Anda di halaman 1dari 296

DISERTASI

PENGARUH ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, ORIENTASI PASAR


DAN KAPASITAS PENYERAPAN TERHADAP KINERJA BISNIS
DIMODERASI LINGKUNGAN EKSTERNAL BISNIS

(Studi Pada IKM Sektor Kerajinan di Jawa Timur)

Oleh :
INDRA KURNIAWAN
157020201111004

PROGRAM DOKTOR ILMU MANAJEMEN


PASCASARJANA FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2019
Scanned by CamScanner
Scanned by CamScanner
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang sepengetahuan saya, di


dalam Naskah Disertasi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk
memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam
naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah Disertasi ini dapat dibuktikan terdapat unsur-unsur
jiplakan, saya bersedia Disertasi ini digugurkan dan gelar akademik yang telah saya peroleh
(DOKTOR) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (UU No.20 Tahun 2003, pasal, 25 ayat 2 dan pasal 70).

Malang, Juli 2019

Mahasiswa

Indra Kurniawan
157020201111004

iii
RIWAYAT HIDUP

iv
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmad
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun disertasi ini. Sholawat dan
salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Rosululloh Muhammad SAW.
Sebagai sosok pemimpin ummat yang berakhlakul karimah, panutan, serta
tuntunan bagi manusia di dunia yang selalu diharapkan syafa’atnya.
Selanjutnya kami mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada
semua pihak yang telah banyak membantu penulis diantaranya:
1. Prof. Dr. Nuhfil Hanani, MS. Selaku Rektor Universitas Brawijaya Malang
beserta jajaran wakil rektor.
2. Prof. Dr. Lukman Hakim, MS. Selaku Direktur Pascasarjana Universitas
Brawijaya.
3. Nurkholis, SE., M.Bus., Ak., Ph.D., selaku Dekan di FEB Universitas Brawijaya
beserta jajaran Wakil Dekan.
4. Dr. Sumiati, SE., M.Si., selaku Ketua Jurusan FEB UB.
5. Prof.Dr. Noermijati, SE., MTM., selaku Ketua Program Studi PDIM FEB UB.
6. Prof. Dr. Ubud Salim, SE., MA., selaku Promotor yang telah banyak
meluangkan waktu kepada penulis untuk membimbing, memberikan wawasan
yang luas, mengungkit ketajaman analisis, penanaman nilai-nilai
intelektualitas, religiusitas dan pemahaman antara fakta dan realita yang ada
didunia bisnis.
7. Prof. Dr. Margono Setiawan, SE., SU., selaku ko-promotor yang telah
memberikan motivasi kepada penulis untuk selalu mempercepat proses studi,
memberikan ruang diskusi yang menarik dan terbuka sehingga eksplorasi
keilmuan dapat terbuka.
8. Dr. Mintarti Rahayu, SE., MS., selaku ko-promotor yang telah banyak
memberikan waktu untuk diskusi, terima kasih banyak atas kritik tentang teori
yang harus dikaji secara mendalam, yang telah sabar dan penuh perhatian
terhadap selesainya disertasi ini, terima kasih tips melakukan telaah teori.
9. Dr. Ir. Solimun, MS., selaku ketua tim penguji yang telah banyak memberikan
masukan saat seminar proposal sehingga dapat membuka mata penulis

v
bagaimana seharusnya menyajikan tulisan ilmiah yang berkualitas, sosok
mumpuni dalam analisis statistik yang membuat penulis “keder” sebelum diuji,
terima kasih banyak atas masukannya karena penulis tahu tujuannya agar
menghasilkan karya yang lebih baik.
10. Ainur Rofiq, SE., M.Kom., MM., Ph.D., selaku anggota tim penguji yang telah
banyak memberikan ruang kepada penulis untuk diskusi mendalam,
strateginya dalam menulis, terima kasih banyak atas masukan-masukannya.
11. Ananda Sabil Hussein, SE., M.Coms., Ph.D., selaku anggota tim penguji yang
telah banyak mencurahkan ilmunya terutama berbagi soal analisis structural
equation modelling, diskusi yang mendalam soal grand theory, terima kasih
banyak atas ilmunya.
12. Prof.Dr. Salim Basalamah, SE., M.Si. atas kesediannya menjadi penguji
eksternal dan terima kasih banyak untuk masukan-masukannya.
13. Prof.Dr. Ujianto, MS. atas kesediannya sebagai penguji eksternal, terima
kasih banyak kritikan yang konstruktif dan masukan-masukannya.
14. Segenap sivitas akademika Fakultas Ekonomi dan Bisnis terutama di
pascasarjana FEB Universitas Brawijaya atas segala bantuanya, keikhlasan
dalam melayani kami dengan tulus meskipun kami cerewet, menurut penulis
kalian semua adalah Service Excellent.
15. Ketua STIE PGRI Dewantara Jombang, yang telah mengutus penulis untuk
menempuh jenjang pendidikan Doktoral di Universitas Brawijaya, beserta
seluruh jajaran wakil ketua dan segenap sivitas akademika STIE PGRI
Dewantara Jombang.
16. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur yang telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian, khusus
untuk bapak Hendra yang telah banyak membantu bahkan diskusi kecil yang
mantab. Terima kasih pula kepada bapak Arya atas ketersediaan data yang
penulis perlukan, bahkan diskusi-diskusi kita soal update data IKM menjadi
realisasi di Disperindag Provinsi Jawa Timur secara real time.
17. Teman-teman dari forum IKM, APKJ Jombang, para pegiat usaha kecil yang
tersebar diseluruh Jawa Timur yang sudah bersedia membantu penulis dalam
penggalian data.
18. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten
Jombang atas kepercayaannya kepada penulis sebagai narasumber

vi
“optimalisasi peran koperasi dalam kontribusinya terhadap pengembangan
UMKM di Jombang” dari pertemuan itu berlanjut diskusi strategis terkait
peningkatan IKM.
19. Keluarga kecilku, istriku Yana yang telah banyak memberikan support, do’a
tulus dalam setiap sholat malammu, semoga senantiasa dilancarkan,
Anandra, Adheandra dan Aryandra ketiga ARJUNAKU yang membuat
motivasi hidupku selalu terpacu, sesungguhnya kalian semua adalah
semangat dalam hidupku.
20. Suprapto (alm.) dan Sulastri (alm.) kedua orang tuaku yang telah
menanamkan prinsip hidup, nilai-nilai kehidupan, do’a mu kepadaku semasa
hidupmu yang tak pernah penulis pungkiri. Engkau yang mengajarkan
bagaimana menjadi orang yang benar-benar bermanfaat bagi orang lain.
Do’aku agar kalian mendapat tempat yang terbaik disisi-Nya. Aamiin …
21. Sahabat-sahabat seperjuangan di PDIM Universitas Brawijaya yang selalu
kompak, saling memberikan semangat, motivasi, bahkan diantara kita saling
memanggil prof. (professor), karena kami yakin apa yang kami lakukan
merupakan do’a… semangat sobat.

Malang, Juli 2019

Penulis

vii
ABSTRAK

PENGARUH ORIENTASI KEWIRAUSAHAAN, ORIENTASI PASAR DAN


KAPASITAS PENYERAPAN TERHADAP KINERJA BISNIS DIMODERASI
LINGKUNGAN EKSTERNAL BISNIS (Studi Pada IKM Sektor Kerajinan di
Jawa Timur).
Promotor: Ubud Salim, Ko-Promotor: Margono Setiawan dan Mintarti Rahayu

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh orientasi


kewirausahaan, orientasi pasar, dan kapasitas penyerapan terhadap kinerja
bisnis. Dalam penelitian ini kedudukan orientasi pasar dan kapasitas penyerapan
sebagai variabel mediasi dan lingkungan eksternal bisnis sebagai variabel
moderasi.
Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah IKM sektor kerajinan Jawa
Timur, dengan unit analisis adalah pemilik atau pengelola IKM. Pengumpulan data
menggunakan kuesioner baik secara online maupun offline, dengan jumlah
responden sebanyak 247 orang.
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
structural equation model partial least square (SEM PLS). Hasil yang diperoleh
adalah orientasi kewirausahaan berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja
bisnis, sedangkan orientasi kewirausahaan terhadap orientasi pasar berpengaruh
signifikan. Sementara itu pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kapasitas
penyerapan berpengaruh signifikan. Orientasi pasar terhadap kinerja bisnis
berpengaruh signifikan, dan kapasitas penyerapan berpengaruh tidak signifikan
terhadap kinerja bisnis. Lingkungan eksternal bisnis berpengaruh signifikan
terhadap kinerja bisnis.
Temuan penelitian ini adalah orientasi kewirausahaan berpengaruh
signifikan terhadap kapasitas penyerapan tetapi kapasitas penyerapan
berpengaruh tidak signifikan terhadap kinerja bisnis sehingga tidak menjadi
mediasi dari hubungan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis.
Lingkungan eksternal bisnis tidak memoderasi hubungan orientasi kewirausahaan
terhadap kinerja bisnis.

Kata kunci: orientasi kewirausahaan, orientasi pasar, kapasitas penyerapan,


linkungan eksternal bisnis dan kinerja bisnis.

viii
ABSTRACT
THE EFFECTS OF ENTREPRENEURIAL ORIENTATION, MARKET ORIENTATION AND
ABSORPTIVE CAPACITY ON BUSINESS PERFORMANCE MODERETED BUSINESS
EXTERNAL ENVIRONMENT (A Study on Small and Medium-Sized Craft Industries in East Java).
Promoter: Ubud Salim, co-promoters: Margono Setiawan and Mintarti Rahayu

The purpose of this study is to determine the effect of entrepreneurial orientation, market
orientation, and absorptive capacity on business performance, where market orientation and
absorptive capacity are the mediator variables, and external business environment is the
moderating variable.
The population and sample of this study are small and medium-sized craft industries in East Java,
where the owners or managers arethe unit of analysis. The data was collected from both online
and offline questionairesdistributed to 247 respondents and was analyzed using Structural
Equation Modelling Partial Least Squares (SEM PLS).
The results show the entrepreneurial orientation has no significant effect on business
performance, but it has a significant effect on market orientation, absorptive capacity, and
business performance. Furthermore, absorptive capacity has no significant effect on business
performance, and external business environment has a significant effect on business
performance.
This study finds that entrepreneurial orientation has a significant effect on absorptive capacity,
but absorptive capacity has no significant effect on business performance, so it does not mediate
the relationship between entrepreneurial orientation and business performance. Finally, external
business environment does not moderate the relationship between entrepreneurial orientation
and business performance.
Keywords: entrepreneurial orientation, market orientation, absorption capacity, external business
environment, business performance.

ix
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmad
dan hidayah-Nya serta Sholawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada
junjungan Rosululloh Muhammad SAW. Sebagai sosok pemimpin ummat yang
berakhlakul karimah, panutan, serta tuntunan bagi manusia di dunia yang selalu
diharapkan syafa’atnya, sehingga penulis dapat menyusun disertasi dengan judul:
“Pengaruh Orientasi Kewirausahaan, Orientasi Pasar dan Kapasitas Penyerapan
terhadap Kinerja Bisnis Dimoderasi Lingkungan Eksternal Bisnis (Studi pada IKM
sektor kerajinan”. Sangat disadari bahwa kekurangan dan keterbatasan yang
dimiliki penulis, walaupun telah dikerahkan segala kemampuan untuk lebih teliti,
tetapi masih dirasakan banyak kekurangtepatan, oleh karena itu penulis
mengharapkan saran yang membangun agar tulisan ini bermanfaat bagi yang
membutuhkan.

Malang, Juli 2019

Penulis

x
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………………. i


HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………………….. i
HALAMAN IDENTITAS TIM PENGUJI DISERTASI ………………………………… ii
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI ………………………………………… iii
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………………………….. iv
UCAPAN TERIMA KASIH ……………………………………………………………… v
ABSTRAK ………………………………………………………………………………... viii
ABSTRACT ……………………………………………………………………………… ix
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………. x
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………... xi
DAFTAR TABEL ………………………………………………………………………… xiv
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………………... xvi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………………………… xvii
DAFTAR ISTILAH ……………………………………………………………………….. xviii

BAB I : PENDAHULUAN …………………………………………………..………....


1.1 Latar Belakang ………….……………………………………..……………… 1
1.2 Perumusan Masalah ………………………………………………………….. 20
1.3 Tujuan Penelitian ……………………………………………………………… 21
1.4 Manfaat Penelitian …...……………………………………………………….. 22

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................


2.1 Hasil Penelitian Terdahulu ........................................................................ 24
2.2 Landasan Teori ......................................................................................... 29
2.3 Lingkungan Eksternal Bisnis ..................................................................... 33
2.4 Pengertian Kewirausahaan ....................................................................... 45
2.5 Orientasi Pasar .......................................................................................... 54
2.6 Kapasitas Penyerapan .............................................................................. 57
2.7 Kinerja Bisnis ............................................................................................. 63

BAB III : KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN ………………...……………..


3.1 Kerangka Konseptual Penelitian ............................................................... 96
3.2 Hipotesis Penelitian ……………………………………………….................. 100

xi
3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian ................................................... 104

BAB IV : METODE PENELITIAN ………………………..……………...……………..


4.1 Pendekatan Penelitian .............................................................................. 113
4.2 Lokasi Penelitian ………………………………………….……….................. 113
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................... 114
4.3.1 Populasi …………………………………………………………………. 114
4.3.2 Sampel …………………………………………………………………... 115
4.4 Teknik Pengukuran Variabel …………………………………………………. 116
4.5 Pengumpulan Data ……………………………………………………………. 117
4.5.1 Jenis Data ……………..………………………………………………… 117
4.5.2 Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………. 118
4.6 Uji Instrumen Penelitian ………………………………………………………. 119
4.6.1 Uji Validitas ……………………………………………………………… 119
4.6.2 Uji Reliabilitas …………………………………………………………… 121
4.6.3 Pilot Study ………………………………………………………………. 121
4.7 Metode Analisis Data …………………………………………………………. 125
4.7.1 Analisis Deskriptif …………………………….....……………………… 125
4.7.2 Analisis Inferensial …………………………………………….……….. 126
4.7.3 Pengujian Mediasi Dengan Variance Accounted For (VAF) ………. 128
4.7.4 Pengujian Moderasi ..…………………………………………………... 130
4.7.5 Evaluasi Model ……..…………………………………………………... 130
4.7.5.1 Evaluasi Outer Model (model pengukuran) ..…………………... 131
4.7.5.2 Evaluasi Inner Model (model structural) ………………………... 135
4.7.6 Uji Hipotesis …………………………………………………………….. 139
4.7.7 Informasi Kualitatif .…………………………………………………….. 140

BAB V : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……….………...……………..

5.1 Gambaran Umum IKM Jawa Timur …………………………………………. 142


5.2 Hasil Penelitian ………………………………………………………………... 143
5.3 Distribusi Frekuensi Orientasi Kewirausahaan ..…………………………… 147
5.4 Distribusi Frekuensi Orientasi Pasar ………………………………………... 148
5.5 Distribusi Frekuensi Kapasitas Penyerapan ……………………………….. 149
5.6 Distribusi Frekuensi Lingkungan Eksternal Bisnis ………………………… 150

xii
5.7 Distribusi Frekuensi Kinerja Bisnis ………………………………………….. 151
5.8 Pengujian Asumsi Linieritas …………………………………………………. 152
5.9 Uji Model Pengukuran (Outer Model) ..……………………………………… 153
5.9.1 Uji Convergent Validity …..…………………………………………….. 153
5.9.2 Uji Discriminant Validity …..……………………………………………. 161
5.9.3 Uji Composite Reliability ………………………………………………. 164
5.10 Uji Model Struktural (Inner Model) ...………………………………………… 165
5.10.1 Uji R-Square …………………………………………………………….. 165
5.10.2 Uji Predictive Relevance (Q2 dan Blindfolding) …………………….. 166
5.10.3 Uji f2 (Effect Size) ……………………………………………………… 167
5.10.4 Hasil Analisis Bootstrapping ...………………………………………… 169

5.11 Pengujian Hipotesis ………………………………...………………………… 174

5.12 Pembahasan Hasil Penelitian ……………………………………………….. 181


5.13 Implikasi Penelitian ……………………………………………………………. 198
5.13.1 Implikasi Teoritis ………………………………………………………... 199
5.13.2 Implikasi Praktis …...……………………………………………………. 201
5.14 Keterbatasan Penelitian ……………………………………………………… 203

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN ……………………….………...……………..

6.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………. 204


6.2 Saran-saran …………………………………………………………………… 207

Daftar Pustaka

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
1.1 PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (c to c) Provinsi Jawa Timur ………….. 1
2.1 Hasil Hierarchical Moderated Regression Analysis ……………………… 33
2.2 Perbandingan Dimensi Orientasi Kewirausahaan ……………………….. 72
2.3 First-Mover Advantage ……………………………………………………… 83
2.4 Hubungan Variabel Kontingensi dengan EO terhadap Kinerja ………… 91
2.5 Perbedaan Kunci antara Customer-Led dan Market Oriented …………. 96
3.1 Variabel, Indikator dan Item ………………………………………………… 114
4.1 Skala dan Pengukuran yang digunakan ………………………………….. 122
4.2 Hasil Face Validity …………………………………………………………… 126
4.3 Hasil Pretest Validitas dan Reliabilitas ……………………………………. 128
4.4 Validitas Orientasi Kewirausahaan ………………………………………… 128
4.5 Validitas Orientasi Pasar ……………………………………………………. 129
4.6 Validitas Kapasitas Penyerapan …………………………………………… 129
4.7 Validitas Lingkungan Eksternal ……………………………………………. 129
4.8 Validitas Kinerja Bisnis ……………………………………………………… 130
4.9 Rule of Thumb Model Pengukuran Reflektif ……………………………… 141
4.10 Rule of Thumb Evaluasi Model Struktural ………………………………… 144
5.1 Profil Responden ……………………………………………………………. 149
5.2 Distribusi Jawaban Responden terhadap Orientasi Kewirausahaan …. 153
5.3 Distribusi Jawaban Responden terhadap Orientasi Pasar …………….. 154
5.4 Distribusi Jawaban Responden terhadap Kapasitas Penyerapan ……. 155
5.5 Distribusi Jawaban Responden terhadap Lingkungan Eksternal …….. 156
5.6 Distribusi Jawaban Responden terhadap Kinerja Bisnis ……………… 157
5.7 Pemeriksaan Asumsi Linieritas ………………………………………….. 158
5.8 Validitas dan Reliabilitas …………………………………………………. 160
5.9 Nilai Loading Factor Orientasi Kewirausahaan ……………………….. 161
5.10 Nilai Loading Factor Orientasi Pasar …………………………………… 162
5.11 Nilai Loading Factor Kapasitas Penyerapan ………………………….. 163
5.12 Nilai Loading Factor Lingkungan Eksternal …………………………… 163
5.13 Nilai Loading Factor Kinerja Bisnis …………………………………….. 164
5.14 Nilai Average Variance Extracted ………………………………………. 166

xiv
Tabel Halaman
5.15 Fornell-Larcker Criteria ………………………………………………….. 168
5.16 Cross Loading ……………………………………………………………. 169
5.17 Composite Reliability ……………………………………………………. 170
5.18 Cronbach’s Alpha ………………………………………………………… 171
5.19 Nilai R-Square …………………………………………………………… 172
5.20 Hasil Analisis Spesific Indirect Effect Mediasi ……………………….. 172
5.21 Construct Crossvalidated Communality ……………………………… 173
5.22 Hasil f 2 untuk Effect Size ……………………………………………… 174
5.23 Nilai Pengaruh Langsung ……………………………………………… 176
5.24 Nilai Pengaruh Tidak Langsung ………………………………………. 176
5.25 Nilai Pengaruh Total …………………………………………………… 178
5.26 Hasil Analisis Spesific Indirect Effect Mediasi ……………………… 179
5.27 Hasil Analisis Mediasi Menggunakan VAF …………………………. 179

xv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar

2.1 Model Konseptual Penelitian Boso, Story dan Cadogan 31


2.2 Model Absortive Capacity Todorova dan Durisin 34
2.3 Lingkungan Eksternal 45
2.4 Kekuatan Persaingan Dalam Bentuk Strategi 46
2.5 Model Proses Kewirausahaan 53
2.6 Absorptive Capacity Model Ferreras 67
2.7 A Modified Construct of Entrepreneur Orientation 74
2.8 Research Model Daniel Prajogo 81
2.9 Model Konseptual Birnleitner 84
2.10 Kerangka Konseptual Orientasi Kewirausahaan Lumpkin dan Dess 90
2.11 Model Kontingensi dari Hubungan Orientasi Kewirausahaan 93
2.12 Kerangka Konseptual Antecedents dan Consequences MO 97
3.1 Kerangka Konseptual Penelitian 103
4.1 Prosedur Analisis Mediasi dalam SEM-PLS 135
5.1 Grafik Average Variance Extracted 167
5.2 Hasil Analisis 175

xvi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman


1. Outer Model
2. Inner Model Fit
3. Inner Model
4. Gambar Model dan Model Fit
5. Final Results
6. Kuesioner

xvii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur secara kumulatif (c-to-c) sampai

pada triwulan 4 tahun 2016 mencapai 5,55 persen, capaian ini menempatkan Jawa

Timur berada pada posisi kedua di Pulau Jawa dan lebih tinggi 0,53 poin

dibandingkan pertumbuhan ekonomi Nasional yang sebesar 5,02 persen. Kondisi

ini menggambarkan bahwa provinsi Jawa Timur berkontribusi dalam menopang

perekonomian sebesar 14,44 persen. (Data Dinamis Bappeda Jatim, 2016).

Tabel 1.1
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (c to c) Provinsi se-Jawa

URAIAN 2013 2014 2015 2016

Jawa Timur 1.382.434,85 1.540.696,53 1.692.903,00 1.855.042,70

DKI Jakarta 1.547.037,78 1.761.407,06 1.983.420,53 2.177.120,00

Jawa Barat 1.258.914,48 1.385.959,44 1.525.150,00 1.652.590,00

Jawa Tengah 832.953,58 925.662,69 1.011.851,00 1.092.030,90

DI Jogjakarta 84.924,66 93.449,86 101.447,65 110.098,34

Banten 380.172,81 432.763,96 477.940,00 516.330,00

Nasional 9.612.506,5 10.699.877,63 11.531.700,00 12.406.800,00


Sumber: Data Dinamis Bappeda Jatim, 2017

Pertumbuhan yang seperti terpapar pada tabel 1.1 diatas secara nasional

didukung dengan adanya pertumbuhan positif usaha mikro kecil dan menengah di

Jawa Timur yang turut memberikan kontribusi cukup besar dalam menyangga

perekonomian di Jawa Timur. Bukti kontribusi IKM secara nasional dalam

meningkatkan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari angka Produk Domestik

Bruto (PDB) sebesar 56,7 persen sementara nonmigas menyumbang sebesar 15

persen. IKM juga mampu menyumbang sebesar 99 persen dalam jumlah badan

usaha, untuk penyerapan tenaga kerja, andil IKM cukup besar yakni 99,6 persen.

1
2

Kontribusi IKM pada produk domestik regional bruto (PDRB) sebesar 54,9% atau

senilai Rp. 1.100 trilliun. Sementara itu jumlah IKM di Jawa Timur sendiri sebesar

6,81 juta dengan rincian 95,71% atau sebanyak 6,50 juta usaha mikro, sebesar

3,84% atau sebanyak 250 ribu usaha kecil, serta 0,45% atau 50 ribu usaha

menengah seluruhnya setara dengan 18% dari total jumlah penduduk Jawa Timur

sebesar 38,85 juta. Keseluruhan jumlah di atas kontribusi IKM dalam menyerap

tenaga kerja sebanyak 11,12 juta orang. Nilai realisasi investasi dari industri mikro,

kecil dan menengah sebesar 57,52 persen meningkatkan laju pertumbuhan

ekonomi Jawa Timur. (Data Dinamis Bappeda Jatim, 2017). Kinerja positif tersebut

dicapai oleh pemerintah provinsi Jawa Timur melalui kebijakan yang

mempermudah bagi pelaku usaha seperti melakukan fasilitasi sertifikasi halal,

fasilitasi masuknya IKM ke marketplace serta warung digital.

Seperti diketahui bahwa industri kecil di Jawa Timur seperti kabupaten

Gresik terdapat banyak pengrajin diantaranya songkok, jenang pudak, krupuk dan

garmen. Kabupaten Bangkalan terdapat beberapa pengrajin seperti batik,

konveksi, kerajinan pecut, rantai bunga melati dan lain-lain. Kabupaten Mojokerto

terdapat pengrajin sepatu dan sandal, krupuk rambak, cor kuningan, dan

perhiasan dari perak. Kota Mojokerto meliputi pengrajin konveksi, kerajinan dari

bambu dan perlengkapan dari bahan kaca. Surabaya memiliki banyak pengrajin

seperti alas kaki, makanan olahan seperti grinting lorjuk, krupuk ikan, kerajinan

kerang, batik dan minuman sirup dari blimbing wuluh. Kabupaten Sidoarjo memiliki

banyak pengrajin pot bunga, batik, krupuk, kampung jamur serta tas dan koper.

Kabupaten Lamongan memiliki pengrajin gerabah, tenun ikat, handycraft serta

makanan olahan wingko, Jombang memiliki kerajinan cor kuningan, batik, manik-

manik, gerabah, makanan dan minuman olahan seperti emping, jenang, serta

masih banyak yang memiliki usaha bidang lain dan dari berbagai kabupaten

maupun kota lain.


3

Pertumbuhan jumlah pengrajin saja belum cukup untuk dapat dikatakan

bahwa industri kerajinan mampu menyumbang PDRB jika nilai pertumbuhan

penjualannya belum maksimal. Data yang tersaji pada tabel 1.1 menunjukkan

secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Jawa Timur tetapi belum spesifik

memaparkan data industri kerajinan. Fakta dilapangan yang terjadi bahwa banyak

industri kerajinan gulung tikar akibat munculnya banyak pesaing-pesaing baru baik

tingkat lokal maupun internasional. Kemampuan mempertahankan pasar yang ada

pada saat ini sudah baik bagi sebagian IKM jika dilihat dari nilai penjualan yang

tidak kunjung membaik. Persoalan serius terkait dengan kinerja bisnis IKM ini

bukanlah satu-satunya dikarenakan faktor penurunan penjualan. Munculnya

pesaing baru, kondisi perekonomian yang belum berpihak pada industri, serta

masih rendahnya orientasi kewirausahaan IKM.

Kinerja bisnis IKM yang rendah tersebut belum mampu diantisipasi dengan

tindakan-tindakan yang strategis yang dapat meminimalisir potensi penurunan

periode berikutnya. IKM masih beroperasi seperti sediakala tanpa desain

perencanaan yang matang dalam menghadapi pasar yang dinamis dan cenderung

berubah sangat cepat. Meskipun IKM fleksibel menghadapi perubahan lingkungan

yang ada, namun daya tahan akan perubahan daya beli dan kondisi ekonomi

menjadi rentan untuk jatuh. Ketersediaan sumberdaya alam sebagai bahan produk

menjadi kekuatan yang dapat dioptimalkan secara baik, sedangkan sumberdaya

manusia dan teknologi harus disikapi dengan baik karena ini akan memengaruhi

kinerja bisnisnya. Kondisi inilah yang membuat IKM berkinerja rendah dan harus

segera melakukan reorientasi strategis melalui pembangunan kapasitas dengan

orientasi kewirausahaan yang baik. Kondisi IKM yang rentan terhadap perubahan

yang ada di lingkungan bisnis, mengakibatkan kinerja IKM menjadi terganggu.

Melihat kelemahan yang dihadapi oleh IKM diperlukan peran pemerintah untuk

fasilitasi pada pengembangan produk maupun jaringan pemasaran.


4

Merujuk dari rendahnya kinerja IKM yang diakibatkan kondisi yang rentan

akan perubahan baik dari lingkungan internal maupun eksternal, maka penelitian

ini berusaha untuk menyelesaikannya melalui teori yang relevan. Untuk

meningkatkan kinerja bisnis dalam penelitian ini menggunakan kontingensi teori,

dimana pemimpin senantiasa menyesuaikan dengan kondisi yang tepat. Karena

pandangan Fidler pada teori ini mengatakan bahwa tidak ada satu cara terbaik

untuk mengelola perusahaan, memimpin perusahaan, atau mengambil keputusan.

Sebaliknya pemimpin melalui gaya kepemimpinannya secara efektif mengambil

tindakan secara optimal dengan melihat lingkungan internal dan eksternal pada

situasi yang tepat. Organisasi IKM yang belum terstruktur dengan baik, sehingga

segala keputusan berada di tangan pemilik, manajer, atau yang dipercaya untuk

mengelola sebagai pengambil keputusan. Mengingat subjek penelitian ini terkait

dengan pengelola bisnis IKM selaku pengambil keputusan, maka pendekatan teori

kontingensi lebih tepat untuk digunakan.

Penelitian ini memandang bahwa meningkatkan kinerja diperlukan model

gaya kepemimpinan yang fleksibel yang berorientasi pada tugas dan hasil dengan

memperhatikan lingkungan internal dan eksternal. Orientasi tugas dan hasil

tersebut dapat dicapai melalui internalisasi nilai-nilai kepemimpinan atau nilai-nilai

kewirausahaan yang baik, dan memiliki pemikiran strategis yang pada akhirnya

menjadi budaya perusahaan. Pemikiran strategis berupa orientasi pasar yang baik

dimana selalu memandang pada kepentingan pelangganya, memahami posisi

pesaingnya serta senantiasa melakukan koordinasi dalam organisasi. Industri

kerajinan adalah sebuah bisnis yang memerlukan imajinasi yang kuat untuk dapat

menghasilkan produk-produk inovatif. Imajinasi diperoleh melalui informasi dari

eksternal baik dari pesaing, konsumen potensial, maupun dari berbagai informasi

yang diperoleh melalui media. Imajinasi juga dapat diperoleh melalui pengetahuan

yang dimiliki dari proses pendidikan, pelatihan, pengalaman, serta pembelajaran


5

lainnya, sehingga ini merupakan kemampuan IKM dalam menyerap informasi dan

pengetahuan selanjutnya diproses untuk menjadi sebuah produk inovatif untuk

tujuan komersialisasi.

Keberlanjutan bisnis IKM juga perlu memperhatikan faktor lingkungan yang

memengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung, lingkungan dekat

maupun jauh, lingkungan yang dinamis dan kompleks, bermusuhan maupun

bersahabat, bahkan peran pemerintah dapat dikatakan lingkungan eksternal yang

dapat memberikan dampak pada kinerja bisnis IKM. Peran pemerintah tersebut

dapat berupa intervensi pemerintah, regulasi yang ada, kebijakan-kebijakan terkait

dunia usaha. Penelitian ini berusaha mengambil lingkungan eksternal bisnis yang

berupa kondisi politik/hukum, ekonomi, sosial/budaya, maupun teknologi atau

disebut dengan PEST. Lingkungan eksternal tidak bisa diabaikan begitu saja,

karena beberapa faktor PEST sangat berdampak pada dinamika pertumbuhan

IKM.

Penelitian ini berusaha membangun konsep yang relevan dalam rangka

meningkatkan kinerja bisnis IKM melalui pendekatan teori kontingensi dalam

konstruk orientasi kewirausahaan dengan meletakkan budaya perusahaan melalui

orientasi pasar. Peningkatan kinerja IKM juga diperlukan kapasitas sumberdaya

yang baik dalam mengelola informasi dan pengetahuan yang ada untuk

kepentingan bisnis melalui konstruk kapasitas penyerapan. Seperti dijelaskan

sebelumnya bahwa teori kontingensi sangat memperhatikan faktor lingkungan,

sehingga dalam penelitian ini dibangun konstruk lingkungan eksternal bisnis

sebagai penguat dalam meningkatkan kinerja IKM. Para ahli sebelumnya berteori

bahwa organisasi yang menghadapi lingkungan yang berubah dengan cepat serta

perubahan yang tidak terduga dalam teknologi harus mengadopsi struktur organik

agar dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan perubahan. Sebaliknya,

organisasi yang menghadapi lingkungan yang stabil dan teknologi yang dapat
6

diprediksi akan mendapat manfaat dari mengadopsi struktur organisasi mekanistik

dimana pengambilan keputusan terpusat dan tugas tetap sama dari waktu ke

waktu.

Secara empiris hasil penelitian menggambarkan bahwa orientasi

kewirausahaan cenderung memiliki implikasi positif terhadap kinerja perusahaan.

Penelitian terdahulu yang dilakukan Wiklund dan Shepherd (2005) dengan

membandingkan pendekatan model aditif dan model kontingensi, mereka

menemukan bahwa dengan menambahkan efek interaksi dari konteks (lingkungan

dan akses ke modal) mereka lebih mampu menjelaskan efek orientasi

kewirausahaan memengaruhi kinerja. Hasil mereka menunjukkan bahwa EO

paling menguntungkan bagi perusahaan yang memiliki akses terbatas ke modal

dan berada di lingkungan yang stabil, hasil serupa dilakukan juga oleh Wiklund

(1999). Meta analisis terhadap 51 penelitian yang dilakukan oleh Rauch (2009)

mendapatkan hubungan yang positif antara orientasi kewirausahaan dengan

kinerja perusahaan. Sebelumnya juga telah dilakukan pengembangan konsep

orientasi kewirausahaan yang dilakukan (Covin dan Slevin, 1989) dan mengujinya

secara empiris dengan menghasilkan temuan bahwa orientasi kewirausahaan

mampu meningkatkan kinerja bisnis.

Pemilihan variabel-variabel yang relevan dalam literatur kewirausahaan

harus diperhatikan secara seksama, mengingat banyak penelitian yang

mengesampingkan pemilihan teori yang relevan sehingga terjadi kerancuan dalam

sebab akibat dari hubungan antar variabel tersebut (Zahra, 2005). Logika

konfigurasi dalam penelitian kewirausahaan juga dilakukan (Venkatraman, 1998;

Hill dan Birkinshaw, 2008; serta Heirmann dan Clayrisse, 2004) melalui profil ideal

dalam meningkatkan kinerja. Logika konfigurasi lainnya dilakukan dengan melihat

pengalaman memiliki dampak yang berbeda pada kinerja (Bierly dan Daly, 2007;

Chandler, 1996) dimana pengalaman merupakan bagian dari pengetahuan,


7

sementara pendekatan yang lain dengan melakukan reduksi atas perusahaan dan

model teoritis dengan memasangkan variabel-variabel kontekstual (Meyer, et. al.,

1993) logika tersebut menggunakan pendekatan Cartesian. Kedua pendekatan

tersebut memiliki kekuatan dan kelemahan dalam menyelesaikan persoalan teori

kewirausahaan terhadap kinerja.

Memperhatikan lingkungan eksternal dalam perspektif politik/hukum

beberapa penelitian terdahulu telah membuktikannya melalui berbagai setting

penelitian yang berbeda baik pada perusahaan besar, IKM, maupun sektor jasa.

Keterlibatan maupun ikatan politik berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja

bisnis (Xie, Liu, Xie, dan Jing, 2017; Liu, Yang, dan Augustine, 2017) masih

menyisakan persoalan terkait dengan sulitnya diprediksi dan dipahami (Liu, 2017),

hanya positif berkorelasi dengan BUMN (Guo, Li, dan Zong, 2018). Penelitian

lainnya membuktikan bahwa keterlibatan atau keterikatan politik tidak

memengaruhi kinerja bisnis (Teng, Huang dan Pan, 2017) bahkan menurunkan

kinerja kelompok bisnis (Guo, Li, dan Zong, 2018; Lin, Chang, Yu dan Kao, 2018).

Pertumbuhan ekonomi lazimnya dipengaruhi oleh tingginya wirausaha

dalam suatu negara (Stel, Carree, dan Thurik, 2005; Boudreaux, 2018; Edmiston,

2007), disebabkan oleh kinerja perusahaan dan tata kelola pemerintahan yang

baik (Skare dan Hasic, 2015) tetapi kinerja bisnis juga dipengaruhi oleh kondisi

ekonomi yang stabil cenderung tumbuh. Faktor sosial budaya juga berdampak

pada kinerja perusahaan (Masovic, 2018; Benson dan Filippios, 2018) serta

berdampak positif terhadap kinerja IKM (Gaganis, Pasiouras, dan Voulgari, 2018).

Kontribusi yang cukup besar untuk meningkatkan kinerja IKM pada era saat ini

dipengaruhi oleh teknologi, terbukti memberikan dampak positif dalam

meningkatkan kinerja (Wilburn dan Wilburn, 2018; Ukko, Nasiri, Saunila, dan

Rantala, 2019).
8

Menghadapi perkembangan ekonomi disertai dengan faktor teknologi yang

sangat pesat perubahannya, diperlukan pelaku usaha yang memiliki kapasitas

manajerial yang baik dan terinternalisasi dalam diri seorang wirausaha, modal

kemampuan ini dapat dikatakan sebagai orientasi kewirausahaan. Orientasi

kewirausahaan merupakan elemen penting dalam upaya peningkatan kinerja

bisnis, yakni dengan konsep dan strategi apa yang dilakukan oleh para pengusaha

kecil dalam menghadapi persaingan.

Pengelolaan bisnis para pengusaha kecil secara faktual masih belum

terorganisasi dengan baik, apalagi dikaitkan dengan aspek manajerial yang

meliputi aspek-aspek manajemen dan kepemimpinan. Industri kecil dan

menengah secara keseluruhan masih belum memiliki laporan keuangan sesuai

standar akuntansi yang ada, manajemen masih bersifat sederhana, sehingga hal

ini diperlukan upaya upgrade secara manajerial. Sarana pelatihan dan konsultasi

telah dijembatani oleh dinas koperasi dan UMKM provinsi Jawa Timur dengan

menyediakan klinik usaha kecil menengah sebagai sarana konsultasi bagi pelaku

bisnis untuk meningkatkan kapasitasnya. Klinik usaha kecil menengah yang ada

memang berorientasi pada hal teknis dengan memberikan solusi terkait dengan

persoalan bisnis yang dihadapi oleh pelaku bisnis, akan tetapi belum mencakup

pada aspek kepemimpinan. Belum tercovernya aspek manajerial inilah yang dapat

berdampak pada rendahnya kinerja bisnis industri kecil menengah. Pentingnya

orientasi kewirausahaan diberbagai bidang usaha bisnis komersil maupun non

komersil sebagai upaya improvisasi organisasi agar semakin berkembang dan

maju.

Informasi dari beberapa hasil wawancara dan pendampingan yang

dilakukan, secara klasik yang selalu menjadi keluhan adalah aspek pemasaran,

pemodalan, sumberdaya manusia yang belum kompeten, dan penguasaan

teknologi yang masih rendah. Apabila orientasi kewirausahaan telah


9

terinternalisasi dengan baik maka keluhan-keluhan sebagai hambatan dalam

meningkatkan kinerja bisnis dapat diminimalisir, meskipun bukan jaminan dengan

baiknya orientasi kewirausahaan maka akan membawa keberhasilan bagi IKM

akan tetapi secara mayoritas akan menemukan keberhasilan.

Konsep orientasi kewirausahaan sendiri bersifat multidimensi dimana pada

saat pertama dikembangkan oleh Covin dan Slevin (1989) terdiri atas

proactiveness, innovativeness, dan risk-taking. Seiring perkembangan keilmuan

dengan melihat kompleksitas perusahaan maka Lumpkin dan Dess (1996)

mengembangkan menjadi lima dimensi diantaranya, autonomy, risk-taking,

innovativeness, proactiveness, dan competitive agressiveness. Hasil penelitian

melalui berbagai dimensi yang ada, tidak semua dimensi berpengaruh positif

terhadap kinerja bisnis dari berbagai setting penelitian yang berbeda-beda. Kondisi

bergantung pada latar penelitian, negara, maupun bentuk perusahaan, sehingga

menghasilkan perbedaan dalam mempengaruhi kinerja bisnis.

Wiklund dan Shepherd (2005) dan Rauch (2009) menyatakan hasil

penelitian orientasi kewirausahaan memiliki pengaruh positif terhadap kinerja

bisnis. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Frank et al. (2010) justru

menghasilkan yang sebaliknya, dimana orientasi kewirausahaan berpengaruh

negatif terhadap kinerja bisnis. Demikian juga penelitian terdahulu menunjukkan

lemahnya hubungan antara orientasi kewirausahaan dengan kinerja perusahaan

(Lumpkin dan Dess, 2001). Stam dan Elfring (2008) mengeksplorasi 91

perusahaan baru pada industri perangkat lunak berteknologi tinggi, hasil

penelitiannya menunjukkan hubungan yang non-signifikan antara orientasi

kewirausahaan dengan kinerja perusahaan. Hughes dan Morgan (2007)

menggunakan dimensi dari Lumpkin dan Dess (1996) juga mendapatkan hasil

yang sama dimana penelitian dilakukan juga pada perusahaan berbasis

teknologi yang masih relatif muda dan menemukan hasil yang non-signifikan
10

pada beberapa dimensi orientasi kewirausahaan dengan perolehan pelanggan

dan keuntungan pangsa pasar. Lima dimensi yang terbukti memiliki hubungan

yang signifikan hanya proaktif (proactiveness).

Kompetisi bisnis yang ketat harus diimbangi dengan keunggulan yang

dimiliki oleh perusahaan agar mendapatkan keuntungan seperti yang diharapkan,

maka harus melalui keunggulan dalam melakukan penetrasi pasar dengan

penetapan strategi yang tepat. Orientasi kewirausahaan dalam penelitian ini

secara langsung berdampak pada kinerja bisnis namun agar lebih meningkatkan

kinerja yang lebih tinggi maka diperlukan faktor kamampuan dalam menangani

lingkungan eksternal bisnis.

Dijelaskan diberbagai literature dalam manajemen stratejik dimana telah

menghasilkan kesepakatan dan kesepahaman dalam proses manajemen

entrepreneurial seperti yang dikaji oleh Matsuno et al. (2002) dan Schindehutte et

al. (2008) adalah terdiri dari : Innovativeness, risk-taking dan proactiveness,

mereka mendalami pemikiran Barringer dan Bluedorn, 1999; Caruana et al.

(1998). Matsuno et al. (2002) sendiri dalam penelitiannya cenderung

menggunakan istilah entrepreneurial proclivity yang didefinisikan sebagai proses,

praktek dan pembuatan keputusan yang didasarkan oleh preferensi untuk

melakukan tindakan inovativeness, risk-taking dan proactiveness.

Orientasi kewirausahaan yang baik dapat meningkatkan kinerja, apalagi

didukung oleh lingkungan yang kompetitif (Cao et al., 2011; Lumpkin and Dess,

2001) dan hal ini didukung hasil penelitian Auh dan Menguc (2005) bahwa

efektivitas kinerja bisnis dicapai dari orientasi strategi yang baik bahkan hal yang

sama juga didukung oleh lingkungan yang kompetitif. Kemampuan orientasi

kewirausahaan yang baik juga diimbangi dengan kemampuannya dalam

membaca pasar.
11

Konsep pemasaran menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan organisasi

seperti market share dan profitabilitas tergantung pada kemampuan perusahaan

dalam menentukan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran serta memuaskannya

dengan lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan pesaingnya (Agarwal et al.,

2003). Beberapa tahun terakhir orientasi pasar mengalami peningkatan dan

dipandang sebagai elemen kunci untuk mencapai kinerja perusahaan (Han, et

al.,1998).

Orientasi pasar merupakan bagian dari upaya untuk mencapai keunggulan

bersaing sebagai nilai tambah perusahaan dalam memberikan tawaran yang lebih

dibanding yang diberikan oleh pesaing. Usaha tersebut perlu diimbangi dengan

penetapan strategi bisnis agar tercapai secara efektif dan efisien sehingga

mengurangi pengalokasian sumberdaya berlebih baik secara finansial maupun

sumberdaya manusia. Pemilihan strategi bergantung pada skala perusahaan

dengan cakupan pasar yang akan dituju.

Keunggulan bersaing melalui kemampuan membaca pasar dapat dicapai

apabila budaya perusahaan dalam meningkatkan kinerja bisnis terinternalisasi

melalui perilaku-perilaku yang kreatif dan inovatif. Bentuk upaya tersebut dapat

melalui orientasi pasar dalam melihat sesuatu yang dapat ditangkap (capture)

sebagai potensi bagi perusahaan dan memberikan nilai (value) tersendiri bagi

pasar tersebut. Mengingat orientasi pasar merupakan budaya perusahaan yang

dapat meningkatkan kinerja pemasaran (Kohli dan Jaworski, 1990). Lebih lanjut

Slater dan Narver (2000) menjelaskan dengan mendefinisikan orientasi pasar

sebagai budaya organisasi yang paling efektif dan efisien untuk menciptakan

perilaku-perilaku yang dibutuhkan untuk menghasilkan superior value bagi

konsumen dan menghasilkan superior performance bagi perusahaan.

Penelitian empiris tentang orientasi pasar pada umumnya memiliki dua

perspektif. Pertama, orientasi pasar dipandang sebagai sebuah perilaku tertentu


12

(Kohli dan Jaworski, 1993), perspektif kedua adalah, bahwa orientasi dipandang

sebagai budaya Perusahaan (Slater dan Narver, 1990) dan memiliki

kecenderungan memediasi terhadap kinerja organisasi akhir (Homburg dan

Pfesser, 2000; Matear et al., 2002; Pelham, 1997). Beberapa penelitian empiris

telah mengidentifikasi peranan mediasi inovasi produk baru terhadap hubungan

antara orientasi pasar terhadap kinerja organisasi (Atuahene-Gima, 1995; Baker

dan Sinkula, 1999; Han, Kim, dan Srivastava, 1998). Penggunaan kinerja

perusahaan akhir secara agregat dalam penelitian orientasi pasar menyebabkan

peranan variabel mediasi menjadi tidak jelas, karena harus melihat faktor lain yang

mempengaruhi kinerja perusahaan tersebut.

Penelitian orientasi pasar telah dilakukan dari berbagai latar belakang

perusahaan yang bertujuan profit oriented (Narver dan Slater, 1990; Jaworski dan

Kohli, 1993), maupun yang non profit oriented (Kara, 2004; Wood dan Bhuian

1993; Caruana dan Ewing, 1999) penelitian dengan latar belakang perusahaan

manufaktur (Bhuian, 1998) dan penelitian dengan latar belakang perusahaan

jasa (Agarwal dan Erramilli, 2003; Caruana, et al., 1999; Harris dan Piercy, 1999),

penelitian dengan latar belakang negara maju (Narver dan Slater, 1990; Jaworski

dan Kohli, 1993; Greenley, 1995; Castro et al., 2005) dan penelitian dengan latar

belakang negara berkembang (Appiah-Adu, 1998; Ngansathil, 2001; Zebal, 2003),

penelitian pada perusahaan yang melakukan pemasaran domestik (Jaworski dan

Kohli, 1993; Pitt, Caruana dan Berthon, 1996; Deshpande dan Farley, 1999;

Slater dan Narver, 2000) dan pada perusahaan yang melakukan pemasaran

ekspor (Diamantopolous dan Cadongan, 1996; Kwon dan Hu, 2000). Penelitian

pada perusahaan besar (Han, et al, 1998; Hurley dan Hult, 1998; Harris dan

Ogbonna, 2001; Im dan Workman, 2004) dan penelitian pada perusahaan kecil

(Blankson et al., 2005; Duncan, 2000; Choi, 2002). Penelitian tentang orientasi

pasar dengan berbagai latar belakang tersebut pada umunya berhasil


13

membuktikan bahwa orientasi pasar akan meningkatkan kinerja pemasaran

(Castro et al., 2005; Kirca et al., 2005; Jain dan Bhutia, 2007), akan tetapi

beberapa penelitian tidak berhasil membuktikan bahwa orientasi pasar mampu

meningkatkan kinerja pemasaran (Jaworski dan Kohli, 1993; Selnes et al., 1996;

Pelham, 1997; Deshpande et al., 2000, Harris, 2002).

Penelitian yang menguji hubungan langsung antara orientasi pasar

dengan kinerja organisasi juga belum mampu memberikan kejelasan tentang

bagaimana mewujudkan orientasi pasar menjadi kinerja organisasi (Langerak,

2003). Meskipun beberapa peneliti telah melakukan penelitian tentang orientasi

pasar pada usaha kecil namun penelitian tersebut masih sangat terbatas apalagi

dengan latar belakang pada negara yang sedang berkembang (McLarty, 1998;

Adu, 1998; Kuada dan Buatsi, 2005). Penelitian pada dekade saat ini yang

dilakukan pada sektor jasa francise membuktikan bahwa orientasi pasar secara

langsung meningkatkan kinerja keuangan (Lee, Kim, Seo, dan Hight, 2015) pada

bisnis hotel dan restaurant (Jogaratnam, 2017), membangun hubungan jangka

panjang melalui business to business (b2b) pada sektor industri yang spesifik

(Frosen, Jakkola, Churakova, dan Tikkanen, 2015), bahkan orientasi pasar yang

baik dapat menemukan kembali pasar potensialnya yang telah ditinggalkan

sebelumnya (Yayla, Yeniyurt, Uslay, dan Cavusgil, 2018).

Selain orientasi pasar sebagai modal perusahaan dalam meningkatkan

kinerja bisnisnya, terdapat aspek lain yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha

dalam menjalankan aktifitas bisnisnya yakni bagaimana memiliki kemampuan

mengeksplorasi, mentransformasi dan mengeksploitasi pengetahuan dari

eksternal selanjutnya diproses dan menghasilkan produk komersil atau dapat

disebut sebagai kapasitas penyerapan/absorptive capacity (Scaringela, 2015).

Dinamika bisnis yang saat ini terjadi memengaruhi kemampuan perusahaan dalam

mengeksplorasi, dan mengeksploitasi pengetahuan eksternal yang sangat relevan


14

untuk bersaing di pasar global (Flatten, 2015). Literatur yang berkembang saat ini

memandang kapasitas penyerapan (absorptive capacity) dapat dianalisis pada

tingkat yang berbeda, secara individu (Cohen dan Levintal, 1993; Minbaeva et al.,

2003), secara unit bisnis (Jansen et al., 2005; Szulanski, 1996), dan organisasi

(Cohen dan Levintal, 1990).

Studi pada perusahaan Iran dan Perancis dalam usaha patungan (joint

venture) sektor konstruksi mengembangkan inovasi radikal dengan

mengidentifikasi tantangan yang ada, menemukan hambatan terhadap perubahan

teknologi, dan menghadapi kesulitan melakukan transfer pengetahuan yang

berdampak pada kualitas, keterlambatan/penundaan, ketidaksesuaian dengan

spesifikasi yang telah ditetapkan, keselamatan kerja yang rendah, adanya biaya

tambahan, semua akibat dari rendahnya kapasitas penyerapan (Scaringela,

2015). Penelitian yang dilakukan Ferreras (2015) pada perusahaan bioteknologi

dengan sampel 102 perusahaan di Spanyol menguji secara teoritis melalui

pemodelan struktural dengan pendekatan partial least squares menghasilkan

temuan bahwa kapasitas penyerapan menjadi variabel mediator penuh dari

hubungan pencarian pengetahuan eksternal, dan inovasi serta kinerja bisnis.

