PENDAHULUAN
Sumber: https://dataindonesia.id/tenaga-kerja/detail/ri-alami-265334-kasus-kecelakaan-
kerja-hingga-november-2022.
1
Budaya keselamatan (safety culture) perusahaan dianggap sebagai faktor
penyumbang kecelakaan oleh banyak investigasi kecelakaan industri (Shiney, 2014).
Istilah budaya keselamatan pertama kali digunakan setelah bencana Chernobyl pada
tahun 1986. Laporan investigasi oleh International Nuclear Safety Advisory Group
(INSAG) dari International Atomic Energy Agency (IAEA) menunjuk “budaya
keselamatan yang buruk” sebagai salah satu salah satu faktor penyebab kecelakaan
pembangkit listrik tenaga nuklir terburuk dalam sejarah.
Menurut Richter and Koch (2004), safety culture merupakan proses pembelajaran
dan berbagi makna, pengalaman dan pemahaman dari pekerjaan dan safety – sebagian
muncul dalam simbol-simbol – yang membimbing tindakan seseorang dalam
menghadapi risiko, kecelakaan dan upaya pencegahan. Sedangkan Cooper (2000)
menjelaskan culture merupakan hasil dari multiple goal yang mengarah kepada
interaksi antara manusia (psychological), pekerjaan (behavioral), dan organisasi
(situational); sementara safety culture merupakan suatu tingkat usaha yang dapat
diobservasi yang mana seluruh anggota organisasi mengarahkan perhatian dan tindakan
mereka kearah peningkatan safety dalam kesehariannya. Hale (2000) menjelaskan
bahwa safety culture sebagai kecenderungan dari sikap, keyakinan, dan persepsi yang
tersebar secara alami di dalam kelompok yang diwujudkan dalam aturan-aturan dan
nilai-nilai, yang terlihat dalam bagaimana mereka bertindak dalam kaitan terhadap
risiko dan sistem yang mengontrol risiko.
PT XYZ merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di bidang
pembangkitan listrik dengan beberapa unit kerja yang tersebar di seluruh Indonesia. PT
XYZ mengoperasikan lebih dari 20.000 MW pembangkit baik Pembangkit Listrik
Tenaga Uap (PLTU), Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG)/ Pembangkit Listrik
Tenaga Gas Uap (PLTGU), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik
Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). PT XYZ
memiliki potensi bahaya dan risiko dalam kegiatan operasionalnya seperti kebakaran,
ledakan, kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja dan pencemaran lingkungan.
PT XYZ memiliki target zero accident sebagai salah satu Key Performance
Indicator (KPI) yang ditetapkan oleh Pemegang Saham. Hal ini juga selaras dengan
target dari Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) yang ingin memastikan penyediaan tenaga listrik harus
memenuhi aspek keselamatan ketenagalistrikan. Ketentuan keselamatan
2
ketenagalistrikan tersebut bertujuan untuk memenuhi kondisi andal dan aman bagi
instalasi, aman dari bahaya bagi manusia dan makhluk hidup lainnya, dan ramah
lingkungan.
Sumber:https://www.esdm.go.id/id/berita-unit/direktorat-jenderalketenagalistrikan/
kementerian-esdm-penyediaan-listrik-harus-perhatikan-keselamatan-ketenagalistrikan.
Berdasarkan data kecelakaan kerja PT XYZ tahun 2018-2022 disajikan dalam
tabel sebagai berikut.
2018 2019 2020 2021 2022
Item Karyaw No Karyaw No Karyaw No Karyaw No Karyaw No
an n an n an n an n an n
Fatal 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0
ity
Loss 0 2 0 2 0 2 0 0 0 0
Time
Injur
y
Ceder N/A N/ 0 2 0 6 0 1 0 7
a A
Ringa
n
Sumber: Sustainability Report PT XYZ
Salah satu hal yang cukup menjadi perhatian adalah bahwa 91,67% kecelakaan
kerja terjadi pada non karyawan PT XYZ atau terjadi pada pekerja kontraktor atau
pihak ketiga yang sedang melakukan pekerjaan di PT XYZ.
Secara umum, pengelolaan K3 di PT XYZ dilakukan dengan mengacu sistem
manajemen K3 sesuai PP 50 Tahun 2012 dan ISO 45001. Dari acuan tersebut kemudian
dituangkan dalam zero accident risk control PT XYZ. Dalam zero accident risk control
tersebut, salah satu penyebab terjadinya accident dari sisi process adalah lemahnya
pengendalian risiko K3 kontraktor.
Untuk mengatasi lemahnya pengendalian risiko K3 kontraktor dan menekan
angka kecelakaan kerja khususnya pada pekerja kontraktor, salah satu langkah yang
dilakukan PT XYZ adalah menerapkan Contractor Safety Management System (CSMS)
sejak 9 Oktober 2019 dengan diterbitkannya Peraturan Direksi tentang Kebijakan
3
Penerapan CSMS PT XYZ. CSMS adalah sistem yang dikelola untuk memastikan
bahwa kontraktor yang bermitra dengan PT XYZ telah memiliki sistem manajemen
K3L dan telah memenuhi persyaratan K3L yang berlaku di PT XYZ, serta mampu
menerapkan persyaratan K3L dalam pekerjaan yang dilaksanakan.
CSMS dilaksanakan mulai dari tahap penilaian risiko (risk assessment),
prakualifikasi kontraktor (pre-qualification), pengadaan barang/jasa (selection),
kegiatan pra pelaksanaan pekerjaan (pre-job activity), pekerjaan sedang berlangsung
(work in progress) hingga evaluasi akhir dari penyelesaian pekerjaan (final evaluation).
