika probabilitasnya (nilai sig) < 0.05 atau t hitung > t tabel maka H0

ditolak. Selain itu dilaksanakan uji analisis korelasi antar indikator.

Sebelum melaksanakan uji t, terlebih dahulu dilakukan uji alat instrumen yaitu uji

validitas dan uji realibilitas, serta dilakukan uji asumsi klasik yang terdiri dari uji normalitas, uji

multikoleniaritas, dan uji heterokedatisitas. Uji validitas dilaksanakan agar pertanyaan yang

mewakili indikator mempresentasikan variabel yang diuji. Uji Reliabilitas dilaksanakan untuk

menguji akurasi (accurately) pengukurannya. Suatu hasil pengukur dikatakan reliabel (dapat

diandalkan) bila hasil dari pengukurannya konsisten.


Uji asumsi klasik digunakan untuk memperkuat model regresi sehingga menghasilkan uji

hipotesa secara tepat. Pengujian asumsi normalitas dilakukan untuk menguji apakah variabel

residual memiliki distribusi normal, atau menghindari adanya data yang tidak membentuk

distribusi normal karena merupakan pencilan data. Selain itu, model regresi yang baik adalah

yang terbebas dari masalah multikolinearitas. Selanjutnya, dilaksanakan uji heterokedasttisitas

untuk menghindari varian variabel pada model regresi yang tidak sama.

Uji validitas dilakukan dengan membandingkan r hitung dengan r tabel atau

membandingkan nilai p atau sig dengan level of significance (biasanya = 0.05). Jika r hitung

lebih besar dari r tabel atau nilai p atau sig < 0.05, maka pernyataan tersebut valid. Uji reliablitas

dilaksanakan dengan menggunakan analisis Cronbach’s Alpha (CA). Apabila nilai CA lebih dari

0,6 maka konstruk data dinyatakan reliabel (akurat).

Data berada dalam distribusi normal, bila disribusi residual mendekati distribusi normal

teoritis (bentuk lonceng). Gejala multikolinearitas terjadi bila nilai tolerance kurang dari 0.1 atau

VIF lebih dari 10. Data terhindar dari heterokedastisitas bila data tidak membentuk pola tertentu,

dan berpencar.

4.1.1. Pengukuran Reliabilitas Data

Uji reliabilitas adalah untuk mengukur kehandalan data yang telah didapat dilapangan

dengan model reliabilitas ini, apakah jawaban responden tetap konsisten dan stabilitas
nilai hasil skala yang dibuat yang kegunaannya untuk mengukur akurasi pengukuran

dan hasilnya. Untuk pengujian reliabilitas dari variable variable menggunakan model

Cronbachs Alpha. Uji signifikan dilakukan pada taraf alpha = 0,05. Dasar pengambilan

simpulan terkait instrument reliabilitas adalah :

 nilai alpha > (lebih besar) dari r-tabel, maka dinyatakan reliabel

 nilai alpha < (lebih kecil) dari r-tabel, maka dinyatakan tidak reliabel.

Adapun r-tabel 5%(100) adalah 0,195.

Adapun pengukuran reliabilitas terhadap variable penelitian adalah sebagai berikut :

a) Uji reliabilitas pada vaiable Safety Leadership

Tabel 4.12. Uji reliabilitas pada variable Safety Leadership


Cronbach’s Alpha Jumlah Pertanyaan

0,877 4

Tabel 4.12. Item-Total Statistics Pada Variabel Safety Leadership

Variabel Scale Mean Scale Corrected Item- Cronbach's


Safety if Item Variance if Total Correlation Alpha if Item
Leadership Deleted Item Deleted
Deleted
Pertanyaan 1 13.66 1.722 0.729 0.844
Pertanyaan 2 13.74 1.588 0.816 0.809
Pertanyaan 3 13.88 1.642 0.704 0.855
Pertanyaan 4 13.71 1.723 0.694 0.858

Pada table diatas menunjukkan alpha (0,887) lebih besar dari r-tabel 5%(100)

sebesar 0,195. Sehingga data kuisioner disimpulkan reliable.

b) Uji reliabilitas pada vaiable program kerja K3

Tabel 4.13. Uji reliabilitas pada variable program kerja K3


Cronbach’s Alpha Jumlah Pertanyaan
0,911 7

Tabel 4.14. Item-Total Statistics Pada Variabel Program Kerja K3

Variabel Scale Mean Scale Corrected Item- Cronbach's


Safety if Item Variance if Total Correlation Alpha if Item
Leadership Deleted Item Deleted
Deleted
Pertanyaan 1 26.76 6.568 0.708 0.900
Pertanyaan 2 26.78 6.416 0.768 0.894
Pertanyaan 3 26.94 6.360 0.737 0.897
Pertanyaan 4 26.93 6.369 0.641 0.909
Pertanyaan 5 26.90 6.273 0.810 0.889
Pertanyaan 6 26.96 6.140 0.803 0.889
Pertanyaan 7 27.07 6.571 0.662 0.904