Ferreras (2015) lebih lanjut berpendapat bahwa kapasitas penyerapan

(absorptive capacity) adalah kemampuan dinamis yang memiliki dua keadaan

umum : 1) absorptif capacity potential, yang mengacu pada kemampuan untuk

menilai dan memperoleh pengetahuan eksternal, dan menyadari bahwa

absorptive capacity mencerminkan kemampuan untuk memanfaatkan

pengetahuan yang telah diserap; 2) bagian dari absorptive capacity memiliki peran

yang terpisah namun saling melengkapi dan memenuhi kondisi yang diperlukan

namun tidak memadai untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Pengertian

kapasitas penyerapan menurut Zahra dan George (2002) menyatakan bahwa


15

absorptive capacity sebagai kemampuan dinamis sehingga menekankan pada

sifat strategis dari absorptive capacity tersebut.

Studi lanjutan yang dilakukan oleh Ferreras (2016) yang menjelaskan

dimensi dari absorptive capacity dengan eksplorasi, transformasi, dan eksploitasi,

dimana penelitian dilakukan pada 467 perusahaan manufaktur di Spanyol

mengungkapkan bahwa keterbukaan pencarian pengetahuan eksternal memiliki

kontribusi pada proses pembelajaran eksploratif, transformatif dan eksploitatif

perusahaan dengan cara yang berbeda. Perbedaan pemikiran yang dilakukan oleh

Lewin et al. (2011) yang mempresentasikan hasil penelitiannya pada

microfoundations absorptive capacity internal dan eksternal dengan menyoroti

pentingnya menyeimbangkan pengetahuan internal yang menciptakan proses

dengan melakukan identifikasi, akuisisi dan asimilasi pengetahuan baru yang

diperoleh dari lingkungan eksternal. Pendekatan penelitian yang dilakukan melalui

wawancara secara mendalam diperoleh bahwa kapasitas penyerapan sebagai

dasar fondasi kuat dalam proses mentransformasi wawasan menjadi pengetahuan

yang berarti (Bozic dan Dimovski, 2019).

Minimnya kajian absorptive capacity yang berhubungan secara tidak

langsung dengan kinerja perusahaan menjadikan minimnya literatur terkait

absorptive capacity, beberapa penelitian memandang bahwa absorptive capacity

akan lebih besar berkontribusi manakala dijadikan variabel mediasi. Mengingat

minimnya kajian dan banyaknya rekomendasi bagaimana dan dimana absorptive

capacity bekerja, sehingga penulis menjadikannya sebagai variabel yang berperan

sebagai mediasi dari hubungan antar orientasi kewirausahaan dengan kinerja

bisnis. Namun akhir-akhir ini banyak para ahli melakukan penelitian dalam bidang

ini karena pentingnya perusahaan untuk mengembangkan inovasi (Rangus dan

Slavec, 2017), dalam konteks membangun jaringan inovasi kolaborasi dapat

dicapai hasil inovasi tatkala manajer memiliki kapasitas penyerapan melalui


16

kemampuannya menyerap dan memindai pengetahuan eksternal (Tavani, Tavani,

Naude, Oghazi, dan Zeynaldo, 2018), studi yang dilakukan pada anak perusahaan

di negara berkembang menghasilkan bahwa kapasitas penyerapan memiliki

pengaruh secara langsung pada kinerja bisnisnya (Cenamor, Parida, Oghazi,

Pesama, dan Wincent, 2017).

IKM saat ini selain harus mampu mengadaptasi pengetahuan eksternal

juga dituntut untuk menyesuaikan dengan kondisi lingkungan eksternal bisnis

diantaranya adalah pesatnya perkembangan teknologi, kondisi perekonomian,

kepastian politik/hukum serta keadaan sosial/budaya. Upgrade harus selalu

dilakukan dalam setiap perubahan yang terjadi dalam bisnis, mengingat kondisi

persaingan saat ini semakin cepat dan semakin ketat (hypercompetitiveness)

sehingga pengusahaa harus cepat merespon.

Respon usaha kecil terhadap semua perubahan lingkungan eksternal

bisnis akan meminimalisir potensi buruk yang terjadi pada bisnis. Karena

lingkungan eksternal bisnis merupakan segala sesuatu diluar batasan organisasi

yang mungkin memengaruhinya (Griffin, 2003). Lingkungan eksternal bisnis juga

merupakan faktor kontekstual penting yang mempunyai pengaruh terhadap kinerja

perusahaan (Hamel dan Prahalad, 1994). Apabila benar-benar terjadi perubahan

pada lingkungan eksternal, para pelaku usaha harus menyiapkan peta pasar atau

orientasi pasar (market orientation). Banyak pelaku usaha yang merupakan

penggerak usaha kurang mampu dalam menangkap gejala perubahan keinginan

konsumen termasuk perubahan lingkungan. Lingkungan bisnis menjadi salah satu

penentu dalam memengaruhi kinerja perusahaan terutama masih terbatasnya

pengetahuan empirik IKM dimana pengembangan dalam adaptasi teoritis, dalam

tataran implementasinya masih sulit (Dragnic, 2014).

Kegagalan yang sering terjadi pada para pelaku usaha antara lain motivasi

individu untuk memulai usaha (start up), yang hanya didasari oleh faktor “desakan
17

ekonomi” membuat pelaku usaha menjadi kurang kreatif dan tujuannya hanya

memperoleh keuntungan saja tanpa dilandasi tujuan yang lebih besar yakni

perkembangan dan keberlanjutan usaha, sehingga dengan demikian faktor

lingkungan eksternal menjadi terabaikan.

Lingkungan eksternal utama telah lama memengaruhi kelangsungan hidup

dan pertumbuhan badan usaha (Covin and Slevin, 1989), banyak penelitian yang

mengungkapkan isu-isu efisiensi orientasi kewirausahaan atau strategi dalam

menghadapi lingkungan eksternal tertentu, yakni bagaimana lingkungan eksternal

memengaruhi strategi dan kinerja bisnis (Ward dan Lewandoska, 2008; Ellis, 2006;

Morgan dan Hunt, 2002; Pelham, 1999; Avlonitis dan Gounaris, 1999; Siu dan

Kirby, 1998; Sebora et al., 1994; Slater dan Narver, 1994; Diamantopoulus dan

Hart 1993; Hambrick, 1983).

Lingkungan eksternal perusahaan (lingkungan bisnis), menurut Pearce

dan Robinson (2003,) dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yang saling

berkaitan, yaitu lingkungan operasional (operating environment), lingkungan

industri (industri environment) dan lingkungan jauh (remote environment).

Lingkungan operasional yang juga disebut lingkungan persaingan atau lingkungan

tugas adalah faktor-faktor dalam situasi persaingan yang memengaruhi

keberhasilan suatu perusahaan dalam mendapatkan sumber daya yang

dibutuhkan dan atau memasarkan produk dan jasanya secara menguntungkan.

Perbedaan menentukan dimensi dalam mengukur lingkungan memiliki

dampak atau hasil yang berbeda terhadap kinerja bisnis, beberapa diantara peneliti

memandang lingkungan eksternal adalah dynamism, munificence, complexity,

industri characteristic (Coulthard, 2007), hostily, turbulence dan dynamism

(Milovanovic et al. 2014), government, competitive, technology, dan access to

finance (Attahir, 2002) sementara pengukuran yang dipakai dalam penelitian ini
18

adalah economy, legal/political, technology, dan social/cultural (Rakesh, 2014;

Wheelen dan Hunger, 2012).

Dasar pemikiran menentukan konstruk dalam penelitian tergantung pada

tujuan penelitian, terdapat beberapa dimensi memiliki keterkaitan makna yang

hampir sama, misalnya konstruk ekonomi dalam penelitian lain dibentuk sebagai

konstruk dinamisme, intensitas dan dampak ekonomi secara umum, faktor fiskal,

legalisasi, sosial dan budaya bisnis, serta general prosperity (Ward dan

Lewandowska, 2008; Ellis, 2006; Ang, 2001, Mavondo, 1999; Deshpande, et al.

2004). Studi yang dilakukan oleh Dragnic (2014) mengidentifikasi dan menganalisis

ekonomi dalam keberlanjutan orientasi politik-ekonomi dan indikator dinamika

makroekonomi (Foreman, 2008; Dwyer et al. 2007; Palmer dan Pels, 2004;

Deshpande dan Farley, 2004; Singh, 2003; Grbac dan Martin, 2001; Slater dan

Narver, 1994) sementara yang menggunakan indikator makroekonomi langsung

(Benito dan Gallego, 2009; Kokzal dan Ozgul, 2007; Laitinen, 2000).

Lingkungan bisnis yang terlihat demikian kompleks dalam memengaruhi

kinerja perusahaan, maka diperlukan upaya lain agar lebih mempermudah IKM

untuk membuka mindset bagaimana melakukan terobosan-terobosan sehingga

dapat menembus hambatan yang ada. Terobosan tersebut bagaimana para IKM

memiliki orientasi kewirausahaan yang baik, yang dapat memecah kebuntuan.

Penelitian ini memandang bahwa lingkungan eksternal bisnis merupakan

sesuatu diluar kendali (uncontrollable) perusahaan atau seorang wirausaha,

sehingga kemampuan seorang wirausaha dituntut mampu menyesuaikan

perubahan dan kondisi yang terjadi pada lingkungan eksternal bisnis. Melihat

kedudukannya yang tidak dapat dikendalikan oleh IKM, maka lingkungan eksternal

bisnis ditempatkan sebagai variabel moderasi dari hubungan antara orientasi

kewirausahaan dengan kinerja bisnis dalam penelitian disertasi ini.


19

1.1.1 Research Gap yang Menjadi Latar Belakang Penelitian

Makna yang besar dari sebuah penelitian apabila memiliki kontribusi

terhadap bidang keilmuan (contribution to the body of knowledge) dimana

dilatarbelakangi oleh adanya kesenjangan empiris dan teoritis dari beberapa teori

yang menjadi referensi. Melalui kesenjangan empiris dan teoritis tersebut

memberikan ruang yang bermanfaat untuk melakukan verifikasi pada objek dan

keadaan penelitian yang berbeda dari yang sudah dilakukan oleh peneliti

sebelumnya.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu terkait

dengan hubungan antar variabel terdapat kesenjangan (gap) pada hasilnya,

sehingga ini merupakan celah penelitian untuk membuktikan kembali dan

mencapai konsistensi hasil penelitian yang saat ini dilakukan, sesuai dengan

konsep utama (main concept) yang ditawarkan dalam penelitian ini maka research

gap tersebut antara lain:

1. Research Gap, ketidakmampuan teori dalam meningkatkan Kinerja Bisnis

melalui orientasi kewirausahaan.

Ketidakmampuan teori kontingensi, aditif dan konfigurasi dalam

meningkatkan kinerja bisnis secara konsisten melalui orientasi kewirausahaan

perlu dilakukan penelitian ulang secara komprehensif. Kegagalan sebagian dari

membangun dimensi tambahan sejak Miller (1983) dan Covin dan Slevin (1989)

membangun tiga dimensi orientasi kewirausahaan dalam meningkatkan kinerja

tidak terbukti secara keseluruhan seperti Innovativeness, Risk-Taking dan

Proactiveness, Autonomy dan Competitive Agresiveness oleh Lumpkin dan Dess

(1996). Wiklund dan Shepperd (2005) gagal membuktikan teori kontingensi dapat

meningkatkan kinerja. Para peneliti sebelumnya menggunakan pendekatan yang

berbeda dalam satu frame, sebagai contoh Wiklund dan Shepperd (2005)
20

membandingkan dua model pendekatan teori untuk meningkatkan kinerja melalui

orientasi kewirausahaan adalah menggunakan teori kontingensi dan model

konfigurasi.

Wiklund dan Shepperd (2005) berpendapat bahwa pendekatan konfigurasi

memberikan peluang untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam dari

hubungan antara orientasi kewirausahaan dengan kinerja bisnis. Sementara itu

pendekatan dengan model teori manajemen strategi (strategic management

theory) yang dilakukan membuktikan bahwa orientasi kewirausahaan internasional

berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan internasional (Acosta, Crespo,

dan agudo, 2018). Berdasarkan pada hasil penelitian terdahulu, maka dalam

penelitian ini untuk mencapai kinerja dalam konteks orientasi kewirausahaan maka

digunakan model pendekatan teori kontigensi untuk mencapai konsistensi hasil

yang lebih kuat.

2. Research Gap hubungan antara Orientasi kewirausahaan dengan Kinerja

Bisnis.

Research gap pada hubungan antara orientasi kewirausahaan dengan

kinerja perusahaan, dilakukan oleh Wiklund dan Shepherd (2005) yang

menyatakan terdapat hubungan yang positif. Penelitian yang dilakukan pada

usaha kecil dengan sampel diambil dari database CD-ROM UC-SELECT dimana

termasuk seluruh yang tergabung dalam perusahaan di Swedia. Sampel diambil

secara random di empat sektor perusahaan Knowledge-intensive manufacturing,

labor-intensive manufacturing, professional service dan ritel. Total 808 manajer

Usaha Kecil dari sampel yang terkontak, dan sejumlah 465 yang selanjutnya

dilakukan analisa sesuai dengan kriteria sampel. Setengah dari sampel memiliki

karyawan 10 hingga 19 dan setengahnya lagi 20 hingga 49 mengacu pada laporan

tahunan perusahaan. Orientasi kewirausahaan diukur melalui tiga dimensi yakni


21

proactiveness, innovativeness dan risk taking dalam pengujian ini, hasil yang

diperoleh adalah secara signifikan orientasi kewirausahaan memengaruhi kinerja

usaha kecil.

Frank et al. (2010) melakukan penelitian dengan hasil sebaliknya yakni

terdapat pengaruh negatif antara orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis.

Frank et al. (2010) melakukan replikasi dari penelitian terdahulu untuk

membuktikan hasil yang diperoleh sebelumnya, baik dari Wiklund dan Shepherd

(2005), bahkan dalam penelitian tersebut mengandalkan meta-analisis yang

dilakukan Rauch (2004) yang mencakup hampir 40 penelitian. Fokus penelitian

juga memperhatikan pemikiran Lumpkin, Dess, dan Covin, (1997) mengingat

penelitiannya didasarkan pada model kontingensi dan konfigurasi dengan

pendekatan metodis, serupa dengan yang dilakukan oleh Wiklund dan Shepherd

(2005). Sampel penelitian pada industri listrik dan elektronika di Austria yang terdiri

dari 12 bidang komponen yang paling signifikan diantaranya alat distribusi dan

kontrol, motor, generator, transformer dan teknologi komunikasi dengan 57.000

karyawan pada industri tersebut. Hasil penelitian Frank et al. (2010) tidak sejalan

dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Naman dan Slevin (1993); Zahra dan

Covin (1995); Sapienza dan Grimm (1997); Lee, Lee, dan Pennings (2001);

Runyan, Huddleston, dan Swinney (2006) yang menyatakan bahwa orientasi

kewirausahaan berpengaruh positif terhadap kinerja bisnis.

Pembuktian lemahnya hubungan tersebut juga dibuktikan oleh penelitian

yang dilakukan Lumpkin dan Dess (2001) dari hasil penelitiannya yang

menghasilkan pengaruh yang lemah antara orientasi kewirausahaan terhadap

kinerja bisnis. Beberapa penelitian terkait dengan orientasi kewirausahaan

diyakini memiliki hubungan langsung dengan orientasi pasar (Matsuno et al.,

2002). Menurut Miller (1983) orientasi kewirausahaan merupakan suatu orientasi

untuk berusaha menjadi yang pertama dalam inovasi produk pasar, berani
22

mengambil risiko dan melakukan tindakan proaktif untuk dapat mengalahkan

pesaing. Sedangkan menurut Menon dan Varadarajan (1992) yang menyatakan

bahwa perusahaan yang memiliki budaya proinovasi akan mendorong penyebaran

dan penggunaan informasi. Kohli dan Jaworski, (1990) menyatakan bahwa

seorang manajer yang memiliki keberanian untuk mengambil risiko dan menerima

kegagalan akan cenderung lebih suka untuk mengenalkan produk baru untuk

merespon perubahan permintaan konsumen. Proaktif dalam konteks

kewirausahaan berkaitan dengan perspektif untuk melihat ke depan dan

cenderung untuk mengambil inisiatif dengan mengantisipasi dan mencari peluang

baru serta berpartisipasi dalam merebut pasar (Lumpkin dan Dess, 1996). Dimensi

proaktif dalam kewirausahaan diyakini mendorong dalam melakukan identifikasi

peluang pasar baru (Miller dan Friesen, 1982; Venkatraman, 1989), ini akan

meningkatkan tingkat intelegensi pasar dan ketanggapan (Kohli dan Jaworski,

1990). Penelitian yang menguji orientasi kewirausahaan (Farrell, 2001; Nevis et

al., 1995; Slater dan Narver, 1995), orientasi jangka panjang (Spekman, 1988;

Heide dan John, 1990; Ganesan, 1994; Garbarino and Johnson, 1999) dan

orientasi belajar (Zahra et al., 2000; Hult et al., 1999; Baker dan Sinkula, 1999)

pada umumnya dilakukan secara sendiri-sendiri, dan langsung dihubungkan

dengan kinerja organisasi.

Hasil penelitian terdahulu tersebut dapat disebabkan oleh pengambilan

setting atau objek latar penelitian yang berbeda seperti, pada perusahaan skala

besar (MNC), atau IKM, dari setting negara yang berbeda misalkan mengambil

setting negara maju, negara sedang berkembang atau bahkan kawasan asia

pasifik, dapat juga karena perbedaan dimensi pengukurannya.


23

3. Pengisian Research Gap

Research gap yang terdapat pada hubungan antara Orientasi

Kewirausahaan dengan Kinerja Bisnis dalam penelitian terdahulu akan

diselesaikan dalam penelitian ini dengan menempatkan Orientasi Pasar dan

Kapasitas Penyerapan (Absorptive Capacity) yang berperan sebagai mediasi

pada hubungan tersebut. Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa orientasi

kewirausahaan memiliki hubungan secara langsung dengan orientasi pasar

(Matsuno, 2002) sehingga ini yang menjadi pilihan alternatif untuk menempatkan

kapasitas penyerapan dimasukkan dalam penelitian ini, namun kedudukannya

sebagai variabel mediasi. Penelitian yang membahas tentang kapasitas

penyerapan apabila dikaitkan dengan orientasi kewirausahaan belum banyak

ditemui, namun jika ditinjau dari mulai munculnya konsep kapasitas penyerapan

dimulai tahun 1990an dan dipopulerkan oleh Cohen dan Levinthal (1990), Lane

dan Lubatkin (1998), Zahra dan George (2002) selanjutnya dikembangkan oleh

generasi berikutnya seperti Todorova (2007), Ferreras (2015, 2016), Kotabe

(2011), Flatten (2015), Pihlajamaa (2017).

Penulis memandang bahwa kajian kapasitas penyerapan yang dilakukan

oleh peneliti sebelumnya terutama generasi pertama banyak diposisikan sebagai

variabel dependen. Generasi berikutnya baru menguji kapasitas penyerapan pada

variabel independen, namun masih terbatas pada konteks pengembangan

dimensi maupun indikator. Pengembangan tersebut berimplikasi pada hasil

penelitian terkait dengan posisi kapasitas penyerapan, sehingga ini dapat

dianggap sebagai celah penelitian untuk memasukkan kapasitas penyerapan

sebagai variabel yang memediasi hubungan antara Orientasi kewirausahaan

dengan Kinerja Bisnis. Sejauh yang penulis ketahui sampai saat ini belum

ditemukan penelitian yang menguji hubungan Orientasi kewirausahaan dengan

Kinerja Bisnis yang dimediasi oleh Orientasi Pasar dan Kapasitas Penyerapan
24

sekaligus. Penelitian ini memiliki pandangan bahwa dengan menambahkan kedua

variabel tersebut yang berperan sebagai mediasi maka akan terjadi peningkatan

kinerja bisnis.

4. Pengisian Research Gap dengan memasukkan variabel moderator.

Upaya penelitian ini tidak hanya memasukkan kedua variabel yang

berperan sebagai mediasi saja, karena penulis merasa perlu dalam upaya

meningkatkan kinerja bisnis secara signifikan akan tercapai apabila ditambahkan

dengan variabel yang mampu memperkuat yakni Lingkungan Eskternal Bisnis.

Menempatkan Lingkungan Eksternal Bisnis sebagai variabel moderasi

sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa syarat variabel moderasi adalah

posisi variabel tersebut ditinjau dari kedudukannya adalah sebagai “uncontrolable

variable” (Ferdinand, 2014). Mengingat Llingkungan Eskternal Bisnis merupakan

kondisi yang tidak dapat dikendalikan secara langsung oleh IKM sehingga dapat

dikatakan bahwa Lingkungan Eksternal Bisnis tepat dijadikan variabel moderasi.

Relevansi dari keseluruhan konstruk penelitian yang selama ini diteliti oleh peneliti

sebelumnya dengan menempatkan pada objek perusahaan yang berafiliasi

teknologi tinggi dan berhubungan dengan inovasi menjadi bagian yang menarik

untuk penelitian ini dengan mengambil setting IKM sektor kerajinan. Karakteristik

IKM yang berbeda di Indonesia pada umumnya dan khususnya Jawa Timur akan

membuat kajian ini dapat memberikan kontribusi baik secara teoritis maupun

praktis bagi pelaku usaha dan akademisi.

Kedua aspek tersebut dengan menempatkan Orientasi Pasar dan

Kapasitas Penyerapan sebagai variabel mediasi dari hubungan antara Orientasi

kewirausahaan dengan Kinerja Bisnis dipandang peneliti sebagai kekuatan dalam

penelitian ini. Kekuatan berikutnya adalah memasukkan Lingkungan Eksternal

Bisnis dalam penelitian ini dengan menggunakan politik/hukum, ekonomi,


25

sosial/budaya dan teknologi (PEST) sebagai variabel moderasi dari hubungan

antara Orientasi kewirausahaan dengan Kinerja Bisnis yang dimediasi oleh

orientasi pasar dan kapasitas penyerapan merupakan model utama penelitian ini

(full model) juga dapat dinyatakan (claim) sebagai penciri yang khas dari penelitian

ini, sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan

keilmuan terutama ilmu manajemen pemasaran.

Beberapa konsep yang telah dijelaskan di atas merupakan konstruk yang

dibangun dalam penelitian untuk dapat membuktikan secara empiris apakah

orientasi kewirausahaan, orientasi pasar dan kapasitas penyerapan berpengaruh

terhadap kinerja bisnis dimoderasi lingkungan eksternal bisnis pada industri kecil

sektor kerajinan di Jawa Timur.

Sehubungan dengan uraian permasalahan di atas baik secara teoritik

maupun empirik, maka dalam penelitian ini tertarik untuk mengangkat tema

tersebut, dengan mengacu pada konteks permasalahan yang ada sehingga dapat

disusun perumusan masalah penelitian.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka perumusan

masalahnya dalam penelitian ini antara lain :

1. Apakah Orientasi Kewirausahaan berpengaruh positif signifikan terhadap

Kinerja Bisnis ?

2. Apakah Orientasi Kewirausahaan berpengaruh positif signifikan terhadap

Orientasi Pasar ?

3. Apakah Orientasi Kewirausahaan berpengaruh positif signifikan terhadap

Kapasitas Penyerapan ?
26

4. Apakah Orientasi Pasar berpengaruh signifikan positif terhadap Kinerja

Bisnis ?

5. Apakah Kapasitas Penyerapan berpengaruh positif signifikan terhadap

Kinerja Bisnis ?

6. Apakah Orientasi Pasar memediasi pengaruh Orientasi Kewirausahaan

secara signifikan terhadap Kinerja Bisnis ?

7. Apakah Kapasitas Penyerapan memediasi pengaruh Orientasi

Kewirausahaan secara signifikan terhadap Kinerja Bisnis ?

8. Apakah Lingkungan Eksternal Bisnis memoderasi pengaruh Orientasi

Kewirausahaan secara signifikan terhadap Kinerja Bisnis ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana orientasi

kewirausahaan memengaruhi kinerja bisnis secara signifikan, selanjutnya

menjelaskan pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap orientasi pasar,

pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kapasitas penyerapan, serta

menjelaskan apakah orientasi pasar dan kapasitas penyerapan memiliki kontribusi

sebagai mediasi dari hubungan antara orientasi kewirausahaan dengan kinerja

bisnis. Penjelasan berikutnya adalah bagaimana lingkungan eksternal bisnis

menjadi moderator dari hubungan antara orientasi kewirausahaan dengan kinerja

bisnis secara signifikan. Secara eksplisit tujuan penelitian ini adalah :

1. Menguji dan menganalisis pengaruh Orientasi kewirausahaan terhadap

Kinerja Bisnis secara positif signifikan dalam lingkup IKM sektor kerajinan.

2. Menguji dan menganalisis pengaruh Orientasi kewirausahaan terhadap

Orientasi Pasar secara positif signifikan dalam lingkup IKM sektor

kerajinan.
27

3. Menguji dan menganalisis pengaruh Orientasi kewirausahaan terhadap

Kapasitas Penyerapan secara positif signifikan dalam lingkup IKM sektor

Kerajinan.

4. Menguji dan menganalisis pengaruh Orientasi Pasar terhadap Kinerja

Bisnis secara positif signifikan dalam lingkup IKM sektor kerajinan.

5. Menguji dan menganalisis pengaruh Kapasitas Penyerapan terhadap

Kinerja Bisnis secara positif signifikan dalam lingkup IKM sektor kerajinan.

6. Menguji dan menganalisis Orientasi kewirausahaan dimediasi Orientasi

Pasar berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Bisnis dalam lingkup IKM.

7. Menguji dan menganalisis Orientasi kewirausahaan dimediasi Kapasitas

Penyerapan berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Bisnis dalam lingkup

IKM sektor kerajinan.

8. Menguji dan menganalisis Orientasi kewirausahaan dimoderasi

Lingkungan Eksternal Bisnis berpengaruh signifikan terhadap Kinerja

Bisnis dalam lingkup IKM sektor kerajinan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun

praktis antara lain :

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu manajemen

pemasaran khususnya yang terkait dengan kewirausahaan

(entrepreneurship), seperti lingkungan eksternal bisnis, orientasi

kewirausahaan dan orientasi pasar, serta kapasitas penyerapan dalam

meningkatkan kinerja bisnis pada industri kecil sektor kerajinan di Jawa

Timur.
28

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa informasi

sekaligus bahan referensi bagi stakeholder terkait dengan pengembangan

industri kecil sektor kerajinan, seperti Dinas Koperasi dan UMKM, Pelaku

Usaha, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Perbankan, serta

pemangku kepentingan lainnya dalam memanfaatkan informasi hasil

penelitian seperti :

1. Pentingnya seorang pelaku usaha memiliki orientasi kewirausahaan

yang baik untuk meningkatkan kinerja usahanya.

2. Memberikan wawasan mengenai pentingnya pelaku bisnis memiliki

orientasi pasar yang baik dalam upayanya meningkatkan kinerja

bisnis.

3. Pentingnya menyesuaikan diri dengan melihat perubahan dan

perkembangan lingkungan eksternal yang terjadi dalam menciptakan

business sustainable.

4. Pentingnya melihat situasi dan kondisi eksternal serta kebutuhan

pasar yang berubah dengan memiliki kapasitas penyerapan yang baik

untuk meningkatkan kinerja.

5. Mengembangkan pelatihan bagi pelaku usaha kecil dalam

meningkatkan usahanya secara berkelanjutan.


29

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hasil Penelitian Terdahulu

Hasil-hasil penelitian yang memiliki kedekatan relevansi terhadap objek

kajian yang dilakukan oleh peneliti terdahulu menjadi bahan rujukan sekaligus

pedoman dalam menyusun penelitian ini. Pentingnya penelitian terdahulu tidak

hanya sebagai pedoman dalam proses penyusunan penelitian, tetapi juga menjadi

landasan argumentasi bahwa telah dilakukan pengujian dan pembuktian empiris

terhadap konstruk-konstruk yang dikembangkan dalam model penelitian.

Relevansi penelitian terdahulu yang menjadi rujukan penelitian ini memiliki ruang

lingkup kajian seperti orientasi kewirausahaan, orientasi pasar, kapasitas

penyerapan, lingkungan eksternal bisnis dan kinerja bisnis. Penelitian sebelumnya

antara lain,

1. Penelitian Rakesh C. (2014), dengan judul “PEST Analysis for Micro Small

Medium Enterprise Sustainability” berusaha mengungkapkan bahwa

analisis PEST digunakan sebagai alat utama untuk membantu dan

memahami bagi pelaku IKM di India pada kondisi yang tidak menentu atau

penuh dengan ketidakpastian yang terus berubah meskipun ini bisa

menjadi peluang. Pelaku IKM diharapkan mengubah praktik bisnis mereka

dengan mengidentifikasi lingkungan eksternal bisnis mereka yang berada

diluar kendali pelaku IKM, diantaranya memahami stabilitas politik dan

kepastian hukum terutama bagi IKM, menyerap perkembangan teknologi

yang begitu cepat berubah, memahami kondisi ekonomi, mengidentifikasi

perubahan sosial budaya masyarakat. Penetapan strategi yang tepat

melalui analisis PEST dapat mempertahankan dan menjaga keberlanjutan

bisnis IKM. Analisis PEST memberikan kontribusi bagi IKM untuk

29
30

menentukan strategi yang tepat dalam meningkatkan kinerja bisnisnya

melalui memanfaatkan peluang-peluang dan tantangan yang ada. Melalui

analisis tersebut IKM mampu menjaga dan meningkatkan kontinyuitas

pertumbuhan mereka serta mengevaluasi faktor-faktor yang

mempengaruhi bisnis mereka.

2. Penelitian Nathaniel Boso, Vicky M. Story, dan John W. Cadogan, 2013

dengan judul “Entrepreneurial Orientation, Market Orientation, Network

Ties, and Performance: Study of Entrepreneurial Firms in Developing

Economy”.Hasil penelitian tersebut menjelaskan bahwa orientasi

kewirausahaan (entrepreneur orientation) berpengaruh terhadap kinerja.

Latar penelitian yang dilakukan oleh Boso berada di Ghana dengan jumlah

sampel sebanyak 203 wirausaha. Dalam penelitian ini Boso mengajukan

beberapa hipotesis, diantaranya yang pertama adalah bahwa terdapat

dampak utama orientasi kewirausahaan dan orientasi pasar pada

perusahaan yang sukses, terdapat interaksi diantara orientasi

kewirausahaan dan orientasi pasar yang berpengaruh secara positif

terhadap kinerja perusahaan dalam pembangunan ekonomi. Hipotesis

yang kedua menyatakan bahwa untuk operasional perusahaan dalam

pembangunan ekonomi, terdapat interaksi antara orientasi kewirausahaan

dan orientasi pasar secara positif lebih berpengaruh terhadap kinerja

perusahaan manakala social network ties lebih tinggi. Hipotesis ketiga

dinyatakan bahwa untuk operasional perusahaan dalam pembangunan

ekonomi, terjadi interaksi dimana orientasi kewirausahaan dan orientasi

pasar berpengaruh terhadap kinerja perusahaan manakala business

network ties lebih tinggi. Kerangka penelitian yang diajukan seperti di

bawah, menunjukkan bahwa dimensi dari lingkungan bisnis dijadikan

sebagai variabel kontrol dalam penelitian tersebut yakni environment


31

munificent dan environment complexity dengan menambah aspek ukuran

perusahaan, lama perusahaan beroperasi, jenis industri, dan rendahnya

interaksi.

Gambar 2.1
Model Konseptual

Entrepreneurial
Orientation

Network ties

Sosial Business
Network Ties Network Ties

Firm Performance
 Sales Performance
 Protitability

Market
Orientation

Controls
1. Environment
Munificence
2. Environment Complexity
3. Firm size
4. Industry
5. Firm experience
6. Lower-order interactions
32

3. Penelitian yang dilakukan oleh Riliang Qu dan Zelin Zhang (2015), dengan

judul “Market Orientation and Business Performance in MNC Foreign

Subsidiaries-Moderating Effects of Integration and Responsiveness”. Studi

ini memverifikasi orientasi pasar terhadap kinerja perusahaan yang

dimoderasi oleh pengaruh integrasi dan responsiveness yang dilakukan

dengan random sampling pada 2000 anak perusahaan asing yang diambil

dari Financial Analysis Made easy Database yang terdaftar secara terbatas

di Inggris sebagai anak perusahaan asing. Survey dilakukan melalui surat

pada eksekutif bisnis sebanyak 252 anak perusahaan multinasional di

Inggris. Dari responden yang ada terdapat 198 atau (79%) adalah Direktur

Utama, dan separuh lebih sedikit kantor pusat dari anak perusahaan

tersebut berlokasi di Eropa (126), di Amerika Serikat (79), di Jepang (19),

serta di beberapa Negara lainnya di dunia sebanyak (28). Penelitian ini

bertujuan untuk memverifikasi pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja

perusahaan secara signifikan yang dimoderasi oleh derajat integrasi

dengan perusahaan induk. Tujuan berikutnya adalah memverifikasi

pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja perusahaan secara signifikan

yang dimoderasi oleh daya tanggap (local responsive pressure) anak

perusahaan multi national corporation (MNC). Pengujian dimensionalitas,

reliabilitas dan validitas menggunakan exploratory factor analysis (EFA)

melalui principal axis factoring with oblique rotation. Serta menggunakan

confirmatory factor analysis (CFA) untuk memperoleh maximum likelihood

estimation using the covariance matrix melalui Lisrel. Sementara itu

analisis dalam penelitian ini menggunakan hierarchical moderated

regression model. Hasil pengujian menunjukkan bahwa orientasi pasar

berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja perusahaan dan integrasi

menjadi moderasi dari pengaruh keduanya. Serta orientasi pasar


33

berpengaruh signifikan terhadap kinerja perusahaan dan responsiveness

menjadi moderasi dari pengaruh keduanya.

Tabel 2.1
Hasil dengan menggunakan hierarchical moderated regression models

Variables Direct effects Full effects

Regression coefficient (t-statistic


Market Orientation (MO) 0.52 (6.2)a 0.51 (6.1)a
Integration n/s n/s
Responsiveness n/s n/s
Interaction effects
Integration × MO −0.14 (5.7)a
Responsiveness × MO 5 0.10 (4.7)b
R2 0.26a 0.37a
F-value 16.3a 7.8a

4. Penelitian yang dilakukan oleh Todorova dan Durisin (2007) dengan judul

“Absorptive Capacity: Valuing a Reconceptualization” bertujuan untuk

merekonstruksi model awal dari kapasitas penyerapan yang dilakukan oleh

peneliti terdahulu seperti (Cohen dan Levinthal, 1990; Zahra dan George,

2002; serta Lane dan Lubatkin, 1998). Penelitian yang dilakukan dalam

rangka mengembangkan konsep sebelumnya, Todorova memandang

bahwa artikel penelitian terkini tentang pembelajaran dan inovasi

mengarahkan perhatian kita pada ambiguitas dan kelalaian serius dalam

konseptualisasi Zahra dan George (2002). Todorova dan Durisin (2007)

menyarankan untuk memperkenalkan kembali pengakuan nilai sebagai

suatu pemahaman alternatif tentang transformasi, sebuah klarifikasi

mengenai kapasitas penyerapan potensial, sebuah elaborasi dampak

mekanisme sosialisasi, sebuah investigasi tentang peran hubungan


34

kekuasaan dan dimasukkannya umpan balik dalam model dinamis dari

kapasitas penyerapan.

Gambar 2.2
Model Absorptive Capacity yang telah disempurnakan.
Sumber: Todorova dan Durisin (2007)

2.2 Landasan Teori

Penelitian disertasi ini dibangun berdasarkan pada landasan teori yang

kuat agar memiliki pijakan dalam menyusun konfigurasi konstruk yang

dikembangkan. Tujuan dari penelitian ini adalah berusaha menjawab

permasalahan bagaimana meningkatkan kinerja bisnis bagi IKM sektor kerajinan.

Usaha dalam menyelesaikan permasalahan tersebut mengkonfigurasi konstruk

sebagai pisau analisis dalam memecahkan masalah pada IKM yakni

meningkatnya kinerja bisnis melalui orientasi kewirausahaan, orientasi pasar,

kapasitas penyerapan dan lingkungan eksternal bisnis.


35

Teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini adalah Teori Kontingensi

atau sering disebut teori situasional karena teori ini mengemukakan bahwa

kepemimpinan tergantung pada situasi. Model atau teori kontingensi Fiedler

melihat bahwa kelompok efektif tergantung pada kecocokan antara gaya

pemimpin yang berinteraksi dengan subordinatnya sehingga situasi menjadi

pengendali dan berpengaruh terhadap pemimpin. Kepemimpinan tidak akan

terjadi dalam satu kevakuman sosial atau lingkungan.

Pendekatan kontingensi ini dimaksudkan untuk menjembatani jurang

perbedaan yang ada antara teori dan praktek. Pendekatan kontingensi

memasukkan variabel-variabel lingkungan dalam analisanya, karena perbedaan

kondisi lingkungan sehingga memerlukan aplikasi konsep dan teknik manajemen

yang berbeda pula. Pendekatan kontingensi muncul sebagai tanggapan atas

ketidakpuasan terhadap anggapan universalitas, dan kebutuhan untuk

memasukkan berbagai variabel lingkungan ke dalam teori dan praktek

manajemen.

Pendekatan kontingensi juga mencoba mengidentifikasikan teknik mana,

pada situasi tertentu, di bawah keadaan tertentu, dan pada waktu tertentu, akan

membantu pencapaian tujuan manajemen. Perbedaan kondisi dan situasi

membutuhkan aplikasi teknik manajemen yang berbeda pula, karena tidak ada

teknik, prinsip dan konsep universal yang dapat diterapkan dalam seluruh kondisi.

Beberapa penelitian sebelumnya banyak mengkaji tentang orientasi

kewirausahaan dengan terdapat banyaknya variasi variabel yang tersedia, akan

tetapi menggunakan pilihan yang sangat berbeda antara satu dengan yang lain.

Meskipun memiliki nama variabel yang sama bukan berarti memiliki arti yang

sama, demikian pula sebaliknya bahwa dengan nama yang berbeda mungkin

memiliki arti dan makna yang sama sebagai variabel yang memiliki nama yang

berbeda.
36

Teori kontingensi yang digunakan dalam penelitian kewirausahaan juga

mengkaji arah hubungan sebab akibat dengan menyelidiki bagaimana diantara

variabel saling terhubung satu sama lain. Penelitian kewirausahaan dapat ditinjau

kembali bagaimana variabel kewirausahaan tersebut dapat mempengaruhi

maupun dipengaruhi oleh variabel lain. Hasil membuktikan bahwa sebagian

peneliti menemukan bahwa orientasi kewirausahaan berpengaruh secara

langsung terhadap kinerja bisnis, sementara itu pada hasil penelitian lain

menyebutkan bahwa variabel lain seperti lingkungan memiliki efek terhadap

hubungan antara orientasi kewirausahaan dengan kinerja. Teori kontingensi

dalam kewirausahaan juga memperhatikan level analisis yang digunakan,

sebagian besar mengambil dalam perspektif tingkat perusahaan, ada juga yang

mengambil perspektif individu, ada yang berdasarkan perspektif tim, perspektif unit

bisnis, serta kombinasi diantara perspektif yang ada.

Covin dan Slevin (1989) dalam penelitiannya menggunakan pendekatan

kontingensi ketika mereka mempelajari bagaimana lingkungan, struktur, orientasi

kewirausahaan, dan strategi mempengaruhi hasil kinerja perusahaan kecil. Dalam

lingkungan yang tidak bersahabat, mereka menemukan bahwa struktur organik,

EO yang tinggi, dan strategi yang berfokus pada orientasi jangka panjang dan

harga produk yang tinggi terkait dengan kinerja tinggi. Dalam lingkungan yang

ramah, sebaliknya, ditemukan bahwa struktur mekanistik EO rendah dan strategi

yang berfokus pada orientasi jangka pendek dan ketergantungan pelanggan

tunggal. Sesuai dengan penelitian tersebut, Zahra dan Covin (1995) mempelajari

bagaimana EO mempengaruhi kinerja dalam lingkungan yang berbeda; mereka

menemukan bahwa EO sangat efektif dalam lingkungan yang tidak bersahabat.

Antoncic dan Hisrich (2001) berteori bahwa lingkungan eksternal akan

mempengaruhi tingkat kewirausahaan dalam suatu organisasi, yang pada

gilirannya mengarah ke kinerja organisasi yang tinggi. Penelitian lain, seperti


37

Becherer dan Maurer (1997), telah berteori bahwa lingkungan eksternal akan

memengaruhi hubungan antara tingkat kewirausahaan dalam organisasi dan

kinerja organisasi. Meskipun kedua studi ini menggunakan variabel lingkungan,

kewirausahaan, dan kinerja yang serupa, arah kausal dan hubungan antara ketiga

variabel sangat berbeda. Tipe kedua dari fragmentasi paneliti juga memperhatikan

bagaimana beberapa penelitian hanya menggunakan analisis pada tingkat

perusahaan (misalnya Liao et al., 2003; Zahra dan Bogner, 2000) sementara yang

lain telah menggunakan campuran antara analisis tingkat individu dan perusahaan

(misalnya, Brigham et al., 2007; Chanler dan Hanks, 1994). Jenis fragmentasi

ketiga dalam penelitian ini ditemukan adalah bahwa variabel-variabel kadang-

kadang dapat memiliki nama yang sama tetapi memiliki arti yang berbeda

(indikator). Sebagai contoh, kinerja diartikan sebagai pertumbuhan (misalnya

Chandler dan McEvoy, 2000) sementara peneliti lain telah menggunakan laba atas

investasi dan pangsa pasar (misalnya McDougall et al., 1992).

Dengan memetakan penelitian sebelumnya, peneliti mengidentifikasi celah

dalam literatur serta untuk memandu pada konstruk yang kurang dieksplorasi.

Pendekatan ini mungkin juga menjadi salah satu langkah dalam mengidentifikasi

variabel yang memiliki relevansi teoritis dan juga menilai apakah ada variabel

dengan relevansi teoritis terbatas untuk bidang kewirausahaan, seperti yang

ditunjukkan oleh Zahra (2005). Mengkonfigurasi dengan memasukkan variabel

kapasitas penyerapan sebagai mediasi dalam penelitian ini untuk mengetahui

bahwa IKM mampu mengeksplorasi pengetahuan dari luar sebagai bahan

informasi awal untuk dapat melakukan sesuatu. Kemampuan mengeksplorasi

pengetahuan dari luar tersebut merupakan bagian dari kapasitas penyerapan

(absorptive capacity). Kemampuan tersebut selanjutnya ditransformasikan

kedalam sebuah rancangan hingga mampu mengeksploitasi menjadi produk

komersil.
38

Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini berusaha

membuktikan teori-teori dasar yang digunakan yaitu Contingency Theory dengan

memperhatikan lingkungan yang memengaruhi kinerja. Identik dengan kapasitas

penyerapan (absorptive capacity theory) bagaimana perusahaan melalui individu

atau entitas dalam perusahaan mampu mengeksplorasi pengetahuan dari luar

untuk diolah menjadi informasi, selanjutnya mentransformasi pengetahuan

tersebut dan kemudian mengeksploitasi (Cohen dan Levinthal, 1990; Ferreras,

2015; Fabrizio, 2009; Lane dan Lubatkin, 1998; Scaringella, 2015; Zahra dan

George, 2002) menjadi produk komersil.

Orisinalitas dari model teoritikal dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan PEST sebagai pengukur variabel lingkungan eksternal bisnis. Teori

kontingensi di bidang kewirausahaan memiliki gagasan mendasar bahwa tindakan

kewirausahaan perlu diselaraskan dengan konteks untuk hasil terbaik (Wiklund

dan Shepherd, 2005). Kecocokan kontingensi dapat dilihat sebagai konsep

sederhana yang selaras antara struktur dan konteks yang mengarah ke kinerja

organisasi, meskipun terdapat beberapa literatur kewirausahaan yang tampaknya

seperti keselarasan tersebut telah dikonseptualisasikan dalam berbagai cara.

2.3 Pengertian Lingkungan Eksternal Bisnis

Sebelum dijelaskan secara spesifik terkait lingkungan eksternal bisnis, terlebih

dulu penulis membahas mengenai lingkungan bisnis secara umum. Lingkungan bisnis

diartikan sebagai faktor yang harus dihadapi oleh organisasi atau wirausaha dan

menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan strategis bisnis, karena

keberadaan lingkungan bisnis bagian dari kehidupan bisnis. Bisnis akan berkembang

apabila perusahaan atau wirausaha mampu mengelola dengan baik, demikian

sebaliknya apabila tidak mampu mengelola dengan baik maka akan terjadi penuruan

(decline) pada bisnis. Beberapa ahli telah banyak melakukan penelitian dan
39

pengembangan terkait dengan lingkungan bisnis.

Lingkungan merupakan segala sesuatu yang berada diluar organisasi

(Robbins, 1994). Menurut Smircich dan Stubbart, (1985); Mansfield, (1990) dalam

Brooks dan Weatherston (1997:4), definisi lingkungan memiliki masalah

intelektual, sehingga para peneliti mengkategorikannya dengan pendekatan yang

berbeda. Dalam konteks manajemen strategi, lingkungan didefinisikan

berdasarkan dekat dan jauhnya lingkungan dari organisasi atau langsung dan tidak

langsungnya lingkungan memengaruhi organisasi.

Lingkungan bisnis merupakan lingkungan yang dihadapi organisasi dan

harus dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan bisnis (perusahaan).

Aktivitas keseharian organisasi mencakup interaksi dengan lingkungan kerja

(Dill,1958 dalam Brooks 1997:5). Hal ini termasuk hubungannya dengan

pelanggan, suppliers, serikat dagang dan pemegang saham. Lingkungan bisnis

berperan dalam memengaruhi penetapan strategi organisasi. Dalam penelitian ini

fokus penulis pada lingkungan makro atau biasa disebut politik/hukum, ekonomi,

sosial/budaya, dan teknologi (PEST).

2.3.1 Lingkungan Makro atau PEST

Lingkungan makro disebut juga lingkungan sosial atau societal

environment (Wheelen, 2012), lingkungan jauh (Pearce, 2000; 71), lingkungan

makro (Hill, 1998;84). Lingkungan sosial termasuk kekuatan umum yang secara

tidak langsung berhubungan dengan aktivitas organisasi jangka pendek tetapi

dapat dan sering kali memengaruhi keputusan jangka panjang. Lingkungan sosial

yang dimaksud yaitu kekuatan ekonomi, kekuatan teknologi, kekuatan hukum-

politik dan kekuatan sosial budaya (Wheelen,2012).

Pernyataan dari beberapa pendapat mengenai lingkungan tersebut juga

diperjelas kembali oleh Wheelen & Hunger (2012) yang menyatakan bahwa
40

perusahaan perlu melakukan pemetaan atau identifikasi lingkungan termasuk

menganalisis seluruh elemen yang memiliki keterkaitan dengan tugas-tugas

lingkungan, seperti yang dilakukan oleh P&G dimana setiap orang dalam tim

manajemen merek bekerja dengan tim kunci dari departemen penelitian penjualan

dan pemasaran untuk melakukan penelitian dan menulis laporan aktifitas

persaingan (competitive activity report), disetiap empat bulan pada setiap produk

P&G dimana berkompetisi.

Analisis lingkungan sosial yang meliputi ekonomi, sosial-budaya, teknologi

dan politik-hukum, melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang memengaruhi

diantaranya kelompok kepentingan, masyarakat, pasar, pesaing, pemasok dan

pemerintah. Beberapa faktor yang dianalisis tersebut menjadi dasar menentukan

strategi yang akan dipilih oleh perusahaan dalam rangka memenangkan

persaingan.

1. Ekonomi

Kekuatan ekonomi memiliki relevansi dengan kondisi, sifat, dan kebijakan

ekonomi disuatu tempat dimana perusahaan beroperasi. Perusahaan dalam

penetrasi bisnisnya harus memiliki perencanaan strategis dengan menganalisis

kondisi ekonomi suatu tempat (negara/wilayah) termasuk daya beli

masyarakatnya, segmen yang dibidik dan perusahaan juga harus melihat Trend

Gross National Product, kredit secara umum, suku bunga, inflasi, tingkat

pengangguran, pengendalian upah/harga, devaluasi/revaluasi, jumlah uang yang

beredar dan penghasilan yang dapat dibelanjakan (disposible income) (Wheelen

et al., 2003; Pearce dan Robinson, 2001) atau secara umum dinyatakan sebagai

kondisi ekonomi suatu negara/wilayah/daerah.


41

2. Politik/Hukum

Stabilitas politik suatu negara menjadi pertimbangan utama investor atau

pebisnis dalam memilih negara atau daerah dalam operasi bisnisnya, serta adanya

kepastian hukum yang jelas bagi para pelaku usaha. Mengingat faktor politik dan

kepastian hukum sangat berpengaruh terhadap perkembangan dunia usaha baik

kecil maupun besar.

Kebijakan pemerintah dan stabilitas politik menjadi faktor penting dalam

perkembangan dunia usaha khususnya IKM di negara-negara berkembang seperti

halnya Indonesia, karena peran pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang

berpihak pada industri skala kecil sangat menentukan kondisi perekonomian. Para

pegiat IKM atau wirausaha harus mampu menyesuaikan kondisi dengan

perkembangan politik atau hukum yang ada di dalam negeri, kemungkinan ini

menjadi dasar penyusunan strategi kedepan bagi para wirausaha untuk

melakukan diversifikasi pada bisnisnya.

3. Sosial/Budaya

Kekuatan sosial budaya merupakan faktor yang juga menentukan bagi

keberlanjutan bisnis apabila mampu menyesuaikan diri. Kekuatan tersebut

meliputi nilai, tradisi, kecenderungan/tren, perilaku konsumen, serta harapan-

harapan konsumen terhadap produk-produk unggulan IKM. Kemampuan

wirausaha membaca peluang dan menyesuaikan tren yang berkembang di pasar,

berdampak pada tumbuh kembangnya usaha. Kebiasaan masyarakat dalam

perilaku belanja, baik secara rasional maupun yang irasional, tradisi masyarakat

yang kental dan daya beli menjadi fokus bagi para pengusaha dalam menawarkan

produknya.
42

4. Teknologi

Perubahan yang sangat pesat pada kemajuan teknologi dewasa ini juga

harus mampu direspon oleh wirausaha, dengan mengikuti perkembangan

teknologi yang ada disamping mempermudah dalam aspek operasional bagi

perusahaan juga mempermudah pasar untuk memberi tanggapan. Kemampuan

dalam menyesuaikan dengan perkembangan teknologi merupakan indikator

keberlanjutan bisnis, seperti diketahui bahwa semua aspek bisnis saat ini sudah

menggunakan atau mengadopsi teknologi sesuai dengan kebutuhan perusahaan

dan di berbagai skala perusahaan.

Lingkungan eksternal secara spesifik merupakan bagian dari model

lingkungan bisnis, yang meliputi lingkungan industri dan lingkungan makro. Lingkungan

makro tersebut disebut juga dengan lingkungan eksternal bisnis. Beberapa peneliti

terdahulu memberikan nama yang berbeda meskipun memiliki pengertian yang sama.