Pengaruh implementasi CSMS pada PT XYZ mulai terlihat dari data kecelakaan
kerja mulai tahun 2020-2022 dimana sudah tidak terjadi lagi kecelakaan kerja yang
bersifat fatality. Pada tahun 2021-2022 bahkan kecelakaan kerja yang bersifat loss time
4
injury (cedera berat/sedang yang mengakibatkan hilangnya waktu kerja produktif) juga
tidak terjadi. Pada penelitian-penelitian sebelumnya tentang implementasi CSMS, telah
disebutkan beberapa pengaruh positif implementasi CSMS terhadap tingkat kecelakaan
kerja. Pada penelitian yang dilakukan oleh Amalina (2020) disebutkan bahwa
penerapan CSMS yang tepat pada perusahaan pertambangan batubara berhasil
menurunkan angka kecelakaan kerja pada tiga kontraktor utama. Pada penelitian lain
yang dilakukan Sari (2017) menyatakan bahwa perusahaan yang menerapkan CSMS
mampu mencegah dan mengendalikan bahaya yang ada di tempat kerja sehingga dapat
meminimalkan risiko kecelakaan kerja.
Implementasi CSMS merupakan bentuk intervensi terhadap safety culture
kontraktor pada aspek organisasi (situational) dimana CSMS bertujuan untuk
memastikan bahwa kontraktor yang bermitra dengan PT XYZ telah memiliki sistem
manajemen K3L yang merupakan poin penting pada aspek organisasi (situational).
Cooper menjelaskan bahwa fokus perbaikan/improvement pada aspek organisasi
(situational) 80% lebih berpengaruh terhadap safety culture dibanding aspek lain pada
safety culture. Untuk mengevaluasi hal tersebut, diperlukan penelitian lebih lanjut
sejauh mana implementasi CSMS mampu mempengaruhi safety culture dari kontraktor.
Selain itu diperlukan juga untuk melihat pengaruh antara safety culture pada kontraktor
setelah implementasi CSMS dengan safety performance. Ukuran safety performance
atau kinerja keselamatan pada umumnya dilihat terutama pada data kecelakaan
sebagaimana pada penelitian sebelumnya. Namun parameter lain terkait safety
performance seperti kepatuhan keselamatan dan partisipasi keselamatan belum dinilai
sebagai komponen kinerja keselamatan. Kepatuhan keselamatan mewakili perilaku
karyawan yaitu cara meningkatkan keselamatan dan kesehatan pribadi mereka.
Partisipasi keselamatan mewakili perilaku karyawan yaitu cara meningkatkan
keselamatan dan kesehatan rekan kerja serta mendukung tujuan dan sasaran organisasi.
Hal ini penting untuk memastikan target zero accident dari PT XYZ tercapai.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh implementasi CSMS terhadap
budaya keselamatan kerja kontraktor dan kinerja keselamatannya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
4) Menurut Suparyadi (2015) Keselamatan kerja dapat diartikan sebagai suatu
kondisi atau keadaan dimana karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya
dengan terbebas dari kemungkinan terjadinya kecelakaan sehingga
karyawan tidak merasa khawatir akan mengalami kecelakaan.
b. Tujuan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Tujuan utama pelaksanaan keselamatan kesehatan kerja ada dua pertama,
menciptakan lingkungan kerja yang selamat dengan melakukan penilaian secara
kualitatif dan kuantitatif. Kedua menciptakan kondisi yang sehat bagi karyawan,
keluarga dan masyarakat sekitarnya melalui upaya promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif. Menurut Mangkunegara (2017), tujuan keselamatan dan
kesehatan kerja ialah sebagai berikut:
1) Agar setiap pegawai mendapat jaminan keselamatan dan kesehatan kerja baik
secara fisik, sosial dan psikologis.
2) Agar terhindar dari gangguan kesehatan yang disebabkan oleh lingkungan
dan kondisi kerja
3) Agar adanya jaminan atas pemeliharaan dan peningkatan kesehatan pegawai.
4) Agara setiap pegawai merasa aman dan terlindungi dalam bekerja.
5) Agar setiap perlengkapan dan peralatan kerja digunakan denga
sebaikbaiknya.
6) Agar meningkatkan kegairahan, keserasian kerja, dan partisipasi kerja.
7) Agar semua hasil produksi dipeliahara keamanannya.
Tujuan utama penerapan keselamatan dan kesehatan kerja berdasarkan
undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja yaitu:
1) Melindungi dan menjamin keselamatan setiap tenaga kerja dan orang lain di
tempat kerja.
2) Menjamin setiap sumber produksi dapat digunakan secara aman dan efisien.
3) Meningkatkan kesejahtraan dan produktivitas nasional.
Menurut (Kasmir 2016a) tujuan dari keselamatan dan kesehatan kerja
adalah sebagai berikut :
1. Membuat karyawan merasa aman.
2. Agar karyawan berhati – hati dalam bekerja.
3. Mempelancar proses kerja.
4. Tidak menganggu proses kerja.
10
5. Menghindari kecelakaan.
6. Mematuhi aturan dan rambu –rambu kerja.
7. Menekan biaya.
8. Menghindari tuntutan pihak – pihak tertentu
c. Usaha-Usaha Untuk Meningkatkan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
Menurut Mangkunegara (2017), usaha-usaha yang diperlukan untuk
meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja yaitu sebagai berikut:
1) Memberikan peralatan perlindungan diri untuk pegawaai yang bekerja pada
lingkungan yang menggunakan peralatan yang berbahaya.
2) Menciptakan suasana kerja yang menggairahkan semangat kerja pegawai.
3) Mengatur suhu, kelembaban, kebersihan udara, penggunaan warna ruang
kerja, penerangan yang cukup dan mencegah kebisingan.
4) Mencegah dan mengurangi kecelakaan kebakaran dan peledakan.
5) Memelihara kebersihan dan ketertiban, serta keserasian lingkungan kerja.