Pada table 4.13 dan 4.14. diatas menunjukkan alpha (0,911) lebih besar dari r-

tabel 5%(100) sebesar 0,195. Sehingga data kuisioner disimpulkan reliable.

c) Uji reliabilitas pada vaiable Manajemen Risiko

Tabel 4.15. Uji reliabilitas pada variable Manajemen Risiko


Cronbach’s Alpha Jumlah Pertanyaan

0,920 4

Tabel 4.16. Item-Total Statistics Pada Variabel Manajemen Risiko

Variabel Scale Mean Scale Corrected Item- Cronbach's


Safety if Item Variance if Total Correlation Alpha if Item
Leadership Deleted Item Deleted
Deleted
Pertanyaan 1 13.40 2.121 0.734 0.924
Pertanyaan 2 13.41 1.982 0.856 0.883
Pertanyaan 3 13.40 1.919 0.866 0.879
Pertanyaan 4 13.40 2.081 0.812 0.898

Pada table 4.15 dan 4.16. diatas menunjukkan alpha (0,920) lebih besar dari r-

tabel 5%(100) sebesar 0,195. Sehingga data kuisioner disimpulkan reliable.

d) Uji reliabilitas pada vaiable Safety Performance

Tabel 4.17. Uji reliabilitas pada variable Safety Performance


Cronbach’s Alpha Jumlah Pertanyaan

0,724 2

Tabel 4.18. Item-Total Statistics Pada Variabel Safety Performance

Variabel Scale Mean Scale Corrected Item- Cronbach's


Safety if Item Variance if Total Correlation Alpha if Item
Leadership Deleted Item Deleted
Deleted
Pertanyaan 1 4.45 0.290 0.569 .
Pertanyaan 2 4.37 0.256 0.569 .

Pada table 4.17 dan 4.18. diatas menunjukkan alpha (0,724) lebih besar dari r-tabel

5%(100) sebesar 0,195. Sehingga data kuisioner disimpulkan reliable.

Tabel 4.20. Uji Reliabilitas


Variabel Alpha r-tabel 5%(100) Simpulan
X1_Safety Leadership 0,877 0.195 Reliabel
X2_program Kerja K3 0.911 0.195 Reliabel
X3_Manajemen Risiko 0,920 0.195 Reliabel
Y_Safety Performance 0,724 0.195 Reliabel

Hasil uji reliabilitas diperoleh nilai koefisien reliabilitas (alpha) kuisiener X1 sebesar

0,877, X2 sebesar 0,911, X3 sebesar 0.920, dan Y sebesar 0,724. Berdasarkan nilai

koefisien reliabilitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa semua kuisioner dalam


penelitian ini reliabel atau konsisten. Sehingga dapat digunakan sebagai instrument

penelitian.

4.1.2. Uji Asumsi klasik

Sebelum melakukan uji regresi berganda ada beberapa syarat terhadap yang harus

dilakukan yaitu:

a) Uji Normalitas.

b) Uji Heterokodastisitas dengan metode Gletser

Dasar pengambilan keputusan uji Heterokodastisitas dengan metode Gletser. Jika

nilai signifikansi (Sig) antara Variabel Independen dengan absolut residual lebih

dari 0,05, maka tidak terjadi terjadi masalah heterokodastisitas.

Tabel 4.25. Uji Heterokodastisitas dengan metode Gletser

Pada tabel 4.25. diatas nilai dari variable safety leadership 0,612, program kerja

K3 0,423 dan Manajemen Risiko 0,166, sehingga lebih besar dari 0.05. Sehingga

dapat disimpulkan tidak terjadi terjadi masalah heterokodastisitas.

Dari ke 5 uji asumsi klasik sudah terpenuhi persyaratannya, sehingga bisa dilanjutkan

ke proses uji linier berganda dari data yang dilakukan penelitian.


4.1.3. Uji Linier Berganda SPSS

A. Uji t

Tabel 4.26. Uji t dengan SPSS :

Persamaan Regresi :

Y = a + bX1 + bX2 + bX3……………………………. (4.1)

Y = 0,959 + 0,81 X1 + 0.63 X2 + 0,245 X3

A.1. Nilai Konstanta (a).

Konstanta (a) yaitu bilangan tetap atau konstan variable terikat, jika variable

bebas bernilai nol atau tidak dipengaruhi oleh variable bebas.

Dari data tabel diatas nilai konstans sebesar 0,959, artinya bahwa jika tidak ada

Safety Leadership, Program K3 dan Manajemen Risiko, maka nilai konsisten

Safety Leadership (Y) sebesar 0,959.

A.2. Nilai Regresi ( Uji t)

Konsep dasar uji t bertujuan untuk mengetahui ada atau tidaknya pengaruh parsial

(sendiri) yang diberikan variable bebas (X) terhadap variable terikat (Y).