Secara historis gambaran lingkungan eksternal bisnis tersebut didahului melalui

pengertian lingkungan dalam perspektif bisnis.

Lingkungan yang paling dekat dengan organisasi atau disebut juga task

environment, industry environment (Hitt et al., 2001:22; Pearce & Robinson,

2000:71), specific environment (Robbins, 1994:231) yaitu lingkungan yang

langsung memengaruhi strategi, mencakup pesaing, pemasok, pelanggan dan

serikat dagang. Selanjutnya lingkungan yang secara tidak langsung memengaruhi

strategi atau disebut juga general environment (Hitt et al., 1995; Robbins,1997),

remote environment (Pearce dan Robinson, 2000). Lebih lanjut Robbins

(1994:226-228) membedakan lingkungan organisasi atas lingkungan umum

versus lingkungan khusus dan lingkungan aktual versus lingkungan yang

dipersepsikan. Burns dan Stalkers, (1961) dalam Robbins (1994:231)

membedakan lingkungan organisasi berdasarkan sumber informasi yang dapat

diberikannya yaitu, yang stabil dan pasti dengan lingkungan yang berubah secara
43

cepat dan dinamis. Emery dan Trist (1965) dalam Robbins (1994:232)

mengidentifikasi 4 macam lingkungan yang mungkin dihadapi organisasi, yaitu

placid–randomized, placid-clustered, disturbed-reactive dan turbulent field. Pearce

dan Robinson (2000:71) membedakan lingkungan atas lingkungan jauh (remote

environment), lingkungan industri dan lingkungan operasional. Wheleen dan

Hunger (2000:9) membedakannya atas lingkungan eksternal (external

environment) dan lingkungan internal (internal environment).

Beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli di atas

menggambarkan secara parsial terhadap kondisi bisnis secara faktual dan

komprehensif, dalam penelitian ini lingkungan bisnis adalah segala sesuatu yang

berada di luar perusahaan, berdampak baik secara langsung maupun tidak

langsung, yang tidak dapat dikendalikan dan mengharuskan perusahaan

menentukan strategi yang tepat untuk memenangkan persaingan bahkan

senantiasa mencapai peningkatan secara berkelanjutan. Keberadaan lingkungan

eksternal yang berada di luar perusahaan atau yang berada diluar kendali

perusahaan akan tetapi perusahaan dapat menyesuaikan kondisi eksternal

tersebut melalui strategi yang tepat. Perkembangan serta dinamika yang terjadi di

luar perusahaan menggambarkan kondisi yang tidak pasti.

Ketidakpastian kondisi lingkungan yang terjadi pada dunia bisnis

mengharuskan bagi pelaku bisnis untuk melakukan pemetaan atau identifikasi

terhadap faktor-faktor yang memengaruhi kinerja perusahaan. Sebanyak mungkin

informasi yang diperoleh melalui identifikasi tersebut menjadi bahan untuk

menentukan langkah apa yang akan dilakukan kedepan. Atas dasar informasi

tersebut, perusahaan dapat mengambil tindakan untuk membangun kemampuan

dan penyangga terhadap dampak lingkungan atau untuk membangun hubungan

dengan pemangku kepentingan di lingkungan mereka. Untuk mengambil tindakan

yang berhasil, mereka harus melakukannya secara efektif dalam menganalisa


44

lingkungan eksternal. (Hitt. at al., 2009).

Kaitan lingkungan eksternal dengan organisasi dapat dijelaskan dengan

teori-teori seperti, teori ekologi-populasi (population ecology theory), teori

kontinjensi (contingency theory), dan teori ketergantungan pada sumberdaya

(resource dependence theory). Teori pendekatan ekologi populasi menjelaskan

bahwa kelangsungan hidup dan keberhasilan perusahaan ditentukan oleh

karakteristik lingkungan dimana perusahaan berada (Child,1997).

Model pendekatan ini membawa implikasi bahwa lingkungan eksternal

mempunyai pengaruh langsung (direct effect) terhadap kinerja perusahaan tanpa

memandang pilihan strategi yang dijalankan perusahaan (Wiklund,1999). Teori

kontinjensi (contingency theory) menyatakan bahwa keselarasan antara strategi

dengan lingkungan bisnis eksternal menentukan kelangsungan hidup dan kinerja

perusahaan (Child,1997; Lee dan Miller,1996).

Lingkungan bisnis (business environment) memiliki pengaruh yang kuat

terhadap organisasi perusahaan, terlebih kondisi saat dunia bisnis sudah tidak

terbatas oleh suatu teritorial negara (borderless world), beralihnya hard technology

ke smart technology serta perubahan fundamental lainnya berdampak terhadap

kebijakan yang akan diambil oleh manajemen perusahaan (Hunger, Wheelen:

2007, Brooks : 1997, Lumpkin, Taylor: 2005).

Lingkungan umum dibentuk melalui beberapa dimensi dalam lingkungan

sosial yang mampu memengaruhi industri termasuk perusahaan yang ada

didalamnya. Hitt et al. (2009) mengelompokkan dimensi kedalam enam kelompok

lingkungan diantaranya demografis, ekonomi, politik/hukum, sosial budaya,

teknologi, dan global. Perusahaan tidak dapat mengendalikan secara langsung

lingkungan kelompok dan segmen.


45

Gambar 2.3 Lingkungan Eksternal


Sumber : Hitt, Ireland & Hoskinson (Strategic Management, 2009)

2.3.2 Lingkungan Bisnis dalam Konteks Persaingan

Pearce (2005) mengemukakan model lingkungan bisnis eksternal yang

memengaruhi organisasi, yang terdiri atas lingkungan jauh dan lingkungan

industri. Lingkungan jauh (remote environment) dikenal juga dengan lingkungan

makro terdiri dari; kekuatan hukum dan politik, kekuatan teknologi, kekuatan

ekonomi, kekuatan sosial dan kekuatan ekologi. Satu faktor dalam lingkungan

eksternal perusahaan adalah pesaing, yang merupakan pemacu perusahaan

untuk senantiasa melakukan peningkatan (improving), perbaikan-perbaikan

(repair), serta evaluasi (evaluating) agar perusahaan mampu bersaing dan

bertahan dalam peta persaingan.

Hill & Jones (2012) juga menyatakan bahwa starting point dalam analisis

lingkungan eksternal adalah mengidentifikasi industri dimana pesaing-pesaing

perusahaan masuk. Dalam melakukan ini, seorang manajer harus melihat

kebutuhan dasar pelanggan dimana perusahaan melayaninya, dan mereka harus

berorientasi pelanggan pada bisnis mereka sebagaimana berorientasi pada

produk, seperti dalam gambar berikut terkait dengan kekuatan-kekuatan pesaing.


46

Gambar. 2.4 Bagaimana kekuatan persaingan dalam bentuk strategi,


diadopsi dari Michael E. Porter, Sumber : Hill & Jones (2012)

Pernyataan serupa juga dijelaskan oleh Hitt at al., (2009) bahwa seringkali

lingkungan eksternal industri berpengaruh secara langsung terhadap strategi

bersaing perusahaan dan di atas rata-rata keuntungan. Ini menunjukkan bahwa

kekuatan lingkungan eksternal cukup besar dalam memberikan kontribusi

terhadap kinerja perusahaan, sehingga diperlukan penanganan (handling) yang

baik dan tepat agar sesuai dengan tujuan yang ditetapkan.

Merujuk apa yang dinyatakan oleh Porter (1986) yang diambil dari

kekuatan bersaing meliputi, masuknya pendatang baru, ancaman produk

pengganti, kekuatan tawar menawar konsumen, kekuatan tawar menawar

pemasok, serta persaingan diantara pesaing yang ada. Dalam menyusun

rancangan strategi yang baik dan efektif untuk dapat menduduki posisi yang

kompetitif dalam industrinya maka perusahaan harus mampu menekan dampak

dari kelima kekuatan tersebut.

1. Masuknya Pendatang Baru sebagai Ancaman

Pendatang baru di dalam suatu persaingan industri seringkali menjadi

ancaman serius bagi perusahaan yang eksis terlebih dulu, mengingat sebagai

pendatang baru perusahaan tersebut telah melakukan persiapan yang matang


47

sebelum memasuki pasar. Penetrasi pasar yang dilakukan telah terstruktur

dengan baik, mereka telah melakukan identifikasi sebelumnya dan mengukur

keunggulan produk yang akan ditawarkan termasuk, siapa segmen pasar yang

dituju, siapa pesaing riil-nya, seberapa kuat kompetitif produk pendatang baru

dengan pesaing sebelumnya, hingga pada penetapan harga produk.

Kondisi demikian memaksa bagi perusahaan untuk senantiasa menjaga

kualitas yang ada, disertai dengan menciptakan ide-ide yang dapat direalisasikan

sebagai produk baru. Inovasi menjadi kunci agar perusahaan mendapat respon

positif dari pasar, karena diskrepansi pasar memberikan kemudahan dan

keuntungan bagi konsumen untuk dapat memilih produk mana yang lebih dapat

memberikan kepuasan.

2. Ancaman Produk Pengganti

Persaingan yang sengit akan terjadi dalam industri tatkala munculnya

produk pengganti/substitusi. Apabila harga yang ditawarkan lebih kompetitif dan

terjangkau, bukan tidak mungkin menjadi penghambat pertumbuhan perusahaan.

Perusahaan harus selalu meningkatkan kualitas pelayanannya dan

mendeferensiasikan produknya dengan tujuan untuk meminimalisir potensi

menurunnya respon pasar.

Produk pengganti/substitusi tidak hanya sekedar menjadi ancaman bagi

industri tetapi juga mampu mereduksi hasil yang diraih dan yang selama ini

menjadi sapi perah (cash cow) pada produknya. Produk pengganti yang

diperhitungkan dalam konstelasi persaingan adalah terkait, (1) kualitas produk

pengganti mampu melampaui produk industri, (2) harga yang ditetapkan

kompetitif, (3) mampu memberikan layanan yang baik dan berbeda.

3. Kekuatan Tawar Menawar Pembeli

Pelanggan atau pembeli akan melakukan keputusan pembelian manakala

harga yang ditawarkan dapat ditekan semurah mungkin. Mengingat sebelum


48

memutuskan pembelian, pembeli terlebih dulu mencari informasi dengan berbagai

alternatif produk yang ada sehingga harga yang dapat ditawar oleh pembeli

merupakan pengurangan biaya yang mereka keluarkan. Pada sisi lain pembeli

juga meminta kualitas yang lebih tinggi atau layanan yang memuaskan, sehingga

berdampak pada tingginya tingkat persaingan dalam suatu industri. Kekuatan

pembeli tersebut terjadi apabila situasi seperti di bawah ini terjadi :

 Pembelian yang dilakukan berjumlah besar;

 Produk yang dibeli tersebut standar dan tidak terdiferensiasi;

 Pembeli menerima laba yang rendah, hal ini yang mendorong pembeli

untuk menekan biaya pembeliannya;

 Produk industri bukan bagian penting dari kualitas produk atau jasa

pembeli;

 Produk industri tidak menghasilkan penghematan bagi pembeli;

 Kemampuan pembeli dalam melakukan integrasi balik, atau membuat

produk sendiri.

4. Kekuatan Tawar Menawar Pemasok

Pemasok memiliki kekuatan untuk menekan perusahaan dalam industri

melalui cara menaikkan harga dan atau menurunkan kualitas produk yang

dijualnya. Apabila perusahaan tidak mampu menekan harga melalui review yang

baik, maka potensi untuk mendapatkan keuntungan perusahaan tersebut dapat

menurun karena pemasok tersebut. Kondisi pemasok yang kuat akan terjadi jika :

 Didominasi oleh sedikit perusahaan;

 Produk yang dihasilkan unik, atau terdiferensiasi, atau terdapat biaya

pengalihan (switching cost);

 Industri bukan pelanggan yang penting bagi pemasok;

 Pemasok memiliki potensi untuk melakukan integrasi balik, atau ke industri


49

pembelinya;

 Pemasok tidak bersaing dengan produk-produk dalam industrinya.

5. Persaingan diantara Pesaing yang ada

Persaingan atau rivalitas diantara para industri terjadi karena mereka

berusaha berebut posisi dengan menggunakan taktik-taktik yang ada seperti,

persaingan harga, perang iklan, introduksi produk, serta meningkatkan layanan

dan jaminan kepada pelanggan, sehingga perusahaan harus senantiasa

melakukan revitalisasi strategi dan secara terus menerus. Ubud Salim (2011)

menyatakan bahwa kelahiran kembali strategi (The Rebirth of Strategy),

dinamisasi strategi terus dilahirkan kembali guna menghadapi berbagai

persaingan yang menjadikan sesama perusahaan tidak harus selalu bermusuhan

bahkan kalau perlu bersahabat berupa aliansi strategik (Silverman, 1987; Lamont,

1991; Waterman, 1994; Dauphinais and Price, 1998; Robbins and Coulter, 1999;

Shelton, 2002; Sheldrake, 2003). Keadaan ini terjadi disebabkan karena beberapa

faktor :

 Adanya beberapa pesaing yang seimbang dalam aspek ukuran maupun

kekuatan;

 Pelambatan pertumbuhan industri;

 Produk baik barang maupun jasa tidak terdiferensiasi atau tidak

membutuhkan biaya pengalihan (switching cost);

 Pertambahan kapasitas yang besar;

 Hambatan pengunduran diri yang tinggi;

 Biaya tetap (fixed cost) tinggi atau produk bersifat mudah rusak

(perishable),

 Pesaing yang berbeda-beda.

Lingkungan eksternal bisnis dalam konteks PEST jarang digunakan


50

sebagai konstruk yang dikaitkan dengan konstruk lainnya, mayoritas analisis

PEST digunakan sebagai pemetaan (scanning) dalam menyusun strategi

perusahaan yang kemudian disandingkan dengan SWOT analisis. Penelitian ini

memandang bahwa IKM lebih dekat kaitannya dengan PEST dibandingkan

dengan konsep lingkungan eksternal lain misalnya, Dynamics, Intensity and

impact of the General Economic dan Fiscal Factor, Legislation, Social and

Business Culture, dan General Prosperity (Ward dan Lewandoska, 2008; Ellis,

2006; Ang, 2001; Mavondo, 1999; Deshpande, Farley dan Webster, 1993; Chilton,

1984). Sebagian mengembangkan konstruk Hostily dan Dynamism sebagai

ukuran lingkungan eksternal bisnis (Nandakumar, Ghobadian dan O’Regan,

2016), sementara itu yang menyatakan lingkungan sebagai strategi seperti Placid-

random, Placid-clustered, Disturbed-reactive, dan Turbulance (Ward dan

Lewandoska, 2008). Lingkungan dipandang sebagai sesuatu yang tidak pasti

(uncertainty) seperti, government uncertainty, competitive uncertainty, finance

access uncertainty, dan technological uncertainty (Elbanna dan Alhwarai, 2012;

yusuf, 2008), Turbulence, Rivalry, dan Dynamism (Milovanovic dan Wittine, 2014).

Penelitian ini memandang bahwa konstruk-konstruk di atas merupakan lingkungan

eksternal dekat yang masih dapat sebagian dikendalikan oleh perusahaan.

2.4 Pengertian Kewirausahaan

Seperti yang diungkapkan oleh Zimmerer (2000:70) bahwa sukses

kewirausahaan akan tercapai apabila wirausaha berfikir dan melakukan sesuatu

yang baru atau sesuatu dengan cara-cara yang baru (thing and doing new things

or old thing in new way). Perilaku kewirausahaan merupakan fungsi kompetensi,

insentif dan lingkungan yang dibekali oleh beberapa bekal seperti

pengetahuan/pengalaman, keterampilan dan kemampuan. Bekal ini akan

membentuk kompetensi, kompetensi diartikan sebagai pengetahuan,


51

keterampilan dan kemampuan individu yang dapat berpengaruh langsung pada

kinerja usaha.

Lebih lanjut Scarborough and Zimmerer (2003:35), mengemukakan bahwa

kegagalan entrepreneur/wirausahawan dalam menjalankan Usaha Mikro, Kecil

dan Menengah antara lain dikarenakan: ketidakmampuan dalam mengelola

manajemen (management incompetence), kurangnya pengalaman (lack of

experience), lemahnya pengawasan keuangan (poor financial control), kurangnya

pengetahuan managemen stratejik (lack of strategic management), tidak

terkontrolnya pertumbuhan (uncontrolled growth), lokasi yang keliru (inappropriate

location), kurangnya pengawasan persediaan (lack of inventory control), dan

ketidakmampuan dalam pengendalian transisi kewirausahaan (inability to make

entrepreneurial transition).

Pengertian wirausaha menurut Buchari Alma, (2009:24) menyatakan

bahwa wirausaha menekankan pada setiap orang yang memulai sesuatu bisnis

yang baru. Sedangkan proses kewirausahaan meliputi semua kegiatan fungsi dan

tindakan untuk mengejar dan memanfaatkan peluang dengan menciptakan suatu

organisasi.

Menurut Raymond W.Y Kao (1995) menyebut kewirausahaan sebagai

suatu proses, yakni proses penciptaan sesuatu yang baru (kreasi baru) dan

membuat sesuatu yang berbeda dari yang sudah ada (inovasi). Tujuannya adalah

tercapainya kesejahteraan individu dan nilai tambah bagi masyarakat. Sedangkan

wirausaha mangacu pada orang yang melaksanakan proses penciptaan

kesejahteraan/kekayaan dan nilai tambah, melalui peneluran dan penetasan

gagasan, memadukan sumber daya dan merealisasikan gagasan tersebut

menjadi kenyataan.

Pengertian wirausahawan tersebut diperdalam kembali oleh Zimmerer dan

Scarborough (2008:4) yang menyatakan bahwa seseorang yang menciptakan


52

bisnis baru dengan mengambil risiko dan ketidakpastian demi mencapai

keuntungan dan pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang yang

signifikan dan menggabungkan sumber-sumber daya yang diperlukan sehingga

sumber-sumber daya itu bisa dikapitalisasikan.

Sementara itu Longenecker et al. (2001:4) mendefinisikan wirausaha

adalah seorang pembuat keputusan yang membantu terbentuknya sistem

ekonomi perusahaan yang bebas. Sebagian besar pendorong perubahan, inovasi,

dan kemajuan diperokonomian kita akan datang dari para wirausaha; orang-orang

yang memiliki kemampuan untuk mengambil risiko dan mempercepat

pertumbuhan ekonomi.

Kuratko dan Hodgetts (2001) menyatakan, “The entrepreneuris one who

undertake to organize, manage, and assume the risks of a business.”

Wirausahawan adalah seorang yang berani mengorganisasikan, mengatur,

menanggung risiko-risiko yang terdapat dalam bisnis.

Dari berbagai pendapat para ahli tentang kewirausahaan

(entrepreneurship) dapat disimpulkan bahwa kewirausahaan memiliki 4 (empat)

faktor penting yaitu, pertama, kreativitas dan inovasi; kedua, risiko dan

ketidakpastian; ketiga, manajerial; dan keempat, organisasi bisnisnya.

Kewirausahaan banyak diidentikkan dengan sosok seorang pengusaha

dengan berbagai kemampuannya, sesungguhnya kewirausahaan merupakan jiwa

maupun sifat yang dimiliki oleh seseorang dalam melaksanakan sesuatu

(pekerjaannya). Oleh karena itu seorang pegawaipun dapat dikatakan sebagai

seorang wirausaha (intrapreneurship) manakala dalam proses aktivitas tugasnya

nilai-nilai wirausaha menjadi dasar pelaksanaannya. Jiwa, sikap dan perilaku

kewirausahaan memiliki ciri-ciri :

1. Penuh percaya diri, dengan indikator penuh keyakinan, optimis,

berkomitmen, disiplin, tanggung jawab;


53

2. Memiliki inisiatif, dengan indikator energik, cekatan dalam bertindak, aktif;

3. Motif berprestasi, dengan indikator berorientasi pada hasil, wawasan

kedepan;

4. Jiwa kepemimpinan, dengan indikator berani tampil beda, dapat dipercaya,

tangguh dalam bertindak; dan

5. Berani mengambil risiko, dengan indikator penuh perhitungan dan

menyukai tantangan. (Suryana, 2009).

2.4.1 Model Proses Kewirausahaan

Model proses perintisan dan pengembangan kewirausahaan yang dikutip

oleh Alma (2009) dari tulisan Bygrave secara sistematik bagaimana proses

kewirausahaan tumbuh dan berkembang. Dimulai dengan adanya inovasi dari

wirausaha hasil dari penuangan gagasan atau ide-ide baru yang selalu muncul,

selanjutnya adanya pemicu berupa motivasi baik internal maupun eksternal untuk

segera diimplementasikan, dan akhirnya adanya pertumbuhan seperti

diilustrasikan dalam gambar di bawah,

Gambar 2.5
Model Proses Kewirausahaan (Alma, 2009)

Innovation (Inovasi)

Triggering Event (Pemicu)

Implementation (Pelaksanaan)

Growth (Pertumbuhan)
54

Secara detil Caroll Noore menjelaskan model di atas bahwa

kewirausahaan berkembang dan diawali dengan adanya inovasi. Inovasi dipicu

oleh faktor pribadi, lingkungan dan sosiologi. Faktor individu yang memicu

kewirausahaan adalah pencapaian locus of control, toleransi, pengambilan risiko,

nilai-nilai pribadi, pendidikan, pengalaman, usia, komitmen, dan ketidakpuasan.

Faktor pemicu yang berasal dari lingkungan adalah peluang, model peran,

aktivitas, pesaing, inkubator, sumber daya, dan kebijakan pemerintah. Sedangkan

faktor pemicu dari lingkungan sosial meliputi, keluarga, orang tua, dan jaringan

kelompok.(Suryana, 2009).

Proses di atas secara mendalam dalam kaitannya dengan proses

kewirausahaan dan faktor yang memicu, namun faktor penting lainnya adalah

proses implementasinya. Terdapat tiga komponen utama yang harus diperhatikan

atau diteliti untuk membuka usaha baru seperti dinyatakan oleh Bygrave: “there

are three crucial components for a successful new business: the opportunity, the

entrepreneur (and the management team) and the resources needed to a strart

the company and make it grow.” (Alma, 2009).

2.4.2 Pengertian Orientasi Kewirausahaan

Penulis memandang bahwa tinjauan secara historis munculnya teori

orientasi kewirausahaan berawal dari sebuah pengembangan dari teori gaya

kepemimpinan. Merujuk dari penggagas sekaligus pencetus orientasi

kewirausahaan (seperti Covin dan Slevin, 1988) sebelumnya melakukan sebuah

penelitian dengan judul “The Influence of Organization Structure on the Utility

Entrepreneurial Top Management Style” yang membuktikan bahwa adanya

pengaruh yang positif gaya kepemimpinan kewirausahaan dengan kinerja

perusahaan. Teori sebelumnya belum secara eksplisit mengembangkan dimensi-

dimensi dari orientasi kewirausahaan, dan sebatas pada sebagian konsep saja
55

(Miller, 1983). Bahkan dalam penelitian tersebut Covin dan Slevin (1988)

menyatakan bahwa manajer puncak jangan terlalu banyak diatur secara struktural

termasuk pembatasan melakukan kreasi, karena mereka cenderung merespon

ketidakpastian dengan melakukan langkah-langkah strategis. Pembuktian

berikutnya adalah bahwa gaya kepemimpinan yang konservatif mencapai kinerja

yang rendah.

Pengembangan teori orientasi kewirausahaan secara komprehensif

mengalami berbagai perbedaan sudut pandang dalam menerjemahkan ukuran

orientasi kewirausahaan, sebagian mengakui bahwa orientasi kewirausahaan

harus dikonseptualisasikan atau bersifat laten konstruk (Covin, Green dan Slevin,

2006; Lumpkin dan Dess, 1996) dan sebagian lagi menyatakan sebagai

pengukuran secara langsung atau formatif (George, 2006). Namun demikian telah

dibuktikan dari beberapa penelitian yang sebelumnya dalam kaitannya

pengukuran orientasi kewirausahaan yang sering digunakan diantaranya Miller,

Covin dan Slevin ((1989), skala yang digunakan oleh Rauch, Wiklund, Lumpkin

dan Frese (2009). Secara empiris pengukuran tersebut telah dibuktikan oleh

(Knight, 1997; Kreiser, Marino, dan Weaver, 2002) dan selanjutnya dikembangkan

secara baik oleh Lyon, Lumpkin dan Dess (2000).

Implementasi orientasi kewirausahaan di beberapa jenis dan skala

perusahaan telah membuktikan bahwa teori ini memang diperlukan untuk

diaplikasikan di berbagai jenis dan lini organisasi bisnis. Pembuktian secara

empiris teori tersebut dilakukan di beberapa negara serta pada berbagai skala

bisnis, yang memperlihatkan hasil yang berbeda pula. Terjadinya perbedaan hasil

tersebut bisa dikarenakan antara lain, karakteristik responden yang unik, skala

bisnis, daerah/wilyah/negara yang berbeda secara latar belakangnya, jenis

bisnisnya, bahkan pemilihan skala pengukuran yang digunakan. Untuk

memperoleh gambaran yang utuh dalam mengukur suatu kondisi orientasi


56

kewirausahaan seorang manajer/pimpinan/pemilik usaha, maka yang perlu

diperhatikan adalah melakukan adaptasi dan pengembangan pada

pengukurannya.

Orientasi kewirausahaan sendiri terbagi menjadi dua arus utama

(mainstream), bahwa orientasi kewirausahaan termasuk dalam domain ilmu

manajemen seperti Covin, Slevin, dan Miller, sementara Zahra dan George

berpandangan orientasi kewirausahaan domain cenderung pada ilmu marketing.

Terlepas dari domain mana orientasi kewirausahaan berada, yang terpenting

adalah bagaimana para pengambil keputusan strategis di perusahaan memiliki

karakter kewirausahaan tersebut. Bahkan dalam pendekatan middle range theory,

Kuratko (2007) menggunakan istilah Entrepreneurial Leadership dalam

mengembangkan konsep tersebut, dan para peneliti berikutnya dapat melakukan

pengujian secara empiris konsep tersebut.

Konsep berupa dimensi yang dikembangkan oleh Covin dan Slevin (1991)

diantaranya innovativeness, risk-taking dan pro-activeness belumlah mampu

menjawab tantangan dengan dinamika perubahan yang begitu cepat di dalam

bisnis, maka Lumpkin dan Dess (1996) mengusulkan serta menguji dengan

menambah dua dimensi dari sebelumnya yakni autonomy dan competitive

aggressiveness. Apa yang disampaikan oleh Lumpkin dan Dess (1996) dengan

melengkapi konsep sebelumnya yakni autonomy, competitive aggressiveness,

pro-activeness, innovativeness, dan risk-taking, dapat menjadi sebuah teori yang

mapan dan telah diuji oleh peneliti-peneliti berikutnya dengan berbagai hasil yang

beragam.

Sementara Miller and Friesen (1982) mengidentifikasi dimensi proses

pembuatan untuk strategi orientasi kewirausahaan diantaranya yaitu

adaptiveness, analysis, integration, risk taking dan product market innovation.

Orientasi Kewirausahaan (entrepreneurial orientation) sebagai ”entrepreneur


57

personality” (Littunen, 2000; Lee dan Tsang, 2001; Olson2000). Disisi lain Hisrich,

Peters dan Shepherd (2005) menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan sebagai

entrepreneur feeling atau orientation personality diantaranya, 1). Entrepreneur’s

Acheivement Motivation (Littunen, 2000; Lee dan Tsang, 2001) yang meliputi : work ethis,

pursuit of excellence, mastery in business dan dominance (leader). 2). Locus of Control

(Littunen, 2000; Lee dan Tsang, 2000; Olson, 2000) diantaranya: by chance, by internal,

by external. 3). Self Reliance (Lee dan Tsang, 2001), 4). Extroversion (Lee dan Tsang,

2001), 5). Innovating (Lumpkin, 1996; Vitale, Giglierano dan Miles, 2003). 6). Acting

Proactivity/proactiveness (Lumpkin, 1996; Vitale, Giglierano dan Miles, 2003),

7).Managing Risks/Risk Taking (Lumpkin, 1996; Olson 2000; Vitale, Giglierano dan Miles,

2003), 8). Ambition (Olson, 2000).

Frederickson (1986) mengajukan dimensi lain yaitu proactiveness,

rationality, comprehensiveness, risk-taking dan assertiveness. Sedangkan Hart

(1992) mengembangkan kerangka integrative dalam lima dimensi yaitu :

command, symbolic, rational, transactive dan generative serta Miles and Snow

(1978) mempertimbangkan beberapa dimensi yang meliputi prospectors,

defenders, analyzers dan reactors. Dikotomi kecenderungan yang tepat dalam

memahami orientasi kewirausahaan apakah sikap atau karakter bahkan mungkin

sifat tidaklah menjadi pengaruh secara substansial, hal yang lebih penting adalah

memaknai kata orientasi itu sendiri. Penelitian ini menganggap bahwa ketika nilai-

nilai kewirausahaan itu telah terinternalisasi dalam diri seseorang, maka

sesungguhnya seluruh atribut orientasi kewirausahaan telah melekat dalam diri

seseorang tersebut.

Drucker (1994) mengemukakan bahwa orientasi kewirausahaan sebagai

sifat, watak atau ciri-ciri yang melekat pada seseorang yang mempunyai kemauan

keras untuk mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia usaha yang nyata dan

dapat mengembangkannya dengan tangguh. Orientasi kewirausahaan adalah


58

kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create

the new and different thing). Scarborough and Zimmerer (1993:5) mengemukakan

definisi wirausaha sebagai berikut seseorang yang menciptakan bisnis baru

dengan mempertimbangkan resiko dan ketidakpastian untuk mencapai laba dan

pertumbuhan dengan mengidentifikasi kesempatan dan menggabungkan dengan

sumberdaya yang dibutuhkan untuk memanfaatkan peluang tersebut.

Dari beberapa pendapat ini maka konsep entrepreneurship orientation

dapat disintesakan sebagai suatu sikap mental, pandangan, wawasan serta pola

pikir dan pola tindak seseorang terhadap tugas-tugas yang menjadi

tanggungjawabnya dan selalu berorientasi pencapaian prestasi sesuai dengan

tujuan. Pada hakekatnya orientasi kewirausahaan adalah sifat, ciri, dan watak

seseorang yang memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif kedalam

dunia nyata secara kreatif. Dimensi Orientasi kewirausahaan menurut Lumpkin

and Dess (1996) dalam tulisannya menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) dimensi

yang membentuk karakter dan membedakan orientasi kewirausahaan yaitu;

autonomy, innovativeness, risk taking, proactiveness dan competitive

aggressiveness.

Menurut kaitannya dengan usaha kecil, maka perilaku wirausaha berwujud

dalam dua hal, yaitu: pada sisi efektifitas wirausaha dalam mengelola bisnisnya.

Kedua, berkaitan dengan perencanaan bisnis hingga pada sikap atau respon

pasarnya. Penggunaan strategi senantiasa mengikuti karakter dari wirausaha itu

sendiri (McCarthy, 2003). Orientasi wirausaha dari seorang pelaku wirausaha

dapat menimbulkan peningkatan kinerja usaha (Brown, 1996; Covin dan Slevin,

1991).

Dari beberapa pendapat tersebut maka orientasi kewirausahaan

menggambarkan tujuan dari seorang wirausahawan untuk memanfaatkan

kesempatan dalam membuka pasar baru dan menerapkan pembaruan dari


59

operasi yang sudah ada dengan lima indikator yaitu, otonomi, inovatif, proaktif dan

pertimbangan resiko, serta persaingan agresif.

2.5 Orientasi Pasar

Setiap perusahaan mempunyai kepentingan untuk mengetahui posisi

produknya di pasar, karena ini merupakan refleksi dari tingkat kompetisi produk

dalam peta persaingan. Perusahaan yang unggul dalam kompetisi adalah

perusahaan yang mampu mengetahui keadaan pasar. Hasil dari penerapan

strategi perusahaan dapat berupa kemampuan menciptakan kepuasan konsumen,

meningkatnya penjualan, meningkatnya profitabilitas perusahaan dan kesuksesan

produk baru (Slater dan Narver, 1994).

Lebih lanjut Slater dan Narver (1997) mendefinisikan bahwa orientasi pasar

sebagai budaya organisasi yang paling efektif dan efisien untuk menciptakan

perilaku-perilaku yang dapat menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi pembeli

serta menghasilkan superior performance bagi perusahaan. Sementara itu

Craven (1994) lebih jelas memberikan definisi bahwa orientasi pasar sebagai

penetapan sasaran konsumen strategis dan membangun organisasi yang

berfokus pada layanan konsumen, memberikan dasar persaingan yang berfokus

kedalam, memberikan layanan yang sesuai dengan harapan konsumen.

Grinstein (2008) memandang orientasi pasar sebagai salah satu elemen

perusahaan dalam memandang perilaku dan budaya yang mengimplementasikan

orientasi konsumen. Banyak perusahaan yang telah berusaha meningkatkan

orientasi pasar dalam bisnisnya (Jaworski dan Kohli, 1993) akan tetapi muncul

argumen baru yang menyatakan bahwa orientasi pasar saja tidak cukup untuk

meningkatkan kinerja organisasi, dan kemampuan organisasi untuk belajar lebih

cepat dibandingkan pesaing mungkin merupakan salah satu sumber keunggulan

bersaing (DeGeus, 1998; Dicson, 1992; Slater dan Narver, 1995).


60

Narver dan Slater (1995) juga menyatakan bahwa orientasi pasar

merupakan satu kesatuan dengan pembelajaran organisasional. Meskipun

pergeseran orientasi pasar ke pembelajaran organisasional telah memberikan

kontribusi yang sangat berharga dalam bidang pemasaran, namun pernyataan

Narver dan Slater (1995) masih mengandung kontradiksi (Hurley dan Hult, 1998).

Narver dan Slater (1995) menyatakan bahwa orientasi pasar dan pembelajaran

organisasional merupakan satu kesatuan atau tidak dapat dipisahkan, namun di

sisi lain Narver dan Slater (1995) menyatakan bahwa pembelajaran organisasional

memediasi hubungan antara orientasi pasar dengan pembelajaran organisasional.

Hurley dan Hult (1998) telah berusaha memecahkan kontradiksi ini dengan

memasukan konstruk yang berkaitan dengan inovasi. Hurley dan Hult (1998) lebih

memfokuskan variabel orientasi pasar terhadap inovasi (implementasi ide-ide

baru, inovasi produk atau inovasi proses) dari pada pembelajaran organisasional

(pengembangan pengetahuan dan wawasan) sebagai langkah utama dalam

merespon pasar. Selanjutnya orientasi pasar dan pembelajaran organisasional

keduanya secara terpisah ditempatkan sebagai variabel yang memengaruhi

budaya inovatif.

Dinamika pasar pada negara-negara berkembang sangat berbeda dengan

dinamika pasar pada negara-negara industri. Pada umumnya kondisi pasar pada

negara-negara berkembang ditandai dengan pertumbuhan yang rendah,

perubahan preferensi pembeli, dan intensitas persaingan yang tinggi. Namun

sebaliknya di beberapa negara berkembang kondisi pasar juga ditandai dengan

pertumbuhan yang cepat, peningkatan permintaan produk, cepatnya pesaing baru

masuk (Bhuian, 1997).

Para ahli menyatakan, terdapat beberapa alasan di negara-negara

berkembang bahwa orientasi pasar sebagai dasar filosofi bisnis, yaitu: pertama

konsumen di negara-negara berkembang berpengalaman dan menyadari atas


61

hak-haknya, sehingga perusahaan tidak dapat mengabaikan kebutuhan

konsumen, jika mereka ingin tetap bersaing. Kedua, intensitas persaingan diantara

perusahaan dinegara-negara berkembang sangat ketat, dan penawaran sebagian

besar produk melebihi permintaannya.

Penelitian menguji pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja organisasi

pada umumnya dilakukan pada perusahaan swasta besar baik yang profit oriented

(Narver dan Slater, 1990; Jaworski dan Kohli, 1993) maupun yang non profit

oriented (Padanyi dan Gainer, 2004; Kara et al., 2004), sedangkan yang menguji

pada Industri Kecil dan Menengah (IKM) masih sangat terbatas. Terbatasnya

penelitian mengenai orientasi pasar pada perusahaan kecil juga dikemukakan oleh

Duncan (2000) yang menyatakan bahwa meskipun usaha kecil memiliki

konstribusi yang besar terhadap perekonomian akan tetapi pada umumnya

penelitian pada bidang pemasaran dan manajemen masih lebih difokuskan pada

perusahaan besar. Narver dan Slater (1994) juga menyatakan bahwa para peneliti

selama tiga dekade terakhir telah berhasil membangun teori mengenai anteseden

dan konsekuensi dari orientasi pasar dan telah mampu menciptakan pengukuran

yang valid serta telah berhasil menguji pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja

organisasi namun demikian mereka masih mengabaikan penelitian empiris

dengan menggunakan teori tersebut pada sampel usaha kecil.

Penelitian yang dilakukan Jain dan Bhatia (2007) terhadap 600 chief

executive officers, chief marketing officer, atau senior officers pada perusahaan

manufaktur di New Delhi India terdapat temuan bahwa orientasi pasar memiliki

pengaruh positif terhadap pertumbuhan penjualan, market share dan kepuasan

konsumen. Kirca et al., (2005) yang melakukan meta-analisis terhadap semua

temuan dalam literatur orientasi pasar, penelitian dilakukan dengan menggunakan

dua tahap penelitian, yaitu: tahap pertama dilakukan analisis bivarite terhadap

ringkasan kuantitatif berkaitan dengan konsekuensi dari orientasi pasar, tahap


62

kedua dilakukan analisis multivariate secara keseluruhan penelitian untuk

mengidentifikasi signifikansi anteseden orientasi pasar dan proses variabel yang

memediasi hubungan antara orientasi pasar dengan kinerja. Penelitian Kirca et

al., (2005) ini juga memperoleh temuan bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh

terhadap loyalitas konsumen. Castro et al., 2005 melakukan penelitian terhadap

319 lembaga keuangan di dua propinsi di Spanyol, dari penelitiannya diperoleh

bahwa orientasi pasar memiliki pengaruh terhadap kualitas pelayanan, sedangkan

kualitas pelayanan mempengaruhi kepuasan konsumen.

2.6 Kapasitas Penyerapan

Dinamika bisnis dengan tingkat pertumbuhan dan persaingan yang

demikian ketat berdampak pada kapasitas penyerapan (absorptive capacity)

perusahaan, dimana kemampuan perusahaan dalam mengeksplorasi dan

mengeksploitasi pengetahuan eksternal sangat relevan untuk berhasil

dipersaingan global (Flatten, 2015). Secara jelas definisi dari Cohen dan Levinthal

(1990) menyatakan bahwa kapasitas penyerapan adalah kemampuan sebuah

perusahaan untuk mendapatkan informasi baru dari eksternal, mengasimilasikan,

dan menerapkannya untuk tujuan komersial.

Lebih lanjut dia mengembangkan konsepnya dengan memperjelas

kapasitas penyerapan merupakan sebuah usaha, keahlian, dan tindakan

terencana dari pihak peneliti perusahaan diharuskan untuk mengidentifikasi,

mengasimilasi, dan memanfaatkan pengetahuan eksternal. Dalam penelitian

manajemen, kapasitas penyerapan mencakup berbagai teori, dimana konteksnya

yang paling sering digunakan adalah belajar (misalnya Lane et al., 2001), inovasi

(misalnya, Tsai, 2001), pandangan berbasis pengetahuan tentang perusahaan

(misalnya, Zhao & Anand, 2009), dan kemampuan dinamis (misalnya, Zahra &

George, 2002). Zahra dan George (2002,) menganggap kemampuan penyerapan


63

sebagai kemampuan dinamis yang berkaitan dengan penciptaan dan

pemanfaatan pengetahuan. Penciptaan yang dimaksud adalah menciptakan

produk atau layanan baru dari hasil menyerap informasi dan pengetahuan dari

luar, bisa dari pesaing, bisa dari pengetahuan yang diperoleh dari pendidikan dan

pengalaman.

2.6.1 Konsep Kapasitas Penyerapan

Tinjauan secara historis dari Kedia dan Bhagat (1988) adalah yang

pertama kali menciptakan istilah Kapasitas Penyerapan (absorptive capacity),

tetapi kontribusi Cohen dan Levinthal (1989) umumnya dianggap sebagai

konseptor mengenai kapasitas penyerapan. Istilah ini telah dianalisis pada tingkat

yang berbeda: secara individu (Cohen dan Levinthal, 1990; Minbaeva et al., 2003),

unit bisnis (Jansen et al., 2005; Szulanski, 1996), dan organisasi (Cohen dan

Levinthal, 1990) terhadap definisi kapasitas penyerapan.

Namun studi empiris yang sangat sedikit telah menangkap argumen teoritis

yang kaya dan multidimensionalitas dari konstruksi kapasitas penyerapan

(Murovec dan Prodan, 2009). Beberapa studi yang mengubah definisi asli Cohen

dan Levinthal, mengubah hanya sedikit dimensi dengan membatasi konstruksinya

untuk dua dimensi: yang pertama terkait dengan pengakuan, akuisisi dan asimilasi

pengetahuan eksternal, dan yang kedua, melalui diseminasi, pengaktifan dan

penerapan internal.

Penelitian ini memandang bahwa konsep kapasitas penyerapan ini lahir

dan berkembang melalui pendekatan middle range theory, seiring dengan

kebutuhan disiplin ilmu masing-masing ahli dan memiliki kemiripan, konsep

kapasitas penyerapan dalam ilmu manajemen dapat disandingkan dengan konsep

kapabilitas dinamis (dynamic capability) yang dikembangkan oleh (Teece, Pisano

dan Shuen, 1997) dengan menekankan pada mengidentifikasi peluang dan


64

pengorganisasian baru secara efektif dan efisien dalam merespon perkembangan

teknologi guna mencapai keunggulan kompetitif. Sementara pendekatan disiplin

keilmuan yang lain seperti manajemen sumberdaya manusia kita kenal dengan

konsep “ambidexterity” yang dikembangkan oleh Michael L. Thusman dan Charles

A. O’Reilly (2013) untuk mengukur kemampuan organisasi dalam mengeksplorasi

dan mengeksploitasi persaingan pada teknologi maupun pasar baru dengan

menekankan fungsi kontrol efisiensi yang memerlukan fleksibilitas, otonomi dan

eksperimentasi.

Cohen dan Levinthal (1990) melihat kapasitas penyerapan sebagai

konstruksi tiga dimensi yang terdiri dari identifikasi, asimilasi, dan pemanfaatan

pengetahuan eksternal. Kapasitas penyerapan sendiri telah mengalami beberapa

pengembangan dan rekonseptualisasi selama beberapa tahun terakhir (misalnya

Lane et al., 2006; Lewin et al., 2011; Todorova & Durisin, 2007; Zahra & George,

2002), sementara itu Zahra dan George (2002) memandang kapasitas penyerapan

sebagai konstruksi empat dimensi. Konseptualisasi ini telah divalidasi oleh

berbagai penelitian (Brettel et al., 2011; Flatten, Engelen, Zahra, & Brettel, 2011;

Jansen, van Den Bosch, & Volberda, 2005).

Zahra dan George (2002), berpendapat bahwa kapasitas penyerapan

terdiri dari empat dimensi diantaranya adalah akuisisi, asimilasi, transformasi, dan

eksploitasi. Akuisisi, sebagai kemampuan yang pertama, mengacu pada

identifikasi dan masukan pengetahuan eksternal yang memiliki potensi dan

relevan dengan perusahaan (Zahra & George, 2002). Kemampuan kedua,

asimilasi, artinya pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya dianalisis,

dipahami, dan diinterpretasikan (Zahra & George, 2002). Kemampuan ketiga,

transformasi, berfokus pada kombinasi pengetahuan yang saat ini dan

pengetahuan yang baru didapat dan dilakukan pembaharuan secara rutin dan

mendasar (Flatten, Greve, et al., 2011). Kemampuan terakhir adalah eksploitasi,


65

mendorong penerapan usaha komersial dari pengetahuan baru (Cohen &

Levinthal, 1989).

Salah satu konseptualisasi terpenting kapasitas penyerapan sejak Cohen

dan Levinthal adalah Zahra dan George (2002). Konseptualisasi baru ini

menekankan pada sistem, proses, rutinitas dan struktur organisasi yang

memungkinkan perusahaan mengidentifikasi, mengasimilasi, mengubah dan

mengeksploitasi pengetahuan eksternal. Ferreras (2016) selanjutnya berpendapat

bahwa kapasitas penyerapan adalah kemampuan dinamis yang memiliki dua

keadaan umum: kapasitas penyerapan potensial, yang mengacu pada

kemampuan untuk menilai dan memperoleh pengetahuan eksternal; dan

menyadari kapasitas penyerapan, yang mencerminkan kemampuan untuk

memanfaatkan pengetahuan yang telah diserap. Kedua himpunan bagian dari

kapasitas penyerapan memiliki peran yang terpisah namun saling melengkapi dan

memenuhi kondisi yang diperlukan namun tidak memadai untuk memperbaiki

kinerja perusahaan. Namun demikian Fereras (2016) mengusulkan tiga domain

dalam kapasitas penyerapan yakni eksplorasi, transformasi dan eksploitasi. Pada

sisi lain dengan mendefinisikan kapasitas penyerapan sebagai kemampuan

dinamis, Zahra dan George menekankan sifat strategis dari kapasitas penyerapan.

Strategis yang dimaksud adalah kemampuan membaca pesaing yang ada dengan

disertai inovasi produk yang ada, menyesuaikan kebutuhan dan keinginan pasar,

serta menyesuaikan pula pada ketersediaan sumberdaya yang dimiliki

perusahaan.

2.6.2 Pengembangan Konsep Kapasitas Penyerapan

Rekonseptualisasi Zahra dan George (2002) tentang kapasitas

penyerapan meningkatkan isu penting tentang komponen, anteseden, kontinjensi

dan hasil konstruksi, para penulis ini tidak secara memadai membangun elemen
66

kunci konseptualisasi asli dari Cohen dan Levinthal's (1989). Selanjutnya, mereka

hanya sebagian mengintegrasikan ke dalam badan dari model penelitian

pembelajaran yang substansial dan inovasi terakumulasi sejak awal dari hasil

seminar (Sun dan Anderson, 2010).

Literatur cukup besar yang membahas kapasitas penyerapan perusahaan

telah menemukan banyak manfaat kinerja yang terkait dengan berbagai aktivitas

perusahaan. Cohen dan Levinthal (1989) membahas peran penelitian dan

pengembangan perusahaan (research and development) dalam mengembangkan

keahlian dan kemampuan yang diperlukan untuk memanfaatkan pengetahuan

eksternal. Literatur lain telah mengidentifikasi pentingnya penelitian dasar untuk

mengembangkan kemampuan ini, terutama bila sains eksternal dari mana

perusahaan memiliki sifat dasar (Rosenberg, 1990; Lane dan Lubatkin, 1998; Dyer

and Singh, 1998). Karya terbaru telah mempertimbangkan sifat penelitian dan

kesamaan antara kumpulan pengetahuan (Dyer dan Singh, 1998; Lane dan

Lubatkin, 1998), rutinitas perusahaan (Zahra dan George, 2002), dan keterampilan

karyawan (Vinding, 2006) sebagai sumber daya serap.

Fabrizio (2009) membahas hubungan antara aktivitas pengembangan

kapasitas penyerapan perusahaan dan proses pencarian untuk inovasi, slanjutnya

Fabrizio mengusulkan agar akses disempurnakan ke dalam riset universitas dan

dapat diimplementasikan oleh perusahaan yang terlibat dalam riset dasar dan

berkolaborasi dengan ilmuwan universitas yang mengarah pada pencarian yang

lebih baik untuk penemuan baru dan memberikan keuntungan baik dari segi waktu

dan kualitas hasil pencarian. Hasil berdasarkan data panel perusahaan farmasi

dan bioteknologi mendukung konten dan menyarankan agar kedua kegiatan

penelitian tersebut saling menguntungkan, namun juga menemukan perbedaan

menarik yang menyarankan peran berbeda dari pengetahuan internal dan

eksternal.
67

Melihat latar penelitian pada UMKM, maka harus jeli malihat seberapa

besar kemampuan pelaku UMKM melihat secara komprehensif proses

penyerapan. Sejak dikenalkan oleh Cohen dan Levinthal (1989) fokus penyerapan

perusahaan dilakukan oleh bagian Research and Development (R&D). Oleh

sebab itu penulis mengadopsi konsep sederhana namun tidak mengurangi

substansi apa yang ingin dicari dengan menggunakan konsep Ferreras Mendez

(2016) dengan mengusulkan konsep eksplorasi, transformasi dan eksploitasi.

Eksplorasi diartikan sebagai kemampuan seorang wirausaha dalam menyerap

berbagai informasi dari luar yang dianggap sebagai peluang sekaligus tantangan.

Transformasi diartikan sebagai kemampuan seorang wirausaha melakukan

rekayasa produk dan jasa hasil dari pemanfaatan peluang yang diserap.

Eksploitasi diartikan sebagai kemampuan seorang wirausaha dalam menciptakan

produk baru atau pengembangan produk yang bersifat komersil hasil dari peluang

yang diperoleh. Agar lebih jelas dapat digambarkan sesuai dengan konsep asli

dari Ferreras (2016) berikut,

Gambar 2.6
Absorptive Capacity (Ferreras, 2016)

Breadth Depth

EXPLORATORY TRANSFORMATION EXPLOITATIVE


LEARNING LEARNING LEARNING
68

2.7 Kinerja Bisnis

Kinerja merupakan serangkaian kegiatan manajemen yang memberikan

gambaran sejauhmana hasil yang sudah dicapai dalam melaksanakan tugas dan

tanggung jawabnya dalam akuntabilitas publik baik berupa keberhasilan maupun

kekurangan yang terjadi. Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan

kemampuan, sementara untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang

sepatutnya memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu.

Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan

sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan

mengerjakannya. Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang

sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya

dalam perusahaan (Veithzal :2004).

Kinerja adalah prestasi yang dicapai perusahaan pada periode tertentu

yang mencerminkan tingkat kesehatan perusahaan. Lee et al. (2001) membagi

kinerja berdasarkan:

1. Kinerja kualitas (quality performance) yang terdiri atas persentase produk

rusak, pengembalian dan jaminan, barang rusak dan pengolahan kembali dan

sebagainya,

2. Kinerja operasi (operating performance) yang terdiri atas rata-rata tingkat

perputaran tahunan dan laba bersih tahun lalu,

3. Kinerja keuangan yang diukur dengan ROA (Return On Assets),

4. Kinerja pemasaran yang diukur dengan prosentase market share tahunan,

dan,

5. Kinerja penjualan yang diukur dengan peningkatan jumlah persentase

penjualan.

Kinerja bisnis merupakan kinerja keseluruhan dari sebuah organisasi yang

mencakup kinerja operasional dan keuangan. Secara umum kinerja bisnis terdiri
69

atas (Kannan, Vijay R dan Keah Choon Tan, 2003) yaitu pangsa pasar, ROA

(Return On Assets), kualitas produk keseluruhan, pelayanan kepada konsumen

secara keseluruhan dan posisi kompetitif keseluruhan.