6) Mencegah dan memberikan perawatan terhadap timbulnya penyakit.
d. Peraturan Yang Terkait Tentang Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan hal yang sangat penting dan
harus mendapatkan perhatian yang serius. Di Indonesia terdapat perhatian serius
terhadap keselamatan dan kesehatan kerja ini dibuktikan dengan diterbitkannya
aturan terkait keselamatan dan ksehatan kerja.
1) Undang-undang yang terkait dengan K3
a) Undang-undang No 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja.
b) Undang-undang RI No 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan.
c) Undang-undang dasar 1945 pasal 5, 20 dan 27
d) Undang-undang No 23 tahun 1992 tentang kesehatan
2) Peraturan pemerintah terkait K3
a) Peraturan pemerintah No 7 tahun 1973 tentang pengawasan atas
peredaran, penyimpanan dan peredaran pestisida.
b) Peraturan pemerintah No 19 tahun 1973 tentang pengaturan dan
pengawasan keselamatan kerja di bidang pertambanagan
c) Peraturan pemerintah No 11 tahun 1979 tentang keselamatan kerja pada
pemurnian dan pengolahan minyak dan gas bumi.
11
d) Peraturan pemerintah No 50 tahun 2012 tentang penerapan sistem
manajemen keselamatan kerja.
3) Peraturan menteri terkait K3
a) Permenakertrans RI No 3 Tahun 197 tentang penunjukan dan wewenang
serta kewajiban pegawai pengawas keselamatan dan kesehatan kerja dan
ahli keselamatan kerja
b) Permenakertrans RI No 2 Tahun 1980 tentang pemeriksaan kesehatan
tenaga kerja dalam penyelenggaraan kesehatan.
c) Permenakertrans RI No 4 Tahun 1980 tentang syarat-syarat pemasangan
dan pemeliharaan alat pemadam api ringan
d) Permenakertrans RI No 1 Tahun1981 tentang kewajiban melapor penyakit
akibat kerja.
e. Indikator Yang Mempengaruhi Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Menurut Yuni, dkk. (2018) menyatakan bahwa budaya keselamatan dan
kesehatan kerja dapat terbentuk dari beberapa indikator, yaitu sebagai berikut:
1) Komitmen manager terhadap pekerja.
2) Peraturan dan prosedur K3 ialah aturan dan petunjuk yang ditetapkan dalam
menjalankan manajemen K3.
3) Komunikasi Pekerja ialah adanya penyampaian informasi atau pesan.
4) Kompetensi pekerja, ialah kemampuan yang di miliki pekerja.
5) Lingkungan kerja
6) Keterlibatan pekerja dalam K3
2. Safety Culture
a. Pengertian Safety Culture
Istilah safety culture pertama kali digunakan setelah peristiwa ledakan
nuklir di Chernobyl pada 1986. Investigasi International Nuclear Safety
Advisory Group (INSAG) mengenai ledakan tersebut menunjukan bahwa
kecelakaan tersebut disebabkan oleh buruknya safety culture. Terdapat korelasi
penting antara elemen manusia dan organisasi dalam pencegahan kecelakaan
kerja. Penelitian mengenai safety culture semakin banyak dilakuan, terutama
pada industri dengan tingkat risiko kecelakaan yang tinggi yang meliputi
industri nuklir, petrokimia dan transportasi massal (EU-OSHA, 2011).
12
Begitu banyaknya definisi dari safety culture, bisa dimaklumi dikarenakan
banyaknya pendekatan-pendekatan dari berbagai disiplin ilmu yang mencoba
untuk memahami konsep safety culture. Beberapa diantaranya mencoba
mengembangkan konsep tersebut dari sudut pandang manajemen, enginering,
sosiologi, antropologi dan psikologi. Sehingga begitu banyak pengertian yang
muncul dalam mendefinisikan safety culture. Pada dasarnya, pengertian budaya
keselamatan hampir sama dengan budaya organisasi secara umum, yaitu: nilai-
nilai (values) yang dianut bersama antar anggota organisasi tentang apa yang
penting, keyakinan (beliefs) tentang bagaimana melakukan sesuatu di dalam
organisasi, dan interaksi nilai dan keyakinan tersebut dengan unit kerja dan
struktur serta sistem organisasi, yang secara bersama-sama menghasilkan norma
perilaku dalam organisasi Hanya saja, safety culture lebih spesifik terhadap
keselamatan (untuk mempromosikan keselamatan) serta menekankan peran
interpersonal, unit kerja, dan kontribusi organisasi dalam membentuk asumsi-
asumsi dasar pada individu dalam organisasi tersebut yang selalu berkembang
sepanjang waktu menuju kepada arah keselamatan (safety). Sementara Ostrom
mendefinisikan safety culture sebagai suatu konsep mengenai sikap dan
kepercayaan yang dimiliki organisasi, yang bermanifestasi dalam tindakan,
kebijakan dan prosedur, yang berpengaruh terhadap safety performance .