Dasar pengambilan keputusan untuk uji t adalah :

 Jika nilai sig < 0,05, atau t hitung > t table, maka terdapat pengaruh

variable X terhadap variable Y.


 Jika nilai sig > 0,05, atau t hitung < t table, maka tidak terdapat pengaruh

variable X terhadap variable Y.

 Adapun untuk t table adalah seebagai berikut :

t table = t (α/2 ; n-k-1) ……………………………..…..(4.3)


t table = t (0,05/2 ; 100-3-1)
t table = t (0,025 ; 96)
t table = 1,988
Keterangan :

α adalah signifikansi 0,05, n adalah jumlah sample, dan k adalah jumla

variable X.

Tabel 4.27. Hasil uji t terhadap variable X dan Y


Variable Sig T hitung T tabel Keterangan
Safety Leadership (X1) 0,154 1,435 1,988 Valid
Program Kerja K3 (X2) 0.161 1,412 1,988 Valid
Manajemen Risiko 0.000 3,974 1,988 Valid
(X3)

Berdasarkan tabel 4.27 diatas, maka :

 Untuk variable Safety Leadership terhadap Safety Performance, Jika nilai sig

hitung (0,154) > 0,05, maka H1 ditolak. Jadi uji parsial tidak terdapat pengaruh

variable X1 terhadap terhadap variable Y.

 Untuk variable Program Kerja K3 terhadap Safety Performance, Jika nilai sig

hitung (0,161) > 0,05, maka maka H2 ditolak. Jadi uji parsial tidak terdapat

pengaruh variable X2 terhadap terhadap variable Y.


 Untuk variable Program Kerja K3 terhadap Safety Performance, Jika nilai sig

hitung (0,000) < 0,05, maka maka H3 diterima. Jadi uji parsial X3 terdapat

pengaruh variable X2 terhadap terhadap variable Y

B. Uji F

Konsep dasar uji regresi berganda / uji F bertujuan untuk mengetahui ada atau

tidaknya pengaruh secara bersama (simultan) yang diberikan variable bebas (X1,

X2, X3) terhadap variable terikat (Y).

Dasar pengambilan keputusan untuk uji F adalah :

 Jika nilai sig < 0,05, atau F hitung > F table, maka terdapat pengaruh

variable X secara bersama (simultan) terhadap variable Y.

 Jika nilai sig > 0,05, atau F hitung < F table, maka tidak terdapat pengaruh

variable X secara bersama (simultan) terhadap variable Y.

 Cara menghitung F tabel

F table = F (k ; n-k) ………………………………………(4.4)


t table = F (3 ; 100-3)
t table = t (3 ; 97)
t table = 2,70

Tabel 4.28. Uji F dengan SPSS


Pada tabel 4.28 diatas, menunjukkan nilai Sig F sebesar 0,000 lebih kecil dari 0,05

dan angka nilai F hitung 56,071 lebih besar dari F tabe (2,70), berarti berarti H4

diterima. Ada pengaruh secara simultan / bersama sama Safety Leadership (X1),

program Kerja K3 (X2), dan Manajemen Risiko (X3) terhadap Safety

Performance (Y)

C. Uji Koefisien Determinasi

Berfungsi untuk mengetahui berapa persen pengaruh yang diberikan variable X

secara simultan terhadap variable Y

Tabel 4.29. Koefisien Determinasi dengan SPSS

C.1. Nilai R.

Menurut Sugiyono, metodologi penelitian administrasi, 2009, interpretasi

koefisien adalah sbb :

 0.80 – 1.000 = tingkat hubungan sangat kuat


 0.60 – 0.799 = tingkat hubungan kuat
 0.40 – 0.599 = tingkat hubungan cukup kuat
 0.40 – 0.399 = tingkat hubungan rendah
 0.00 – 0.199 = tingkat hubungan sangat rendah
Dari data tabel 4.29. analisa diatas R sebesar 0.798, maka terdapat tingkat

hubungan kuat bebas (X) dengan variable terikat (Y). Hal ini berarti terdapat
hubungan yang sangat kuat antara Safety Leadership, Program K3, Manajemen

Risiko dengan Safety Performance.

C.2. Nilai R Sequare.

Nilai R Square pada tabel 4.29. diatas sebesar 0,637 menunjukkan bahwa

variable X dapat menjelaskan variable (Y) sebesar 63,7%, sedangkan sebesar

28,3% dijelaskan oleh faktor lain. Jadi variable Safety Leadership, program

Kerja K3, dan Manajemen Risiko memberikan pengaruh terhadap Safety

Performance sebesar 63,7%. Adapun sisanya 28,3% dipengaruhi oleh variable

yang tidak dijelaskan pada penelitian ini.

C.3. Standard Error Estimete (SEE)

Dari tabel 4.29 menunjukkan tingkat kesalahan regresi linier (SEE) sebesar

0,566. Semakin kecil angka SEE, maka regresi semakin baik. Jadi tingkat

kesalahan regresi linier masih baik.

Anda mungkin juga menyukai