Kinerja bisnis juga dapat dibagi kedalam empat tipe pengukuran kinerja (Benito,

et. al., 2009), yaitu:

1. Profitabilitas/kinerja ekonomis perusahaan, yang terdiri atas laba, margin,

Return On Investment (ROI)

2. Respon Pasar, merupakan reaksi terhadap permintaan pasar, dimana terdiri

atas penjualan, pertumbuhan penjualan, dan pangsa pasar.

3. Nilai Posisi Pasar, didefinisikan sebagai pencapaian dan posisi

menguntungkan dalam pikiran konsumen, terdiri atas kepuasan konsumen,

reputasi, loyalitas konsumen, dan image.

4. Kesuksesan produk baru.

Sedangkan menurut Venkatraman dan Ramanujam, dikatakan bahwa

kinerja bisnis dibedakan atas kinerja keuangan dan operasional (Agustina, 2002).

Pada sisi kinerja keuangan yang diukur adalah kinerja ekonomis perusahaan

seperti penjualan, laba, maupun ROI. Pada sisi kinerja operasional, yang diukur

antara lain kepuasan konsumen, kualitas, dan fase pengembangan produk baru

(Benito, et al., 2009).

Para peneliti menganjurkan pertumbuan penjualan (Sales growth),

pertumbuhan tenaga kerja (Employment growth), pertumbuhan pendapatan

(Income growth) dan pertumbuhan pangsa pasar (Market share growth) sebagai

pengukuran kinerja perusahaan kecil yang paling penting (Kim dan Choi, 1994;

Lee dan Miller, 1996; Luo,1999; Milesetal, 2000; Hadjimanolis 2000). Hal ini juga

didasarkan pada argumentasi bahwa pertumbuhan adalah indikator yang lebih

tepat dan mudah diperoleh dibandingkan dengan indikator kinerja keuangan.


70

Pendapat alternatif lain adalah bahwa kinerja bersifat multidimensional dan

oleh karena itu hal ini berguna untuk mengintegrasikan dimensi yang berbeda dari

kinerja dalam suatu studi empiris (Lumpkin dan Dess,1996),adalah tepat untuk

melihat kinerja keuangan dan pertumbuhan sebagai aspek berbeda dari kinerja,

dimana masing-masing mempunyai informasi penting dan unik. Secara bersama-

sama pertumbuhan dan kinerja keuangan memberikan diskripsi yang lebih kaya

mengenai kinerja aktual dari perusahaan bila dibandingkan dengan menggunakan

pengukuran secara sendiri-sendiri.

Kinerja adalah merujuk pada tingkat pencapaian atau prestasi dari

perusahaan dalam periode waktu tertentu. Kinerja sebuah perusahaan adalah hal

yang sangat menentukan dalam perkembangan perusahaan. Tujuan perusahaan

terdiri atas: tetap berdiri atau eksis (survive), untuk memperoleh laba (benefit) dan

dapat berkembang (growth), dapat tercapai apabila perusahaan tersebut

mempunyai performa yang baik. Kinerja (performance) perusahaan dapat dilihat

dari tingkat penjualan, tingkat keuntungan, pengembalian modal, tingkat turn over

dan pangsa pasar yang diraihnya (Jauch dan Glueck, 1988).

2.8 Kajian Empirik Hubungan Orientasi Kewirausahaan, Orientasi Pasar,

Kapasitas Penyerapan, Lingkungan Eksternal Bisnis, dan Kinerja Bisnis

Penelitian ini juga bermaksud untuk menguji secara empirik hubungan

antar variabel dari beberapa konsep yang diajukan. Sebagai landasan dalam

mengkaji sebuah teori, tentunya hasil penelitian terdahulu sangat diperlukan,

sekaligus menggambarkan bahwa konsep tersebut telah dilakukan pengujian

meskipun terdapat perbedaan hasil semua bergantung pada kondisi dan latar

penelitian.
71

2.8.1 Max Coulthard (2007)

Dalam penelitian yang dilakukan Max Coulthard dengan judul ”The Role

Entrepreneurial Orientation on Firm Performance and the Potential Influence of

Relational Dynamism” dengan tujuan untuk mengembangkan kajian yang ada di

dalam orientasi wirausahayang selama ini dipandang hanya memiliki kaitan

dengan kinerja bisnis saja. Pengembangan tersebut dimasukkan untuk

memberikan variasi yang ada dimana definisi orientasi kewirausahaan dipahami

dalam konteks industri.

Kajian ini menemukan faktor yang secara kebetulan mempengaruhi kinerja,

dapat dikategorikan bersifat relasional dan didefinisikan dalam sebuah dinamika

yang disebut dengan relasional dinamis (relational dynamism). Model baru ini

merupakan garis besar yang menunjukkan bagaimana konstruk tersebut dapat

bertindak sebagai saluran antara orientasi kewirausahaan dan lingkungan internal

dan eksternal perusahaan, membantu mengidentifikasi dan mengeksploitasi

peluang yang dapat meningkatkan kinerja.

Penelitian dilakukan terhadap dimensi orientasi kewirausahaan melalui

empat pendekatan studi pada industri yang berbeda di Australia. Dua studi

menggunakan pendekatan kuantitatif sebagai metode utama dengan survei

melalui email dan ditindak lanjuti melalui telepon. Dua studi yang lain dengan

mengumpulkan informasi melalui wawancara dengan tatap muka. Hasil masing-

masing studi membandingkan terhadap kesamaan dan perbedaan melalui

wawancara terhadap persepsi yang terkait dengan masing-masing dimensi kinerja

bisnis dalam empat industri yang berbeda, diantaranya industri anggur, industri

komponen otomotif, industri waralaba/franchise, dan industri rekaman musik.


72

Hasil dari penelitian tersebut ditemukan bahwa dimensi autonomy memiliki

angka tertinggi diantara empat industri tersebut, sementara risk taking memiliki

angka terendah.

Tabel 2.2 Perbandingan dimensi Orientasi Kewirausahaan

Stadu/EO Competitive Risk


Innovation Proactivenes Autonomy
Dimensions Aggression Taking

Australian Wine H/M M M M/L H


Industry 3.94 3.68 3.11 2.53 4.1

Automotive H H H M M
Comppnents Industry 4.5 4.57 4.0 3.5 3.7

M M M H H
Frachising Industry
3.55 3.77 3.77 4.07 4.38

Music Recording
L/M M L M M
Industry 2

Hasil lainnya dari penelitian yang dilakukan Coulthard (2007) adalah model

baru yang memiliki kaitan dengan kinerja bisnis melalui orientasi kewirausahaan

dengan memasukkan “Relational Dynamism” sebagai variabel moderasi.

Coulthard (2007) meyakini bahwa dengan membangun konstruk ini akan mampu

meningkatkan kinerja bisnis. Penelitian ini berpendapat bahwa "Relational

Dynamism" mencakup kecepatan dan kemampuan untuk menggunakan

hubungan dalam mempengaruhi perubahan dan bagaimana perusahaan

memindai lingkungan mereka dengan maksud untuk mengidentifikasi peluang

sebagai elemen penting yang tidak secara langsung tercakup dalam konstruksi
73

jaringan dan manajemen hubungan masa lalu. Berikut adalah faktor-faktor dalam

lingkungan internal dan eksternal perusahaan yang dinilai berdasarkan pada

jaringan mereka ke orientasi wirausaha dan potensi mediasi atau efek moderat

dari "Relational Dynamism".

Internal relationships : Literatur tentang hubungan mengidentifikasi

karakteristik seperti membangun kepercayaan Komitmen terhadap standar etika,

saluran komunikasi terbuka, sistem pendukung individu dan dorongan untuk

memindai peluang, sebagai faktor yang memiliki pengaruh positif terhadap

aktivitas kewirausahaan. Langkah selanjutnya adalah menguji bagaimana dimensi

"Relational Dynamism" ini memiliki peran moderat atau mediasi pada komponen

organisasi yang diakui seperti: budaya, strategi, kepemimpinan, proses

pengambilan keputusan, struktur dan sumber daya.

External Relationships : Literatur membahas pentingnya hubungan

antara pengambil keputusan utama di perusahaan dan mereka yang terkait

dengan rantai pasokan, misalnya, pemasok dan pelanggan, mitra aliansi ditambah

pihak potensial atau pihak yang berkepentingan lainnya seperti asosiasi industri,

keluarga dan teman, rekan bisnis, peneliti dan konsultan, pesaing, pemerintah.

Langkah selanjutnya adalah menguji bagaimana hubungan ini dipengaruhi oleh

faktor lingkungan eksternal yang diidentifikasi seperti: Dinamisme (jumlah dan

kecepatan perubahan dan hambatan lingkungan), kemurahan hati, (kelangkaan

atau kelimpahan sumber daya kritis yang dibutuhkan untuk beroperasi),

kompleksitas (peraturan, persaingan, Internasionalisasi, teknologi), dan

karakteristik industri. Coulthard (2007) membangun model seperti gambar di

bawah,
74

Gambar 2.7
A modified constuct of Entrepreneur Orientation incorporating Relational
Dynamism

External Exvironment
Dynamism
Munificence
Complexcity
Industry Characteristics

Performance
New entry
Entrepreneurial Revenue growth
Relational Dynamism
Orientation Market share
Tmst, Communication ,
Risk Taking Profitability
& Environ Scanning
Overall performance
Stakeholder satisfaction

Internal Environment
Culture
Strategy
Strategi-Making Process
Structure
Rexcnrees

2.8.2 MK. Nandakumar, Abby Ghobadian, dan Nicholas O’regan (2010)

Nandakumar et al. (2010) melakukan penelitian dengan judul “Business-

Level Strategy and Perfromance: The Moderating Effect of Environment and

Structure” bermaksud untuk menguji peran lingkungan eksternal dan struktur

organisasi sebagai variabel moderasi dari hubungan antara strategi tingkatan

bisnis dan kinerja organisasi.

Fokus penelitian pada perusahaan manufaktur di Inggris pada sektor

elektrik dan mesin, dan respondennya adalah CEO. Kedua faktor objektif dan

subjektif diukur dengan menggunakan penilaian kinerja. Untuk menghindari


75

jawaban yang tidak lengkap maupun bias, dilakukan pengujian secara statistik

dengan menggunakan Common Methode Variance (CMV).

Hasil menunjukkan bahwa lingkungan yang dinamis dan aksi permusuhan

terbukti sebagai moderator dari hubungan antara strategi tingkatan bisnis dengan

kinerja bersaing relatif. Pada lingkungan dimana permusuhan rendah dengan

menerapkan strategi biaya rendah, dan pada lingkungan yang terdapat

permusuhan tinggi sebuah strategi differensiasi menjadi faktor utama pada kinerja

yang lebih baik dibandingkan dengan pesaing. Dalam lingkungan dinamis yang

tinggi menggunakan strategi biaya rendah, dalam lingkungan yang dinamisnya

rendah menerapkan strategi differensiasi lebih dapat membantu meningkatkan

kinerja keuangan.

Struktur organisasi memoderasi hubungan antara kedua tipe strategi (Cost

of Leadership dan Differensiasi) dengan return on sales (ROS). Bagaimanapun,

pada kasus return on asset (ROA), peran moderasi dari struktur ditemukan hanya

pada hubungan pada strategi biaya rendah. Struktur mekanis dapat membantu

meningkatkan kinerja keuangan organisasi dengan mengadopsi yang lain, seperti

strategi biaya rendah atau strategi differensiasi.

2.8.3 Hidayat, Akhmad dan Mu’alim (2015)

Penelitian dengan judul “Effects of Environmental Factors on Corporate

Strategy and Performance of Manufacturing Industries in Indonesia” bertujuan

untuk menguji dan memperoleh bukti empiris dari pengaruh faktor lingkungan

internal dan eksternal pada strategi dan kinerja perusahaan manufaktur.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data

primer yang disebarkan kepada 150 responden pada perusahaan manufaktur

yang tersebar lebih dari enam kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung,

Semarang, Banten, Jogjakarta dan Surabaya. Teknik pengambilan sampel yang


76

digunakan adalah teknik acak sistematis, sementara teknik analisis yang

digunakan adalah structural equation model.

Hasil menunjukkan bahwa faktor lingkungan internal dan eksternal

perusahaan, melalui lingkungan dekat dan lingkungan jauh pada industri

manufaktur secara bersama-sama mempengaruhi perusahaan dan memahami

kondisi lingkungan industri untuk menetapkan tujuan strategis agar dapat

mencapai kinerja optimal pada industri manufaktur.

Industri manufaktur menghadapi tekanan persaingan, pelanggan,

pemasok, dimana mempengaruhi perusahaan. Kinerja industri manufaktur lebih

banyak dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi yang belum mampu bangkit dari

krisis global.

2.8.4 Steven Ward dan Aleksandra Lewandoska (2008)

Penelitian dengan judul “Is the Marketing Concepts always Necesary ? The

Effectiveness of the Customer, Competitor, and Societal Strategies in Business

Environment Types” yang di tulis Ward Lewandoska bertujuan untuk menguji

dimana strategi pemasaran yang khas akan dapat bekerja dengan baik pada

lingkungan bisnis tertentu. Penelitian ini juga bertujuan untuk menguji runtutan

proposisi dimana pilihan strategi pemasaran perlu diperhatikan secara seksama

sehingga sesuai dengan satu set kondisi lingkungan atau kondisi bisnis.

Metode penelitian dilakukan dengan melalui survei pegawai pada 217

perusahaan dari Australia (81 kasus), Singapura (79 kasus), Belanda (41 kasus),

dan China (16 kasus). Karakteristik perusahaan yang dijadikan sampel dalam

penelitian adalah yang terdaftar dan terpublikasi sejenis Fortune 500 pada kedua

jenis skala perusahaan baik kecil maupun besar. Hipotesis yang dikembangkan

dalam penelitian ini mengacu pada konsep Lingkungan/bauran strategidari Emery

dan Twist (1965) yang memandang tipe lingkungan dibagi menjadi empat tipe,
77

diantaranya Placid-Random, Placid-Clustered, Disturbed-Reactive, dan

Turbulence.

1. H1 : Di dalam Lingkungan Placid-Random tidak terdapat perbedaan kinerja

secara signifikan antara perusahaan yang mengejar pelanggan, pesaing dan

basis masyarakat.

2. H2 : Di dalam Lingkungan Placid-Clustered terdapat pengaruh yang signifikan

terhadap kinerja perusahaan yang berorientasi pada strategi pelanggan.

3. H3 : Di dalam Lingkungan Disturbed Reactive terdapat pengaruh yang

signifikan terhadap kinerja perusahaan yang berorientasi pada strategi

pesaing.

4. H4 : Di dalam Lingkungan Turbulence terdapat pengaruh yang signifikan

terhadap kinerja perusahaan yang berorientasi pada strategi pemasaran

masyarakat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada hipotesis pertama tidak terbukti,

artinya tidak ada perbedaan secara signifikan dalam kinerja diantara ketiga jenis

strategi, pada strategi lingkungan Placid-Random diterima, hanya perusahaan

yang mengedepankan strategi pemasaran masyarakat (t = 2.66, p < 0.01).

Dukungan ditemukan untuk hipotesis kedua dimana perusahaan yang

menekankan pada customer-oriented strategy yang mengaharapkan kinerja lebih

baik di lingkungan Placid-Clustered (t = 3.34, p < 0.01) dibandingkan dengan

perusahaan yang tidak.

Perusahaan menggunakan Customer-Oriented Strategy juga ditemukan

kinerjanya lebih baik di lingkungan Turbulence (t = 3.00, p< 0.01). Tidak ditemukan

dukungan untuk hipotesis ketiga, meskipun sarananya berada pada arah yang

benar untuk perusahaan dengan kompetensi tinggi dan rendah yang berorientasi

pada lingkungan Disturbed-Reactive. Tidak ditemukan dukungan untuk hipotesis

keempat, meskipun strategi pemasaran masyarakat tampaknya efektif di


78

lingkungan Placid-Clustered (t = 3.34, p< 0.01) seperti kompetitor (t = 2.8, p< 0.05)

dan strategi orientasi pelanggan.

2.8.5 Bojan M. Milovanovic dan Zoran Wittine (2014)

Dalam penelitiannya yang berjudul Analysis of “External Environment’s

Moderating Role on Entrepreneurial Orientation and Business Performance

Relationship among Italian Small Enterprises” bertujuan untuk menggali

hubungan antara konsep orientasi wirausaha dengan kinerja bisnis pada

perusahaan kecil, serta efek moderasi dari faktor lingkungan eksternal. Hubungan

antara orientasi wirausaha dengan kinerja sangat kompleks karena dimoderasi

banyak faktor internal dan eksternal.

Hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian tersebut diantaranya,

1. H1 : Orientasi Wirausaha berpengaruh positif pada kinerja bisnis kecil.

2. H2 : Lingkungan Eksternal berpengaruh positif terhadap Orientasi Wirausaha.

3. H3 : Pengaruh antara Orientasi Wirausaha terhadap Kinerja Bisnis Kecil

dimoderasi oleh Lingkungan Eksternal.

Metode penelitian menggunakan pendekatan kausalitas melalui model

regresi, dengan sampel yang diambil dari database Friuli-Venezia-Giulia

Chambers of Commerce (Kamar dagang dan industri). Hasil menunjukkan bahwa

hipotesis pertama terbukti bahwa orientasi wirausaha berpengaruh positif

terhadap kinerja bisnis kecil. Namun pada pengujian hipotesis kedua bahwa

lingkungan eksternal berpengaruh positif terhadap kinerja bisnis kecil tidak

terbukti. Bahkan pada hipotesis ketiga juga tidak terbukti bahwa lingkungan

eksternal tidak mampu memoderasi pengaruh antara orientasi wirausaha terhadap

kinerja bisnis kecil.


79

2.8.6 Attahir Yusuf (2002)

Penelitian yang dilakukan oleh Attahir Yusuf dengan judul “Environment

Uncertainty, The Entrepreneurial Orientation of Business Ventures and

Perfromance” bermaksud untuk menguji pengaruh ketidakpastian lingkungan

terhadap kinerja bisnis. Karena peneliti memandang banyak dimensi yang berbeda

dari peneliti terdahulu terkait dengan ketidakpastian lingkungan, seperti kurangnya

informasi bagi pengambil keputusan (Thompson, 1967), juga dipandang sebagai

sesuatu yang tidak dapat diprediksi (Cyert and March, 1963) kompleksitas

lingkungan (Gilbraith, 1973), ambiguitas (Milliken, 1987), dan pergolakan (Emery

dan Trist, 1965).

Sehingga diyakini ketidakpastian lingkungan disepakati bahwa itu adalah

fitur dasar lingkungan bisnis (Wack, 1985). Bahwa untuk usaha bisnis agar

bertahan dan berkembang, mereka harus memiliki kemampuan untuk mengatasi

lingkungan yang tidak pasti. Dinamika lingkungan juga melekat dengan sektor

manufaktur yang penuh dengan ketidakpastian dengan derajat yang lebih besar.

Pengembangan hipotesis dalam penelitian ini antara lain,

H1 : Ketidakpastian lingkungan lebih kuat berpengaruh dengan EO pada

perusahaan sektor manufaktur daripada sektor komersil.

H2 : Postur strategis kewirausahaan yang tinggi berpengaruh positif terhadap

kinerja perusahaan dalam menghadapi peningkatan ketidakpastian lingkungan.

Studi dilakukan pada pemilik/manajer sebanyak 228 pebisnis di area

metropolitan salah satu daerah di ibukota kawasan teluk dengan kegiatan

manufaktur dan perdagangan. Pengujian hipotesis dilakukan dengan

menggunakan analisis model hirarki regresi linier berganda. Hasil menunjukkan

bahwa hipotesis pertama terbukti yakni ketidakpastian lingkungan lebih kuat

berpengaruh terhadap orientasi wirausaha (EO) pada sektor manufaktur daripada

sektor perdagangan. Hipotesis yang kedua juga terbukti bahwa postur strategis
80

kewirausahaan yang tinggi berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan

dalam menghadapi peningkatan ketidakpastian lingkungan. Catatan utama dalam

penelitian ini adalah, sektor manufaktur lebih berpengaruh kepada kinerja

perusahaan dibandingkan dengan sektor perdagangan.

2.8.7 Daniel I. Prajogo (2016)

Daniel Projogo dalam penelitiannya yang berjudul The Strategic Fit

Between Innovation Strategies and Business Environment in Delivering Business

Performance, penelitian ini menguji peran lingkungan bisnis (dalam hal dinamisme

dan daya saing) sebagai Faktor kontingensi yang mempengaruhi keefektifan

berbagai jenis strategi inovasi (dalam hal produk dan proses) dalam meningkatkan

kinerja bisnis.

Hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini diantaranya,

 H1: Strategi inovasi produk memiliki hubungan positif dengan performa bisnis.

 H2: Proses strategi inovasi memiliki hubungan positif dengan performa bisnis.

 H3: Dinamika lingkungan secara positif memoderasi hubungan Antara inovasi

produk dan kinerja bisnis sehingga Semakin tinggi dinamisme semakin kuat

hubungan antara produk Inovasi dan kinerja bisnis.

 H4: Dinamika lingkungan secara positif memoderasi hubungan Antara inovasi

proses dan kinerja bisnis sehingga Semakin tinggi dinamisme semakin kuat

hubungan antara proses Inovasi dan kinerja bisnis.

 H5: Daya saing lingkungan memoderasi hubungan Antara inovasi produk dan

kinerja bisnis sehingga Semakin tinggi daya saing semakin lemah hubungan

antara Inovasi produk dan kinerja bisnis.

Untuk lebih memperjelas konsep yang dibangun oleh Prajogo dalam penelitian

tersebut, digambarkan melalui kerangka konsep dimana strategi produk inovasi


81

dan strategi proses inovasi berpengaruh terhadap kinerja bisnis yang dimoderasi

oleh lingkungan dinamis dan lingkungan kompetitif.

Gambar 2.8
Reseach Model Daniel Projogo

Metode penelitian dengan menggunakan Hirarchical Moderated

Regression Analysis, sementara itu sampel penelitian menggunakan data 207

perusahaan manufaktur di Australia di berbagai sektor seperti, makanan,

elektronik, kayu, tekstil, plastik, logam dan farmasi.Target responden dalam

penelitian ini adalah manajer menengah hingga senior dengan alasan yang

memiliki tanggung jawab utama pada operasi startegis perusahaan.


82

Hasil menunjukkan bahwa lingkungan dinamis memperkuat efek inovasi

produk kinerja bisnis. Lingkungan persaingan, di sisi lain, melemahkan efek produk

Inovasi pada kinerja bisnis, namun memperkuat efek proses inovasi pada kinerja

bisnis. Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan kemampuan strategis

antara dinamisme dan strategi inovasi produk serta antara daya saing dan strategi

inovasi proses. Di sisi lain, daya saing Juga menunjukkan ketidaksesuaian

strategis dengan inovasi produk.

2.8.8 Varadarajan, Yadav & Shankar (2008)

Penelitian yang dilakukan oleh Varadarajan et al. dengan judul First-Mover

Advantage in an Internet-enabled Market Environment: Conceptual Framework

and Proposition, berusaha untuk mengembangkan konsep berubahnya pasar

analog menjadi pasar digital. Varadarajan et al. (2008) menjelaskan lingkungan

pasar yang kompetitif telah berevolusi Dari lingkungan pasar fisik (PME) ke

lingkungan pasar Internet yang diaktifkan (IME) yang meliputi Pasar fisik dan

elektronik.

Pada waktu bersamaan, Semakin banyak produk informasi yang tersedia

baik dalam bentuk analog maupun digital. Untuk produk informasi dalam bentuk

digital, IME juga berfungsi sebagai saluran distribusi. Perkembangan tersebut

menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana perspektif yang masih ada tentang

keuntungan penggerak pertama dikembangkan dalam konteks PME menuju IME,

pada umumnyadan untuk produk informasi khususnya. Perubahan tersebut

digambarkan seperti di bawah,


83

Tabel 2.3
First-Mover Advantage

Physical
1. Baseline : Products in the PME 2. Information Products in Digital
Market
Forms in the PME
Research Issue: Source and degree of Research Issue: Extendibility of
Environment
FMA in the PME source and degree of FMA to Digitized
(PME)
Information Products in the PME

Rationale for FMA : Rationale for Reassessment: Relative


Digitilization in the Market Environment

Network externalities to analog products, differences in:


Consumers non-cotractual switching Cost Structure
cost Product Sampling case and cost
Technological leadership and innovation Storage space needs and distribution
Customers Information uncertainty mode
Superior spatial resources position
Installed production capacity

3. Products in the IME 4. Information Products in Digital


Form in the IME
Research Issue: Extendibility of sources
and degree of FMA to products in the Research Issue: Extendibility of
IME sources and degree of FMA to
digitized information products in the
Internet Rationale for Reassessment Relatuve to IME
Enabled the PME differences in:
Market Rationale for Reassessment:
Environment Network externalities Rationale listed in Cells 2 and 3
(IME) Switching cost
Search cost

Konsep di atas memandang bahwa keuntungan beralih ke IME

memberikan keuntungan bagi perusahaan, dimana dalam PME dibutuhkan effort

yang besar seperti harus secara kuat membangun jejaring eksternal, mudahnya

konsumen non-kontrak akan beralih ke produk pesaing, dibutuhkannya teknologi

utama dan inovasi sebagai daya dukung utama perusahaan, posisi kekuatan

sumberdaya yang terkotak-kotak, serta selalu berusaha meningkatkan kapasitas

produksi.

2.8.9 Helmut Birnleitner (2013)

Dalam penelitiannya pada perusahaan multinasional yang akan mendirikan

anak perusahaan di luar negeri atau di pasar internasional yang harus berurusan

dengan berbagai faktor yang mempengaruhi selama proses integrasi dinegara


84

tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lain faktor ekonomi makro dan dimensi

antar budaya yang harus menjadi pertimbangan perusahaan. Tujuan dari

penelitian tersebut adalah bagaimana faktor-faktor ekonomi makro dan perbedaan

antar budaya mempengaruhi proses integrasi dari entitas bisnis asing yang baru

pada perusahaan asal dan tindakan pencegahan yang dapat berasal dari korelasi

yang terjadi dari model empiris untuk meningkatkan efisiensi dari proses integrasi.

Tiga dimensi utama dalam proyek penelitian ini akan saling terkait: Faktor-faktor

ekonomi makro, dimensi antar budaya dan proses integrasi. Adapun modelnya

seperti gambar di bawah,

Gambar 2.9
Model Konseptual

Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak variabel endogen eksternal

yang berbeda dapat mempengaruhi proses integrasi. Menemukan para pemberi

pengaruh integrasi yang "nyata" proses dapat membantu meningkatkan efisiensi


85

proyek semacam itu. Korelasi faktor pengaruh interaksi yang berbeda harus

dipertimbangkan dalam penelitian ini. Diperlukan untuk mendapatkan jumlah

perwakilan ahli di bidang penelitian ini untuk mendapatkan data yang ditemukan.

Oleh karena itu perlu untuk mewawancarai para ahli dari berbagai bidang ekonomi,

seperti industri otomotif, industri elektronik, industri pakaian, dan industri makanan.

Para ahli harus memenuhi persyaratan tertentu seperti pengalaman dalam proses

integrasi, posisi manajerial, serta pemahaman budaya. Jika kondisi kerangka ini

terpenuhi dan data yang diperoleh dari wawancara terstruktur menunjukkan

korelasi dalam model kausal, tindakan penurunan dan pencegahan dapat diambil

untuk meningkatkan efisiensi proses integrasi dan untuk meningkatkan

kemungkinan keberhasilan dari suatu usaha yang rumit.

2.8.10 Covin, Green & Slevin (2006)

Penelitian dengan judul “Strategic Effects Process on the Entrepreneurial

Orientation-Sales Growth Rate Relationship” yang dikembangkan oleh Covin dan

Slevin (2006), Penelitian ini menguji pengaruh tiga variabel proses strategis,

partisipasi strategis dalam pengambilan keputusan, strategi dalam melakukan

formulasi strategi, dan pembelajaran strategis dari kegagalan pada hubungan

antara tingkat penjualan dengan orientasi kewirausahaan (EO). Hasil berdasarkan

sampel dari 110 perusahaan manufaktur menunjukkan efek positif EO terhadap

tingkat pertumbuhan penjualan. Selain itu, hubungan antara EO dan tingkat

pertumbuhan penjualan lebih positif di antara perusahaan yang menggunakan

keputusan otokratis dan menunjukkan proses pembentukan strategi yang muncul.

Persepsi akan keuntungan pada pembelajaran dari kesalahan strategis yang

secara berbeda mempengaruhi tingkat pertumbuhan perusahaan pada ujung yang

berbeda dari kontinum EO.


86

Variabel penelitian dipilih berdasarkan kesesuaian teoritis sebagai

komponen model EO yang berfokus pada proses. Tingkat pertumbuhan penjualan

adalah variabel kinerja perusahaan yang diteliti dalam penelitian ini karena EO

pada dasarnya adalah Orientasi pertumbuhan (Lumpkin & Dess, 1996). Efektivitas

EO diukur secara tepat dengan menggunakan kriteria yang mencerminkan

keberhasilan sebuah perusahaan dalam menerjemahkan peluang kewirausahaan

ke dalam lintasan pertumbuhan. Variabel proses strategis yang disebutkan di atas

dipilih untuk menguji secara bermakna serta teoritis yang mencerminkan

bagaimana strategi perusahaan, bagaimana mereka memilih, belajar dari, dan

memperbaiki atau mengurangi keputusan terkait bisnis utama mereka dan pola

yang mereka asumsikan dan memprosesnya. Hipotesis yang dikembangkan

dalam penelitian ini adalah:

Hipotesis 1: EO lebih positif berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan penjualan

ketika operasional utama dan keputusan strategi rendah partisipatif daripada cara

tinggi partisipatif

Hipotesis 2: EO lebih positif berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan penjualan

di antara perusahaan strategis muncul daripada sekedar rencana.

Hipotesis 3: EO lebih positif berpengaruh terhadap tingkat pertumbuhan penjualan

di antara pelaporan perusahaan yang lebih tinggi daripada menurunkan efisiensi

dalam belajar dari kegagalan strategis mereka.

Teknik Analisis dalam penelitian ini adalah Analisis regresi hirarkis

digunakan untuk menguji hipotesis. Dalam semua persamaan, Variabel kontrol

dimasukkan sebelum variabel independen lainnya keluar secara parsial Efek dari

hubungan kepentingan pokok. Untuk ukuran dan umur perusahaan memakai

logaritma natural, digunakan untuk menjelaskan distribusi yang agak miring dalam

data ini. Hipotesisnya diuji dengan menggunakan teknik analisis regresi moderasi

yang direkomendasikan oleh Arnold (1982).


87

Korelasi antara EO dan tiga variabel proses strategis semuanya

sederhana, mulai dari r = .20 sampai r = .36. Dengan demikian, multikolinearitas

dalam data ini tidak muncul menjadi masalah, meskipun demikian untuk

meminimalkan korelasi antara variabel independen dan persyaratan interaksinya,

variabel independen dipusatkan pada cara yang disarankan oleh Aiken dan West

(1991) sebelum perhitungan istilah interaksi. Korelasi antara variabel proses

strategis berkisar dari r = .19 sampai r = .47. Untuk menentukan apakah variabel

proses strategis memiliki efek moderasi versus overlapping yang berbeda, efek ini

diuji dalam model terpisah untuk setiap hipotesis dan juga model lengkap yang

terdiri dari semua variabel dalam penelitian ini.

Hasil analisis regresi. Model 1 adalah model dasar yang mengandung

Hanya variabel kontrol. Tak satu pun dari variabel-variabel ini secara signifikan

memprediksi penjualan perusahaan padatingkat pertumbuhan. Model 2 berisi hasil

yang berkaitan dengan menilai efek utama EO terhadap pertumbuhan penjualan.

Konsisten dengan hasil, misalnya Lee et al. (2001) dan Wiklund (1999), EO

memiliki efek positif terhadap tingkat pertumbuhan penjualan. Namun, besarnya

efek ini hanya sedikit signifikan (p <.10).

Hasilnya menunjukkan bahwa efek EO pada tingkat pertumbuhan sebuah

perusahaan bergantung pada beberapa Variabel proses strategis. Mengenai efek

moderasi yang diamati dari partisipasi pengambilan keputusan strategis, bisa

dibilang, sebuah EO pada intinya adalah orientasi pertumbuhan (Lumpkin & Dess,

1996). Konsisten dengan hasil saat ini, gaya manajemen puncak yang lebih

otokratis / kurang partisipatif telah dianjurkan untuk perusahaan dengan strategi

pencarian pertumbuhan (misalnya, Covin, Slevin, & Schultz, 1997; Geller, 1980).

Ini adalah hal yang menarik untuk dipertimbangkan karena tingkat partisipasi

pengambilan keputusan secara keseluruhan rendah adalah atribut yang biasanya

tidak terkait dengan bisnis kewirausahaan yang efektif. Kenyataannya,


88

perusahaan semacam itu cenderung relatif organik dalam struktur (Covin & Slevin,

1988), atribut lebih sering dikaitkan dengan partisipasi partisipatif yang lebih baik

(Burns & Stalker, 1961).

Perbedaan utama yang perlu diperhatikan adalah bahwa studi saat ini

menilai partisipasi karena berkaitan dengan pembuatan keputusan operasi dan

strategi utama, bukan partisipasi sebagai pendekatan pengambilan keputusan

umum yang diterapkan di tingkat organisasi. Jelas, penggunaan pendekatan

otokratis untuk pengambilan keputusan strategis tidak menghalangi perusahaan

untuk menunjukkan EO.

2.8.11 The Hughes dan Morgan (2007)

Beberapa penelitian yang terkait dengan orientasi kewirausahaan dikaitkan

dengan kinerja bisnis telah banyak dikaji peneliti sebelumnya. Namun dalam

penelitian Hughes dan Morgan (2007) dengan judul “Deconstructing the

Relationship between Entrepreneur Orientation and Business Performance at the

Embryonic Stage of Firm Growth” Studi ini berbeda dengan kebanyakan penelitian

yang ada yakni menguji hubungan antara EO dan kinerja secara unidimensional

di perusahaan pemula yang sedang tumbuh, untuk menilai khususnya dimensi EO

mana yang paling berharga mendukung kinerja pada tahap perkembangan awal.

Untuk lebih jauh membedakan dari studi yang ada, Hughes menguji konstruk EO

seperti konsep yang digunakan Lumpkin dan Dess (1996), alih-alih hanya

mengadopsi pendekatan selektif terhadap analisis EO.

Mayoritas penelitian terhadap EO cenderung mengadopsi Miller (1983).

Para ilmuwan telah berulang kali memakai dan mempelajari tiga dimensi inti untuk

mengklasifikasikan EO dintaranya, mengambil risiko, berinovasi dan proaktif

(misalnya, Barringer & Bluedorn, 1999; Covin & Slevin,1989; Naman & Slevin,

1993; Wiklund, 1999; Wiklund & Shepperd, 2003, 2005; Zahra & Covin, 1995).
89

Hasil regresi menunjukkan bahwa hubungan antara EO dan kinerjanya

rumit. Hipotesis 3, yang meramalkan Hubungan positif antara proaktif dan kinerja,

didukung pada kedua dimensi kinerjanya. Proaktif adalah salah satu dimensi EO

yang terkait dengan perbaikan pada kedua kinerja produk (β = 0,23, p=0.01) dan

kinerja pelanggan (Β = 0,35, p=0.01). Karena itu, harus membentuk komponen

sentral dari strategi wirausaha perusahaan pemula yang baru muncul. Hipotesa2

agak didukung dalam inovasi itu secara positif.

Terkait dengan kinerja produk (β = 0,16, p=0.1) namun bukan kinerja

pelanggan. Ini mengkonfirmasi kecurigaan Lumpkin dan Dess (1996) bahwa pada

metrik kinerja yang berbeda, dimensi EO dapat diperoleh hasil yang berbeda,

Hipotesis 1 (pengambilan risiko) ditolak pada dimensi kinerja produk (β = -0,14,

p=0.1) yang menunjukkan bahwa setiap dimensi mungkin belum tentu sesuai

dalam meningkatkan kinerja. Hipotesis 4 dan 5 tidak terdapat dukungan pada

dimensi kinerja dan layanan, hal ini memperkuat kekhawatiran yang diangkat pada

awal tulisan ini bahwa setiap dimensi EO, dalam keadaan tertentu mencoba untuk

mengamankan performa superior.

2.8.12 Lumpkin & Dess (1996)

Lumpkin & Dess (1996) melakukan penelitian dengan judul “Clarifying the

Entrepreneurial Orientation Construct and Lingking it to Performance” dengan

tujuan utama adalah untuk memperjelas sifat Orientasi Kewirausahaan (EO)

dalam membangun dan mengusulkan kerangka kontinjensi untuk menguji

hubungan antara EO dengan kinerja perusahaan. Penelitian ini mengeksplorasi

dan menyempurnakan dimensi EO dan mendiskusikan kegunaan EO sebagai

konstruksi multidimensional, kemudian menggambarkan model kontingensi yang

terkait dengan EO, seperti (efek moderasi, efek mediasi, efek independen, efek

interaksi) untuk menguji hubungan antara EO dan kinerja.


90

Gambar 2.10 Kerangka Konseptual Orientasi Kewirausahaan (EO)


Sumber : Lumpkin and Dess (1996)

ENVIRONMENTAL
FACTORS

Dynamism
Munificence
Complexity
Industry
Characteristics

ENTREPRENEURIAL PERFORMANCE
ORIENTATION
Sales Growth
Autonomy Market Share
innovativeness Profitability
Risk Taking Overall
Proactiveness Performance
Competitive Stakeholder
Agressiveness Satisfaction

ORGANIZATIONAL
FACTORS

Size
Structure
Strategy
Strategy-making Process
Firm Resources
Culture
Top Management Team
Characteristics

Sementara itu untuk model kontingensi yang ditawarkan seperti dalam

tabel di bawah,
91

Tabel 2.4
Hubungan Variabel Kontingensi dengan EO terhadap Kinerja

Organizational Factors Environmental Factors


Structure Environment
Bahrani & Evans, 1987 Covin & Slevin, 1989
Covin & Slevin, 1988 Karagozoglu & Brown, 1988
Jennings & Lumpkin, 1989 Khandwalla, 1987
Miller, 1983, 1987 Miller, 1983
Naman & Slevin 1993 Miller & Friesen, 1978
Sandberg & Hofer, 1987 Miller & Friesen, 1983
Slevin & Covin, 1990 Zahra, 1993
Zahra & Covin, 1995
Strategy
Gupta & Govindarajan, 1984 Industry Characteristics
Miller, 1988 Cooper, 1979
Naman & Slevin, 1993 Eisenhardt & Schoonhoven, 1990
Sandberg & Hofer, 1987 McMillan & Day, 1987
Venkatraman, 1989a Miller & Camp, 1985
Woo & Cooper, 1981 Porter, 1980
Sandberg & Hofer, 1987
Strategy Making Process Stuart & Abetti, 1987
Burgelman, 1983 Tushman & Anderson, 1986
Jennings & Lumpkin, 1989
Miller & Friesen, 1982
Schafer, 1990
Firm Resources
Birley, 1985
Ostgaard & Birley, 1994
Ramachandran & Ramnayaran, 1993
Ramanelli, 1987
Stevensen & Gumpert, 1985
Culture
Burgelman, 1984
Burgelman & Sayles, 1986
Kanter, 1982, 1983
Stevenson & Gumpert, 1985
Stuart & Abetti, 1987
Top Management & Team Characteristics
Begley & Boyd, 1987
Cooper & Dunkelberg, 1986
Eisenhardt & Schoonhoven, 1990
McMillan, Zemann & Subbanarasimha, 1987
92

Dalam penelitian tersebut diajukan 2 proposisi yang didasarkan dari kerangka

konseptual EO dan 4 proposisi pada model alternatif kontingensi dari EO terhadap

kinerja.

1. Proposisi 1 : Autonomy, Innovativeness, Risk Taking, Proactiveness, dan

Competitive Agressiveness adalah dimensi-dimensi dari EO.

2. Proposisi 2 : Dimensi-dimensi dari EO dimungkinkan saling bebas satu sama

lain dalam konteks yang ditawarkan.

3. Proposisi 3 : Hubungan antara EO dan Kinerja perusahaan dimoderasi oleh

kegunaan dari struktur organik. Perusahaan dengan EO yang menggunakan

struktur organik akan mempunyai kinerja relatif tinggi daripada yang tidak

menggunakan struktur organik.

4. Proposisi 4 : Hubungan antara EO dan Kinerja Perusahaan dimediasi oleh

kegunaan dari aktivitas keseluruhan. Perusahaan dengan EO yang

menggunakan aktivitas keseluruhan akan mempunyai kinerja lebih tinggi

dibandingkan dengan yang tidak menggunakan aktivitas keseluruhan.

5. Proposisi 5 : Environment Munificence dan EO mempunyai pengaruh

independen terhadap kinerja organisasi.

6. Proposisi 6 : Hubungan antara Top Management Team Characteristic dengan

EO mempunyai pengaruh interaksi terhadap kinerja organisasi.

Untuk memperjelas konsep yang ditawarkan oleh Lumpkin and Dess

(1996) dengan menawarkan model kontingensi dari pengaruh orientasi

kewirausahaan terhadap kinerja perusahaan, dengan menguji dari masing-masing

variabel seperti telah diproposisikan di atas dapat digambarkan dalam model

interaksi, seperti diilustrasikan pada gambar di bawah,


93

Gambar 2.11
Model Kontingensi dari Hubungan EO terhadap Kinerja
Sumber : Lumpkin and Dess (1996)

Figure 2a-Moderating-Effects

Organicness

Entrepreneurial Performance
Orientation

Figure 2b-Mediating-Effects Model

Entrepreneurial Organicness Performance


Orientation

Figure 2c-Independent-Effects Model

Entrepreneurial
Orientation
Performance

Environment
Munificence

Figure 2d-Interaction-Effect Model

Top Management
Team Characteristics

Performance

Entrepreneurial
Orientation

2.8.13 Riliang Qu & Zelin Zhang (2015)

Penelitian dengan judul “Market Orientation and Business Performance in

MNC Foreign Subsidiaries – Moderating Effects of Integration and

Responsiveness” mengulas tentang dampak orientasi pasar terhadap kinerja

bisnis yang telah dipelajari secara luas di berbagai lingkungan bisnis termasuk di
94

mana perusahaan multinasional (MNC) beroperasi. Yang masih belum jelas

adalah, apakah hubungan antara orientasi pasar dan kinerja bisnis dalam konteks

anak perusahaan MNC bersifat linier atau apakah akan berbeda dengan

konfigurasi yang berbeda dari lingkungan bisnis dimana anak perusahaan MNC

beroperasi. Untuk menjelaskan masalah tersebut, peneliti menganalisis data yang

dikumpulkan dari survei pos terhadap 252 anak perusahaan MNC di Inggris untuk

diselidiki apakah hubungan antara orientasi pasar dan kinerja bisnis dalam konteks

dimoderasi oleh dua tekanan lingkungandimana anak perusahaan beroperasi,

yaitu tekanan integrasi dan responsif.

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian tersebut diantaranya,

H1 :Pengaruh MO terhadap kinerja anak perusahaan dimoderasi dengan tingkat

integrasi anak perusahaan dengan perusahaan induknya. Khususnya, tingkat

integrasi yang lebih rendah menghasilkan nilai yang lebih berpengaruh

signifikan.

H2 :Pengaruh MO terhadap kinerja anak perusahaan dimoderasi oleh tekanan

responsif yang dihadapi anak perusahaan MNC lokal. Secara khusus, tekanan

respons lokal yang lebih tinggi akan berpengaruh signifikan

Dalam H1 dan H2, peneliti mengandaikan bahwa dampak MO pada kinerja

bisnis akan dimoderasi oleh integrasi global maupun lokal dari tekanan responsif

yang dihadapi anak perusahaan. Hasil analisis memberikan dukungan terhadap

kedua hipotesis tersebut. Secara khusus, coefisiensi untuk item interaksi dengan

integrasi ditemukan sangat tinggi Signifikan pada tingkat 0,001 (β = -0,14),

sedangkan koefisien untuk Item interaksi yang melibatkan responsif juga signifikan

di Tingkat 0,05 (β = 0,10). Untuk memudahkan interpretasi sifat efek moderasi,

peneliti melakukan tes kemiringan sederhana (Aiken & West,

1991).Hasil yang menunjukkan di bawah tingkat integrasi rendah, anak

perusahaan dengan tingkat MO yang lebih tinggi akan berkinerja lebih baik
95

daripada yang memiliki tingkat MO lebih rendah. Dengan kata lain, efek MO

terhadap kinerja bisnis adalah positif. Sebaliknya, ketika tingkat integrasi tinggi,

kinerja anak perusahaan MNC ditemukan berhubungan negatif dengan level dari

MO yang ditampilkan oleh anak perusahaan. Temuan menunjukkan bahwa

meskipun MO biasanya akan memberikan kontribusi positif terhadap kinerja bisnis,

Ketika anak perusahaan beroperasi di bawah tekanan tinggi untuk

mengintegrasikan, Kontribusi yang diberikan oleh MO terhadap kinerja anak

perusahaannya berkurang.

2.8.14 Slater dan Narver (1998)

Penelitian dengan judul “Customer-Led and Market-Oriented: Let’s not

Confuse the Two” menawarkan konsep bahwa dalam bisnis yang mengutamakan

pelanggan menjadi fokus utama dalam upaya memahami keinginan konsumen

terhadap orientasi pasar dan pengembangan produk. Dua konsep tersebut

memiliki fokus yang sedikit berbeda meskipun tujuannya sama yakni fokus pada

pelanggan.

Customer-Led secara filosofi dimaknai sebagai kegiatan utama berfokus

pada kepuasan pelanggan yang mencerminkan kebutuhan, fokus pada tujuan

jangka pendek dan reaktif secara alamiah. Sementara itu Market Oriented secara

filosofi dimaknai telah melampaui apa yang dinamakan kepuasan, dengan

mencerminkan bagaimana memahami dan memuaskan pelanggan dan

kebutuhan/keinginan yang tidak tampak/laten sehingga dengan demikian

fokusnya berada pada tujuan jangka panjang dan bersifat proaktif secara alamiah.

Penelitian ini mengambil latar pada industri perbankan ritel yang dipandang

telah menerapkan konsep Customer-Led maupun Market Oriented, survei

dilakukan untuk meningkatkan pemahaman mereka akan produk dan layanan

melalui persepsi pelanggan dengan membandingkan kedua konsep tersebut


96

kemudian melakukan analisis gabungan untuk memandu pengembangan produk

dan layanan baru (Leonard dan Rayport, 1997). Bisnis dengan pendekatan

Customer-Led memungkinkan perusahaan mendapatkan informasi secara

mendalam apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan konsumen yang tidak

tampak/laten.

Apakah salah satu diantara kedua konsep tersebut memiliki keunggulan

kompetitif ? mengingat industri perbankan memang fokus pada layanan. Namun

bagaimana orientasi pada pelanggan tersebut menjadi keunggulan kompetitif

melalui bagaimana membangun hubungan dengan pelanggannya berdasarkan

nilai-nilai yang diberikan dan saling memahami, sehingga dengan demikian

keunggulan kompetitif dapat tercapai (Reichheld, 1996). Untuk lebih

mempermudah memahami perbedaan keduanya, berikut disajikan dalam tabel di

bawah,

Tabel 2.5 Perbedaan kunci antara Customer-Led dan Market Oriented

Customer-led Market-oriented
Strategic Expressed Eants Latent needs
Orientation
Adjustment style Responsive Proactive
Temporal Focus Short-term Long-term
Objective Customer Customer
Satisfaction
Learning Type Adaptive Generative
Learning Customer Surveys Customer
Processes Observation
Key account Lead-user
Relationships Relationships
Focus groups Continuous
Experimentation
Concept testing Selective
Partnering

Kesimpulan dari konsep di atas adalah bahwa terdapat derajat yang

berbeda dimana bisnis secara aktif berusaha memahami pasar mereka. Pada

Customer-Led cenderung bersifat reaktif dan berorientasi jangka pendek, fokus


97

pada keinginan pelanggan yang diungkapkan dan pada ukuran kepuasan.

Sementara Market-Oriented memiliki orientasi jangka panjang dan selalu proaktif.

2.8.15 Kohli dan Jaworski (1990)

Penelitian yang dilakukan oleh Kohli dan Jaworski dengan judul “Market

Orientation: The Construct, Research Proposition, and Managerial

Implications”berusaha untuk membangun konsep pemasaran dalam kerangka

orientasi pasar (Market Orientation). Dalam hal ini peneliti mengembangkan

pengetahuan pada subjek dengan memberikan dasar bagi penelitian yang akan

datang dengan mengklarifikasi domain konstruk, pengembangan proposisi

penelitian, antecedent dan consequences dari orientasi pasar.

Gambar 2.12 Kerangka Konseptual antecedents dan consequences MO


Sumber : Kohli dan Jaworski (1990)

Senior Customer
Management Responses
Factors

Supply – Side
Moderators

Market
Enterdepartmen Business
Orientation
tal Dynamics Performance

Demand – Side
Moderators

Organizational
Systems Employee
Responses
98

Penelitian ini dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap 62 manajer

di empat kota di Amerika Serikat, mengingat tujuan dari penelitian ini adalah

mengkonstruk teori dan proposisi. Data dikumpulkan berdasarkan kriteria yang

sesuai dengan tujuan penelitian yakni yang memiliki pengalaman dan perspektif,

sehingga teknik sampling yang digunakan bisa purposive atau rencana sampling

teoritikal (Glasser and Strauss, 1967) digunakan untuk memastikan sampel

termasuk marketing, non-marketing manajer dalam industri, konsumen, dan

industri jasa.

Dari 62 interview yang dilakukan, terdapat 33 tenaga merketing, 15 non-

marketing, dan 14 posisi senior manajer sehingga total 47 responden. Dari hasil

klarifikasi pada domain Market Oriented dan memberikan definisi kerja serta

sebagai dasar pengembangan dalam mengukur konstruk. Ditemukan pula tiga

level yang mempengaruhi Market Oriented dan kaitannya dengan elemen-elemen

dari Market Oriented. Dampak yang ditimbulkan dari Market Oriented ini pada

strategi organisasi, disposisi pegawai, serta sikap dan perilaku pelanggan.

Implikasi secara langusng terhadap manajerial dari hasil penelitian ini

adalah mungkin atau tidak berbicara soal Market Oriented sangat diminati di dalam

bisnis tergantung pada sifat faktor penawaran dan permintaannya. Kedua, hasil

penelitian dengan jelas menggambarkan faktor-faktor yang dapat diharapkan

untuk mendorong atau menghambat Market Oriented. Faktor-faktor ini sangat

dapat dikendalikan oleh para manajer oleh karena itu dapat diubah oleh mereka

untuk memperbaiki orientasi pasar mereka oleh organisasi.

2.8.16 Mendez, Mesa dan Alegre (2015)

Penelitian dengan judul “The relationship between knowledge search

strategies and absorptive capacity: A deeper look” menganalisis bagaimana

keluasan dan kedalaman strategi pencarian mempengaruhi dimensi kapasitas


99

penyerapan (absorptive capacity) perusahaan: eksplorasi, transformasi dan

eksploitasi.