Reason berpendapat bahwa safety culture adalah terdiri lima sub-kultur yang
saling berhubungan; budaya komunikasi (informed culture), budaya
pembelajaran (learning culture), budaya pelaporan (reporting culture), budaya
itu sendiri (just culture) dan budaya fleksibel (flexible culture) Untuk lebih
jelasnya beberapa definisi mengenai safety culture dalam penelitian Dihartawan
(2018) sebagai berikut :
1) Cox and Cox (1991) menyebutkan bahwa safety culture merupakan refleksi
dari perilaku, keyakinan, persepsi dan nilai-nilai yang tersebar diantara
pekerja dalam kaitannya terhadap safety
2) International Safety Advisory Group (1991) menyebutkan bahwa safety
culture merupakan perpaduan antara karakter dan perilaku didalam organisasi
dan individu-individu yang terbentuk menjadi prioritas utama, dimana
menjadi issue safety yang mendapat perhatian penting pada fasilitas nuklir
13
3) Pidgeon (1991) menyebutkan bahwa sekumpulan keyakinan, norma,
perilaku, aturan dan penerapan sosial maupun tehnik dimana sangat
memperhatikan upaya meminimalisasikan paparan pada pekerja, manajer,
kostumer dan anggota masyarakat terhadap kondisi bahaya dan injuri
4) Ostrom et al. (1993) menyebutkan bahwa suatu konsep dimana keyakinan
dan perilaku organisasi, tercermin di dalam tindakan, kebijakan, dan aturan-
aturan, yang berpengaruh terhadap safety performa
5) Geller (1994) Di dalam “total safety culture” (TSC) menyebutkan bahwa
setiap orang merasa bertanggung jawab terhadap safety dan berusaha
mewujudkan itu dalam kesehariannya
6) Lee (1996) menyebutkan bahwa safety culture organisasi merupakan hasil
dari nilai-nilai, sikap, persepsi, kompetensi dan pola perilaku baik pribadi
dan kelompok yang condong kepada komitmen dan kemampuan dari
manajemen health dan safety suatu organisasi
7) Hale (2000) menyebutkan bahwa kecenderungan dari sikap, keyakinan, dan
persepsi yang tersebar secara alami didalam kelompok yang diwujudkan
dalam aturan-aturan dan nilainilai, yang terlihat dalam bagaimana mereka
bertindak dalam kaitan terhadap resiko dan sistem yang mengontrol resiko
8) Glendon and Stanton (2000) menyebutkan bahwa sikap kompromi, perilaku-
perilaku, aturan-aturan dan nilai-nilai, tanggung jawab pribadi serta
kelengkapan sumber daya manusia seperti pelatihan dan pengembangan
9) Guldenmund (2000) Merupakan aspek dari budaya organisasi yang akan
berpengaruh terhadap sikap dan perilaku yang berkaitan terhadap
peningkatan dan penurunan resiko1
10) Cooper (2000) Budaya merupakan hasil dari multiple goal yang mengarah
kepada interaksi antara manusia (psychological), pekerjaan (behavioral), dan
organisasi (situational); sementara safety culture merupakan suatu tingkat
usaha yang dapat diobservasi yang mana seluruh anggota organisasi
mengarahkan perhatian dan tindakan mereka kearah peningkatan safety
dalam kesehariannya
11) Richter and Koch (2004) Proses pembelajaran dan berbagi makna,
pengalaman dan pemahaman dari pekerjaan dan safety – sebagian muncul
14
dalam symbol-simbol – yang membimbing tindakan seseorang dalam
menghadapi resiko, kecelakaan dan upaya pencegahan
Safety culture menunjukkan tipe budaya oganisasi, dimana Safety culture
merupakan suatu nilai prioritas yang dianggap penting sebagai suatu kesuksesan
organisasi untuk jangka panjang. Bertujuan untuk memperkecil terjadinya
kecelakaan kerja yang dapat berdampak pada pekerja, masyarakat dan
lingkungan masyarakat secara umum. Terdapat 3 hal penting dalam membangun
Budaya K3:
1) Adanya tata nilai keselamatan.
2) Adanya pola perilaku yang aman.
3) Keselamatan adalah tanggung jawab semua orang dalam organiasasi.
b. Fungsi Safety Culture
1) Meminimalkan kemungkinan kecelakaan akibat kesalahan yang dilakukan
individu.
2) Meningkatkan kesadaran akan bahaya jika melakukan kesalahan dalam
bertindak dan berperilaku.
3) Mendorong pekerja untuk menjalani setiap prosedur dalam semua tahap
pekerjaan
c. Indikator Safety Culture
Menurut Reason, indikator budaya keselamatan terdiri atas :
1) Budaya pelaporan
a) Kedisiplinan perawat dalam pelaporan
b) Kerahasiaan identifikasi pasien
c) Adanya sanksi pada kesalahan pelaporan
d) Umpak balik laporan dapat diakses dengan cepat, berguna, dan dapat di
pahami
e) Kemudahan dalam membuat pelaporan
2) Budaya adil
Persyaratan untuk merekayasa budaya yang adil ialah seperangkat prinsip
yang disepakati untuk menarik garis antara tindakan yang dapat diterima dan
tidak dapat diterima.
a) Niat yang menentukan tujuan langsung dan di mana tindakan adil ini
terkait tujuan tidak sepenuhnya otomatis atau kebiasaan perilaku adil
15
yang di perlukan untuk mencapainya.
b) Tindakan yang di picu oleh niat ini yang mungkin atau mungkin tidak
sesuai dengan rencana tindakan.
c) Konsekuensi dari budaya adil ini yang mungkin atau mungkin tidak
mencapai tujuan yang diinginkan. Budaya adil bisa sukses penuh atau
tidak berhasil dalam hal ini.
3) Budaya fleksibel
Fleksibelitas organisasi ialah mempunyai budaya yang mampu beradaptasi
secara efektif terhadap tuntutan yang berubah. Fleksibelitas adalah salah satu
sifat yang menentukan
4) Budaya Belajar
Budaya belajar adalah yang paling mudah untuk di rekayasa tetapi yang
paling sulit untuk dibuat. Sebagian besar unsur penyusunannya sudah
dideskripsikan.
a) Mengamati (memperhatikan, mengindahkan, melacak)
b) Merefleksikan (menganalisis, menafsirkan, mendiagnosis)
c) Menciptakan (membayangkan, merancang, merencanakan)
d) Bertindak (melaksanakan, melakukan, menguji)
(Reason, 1997).
Keempat komponen tersebut mengidentifikasikan nilai-nilai kepercayaan
dan perilaku yang ada dalam organisasi dengan budaya informasi dimana insiden
dilaporkan untuk dilakukan tindakan untuk meningkatkan keamanan pasien.