Eksplorasi dimaksudkan untuk mengetahui sejauhmana perusahaan

mampu mengumpulkan informasi secara aktif sebagai bahan pengembangan

produk dengan mengukur sejauhmana produk dapat dibuat, peluang yang

keberlanjutan sehingga relevan dengan upaya memproduksi secara komersil.

Transformasi bermaksud untuk membuat rancangan produk sesuai dengan

kekuatan informasi yang diperoleh dari luar dengan output rancangan produk

melalui serangkaian uji dan spesifikasi yang menjadi penciri produk yang dibuat.

Eksploitasi dilakukan setelah produk dirancang kemudian dilakukan proses

komersialisasi dengan melakukan penetrasi pasar.

Hasil analisis sampel dari 467 perusahaan manufaktur Spanyol

mengungkapkan bahwa keterbukaan pencarian pengetahuan eksternal

berkontribusi pada proses pembelajaran eksploratif, transformatif dan eksploitatif

perusahaan dengan cara yang berbeda. Secara khusus, efek curvilinear yang kuat

dari keluasan pencarian pengetahuan eksternal pada eksplorasi dan eksploitatif

belajar ditemukan penting juga untuk menjalin hubungan yang mendalam dengan

agen eksternal untuk mencapai pembelajaran transformatif dan eksploitatif hingga

suatu titik tertentu setelah hubungan menjadi negatif.

Menariknya, bagi perusahaan untuk mengembangkan pembelajaran

eksploratif, tidak penting untuk membangun hubungan yang dalam, dan bagi

perusahaan untuk mengembangkan pembelajaran transformatif, tidaklah penting

untuk membangun hubungan yang luas.

Pengembangan konsep yang dilakukan adalah strategi pencarian

pengetahuan eksternal yang terdiri dari keluasan dan kedalaman, sementara itu

untuk kapasitas penyerapan diukur melalui pembelajaran eksploratif,

pembelajaran tranformatif dan pembelajaran eksploitatif.


100

2.8.17 Scaringella dan Burtschell (2015)

Penelitian dilakukan pada perusahaan kolaborasi antara perusahaan Iran

dan Prancis dengan judul “The challenges of radical innovation in Iran: Knowledge

transfer and absorptive capacity highlights-Evidence from a joint venture in the

construction sector”dalam usaha patungan yang bertujuan mengembangkan

inovasi radikal di sektor konstruksi. Hasil identifikasi dengan tantangan yang ada

terjadi hambatan terhadap perubahan teknologi, dan kesulitan mentransfer

pengetahuan yang terkait dengan kapasitas penyerapan. Studi yang dilakukan

secara mendalam tentang usaha patungan yang dibuat oleh Freyssinet dan

Azaran untuk membangun atap baru pada gedung Stadion Masyhad, dengan

melakukan 41 wawancara selama periode 19 bulan.

Temuan hasil penelitian menunjukkan bahwa inovasi radikal ditandai

dengan adanya permasalahan keselamatan, kualitas, dan perencanaan yang

menimbulkan penundaan, ketidaksesuaian terhadap spesifikasi, dan biaya

tambahan. Freyssinet tidak berhasil mentransfer pengetahuan eksplisit dan

pengetahuan yang sulit untuk dikomunikasikan karena Azaran mengalami

kapasitas penyerapan organisasi yang buruk. Kapasitas penyerapannya yang

tinggi memungkinkan Freyssinet untuk menyesuaikan operasinya dengan rutinitas

pengetahuan yang dimiliki Azaran. Penelitian tersebut sangat berarti bagi sektor

konstruksi, sektor ekonomi dan sosial yang signifikan di Iran yang menghadapi

masalah serius. Studi tersebut memiliki implikasi praktis bagi perusahaan Iran dan

perusahaan asing yang beroperasi di Iran, sementara itu berkontribusi penelitian

tersebut memperkuat pemahaman tentang pengembangan teknologi Iran dengan

berfokus pada standar inovasi radikal, usaha patungan yang mengkhususkan diri

pada pembelajaran, dan transfer pengetahuan yang kompleks.


101

BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian

Kerangka konseptual penelitian dibangun untuk menggambarkan dan

menjelaskan hubungan antar variabel yang akan diuji, serta untuk mengetahui

kedudukan masing-masing variabel baik itu eksogen maupun endogen, mediasi

atau moderasi bahkan variabel kontrol, baik yang bersifat laten maupun manifest.

Beberapa studi teoritis maupun empiris menjelaskan, bahwa kerangka konsep

yang dibangun juga menggambarkan hipotesis yang akan diuji dimana masing-

masing variabel berkedudukan sebagai penyebab, akibat, atau sesuai dengan

rumusan dan tujuan penelitian.

Penelitian ini bertujuan untuk menguji dan menganalisis pengaruh

orientasi kewirausahaan, orientasi pasar, kapasitas penyerapan, lingkungan

eksternal bisnis, dan kinerja bisnis. Orientasi kewirausahaan dalam penelitian ini

sebagai variabel laten eksogen, sementara itu lingkungan eksternal bisnis

berkedudukan sebagai variabel laten endogen. Variabel orientasi pasar dan

kapasitas penyerapan sebagai variabel mediasi dalam penelitian ini, sementara

itu lingkungan eksternal bisnis berkedudukan sebagai variabel moderasi untuk

memperkuat hubungan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis.

Teori yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah hasil penelitian

terdahulu yang memiliki relevansi dengan teori ini sehingga dapat digambarkan

dalam kerangka konseptual sebagai berikut: bahwa orientasi kewirausahaan

merupakan kemampuan strategis yang harus dimiliki oleh para wirausaha untuk

meningkatkan kinerja bisnisnya apalagi mampu menangani kondisi lingkungan

eksternal yang cepat berubah (Cao et al., 2011; Lumpkin and Dess, 2001; Auh

dan Menguc, 2005). Pengaruh secara langsung orientasi kewirausahaan

101
102

terhadap kinerja perusahaan juga dinyatakan dalam hasil penelitian terdahulu

(Wiklund dan Shepherd, 2005; Rauch, 2009).

Orientasi pasar oleh sebagian peneliti dipandang sebagai strategi

pemasaran (Agarwal et al., 2003; Brower, 2017; Ansaari dan Bederr, 2015) dan

studi dari berbagai latar belakang pada umunya berhasil membuktikan bahwa

orientasi pasar akan meningkatkan kinerja pemasaran (Castro et al., 2005; Kirca

et al., 2005; Jain dan Bhutia, 2007). Orientasi pasar juga dipandang mampu

meningkatkan kinerja pada organisasi sektor publik (Caruana, Ramasehan dan

Ewing, 2008), hal ini terjadi pada tiga negara bagian Australia. Penelitian yang

dilakukan di departemen pemerintahan di Australia tersebut juga memandang

bahwa kinerja dapat meningkat manakala komitmen organisasi juga tinggi. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa komitmen organisasi sebagai mediasi

mampu meningkatkan kinerja organisasi pada depertemen pemerintahan.

Kemampuan perusahaan untuk menyerap pengetahuan dan informasi

yang diperoleh dari eksternal, pengalaman diri/organisasi, pembelajaran dan

selanjutnya mentransformasi dengan merancang, merencanakan dan membuat

prototipe hingga mengasimilasi yang selanjutnya menerapkannya untuk tujuan

komersil merupakan nilai unggul perusahaan. Kapasitas penyerapan perusahaan

yang meliputi eksplorasi, tranformasi dan eksploitasi, atau potensi kapasitas

penyerapan maupun realisasi kapasitas penyerapan merupakan strategi untuk

meningkatkan kemampuan mengembangkan produk baru (Scaringela, 2015;

Flattern, 2015; Jansen et al., 2005; Szulanski, 1996, Cohen dan Levintal, 1990),

sehingga diharapkan dapat meningkatkan kinerja bisnis.

Penjelasan di atas memiliki makna bahwa orientasi pasar dan kapasitas

penyerapan menjadi mediasi dari pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap

kinerja bisnis dan peningkatan kinerja tersebut semakin tinggi manakala

lingkungan eksternal bisnis menjadi variabel moderasi.


103

Gambar 3.1
Kerangka Konseptual Penelitian

Orientasi Pasar
(Y1)

Orientasi
Kewirausahaan Kinerja Bisnis
(X1) (Y3)

Kapasitas
Lingkungan Penyerapan
Eksternal (Y2)
Bisnis (X2)

Kerangka konsep yang dibangun untuk penelitian disertasi ini

berdasarkan pada kajian empiris yang telah dilakukan penelitian terdahulu, akan

tetapi dalam penelitian ini juga dilakukan pengembangan agar memiliki makna

dan memberikan kontribusi pada bidang keilmuan (contribution to the body of

knowledge). Penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam pengembangan

pada hubungan antar variabel antara lain:

1. Orientasi Kewirausahaan (X1) kinerja bisnis (Y3): Rauch, et al.,

(2004), Lumpkin dan Dess (1996), Alhnity, et al., (2016), Frank, Kessler,

dan Fink (2010), Covin dan Slevin (1988), Wiklund dan Shepherd (2005),
104

Coulthard (2007), Boso, Story dan Cadogan (2013), Oscar, Benito dan

Gallego (2007), Zhang dan Zhang (2012).

2. Orientasi Kewirausahaan (X1) Orientasi Pasar (Y1), antara lain:

Veidal dan Korneliussen (2013), Martin, Rajshekhar, dan Javalgi (2015),

Atuahene-Gima dan Anthony Ko (2001), George, Wood Jr. dan Raihan

Khan (2010), Bhuian, Menguc, dan Bell (2005), Acosta, Crespo, dan

Agudo (2018).

3. Orientasi Kewirausahaan (X1) Kapasitas Penyerapan (Y2),

antara lain: Franca dan Rua (2016), Rahomee, Aljanabi, dan Noor (2015),

Perlines, Garcia, dan Araque (2017), Khodaei, Scholten, Wubben, dan

Omta (2016), Noor dan Aljanabi (2016).

4. Orientasi Pasar (Y1) Kinerja (Y3), antara lain: Agarwal, Erramilli,

dan Dev (2003), Harris (2001), Han, Kim dan Srivastava (1998), Caruana,

Ramaseshan, dan Ewing (2008), Bamgbade, Kamaruddeen, dan Nawi

(2017), Lee, et al., (2015), Jogaratnam (2017).

5. Kapasitas Penyerapan (Y2) Kinerja (Y3), antara lain: Cohen dan

Levinthal (1990), Lane dan Lubatkin (1998), Todorova dan Durisin (2007),

Pihlajama, et al., (2017), Scaringella dan Burtschell (2015), Lau dan Lo

(2015), Flatten, Adams, dan Brettel (2014), Flor, Cooper, dan Oltra

(2017), Mendez, Mesa, dan Alegre (2016).

6. Orientasi Pasar (Y1) sebagai mediasi dari pengaruh Orientasi

Kewirausahaan (X1) terhadap Kinerja Bisnis (Y3), antara lain: Migliori,

et al. (2017), Faiz, Ahmed dan Al-Swidi (2015), Amin Muslim, et al.,

(2016), Dutta, Gupta dan Chen, (2016), Ruzgar Selver, Kocak, dan

Ruzgar Bahdtin, (2015).


105

7. Kapasitas Penyerapan (Y2) sebagai mediasi dari pengaruh Orientasi

Kewirausahaan (X1) terhadap Kinerja Bisnis (Y3), antara lain: David

Zhang (2009), Yoo, Sawyerr dan Tan (2016).

8. Lingkungan Eksternal Bisnis (X2) sebagai moderasi dari pengaruh

Orientasi Kewirausahaan (X1) terhadap Kinerja Bisnis (Y3), antara lain:

Pratono dan Mahmood, (2015), Mohd, Yahya, dan Kamaruddin, (2012),

Milovanovic, Primorac, dan Kozina, (2016), Alhnity, Mohamad, dan Ishak,

(2016), Shehu dan Mahmood (2015), Brownhilder (2016), Milovanovic

dan Wittine (2014)

3.2 Hipotesis Penelitian

Penjelasan terhadap model konseptual yang menguji hipotesis peran

lingkungan eksternal bisnis sebagai moderasi dari pengaruh orientasi

kewirausahaan terhadap kinerja bisnis yang dimediasi oleh orientasi pasar dan

kapasitas penyerapan, merupakan gambaran yang akan diselesaikan melalui

serangkaian pengujian.

Bahwa dari hasil beberapa penelitian terdahulu yang dilakukan

didapatkan hasil yang inkonsistensi atau kesenjangan, dimana ada yang

membuktikan bahwa orientasi kewirausahaan berpengaruh signifikan terhadap

kinerja bisnis dan ada yang berpengaruh tidak signifikan. Namun secara teoritis

seharusnya tingginya derajat kemampuan seorang wirausaha, maka akan

meningkatkan kinerja bisnis, Covin dan Slevin (1988); Wiklund dan Shepherd

(2005); Boso, Story dan Cadogan (2013). Oleh sebab itu dapat dirumuskan

hipotesis dalam penelitian ini yakni,

3.2.1 Semakin tinggi derajat orientasi kewirausahaan, maka akan semakin

tinggi kinerja bisnis UKM sektor kerajinan.


106

Seorang wirausaha dituntut untuk selalu memiliki perspektif yang baik dan

progresif, serta berani mengambil resiko apapun terhadap bisnisnya.

Tetapi terdapat perbedaan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa

orientasi kewirausahaan dengan orientasi pasar ada yang membuktikan

berpengaruh secara signifikan dan ada yang berpengaruh tidak signifikan.

Sebagian teoritis menyebutkan bahwa kapabilitas wirausaha dalam

orientasinya terkait bisnis akan meningkatkan orientasi pasarnya, Veidal

dan Korneliussen (2013); Martin, Rajshekhar, dan Javalgi (2015); Acosta,

Crespo, dan Agudo (2018). Oleh karena itu dapat dinyatakan dalam

hipotesis dalam penelitian ini yakni,

3.2.2 Semakin tinggi derajat orientasi kewirausahaan, maka akan semakin

tinggi derajat orientasi pasarnya.

Seorang wirausaha yang sukses selalu didukung dengan kemampuan memotret

kondisi pasar yang baik, karena selalu melihat dari aspek pelanggan yang

dibidik. Wirausaha tahu keunggulan produknya, sasaran pasarnya, serta

pesaingnya, melihat perkembangan teknologi yang ada, dan dinamika bisnis

yang terjadi. Kemampuan mentransfer pengetahuan, dengan melakukan

eksplorasi dan eksploitasi dari informasi yang diperoleh dari luar merupakan

modal yang kuat dalam meningkatkan kinerja bisnisnya. Sehingga dapat

dikatakan bahwa apabila orientasi kewirausahaannya semakin tinggi maka akan

tinggi derajat kapasitas penyerapannya, dalam rangka meningkatkan kinerja

bisnis, Perlines, Garcia, dan Araque (2017); Franca dan Rua (2016); Rahomee,

Aljanabi, dan Noor (2015). Dengan demikian hipotesis yang dikembangkan

dalam penelitian ini adalah:

3.2.3 Semakin tinggi derajat orientasi kewirausahaan, maka akan semakin

tinggi kapasitas penyerapannya


107

Kemampuan seorang wirausaha dalam melihat pasar merupakan modal besar

untuk selalu unggul dalam persaingan, karena wirausaha yang dapat membaca

pasar adalah yang mampu melayani sesuai dengan keinginan konsumennya,

dan selalu melihat potensi pesaing untuk melakukan perencanaan strategis serta

selalu berkoordinasi dengan fungsi-fungsi yang ada dalam perusahaan. Apabila

mampu menangani dan mengelola seperti tersebut maka kinerja bisnis akan

semkain tinggi, Bamgbade, Kamaruddeen, dan Nawi (2017), Lee, et al., (2015),

Jogaratnam (2017). Sehingga hipotesis dalam penelitian ini dinyatakan sebagai

berikut:

3.2.4 Semakin tinggi derajat orientasi pasar, maka akan akan semakin tinggi

kinerja bisnis

Kapasitas penyerapan adalah kemampuan yang dimiliki baik secara individu

dalam organisasi maupun organisasi bisnis itu sendiri dalam mengeksplorasi,

mentransformasi dan mengeksploitasi pengetahuan yang selanjutnya

diterjemahkan kedalam strategi untuk meningkatkan kinerja bisnis maka hal

tersebut dapat tercapai. Semakin baik dan cepat merespon apa yang diperoleh di

eksternal yang kemudian diformulasikan ke dalam organisasi maka akan tercapai

kinerja bisnis yang lebih tinggi, Todorova dan Durisin (2007); Pihlajama, et al.,

(2017); Flor, Cooper, dan Oltra (2017), Mendez, Mesa, dan Alegre (2016).

Hipotesis dalam penelitian ini dapat dinyatakan sebagai berikut:

3.2.5 Semakin tinggi derajat kapasitas penyerapan, maka akan semakin tinggi

kinerja bisnis

Kondisi yang terjadi pada kinerja bisnis tidak selalu ditentukan secara langsung

oleh derajat kemampuan kewirausahaan dalam mengelola bisnis, tetapi terdapat


108

faktor lain yang menentukan tercapainya kinerja bisnis yakni melalui orientasi

pasar yang baik. Melalui orientasi pasar yang baik, maka kinerja bisnis yang

tinggi dapat tercapai, Migliori, et al. (2017); Faiz, Ahmed dan Al-Swidi (2015);

Amin Muslim, et al., (2016), sehingga hipotesis yang dapat dikembangkan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.2.6 Semakin tinggi derajat orientasi pasar, maka akan memediasi hubungan

antara orientasi kewirausahaan dengan kinerja bisnis secara signifikan.

Penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa kapasitas penyerapan

merupakan faktor yang mendeterminasi tercapainya kinerja bisnis,

meskipun sebagian peneliti menguhubungkan kapasitas penyerapan

dengan inovasi dan kapabilitas dinamis. Peneliti memandang bahwa

semakin tinggi kapasitas penyerapan yang dimiliki oleh seorang

wirausaha maka akan mampu memberikan kontribusi terhadap

sustainable competitive advantage pada bisnisnya, David Zhang (2009),

Yoo, Sawyerr dan Tan (2016). Sehingga pengembangan hipotesis dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.2.7 Semakin tinggi derajat kapasitas penyerapan, maka akan memediasi

hubungan antara orientasi kewirausahaan dengan kinerja bisnis secara

signifikan.

Apabila seorang wirausaha tanggap akan perubahan lingkungan baik

internal maupun eksternal maka dia akan mampu menyesuaikan kondisi

perubahan yang terjadi. Meskipun dalam menangani lingkungan tersebut

diperlukan sumberdaya yang cukup besar, namun jika dilihat dari

dampaknya terhadap peningkatan kinerja bisnisnya maka perlu menjadi

perhatian bagi wirausaha karena merupakan aspek penting, Milovanovic,


109

Primorac, dan Kozina, (2016); Alhnity, Mohamad, dan Ishak, (2016);

Shehu dan Mahmood (2015); Brownhilder (2016); Milovanovic dan Wittine

(2014). Oleh karena itu dalam penelitian ini dapat dikembangkan

hipotesis seperti berikut:

3.2.8 Semakin tinggi kemampuan menangani lingkungan eksternal bisnis, maka

akan mampu memoderasi hubungan antara orientasi kewirausahaan

dengan kinerja bisnis secara signifikan.

3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional variabel dalam penelitian ini meliputi variabel laten

eksogen dan variabel laten endogen yang masing-masing diukur melalui variabel

terobservasi. Variabel laten eksogen terdiri dari :

3.3.1 Orientasi kewirausahaan, merupakan sifat, watak atau ciri-ciri yang

melekat pada seseorang yang mempunyai kemauan keras untuk

mewujudkan gagasan inovatif kedalam dunia usaha yang nyata dan

dapat mengembangkannya dengan tangguh (Drucker, 1994).

Sementara itu Scarborough and Zimmerer (1993:5) mengemukakan

definisi wirausaha sebagai seseorang yang menciptakan bisnis baru

dengan mempertimbangkan resiko dan ketidakpastian untuk

mencapai laba dan pertumbuhan dengan mengidentifikasi

kesempatan dan menggabungkan dengan sumberdaya yang

dibutuhkan untuk memanfaatkan peluang tersebut. Lumpkin dan

Dess (1996) mengembangkan konsep Entrepreneur Orientation

menjadi lima dimensi/indikator diantaranya,

1. Autonomy (Kemandirian)

2. Proactiveness (Proaktif)

3. Innovativeness (Kemampuan Melakukan Inovasi)


110

4. Risk Taking (Keberanian Mengambil Risiko)

5. Competitive Aggresiveness (Kemampuan bersaing secara

agresif)

Pemilihan indikator yang dikembangkan oleh Lumpkin dan Dess

(1996) tersebut dipandang peneliti telah mengakomodasi karakteristik

wirausaha pada umumnya, meskipun beberapa peneliti lain

menggunakan tiga indikator seperti yang dikembangkan oleh Covin

dan Slevin (1989). Seperti dijelaskan sebelumnya terjadinya

perbedaan pendekatan penelitian kewirausahaan yang digunakan,

pada penelitian ini level analisisnya berdasarkan pada individu.

Karakteristik IKM di Indonesia yang menjadi pertimbangan pemilihan

level analisis yang digunakan.

3.3.2 Orientasi Pasar, didefinisikan Narver & Slater (1994) sebagai budaya

organisasi yang efektif dan efisien dalam menciptakan perilaku-

perilaku yang mampu menghasilkan sesuatu yang terbaik bagi

konsumen serta menghasilkan kinerja superior bagi perusahaan.

Sementara itu Craven (1994) menjelaskan bahwa orientasi pasar

sebagai penetapan sasaran konsumen strategis dan membangun

organisasi yang berfokus pada layanan konsumen, memberikan

dasar persaingan yang berfokus ke dalam, memberikan layanan

sesuai dengan harapan, sehingga unggul dalam persaingan.

Orientasi pasar sekaligus mencerminkan kompetensi dalam

memahami pelanggan (Day, 1988). Indikator untuk mengukur

orientasi pasar menurut Slater & Narver (1994) diantaranya,

1. Orientasi pelanggan (Kemampuan Memahami Pelanggan);

2. Orientasi pesaing (Kemampuan Memahami Pesaing);


111

3. Koordinasi lintas fungsi (Kemampuan Melakukan Koordinasi).

3.3.3 Absorptive Capacity atau kapasitas penyerapan diartikan sebagai

kemampuan dinamis yang berkaitan dengan penciptaan dan

pemanfaatan pengetahuan (Zahra dan George, 2002). Sementara itu

Flatten (2015) memandang kapasitas penyerapan sebagai

kemampuan perusahaan dalam mengeksplorasi dan mengeksploitasi

pengetahuan eksternal yang sangat relevan untuk berhasil

dipersaingan global. Unit analisis dalam penelitian ini adalah IKM

sektor kerajinan di Jawa Timur, dan peneliti memandang bahwa agar

mudah diterjemahkan oleh para pengusaha maupun pengelola maka

indikator kapasitas penyerapan yang paling tepat adalah

menggunakan teori dari Ferreras Mendez (2016) dimana indikatornya

antara lain:

1. Eksplorasi;

2. Transformasi dan;

3. Eksploitasi.

3.3.4 Lingkungan Eksternal Bisnis, merupakan lingkungan yang berada

diluar organisasi, namun dipertimbangkan dalam pengambilan

keputusan bisnis. Lingkungan bisnis (business environment), dapat

dibedakan atas lingkungan eksternal dan lingkungan internal

(Wheelen & Hunger: 2007). Penelitian terdahulu mengusulkan

lingkungan eksternal bisnis dengan indikator lingkungan dinamis,

hostily, munificence, (Lumpkind dan Dess, 1996), dalam penelitian ini

menggunakan indikator yang dinyatakan oleh Wheelen & Hunger

(2007) menyebut lingkungan eksternal bisnis sebagai lingkungan

sosial (Societal Environment) dimana sistem sosial termasuk


112

kekuatan umum yang tidak dapat mempengaruhi secara langsung

terhadap aktivitas jangka pendek perusahaan, namun dapat

berpengaruh pada keputusan jangka panjang. Untuk mengukur

variabel lingkungan eksternal melalui indikator-indikator sebagai

berikut:

1. Kondisi Ekonomi;

2. Perkembangan Teknologi;

3. Kondisi Politik/Hukum;

4. Perkembangan Sosial/Budaya.

Penggunaan indikator PEST sebagai pengukur lingkungan eksternal

dalam penelitian ini penulis pandang bahwa IKM di Indonesia belum

dapat disetarakan dengan IKM yang ada di negara-negara maju

seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis dan negara eropa lainnya

yang memiliki kecanggihan teknologi, sumberdaya manusia yang

mumpuni dan berjumlah cukup banyak. Karakteristik IKM di

Indonesia hanya memiliki sedikit karyawan dan keterbatasan

kapasitas sumberdaya manusianya, keterbatasan teknologi yang

digunakan, struktur modal yang lemah dan masih besar

ketergantungannya dengan peran pemerintah. Sehingga aspek ini

yang menjadi dasar bahwa PEST lebih tepat digunakan sebagai

variabel lingkungan eksternal dalam penelitian ini daripada

munificence, dynamism, hostily dan sebagainya seperti yang

dilakukan oleh peneliti terdahulu.

3.3.5 Kinerja Bisnis, merupakan kinerja keseluruhan dari sebuah

organisasi yang mencakup kinerja operasional dan keuangan.

Secara umum Kannan, Vijay R. dan Keah Choon Tan, (2003)


113

menjelaskan kinerja bisnis terdiri atas pangsa pasar, ROA (Return

On Assets), kualitas produk keseluruhan, pelayanan kepada

konsumen secara keseluruhan dan posisi kompetitif keseluruhan.

Venkatraman dan Ramanujam (1986) menunjukkan bahwa kinerja

perusahaan merupakan sebuah konstruk multidimensi. Dalam hal ini,

kinerja perusahaan terdiri dari kinerja keuangan, kinerja bisnis, dan

kinerja keorganisasian. Kinerja keuangan berada di pusat wilayah

efektifitas keorganisasian. Ukuran kinerja ini dinilai sangat penting ,

tetapi tidak cukup untuk mendefinisikan efektifitas keseluruhan.

Standar berbasis akuntansi seperti penerimaan atas aset (return on

asset), penerimaan atas penjualan (return on sales), dan return on

equity mengukur keberhasilan keuangan. Indikator-indikator tersebut

menggambarkan profitabilitas saat ini. Max Coulthard (2007)

mengukur kinerja bisnis dengan menggunakan lima indikator yakni,

New Entry, Revenue Growth, Market Share, Profitabiliity, Overall

Performance, dan Stakeholder Satisfaction. Dalam penelitian ini

indikator yang digunakan dalam mengukur kinerja bisnis adalah yang

menurut pendapat Benito et al. (2009) maupun Lumpkin dan Dess

(1996) diantaranya,

1. Profitabilitas/kinerja ekonomis perusahaan, yang terdiri atas

laba, margin, Return On Investment (ROI)

2. Respon Pasar, merupakan reaksi terhadap permintaan

pasar, dimana terdiri atas penjualan, pertumbuhan penjualan,

dan pangsa pasar.

3. Nilai Posisi Pasar, didefinisikan sebagai pencapaian dan posisi

menguntungkan dalam pikiran konsumen, terdiri atas kepuasan

konsumen, reputasi, loyalitas konsumen, dan image.


114

4. Kesuksesan produk baru, merupakan kemampuan perusahaan


menciptakan produk baru yang dapat diterima pasar.
Dari beberapa indikator yang telah disebutkan di atas merupakan bagian

dari definisi operasional dimana data nanti diperoleh. Indikator-indikator yang

diajukan tersebut sesuai dengan karakteristik usaha kecil yang ada di Jawa

Timur dan digunakan untuk mengukur dalam memperoleh data untuk penelitian

ini. Pengembangan dari definisi operasional yang akan dituangkan sebagai

penyusunan kuesioner dilakukan melalui beberapa tahapan agar alat ukur yang

digunakan mampu menjadi alat ukur sesuai dengan tujuan penelitian ini.

Tabel 3.1
Variabel, Indikator dan Item

VARIABEL INDIKATOR ITEM


1. Mengutamakan kemandirian
dalam mengelola bisnis
2. Tidak mudah terpengaruh
Autonomy
dalam mengoperasikan bisnis
3. Mampu membuat kebijakan
dalam bisnis
4. Mampu menghasilkan ide-ide
baru
5. Mampu mengembangkan
Innovativeness
produk baru
Orientasi 6. Mampu melakukan
Kewirausahaan pengembangan bisnis
(X1)
7. Mampu mengambil keputusan
Risk-Taking
(Lumpkin & 8. Mampu mengelola risiko
Dess, 1996) 9. Mampu mengambil inisiatif
10. Mampu mencari peluang-
Proactiveness peluang baru
11. Mampu mengantisipasi kondisi
pasar yang berubah
12. Mampu bersaing dengan
produk pesaing
Competitive 13. Mampu melihat peta
Aggressiveness persaingan
14. Mampu melakukan kemajuan
115

Tabel 3.1 Lanjutan

VARIABEL INDIKATOR ITEM

15. Mampu menyesuaikan dengan


kondisi ekonomi
Kondisi Ekonomi 16. Mampu memanfaatkan
peluang bisnis dalam kondisi
ekonomi yang dinamis
17. Mampu mengadopsi
perkembangan teknologi
Lingkungan 18. Mampu mengaplikasikan
Kemajuan Teknologi
Eksternal Bisnis teknologi dalam bisnis
(X2) 19. Mampu menyesuaikan dengan
perubahan teknologi
(Rakesh, 2014; 20. Mampu menyesuaikan dengan
Wheelen & perkembangan politik/hukum
Hunger, 2012) Kondisi Politik/Hukum dalam bisnis
21. Mampu mengikuti kebijakan
politik/hukum dalam bisnis
22. Mampu menyesuaikan tradisi
masyarakat sebagai peluang
Kondisi Sosial/Budaya bisnis
23. Budaya masyarakat menjadi
landasan menjalankan bisnis
24. Mampu memahami keinginan
pelanggan

25. Mampu mencari informasi


keinginan pelanggan
Orientasi Pelanggan
26. Mampu membuat informasi
pelanggan kedalam rencana
pemasaran
Orientasi Pasar
(Y1) 27. Mampu melihat posisi pesaing

(Kohli & 28. Mampu mencari informasi


Jaworski, 1993; kelebihan dan kekurangan
Slater & Narver, Orientasi Pesaing pesaing
1995)
29. Mampu memantau
perkembangan pesaing

30. Mampu bekerjasama dengan


Koordinasi Lintas
baik di masing-masing fungsi
Fungsi
31. Saling membantu diantara
fungsi yang ada
116

Tabel 3.1 Lanjutan

VARIABEL INDIKATOR ITEM


32. Mampu mengidentifikasi
pengetahuan dari luar
Eksplorasi perusahaan
33. Mampu menemukan sesuatu
yang baru
34. Mampu memadukan antara
Kapasitas
potensi yang dimiliki dengan
Penyerapan
peluang yang didapatkan
(Y2)
Transformasi 35. Mampu memanfaatkan
(Cohen &
pengetahuan yang didapat
Levinthal, 1995;
dari luar untuk tujuan
Lane & Lubatkin,
perusahaan
2001; Ferreras,
36. Mampu memanfaatkan
2016)
pengetahuan baru tersebut
sebagai peluang komersil
Exploitasi 37. Mampu membuat produk
komersil sesuai dengan
pengetahuan baru yang
diperoleh
38. Mampu meningkatkan laba
39. Mampu meningkatkan margin
Profitabilitas keuntungan
40. Mampu mencapai
pengembalian modal atau
Return on Invesment (ROI)
41. Mampu meningkatkan jumlah
permintaan konsumen
Kinerja Bisnis 42. Mampu meningkatkan volume
(Y3) penjualan
Respon Pasar
(Lee et al., 2001; 43. Mampu mencapai
Kannan et al., pertumbuhan penjualan
2003; Benito et 44. Mampu meningkatkan pangsa
al., 2009; pasar
Lumpkin & Dess, 45. Mampu meningkatkan
1996) persepsi konsumen akan
produk kami
46. Produk kami lebih baik dari
pesaing
Nilai Posisi Pasar 47. Mampu meningkatkan reputasi
produk/perusahaan
48. Mampu menciptakan
kepuasan konsumen
49. Mampu meningkatkan citra
perusahaan
117

Tabel 3.1 Lanjutan

VARIABEL INDIKATOR ITEM


Kinerja Bisnis 50. Mampu menciptakan produk
(Y3) yang diterima pasar
(Lee et al., 2001; 51. Sukses mengembangkan
Kannan et al., produk baru
Kesuksesan Produk Baru
2003; Benito et
al., 2009; 52. Produk kami unggul dalam
Lumpkin & Dess, persaingan di pasar
1996)

Skala dan Pengukuran : Skala Likert dengan pengukuran menggunakan 7 (tujuh)


alternatif pilihan Jawaban
(1) : Sangat tidak setuju
(2) : Mendekati sangat tidak setuju
(3) : Tidak setuju
(4) : Netral
(5) : Setuju
(6) : Mendekati sangat setuju
(7) : Sangat setuju
118

BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kuantitatif, apabila ditinjau dari sifatnya termasuk penelitian kausalitas karena

memiliki tujuan untuk menguji hubungan antara variabel satu dengan variabel

lainnya (Sekaran, 2010). Hubungan yang diuji dalam penelitian ini adalah

hubungan antara orientasi kewirausahaan dengan kinerja bisnis, orientasi

kewirausahaan dengan orientasi pasar, orientasi kewirausahaan dengan

kapasitas penyerapan. Penelitian disertasi ini juga menguji peran orientasi pasar

dan kapasitas penyerapan sebagai variabel mediasi dari hubungan orientasi

kewirausahaan dengan kinerja bisnis serta lingkungan eksternal bisnis yang

berperan sebagai moderasi dari hubungan antara orientasi kewirausahaan

dengan kinerja bisnis.

Penelitian ini jika dilihat dari penggunaannya termasuk penelitian dasar

(pure research) yakni penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan

pengetahuan ilmiah atau untuk menemukan bidang penelitian baru, yang artinya

hasil penelitian tersebut tidak secara langsung dapat diaplikasikan dalam jangka

pendek namun bermanfaat untuk jangka panjang (Sekaran, 2010). Penelitian ini

mengambil setting IKM sektor kerajinan di Jawa Timur.

4.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada industri kecil menengah sektor kerajinan di

Jawa Timur, meliputi kerajinan batik, kerajinan berbahan dasar dari kaca, cor

kuningan, garmen, dan sebagainya.

118
119

Jawa Timur merupakan daerah provinsi yang memiliki kantong-kantong

IKM besar di berbagai wilayah baik Kabupaten maupun Kota, pemilihan lokasi

tersebut juga disesuaikan dengan objek kajian penelitian dan kriteria serta

permasalahan yang dihadapi terkait dengan kinerja bisnisnya.

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian

4.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah IKM sektor kerajinan di Jawa Timur

meliputi usaha kerajinan batik, anyaman, tas, dompet, sepatu, manik-manik,

konveksi, logam, meubelair serta handycraft lainnya. Kerajinan yang dimaksud

adalah hasil kreatifitas buatan tangan atau yang berkaitan dengan barang yang

dihasilkan melalui keterampilan yang dimiliki. Industri yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah kelompok usaha kerajinan yang didalamnya terdapat proses

produksi mulai dari bahan mentah sampai menjadi barang jadi.

Kriteria IKM dalam penelitian ini adalah sesuai dengan Peraturan Menteri

Perindustrian Republik Indonesia No. 64 tahun 2016, kriteria tersebut antara lain:

a. Memiliki tenaga kerja paling banyak 19 orang dengan nilai investasi kurang

dari 1. 000.000.000. tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;

(industri kecil)

b. Tanah dan bangunan yang dimaksud adalah satu lokasi dengan tempat

tinggal pemilik usaha; (industri kecil)

c. Mempekerjakan paling banyak 19 orang dan memiliki investasi paling sedikit

1.000.000.000, (industri menengah) atau;

d. Mempekerjakan paling sedikit 20 orang dan memiliki investasi paling banyak

15.000.000.000 (industri menengah).


120

4.3.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah bagian dari IKM sektor kerajinan yang

berasal dari kabupaten maupun kota di seluruh Jawa Timur sesuai dengan

kriteria sampel yang menjadi target dalam penelitian ini, antara lain:

1. Lama usaha minimal 2 tahun (untuk memastikan keberlanjutan usaha);

2. Jumlah tenaga kerja 5-19 untuk usaha kecil dan 20-99 untuk usaha

menengah;

3. Status kepemilikan (sebagai informasi tambahan);

4. Karakteristik jenis usaha industri kerajinan (batik, manik-manik, sepatu,

tas, dompet, konveksi, logam, meubelair, dan handycraft lainnya);

Sebaran sampel tersebut di wilayah Jawa Timur yang sesuai dengan

karakteristik dari tujuan penelitian dapat dipilih menjadi sampel.

Untuk ukuran sampel dalam penelitian ini sesuai dengan kaidah ilmiah

dalam SEM yakni 5 kali jumlah parameternya (Hair et al., 2014; Ferdinand, 2005)

mengingat jumlah parameter dalam penelitian ini sebanyak 45 maka besaran

sampelnya adalah sebanyak 225 sampel. Ditinjau dari tujuan dalam penelitian ini

adalah untuk memprediksi hubungan antar variabel dalam model dengan

pendekatan PLS sehingga diasumsikan bahwa semua ukuran variance adalah

variance yang berguna untuk dijelaskan (Ghozali, 2014).

Lebih lanjut Chin (2013) menyatakan bahwa penggunaan minimum

sampel dalam analisis SEM Partial Least Square berdasarkan pada; (1) sepuluh

kali skala dengan jumlah terbesar indikator yang digunakan untuk mengukur satu

variabel laten; (2) sepuluh kali dari jumlah terbesar jalur struktural (structural

path) yang diarahkan pada konstruk tertentu dalam model struktural (Ghozali,

2014). Untuk memperoleh data maksimal agar melebihi sampel minimal sebagai
121

antisipasi responden dalam mengembalikan kuesioner (tingkat respon) sekaligus

kelengkapan dalam pengisian kuesioner maka jumlah kuesioner yang disebarkan

sebanyak 270.

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan

convenience sampling dimana pengambilan sampel berdasarkan pada aspek

kemudahan dalam menentukan sampel namun tetap sesuai dengan kriteria yang

ditentukan. Proses selanjutnya adalah melakukan screening data sesuai dengan

kriteria sampel yang disyaratkan.

4.4 Teknik Pengukuran Variabel

Pendekatan dalam penelitian ini adalah menggunakan kuantitatif,

sementara itu untuk mengkonfirmasi data kualitatif yang diperoleh dari responden

melalui kuesioner harus dikuantitatifkan dengan memberikan gradasi pada

pilihan jawabannya. Dalam penelitian ini skala yang digunakan adalah model

skala Likert mengingat dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui persepsi

seorang wirausaha. Sementara itu pengukuranya menggunakan nilai 1 – 7

sebagai alternatif pilihan jawaban. Nilai tersebut merupakan alternative jawaban

dari responden yang diberikan dalam menjawab setiap item pada daftar

pernyataan (angket) yang dibagikan. Konstruk yang diukur seperti lingkungan

eksternal bisnis dengan menggunakan skala strongly disagree hingga strongly

agree 1 hingga 7 mengadaptasi (Rakesh, C., 2014). Pengukuran orientasi

kewirausahaan mengadaptasi dari (Lumpkin dan Dess, 1996) dengan skala 1

sampai 7 (strongly disagree hingga strongly agree), orientasi pasar

mengadaptasi dari (Jaworski dan Kohli, 1993) dengan pengukuran yang sama

yakni skala 1 sampai 7 (strongly disagree hingga strongly agree), kapasitas


122

penyerapan menggunakan (Ferreras Mendez et al., 2016) dengan skala 1

sampai 7 (strongly disagree hingga strongly agree), dan kinerja bisnis

menggunakan pengukuran dari (Benito et al., 2009; Lumpkin dan Dess, 1996)

skala 1 sampai 7 (strongly disagree hingga strongly agree).

Tabel 4.1
Skala dan pengukuran yang digunakan

1 2 3 4 5 6 7
Mendekati
Sangat Mendekati
sangat Tidak Sangat
tidak Netral Setuju sangat
tidak setuju setuju
setuju setuju
setuju

4.5 Pengumpulan Data

4.5.1 Jenis Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dimana data diperoleh

melalui jawaban secara langsung dari responden melalui angket yang telah

disebarkan dan kembali dengan lengkap. Data primer merupakan data yang

diperoleh secara langsung dari sumbernya untuk keperluan analisis. Data primer

dalam penelitian ini adalah hasil tanggapan responden yang berhubungan

dengan profilling responden dan terkait dengan variabel-variabel dalam penelitian

diantaranya, lingkungan eksternal bisnis, orientasi kewirausahaan, orientasi

pasar, kapasitas penyerapan dan kinerja bisnis. Data yang telah terkumpul

tersebut selanjutnya dilakukan screening untuk menseleksi kelengkapan jawaban

dari responden tersebut, setelah dinyatakan lengkap maka dilakukan tabulasi

data.

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari

sumbernya, dalam penelitian ini data sekundernya data profil responden beserta
123

alamatnya dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan serta dari Dekranasda

Jawa Timur.

4.5.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan:

4.5.2.1 Angket

Pengumpulan data melalui angket dilakukan dengan cara:

a. Mengantarkan langsung lembar angket ke IKM sektor kerajinan sesuai

kriteria.

b. Dikirim secara online, model seperti ini dilakukan agar mencapai respon rate

yang maksimal, angket yang dikirim secara online atau email tentunya sudah

dimodifikasi melalui aplikasi google form dan hardcopy.

c. Angket dicetak dan dikirim sejumlah 270 (ditambahkan dengan tujuan untuk

mengantisipasi kekurangan jumlah sampel yang ditentukan) dari ukuran

sampel yang telah ditentukan sesuai ketentuan SEM yakni 225.

d. Pada model pengiriman langsung ke responden, juga dilakukan wawancara

untuk memperoleh gambaran secara mendalam informasi-informasi lain

yang tidak tertuang didalam kuesioner, aspek ini dapat dikatakan sebagai

informasi kualitatif.

4.5.2.2 Studi Pustaka

Studi pustaka yang dilakukan dalam penelitian ini diperoleh dari jurnal-

jurnal penelitian terdahulu yang memiliki kaitan dengan penelitian, serta teori-

teori yang relevan dengan disertasi ini. Data hasil studi pustaka ini bermanfaat
124

untuk menyusun latar belakang penelitian, tinjauan teori, pengembangan

hipotesis hingga analisis data (Ferdinand, 2014; Ghozali, 2017).

4.5.3 Common Method Bias

Sesuai dengan teknik pengumpulan data dalam penelitian ini

menggunakan cross sectional survey melalui kuesioner online (google form) dan

offline (cetak) dimana rentan akan terjadi common method bias. Common

method bias (CMB) atau common method variance (CMV) merupakan variansi

error sistematis yang terbagi diantara variabel yang diukur serta diperkenalkan

sebagai fungsi dari kesamaan metode dan atau sumber (Richardson, 2009).

Terjadinya CMV ini karena kesalahan random dan sistematis yang

mengakibatkan hubungan antar konstruks berkurang atau bertambah, bahkan

mempengaruhi arah hubungan. Faktor lainnya seperti medium, waktu, lokasi,

waktu penelitian, format instrumen, dan prosedur pengukuran (Podsakoff,

McKenzie, dan Podsakoff, 2012), variansi CMB ini selanjutnya dapat

mengakibatkan error tipe I dan tipe II meningkat, sehingga fungsi inferensi

statistik menjadi tidak berarti.

Untuk mereduksi terjadinya CMB dalam penelitian ini, maka dilakukan

langkah-langkah untuk mereduksinya,

1. Melakukan face validity untuk memberikan gambaran item kuesioner

menurut pandangan para ahli, potensial responden, hingga aktual

responden, telah sesuai sebagai alat ukur.

2. Memberikan pernyataan kepada responden bahwa jawaban dalam

kuesioner tidak mengandung jawaban benar atau salah.

3. Memastikan bahwa calon responden sesuai dengan kriteria penelitian.


125

4. Setelah pengumpulan data, dilakukan pengujian untuk mengetahui

apakah terdapat perbedaan antara kuesioner versi online dengan versi

offline dengan menggunakan uji anova.

5. Melakukan pemeriksaan dengan menggunakan metode measured latent

marker variable (Chin, Thatcher, Wright, dan Steel, 2013)

4.6 Uji Instrumen Penelitian

4.6.1 Uji Validitas

Dalam penelitian ini, peneliti berusaha melihat Orientasi kewirausahaan,

Orientasi Pasar dan Kapasitas Penyerapan, Lingkungan Eksternal Bisnis, serta

Kinerja Bisnis pada IKM sektor kerajinan yang ada di wilayah Jawa Timur.

Angket sebagai instrumen untuk mendapatkan data penelitian harus mampu

menjadi alat ukur sehingga diperlukan pengujian terhadap angket tersebut

dengan sistematika sebagai berikut:

a. Angket diuji melalui content validity atau disebut juga dengan face validity,

untuk menggambarkan kesesuaian sebuah pengukur data dengan apa yang

akan diukur. Proses face validity dilakukan melalui konfirmasi ke ahli bahasa,

pakar, pelaku IKM atau menggunakan logical conection antar indikator yang

digunakan serta tidak ada hubungan kausal antara indikator dengan

konstruknya (Ferdinand, 2014).


126

Tabel 4.2 Hasil Face Validity

No Nama Status Keterangan

General Review : gunakan bahasa yang sederhana,


Rekan sesuai maksud dan tujuan penelitian tanpa mengurangi
Dr. M. Sejawat substansi penelitian.
1
Syauqi Bahasa Hindari istilah-istilah asing dalam kuesioner, mengingat
Indonesia respondennya adalah pelaku IKM yang belum tentu
banyak yang berpendidikan tinggi.

Kalimat eksis dalam instrumen nomor 1 hendaknya


Pelaku diganti (kurang dimengerti).
2 Rahmatullah
Bisnis kalimat pada instrumen nomor 23 hendaknya juga
diganti, karena kurang dimengerti.

Pada prinsipnya dimengerti apa yang telah tertuang


Ani pada isi kuesioner
Pelaku
3 Muslimah, Memahami maksud dari masing-masing butir dalam
Bisnis
S.Pd. instrumen (kuesiner)
Kalimatnya diusahakan tidak terlalu panjang

Pelaku Setiap butir yang ada agar mudah dipahami


4 Moh. Atim
Bisnis Butir no 30. Kondisi ekonomi yang dinamis

Pada prinsipnya butir-butir yang ada di instrumen sudah


Rekan mencerminkan tujuan secara kontekstual
Dr. Abd. sejawat Bahasa dan kalimat yang mampu diserap oleh pelaku
5
Rohim Metodologi IKM
Penelitian Mempertimbangkan jumlah butir yang ada sesuai
dengan konstruk yang dibangun
Sumber: Konfirmasi Face Validity

b. Convergent Validity, yakni item-item atau indikator suatu konstruk laten

harus converge atau share proporsi varian tinggi. Untuk dapat melihat

convergent validity adalah melalui nilai loading faktornya harus signifikan

(Ghozali, 2017), maka standardized loading estimate sama dengan 0,50

atau lebih dan idealnya harus 0.70.

c. Discriminant Validity, mengukur sampai sejauhmana sebuah konstruk

berbeda dengan konstruk lainnya, nilai discriminant validity tinggi

membuktikan bahwa konstruk adalah unik dan mampu menangkap

fenomena yang diukur.


127

4.6.2 Uji Reliabilitas

Instrumen yang baik atau reliabel adalah apabila dilakukan beberapa kali

pengukuran hasilnya konsisten, dalam penelitian ini menggunakan construct

reliability dengan batas nilai 0.70. Nilai tingkat reliabilitas konstruk dapat diukur

dengan rumus:

(∑std.loading)2
Construct_Reliability =
(∑std.loading)2 + ∑εј

Keterangan:

a. Standard loading diperoleh dari standardized loading untuk tiap-tiap indikator

yang didapat dari hasil perhitungan komputer.

b. Εј adalah measurement error dari tiap-tiap indikator, measurement error

dapat diperoleh dari 1 – reliabilitas indikator (Ferdinand, 2014).

4.6.3 Pilot Study

Untuk menguji alat ukur yang digunakan (instrumen) dalam penelitian ini,

dilakukan pilot study pada UKM sesuai kriteria dengan jumlah 32 responden. Uji

ini dilakukan untuk mengetahui apakah instrumen yang digunakan pada saat

pengumpulan data sudah memenuhi kriteria sebagai alat ukur baik secara

validitas maupun secara reliabilitas. Hasil setelah pengujian instrumen dan sudah

dipastikan kevalidan dan reliabilitasnya, maka instrumen tersebut layak untuk

dijadikan alat ukur dalam penelitian disertasi ini.

Hasil pengujian instrument pretest dengan jumlah 32 responden tersebut

menghasilkan nilai sebagai berikut:


128

Table 4.3
Hasil pretest Validitas dan Reliabilitas
Variabel Cronbach's rho_A Composite Average Variance
Alpha Reliability Extracted (AVE)
KP 0.846 0.858 0.896 0.683

OK 0.931 0.943 0.944 0.654

KB 0.925 0.926 0.935 0.507

LEB 0.951 0.962 0.962 0.810

OP 0.903 0.915 0.925 0.640

Moderating Effect 1 1.000 1.000 1.000 1.000


Sumber: lampiran olahan data, n = 32 (2018) OK: orientasi kewirausahaan, OP:
orientasi pasar, KP: kapasitas penyerapan, LEB: lingkungan eksternal bisnis, KB:
kinerja bisnis

Table 4.4
Validitas Orientasi Kewirausahaan

Indikator Loading Keputusan

OK1 0.737 Valid

OK2 0.924 Valid

OK3 0.827 Valid

OK4 0.654 Valid

OK5 0.717 Valid

OK6 0.895 Valid

OK7 0.917 Valid

OK8 0.653 Valid

OK9 0.891 Valid


Sumber: lampiran olahan data, n = 32 (2018)
129

Table 4.5
Validitas Orientasi Pasar
Indikator Loading Keputusan
OP1 0.800 Valid
OP2 0.815 Valid
OP3 0.762 Valid
OP4 0.912 Valid
OP5 0.591 Valid
OP6 0.817 Valid
OP7 0.862 Valid
Sumber: lampiran olahan data, n = 32 (2018)

Table 4.6
Validitas Kapasitas Penyerapan
Indikator Loading Keputusan

KP1 0.862 Valid


KP2 0.810 Valid
KP3 0.848 Valid
KP4 0.783 Valid
Sumber: lampiran olahan data, n = 32 (2018)

Table 4.7
Validitas Lingkungan Eksternal Bisnis
Indikator Loading Keputusan

LEB1 0.726 Valid


LEB2 0.825 Valid
LEB3 0.967 Valid
LEB4 0.940 Valid
LEB5 0.978 Valid
LEB6 0.937 Valid
Sumber: lampiran olahan data, n = 32 (2018)
130

Table 4.8
Validitas Kinerja Bisnis

Indikator Loading Keputusan

KB1 0.779 Valid


KB2 0.657 Valid
KB3 0.725 Valid
KB4 0.755 Valid
KB5 0.672 Valid
KB6 0.768 Valid
KB7 0.670 Valid
KB8 0.727 Valid
KB9 0.753 Valid
KB10 0.721 Valid
KB11 0.635 Valid
KB12 0.659 Valid
KB13 0.762 Valid
KB14 0.668 Valid
Sumber: lampiran olahan data, n = 32 (2018)

Setelah melakukan pilot study terhadap instrument dengan menggunakan

32 responden seperti yang telah dilakukan sebelumnya, maka selanjutnya akan

dilakukan pengukuran terhadap instrumen dengan menggunakan seluruh sampel

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebanyak 247 dengan tujuan untuk

mengkonfirmasi instrument apakah sesuai dengan data lebih besar. Konfirmasi

tersebut dimaksudkan untuk melihat apakah pengukuran telah memenuhi asumsi

yang dipersyaratkan (rule of thumbs).


131

4.7 Metode Analisis Data

4.7.1 Analisis Statistik Deskriptif

Dalam menganalisis dan menginterpretasikan data, digunakan metode

analisis deskriptif untuk variabel kualitatif, yaitu untuk mengetahui gambaran

secara jelas mengenai orientasi kewirausahaan, orientasi pasar, kapasitas

penyerapan, dan lingkungan eksternal, serta kinerja bisnis pada IKM sektor

kerajinan di Jawa Timur.

Analisis deskriptif diperoleh dengan melakukan analisis terhadap item-

item pernyataan dalam kuesioner yang kemudian setiap alternatif jawaban diberi

skor dengan mengacu pada skala likert 1 – 7 selanjutnya dibuat

pengklasifikasian dengan mengacu pada skor tertinggi, skor terendah, dan

rentang skor sebagai berikut:

− ℎ
=

Dalam menganalisis secara deskriptif digunakan bantuan tabel dalam

bentuk jumlah dan persentase dengan ketentuan pembobotan yang telah

ditentukan, sehingga diketahui klasifikasi keberadaan dari masing-masing

variabel penelitiannya. Klasifikasi tersebut meliputi: sangat tidak setuju,

mendekati sangat tidak setuju, tidak setuju, netral, setuju, mendekati sangat

setuju dan sangat setuju.

Dalam penelitian ini interpretasi hasil deskriptif menggunakan formula sebagai

berikut:
132

7-1
7 = ------------- = 1,5
4

Keterangan:

1 – 2,5 : sangat rendah

2,6 – 4,1 : rendah

4,2 – 5,7 : tinggi

5,8 – 7 : sangat tinggi

4.7.2 Analisis Statistik Inferensial

Analisis statistik inferensial digunakan untuk menguji hipotesis atau untuk

mengetahui hubungan kausalitas antar variabel seperti orientasi kewirausahaan,

orientasi pasar, kapasitas penyerapan, lingkungan eksternal bisnis dan kinerja

bisnis. Analisis inferensial yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapai yakni mendesain variabel kedalam dua bentuk variabel

latent/dimension/construct (unobserved variable) dimana variabel tersebut tidak

dapat diukur secara langsung dan variabel manifest (observed variable) dimana

variabel tersebut dapat diukur secara langsung (Ghozali, 2004), oleh sebab itu

analisis yang tepat adalah menggunakan Structural Equation Modelling (SEM)

dengan menggunakan bantuan software SmartPLS 3.

Analisis SEM pada prinsipnya terdiri dari analisis faktor konfirmatori

(CFA), dan analisis regresi/analisis jalur (Path analysis), yang sekaligus dapat

digunakan untuk memeriksa validitas dan reliabilitas instrumen penelitian

(Solimun, 2006). Penggunaan SmartPLS 3 bisa dipertimbangkan untuk teori

yang belum berkembang dan tujuan utama penelitian adalah mengaplikasikan


133

SEM untuk memprediksi atau menjelaskan konstruk atau variabel laten yang

menjadi target.

Alasan pemakaian alat analisis SEM dengan program SmartPLS pada

penelitian ini adalah berdasarkan pertimbangan:

a. Dapat menghasilkan solusi meskipun untuk model yang kompleks.

b. Tidak mensyaratkan variabel-variabelnya untuk memenuhi kriiteria analisis

parametrik seperti normalitas multivariat dan ukuran sampel besar.

c. Mampu menghasilkan estimasi parameter untuk model dengan variabel laten

formatif dan efek moderasi

d. Dapat mengestimsi nilai p untuk koefisien jalur secara otomatis.

e. Dapat memberikan beberapa indicator fit model yang dapat berguna untuk

membandingkan model terbaik antar berbagai model yang berbeda.

f. Dapat memberikan effect size yang menggambarkan nilai absolute kontribusi

individual setiap variabel laten prediktor pada nilai R-squared variabel

kriterion.

g. Dapat memberikan nilai full collinearity test yang dapat digunakan untuk

menganalisis masalah multikolinearitas vertical dan lateral.

h. Algoritma yang digunakan SmartPLS dapat meminimalkan masalah

multikolinearitas antar variabel laten.

i. SmartPLS dapat memberikan output nilai pengaruh tidak langsung (indirect

effect) dan total effect beserta nilai p, standard error, dan effect size.

Pada penjelasan sebelumnya dinyatakan bahwa dalam penelitian ini

bertujuan untuk memprediksi hubungan antar variabel laten dengan bantuan

PLS. oleh karena PLS tidak mengasumsikan adanya distribusi tertentu untuk

estimasi parameter, maka teknik parametrik untuk menguji signifikansi parameter


134

tidak diperlukan (Chin, 1998; Ghozali, 2014). Model evaluasi PLS berdasarkan

pada pengukuran prediksi yang mempunyai sifat non-parametrik.

4.7.3 Pengujian Mediasi dengan VAF

Penelitian ini terdapat variabel intervening/mediasi yaitu orientasi pasar

dan kapasitas penyerapan. Menurut Solimun (2012), Variabel intervening

(intervene variables) / variabel mediasi adalah variabel yang bersifat menjadi

perantara (mediasi) dari hubungan variabel penjelas ke variabel tergantung. Sifat

dari variabel mediasi ini adalah sebagai penghubung (jembatan) antara variabel

penjelas dengan variabel tergantung.

Hair (2014) menyatakan bahwa metode yang dikembangkan oleh

Preacher dan Hayes (2004, 2008) dimana metode VAF ini dipandang lebih

sesuai karena tidak memerlukan asumsi apapun tentang distribusi variabel

sehingga dapat diaplikasikan pada ukuran sampel kecil. Menurut (Hair et al,

2014) prosedur pengujian mediasi dalam SEM-PLS dapat dilakukan sebagai

berikut:

1. Pengaruh langsung (P13) harus signifikan saat variabel pemediasi (Y2)

belum dimasukkan ke dalam model

2. Setelah variabel pemediasi (Y2) dimasukkan ke dalam model, maka

pengaruh tidak langsung (P12. P23) harus signifikan. Setiap jalur yaitu P12

dan P23 harus signifikan untuk memenuhi kondisi ini

3. Menghitung Variance Accounted For (VAF) dengan rumus: Pengaruh

tidak langsung (indirect effect) / pengaruh total (total effect), dimana

pengaruh total adalah pengaruh langsung + pengaruh tidak langsung.


135

Secara diagram prosedur pengujian mediasi dalam SEM – PLS dapat

dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 4.1
Prosedur Analisis Mediasi dalam SEM-PLS

Menguji signifikansi pengaruh


langsung (P13) tanpa memasukkan
variabel pemediasi dalam model
SEM-PLS

Pengaruh Langsung Pengaruh Langsung


Tidak Signifikan Signifikan

Memasukkan variabel
pemediasi dalam model SEL-
Tidak ada efek mediasi PLS dan menguji signifikansi
pengaruh tidak langsung
(P12.P23)

Pengaruh Tidak Pengaruh Tidak


Langsung Signifikan Langsung Tidak
Signifikan

Menghitung Variance
Accounted For (VAF) Tidak ada mediasi

VAF > 80% 20% ≤ VAF ≤ 80% VAF < 20%

Mediasi penuh Mediasi sebagian Tidak ada efek


(Full mediation) (partial mediation) mediasi

Sumber: Hair, Hult, Ringel and Sarstedt (2014)


136

4.7.4 Pengujian Moderasi

Penelitian ini juga menggunakan variabel yang berkedudukan sebagai

variabel moderator yang berfungsi untuk memperkuat atau memperlemah

hubungan antar variabel laten eksogen dengan laten endogen. Dalam penelitian

ini yang berkedudukan sebagai variabel moderator adalah lingkungan eksternal

bisnis yang bertujuan untuk memperkuat hubungan antara orientasi

kewirausahaan dan kinerja bisnis. Dalam statistik multivariate hubungan

moderasi ini diuji dengan menggunakan Moderated Regression Analysis (MRA)

yang merupakan aplikasi regresi linier berganda dimana dalam persamaan

regresinya mengandung unsur interaksi (perkalian dua atau lebih variabel

independen) dengan rumus persamaan sebagai berikut :

Y = a + b1X + b2 Z + b3 X*Z + e

Dimana X adalah variabel independen, Z variabel independen moderator dan

X*Z variabel interaksi antara X dan Z. Pada model dengan variabel laten dimana

variabel tersebut tidak dapat diukur secara langsung tetapi diukur melalui

indicator.

4.7.5 Evaluasi Model

Dalam proses analisis menggunakan SmartPLS terdapat dua model

evaluasi yang dilakukan yakni evaluasi model pengukuran (outer model) dan

model struktural (inner model). Tahapan analisis data dalam penelitian ini

menggunakan bantuan software SmartPLS versi 3.0.


137

4.7.5.1 Evaluasi Outer Model (model pengukuran)

Analisis outer model (measurement model) dilakukan untuk

menggambarkan hubungan antar blok indikator dengan variael latennya.

Terdapat tiga kriteria pengukuran untuk menilai outer model yaitu dengan

Convergent Validity, Discriminant Validity, dan Composite Reliability.

a. Convergent Validity dari model pengukuran dengan refleksif indikator

dinilai berdasarkan korelasi antara item score/component score dengan

construct score yang dihitung dengan PLS. Ukuran refleksif individual

dikatakan tinggi jika berkorelasi lebih dari 0.70 dengan konstruk yang

akan diukur. Namun demikian untuk penelitian tahap awal dari

pengembangan skala pengukuran nilai loading 0.5 sampai 0.60 dianggap

cukup (Chin, 1998 dalam Ghozali, 2014). Semakin tinggi nilai loading

factor semakin tinggi peranan loading dalam menginterpretasikan matriks

faktor. Penggunaan average variance extracted (AVE) sebagai kriteria

pengujian convergent validity diperoleh melalui formula:

(∑λi2) Var F
AVE = ----------------------------------
(∑λi2) Var F + ∑Ɵii
138

Dimana:

λi adalah factor loading


F adalah factor variance
Ɵii adalah error variance

AVE dihitung sebagai rata-rata akar standardize loading factor yang

dibagi dengan jumlah indikator. AVE menunjukkan kemampuan nilai

variabel laten dalam mewakili skor data asli. Semakin besar nilai AVE

maka semakin tinggi kemampuannya menjelaskan nilai pada indicator-

indikator yang mengukur variabel laten. Cut-off value AVE yang sering

digunakan adalah 0.50 dimana nilai AVE minimal 0.50 menunjukkan

ukuran convergent validity yang baik mempunyai arti probabilitas indikator

dalam suatu konstruk masuk ke variabel lain lebih rendah (kurang dari

0.50) sehingga probabilitas indikator tersebut konvergen dan masuk di

konstruk yang nilai dalam bloknya lebih besar diatas 50%.

b. Discriminant Validity bertujuan untuk menguji apakah indikator-indikator

suatu konstruk tidak berkorelasi tinggi dengan indikator dari konstruk lain.

Discriminant validity dari model pengukuran dengan reflektif indikator

dinilai berdasarkan cross loading pengukuran dengan konstruk. Jika

korelasi konstruk dengan item pengukuran lebih besar dari ukuran

konstruk lainnya, maka menunjukkan bahwa konstruk laten memprediksi

ukuran pada blok lebih baik dari ukuran blok lainnya. Metode lain untuk

mencari discriminant validity adalah dengan membandingkan nilai square

root of average variance extracted (AVE) atau akar kuadrat dari AVE

setiap konstruk dengan nilai korelasi antara konstruk dengan konstruk


139

lainnya (latent variable correlation) dalam model. Untuk menghitung AVE

dapat dijelaskan dalam rumus berikut,

∑λi2
AVE = ----------------------------------
∑λi2 + ∑i Var(Ɛi)

Dimana

λi adalah component loading ke indikator


Var(Ɛi) adalah 1 - λi2 jika semua indikator di standardized, maka

ukuran tersebut sama dengan average communalities dalam blok.

Fornnel dan Larcker (1981) dalam Ghozali (2014) menyatakan bahwa

pengukuran ini dapat digunakan untuk mengukur reliabilitas component

score variabel laten dan hasilnya lebih konservatif dibandingkan dengan

composite reliability (pc), direkomendasikan nilai AVE harus lebih besar

0.50.

c. Composite Reliability blok indikator yang mengukur suatu konstruk dapat

dievaluasi dengan dua macam ukuran yaitu internal consistency dan

Cronbach’s Alpha, dengan menggunakan output yang dihasilkan PLS

maka composite reliability dapat dihitung melalui rumus berikut:


140

(∑λi)2 ρс
AVE = ----------------------------------
(∑λi)2 + ∑i Var(Ɛi)

Dimana

λi adalah component loading ke indikator

Var(Ɛi) adalah 1 - λi2

Dibandingkan dengan Cronbach’s Alpha, ukuran ini tidak

mengasumsikan tau equivalence antar pengukuran dengan asumsi

semua indikator diberi bobot sama. Sehingga Cronbach’s Alpha

cenderung lower bound estimate reliability, sedangkan ρс merupakan

closer approximation dengan asumsi estimasi paramenter adalah akurat.

ρс sebagai ukuran internal consistence hanya dapat digunakan untuk

konstruk dengan indikator refleksif. Untuk lebih mudah memberikan

gambaran secara komprehensif batasan nilai yang dipersyaratkan dalam

model pengukuran dengan menggunakan SmartPLS berikut disajikan rule

of thumb evaluasi model pengukuran pada table berikut,


141

Tabel 4.9 Rule of Thumb Model Pengukuran Reflektif

Validitas dan Kriteria Rule of Thumb


Reliabilitas
Validitas Convergent Loading Factor 0.70 untuk Confirmatory
Research
> 0.60 untuk Explanatory
Research
Average Variance > 0.50 untuk Confirmatory
Extracted (AVE) Research maupun
Explanatory Research
Communality > 0.50 untuk Confirmatory
Research maupun
Explanatory Research
Validitas Diskriminan Cross Loading > 0.70 untuk setiap variabel

Akar Kuadrat AVE Akar Kuadrat AVE > Korelasi


dan Korelasi antar antar Konstruk Laten
Konstruk Laten

Reliabilitas Cronbach's Alpha > 0.70 untuk Confirmatory


Research
> 0.60 untuk Explanatory
Research
Composite Reliability > 0.70 untuk Confirmatory
Research
> 0.60 - 0.70 masih bisa
diterima untuk Explanatory
Research
Sumber: Ghozali, 2014

4.7.5.2 Evaluasi Model (Inner Model)

Dalam melakukan evaluasi model (inner model) terdapat beberapa

tahapan, diantaranya untuk mengetahui kekuatan hubungan antar konstruk, hal

ini dapat dilihat dari nilai koefisien jalur (path coefficient). Arah jalur harus sesuai

dengan yang telah dihipotesiskan, untuk menilai signifikansi path coefficient

dapat dilihat nilai t test atau critical ratio yang diperoleh pada langkah

bootstrapping (resampling).
142

Tahapan berikutnya adalah mengevaluasi R2, dalam tahap ini yang

dimaksud R2 sama dalam analisis regresi linier yang besarnya variabel endogen

dapat dijelaskan oleh variabel eksogen. Chin (1998) menjelaskan kriteria

batasan nilai R2 ini dalam tiga klasifikasi, yakni 0.67 diartikan substansial; 0.33

diartikan moderat; dan 0.19 artinya lemah. Perubahan nilai R2 digunakan untuk

melihat apakah pengukuran variabel laten eksogen terhadap variabel laten

endogen berpengaruh secara substansial. Hal ini dapat diukur dengan effect

size.

a. Uji Effect Size f2

Perubahan nilai R2 dapat digunakan untuk menilai pengaruh variabel

laten eksogen terhadap variabel laten endogen apakah memiliki pengaruh yang

substantive (Ghozali, 2014) yang diukur dengan menggunakan effect size

dengan formula sebgai berikut:

R2 included R2 excluded
f2 = ------------------------------------
1 - R2 included

Dimana R2 included dan R2 excluded adalah nilai R2 dari variabel laten endogen

yang diperoleh ketika variabel eksogen tersebut masuk atau dikeluarkan dari

model. Interpretasi f2 sama yang direkomendasikan Cohen (1988) yakni 0.02

memiliki pengaruh yang kecil; 0.15 memiliki pengaruh yang moderat; dan 0.35

memiliki pengaruh yang besar pada level struktural (Chin, 1998) dalam Ghozali

(2014).
143

b. Uji Predictive Relevance

Selain melihat dari ukuran nilai R2, model PLS juga dievaluasi dengan

melihat nilai predictive relevance yakni mengukur seberapa baik nilai observasi

yang dihasilkan oleh model dan juga estimasi parameternya. Uji predictive

relevance ini sebelumnya menggunakan formula Stone-Geisser (Q2). PLS pada

saat ini telah mengembangkan formula terbaru dalam melihat nilai predictive

relevance dengan menggunakan Blindfolding dalam menu analisisnya. Prinsip

dari Blindfolding dengan Stone-Geisser sesungguhnya hampir sama dalam

menentukan diterima tidaknya nilai predictive relevance nya yaitu apabila nilai

Blilndfolding lebih besar dari 0 (> 0) maka menunjukkan model memiliki

predictive relevance, sebaliknya bila nilai Blindfolding lebih kecil dari 0 (< 0) maka

menunjukkan model kurang memiliki predictive relevance.

c. Uji Goodness of Fit Index

Untuk memvalidasi model secara keseluruhan, maka digunakan

goodness of fit index yang diperkenalkan oleh Tenenhaus, et al., (2004) dengan

nama GoF Index. Index ini dikembangkan untuk mengevaluasi model

pengukuran dan model struktural serta menyediakan pengukuran sederhana

untuk keseluruhan dari prediksi model (Ghozali, 2014). Goodness of Fit dihitung

dari akar kuadrat nilai average communality index dan average R-Square

sebagaimana rumus berikut:

GoF = √ Com x R2

Dimana:

 Com bar (bergaris atas) adalah average communality

 R2 bar (bergaris) adalah rata-rata model R2


144

Nilai GoF adalah antara 0 sampai dengan 1, dengan nilai average

commonality yang direkomendasikan sebesar 0.50 dan nilai R-Square, dengan

interpretasi nilai 0.10 termasuk pada tingkat GoF yang kecil, 0.25 termasuk pada

tingkat GoF yang medium, dan nilai 0.36 termasuk nilai GoF yang besar (Cohen,

1998) dalam (Ghozali, 2014). Rule of Thumb dalam evaluasi model struktural

dapat disajikan pada table dibawah,

Table 4.10 Rule of Thumb Evaluasi Model Struktural

Kriteria Rule of Thumb

0.67, 0.33, dan 0.19 merupakan model yang kuat,


moderat dan lemah (Chin, 1998)
R-Square
0.75, 0.50, dan 0.25 merupakan model yang kuat,
moderat dan lemah (Hair et al., 2011)
0.02, 0.15, dan 0.35 merupakan nilai yang kecil,
Effect Size f2
menengah, dan besar
> 0 menunjukkan model memiliki predictive
Blindfolding Predictive relevance
Relevance < 0 menunjukkan model kurang memiliki predictive
relevance

t value 1.28 (signifikan pada level 10%)

Signifikansi (one tailed) t value 1.65 (signifikan pada level 5%)

t value 2.33 (signifikan pada level 1%)

t value 1.65 (signifikan pada level 10%)

Signifikansi (two tailed) t value 1.96 (signifikan pada level 5%)

t value 2.58 (signifikan pada level 1%)


Sumber: Ghozali (2014)
145

4.7.6 Uji Hipotesis

Pengujian hipotesis antar konstruk yakni konstruk eksogen terhadap

konstruk endogen dan konstruk endogen terhadap konstruk endogen lainnya

dilakukan melalui metode Bootstrapping atau resampling yang dikembangkan

oleh Geisser (Ghozali, 2014). Pengujian statistik yang digunakan adalah uji t atau

statistik t, penerapan metode bootstrapping memungkinkan data terdistribusi

bebas tidak mensyaratkan asumsi data berdistribusi normal dan tidak

memerlukan sampel yang besar.

Pengujian hipotesis dengan menggunakan analisis full model structural

equation modelling (SEM) dengan menggunakan SmartPLS 3. Pengujian full

model melalui SEM PLS selain memprediksi model, juga menjelaskan ada

tidaknya hubungan antar variable laten. Hubungan dari analisis jalur semua

variabel laten dalam PLS pada penelitian ini adalah:

1. Outer Model: Spesifikasi hubungan antara indikator dengan vriabel laten;

2. Inner Model: Spesifikasi hubungan antar variabel laten;

3. Weight Relation: Nilai kasus dari variabel laten dapat diestimasi.

Penerimaan hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan ketentuan nilai t-

table dalam penelitian ini sebesar 1.645 dengan signifikansi 0.05. Nilai tersebut

selanjutnya dijadikan cut off value untuk penerimaan atau penolakan hipotesis

yang diajukan:

1. Nilai outer weight masing-masing indikator dan nilai signifikansinya, nilai

weight yang disarankan adalah diatas dan nilai t-statistik di atas nilai t-

tabel yakni 1.645 dengan nilai α : 0.05 pada uji one tailed.
146

2. Nilai inner weight dari hubungan antar variabel laten, nilai weight dari

hubungan tersebut harus menunjukkan arah positif dengan nilai t-statistik

diatas nilai t-tabel 1.645 dengan α : 0.05 pada uji one tailed.

3. Hipotesis penelitian ini diterima manakala nilai weight dari hubungan

antar variabel laten menunjukkan arah dengan nilai t-statistik diatas nilai t-

tabel 1.645 dengan α : 0.05 dan hipotesis ditolak jika nilai weight dari

hubungan antar variabel laten nilai t-statistik lebih rendah dari t-tabel

1.645 dengan α : 0.05.

4.7.7 Informasi Kualitatif

Penelitian dalam disertasi ini juga memerlukan informasi-informasi yang

tidak tertuang dalam kuesioner, dengan tujuan untuk mengetahui secara faktual

keadaan objek sehingga akan mampu menggambarkan secara utuh (holistik)

hasil penelitian tersebut. Informasi-informasi tersebut dapat diperoleh melalui

wawancara pada saat pengumpulan data, disamping itu informasi lain juga dapat

diperoleh melalui pengamatan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara dan

pengamatan tersebut bersifat sebagai pendukung untuk dapat memberikan

gambaran terkait dengan informasi yang diperlukan.

Informasi kualitatif yang didasarkan hasil wawancara tidak secara

terstruktur dituangkan dalam pedoman wawancara, karena tujuannya untuk

menggali lebih dalam apa dan bagaimana pengelolaan IKM yang dilakukan,

hambatan-hambatan apa saja yang dialami, ketatnya persaingan yang dihadapi,

peluang untuk memperluas cakupan pasar (pangsa pasar). Data yang dihasilkan

melalui informasi kualitatif ini dapat memberikan manfaat sebagai informasi

tambahan dalam memperkuat hasil penelitian, dimana pembuktian hasil dalam


147

penelitian ini didasarkan atas hasil analisis statistik. Keberadaan informasi

kualitarif ini akan memperkaya pembahasan hasil penelitian.


148

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini menguraikan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan

menyajikan data berupa gambaran karakteristik responden, distribusi frekuensi

responden, pengujian model pengukuran dan sruktural, hingga pada pengujian

hipotesis.

5.1 Gambaran umum IKM

Jawa Timur memiliki usaha mikro kecil menengah yang cukup besar dan

mempunyai hasil produk kreatif dan inovatif yang berdaya saing baik secara

nasional maupun internasional. Terbukti dengan terpilihnya Jawa Timur mewakili

Indonesia sebagai duta perdagangan internasional di MUBA Bassel Swiss sebagai

Province of Charm. Jawa Timur dipercaya kembali pada perhelatan tahunan

pameran kerajinan berskala internasional tahun 2013 bertajuk Toward The Global

Market Through the Enviromentally Friendly Handycraft. (Roadmap Ekonomi

Kreatif Jatim 2014-2018).

Kerajinan merupakan sub sektor yang memiliki nilai kontribusi pada PDRB,

penyerapan tenaga kerja dan sub sektor kerajinan potensi untuk dikembangkan

sebagai komoditas ekspor, karena produk kerajinan Jawa Timur yang bernuansa

keunikan lokal banyak diminati oleh pasar luar negeri. Meskipun terdapat turunnya

nilai ekspor kerajinan Jawa Timur karena maraknya produk kerajinan Thailand dan

China juga banyak diminati oleh pasar di luar negeri. Melihat kondisi ini, maka

pemerintah bersama-sama dengan institusi pendidikan dan pelaku usaha harus

saling bahu membahu untuk mengembangkan sub sektor kerajinan ini, misalnya

terkait dengan peningkatan kualitas produk, penciptaan desain produk, penciptaan

148
149

teknologi proses dan bahan yang lebih baik, aturan-aturan dan insentif yang

menarik serta dukungan promosi ke pasar di dalam maupun di luar negeri.

IKM yang terpilih menjadi responden dalam penelitian ini diperoleh melalui

saluran komunitas yang memiliki kedekatan dengan industri kerajinan melalui

tenaga enumerator yang telah diberikan pembekalan terkait sararan responden

yang tepat, baik yang versi online maupun versi kuesioner cetak.

5.2 Hasil Penelitian

5.2.1 Profil responden

Distribusi frekuensi responden berdasarkan jenis kelamin, usia,

pendidikan, lama usaha, status usaha, jumlah tenaga kerja, produk utama dan asal

IKM, dapat dilihat pada Tabel 5.1 di bawah:

Tabel 5.1
Profil Responden
Karakteristik Jumlah Persentase
Jenis Kelamin
Laki-laki 158 64%
Perempuan 89 36%
247 100%
Usia
20 - 30 36 14.6%
31 - 40 57 23.1%
41 - 50 94 38.1%
51 - 60 55 22.3%
61 - keatas 5 2%
247 100%
Pendidikan
SD 12 4.9%
SMP 23 9.3%
SMA 156 63.2%
Sarjana 56 22.7%
Pascasarjana 0 0%
247 100%
150

Tabel 5.1 Lanjutan

Karakteristik Jumlah Persentase

Lama Usaha
2 tahun 34 13.8%
3 tahun 55 22.3%
4 tahun 71 28.7%
5 tahun & lebih 87 35.2%
247 100%
Status Usaha
Dirintis sejak awal 189 76.5%
Warisan orang tua 52 21.1%
Beli dari pihak lain 6 2.4%
247 100%
Jml Tenaga Kerja
5 - 8 orang 114 46.2%
9 - 12 orang 76 30.8%
13 - 18 orang 34 13.8%
19 orang atau lebih 23 9.3%
247 100%
Produk Utama
Batik 25 10.1%
Manik-manik 6 2.4%
Gelang, Kalung, dll. 16 6.5%
Cor kuningan 19 7.7%
Kerajinan logam 24 9.7%
Tas, sabuk, dompet, dll. 12 4.9%
Anyaman, dll. 36 14.6%
Tas, tikar lipat, dll. 43 17.4%
Lainnya 66 26.7%
247 100%
Asal IKM
Surabaya 2 0.81%
Sidoarjo 23 9.31%
Gresik 3 1.21%
Tuban 5 2.02%
Lamongan 9 3.64%
Mojokerto Kabupaten 2 0.81%
Mojokerto Kota 3 1.21%
151

Tabel 5.1 Lanjutan

Karakteristik Jumlah Persentase


Jombang 47 19.03%
Bojonegoro 3 1.21%
Sampang 1 0.40%
Bangkalan 4 1.62%
Pamekasan 3 1.21%
Sumenep 6 2.43%
Pasuruan Kota 4 1.62%
Pasuruan Kabupaten 5 2.02%
Probolinggo Kabupaten 15 6.07%
Probolinggo Kota 8 3.24%
Situbondo 5 2.02%
Bondowoso 3 1.21%
Banyuwangi 9 3.64%
Jember 1 0.40%
Lumajang 7 2.83%
Malang Kota 1 0.40%
Malang Kabupaten 2 0.81%
Batu 1 0.40%
Blitar Kota 1 0.40%
Blitar Kabupaten 3 1.21%
Kediri Kabupaten 9 3.64%
Kediri Kota 5 2.02%
Tulungagung 7 2.83%
Trenggalek 7 2.83%
Pacitan 2 0.81%
Ponorogo 1 0.40%
Magetan 12 4.86%
Madiun Kabupaten 8 3.24%
Madiun Kota 11 4.45%
Ngawi 4 1.62%
Nganjuk 5 2.02%
247 100%
sumber: data primer diolah (2019)

Berdasarkan pada tabel 5.1 tentang karakteristik responden menurut jenis

kelamin di atas, maka dapat diketahui jumlah responden laki-laki sebanyak 158

orang atau 64%, sementara itu responden perempuan sebanyak 89 orang atau
152

sebesar 36%. Karakteristik responden berdasarkan usia, jumlah responden yang

paling banyak adalah usia 41-50 tahun yakni sebanyak 94 orang atau sebesar

38%, sementara yang paling sedikit adalah responden dengan usia 61 tahun

keatas yakni sebanyak 5 orang atau sebesar 2%. Jumlah responden yang

berpendidikan Sekolah Dasar sebanyak 12 orang atau sebesar 5%, berpendidikan

SMP sederajat sebanyak 23 orang atau 9%, SMA sederajat sebanyak 156 atau

63%, Sarjana (S1) sebanyak 56 atau sebesar 23% sementara itu pascasarjana

tidak ada.

Berdasarkan pada data diatas menunjukkan bahwa, responden yang lama

usahanya 5 tahun keatas sebanyak 87 orang atau sebesar 35%, dan selanjutnya

lama usaha 4 tahun sebanyak 71 orang atau sebesar 29%, sementara itu yang

lama usahanya 3 tahun sebanyak 55 orang atau sebesar 22%, dan yang paling

sedikit sebanyak 34 orang atau sebesar 14% yang lama usahanya 2 tahun. Data

pada status usaha, responden banyak usahanya yang dirintis mulai awal yakni

sebanyak 189 orang atau 77%, sementara itu yang warisan dari orang tua

sebanyak 52 orang atau sebesar 21%, dan yang paling sedikit beli dari pihak lain

sebanyak 6 orang atau 2% saja.

Karakteristik responden berdasarkan banyaknya jumlah tenaga kerja

antara 5-8 orang adalah yang paling besar yakni sebanyak 114 orang atau sebesar

46% sementara itu yang paling sedikit jumlah tenaga kerjanya adalah antara 19

orang lebih yakni sebanyak 23 orang atau sebesar 9.3%. Berdasarkan data diatas

dapat dijelaskan bahwa produk utama para responden paling banyak

memproduksi tas, tikar lipat dan sejenisnya sebanyak 43 orang atau sebesar

17.4% sementara yang paling kecil adalah produk kerajinan anyaman dan

sejenisnya sebanyak 36 orang atau 14.6%.


153

5.3 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden untuk Orientasi Kewirausahaan

Berikut ini dipaparkan hasil jawaban responden sesuai dengan kuesioner,

berdasarkan sembilan indikator dari orientasi kewirausahaan dapat direkapitulasi

dan ditabulasi jawaban responden sebagai berikut:

Tabel 5.2
Distribusi Jawaban Responden terhadap Orientasi Kewirausahaan
Jawaban Responden Total Rata-
No Item Jml
1 2 3 4 5 6 7 Skor rata

1 Mengelola bisnis secara mandiri 0 0 17 71 93 51 15 247 1211 4.90

2 Memegang prinsip dalam berbisnis 0 11 67 56 66 45 2 247 1061 4.30

3 Menghasilkan ide baru 0 7 56 64 78 38 4 247 1084 4.39

4 Mengembangkan produk baru 0 9 42 67 79 43 7 247 1114 4.51

5 Pengambilan keputusan 0 2 19 48 110 58 10 247 1221 4.94

6 Mengelola resiko 0 9 31 40 107 58 2 247 1168 4.73


Antisipasi kondisi pasar yang
7 0 6 35 51 94 55 6 247 1163 4.71
berubah
8 Bersaing dengan produk lain 0 12 23 50 99 52 11 247 1177 4.77

9 Melihat peta persaingan 0 3 31 39 118 54 2 247 1183 4.79

Jumlah 10382 4.67


Sumber: Data primer, 2018

Berdasarkan Tabel 5.2 diatas menunjukkan bahwa jawaban responden

terhadap orientasi kewirausahaan sebagian besar menjawab setuju. Nilai rata-rata

masing-masing item kuesioner pada Tabel 5.2 memiliki nilai mulai dari 4.30 dan

cenderung mendekati nilai 5. Sehingga dapat dikatakan bahwa orientasi

kewirausahaan dapat dikategorikan tinggi.

Nilai tertinggi terutama pada aspek pengambilan keputusan, dimana dalam

hal ini pelaku IKM memang dihadapkan pada pengambilan keputusan setiap saat,

mengingat kecepatan dalam pengambilan keputusan merupakan kecepatan

merespon dalam melayani pelanggannya tetapi tentunya diawali dengan

perhitungan yang matang. Aspek berikutnya adalah pengelolaan bisnis, para


154

pelaku IKM memang dituntut untuk tidak bergantung pada apapun, semua harus

dilakukan secara mandiri. Kemandirian yang disertai dengan membangun

kerjasama yang baik diantara lingkungn eksternal bisnis yang lain agar terjaga

keberlanjutan bisnis, seperti dengan pemasok atau distributor.

5.4 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden untuk Orientasi Pasar

Jawaban responden pada variabel Orientasi pasar yang memiliki tujuh

indikator setelah melalui proses rekapitulasi dan tabulasi maka dapat dilihat pada

Tabel 5.3 seperti dibawah:

Tabel 5.3
Distribusi frekuensi jawaban responden terhadap orientasi pasar
Jawaban Responden
Total Rata-
No Item Jml
Skor rata
1 2 3 4 5 6 7

Mencari informasi keinginan


1 1 3 42 42 105 47 7 247 1157 4.68
pelanggan
Membuat informasi pelanggan
2 0 0 19 40 131 55 2 247 1216 4.92
kedalam rencana pemasaran
3 Melihat posisi pesaing 0 3 26 70 95 52 1 247 1158 4.69

4 Menjadi lebih baik dari pesaing 0 2 19 42 109 66 9 247 1233 4.99

5 Memantau perkembangan pesaing 1 11 21 50 91 64 9 247 1188 4.81


Bekerjasama antar fungsi dengan
6 0 10 16 40 117 53 11 247 1208 4.89
baik
7 Saling membantu antar fungsi 1 6 33 46 121 32 8 247 1149 4.65

Jumlah 8309 4.81


Sumber: Data primer, 2018

Hasil tabulasi data tersaji pada Tabel 5.3 menunjukkan bahwa jawaban

responden menyatakan setuju, hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata sebesar 4.65

bahkan mendekati nilai 5. Sehingga dapat dikatakan bahwa orientasi pasar

menunjukkan nilai yang dapat dikategorikan tinggi.


155

Penilaian tertinggi pada aspek ini adalah menjadi lebih baik dari pesaing,

yang artinya para pelaku IKM memiliki motivasi yang kuat dalam persaingan bisnis.

Kecenderungan mereka menjadi yang terbaik diantara jenis produk yang

dihasilkan sama. Menjadi lebih baik bagi pelaku IKM sangat penting, karena ini

dipadang sebagai keunggulan bersaing akan produk yang dihasilkan.

5.5 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden untuk Kapasitas Penyerapan

Jawaban responden pada variabel kapasitas penyerapan yang memiliki

empat indikator setelah melalui proses rekapitulasi dan tabulasi maka dapat dilihat

pada Tabel 5.4 seperti dibawah:

Tabel 5.4
Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Terhadap Kapasitas Penyerapan
Jawaban Responden
Total Rata-
No Item Jml
Skor rata
1 2 3 4 5 6 7

Menemukan sesuatu yang baru


1 0 7 31 38 99 52 20 247 1206 4.88
dari luar

Memadukan potensi yang dimiliki


2 3 2 21 52 118 46 5 247 1179 4.77
dengan peluang yang didapat

Memanfaatkan pengetahuan dari


3 7 6 30 41 125 25 13 247 1139 4.61
luar untuk tujuan perusahaan

Memanfaatkan pengetahuan untuk


4 3 5 16 53 97 52 21 247 1217 4.93
produk komersil

Jumlah 4741 4.80

Sumber: Data primer, 2018

Hasil tabulasi pada Tabel 5.4 menunjukkan bahwa jawaban responden

menyatakan setuju, hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata sebesar 4 bahkan

mendekati nilai 5. Sehingga dapat dikatakan bahwa kapasitas penyerapan


156

menunjukkan nilai yang dapat dikategorikan tinggi. Nilai tertinggi pada aspek

memanfaatkan pengetahuan untuk mengahasilkan produk komersil, artinya

pelaku IKM memang selalu mencari informasi dari berbagai sumber terkait dengan

perkembangan produk yang diminati pasar. Keterpaduan antara sumber

pengetahuan yang diperoleh dengan kompetensi pada bidang yang dimiliki oleh

pelaku IKM berhasil merancang, mendesain, bahkan memproduksinya.

5.6 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden untuk Lingkungan Eksternal Bisnis

Lingkungan eksternal bisnis memiliki enam indikator dan setelah melalui

proses rekapitulasi dan tabulasi dapat dilihat hasilnya pada Tabel 5.5 dibawah:

Tabel 5.5
Distribusi frekuensi jawaban responden terhadap lingkungan eksternal bisnis
Jawaban Responden Total Rata-
No Item Jml
1 2 3 4 5 6 7 Skor rata

1 Menyesuaikan kondisi ekonomi 0 1 16 52 129 47 2 247 1199 4.85


Memanfaatkan peluang bisnis
2 dalam kondisi ekonomi yang 0 14 34 61 89 48 1 247 1114 4.51
dinamis
Mengadopsi perkembangan
3 0 10 30 47 111 49 0 247 1147 4.64
teknologi

Menyesuaikan dengan
4 7 21 45 42 85 31 16 247 1075 4.35
perkembangan hukum/politik

Mengikuti kebijakan hukum/politik


5 0 20 26 43 100 55 3 247 1141 4.62
yang ada

Menyesuaikan tradisi masyarakat


6 0 14 34 46 112 41 0 247 1120 4.53
sebagai peluang bisnis

Jumlah 6796 4.59


Sumber: Data primer, 2018

Hasil tabulasi pada Tabel 5.5 masih menunjukkan hasil yang sama pada

Tabel sebelumnya bahwa jawaban responden menyatakan setuju, hal ini dapat

dilihat dari nilai rata-rata sebesar 4 bahkan mendekati nilai 5. Sehingga dapat

dikatakan bahwa lingkungan eksternal bisnis menunjukkan nilai yang dapat


157

dikategorikan tinggi. Nilai tertinggi diperoleh pada aspek kemampuan dalam

menyesuaikan kondisi ekonomi, ini dapat dimaknai bahwa pelaku IKM dalam

merancang dan menghasilkan produk juga memperhatikan dinamika ekonomi

yang ada dimasyarakat misalnya daya beli, inflasi, UMK, serta pajak.

5.7 Distribusi Frekuensi Jawaban Responden untuk Kinerja Bisnis

Distribusi jawaban responden pada variabel kinerja bisnis yang memiliki

empat belas indikator, setelah melalui proses rekapitulasi dan tabulasi data

diperoleh hasil seperti ditunjukkan pada Tabel 5.6 dibawah:

Tabel 5.6
Distribusi Frekuensi Jawaban Responden Terhadap Kinerja Bisnis
Jawaban Responden Total Rata-
No Item Jml
1 2 3 4 5 6 7 Skor rata

1 Meningkatkan keuntungan 0 0 5 49 106 81 6 247 1269 5.14


2 Mencapai balik modal 0 1 12 55 122 52 5 247 1215 4.92
3 Meningkatkan jumlah permintaan 0 0 7 30 141 62 7 247 1267 5.13
4 Meningkatkan volume penjualan 0 1 14 61 124 44 3 247 1193 4.83
Meningkatkan pertumbuhan
5 0 0 6 41 117 80 3 247 1268 5.13
penjualan
6 Meningkatkan pangsa pasar 0 1 18 50 98 74 6 247 1232 4.99
Meningkatkan persepsi konsumen
7 0 1 12 35 142 50 7 247 1237 5.01
pada produk
8 Produk lebih baik dari pesaing 0 2 5 52 112 65 11 247 1254 5.08
9 Meningkatkan reputasi perusahaan 0 1 8 47 112 68 11 247 1259 5.10
10 Menciptakan kepuasan pelanggan 0 1 13 50 109 64 10 247 1240 5.02
11 Meningkatkan citra pelanggan 0 2 17 50 106 66 6 247 1223 4.95
Menciptakan produk yang diterima
12 0 4 5 59 114 59 6 247 1225 4.96
pasar
Sukses mengembangkan produk
13 0 0 11 48 120 64 4 247 1237 5.01
baru
14 Produk lebih unggul 0 0 12 43 132 51 9 247 1237 5.01
Jumlah 17356 5.02
Sumber: Data primer, 2018
158

Hasil tabulasi pada Tabel 5.6 masih menunjukkan hasil yang sama pada

Tabel sebelumnya bahwa jawaban responden menyatakan setuju, hal ini dapat

dilihat dari nilai rata-rata sebesar 5. Sehingga dapat dikatakan bahwa kinerja bisnis

menunjukkan nilai yang dapat dikategorikan sangat tinggi.

5.8 Pengujian Asumsi Linieritas

Pengujian asumsi linieritas dilakukan sebelum proses analisis data dengan

tujuan untuk memastikan bahwa hubungan antar konstruk yang akan diuji memiliki

hubungan secara linier. Pemeriksaan asumsi linieritas dalam penelitian ini

menggunakan test of linierity menggunakan bantuan software SPSS.

Tabel 5.7
Pemeriksaan Asumsi Linieritas

Deviation From
Linieritas
Linierity
Variabel Keterangan

F P F P

OK KB 104.213 0.000 1.124 0.313 Linier

OK OP 186.974 0.000 1.057 0.394 Linier

OK KP 24.265 0.000 0.848 0.686 Linier

OP KB 44.707 0.000 0.800 0.706 Linier

KP KB 35.850 0.000 1.043 0.412 Linier

Sumber: Lampiran olahan data n=247


159

5.9 Uji Model Pengukuran (Outer Model)

Analisis pada model pengkuran atau outer model mendefinisikan

bagaimana setiap indikator berhubungan dengan variabel latennya. Uji outer

model yang dilakukan antara lain:

5.9.1 Convergent Validity

Nilai convergent validity adalah nilai loading factor pada variabel laten

dengan indikator-indikatornya. Nilai yang diharapkan adalah melebihi dari angka >

0.7 atau yang sering digunakan sebagai batas minimal adalah sebesar 0.6 masih

dapat diterima. Validitas konvergen dari model pengukuran dengan reflektif

indikator dinilai berdasarkan korelasi antara skor item atau component score

dengan skor variabel laten atau construct score yang diestimasi dengan

menggunakan program PLS.

Gambar pada lampiran adalah model hasil kalkulasi model SEM PLS,

selanjutnya dapat dilihat nilai loading factor indikator-indikator dari setiap

variabelnya. Pada ilustrasi masih merupakan tahap pertama dimana peneliti

melakukan analisis, yakni melakukan analisis SEM PLS dengan melalui PLS

Algoritm. Dalam tahap ini dilakukan uji semacam goodness of Fit, suatu metode

pengukuran pada SEM PLS yang akan melakukan reduksi pada indikator yang

nilainya rendah dan minimal > 0.6.

Pada bab sebelumnya telah dilakukan pengukuran terhadap instrument

sebagai alat ukur dengan menggunakan 32 responden, dan diperoleh nilai-nilai

yang telah memenuhi persyaratan pengujian model struktural. Pada bagian berikut

dilakukan konfirmasi pengukuran dengan menggunakan 247 responden sehingga

diperoleh nilai sebagai berikut:


160

Tabel 5.8
Validitas dan Reliabilitas
Average
Cronbach's Composite
Variabel rho_A Variance
Alpha Reliability
Extracted (AVE)
Kapasitas Penyerapan (KP) 0.796 0.835 0.869 0.690

Kinerja Bisnis (KB) 0.856 0.863 0.893 0.582

Lingkungan Eksternal Bisnis


0.795 0.813 0.879 0.709
(LEB)

Moderating Effect 1 1.000 1.000 1.000 1.000

Orientasi Kewirausahaan
0.835 0.838 0.890 0.670
(OK)

Orientasi Pasar (OP) 0.826 0.829 0.884 0.657

Sumber: Lampiran olahan data, n = 247 (2018)

Seluruh variabel seperti Orientasi Kewirausahaan (OK), Orientasi Pasar

(OP), Kapasitas Penyerapan (KP), Lingkungan Eksternal Bisnis (LEB), dan Kinerja

Bisnis (KB) telah memenuhi nilai yang dipersyaratkan yakni nilai AVE > 0.5

sehingga dengan demikian telah memenuhi kriteria.

Selanjutnya adalah melakukan pengujian model fit untuk mengetahui

apakah model telah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan melalui beberapa

langkah, yang pertama adalah pengujian model melalui PLS Algoritm. Hasil

pengujian dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Construct Entrepreneurial Orientation/Orientasi Kewirausahaan (OK)

Nilai loading factor pada construct OK masih terdapat nilai yang kurang dari

persyaratan yaitu > 0.6 sehingga nilai yang kurang dari batas tersebut

harus di keluarkan dari model, seperti pada Tabel 5.9 dibawah:


161

Tabel 5.9
Nilai Loading Factor Orientasi Kewirausahaan

Variabel Loading Factor Keterangan

OK1 0.207 Tidak Valid

OK2 0.381 Tidak Valid

OK3 0.502 Tidak Valid

OK4 0.241 Tidak Valid

OK5 0.173 Tidak Valid

OK6 0.809 Valid

OK7 0.849 Valid

OK8 0.753 Valid

OK9 0.788 Valid


Sumber: Lampiran olahan data, n = 247

Pada Tabel 5.9 hasil pengolahan data dengan PLS masih terdapat

indikator yang memiliki nilai loading factor dibawah < 0.6 sehingga harus

dieliminasi dari model (drop). Nilai yang masih dibawah < 0.6 antara lain OK1,

OK2, OK3, OK4, dan OK5. Nilai yang memenuhi persyaratan yakni > 0.6

dilanjutkan proses selanjutnya dan dapat dikatakan telah memenuhi tingkat

validitas yang tinggi sehingga memenuhi convergent validity.

b. Construct Market Orientation/Orientasi Pasar (OP)

Hasil pengolahan data pada konstruk orientasi pasar yang terdiri dari

beberapa indikator yakni tujuh indikator dapat diilustrasikan pada Tabel 5.10

dibawah:
162

Tabel 5.10
Nilai Loading Factor Orientasi Pasar

Variabel Loading Factor Keterangan

OP1 0.814 Valid

OP2 0.194 Tidak Valid

OP3 -0.014 Tidak Valid

OP4 0.072 Tidak Valid

OP5 0.798 Valid

OP6 0.770 Valid

OP7 0.851 Valid


Sumber: Lampiran olahan data, n = 247 (2018)

Hasil pengolahan data dengan menggunakan PLS diperoleh hasil seperti

pada Tabel 5.10 dimana masih terdapat nilai loading factor dengan nilai masih

dibawah atau < 0.6 sehingga harus dikeluarkan dari model. Nilai yang telah

memenuhi syarat yang artinya > 0.6 memiliki makna telah memiliki nilai validitas

yang tinggi sehingga memenuhi convergent validity. Nilai yang < 0.6 harus

dieliminasi, diantaranya OP2, OP3 dan OP4, sementara yang telah memenuhi nilai

> 0.6 dilakukan proses analisis struktural.

c. Construct Absorptive Capacity/Kapasitas Penyerapan (KP)

Hasil pengolahan data melalui PLS, untuk konstruk Kapasitas Penyerapan yang

terdiri dari beberapa indikator dapat dilihat pada tabel 5.11 dibawah:
163

Tabel 5.11
Nilai Loading Factor Kapasitas Penyerapan (KP)

Variabel Loading Factor Keterangan

KP1 0.825 Valid

KP2 0.810 Valid

KP3 0.857 Valid

KP4 0.670 Valid


Sumber: Lampiran olahan data, n = 247 (2018)

Hasil pengolahan data dengan menggunakan PLS diperoleh hasil seperti

pada Tabel 5.11 semua indikator memiliki nilai yang telah memenuhi syarat, yang

artinya > 0.6 memiliki makna bahwa indikator-indikator tersebut telah memiliki nilai

validitas yang tinggi sehingga memenuhi convergent validity.

d. Construct Lingkungan Eksternal Bisnis (LEB)

Nilai loading factor dari indikator-indikator lingkungan eksternal bisnis

dapat dilihat pada tabel 5.12 dibawah:

Tabel 5.12
Nilai Loading Factor Lingkungan Eksternal Bisnis

Variabel Loading Factor Keterangan


LEB1 0.418 Tidak Valid
LEB2 0.657 Valid
LEB3 0.764 Valid
LEB4 0.101 Tidak Valid
LEB5 0.836 Valid
LEB6 0.859 Valid
Sumber: Lampiran olahan data, n = 247 (2018)
164

Output hasil pengolahan data dengan menggunakan PLS diperoleh hasil

seperti pada Tabel 5.12 dimana indikator leb1 dan leb4 memiliki nilai loading factor

yang rendah masih dibawah > 0.6 sehingga indikator-indikator tersebut harus

dikeluarkan dari model atau dieliminasi. Indicator yang telah memenuhi

persyaratan > 0.6 seperti leb2, leb3, leb5 dan leb6 dapat dikatakan memiliki nilai

validitas yang tinggi sehingga memenuhi convergent validity.

e. Construct Kinerja Bisnis (KB)

Konstruk selanjutnya adalah kinerja bisnis (KB), hasil pengolahan data dapat

dilihat pada Tabel 5.13 dibawah:

Tabel 5.13
Nilai Loading Factor Kinerja Bisnis

Variabel Loading Factor Keterangan


KB1 0.714 Valid
KB2 0.067 Tidak Valid
KB3 0.576 Tidak Valid
KB4 0.151 Tidak Valid
KB5 0.485 Tidak Valid
KB6 0.760 Valid
KB7 0.735 Valid
KB8 0.664 Valid
KB9 0.692 Valid
KB10 0.746 Valid
KB11 0.631 Tidak Valid
KB12 0.606 Tidak Valid
KB13 0.619 Tidak Valid
KB14 0.516 Tidak Valid
Sumber: Lampiran olahan data, n = 247 (2018)
165

Output hasil pengolahan data dengan menggunakan PLS diperoleh hasil

seperti pada Tabel 5.13 dimana indikator KB2, KB3, KB4, KB5, KB11, KB12, KB13

dan KB14 memiliki nilai loading factor yang rendah masih dibawah atau < 0.6

sehingga indikator-indikator tersebut harus dikeluarkan dari model atau

dieliminasi. Indikator yang telah memenuhi persyaratan > 0.6 seperti kb1, kb6, kb7,

kb8, kb9, dan kb10, dapat dikatakan memiliki nilai validitas yang tinggi sehingga

memenuhi convergent validity.

f. Uji Convergent Validity setelah Modifikasi

Hasil pengolahan data melalui SEM PLS setelah indikator-indikator yang

tidak memenuhi syarat dikeluarkan dari model, dapat dilihat pada gambar di

lampiran, dimana dalam gambar tersebut nilai loading factor semua indikator telah

memenuhi persyaratan yakni > 0.6.