Organisasi yang aman tergantung pada kesediaan karyawan untuk melaporkan
kejadian cedera. Kerelaan karyawan dalam melaporkan insiden merupakn bentuk
kepercayaan bahwa manajemen akan memberikan support dan penghargaan
terhadap pelaporan insiden dan tindakan disiplin diambil berdasarkan akibat dari
rsiko. Kerelaan karyawan untuk melaporkan insiden kepada atasan dengan
bersikap tenang ketika menyampaikan informasi diberi penghargaan. Terpenting,
kerelaan karyawan untuk melaporkan insiden karena kepercayaan bahwa
organisasi akan melakukan analisa informasi insiden untuk kemudian dilakukan
perbaikan sistem, merupakan pelaksanaan budaya pembelanjaran. Interaksi
antara keempat komponen tersebut akan mewujudkan budaya keselamatan yang
kuat.
16
3. Safety Management
a. Pengertian Contractor Safety Management System (CSMS)
Contractor Safety Management System (CSMS) atau Sistem Manajemen K3
Kontraktor merupakan serangkaian kegiatan atau program 9 kerja yang menjadi
bagian dalam sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja. Dimana
seluruh kegiatan mengenai kesehatan, keselamatan bagi industri, pekerja dan
lingkungan kerja diatur dalam suatu rangkaian yang saling terikat.
1) Sistem Menurut Azhar Susanto (2013:22) dalam bukunya berjudul Sistem
Informasi Akutansi, sistem adalah kumpulan atau groub dari sub sistem atau
bagian atau komponen apapun baik fisik ataupun non fisik yang saling
berhubungan satu sama lain dan bekerja sama secara harmonis untuk
mencapai satu tujuan tertentu.
2) Manajemen Manajemen menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)
adalah penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran atau
pimpinan yang bertanggung jawab atas jalannya perusahaan dan organisasi.
Menurut Engkos Kosasih dan Prof. Capt. Hananto Soewedo dalam bukunya
yang berjudul Manajemen Perusahaan Pelayaran, manajemen adalah
pengarahan menggerakkan sekelompok orang dan fasilitas dalam usaha
untuk mencapai tujuan tertentu. (2007:1)
3) Kesehatan dan Keselamatan Kerja Kesehatan dan Keselamatan Kerja
merupakan upaya dari perusahaan berupa tanggung jawab sosial kepada para
pekerja serta 10 upaya agar kegiatan produksi sebuah perusahaan tetap
terjamin keberlangsungannya dan usaha untuk meningkatkan produktifitas
kerja karyawan. Kesehatan dan keselamatan kerja sebagai suatu program
didasari pendekatan ilmiah dalam upaya mencegah atau memperkecil
terjadinya bahaya (hazard) dan risiko (risk) terjadinya penyakit dan
kecelakaan, maupun kerugian kerugian lainnya yang mungkin terjadi. Jadi
dapat dikatakan bahwa kesehatan dan keselamatan kerja adalah suatu
pendekatan ilmiah dan praktis dalam mengatasi potensi bahaya dan risiko
kecelakaan dan keselamatan yang terjadi. Menurut Cecep Dani Sucipto
dalam buku Kesehatan dan Keselamatan Kerja (2014), “keselamatan dan
kesehatan kerja adalah usaha dan upaya untuk menciptakan perlindungan dan
17
keamanan dari risiko kecelakaan dan bahaya baik fisik, mental maupun
emosional terhadap pekerja, perusahaan, masyarakat dan lingkungan. Jadi
berbicara mengenai keselamatan dan kesehatan kerja tidak selalu
membicarakan masalah keamanan fisik dari para pekerja, tetapi menyangkut
berbagai unsur dan pihak.”
4) Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Berdasarkan beberapa sumber Sistem Manajemen Kesehatan dan
Keselamatan Kerja memiliki makna yang sama. Berikut penjelasannya:
a) Menurut Permenkes, Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan
Kerja adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang
meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan,
prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan,
penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan
keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang
berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang
aman, efisien dan efektif (Permen 05/MEN/1996)
b) Menurut OHSAS (Occupational Health and Safety Assesment Series)
Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja ialah sebagian dari
sistem manajemen keseluruhan yang memudahkan pengelolaan resiko K3
yang terkait dengan kegiatan bisnis organisasi. Hal ini termasuk struktur
organisasi, perencanaan kerja, tanggung jawab, praktek, prosedur, proses,
tinjauan dan pemeliharaan kebijakan K3 organisasi.
5) Kontraktor
Menurut Tony Setiawan konraktor adalah seseorang atau sekelompok
individu yang melakukan kerja sama atau menandatangani kontrak dengan
sebuah organisasi atau seorang individu lainnya (pemilik) untuk melakukan
suatu pekerjaan seperti kontruksi, renovasi atau pembongkaran suatu gedung,
jalanan atau struktur bangunan fisik lainnya. (2010:13) Jadi Contractor
Safety Management System (CSMS) adalah suatu sistem manajemen untuk
mengelola kontraktor dan sub kontraktor yang bekerja dilingkungan
perusahaan agar memperhatikan aspek K3 dan menjaga pelaksanaan tersebut
didalam proses kerja agar terhindar dari potensi kecelakaan dan risiko yang
dapat merugikan perusahaan.
18
b. Fungsi Contractor Safety Management System (CSMS)
Adapun fungsi dari dibutuhkannya CSMS disini adalah:
1) Meningkatkan kinerja K3 di tempat kerja dengan membantu perusahaan dan
kontraktor dalam administrasi yang efektif untuk konraktor
2) Membantu kontraktor dalam administrasi program K3 yang konsisten sesuai
dengan tujuan dan target perusahaan tersebut
3) Memfasilitasi antara kontraktor dengan orang-orang perusahaan, kontraktor
dan sub kontraktor dalam pengkomunikasian terkait pekerjaan.
c. Tahapan Contractor Safety Management System (CSMS)
Pada umumnya penerapan program CSMS memiliki 6 tahapan yang
meliputi:
1) Penilaian Resiko
Penilaian risiko dilakukan menggunakan metode Risk Assessment Matrix
Planner project melakukan penilaian risiko atas project yang disiapkannya.