Dari hasil pengolahan data menggunakan SEM PLS yang terlihat pada

gambar yang terdapat pada lampiran menunjukkan bahwa seluruh indikator pada

semua variabel memiliki nilai loading yang lebih besar > 0.6 hal ini dapat

dinyatakan bahwa memiliki validitas yang tinggi, sehingga memenuhi convergent

validity. Dengan demikian analisis dilanjutkan pada uji Discriminant Validity.

g. Uji Average Variance Extracted (AVE)

Evaluasi hasil validitas diskriminan dapat dilihat dengan metode average

variance extracted (AVE) untuk setiap konstruk atau variabel laten. Model memiliki

validitas diskriminan yang lebih baik daripada akar kuadrat AVE untuk masing-

masing konstruk lebih besar dari korelasi antara dua konstruk di dalam model.
166

Dalam penelitian ini, nilai AVE dan akar kuadrat AVE untuk masing-masing

konstruk disajikan pada Tabel 5.14 seperti di bawah:

Tabel 5.14
Nilai Average Variance Extracted

Average Variance
Extracted (AVE)

Kapasitas Penyerapan (KP) 0.690

Kinerja Bisnis (KB) 0.582

Lingkungan Eksternal Bisnis (LEB) 0.709

Moderating Effect 1 1.000

Orientasi Kewirausahaan (OK) 0.670

Orientasi Pasar (OP) 0.657

Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)

Dari Tabel 5.14 diketahui nilai average vaiance extracted diatas > 0.50

hanya KB yang memiliki batas margin yakni 0.582 namun tetap dapat dilanjutkan.

Nilai AVE selanjutnya dikonfirmasikan dengan grafik untuk mengetahui apakah

masih ada persoalan, seperti pada gambar 5.1 dibawah:


167

Gambar 5.1
Grafik Average Variance Extracted

Gambar 5.1 diatas menunjukkan tidak terdapat tanda atau notifikasi merah

pada diagram batang, sehingga dapat dikatakan tidak ada permasalahan terhadap

convergent validity.

5.9.2 Uji Discriminant Validity

Validitas diskriminan dilakukan untuk memastikan nilai korelasi konstruk

dengan item pengukuran lebih besar daripada konstruk lainnya. Hasil tersebut

dapat dilihat dari nilai Fornell-Larcker Criterion yang menunjukkan bahwa nilai akar

kuadrat AVE setiap konstruk lebih besar daripada nilai korelasi antara konstruk

dengan konstruk lainnya dalam model, sehingga dengan demikian dapat dikatakan
168

memiliki nilai discriminant validity yang baik. Seperti dipaparkan pada Tabel 5.14

dibawah:

Tabel 5.15
Fornell-Larcker Criteria

Moderating
KP KB LEB OK OP
Effect 1

Kapasitas Penyerapan
0.830
(KP)

Kinerja Bisnis (KB) 0.083 0.763

Lingkungan Eksternal
0.227 0.590 0.842
Bisnis (LEB)

Moderating Effect 1 -0.318 -0.284 -0.522 1.000

Orientasi Kewirausahaan
0.234 0.537 0.712 -0.490 0.819
(OK)

Orientasi Pasar (OP) 0.194 0.545 0.704 -0.446 0.786 0.810

Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)

Pada Tabel diatas hasil Fornell-Larcker criteria menunjukkan lebih besar

dari nilai korelasi antar variabel laten lainnya. Jika dilihat nilai kapasitas

penyerapan, kinerja bisnis, lingkungan eksternal bisnis, orientasi kewirausahaan

dan orientasi pasar lebih tinggi jika dibandingkan nilai pada blok dimana blok

varibel tersebut berada.


169

Tabel 5.16
Cross Loadings

Moderating
KP OK KB LEB OP
Effect 1
OK* LEB 1.000 -0.318 -0.490 -0.284 -0.522 -0.446

kp1 -0.259 0.853 0.230 0.078 0.226 0.190

kp2 -0.173 0.780 0.077 0.007 0.090 0.075

kp3 -0.311 0.857 0.202 0.082 0.188 0.164

ok6 -0.458 0.190 0.833 0.440 0.619 0.637

ok7 -0.382 0.247 0.863 0.483 0.603 0.663

ok8 -0.378 0.120 0.777 0.449 0.533 0.583

ok9 -0.387 0.201 0.800 0.385 0.574 0.686

kb1 -0.148 0.086 0.337 0.750 0.415 0.403

kb10 -0.237 0.143 0.423 0.808 0.478 0.406

kb6 -0.253 0.047 0.479 0.825 0.543 0.486

kb7 -0.191 -0.032 0.437 0.725 0.441 0.427

kb8 -0.272 0.027 0.380 0.709 0.385 0.391

kb9 -0.192 0.118 0.379 0.755 0.415 0.364

leb3 -0.339 0.122 0.431 0.402 0.787 0.438

leb5 -0.476 0.187 0.680 0.531 0.820 0.655

leb6 -0.483 0.249 0.653 0.540 0.914 0.653

op1 -0.400 0.239 0.640 0.446 0.603 0.814

op5 -0.358 0.149 0.619 0.446 0.569 0.797

op6 -0.226 0.048 0.560 0.440 0.473 0.777

op7 -0.444 0.182 0.718 0.437 0.626 0.851

Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)

Hasil estimasi melalui cross loading, menunjukkan bahwa nilai loading dari

masing-masing item indikator terhadap konstruknya lebih besar dari nilai cross

loading nya. Makna dari hasil diatas dapat dikatakan bahwa semua konstruk
170

variabel laten telah memiliki validitas diskriminan yang baik, dimana indikator pada

blok tersebut lebih baik dari indikator dari blok lainnya.

5.9.3 Uji Composite Reliability

1. Composite Reliability

Selain dengan menggunakan convergent validity dan discriminant validity,

outer model juga diukur melalui reliabilitas konstruk atau variabel laten yang diukur

dengan melihat nilai Composite Reliability dari blok yang mengukur konstruk. Hasil

output SEM PLS untuk nilai composite reliability dapat dilihat pada Tabel dibawah:

Tabel 5.17
Composite Reliability

Composite Reliability
Kapasitas Penyerapan (KP) 0.869
Kinerja Bisnis (KB) 0.893
Lingkungan Eksternal Bisnis (LEB) 0.879
Moderating Effect 1 1.000
Orientasi Kewirausahaan (OK) 0.890
Orientasi Pasar (OP) 0.884
Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)

Tabel 5.17 diatas menunjukkan bahwa nilai composite reliability untuk

semua konstruk berada pada nilai > 0.70 sehingga dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa seluruh konstruk mempunyai reliabilitas yang baik sesuai

dengan persyaratan nilai minimal.

2. Uji Cronbach’s Alpha

Outer model juga diukur melalui Cronbach’s Alpha selain menggunakan

composite reliability, nilai Cronbach’s Alpha yang disyaratkan adalah lebih besarl
171

> 0.60 sementara hasil pengujian dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.18

berikut:

Tabel 5.18
Cronbach’s Alpha

Cronbach's Alpha

Kapasitas Penyerapan (KP) 0.818

Kinerja Bisnis (KB) 0.835

Lingkungan Eksternal Bisnis (LEB) 0.860

Moderating Effect 1 0.803

Orientasi Kewirausahaan (OK) 0.826

Orientasi Pasar (OP) 1.000

Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)

Tabel 5.18 menunjukkan bahwa nilai Cronbach’s Alpha memiliki nilai lebih besar

> 0.60 sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seluruh konstruk

memiliki reliabilitas yang baik sesuai dengan batas minimal yang disyaratkan.

5.10 Uji Model Struktural (Inner Model)

Pengujian Inner Model dapat dilakukan melalui tiga cara analisis antara lain, uji R2,

Q2/Blindfolding, dan f2.

5.10.1 Analisis R2

Analisis R2 menunjukkan tingkat determinasi variabel eksogen terhadap variabel

endogen, jika nilai R2 semakin besar maka menunjukkan tingkat determinasi yang

semakin baik.
172

Tabel 5.19
Nilai R-Square
R Square

Kapasitas Penyerapan (KP) 0.055

Kinerja Bisnis (KB) 0.394

Orientasi Pasar (OP) 0.618

Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)

Berdasarkan hasil penghitungan nilai R2 seperti terpapar pada Tabel 5.19

maka dapat diketahui bahwa nilai koefisien determinasi rendah untuk variabel

Kapasitas Penyerapan (KP) dengan nilai 0.055, sementara itu untuk variabel

Kinerja Bisnis (KB) dan Orientasi Pasar (OP) dengan rentang nilai 0.394 dan 0.618

dapat dikatakan memiliki nilai koefisien determinasi yang cenderung moderat.

5.10.2 Analisis Q2/Blindfolding

Nilai Q2/Blindfolding dalam pengujian struktural menggunakan SEM PLS

bertujuan untuk menunjukkan nilai predictive relevance. Penghitungan dengan

menggunakan Blinfolding untuk mengetahui predictive relevance dapat dilihat

pada Tabel 5.20 dibawah:

Tabel 5.20
Conctruct Crossvalidated Redundancy
SSO SSE Q� (=1-SSE/SSO)
Kapasitas Penyerapan 741.000 720.676 0.027

Kinerja Bisnis 1,482.000 1,171.477 0.210

Lingkungan Eksternal
741.000 741.000
Bisnis

Moderating Effect 1 247.000 247.000

Orientasi Kewirausahaan 988.000 988.000

Orientasi Pasar 988.000 611.177 0.381

Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)


173

Tabel 5.21
Construct Crossvalidated Communality
SSO SSE Q� (=1-SSE/SSO)
Kapasitas Penyerapan 741.000 479.370 0.353

Kinerja Bisnis 1,482.000 874.451 0.410

Lingkungan Eksternal
741.000 444.981 0.399
Bisnis

Moderating Effect 1 247.000 1.000

Orientasi Kewirausahaan 988.000 559.172 0.434

Orientasi Pasar 988.000 576.095 0.417

Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)

Semua nilai Q2 dalam penghitungan melalui Blindfolding diperoleh nilai

lebih besar dari 0 (> 0), sehingga dapat dikatakan bahwa model telah memiliki

predictive relevance.

5.10.3 Analisis f2 (effect size)

Evaluasi model struktural dilakukan dengan menggunakan R-Square untuk

konstruk dependen, Stone-Geisser Q-Square test untuk predictive relevance dan

uji t serta signifikansi dari koefisien parameter jalur struktural (Ghozali, 2014).

Model PLS dapat dinilai dengan melihat R-Square nya untuk setiap variabel

dependennya. Perubahan nilai R-Square dapat digunakan untuk menilai pengaruh

variabel independen tertentu terhadap variabel laten dependen apakah memiliki

pengaruh yang substantif.


174

Tabel 5.22
Hasil f untuk Effect Size
2

KP KB LEB Moderating OK OP
Effect 1
KP 0.005
KB
LEB 0.106
Moderating 0.004
Effect 1
OK 0.058 0.013 1.615
OP 0.019

Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)

Berdasarkan pada hasil penghitungan effect size diperoleh hasil seperti

pada Tabel 5.22 diatas, sehingga dapat dinyatakan sebagai berikut:

1. Pengaruh Kapasitas Penyerapan (KP) terhadap Kinerja Bisnis (KB) memiliki

effect size (f2) sebesar 0.005 sehingga dapat dikatakan lemah.

2. Pengaruh Lingkungan Eksternal Bisnis (LEB) terhadap Kinerja Bisnis (KB)

memiliki (f2) effect size (0.106) lemah.

3. Pengaruh Moderasi terhadap Kinerja Bisnis (KB) memiliki effect size (f2)

sebesar 0.004 sehingga dapat dikatakan lemah.

4. Pengaruh Orientasi Kewirausahaan (OK) terhadap Kapasitas Penyerapan

(KP) memiliki (f2) effect size (0.058) lemah.

5. Pengaruh Orientasi Kewirausahaan (OK) terhadap Kinerja Bisnis (KB)

memiliki effect size (f2) sebesar 0.013 sehingga dapat dikatakan lemah.

6. Pengaruh Orientasi Kewirausahaan (OK) terhadap Orientasi Pasar (OP)

memiliki effect size (f2) sebesar 1.615 sehingga dapat dikatakan besar.

7. Pengaruh Orientasi Pasar (OP) terhadap Kinerja Bisnis (KB) memiliki effect

size (f2) sebesar 0.019 sehingga dapat dikatakan lemah.


175

5.10.4 Hasil Analisis

Analisis menggunakan SEM PLS pengujian setiap hubungan dilakukan

menggunakan simulasi dengan metode bootstrapping terhadap sampel. Pengujian

ini dilakukan untuk meminimalkan masalah ketidaknormalan data penelitian. Hasil

pengujian analisis SEM PLS dengan metode Bootstrapping seperti pada gambar

5.2 dibawah:

Gambar 5.2
Hasil Analisis
176

Hasil penghitungan untuk menggambarkan nilai pengaruh langsung,

pengaruh tidak langsung, dan pengaruh total, seperti Tabel dibawah:

Tabel 5.23
Nilai Pengaruh Langsung

Original Sample Standard


T Statistics P
Sample Mean Deviation Ket
(|O/STDEV|) Values
(O) (M) (STDEV)
(OK) -> (KB) 0.154 0.155 0.090 1.722 0.086 TS

(OK) -> (OP) 0.786 0.790 0.024 32.770 0.000 S

(OK) -> (KP) 0.234 0.245 0.073 3.202 0.001 S

(OP) -> (KB) 0.183 0.183 0.084 2.183 0.030 S

(KP) -> (KB) -0.059 -0.054 0.056 1.061 0.289 TS

(LEB) -> (KB) 0.397 0.398 0.074 5.335 0.000 S


(Moderating
Effect 1) -> 0.058 0.061 0.059 0.970 0.333 TS
(KB)
Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)

Tabel 5.24
Nilai Pengaruh Tidak Langsung
Original Sample Standard T Statistics P
Sample Mean Deviation (|O/STDEV|) Values Ket
(O) (M) (STDEV)
(KP) -> (KB)
(LEB) -> (KB)
Moderating
Effect 1 -> (KB)
(OK) -> (KP)
(OK) -> (KB) 0.130 0.131 0.065 1.983 0.048 s
(OK) -> (OP)
(OP) -> (KB)
Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)

Pada Tabel 5.23 diatas menunjukkan hasil penghitungan melalui PLS yang

menyatakan pengaruh langsung antar variabel. Pembuktian adanya pengaruh

langsung dapat dilihat apabila nilai p-value < 0.05 dan dikatakan tidak ada

pengaruh langsung apabila > 0.05.


177

Hasil penghitungan diatas dapat dinyatakan sebagai berikut:

1. Variabel Orientasi Kewirausahaan (OK) berpengaruh tidak signifikan terhadap

Kinerja Bisnis (KB) dengan nilai p-value 0.086 > 0.05.

2. Variabel Orientasi Kewirausahaan (OK) berpengaruh signifikan terhadap

Orientasi Pasar (OP) dengan nilai p-value 0.000 < 0.05.

3. Variabel Orientasi Kewirausahaan (OK) berpengaruh signifikan terhadap

Kapasitas Penyerapan (KP) dengan nilai p-value 0.001 < 0.05.

4. Variabel Orientasi Pasar (OP) berpengaruh signifikan terhadap Kinerja Bisnis

(KB) dengan nilai p-value 0.030 < 0.05.

5. Variabel Kapasitas Penyerapan (KP) berpengaruh tidak signifikan terhadap

Kinerja Bisnis (KB) dengan nilai p-value 0.289 > 0.05.

6. Variabel Lingkungan Eksternal Bisnis (LEB) berpengaruh signifikan terhadap

Kinerja Bisnis (KB) dengan nilai p-value 0.000 < 0.05.

7. Variabel Interaksi (OK*LEB) tidak berperan sebagai Moderasi dari pengaruh

Orientasi Kewirausahaan (OK) terhadap Kinerja Bisnis (KB) dengan nilai p-

value 0.333 > 0.05.

Pada Tabel 5.24 diatas menunjukkan hasil penghitungan melalui PLS yang

menyatakan pengaruh tidak langsung antar variabel. Pembuktian ada tidaknya

pengaruh tidak langsung dapat dilihat apabila nilai p-value < 0.05 dan dikatakan

tidak terdapat pengaruh secara tidak langsung apabila > 0.05.

Berdasarkan penghitungan diatas maka:

Variabel Orientasi Kewirausahaan (OK) secara tidak langsung berpengaruh

signifikan terhadap Kinerja Bisnis (KB) dengan nilai p-value 0.048 < 0.05.
178

Tabel 5.25
Nilai Pengaruh Total

Original Sample Standard


T Statistics P
Sample Mean Deviation Ket
(|O/STDEV|) Values
(O) (M) (STDEV)
(OK) -> (KB) 0.284 0.287 0.077 3.708 0.000 S

(OK) -> (OP) 0.786 0.790 0.024 32.770 0.000 S

(OK) -> (KP) 0.234 0.245 0.073 3.202 0.001 S

(OP) -> (KB) 0.183 0.183 0.084 2.183 0.030 S

(KP) -> (KB) -0.059 -0.054 0.056 1.061 0.289 TS

(LEB) -> (KB) 0.397 0.398 0.074 5.335 0.000 S

Moderating
0.058 0.061 0.059 0.970 0.333 TS
Effect 1 -> (KB)

Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)

Berdasarkan Tabel 5.25 diatas dapat dinyatakan sebagai berikut:

1. Variabel Orientasi Kewirausahaan (OK) secara total berpengaruh

signifikan terhadap Kinerja Bisnis (KB) dengan nilai p-value 0.000 < 0.05.

2. Variabel Orientasi Kewirausahaan (OK) secara total berpengaruh

signifikan terhadap Orientasi Pasar (OP) dengan nilai p-value 0.000 < 0.05.

3. Variabel Orientasi Kewirausahaan (OK) secara total berpengaruh

signifikan terhadap Kapasitas Penyerapan (KP) dengan nilai p-value 0.001

< 0.05.

4. Variabel Orientasi Pasar (OP) secara total berpengaruh signifikan terhadap

Kinerja Bisnis (KB) dengan nilai p-value 0.030 < 0.05.

5. Variabel Kapasitas Penyerapan (KP) secara total berpengaruh tidak

signifikan terhadap Kinerja Bisnis (KB) dengan nilai p-value 0.289 > 0.05.

6. Variabel Lingkungan Eksternal Bisnis (LEB) secara total berpengaruh

signifikan terhadap Kinerja Bisnis (KB) dengan nilai p-value 0.000 < 0.05.
179

7. Variabel Interaksi (OK*LEB) secara total berpengaruh tidak signifikan

terhadap Kinerja Bisnis (KB) dengan nilai p-value 0.333 > 0.05.

Berikut ini merupakan pengujian efek mediasi dari pengaruh orientasi

kewirausahaan terhadap kinerja bisnis melalui orientasi pasar dan efek mediasi

dari pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis melalui kapasitas

penyerapan dengan menggunakan metode Variance Accounted For (VAF).

Tabel 5.26
Hasil Analisis Spesific Indirect Effect Mediasi

Original Sample Standard


T Statistics P
Sample Mean Deviation Ket
(|O/STDEV|) Values
(O) (M) (STDEV)
Orientasi
Kewirausahaan ->
0.144 0.144 0.067 2.161 0.031 S
Orientasi Pasar ->
Kinerja Bisnis
Orientasi
Kewirausahaan ->
-0.014 -0.013 0.015 0.954 0.341 TS
Kapasitas Penyerapan
-> Kinerja Bisnis
Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)

Berdasarkan pada olahan data seperti ditunjukkan pada tabel 5.26 diatas

sebagai dasar formula menentukan sifat mediasi melalui metode VAF dimana

formula tersebut adalah nilai pengaruh tidak langsung dibagi pengaruh total,

dimana nilai pengaruh total diperoleh dari penambahan pengaruh langsung

dengan pengaruh tidak langsung.

Tabel 5.27
Hasil Analisis Mediasi Menggunakan VAF

Direct Indirect Total Effect VAF


OK->OP->KB 0.154 0.144 0.298 0.483
OK->KP->KB 0.154 -0.014 0.168 0.083
Sumber: Lampiran olahan data melalui PLS (2018)
180

Berdasarkan hasil pehitungan VAF pada Tabel 5.27 didapatkan model

mediasi OK  OP  BP memiliki nilai VAF lebih besar dari 0.20, akan tetapi lebih

kecil dari 0.80 (20% ≤ VAF ≤ 80%) dengan kecenderungan didapatkan type partial

mediation, serta pada mediasi OK  KP  BP didapatkan nilai VAF kurang dari

0.20, yaitu diperoleh nilai 8.3% sehingga didapatkan bahwa Kapasitas Penyerapan

tidak menjadi variabel mediasi (type non mediation). Kesimpulan hasil perhitungan

VAF pada variabel orientasi pasar sebagai mediasi searah dengan model mediasi

yang diteorikan Baron dan Kenny (1986), serta model teoritik yang dijelaskan Hair

et al. (2014). Bahwa berdasarkan pendekatan teori mediasi tersebut, dapat

disimpulkan bahwa penelitian ini mendapatkan satu tipe mediasi yang diperankan

oleh orientasi pasar (OP) dan satu yang tidak mampu berperan sebagai mediasi

yakni kapasitas penyerapan (KP).

Hasil pengujian seperti yang telah disajikan diatas selanjutnya dilakukan

pengujian hipotesis sesuai dengan tujuan penelitian dengan melihat nilai statistik

dan nilai probabilitas. Pengujian hipotesis dengan menggunakan statistik dan nilai

alpha yang digunakan 5% maka nilai t-statistik yang digunakan adalah 1.96.

Sehingga kriteria penerimaan/penolakan hipotesis adalah H1 diterima dan H0

ditolak ketika t-statistik > 1.96 dan untuk menerima/menolak hipotesis

menggunakan probabilitas maka H1 diterima jika nilai p-value < 0.05.

5.11 Pengujian Hipotesis

Berdasarkan hasil pengujian melalui statistik yang dilakukan, baik melalui

model pengukuran (outer model) maupun model struktural (inner model) maka

selanjutnya dilakukan pembuktian pada uji hipotesis.


181

5.11.1 Uji Hipotesis 1

Hipotesis 1: Semakin tinggi derajat orientasi kewirausahaan, maka akan semakin

tinggi kinerja bisnis IKM.

Hasil pengujian statistik terhadap hipotesis ini menunjukkan besar

pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis, dan besarnya nilai

koefisien 0.154 dan nilai hitung sebesar 1.722 dengan nilai tabel sebesar 1.960,

sementara itu nilai signifikansi sebesar 0.086. Nilai hitung 1.722 < nilai tabel 1.960

jadi hipotesis 1 yang menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan berpengaruh

signifikan secara langsung terhadap kinerja bisnis ditolak.

Derajat orientasi kewirausahaan yang dimiliki oleh IKM sektor kerajinan

belum mampu mendorong langsung kinerja bisnisnya secara signifikan. Perlunya

upaya lain dalam meningkatkan kinerja bisnisnya, faktor penting yang perlu

diperhatikan oleh IKM adalah faktor lingkungan diluar kendali perusahaan.

Penelitian ini memandang bahwa faktor-faktor seperti ketatnya tingkat persaingan,

pergeseran perilaku konsumen, kondisi ekonomi dan teknologi menjadi faktor yang

memiliki relevansi kuat pada kinerja bisnis saat ini.

5.11.2 Uji Hipotesis 2

Hipotesis 2: Semakin tinggi derajat orientasi kewirausahaan maka akan semakin

tinggi derajat orientasi pasar IKM.

Hasil pengujian statistik terhadap hipotesis ini menunjukkan besar

pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap orientasi pasar, dan besarnya nilai

koefisien 0.786 dan nilai hitung sebesar 32.770 dengan nilai tabel sebesar 1.960,

sementara itu nilai signifikansi sebesar 0.000. Perolehan nilai hitung sebesar

32.770 > nilai tabel 1.960 sehingga hipotesis 2 yang menyatakan bahwa derajat
182

orientasi kewirausahaan berpengaruh signifikan terhadap derajat orientasi

pasarnya dapat diterima.

Semakin tinggi derajat orientasi kewirausahaan maka semakin tinggi

derajat orientasi pasarnya IKM, sehingga akan mampu meningkatkan kinerja

bisnis. IKM sangat concern dengan keberadaan produk di persaingan pasar,

kondisi pesaing dan melihat keadaan yang ada di dalam perusahaannya dengan

melihat potensi yang dimiliki, dengan demikian para pelaku akan mampu

meningkatkan kinerjanya.

Hasil diatas mencerminkan bahwa nilai-nilai orientasi kewirausahaan IKM

yang baik dapat membentuk budaya organisasi yang baik berupa sikap strategis

IKM dengan selalu berorientasi pada pelanggannya, berorientasi pada pesaingnya

serta selalu fleksibel dalam berkoordinasi dengan bagian yang ada di perusahaan.

5.11.3 Uji Hipotesis 3

Hipotesis 3: Semakin tinggi derajat orientasi kewirausahaan maka akan semakin

tinggi kapasitas penyerapan IKM.

Hasil pengujian statistik terhadap hipotesis ini menunjukkan besar

pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kapasitas penyerapan, dan besarnya

nilai koefisien 0.234 dan nilai hitung sebesar 3.202 dengan nilai tabel sebesar

1.960, sementara itu nilai signifikansi sebesar 0.001. Perolehan nilai hitung

sebesar 3.202 > nilai tabel 1.960 sehingga hipotesis 3 yang menyatakan bahwa

orientasi kewirausahaan berpengaruh signifikan terhadap kapasitas penyerapan

diterima.

Semakin tinggi derajat orientasi kewirausahaan maka semakin tinggi

kapasitas penyerapan yang dimiliki oleh IKM. Kemampuan IKM menyerap


183

pengetahuan dan informasi yang berkembang di eksternal terkait dengan produk-

produk pesaing, trend yang terjadi, kebutuhan konsumen akan produk baru

mampu diterjemahkan oleh pelaku IKM, pengalaman, dan proses pembelajaran,

maka akan meningkatkan kinerja perusahaannya.

Hasil tersebut mencerminkan bahwa orientasi kewirausahaan IKM yang

baik dapat mengeksplorasi informasi dari luar organisasi, pengetahuan dari hasil

pembelajaran dan pengalaman individu untuk dapat merancang dan mendesain

produk baru. Kemampuan tersebut dilanjutkan dengan menciptakan produk yang

bernilai komersil.

5.11.4 Uji Hipotesis 4

Hipotesis 4: Semakin tinggi derajat orientasi pasar maka akan semakin tinggi

kinerja bisnis IKM.

Berdasarkan hasil pengujian statistik terhadap hipotesis ini menunjukkan

besar pengaruh orientasi pasar terhadap kinerja bisnis, besarnya nilai koefisien

0.183 dan nilai hitung yaitu 2.183 dengan nilai tabel sebesar 1.960, sementara itu

nilai signifikansi sebesar 0.030. Perolehan nilai hitung sebesar 2.183 > nilai tabel

1.960 sehingga hipotesis 4 yang menyatakan bahwa orientasi pasar berpengaruh

signifikan terhadap kinerja bisnis dapat diterima.

Semakin tinggi derajat orientasi pasar maka semakin tinggi kinerja bisnis

IKM. Fokus perusahaan terhadap keinginan dan kebutuhan pelanggan berdampak

pada kinerja bisnisnya. Kemampuan IKM melihat perkembangan yang terjadi pada

pesaing merupakan dasar penyusunan strategi. Demikian pula dengan melihat

sumberdaya yang ada didalam perusahaan, bagaimana memaksimalkan potensi

yang ada sehingga mampu meningkatkan kinerja bisnis.


184

Hasil tersebut menjelaskan bahwa orientasi kewirausahaan IKM yang baik,

akan mampu menangani kondisi perubahan-perubahan yang ada di lingkungan

eksternal bisnis, seperti regulasi pemerintah, perkembangan ekonomi, faktor

sosial masyarakat serta kemajuan teknologi yang pesat. Minimal IKM berusaha

menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi di

lingkungan diluar perusahaan yang dapat memengaruhi bisnis.

5.11.5 Uji Hipotesis 5

Hipotesis 5: Semakin tinggi kapasitas penyerapan maka akan semakin tinggi

kinerja bisnis IKM.

Berdasarkan hasil pengujian statistik terhadap hipotesis ini menunjukkan

besar pengaruh kapasitas penyerapan terhadap kinerja bisnis, besarnya nilai

koefisien -0.059 dan nilai hitung sebesar 1.061 dengan nilai nilai tabel sebesar

1.960, sementara itu nilai signifikansi sebesar 0.289. Perolehan nilai hitung

sebesar 1.061 < nilai tabel 1.960 sehingga hipotesis 5 yang menyatakan bahwa

kapasitas penyerapan berpengaruh secara signifikan secara langsung terhadap

kinerja bisnis tidak dapat diterima atau ditolak.

Semakin tinggi kapasitas penyerapan belum mampu meningkatkan kinerja

bisnis IKM. Bagi IKM pengalaman, pembelajaran, penyerapan informasi dengan

melihat keberadaan perubahan yang terjadi pada lingkungan bisnis yang ada

sebagai bahan perancangan produk tidak mampu memberikan nilai tambah

perusahaan, mengingat kondisi diluar perusahaan semakin dinamis, fluktuatif, dan

penuh dengan ketidakpastian.


185

5.11.6 Uji Hipotesis 6

Hipotesis 6: semakin tinggi derajat orientasi pasar maka akan semakin memediasi

dari pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis

Berdasarkan pada hasil penghitungan melalui SEM PLS dengan

pendekatan VAF maka diketahui bahwa nilai pengaruh langsung orientasi

kewirausahaan terhadap kinerja bisnis sebesar 0.154 sementara itu nilai pengaruh

tidak langsungnya sebesar 0,144 sehingga diperoleh pengaruh total sebesar 0.298

maka dengan demikian diperoleh nilai VAF yang dihasilkan dari pengaruh tidak

langsung dibagi pengaruh total sebesar 0.483 atau 48.3%. Hasil tersebut

menjelaskan bahwa orientasi pasar memediasi hubungan antara orientasi

kewirausahaan terhadap kinerja bisnis dengan tipe mediasinya adalah mediasi

sebagian (partial mediation). Sesuai dengan penjelasan Hair et al. (2014) bahwa

nilai 20% ≤ VAF ≤ 80% maka dapat dikatakan variabel berfungsi sebagai mediasi

sebagian, sehingga dengan demikian hipotesis 6 yang menyatakan bahwa

orientasi pasar sebagai mediasi dari hubungan orientasi kewirausahaan terhadap

kinerja bisnis dapat diterima.

5.11.7 Uji Hipotesis 7

Hipotesis 7: semakin tinggi kapasitas penyerapan maka akan semakin memediasi

dari pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis IKM

Berdasarkan pada hasil penghitungan melalui SEM PLS dengan

pendekatan VAF maka diketahui bahwa nilai pengaruh langsung orientasi

kewirausahaan terhadap kinerja bisnis sebesar 0.154 sementara itu nilai pengaruh

tidak langsungnya sebesar -0,014 sehingga dapat diperoleh pengaruh total

sebesar 0.168 maka dengan demikian diperoleh nilai VAF yang dihasilkan dari
186

pengaruh tidak langsung dibagi pengaruh total sebesar 0.083 atau 8.30%. Hasil

tersebut menjelaskan bahwa kapasitas penyerapan tidak memediasi hubungan

antara orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis atau non mediation. Sesuai

dengan penjelasan Hair et al. (2014) bahwa nilai VAF 20% maka dapat dikatakan

variabel tidak berfungsi sebagai mediasi. Sehingga dengan demikian hipotesis 7

yang menyatakan kapasitas penyerapan menjadi mediasi dari hubungan antara

orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis ditolak.

5.11.8 Uji Hipotesis 8

Hipotesis 8: semakin tinggi kemampuan menyesuaikan lingkungan eksternal

bisnis maka akan semakin memoderasi dari pengaruh orientasi kewirausahaan

terhadap kinerja bisnis IKM.

Berdasarkan hasil penghitungan melalui SEM PLS diketahui nilai koefisien

lingkungan eksternal bisnis (LEB) terhadap kinerja bisnis sebesar (0.397) dengan

signifikansi sebesar (0.000) sehingga dalam hal ini dapat dikatakan lingkungan

eksternal bisnis berpengaruh signifikan terhadap kinerja bisnis IKM. Untuk

membuktikan bahwa lingkungan eksternal bisnis berfungsi sebagai variabel

moderasi atau tidak, dapat dilihat dari nilai interaksinya antara orientasi

kewirausahaan dengan lingkungan eksternal bisnis (OK*LEB) dan nilai tersebut

sebesar (0.058) dan signifikansinya sebesar (0.333), sehingga dapat dikatakan

bahwa lingkungan eksternal bisnis tidak terbukti sebagai variabel moderator. Hasil

tersebut menunjukkan bahwa keberadaan lingkungan eksternal bisnis belum

mampu memperkuat orientasi kewirausahaan dalam upaya meningkatkan kinerja

bisnisnya.
187

5.12 Pembahasan Hasil Penelitian

1. Orientasi kewirausahaan tidak meningkatkan kinerja bisnis IKM sektor

kerajinan.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa orientasi kewirausahaan masih

membutuhkan dukungan melalui faktor-faktor lain yang mampu memberikan

kontribusi positif pada kinerja, mengingat orientasi kewirausahaan saja secara

langsung belum memberikan dampak dalam meningkatnya kinerja bisnis.

Mengingat peta persaingan dalam bisnis kerajinan semakin terbuka dan semakin

ketat, munculnya pemain-pemain baru dalam bisnis kerajinan membuat semakin

melimpahnya produk-produk hasil kerajinan. Melimpahnya produk-produk hasil

kerajinan tersebut mengindikasikan pertumbuhan jumlah IKM, sehingga

diperlukan terobosan agar mampu bersaing dengan pesaing yang sudah ada atau

pesaing yang baru muncul. Ketika persaingan dipasar semakin ketat terjadi, maka

hanya IKM yang memiliki nilai unggul saja yang mampu bertahan di pasar. Unggul

yang dimaksud adalah memiliki nilai keunikan tersendiri yang sulit untuk ditiru

pesaing, hasil produk yang berkualitas, dan didukung aspek modal yang kuat

untuk dapat bersaing secara agresif. Mensikapi kondisi yang demikian ketat perlu

meningkatkan budaya perusahaan yang berupa orientasi pasar yang baik, dimana

nilai-nilai orientasi pasar senantiasa berorientasi pada pelanggan, pesaing dan

didukung koordinasi yang baik antar fungsi dalam organisasi IKM.

Hasil penelitian ini mendukung apa yang dilakukan oleh Alhnity, Armanurah

dan Ishak (2016) yang menyatakan bahwa orientasi kewirausahaan berpengaruh

tidak signifikan terhadap kinerja bisnis pada usaha kecil menengah, selanjutnya

dia menyarankan keterlibatan pemerintah untuk menata regulasi bagi para pelaku

usaha. Senada dengan hasil Alhnity et al., (2016) penelitian yang tidak mendukung
188

orientasi kewirausahaan terhadap kinerja (Dimitratos, 2004; Moreno, 2008; William

dan Sinkula, 2009). Penelitian lain yang gagal membuktikan hal yang sama

(George, 2001; Tang dan Koveos, 2004) dan yang dilakukan pada perusahaan

yang baru muncul yang diukur melalui pertumbuhan (Messersmith, 2011) juga

gagal membuktikan, justru yang menghasilkan terbalik yakni semakin tinggi

orientasi kewirausahaan maka semakin menurun kinerja bisnis (Tang, 2008;

Bhuain et al., 2005). Venkatraman (1989) melihat memang tidak semudah itu

orientasi kewirausahaan berpengaruh terhadap kinerja, melainkan dibutuhkan

campur tangan dari berbagai elemen organisasi dan lingkungan industri/usaha.

Lebih lanjut Venkatraman menyarankan dengan menambahkan efek mediasi, efek

moderasi maupun efek independen.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa memang diperlukan konfigurasi

dengan menambahkan variabel lain yang dapat meningkatkan kinerja bisnis pada

industri kecil menengah sektor kerajinan. Beberapa peneliti mengadopsi logika

konfigurasi yang mengambil perspektif holistik perusahaan dan model teoritis

biasanya mencakup beberapa variabel yang pada gilirannya membentuk

beberapa konfigurasi tertentu atau juga disebut profil ideal (Venkatraman, 1989).

Hill dan Birkinshaw (2008) mengikuti logika konfigurasi ketika mereka mempelajari

bagaimana beberapa sifat strategis dan organisasi yang berbeda mengarah ke

kinerja yang lebih tinggi jika mereka memegang teguh profil yang ideal. Dengan

cara yang sama, Heirman dan Clarysse (2004) menelusuri empat tipologi ideal

yang dibangun diantara aspek sumber daya teknologi, keuangan dan sumber daya

manusia serta lingkungan eksternal industri. Relevansi secara kontekstual untuk

dapat membuktikan bahwa orientasi kewirausahaan dapat meningkatkan kinerja

bisnis dengan memasukkan variabel mediasi dan moderasi seperti orientasi pasar.
189

Secara realitas seperti telah dijelaskan diatas bahwa hambatan yang

dihadapi secara langsung industri kerajinan adalah makin banyaknya kompetitor

potensial yang memasuki pasar Indonesia dimana produk-produk yang dihasilkan

juga tidak kalah bersaing dengan produk hasil dalam negeri. Pesaing potensial

tersebut antara lain dari negara Thailand, China, dan Malaysia dengan produk-

produk yang kompetitif dengan harga terjangkau. Selain munculnya kompetitor

lokal baru yang muncul, hambatan yang dihadapi industri kerajinan terutama

produk furnitur menghadapi kendala bahan baku yang langka. Contohnya furnitur

dari bahan kayu jati saat ini langka sehingga membuat produksi terhambat dan

berdampak pada harga yang mahal. Siasat yang dilakukan oleh pengrajin dengan

menggunakan kayu jati bukan dari hasil hutan (KPH) namun menggunakan kayu

jenis jati tanaman rakyat yang harganya lebih murah tetapi kualitasnya jauh dari

kayu jati hasil hutan, sementara itu harga jualnya tetap, kondisi ini yang membuat

pengrajin furnitur melemah.

Contoh lain yang mengalami hambatan adalah industri manik-manik,

kendala yang dihadapi adalah ketersediaan bahan baku yang kurang sehingga

menghambat proses produksi, sumberdaya manusia yang kompetensinya rendah,

serta dukungan teknologi yang lemah, bahkan media pemasaran yang digunakan

belum mengoptimalkan keberadaan teknologi informasi. Informasi yang peneliti

peroleh dari pegawai Dinas Koperasi dan UMKM disebuah acara seminar yakni

“Penguatan Koperasi dan Kontribusinya untuk UKM” di Kabupaten Jombang yang

diselenggarakan oleh Bappeda juga menyatakan bahwa para pelaku usaha masih

belum mampu mandiri apalagi soal permodalan. Upaya yang harus dilakukan oleh

IKM adalah selalu agresif dalam berkompetisi, artinya harus mampu menghasilkan

ide-ide baru yang pada akhirnya mampu mengembangkan inovasi produk bahkan
190

menciptakan produk baru. Produk baru yang dihasilkan tentunya telah melalui

proses identifikasi kebutuhan dan keinginan pasar. Industri harus mampu migrasi

dari bisnis dengan pendekatan konvensional menjadi perusahaan yang berbasis

teknologi, mengingat saat ini terjadi perubahan perilaku konsumen dalam

melakukan aktivitas pemenuhan kebutuhannya.

Peran pemerintah diperlukan untuk mengatasi permasalahan kinerja IKM

melalui beberapa strategi untuk memperkuat posisi IKM. Upaya fasilitasi tersebut

dapat berupa memberikan pelatihan-pelatihan produk kerajinan, fasilitasi

pengurusan HAKI, desain produk dan kemasan, fasilitasi pameran baik dalam

maupun luar negeri. Mengoptimalkan e-commerce IKM dengan menggandeng

marketplace yang ada atau membangun marketplace sendiri sebagai upaya

fasilitasi produk IKM. Pemasaran dengan cara online akan memberikan dampak

produk hasil IKM dikenal di luar negeri.

2. Orientasi kewirausahaan meningkatkan derajat orientasi pasarnya.

Hasil ini menunjukkan bahwa orientasi kewirausahaan yang baik maka

akan mampu mewujudkan orientasi pasar yang baik. IKM sektor kerajinan

membuktikan bahwa orientasi kewirausahaannya mampu membentuk orientasi

pasarnya dengan baik. Penelitian ini menggambarkan bahwa IKM melalui orientasi

kewirausahaannya dapat mengenali kebutuhan dan keinginan pelanggan. Selain

orientasi pada pelanggannya, IKM sektor kerajinan juga mampu melihat posisi

pesaing, mengingat keberadaan pesaing juga menjadi dasar implementasi strategi

agar lebih baik dan berhasil dari yang dilakukan pesaing. Orientasi pada

pelanggan dan pesaing belumlah cukup, tetapi juga didukung melalui koordinasi
191

antar fungsi dalam organisasi terjalin dengan baik mengingat struktur organisasi

IKM sangat fleksibel.

Hasil penelitian ini didukung dari penelitian terdahulu yang menyatakan

terdapatnya pengaruh orientasi kewirausahaan terhadap orientasi pasar secara

signifikan diantaranya (Atuahene-Gima dan Ko, 2001; Baker, 2009; Boso, Story

dan Cadogan, 2013; Martin dan Javalgi, 2015; Matsuno, Mentzer dan Ozsomer,

2002). Keadaan ini mengharuskan IKM fokus dengan tujuan yang ingin dicapai

dalam jangka panjang, mengingat kondisi lingkungan pasar yang dinamis

menuntut pengembangan produk dan layanan yang agresif, system yang

mendukung agar pelanggan mudah mengakses, serta mudahnya produk

beradaptasi sesuai dengan keinginan pelanggan.

Lingkungan pasar yang dinamis tersebut tidak menjadi jaminan bagi

perusahaan atau produk pemimpin pasar untuk selalu memenangkan persaingan

namun secara jangka panjang potensi untuk menjadi sukses akan lebih besar

dibandingkan dengan perusahaan yang baru bermain di kemudian hari (Carpenter

dan Nakamoto, 1989). Demikian pula dengan perusahaan pelopor, penelitan yang

dilakukan oleh Golder dan Tellis (1993) menemukan bahwa hampir separuh dari

perusahaan pelopor gagal, sementara itu mayoritas yang mampu bertahan adalah

perusahaan yang bukan pemimpin pasar. Lebih lanjut Chandy dan Tellis (2000)

menemukan bahwa perusahaan yang melakukan inovasi secara radikal yang

paling sukses. Hasil tersebut secara tegas menjelaskan bahwa agar produk dapat

diterima pasar maka perusahaan melakukan orientasi pada pelanggannya, hal ini

dimaksudkan bahwa produk dan layanan didasarkan atas dasar keinginan dan

dibutuhkan pasar. Produk kerajinan bukanlah produk yang selalu dibutuhkan

setiap saat oleh pelanggan, hanya pada periode tertentu saja seorang konsumen
192

atau pelanggan membelinya. Strategi paling tepat adalah mengembangkan pasar

yang lebih luas sehingga dapat dikenal oleh calon konsumennya. Pemetaan

keunggulan yang dimiliki pesaing akan produk dan layanannya sebagai bahan

penyusunan strategi bagi industri kerajinan, dengan melihat potensi kekuatan

sumberdaya IKM baik sumberdaya manusianya, teknologi, maupun dukungan

finansial.

Melihat rentang kendali yang pendek, industri kerajinan tidak mengalami

kesulitan dalam melakukan koordinasi antar fungsi yang ada dalam organisasi

bisnisnya. Jumlah tenaga kerja yang terbatas koordinasi dilakukan dengan mudah

dan dengan cara yang sederhana, keterbukaan komunikasi membuat semakin

fleksibel koordinasi yang dilakukan. Fleksibilitas bagian yang memiliki peran lintas

fungsi masih menjadi kelemahan sekaligus kekuatan IKM. Perspektif

kelemahannya adalah sudah seharusnya IKM membuat struktur organisasi yang

jelas sebagai pengejawantahan tugas dan tanggung jawab masing-masing

personil. Perspektif kekuatannya adalah personil lebih fleksibel dalam melakukan

tugas dan secara finansial tidak begitu besar biaya yang dikeluarkan karena

jumlah tenaga kerja yang terbatas.

3. Orientasi kewirausahaan meningkatkan kapasitas penyerapan.

Hasil ini menunjukkan bahwa dengan orientasi kewirausahaan yang baik

dapat mencapai derajat kapasitas penyerapan yang baik secara langsung, dengan

mampu menyerap pengetahuan yang diperoleh dari luar baik berupa informasi,

pembelajaran maupun dari pengalaman. Sikap kewirausahaan yang baik akan

mamberikan dampak positif pada keberlanjutan usaha, mengingat perilaku

tersebut terdorong oleh motivasi yang kuat untuk mecapai kinerja superior. IKM
193

kerajinan mampu melakukan inovasi akan produknya, dan itu hasil dari

pengetahuan yang dimiliki baik melalui pengalaman maupun pembelajaran dan

didukung kemampuan menyerap informasi-informasi baru dari luar.

Hasil tersebut sejalan dengan distribusi frekuensi yang diperoleh dimana

kemampuan memanfaatkan pengetahuan untuk menghasilkan produk komersil

memperoleh nilai tertinggi diantara item yang lain. Sedangkan menemukan

sesuatu yang baru dari luar juga memperoleh nilai tinggi, yang artinya IKM mampu

menyerap informasi dari luar untuk dimanfaatkan sebagai peluang.

Penelitian-penelitian sebelumnya yang memperoleh hasil yang sama

dimana orientasi kewirausahaan memiliki relevansi yang kuat dalam meningkatkan

derajat kapasitas penyerapan antara lain, (Franca dan Rua, 2017; Khodei,

Scholten, Wubben dan Omta, 2016; Perliner dan Xu, 2018).

Hasil diatas dapat dijelaskan bahwa, kemampuan IKM dalam

mengeksplorasi pengetahuan dan informasi dari luar ditentukan oleh orientasi

kewirausahaan yang baik. Informasi yang digali dari luar tersebut selanjutnya

ditransformasi berupa kemampuan dalam merancang atau mendesain produk

baru dan dilakukan proses komersialisasi pada produknya. Hasil eksplorasi yang

baik maka mampu merancang produk yang sesuai dengan keinginan pasar,

sehingga produk yang dihasilkan bernilai komersil tinggi. Kemampuan dalam

meningkatkan kapasitasnya sebagai industri kerajinan yang membutuhkan ide-ide

baru untuk menciptakan produk-produk baru pada prinsipnya telah dimiliki oleh

IKM, namun tetap dibutuhkan daya kreativitas dan seni yang tinggi untuk

menciptakan produk kerajinan, mengingat produk kerajinan mayoritas dicari oleh

para kolektor atau pecinta seni serta orang-orang yang memiliki gaya hidup

fashionable.
194

4. Orientasi pasar meningkatkan kinerja bisnis.

Hasil ini menunjukkan bahwa orientasi pasar yang baik akan menghasilkan

kinerja yang tinggi secara langsung, mengingat kemampuan dalam melayani

pasar membuat konsumen memilih produknya karena sesuai dengan kebutuhan

dan keinginannya. Melihat posisi pesaing akan produk dan perkembangan

bisnisnya dilakukan sebagai dasar penyusunan strategi untuk dapat bersaing.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa IKM sektor kerajinan dalam mengoperasikan

bisnisnya senantiasa memahami keinginan pelanggan, juga selalu melihat peta

persaingan pada bisnis yang sama, inovasi apa yang dilakukan oleh pesaing

menjadi dasar pemikiran bagi IKM untuk perencanaan strategis.

Data diskriptif menunjukkan secara jelas bahwa nilai tertinggi sebesar 4.99

yang menyatakan bahwa perusahaan/produknya lebih baik dari pesaing,

sementara bagaimana informasi dari pelanggan sebagai dasar perencanaan

strategis bagi pengusaha dengan nilai 4.92. Kerjasama lintas fungsi atau antar

bagian yang baik menjadi salah satu keuntungan dalam menjaga harmonisasi

dalam pekerjaan, dan nilai secara deskriptif sebesar 4.89. Pelaku usaha juga

memantau apa yang dilakukan pesaing memperoleh nilai sebesar 4.81 sehingga

dengan demikian dapat dikatakan bahwa orientasi pasar telah dilakukan dengan

baik oleh pengusaha IKM sektor kerajinan.

Hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang membuktikan

bahwa orientasi pasar berpengaruh signifikan terhadap kinerja (Agarwal,et al.,

2003; Atuahene dan Gima, 2003; Carruana et al., 2008; Pantouvakis, 2007; dan

Wang, 2015). Atuahene dan Gima (2003) dalam penelitiannya membagi kedalam

beberapa subgroup yang terkait dengan kinerja produk. Penelitian yang dilakukan

oleh Harris dan Ogbonna (2001) pada Journal of Business Research yang
195

mengambil strategic human resources management sebagai antecedent dari

market orientation pada organizational performance juga membuktikan bahwa

orientasi pasar berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Penelitian disektor jasa

ritel juga telah dilakukan oleh Kara, Spillan dan Deshields, (2005) memperoleh

hasil yang sama bahwa orientasi pasar berpengaruh terhadap kinerja bisnis.

Hasil penelitian ini menegaskan bahwa kemampuan orientasi pasar IKM

sudah baik sehingga mampu memberikan kontribusi positif pada kinerja bisnisnya.

Kemampuannya dalam memahami pelanggan menjadi dasar bagi IKM dapat

mencapai targetnya, pemahaman secara komprehensif yang terkait kebutuhan

dan keinginan, tren permintaan pasar, serta layanan yang unggul menghasilkan

kinerja sesuai dengan harapan. Sehingga dengan demikian kinerja bisnis IKM

sektor kerajinan sangat ditentukan oleh orientasi pasarnya yang baik.