Planner dapat meminta bantuan dari fungsi K3 untuk melakukan penilaian
risiko. Planner juga dapat menggunakan data 13 bank tentang pekerjaan-
pekerjaan yang dinilai berisiko yang tersedia di bagian Contract
Administration. Penilaian risiko dari pekerjaan harus dimasukkan dalam
scope of work yang dibuat oleh planner. Selain penilaian risiko pekerjaan,
Planner juga memasukkan persyaratan HSE Plan dalam kerangka acuan kerja
atau scope of work yang dibuat.
2) Pra Kualifikasi
Setelah mendapatkan kerangka acuan kerja dari planner, Bagian Contract
Administration mengundang kontraktor-kontraktor sesuai list yang telah
melalui tahapan Pra kualifikasi CSMS, dimana daftar kontraktor lulus pra
kualifikasi tersebut telah melalui pra kualifikasi yang dilakukan tim CSMS
pada saat awal implementasi CSMS. Kontraktor diluar list dapat juga
diundang mengikuti proses tender, tetapi harus melalui tahap pra kualifikasi
CSMS terlebih dahulu dan dinyatakan lulus CSMS. Proses pra kualifikasi
dilakukan dengan cara kontraktor mengisi jawaban dan melengkapi bukti-
bukti program dan pelaksanaannya, lalu dokumen tersebut dikirim ke bagian
Contract Administration. Bagian Contract Administration akan memberi
score dari dokumen tersebut menggunakan kriteria penilaian pra kualifikasi.
19
Jika secara dokumen dinyatakan lulus maka jika dianggap perlu akan
dilakukan verifikasi lapangan terhadap kontraktor bersangkutan.
3) Seleksi
Proses pengadaan dilakukan dengan metode pelelangan dan pemilihan
langsung. Setelah diperoleh minimal 5 kontraktor yang lulus tahapan
prakualifikasi, maka kontraktor harus memasukkan dokumen penawaran
yang dilengkapi dengan HSE Plan. HSE Plan akan menjadi salah satu bobot
penilaian dalam menentukan pemenang tender.
4) Pra Pelaksanaan
Pekerjaan Setelah penandatanganan kontrak, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah pra pelaksanaan pekerjaan. Kontraktor belum diizinkan
melaksanakan pekerjaan jika hasil evaluasi pra pelaksaan pekerjaan belum
memenuhi persyaratan.
5) Pelaksanaan Pekerjaan Selama pelaksanaan pekerjaan, bagian atau fungsi
pelaksana pekerjaan dibantu fungsi K3 harus melakukan pengawasan dan
penilaian sementara secara berkala terhadap HSE Plan yang telah disepakati,
meskipun kontraktor telah lolos prakualifikasi dan telah melaksanakan
persiapan pekerjaan dengan sangat baik
6) Penilaian Akhir
Pada akhir kontrak, kontraktor wajib menyerahkan semua laporan kegiatan
yang berhubungan dengan aspek K3 kepada pengawas pelaksana pekerjaan,
selanjutnya pengawas pelaksana pekerjaan dapat memberikan masukan dari
bagian safety untuk ikut memberikan evaluasi terhadap kinerja aspek K3 dari
kontraktor tersebut. Penghargaan (reward) diberikan kepada kontraktor yang
kinerjanya baik
4. Metode Kualitatif dan Uji Validitas
a. Pengertian Validitas dan Reliabilitas Data Penelitian Kualitatif
Proses penelitian membutuhkan sebuah alat ukur yang tepat dan benar
atau disebut dengan validitas. Validitas adalah instrument atau alat untuk
mengukur kebenaran dalam proses penelitian. Alat ukur yang dipergunakan
untuk melaksanakan penelitian harus standar dan bisa dipakai sebagai panduan
dalam pengukuran data yang akan diteliti. Bila skala pengukuran tidak valid
20
maka tidak bermanfaat bagi peneliti karena tidak mengukur atau melakukan apa
yang seharusnya dilakukan (Kuncoro, 2013).
Data dikatakan valid, apabila data yang dilaporkan sama dengan hasil
data yang diperoleh oleh peneliti. Validitas data pada penelitian kualitatif
merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian
dengan daya yang dapat dilaporkan peneliti. Menurut Creswell dan Miller
Validitas didasarkan pada kepastian apakah hasil penelitian sudah akurat dari
sudut pandang peneliti, partisipan, atau pembaca secara umum (Creshwell,
2013).
Validitas didasarkan pada kepastian apakah hasil penelitian sudah akurat
dari sudut pandang peneliti, partisipan, atau pembaca secara umum (Creshwell,
2013). Terdapat dua standar validitas yaitu validitas internal dan validitas
eksternal. Validitas internal berkaitan dengan seberapa jauh suatu alat ukur
berhasil mencerminkan obyek yang akan diukur pada suatu penelitian tertentu.
Sedangakan validitas eksternal lebih terkait dengan keberhasilan suatu alat ukur
untuk diaplikasikan pada penelitian yang berbeda. Reliabilitas adalah
kehandalan/ketepatan sebuah alat ukur/instrument dalam mengukur sebuah
objek. Jika alat ukur dipergunakan dua (2) kali atau lebih untuk mengukur
fenomena yang sama dan memperoleh hasil yang konsisten, maka alat yang
dipakai dikatakan reliabel. Dengan bahasa yang mudah dipahami reliabilitas
adalah konsistensi sebuah alat ukur dalam mengukur fenomena yang sama.
Susan Stainback (1998) mengemukakan bahwa “reliabilty is often
defined as the consistency and stability of data or findings. From a positivistic
prespective, reliability typically is considered to be synonymous with the
consistency of data produced by observations made by different researchers (e.g
test retest), or by spilitting a data set in two parts (spilthalf)”
5. Metode 5W + 1 H
Analisis 5W+1H merupakan salah satu metode strategis yang digunakan
dalam sebuah perencanaan di suatu manajemen. 5W+1H itu sendiri ialah meliputi:
a. What : Apa?
Analsis ini membahas tentang apa yang akan dibuat, direncanakan, dilakukan,
dan hal lainnya seperti mengenai dana, SDM, serta sarana dan prasarana apa
saja yang harus disiapkan.
b. Where : Di mana?
Berbicara mengenai where, maka yang dipertimbangkan adalah tempat atau
lingkungan di mana kita akan melakukan/menerapkan sebuah perencanaan.
c. When : Kapan?
Titik fokus dari when ialah mengenai waktu, kapan kita akan melakukannya
dengan mencari waktu yang paling tepat, serta sejauh mana kemampuan kita
untuk mengelola dan mengatur waktu.
d. Who : Siapa?
Who di sini meliputi menganalisis siapa yang akan melakukannya, termasuk
kebutuhan tenaga kerja baik kuantitatif maupun kualitatif, pola pembinaan
karier, kebijaksanaan di dalam pengolahan dan pengkajian, serta metode dan
teknik tentang pengadaan tenaga kerja yang akan dilaksanakan.
e. Why : Mengapa?
Analsis why meliputi sebab atau alasan yang tepat, mengapa kita harus
mengadakan/ melakukan suatu kegiatan.
f. How : Bagaimana?
27
Bagaimana di sini ialah terkait sejauh mana cara yang kita lakukan untuk
mengelola, mempertahankan dan meningkatkan kualitas maupun kuantitas dari
suatu proses (Budiastuti & Bandur, 2018)
29
3. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ratna Muliawati, Nur Sefa Arief Hermawan,
dan Riko Adi Sunaryo dengan judul “Analisi Implementasi Contractor Safety
Management System (CSMS) Pada Tahap Pelaksanaan Pekerjaan Proyek Kapal
Tanker Di PT. Daya Radar Utama Unit Lampung Tahun 2019” menunjukkan bahwa
Kontraktor memainkan peran penting dalam mendukung operasi perusahaan.
Namun, kontraktor lebih rentan terhadap kecelakaan kerja karena mereka langsung
melakukan kegiatan kerja. Sistem Manajemen Keselamatan Kontraktor (CSMS)
adalah sistem manajemen untuk mengelola kontraktor yang bekerja di dalam PT.
Pertamina. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis implementasi
Sistem Manajemen Keselamatan Kontraktor (CSMS) pada tahap pelaksanaan proyek
Tanker di PT. Unit Daya Radar Utama Lampung pada tahun 2019. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan triangulasi untuk memahami fenomena
implementasi CSMS. Informan penelitian ini terdiri dari 1 orang dari HSE PT.
Pertamina dan masing-masing 1 Manajer Umum Produksi, 1 orang Koordinator
HSE, 1 orang Manajer Proyek, 2 Pekerja PT Lampung Unit DRU. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa implementasi CSMS pada Tahap Pra Kerja yang dibagi
menjadi 6, yaitu Rapat PreJob, Rencana HSE dan Induksi HSE. Kemudian fase
Pekerjaan Berkelanjutan yang dibagi menjadi 5 kegiatan, yaitu Pemeriksaan Harian,
Kunjungan Manajemen HSE, Audit, Kontraktor Rapat Keselamatan, dan Rapat
Kotak Alat belum dilakukan secara maksimal oleh PT. Lampung Unit DRU.
Disarankan kepada PT. Daya Radar Utama untuk mendukung keuangan, sumber
daya manusia dan komunikasi di bidang HSE untuk implementasi CSMS pada tahap
implementasi kerja sehingga PT DRU Unit Lampung dapat mewujudkan semua
program HSE dengan baik.
4. Pada penelitian yang dilakukan oleh Zainul Abidin Suaery, Bina Kurniawan dan
Ekawati (2016) dengan judul “Analisis Implementasi Contractor Safety
Management System (CSMS) Pada Tahap Persiapan Kerja Di Coca Cola Amatil
Indonesia (CCAI) Semarang” menunjukkan bahwa Sistem Manajemen Keselamatan
Kontraktor (CSMS) adalah sistem untukpengelolaan kesehatan dan keselamatan
kerja (K3) kontraktor di lokasibisnis. Prestasi kerja oleh kontraktor mempunyai tiga
tingkatan kategorikategori yaitu kategori rendah, kategori sedang, dan kategori
tinggi. BerdasarkanData kecelakaan di Coca Cola Amatil Indonesia (CCAI), ada
empat korban jiwaInsiden ini tercatat pada tahun 2013 dan tiga insiden fatal terjadi
30
pada tahun 2014 oleh kontraktor. Implementasi CSMS di CCAI masih
adaketidaksesuaian dalam pelaksanaannya. Khususnya pada persyaratan
K3kepatuhan oleh kontraktor. Pemenuhan persyaratan K3 oleh kontraktorharus
diselesaikan pada tahap pra-kerja. Penerapan CSMS pada tahap prejob dapat
dipengaruhi oleh variabel-variabel seperti struktural birokrasi,komunikasi, sumber
daya, dan disposisi pelaksana. Tujuan dariPenelitian ini bertujuan untuk
menganalisis implementasi CSMS pada tahap pra kerja diCCAISemarang. Penelitian
ini merupakan penelitian deskriptif dengan kualitatifPendekatannya dilakukan
dengan wawancara mendalam. Subyek penelitian ini terdiriterdiri dari dua orang
informan utama dan tiga orang informan triangulasi. Hasilmenunjukkan sebagian
besar implementasi CSMS pada fase pra-kerja adalahmengalami kemajuan dengan
baik. Dapat ditunjukkan dari adanya tata cara pengelolaannyakejelasan komunikasi
dalam setiap acara, dan dispotasi CCAImanajemen yang mendukung penuh
implementasi CSMS. Tapi masih di sanaterdapat ketidaksesuaian sistem pemenuhan
persyaratan dokumen olehkontraktor. Tidak ada perbedaan bentuk/penerapan
persyaratandokumen kepatuhan untuk semua kontraktor. Dimana digeneralisasikan
untuk semuakontraktor. perlu dibedakan bentuk/penerapan persyaratannya dokumen
kepatuhan untuk setiap kontraktor.
5. Pada penelitian yang dilakukan oleh Kusuma Damayanti Santoso, Ida Wahyuni, dan
Bina Kurniawan (2015) dengan judul “Analisis Implementasi Contractor Safety
Management System (CSMS) Terhadap Pekerjaan Berisiko Tinggi di PT Pertamina
(Persero) Refinery Unit IV Cilacap” menunjukkan bahwa Contractor Safety
Management System (CSMS) adalah sistem yang mengelola keselamatan kerja
kontraktor di lokasi usaha. Pekerjaan yang dilelang kepada kontraktor mempunyai
tiga kategori risiko yaitu kategori rendah, kategori sedang, dan kategori tinggi. Pada
tahun 2011 dan 2013, PT Pertamina (Persero) Refinery Unit IV Cilacap telah terjadi
kecelakaan pada pekerjaan berisiko tinggi yang mengakibatkan kematian. Dalam
penerapan CSMS di PT Pertamina (Persero) Refinery Unit IV Cilacap pernah terjadi
ketidaksesuaian dengan pedoman CSMS yaitu kontraktor meminjam APD milik PT
Pertamina (Persero) Refinery Unit IV Cilacap. Sedangkan dalam tahap
prakualifikasi sudah ada kesepakatan pihak kontraktor akan menyediakan APD
dalam pekerjaan apa pun. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis penerapan
CSMS pada pekerjaan berisiko tinggi sesuai dengan pedoman CSMS PT Pertamina
31
(Persero) Refinery Unit IV Cilacap. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif
kualitatif dengan metode analisis yang dilakukan melalui wawancara mendalam dan
observasi lapangan. Subyek penelitian ini terdiri dari 4 informan utama dan 2
informan triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar penerapan CSMS
pada pekerjaan berisiko tinggi sudah sesuai dengan pedoman CSMS, namun tidak
semua pekerjaan dinilai risikonya, materi kick off meeting tidak lengkap, orientasi
lokasi kerja hanya pada lokasi tertentu, terdapat tindakan tidak aman dan kondisi
tidak aman, belum ada komunikasi mengenai evaluasi akhir. Diskusi perlu dilakukan
setelah pekerjaan selesai.
PT. XYZ
Sistem Manajemen K3
Prosedur
CSMS
Rendah
Tinggi
Pra - Kualifikasi
32 Seleksi
33
DAFTAR PUSTAKA
Budiastuti, D & Bandur, A. 2018. Validitas dan Reabilitas Penelitian. Jakarta : Mitra Wacana
Media
Creswell, J.W. 2013. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed Edisi
Ketiga, diterjemahkan oleh Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Belajar, hal. 286.
Dirhartawan. 2018. Budaya Keselamatan Kajian Kepustakaan Dihartawan Program Studi
Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan,
14(1) : 98-108
Emzir. 2014. Metodologi Penelitian Kualitatif: Analisis Data. Jakarta: Rajawali Pers, hal. 78.
EU OSHA, 2011. Occupational Safety and Health Culture Assessment - A Review of Main
Approach and Selected Tools. Luxembourg: Publications Office of the European Union.
Kasmir, K. 2016. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Kuncoro, M. 2013. Metode Riset Untuk Bisnis dan Ekonomi. Jakarta : Erlangga, hal. 172.
Laksono, S. 2013. Penelitian Kualitatif Ilmu Ekonomi dari Metodologi ke Metode. Jakarta :
PT. raja Grafindo Persada, hal. 173
Madhona, Y. E & Lala, A. 2021. Penerapan Constractor Safety Management System (CSMS)
dan Dasar Hukumnya di PT. Pertamina Refinery Unit VI Balongan. Jurnal Indonesia
Sosial Teknologi. 2(12) : 2239-2249
Mahdang, P.A & Arsad, N. 2023. Gambaran Penerapan Contractor Safety Management
System di PT. PLN Distribusi Jawa Timur. Jurnal Kesehatan Lentera ‘Aisyiyahi, 6(1) :
695-702
Mangkunegara, A.A.A.P. 2017. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung :
Remaja Rosdakarya
Mathis dan Jackson. 2015. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi Kelima, Yogyakarta :
CV. Andi
Reason, J. 1997. Managing the risks of Organizational Accidents. Ashgate : Publishing
Company
Santoo, Wahyuni, I. & Kurniawan, B. 2015. Analisis Implementasi Contractor Safety
Management System (CSMS) Terhadap Pekerjaan Berisiko Tinggi di PT Pertamina
(Persero) Refinery Unit IV Cilacap. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 3(3) : 467-484
Sarosa, S. 2012. Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar. Jakarta: Indeks, hal. 11.
Suaery, Z.A, Kurniawan, B., & Ekawati. 2016. Analisis Implementasi Contractor Safety
Management System (CSMS) Pada Tahap Persiapan Kerja Di Coca Cola Amatil
Indonesia (CCAI) Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 4(3) : 646-656
Suparyadi. 2015. Manajemen Sumber Daya Manusia. 1 ed. ed. Putri Christian. Yogyakarta:
CV. Andi Offset.
Yuni, Wieke, dan Cristina. 2018. Pengaruh Budaya K3 Terhadap Kinerja Proyek Konstruksi.
Universitas Brawijaya Malang. Malang(online 25/10/2012).
34