Kemampuannya dalam melakukan reorientasi strategi dengan melihat

potensi dan posisi produk pesaing di pasar juga jeli dilakukan IKM, apa yang

dilakukan oleh pesaing dapat ditiru atau dilakukan pengembangan pada produk

yang diminati oleh konsumen. Kekuatan yang dimiliki pesaing menjadi bahan bagi

industri kerajinan. Koordinasi antar fungsi dalam IKM menjadi sangat membantu

dalam proses produksi mengingat pendeknya rentang kendali bagian yang ada

serta fleksibilitas antar bagian yang saling bekerjasama.

5. Kapasitas penyerapan belum memberikan kontribusi secara langsung

pada kinerja bisnis IKM sektor kerajinan.

Hasil ini menjelaskan bahwa semakin tinggi kemampuan menyerap

informasi dari luar dengan output produk-produk baru yang melimpah tidak

mendapatkan respon yang baik dari pasar yang dapat secara langsung
196

memengaruhi kinerja bisnis. Hasil penelitian yang dapat dikatakan memiliki nilai

yang rendah seperti ini menjelaskan bahwa ide-ide yang diperoleh dari

pengetahuan eksternal dituangkan dalam perancangan berupa pengembangan

desain baru dan produk-produk baru namun tidak mampu menarik pasar secara

massif. Output berupa produk-produk hasil pengembangan tersebut kurang

menarik pasar dapat disebabkan lemahnya jaringan yang dimiliki serta informasi

akan produk belum diketahui oleh banyak konsumen.

Hasil pengolahan data melalui distribusi frekuensi, diperoleh nilai rerata

4.80 ini menunjukkan bahwa kapasitas penyerapan IKM sektor kerajinan dalam

aspek menemukan sesuatu yang baru dari luar, kemampuan memadukan peluang

dengan potensi, kemampuan memanfaatkan pengetahuan untuk tujuan

perusahaan serta kemampuan menghasilkan produk komersil sudah baik. Adanya

faktor lain diluar kendali perusahaan atau IKM sehingga tidak mampu memberikan

kontribusi positif pada kinerja IKM.

Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Stulova dan Rungi

(2017) dalam artikelnya dalam journal of high technology management research

juga menemukan hasil yang negative. Pembuktian pada usaha kecil menengah

berbasis teknologi yang dilakukan oleh Yoo, Sawyer dan Tan (2016) dapat

dikatakan sebagai inovasi bisnis di Korea yang disebut Innovation Business (Inno-

Biz) dengan mengambil sampel sebanyak 368 juga memperoleh hasil yang sama

dimana kapasitas penyerapan tidak berpengaruh signifikan. Hal senada diperoleh

hasil yang negatif oleh Stock (2001) dengan melakukan studi pada industri tunggal

perusahaan manufaktur modem komputer. Penelitian pada industri berteknologi

tinggi dari tiga negara dengan jumlah sampel sebanyak 72 yang terdiri dari
197

Amerika Utara sebanyak 22, Eropa sebanyak 23, dan Jepang sebanyak 27, yang

dilakukan oleh Rocha (1999) diperoleh hasil yang sama yakni negatif.

Industri kerajinan membutuhkan daya imajinasi yang kuat dalam

menciptakan produk yang memiliki nilai seni dan unggul dibandingkan dengan

pesaing. Industri kerajinan kecil memiliki struktur organisasinya sangat pendek

bahkan tidak berstruktur, artinya hanya personil yang ditempatkan pada bagian

tertentu dalam proses produksi. Peran penelitian dan pengembangan pada

produk dan usaha diemban oleh pemilik atau pengusaha itu sendiri, sehingga

dengan demikian fungsi pengusaha sekaligus sebagai aktor pengembangan

(R&D). Kemampuan mendesain ternyata masih rendah jika dibandingkan dengan

industry yang ada diluar negeri, rata-rata pengrajin masih kurang mengeksplor

kemampuannya dalam membuat desain. Sebagai contoh desain yang dilakukan

industri furnitur masih bersifat Original Equipment Manufacturing (OEM) atau

pembuatan berdasarkan atas permintaan pembeli (buyer) belum mampu

mengoptimalkan Original Design Manufacturing (ODM).

Penelitian ini memandang bahwa yang terjadi pada IKM sektor kerajinan

dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga produk-produk hasil inovasi belum

direspon oleh pasar secara massif dikarenakan semakin banyaknya pesaing baru

yang muncul sehingga produk dipasar menjadi berlimpah. Kondisi ini membuat

konsumen dibanjiri banyak pilihan produk, tentunya konsumen akan membeli

produk yang bernilai tinggi dengan harga terjangkau. Faktor selanjutnya yaitu

aspek pemasaran yang masih konvensional, belum banyak memanfaatkan

teknologi informasi sehingga belum banyak diketahui oleh konsumen potensial.

Memanfaatkan teknologi informasi bisa melalui media sosial maupun tergabung

dengan marketplace. Produk IKM kerajinan bukanlah produk primer yang


198

senantiasa dibutuhkan oleh konsumen, sehingga frekuensi pembelian

membutuhkan waktu lama untuk konsumen tersebut melakukan pembelian ulang.

Peminat fashion dan kolektor yang berpotensi untuk melakukan pembelian ulang

secara teratur.

6. Orientasi pasar menjadi mediasi dari orientasi kewirausahaan terhadap

kinerja bisnis IKM.

Informasi dari hasil diatas dapat diinterpretasikan bahwa kinerja bisnis IKM

sektor kerajinan dapat meningkat apabila didukung dengan orientasi pasar yang

baik dari pelaku IKM. Orientasi kewirausahaan saja belum dapat meningkatkan

kinerja perusahaan, maka dukungan melalui kemampuan melihat kebutuhan dan

keinginan pelanggan, melihat posisi pesaing saat ini, serta koordinasi yang baik

antar bagian dalam perusahaan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan, akan

meningkatkan kinerja bisnis IKM sektor kerajinan. Hasil di atas sejalan dengan

yang dilakukan oleh Migliori et.al., (2017), Faiz, Ahmed, dan Al-Sawidi (2015),

Amin Muslimin et.al., (2016), Dutta, Gupta dan Chen, (2016), serta Ruzgar, Kocak,

dan Bahdtin, (2015) dengan menghasilkan bahwa orientasi pasar memediasi

hubungan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis.

IKM sektor kerajinan membutuhkan daya ungkit untuk meningkatkan

kinerja bisnisnya baik meningkatnya nilai penjualan, meningkatnya jumlah pasar,

tercapainya profitabilitas melalui orientasi pasar yang baik. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kemampuan dalam melihat posisi pesaing, melihat

kebutuhan pelanggan serta fleksibilitas dalam melakukan koordinasi pada bagian

masing-masing mampu meningkatkan kinerja bisnis IKM. Mengingat orientasi

pasar secara langsung memberikan kontribusi yang besar pada kinerja bisnis.
199

Peran orientasi pasar begitu besar dalam menjembatani orientasi

kewirausahaan pada kinerja bisnis IKM, dimana orientasi pasar yang baik dapat

dicapai manakala orientasi kewirausahaannya baik. Orientasi pasar menjadi

bagian dari budaya perusahaan dalam menjalankan bisnis, karena prinsip

pencapaian kinerja adalah melalui bagaimana menciptakan nilai pada pelanggan

dengan memahami kebutuhan dan keinginan pelanggan. Kinerja dapat dicapai

melalui melihat posisi pesaing sebagai dasar penyusunan strategi untuk

memenangkan persaingan.

7. Kapasitas penyerapan tidak memediasi hubungan orientasi

kewirausahaan terhadap kinerja bisnis IKM.

Hasil diatas menunjukkan bahwa keberadaan kapasitas penyerapan tidak

mampu berkontribusi secara positif pada kinerja IKM disektor kerajinan dalam

kapasitasnya sebagai mediasi, fakta yang terjadi fungsi eksplorasi pengetahuan

dari luar dalam IKM dapat tercapai dengan hasil inovasi produk. Sehingga dengan

demikian keberadaan kapasitas penyerapan tidak mampu memberikan kontribusi

positif terhadap kinerja baik secara langsung maupun tidak langsung. Inovasi yang

dihasilkan berupa produk-produk baru tersebut ternyata direspon rendah oleh

konsumen, sehingga ini berdampak pada target-target pencapaian kinerja yang

kurang maksimal. Pengetahuan yang terpapar diluar organisasi perusahaan

berupa munculnya produk yang akan menjadi trend dimasa datang belum mampu

dicermati. Kultur usaha kecil pemilik berfungsi pada semua bidang, bisa berfungsi

sebagai R&D, sebagai HRD, sebagai pemasar serta berfungsi sebagai pengelola

keuangan. Ketidakmampuan kapasitas penyerapan dalam memediasi hubungan

orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis bertolak belakang dengan hasil


200

yang diperoleh David Zhang (2009) dan Yoo, Sawyer dan Tan (2016) yang

membuktikan adanya hubungan.

Ketidakmampuan kapasitas penyerapan memediasi orientasi

kewirausahaan terhadap meningkatnya kinerja bisnis dikarenakan fungsi secara

ideal sebagai research and development (R&D) tidak mampu diterjemahkan oleh

pengrajin. Kemampuan pengembangan produk dan pengembangan usaha

didasarkan atas pengalaman yang dimiliki serta intuisi dari pengrajin itu sendiri.

Tidak dipungkiri bahwa pengalaman dan intuisi yang dimiliki dalam mengelola

bisnis ternyata juga mampu menghasilkan produk yang kompetitif dan marketable.

Namun dalam penelitian ini tidak berperan secara langsung maupun tidak

langsung dalam meningkatkan kinerja bisnis industri kecil sektor kerajinan. Produk

pesaing yang semakin banyak menambah daya tawar konsumen lebih besar,

sehingga IKM dituntut semakin kompetitif untuk menghasilkan produk-produk

berkualitas dan bernilai. Produk pesaing tersebut memiliki kualitas yang sama

dengan harga yang lebih murah, kondisi ini yang menekan kinerja IKM.

8. Lingkungan eksternal bisnis tidak memperkuat orientasi kewirausahaan

terhadap kinerja bisnis IKM.

Hasil pengujian bahwa lingkungan eksternal bisnis memberikan kontribusi

yang positif terhadap kinerja bisnis memberikan gambaran bahwa lingkungan

eksternal bisnis merupakan sesuatu hal yang harus dipenuhi oleh IKM dalam

meningkatkan kinerjanya. Fungsi yang berbeda ketika lingkungan eksternal bisnis

ditempatkan sebagai moderator dalam hubungan antara orientasi kewirausahaan

terhadap kinerja bisnis. Lingkungan eksternal bisnis tidak mampu memperkuat

orientasi kewirausahaan dalam meningkatkan kinerja bisnisnya. Keunikan dalam


201

penelitian ini ketika menggunakan PEST dalam pengukuran lingkungan eksternal

bisnis yang dapat mengakibatkan tidak mampu mendorong orientasi

kewirausahaan dalam meningkatkan kinerja bisnis. Hasil akan berbeda manakala

pengukuran lingkungan eksternal bisnis dilakukan melalui lingkungan dinamis,

lingkungan yang kompleks, lingkungan yang mendukung atau bahkan lingkungan

yang bermusuhan. Lingkungan-lingkungan tersebut dapat berperan sebagai triger

bagi IKM untuk selalu melakukan improvisasi dalam mengelola bisnisnya.

Aspek Politik/hukum sangat memengaruhi keberlangsungan usaha IKM,

kepastian politik/hukum dimaksud adalah adanya kemudahan proses perijinan

sesuai dengan prosedur atau birokrasi yang tidak berbelit dalam pelayanan

perijinan, regulasi yang mengatur mudahnya proses pengurusan dokumen terkait

usaha, kondisi politik daerah yang kondusif, dan peran besar pemerintah daerah

terhadap IKM sebagai penopang ekonomi. IKM sangat mengharapkan kepastian

tersebut dan kondisi IKM rentan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi pada

aspek politik/hukum.

Aspek kondisi ekonomi memberikan dampak yang besar dalam

keberlanjutan IKM seperti daya beli masyarakat produk kerajinan, mengingat

produk kerajinan bukanlah produk primer sehingga hanya orang-orang yang cinta

seni, kolektor, atau kebutuhan untuk melengkapi rumah saja. Apabila daya beli

rendah maka produk-produk hasil kerajinan akan berkurang peminatnya,

konsumen akan lebih mengutamakan kebutuhan primer mereka. Keberadaan

upah minimum kabupaten/kota yang ditetapkan juga memberikan dampak bagi

IKM baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketentuan pajak yang

ditetapkan seperti pajak penghasilan dan pajak pertambahan nilai, serta soal

pendanaan juga menjadi bagian penting dalam pengembangan usaha IKM,


202

sehingga ketersediaan kredit yang mudah dengan bunga kecil tanpa agunan

menjadi faktor penting yang memengaruhi IKM.

Aspek kondisi sosial/budaya masyarakat disuatu daerah menjadi perhatian

IKM baik untuk kepentingan pemasaran maupun proses produksi, karena tradisi

masyarakat juga menentukan pemilihan produk kerajinan apa yang akan diminati.

Pertimbangan ini menjadi penting bagi IKM dalam memproduksi barang

kerajinannya dengan melihat seberapa besar tradisi masyarakat mampu

memberikan kontribusi pada usahanya. Sikap dan perilaku konsumen terhadap

produk-produk kerajinan, tingkat pendidikan, gaya hidup dan kelas sosial

merupakan faktor penentu konsumen memilih produk kerajinan.

Aspek perkembangan teknologi yang semakin canggih saat ini membuat

IKM harus menyesuaikan dirinya agar perusahaan dapat eksis bahkan menjadi

pemimpin pasar melalui teknologi tersebut. Keberadaan teknologi dapat

memberikan kemudahan bagi konsumen dalam memperoleh produk yang

dicari/diminati. Kemudahan tersebut dilakukan melalui beberapa media yang

digunakan, misalnya melalui aplikasi, media sosial, online marketing dan masih

banyak media yang digunakan untuk kepentingan perusahaan. Mereka

memandang bahwa infrastruktur teknologi sangat penting bagi perkembangan IKM

baik secara regional, nasional maupun internasional.

Hasil pengujian lingkungan eksternal bisnis berkedudukan sebagai

variabel moderator tidak mampu memperkuat kinerja bisnis IKM, sehingga dengan

demikian keberadaan lingkungan eksternal bisnis tidak mampu memperkuat

hubungan antara orientasi kewirausahaan terhadap kinerja bisnis. Maknanya

dapat diartikan bahwa bagi IKM aspek politik/hukum, ekonomi, sosial/budaya dan

teknologi (PEST) menjadi sebuah keniscayaan dalam berbisnis. Secara harfiah


203

keberadaan (PEST) merupakan hal yang umum dihadapi oleh IKM, jika

perusahaan itu baru muncul atau usaha yang baru dirintis, maka pengusaha harus

melakukan serangkaian ijin seperti mengurus perusahaan industri rumah tangga

(P-IRT), tanda daftar perusahaan (TDP), tanda daftar industri (TDI), NPWP,

sertifikasi halal yang dikeluarkan MUI (terutama bagi makanan) dan ijin-ijin lainnya.

Sehingga dengan demikian secara sadar IKM melakukan hal-hal yang menjadi

persyaratan mendirikan usaha, belum lagi ketika perusahaan tersebut sudah

berjalan, maka urusan perpajakan juga menjadi kewajiban bagi pengusaha.

Demikian pula dengan keadaan ekonomi, dinamika yang terjadi sudah diluar

kendali IKM sehingga yang dilakukan IKM hanya menyesuaikan dengan kondisi

yang ada, termasuk faktor sosial/budaya menjadi tidaklah mampu dikontrol oleh

IKM, bahkan saat ini kecanggihan teknologi manjadi primadona bagi perusahaan

untuk meningkatkan kinerja bisnisnya. Ternyata kondisi politik/hukum, ekonomi,

sosial/budaya, serta teknologi tidak mampu memperkuat orientasi kewirausahaan

dalam meningkatkan kinerja IKM. Ketidakmampuan lingkungan eksternal bisnis

(PEST) dalam memperkuat hubungan orientasi kewirausahaan dengan kinerja

IKM dikarenakan lingkungan eksternal bisnis tersebut sudah menjadi bagian

penting bagi IKM dalam menjalankan bisnisnya dengan menyesuaikan kondisi

internal melalui kapasitas dan kapabilitas sumberdaya yang dimiliki IKM.

Hasil diatas bertolak belakang dengan penelitian terdahulu yang

menyatakan bahwa lingkungan eksternal bisnis memoderasi hubungan orientasi

kewirausahaan terhadap kinerja bisnis, seperti Alhnity, Mohamad dan Ishak,

(2016), Brownhilder, (2016), Milovanovic dan Wittine, (2014), Yahya dan

Kamarudin, (2012), Pratono dan Mahmood, (2015). Berdasarkan hasil wawancara

dan isian yang terdapat dalam kuesioner diperoleh beberapa informasi, mengingat
204

peneliti ingin menggali lebih dalam apa yang sesungguhnya dihadapi oleh para

pelaku IKM terutama sektor kerajinan. Hasil wawancara sekaligus isian tersebut

peneliti rangkum sedemikian rupa untuk memberikan gambaran secara jelas dan

bersifat informatif, diantaranya yang secara umum terkait infrastruktur penunjang

operasional bisnis (peralatan yang berbasis teknologi), penguatan pemodalan

yang dirasa selama ini bagi IKM begitu penting dalam mengembangkan usaha

(kredit tanpa agunan).

Diperlukan peran pemerintah yang secara konkret dan terencana

bagaimana menyusun grand design dalam upaya meningkatkan kinerja IKM.

Mengingat akses pameran yang difasilitasi pemerintah selama ini terbatas

jumlahnya, hanya yang telah memiliki ijin dan perusahaan tersebut telah eksis

dalam waktu yang cukup lama. Bagi perusahaan yang baru belumlah cukup

terakomodasi untuk mengakses fasilitas tersebut. Peran strategis pemerintah

harus dilakukan, fungsi sebagai pemasaran, fasilitasi, serta membangun jaringan

yang dapat dimanfaatkan oleh IKM. Membangun marketplace yang

mengakomodasi seluruh produk IKM maupun komunitas lain, sehingga hasil

produk IKM dapat dikenal secara luas dan mendunia (global). Program pemerintah

lain seperti mengembangkan one village one product (OVOP) atau one school one

product (OSOP) dapat tercapai secara efektif.

Kebutuhan akan sumberdaya manusia yang kompeten dalam bidang

teknologi dalam menunjang proses produksi dan pemasaran (teknologi tepat guna

maupun teknologi informasi), keterlibatan perguruan tinggi melalui pendampingan

usaha IKM seperti (tata kelola, pembukuan usaha kecil, pemasaran, produksi,

packaging dan labelling), ketersediaan bahan baku yang masih menjadi kendala

bagi IKM sehingga IKM harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi dalam
205

memenuhi kebutuhan produksi. Temuan lain dilapangan yang menghambat

kinerja bisnis IKM adalah semakin membanjirnya produk sejenis yang beredar di

pasar, ini mensyiratkan pesatnya tingkat persaingan. Semua merupakan kendala

bagi IKM dalam menjalankan bisnisnya, sehingga diperlukan solusi konkret untuk

mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi IKM.

5.13 Implikasi Penelitian

Implikasi penelitian ini terdiri atas implikasi teoritis khususnya dalam bidang

manajemen pemasaran dan implikasi praktis yang berkenaan dengan aktivitas

manajerial IKM sektor kerajinan. Implikasi dari hasil penelitian ini dapat dijelaskan

sebagai berikut:

5.13.1 Implikasi Teoritis

Penelitian ini memiliki implikasi teoritis yang penting, antara lain:

1. Penelitian ini berhasil memberikan penjelasan bahwa ketidakkonsistennya

orientasi kewirausahaan dalam memengaruhi kinerja bisnis. Orientasi

kewirausahaan mampu memberikan kontribusi positif terhadap orientasi

pasar, sementara orientasi pasar mampu memberikan kontribusi positif

kepada kinerja bisnis. Hasil ini mengartikan bahwa untuk meningkatkan

kinerja bisnis IKM maka diperlukan orientasi pasar yang tinggi. Orientasi

pasar yang tinggi menaikkan kinerja bisnis secara positif. Temuan penting

dalam penelitian ini menjelaskan bahwa pendekatan teori kontingensi

dalam orientasi kewirausahaan memang tepat, yakni dengan

memperhatikan linkungan agar dapat meningkatkan kinerja bisnis. Melihat

efek langsung orientasi kewirausahaan tidak berdampak pada kinerja


206

bisnis dikarenakan rendahnya faktor autonomy dan innovativeness, hasil

ini berbeda dengan hasil yang dilakukan Covin dan Slevin (1989) dengan

tiga dimensinya innovativeness, risk-taking dan proactiveness. Lumpkin

dan Dess (1996), Wales (2013) serta Miller (2011).

Hasil berbeda manakala orientasi pasar berperan sebagai mediasi, maka

akan dapat meningkatkan kinerja bisnis seperti ditunjukkan oleh hasil

penelitiannya Migliori et al., (2017), Faiz, Ahmed, dan Al-swidi, (2015) dan

Ruzgar, et al. (2015). Hasil ini memberikan gambaran bahwa untuk

pengembangan model teoritis dalam meningkatkan kinerja tidaklah cukup

melalui orientasi kewirausahaan secara langsung akan tetapi harus

memperhatikan orientasi pasar untuk dimasukkan dalam model penelitian.

Analisis ini memperkaya pemahaman tentang orientasi kewirausahaan

dengan kinerja bisnis serta keberadaan orientasi pasar, dan yang perlu

diperhatikan adalah penggunaan multidimensi dalam orientasi

kewirausahaan, mengingat penelitian ini menggunakan unidimensi dengan

hasil tidak berpengaruhnya terhadap kinerja bisnis secara langsung.

2. Hasil yang tidak konsisten juga ditemukan pada kapasitas penyerapan

yang tidak mampu memberikan kontribusi positif secara langsung dalam

meningkatkan kinerja bisnis, sementara itu orientasi kewirausahaan yang

tinggi dapat menghasilkan kapasitas penyerapan yang tinggi. Hasil ini

bertentangan dengan yang dilakukan oleh Mendez, Mesa dan Alegre

(2016), Pihlajama (2017), Todorova dan Durusin (2007) serta Cohen dan

Levinthal (1990).

Temuan penting ini menjelaskan bahwa efek langsung kapasitas

penyerapan tidak mampu memberikan kontribusi positif terhadap kinerja


207

bisnis disebabkan rendahnya kemampuan mengkomersialisasikan produk

baru. Rendahnya kemampuan eksploitasi memengaruhi kinerja bisnisnya

hingga berdampak pada menurunnya kinerja. Hasil ini mengartikan bahwa

ada atau tidaknya kapasitas penyerapan tidak mampu meningkatkan

kinerja bisnis secara positif.

Hasil ini menanamkan pemahaman bahwa harus diselidiki lebih mendalam

kemampuan eksplorasi informasi dan pengetahuan yang diperoleh, tidak

sekedar fokus pada pengambilan keputusan dalam mengeksploitasi.

Harus memperhatikan faktor internal dalam memahami pengetahuan

tersebut dengan munculnya unit tersendiri seperti research and

development. Kondisi pada IKM ini secara teoritis menggambarkan bahwa

kapasitas penyerapan tidak kompatibel jika digunakan untuk meningkatkan

kinerja bisnis secara langsung dalam pendekatan logika konfigurasi,

seyogyanya menempatkan kapasitas penyerapan sebagai variabel

konsekuen mengingat dalam model ini kapasitas penyerapan ditentukan

oleh orientasi kewirausahaan.

3. Kapasitas penyerapan belum mampu menjadi penjembatan orientasi

kewirausahaan dalam meningkatkan kinerja bisnis sektor kerajinan. Hasil

ini berbeda dengan yang dilakukan oleh David Zhang (2009) dan Sawyerr

dan Tan (2006) yang menyatakan bahwa kapasitas penyerapan sebagai

pemediasi hubungan antara orientasi ekwirausahaan dengan kinerja

bisnis. Hasil ini mengartikan bahwa ada atau tidak adanya kapasitas

penyerapan tidak mampu meningkatkan kinerja bisnis baik secara

langsung maupun tidak langsung. Temuan penting ini menjelaskan bahwa

kinerja bisnis tidak ditentukan secara langsung maupun tidak langsung


208

melalui kemampuannya menghasilkan produk baru tetapi ditentukan juga

oleh kemampuan mengkomersialisasi produk tersebut. Hasil ini

memberikan gambaran secara teoritis bahwa kedudukan paling tepat

kapasitas penyerapan adalah sebagai variabel endogen, mengingat dalam

penelitian ini tidak mampu menjadi variabel pemediasi dari hubungan

orientasi kewirausahaan dan kinerja bisnis, bahkan kedudukannya sebagai

eksogen variabel dalam meningkatkan kinerja bisnis.

4. Lingkungan eksternal bisnis ternyata belum mampu memperkuat orientasi

kewirausahaan dalam meningkatkan kinerja bisnis. Hasil ini berbeda

dengan penelitian yang dihasilkan oleh Milovanovic, Primorac, dan Kozina

(2016), Alhnity, Armanurah dan Ishak (2016) serta Brownhilder (2016) yang

membuktikan bahwa lingkungan eksternal mampu menjadi moderasi.

Artinya adalah interaksi antara lingkungan eksternal bisnis dengan

orientasi kewirausahaan belum mampu meningkatkan kinerja bisnis IKM.

Temuan ini menjelaskan bahwa efek secara langsung lingkungan eksternal

bisnis memengaruhi kinerja bisnis, tetapi ketika berinteraksi dengan

orientasi kewirausahaan tidak mampu meningkatkan kinerja, sehingga

memperlemah hubungan orientasi kewirausahaan terhadap kinerja

bisnisnya. Hasil ini menggambarkan secara teoritis bahwa lingkungan

eksternal dalam penelitian ini tidak tepat apabila menggunakan

pengukuran PEST, pengukuran lain dalam lingkungan eksternal bisa

melalui lingkungan dinamis, kompleks, bersahabat, bermusuhan, serta

lingkungan yang bergejolak maupun melalui karakteristik industri. Teori

kontingensi lebih tepat apabila menggunakan pendekatan tersebut, karena


209

karakteristik IKM lebih memungkinkan cocok dengan keadaan lingkungan

diatas.

5.13.2 Implikasi Praktis

Temuan dalam penelitian ini juga memiliki implikasi secara manajerial,

diantaranya:

1. Orientasi kewirausahaan IKM lebih ditingkatkan kembali melalui

pelatihan-pelatihan, benchmarking dengan industri sejenis dan

senantiasa melakukan inovasi-inovasi yang radikal baik pada produk

maupun perusahaannya. Hasil temuan diketahui bahwa rendahnya

otonomi dan inovasi menjadi kendala dalam meningkatkan kinerja

bisnis, sehingga diperlukan upaya mengembangkan inovasi melalui

pembelajaran baik secara individu maupun organisasi. Memegang

prinsip bisnis yang teguh agar tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal

yang dapat berdampak pada kinerja. IKM lebih fleksibel menghadapi

perubahan kondisi eksternal yang ada baik pesaing, kondisi ekonomi

maupun pesatnya perkembangan teknologi. IKM lebih banyak belajar

dan berlatih dalam meningkatkan kapasitas agar peka terhadap semua

informasi sebagai modal untuk melakukan inovasi.

2. Kapasitas penyerapan industri kerajinan lebih dioptimalkan pada

bagaimana meningkatkan kemampuan untuk mengeksploitasi produk

tersebut secara komersil. Artinya kemampuan untuk memasarkan

produk kurang optimal, sehingga diperlukan terobosan-terobosan

dengan bantuan teknologi agar mudah diakses oleh pasar. IKM perlu

meningkatkan proses pembelajaran individu maupun secara organisasi


210

agar melalui pelatihan-pelatihan yang ada baik yang disediakan oleh

pemerintah maupun organisasi lain sehingga mampu menyesuaikan

dengan perkembangan tang ada baik teknologi informasi maupun

teknologi lain yang menunjang keberhasilan perusahaan.

3. Kapasitas penyerapan yang sesungguhnya identik dengan industri

kerajinan ternyata belum memberikan dampak positif terhadap kinerja

bisnis. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa daya saing

produk IKM masih rendah dan rentan dengan munculnya produk-produk

pesaing sehingga kondisi IKM semakin tertekan. Mengahadapi keadaan

demikian IKM harus bangkit untuk menghasilkan produk-produk inovatif

yang bernilai sesuai dengan target pasar yang ditentukan.

Mengoptimalkan strategi berdasarkan segmentasi pasar yang dituju

akan lebih efektif dan efisien.

4. Lingkungan eksternal bisnis dengan pendekatan normatif seperti PEST

belum memperkuat posisi orientasi kewirausahaan dalam

meningkatkan kinerja bisnisnya. IKM harus menyesuaikan dengan

perkembangan sosial/budaya masyarakat yang ada, mengikuti

perkembangan teknologi sebagai bagian dari strategi perusahaan,

menyesuaikan dengan pertumbuhan ekonomi yang ada untuk dapat

melihat daya beli masyarakat dan iklim bisnis, serta mampu

menyesuaikan dengan peraturan yang ada sebagai bentuk kepastian

hukum bagi pelaku bisnis.


211

5.14 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki keterbatasan jika ditinjau dari beberapa aspek yang ideal,

diantaranya adalah:

1. Penelitian ini dilakukan dengan pengukuran unidimensi, hal ini berbeda

dengan apa yang menjadi rujukan penelitian (Lumpkin dan Dess, 1996)

dengan mengukur multidimensi dari orientasi kewirausahaan. Mengingat

objek penelitian industri kecil yang ada di Jawa Timur memiliki karakteristik

yang hampir sama yakni struktur organisasi belum mapan, bagian yang

ada dalam organisasi belum terstruktur dengan baik, dan tata kelola yang

belum maksimal sehingga ini yang menjadi dasar penulis dalam

menentukan unidimensi.

2. Penelitian ini dalam pengumpulan datanya berdasarkan persepsi dari

pemilik atau pengambil keputusan atau pengelola IKM mengenai orientasi

kewirausahaanya yang berhubungan dengan kinerja bisnisnya.

Penggunaan cross sectional seperti ini memiliki potensi untuk

menghasilkan bias dalam hubungan antar konstruk akibat dari common

method variance yaitu berupa bias dan predisposisi individual.


212

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah diuraikan diatas maka dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Orientasi kewirausahaan belum dapat memberikan kontribusi secara

langsung pada kinerja bisnis IKM sektor kerajinan di Jawa Timur, tetapi

kinerja akan meningkat apabila disertai dengan orientasi pasar yang baik.

Ketidakmampuan orientasi kewirausahaan secara langsung tersebut dapat

dikarenakan rendahnya memegang prinsip dalam melakukan bisnis, masih

mudah dipengaruhi oleh faktor lain, sehingga kurang teguh dalam

berpendirian. Belum munculnya ide-ide yang revolusioner untuk

menghasilkan produk yang memiliki keunikan, sehingga ini berdampak

pada produk baru yang dihasilkan baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.

Hasil ini merujuk pada penilaian distribusi frekuensi yang rendah apabila

dibandingkan dengan nilai yang lain dalam orientasi kewirausahaan.

2. Orientasi kewirausahaan memberikan kontribusi yang besar secara

langsung dalam meningkatkan orientasi pasar. IKM pada prinsipnya

mempunyai modal yang besar untuk maju yakni beraninya mengambil

risiko. IKM sektor kerajinan melalui aspek kemampuan dalam melihat peta

persaingan menjadi dasar untuk memahami strategi pesaing, sejauhmana

pesaing melakukan inovasi, seberapa tinggi pertumbuhannya. IKM juga

mampu melakukan antisipasi apabila keadaan pasar berubah sehingga

212
213

IKM juga mampu mengetahui keinginan pelanggan dan mampu membaca

tren pasar.

3. Orientasi kewirausahaan yang baik akan menciptakan kapasitas

penyerapan bagi IKM, mengingat kemampuan orientasi yang baik dapat

membaca, menciptakan, dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada.

Peluang didapat dari kemampuannya membaca tren pasar, apa yang

diinginkan pasar serta mampu melakukan rekayasa produk (transformasi)

sebagai bentuk perilaku inovasi. Kemampuan lain yang dapat diciptakan

melalui kapasitas penyerapan adalah mengantisipasi kondisi pasar yang

berubah, bagi IKM sektor kerajinan itu merupakan pengetahuan yang

dapat dijadikan modal untuk melakukan inovasi pada produk maupun

perusahaannya. Kemampuan bersaing dengan produk lain merupakan

kemampuan dasar dalam melakukan transformasi ide-ide kedalam sebuah

rancangan produk sebelum di pasarkan.

4. Orientasi pasar dapat memberikan kontribusi yang besar secara langsung

dalam meningkatkan kinerja bisnis IKM. Kemampuan dalam melihat

peluang pasar dengan mencari informasi terkait dengan keinginan

konsumen dan berfokus untuk melayaninya dengan baik menjadi

komitmen IKM. Setelah mengenali dengan baik keinginan konsumen

selanjutnya konsentrasi pada pesaing dengan melihat apa yang dilakukan

oleh pesaing terhadap produk maupun perusahaannya. Secara kuantitas

jumlah personel dalam organisasi IKM sektor kerajinan tidaklah begitu

banyak, sehingga koordinasi antar bagian atau antar fungsi lebih fleksibel

dilakukan.
214

5. Kapasitas penyerapan yang ada ternyata belum berkontribusi secara

langsung dalam mencapai kinerja IKM. Hasil ini menunjukkan bahwa daya

serap pengetahuan yang berpotensi untuk ditransformasi belum mampu

dieksploitasi (komersialisasi) oleh IKM, artinya IKM belum mampu

memanfaatkan celah untuk melakukan penetrasi pasar. IKM tidak mampu

mengintegrasikan antara seperangkat informasi yang bisa dijadikan

peluang dan potensi yang dimiliki oleh IKM dengan melakukan strategi

pemasaran yang tepat untuk produknya. Ketidakmampuan tersebut

dikarenakan aspek persaingan yang semakin ketat didalam negeri sendiri,

bahkan produk luar negeri juga membanjiri produk kerajinan dalam negeri.

6. Orientasi pasar dapat menjadi penjembatan dari orientasi kewirausahaan

terhadap kinerja bisnis IKM. Hasil ini menunjukkan bahwa untuk

meningkatkan kinerja IKM tidak secara langsung dari orientasi

kewirausahaan, tetapi melalui orientasi pasarnya, maka akan semakin

tinggi kinerjanya. Kemampuan IKM dalam melihat tingkat persaingan yang

ada, tingkat respon pasar akan produk, hal ini menjadi bahan dalam

menentukan strategi terhadap perusahaan dan produknya.

7. Kapasitas penyerapan tidak berperan sebagai penjembatan dari orientasi

kewirausahaan terhadap kinerja bisnis IKM sektor kerajinan. Aspek pada

proses transformasi hasil pengetahuan yang diperoleh dari luar belum

mampu dieksploitasi secara komersial dengan baik oleh IKM, mengingat

keterbatasan sumberdaya yang ada. Keterbatasan tersebut masih terkait

dengan teknologi, kompetensi sumberdaya manusia, termasuk

pemodalan. Skala pasar yang luas belum tergarap dengan baik karena
215

persoalan pemasaran yang masih konvensional, belum melakukan

terobosan melalui e-commerce.

8. Lingkungan eksternal bisnis belum menjadi penguat dari orientasi

kewirausahaan terhadap kinerja bisnis IKM. Aspek kondisi ekonomi yang

diluar kendali perusahaan juga menjadi faktor yang memengaruhi kinerja

IKM. IKM rendah dalam menyesuaikan perkembangan teknologi yang

sangat pesat, karena saat ini dunia bisnis sudah harus bersentuhan

dengan teknologi untuk mempermudah proses bisnis. Perubahan perilaku

pembelian konsumen yang dinamis terlambat direspon oleh IKM karena

keterbatasan yang dimiliki, sementara beberapa pesaing telah

menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di pasar bisnis.

6.2 Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pengalaman di lapangan saat survei, maka dapat

disarankan:

1. IKM lebih meningkatkan orientasi kewirausahaannya seperti pada aspek

kemandirian (autonomy) atau memegang prinsip dalam berbisnis, agar

tidak mudah terpengaruh pada hal-hal yang dapat menghambat

pertumbuhan perusahaan. Selalu melakukan inovasi (innovativeness)

dengan menghasilkan ide-ide baru baik pada produk maupun pada

perusahaannya, serta bertindak agresif dalam persaingan mengingat pada

saat ini perusahaan yang selalu melakukan inovasi adalah yang mampu

bertahan.

2. IKM lebih meningkatkan pada proses pembelajaran baik secara invidual

maupun organisasi untuk memperkuat kemampuannya dalam


216

mengeksploitasi produk yang dihasilkan. Informasi yang terpapar di

eksternal akan mudah diserap oleh IKM manakala pembelajaran secara

invidual baik, demikian pula pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman

dan pembelajaran dapat memperkuat kapasitas penyerapannya.

3. IKM jika ingin tetap tumbuh maka harus tetap fokus pada kebutuhan dan

keinginan pelanggan sasarannya. Mampu melakukan penyesuaian

(customization) terhadap keinginan pelanggannya, akan tetapi harus

mengetahui juga posisi pesaing agar IKM dapat menyesuaikan dalam

perencanaan strategisnya.

4. Keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh IKM, maka untuk

meningkatkan kinerja IKM perlu peran pemerintah untuk lebih memberikan

ruang yang cukup agar pertumbuhan bisnis IKM lebih progresif. Peran

tersebut dapat berupa regulasi yang cenderung mendukung IKM, fasilitasi

melalui pendampingan, pelatihan, pameran, klinik IKM, bahkan bantuan

berupa peralatan teknologi tepat guna yang dibutuhkan agar dapat

meningkatkan kapasitas produksi IKM. Meningkatkan kuota IKM yang

diikutkan pameran sehingga lebih proporsional dengan jumlah IKM yang

ada.

5. Peran inovasi pemerintah dalam mengembangkan potensi ekonomi

khususnya bagi industri kecil menengah sebagai penyedia pasar berbasis

teknologi (market place) agar semua produk unggulan yang berbasis IKM

dapat dikenal, mudah dicari, dan diakses oleh pasar secara luas bahkan

global.
217

6. Penelitian berikutnya dapat menggunakan pendekatan longitudinal

sehingga dapat diperoleh data yang robust dan meminimalisir bias baik

secara common method variance maupun non-respon bias.

7. Melihat hasil effect size yang lemah meskipun uji model R2 bersifat

moderat, maka untuk penelitian berikutnya hendaknya menggunakan

konstruk lain dalam mengukur dampak terhadap kinerja seperti konstruk

lingkungan dynamis, hostily, munificence, complexity serta konstruk ukuran

perusahaan menggunakan multi group analysis.


DAFTAR PUSTAKA

Acosta, Crespo, and Agudo, 2018. Effect of market orientation, network capability and
entrepreneurial orientation on international performance of small and medium
enterprises (SMEs) International Business Review xxx (xxxx) xxx–xxx.
https://doi.org/10.1016/j.ibusrev.2018.04.004

Acquaah Moses. 2013. Management control systems, business strategy and performance: A
comparative analysis of family and non-family businesses in a transition economy in
sub-Saharan Africa, Journal of Family Business Strategy 4, 131–146

Auh S., Menguc B. 2005. Balancing Exploration and Exploitation: the moderating role of
competitive intensity, J. Bus. Res.58, 1652-1661

Agarwal, Manoj K., Chatterjee, Subimal. 2003. Complexity, uniqueness, and similarity in
between-bundle choice, Journal of Product & Brand Management, Vol. 12 Iss 6 pp.
358 – 376

Agarwal, S., Erramilli, K., Dev. Chekitan, S., 2003, Market Oriented and Performance in
Service Firms: Role of Innovation, Journal of Services Marketing, Vol. 17, No. 1, pp.68-
82

Al-Ansaari, Y., Bederr, H., and Chen C. 2015. Strategic Orientation and Business
Performance, an empirical study in the UAE context, Management Decision, Vol. 53
No. 10

Alegre Joaquín and Chiva Ricardo, 2013. Linking Entrepreneurial Orientation and Firm
Performance: The Role of Organizational Learning Capability and Innovation
Performance, Journal of Small Business Management, 51(4), pp. 491–507

Alhunity Haitham and Ishak Awanis Ku, 2016. Impact of Entrepreneurial Orientation on Small
Business Performance: Moderating Role of Government Intervention, International
Review of Management and Marketing, 6(S7) 95-100.

Allocca, M.A. and Kessler, E.H. 2006. “Innovation speed in small and medium-sized
enterprises”, Creativity and Innovation Management, Vol. 15 No. 3, pp. 279-295.

Alma Buchari. 2009. Kewirausahaan, Alfabeta, Bandung

Aluisius Pratono, Rosli Mahmood, 2016. Entrepreneurial orientation and firm performance:
How can small and medium-sized enterprises survive environmental turbulence?
Pacific Science Review B: Humanities and Social Sciences xxx (2016) 1e7,
http://dx.doi.org/10.1016/j.psrb.2016.05.003

Amin, Thurasamy, Aldakhil, and Kaswuri, 2016. The effect of market orientation as a mediating
variable in the relationship between entrepreneurial orientation and SMEs
performance, Nankai Business Review International, Vol. 7 Iss 1 pp. 39 - 59

Anand, B. N., & Khanna, T. 2000. Do firms learn to create value? The case of alliances.
Strategic Management Journal, 21(3), 295–315.
Antoncic, Bostjan – Hisrich, Robert D. 2001. Intrapreneurship: Construct Refinement and
Cross-cultural Validation, Journal of Business Venturing, 16(5), 495-527.
doi:10.1016/s0883-9026(99)00054-3

Appiah-Adu, K. 1998. Market orientation and performance: empirical tests in a transition


economy. Journal of Strategic Marketing 6, 25–45.

Aragon-Sanchez, A. and Sanchez-Marin, G. 2005. “Strategic orientation, management


characteristics, and performance: a study of Spanish SMEs”, Journal of Small
Business Management, Vol. 43 No. 3, pp. 287-308.

Attahir Yusuf. 2002. Environmental Uncertainty, the Entrepreneurial Orientation of Business


Ventures and Performance, International Journal of Commerce and Management, Vol.
12 No. 3 & 4

Atuahene-Gima, K. (1995).“An Exploratory Analysis of the Impact of Market Orientation on


New Product Performance,” Journal of Product Innovation Management, 12, 275–293.

Atuahene-Gima, K., Ko, A. 2001. An empirical investigation of the effect of market orientation
and entrepreneurship orientation alignment on product innovation. Organization
Science 12, 54–74

Atuahene-Gima, K. (2005). Resolving the capability–rigidity paradox in new product


innovation. Journal of Marketing, 69(4), 61–83

Avci, U., Maandoglu, M. and Okumus, F. 2011. “Strategic orientation and performance of
tourism firms: evidence from a developing country”, Tourism Management, Vol. 32 No.
1, pp. 147-157.

Avlonitis, G.J., Gounaris, S.P. 1999. Marketing Orientationand and its Determinants: An
Empirical Analysis, European Journal of Marketing, Vol. 33 Issue: 11/12 pp. 1003-1037

Avlonitis, G.J. & Salavou, H.E. 2007. Entrepreneurial orientation of SMEs, product
innovativeness, and performance. Journal of Business Research, 60, 566–575.

Baker, W.E, and Sinkula, J.M. 2005. Environmental marketing strategy and firm performance:
effect on new product performance and market share, Academy of Marketing Science.
Journal; 33, 4; ABI/INFORM Collection pg. 461

Bamgbade, Kamaruddeen, Nawi, and Ali, 2017. Exploring Organizational Innovativeness


Factors Influencing Sustainable Construction Adoption, MAYFEB Journal of Business
and Management - ISSN 2371-7742 Vol 4 - Pages 1-912

Bárbara Larrañeta, Shaker A. Zahra, J. Luis Galán, 2007. Absorptive Capacity In New
Ventures: Differences Among Corporate Ventures And Independent Ventures,
Frontiers of Entrepreneurship Research, Vol. 27, Iss. 13, Art. 2

Barringer, Bruce R. and Allen C. Bluedorn. 1999. The Relationship between Corporate
Entrepreneurship and Strategic Management, Strategic Management Journal 20, 421-
444.

Baron, R.A, Muller, B.A, Wolfec, M.T. 2015. Self-efficacy and entrepreneurs' adoption of
unattainable goals: The restraining effects of self-control, Journal of Business
Venturing
Baron R.M. and Kenny D.A., 1986. The Moderator-Mediator Variable Distinction in Social
Psychological Research: Conceptual, Strategic, and Statistical Considerations
Moderator-Mediator Variable Distinction in Social, Journal of Personality and Social
Psychology, 51, No. 6, 1173-1182

Becherer, Richard C. & Maurer, John G., 1998. The Moderating Effect of Environmental
Variables on the Entrepreneurial and Marketing Orientation of Entrepreneur-led Firms,
Entrepreneurship Theory And Practice, 1042-2587-97-221

Benito, Oscar Gonzales, Javier Gonzales Benito, and Pablo A. Munoz-Gallego. 2009. Role of
Entrepreneurship and Market Orientation in Firms’ Succes. European Journal
of Marketing. Vol. 43, No. 3/4, pp. 500-522.

Benson Vladlena, Fragkiskos Filippios, 2018. The role of learning analytics in networking for
business and leisure: A study of culture and gender differences in social platform users,
Computers in Human Behavior, doi: 10.1016/j.chb.2018.02.027

Bhuian, S.N., Menguc, B., Bell, S.J. 2005. Just entrepreneurial enough: The moderating effect
of entrepreneurship on the relationship between market orientation and performance.
Journal of Business Research 58 (1), 9–17.

Bierly, Paul E. III and Daly, Paula S. 2007. Alternative Knowledge Strategies, Competitive
Environment, and Organizational Performance in Small Manufacturing Firms,
Entrepreneurship Theory And Practice, 31 (4), 493-516 doi: 10.1111/j.1540-
6520.2007.00185.x

Birkinshaw Julian, 1997. Entrepreneurship in multinational Corporations: the characteristics of


Subsidiary initiatives, Strategic management journal, vol. 18:3, 207–229.

Blankson, Charles and Chang Julian, 2005, Have Small Businesses adopted the market
oriented concept ? the case of small businesses in Michigan, Journal of Business &
Industrial Marketing, Vol.20 No.6 pp.317-330

Blumentritt, T. and Andis, W. 2006. “Business strategy types and innovative practices”, Journal
of Management Issues, Vol. 18 No. 2, pp. 274-291.

Boso N.B., Story Vicky M., and Cadogan John W. 2013. Entrepreneurial orientation, market
orientation, network ties, and performance: Study of entrepreneurial firms in a
developing economy, Journal of Business Venturing 28, 708-727

Boudreaux Christopher, 2018. Entrepreneurship, Institutions, and Economic Growth: Does the
Level of Development Matter? JEL Codes: L26, L53, M13, O43, O47

Božic Katerina, Vlado Dimovski, 2019. Business intelligence and analytics for value creation:
The role of absorptive Capacity, International Journal of Information Management 46
(2019) 93–103

Brooks, Ian, Weatherston, and Jamie, 1997, Business Environment: Challenges and
Changes, Prentice Hall

Brownhilder, Neneh, 2016. Examining the Moderating Effect of Environmental Hostility on the
Entrepreneurial Orientation Performance Relationship, Journal of Economics and
Behavioral Studies (ISSN: 2220-6140) Vol. 8, No. 6, pp. 6-18

Cadogan, J.W., Diamantopoulos, A., and de Mortanges, C.P. 1999. A Measure of Export
Market Oreintation: Scale Development and Cross-Cultural Validation, Journal of
International Business Studies, Vol. 30, No. 4

Cadogan, J.W., Cui, C.C., & Yeung, E.K. 2003. Export market-oriented behaviour and export
performance, the moderating roles of competitive intensity and technological
turbulence. International Marketing Review, 20(5), 493–513.

Cao, Q., Bakerb, J. Hoffman, J., J. 2011. The role of the competitive environment in studies
of strategic alignment: meta analysis, Int. J. Prod. Res., 1-14

Carpenter Gregory S., and Nakamoto Kent, 1989. Consumer Preference Formation and
Pioneering Advantage, Journal of Marketing Research, Vol. 26, No. 3, pp. 285-298

Caruana, A., Moris, M.H., and Vella, A.J. 1998. The Effect of Centralization and Formalization
on Entrepreneurship in Export Firm, Journal of Small Business Management, Vol. 36
No. 1 pp. 16-29

Caruana, A., Ewing, M.T., Ramaseshan, B., 2002. Effects of some environmental
challenges and centralization on the entrepreneurial orientation and performance of
public sector entities. Serv. Ind. J. 22, 43–58.

Castro, C. B., Armario, E. M., & Sanchez del Rio, M. E. (2005). Consequences of market
orientation for customers and employees. European Journal of Marketing, 39(5/6),
646-675. http://dx.doi.org/10.1108/03090560510590755

Cenamor J., V. Parida, P. Oghazi, O. Pesämaa, J. Wincent, 2017. Addressing dual


embeddedness: The roles of absorptive capacity and appropriability mechanisms in
subsidiary performance, Industrial Marketing Management

Chandy Rajesh K., and Tellis Gerard J., 2000. The Incumbent's Curse? Incumbency, Size,
and Radical Product Innovation, Journal of Marketing, Vol. 64, No. 3, pp. 1-17

Child J. 1972. Organizational Structure, Environment and Performance: The Role of Strategic
Choice, Sociology, 6: 1

Chin, W.W., 1998. The partial least square approach to structural equation modeling. In:
Marcoulides, G.A., (Ed.), Modern Methods for Business Research, Lawrence Brlbaum
Associates, Mahwah, NJ, pp. 295-336.

Chin, WW., and Marcoulides, GA., 2013. You Write, but Others Read: Common
Methodological Misunderstandings in PLS and Related Methods, Springer

Chin, W. W., Thatcher, J. B., Wright, R. T., & Steel, D. (2013). Controlling for Common Method
Variance in PLS Analysis: The Measured Latent Marker Variable Approach. New
Perspectives in Partial Least Squares and Related Methods, 231–
239. doi:10.1007/978-1-4614-8283-3_16

Choi Sangmi, 2014. Learning Orientation and Market Orientation as Catalysts for Innovation
in Nonprofit Organizations, Nonprofit and Voluntary Sector Quarterly, Vol. 43(2) 393 –
413

Cohen, WM., and Levinthal, DA., 1990. Absorptive Capacity: A New Perspective on Learning
and Innovation, Administrative Science Quarterly, Vol. 35, No. 1
Colombo, M. G., & Murtinu, S. 2016. Venture capital investments in Europe and portfolio firms'
economic performance: Independent versus corporate investors. Journal of
Economics & Management Strategy. http://dx.doi.org/10.111/jems.12170.

Coulthard, Max. 2007. The Role Of Entrepreneurial Orientation On Firm Performance and The
Potential Influence of Relational Dynamism, Journal of Global Business and
Technology; 3, 1; ABI/INFORM Complete, pg. 29

Courtney, H., Kirkland, J., and Viguerie, P. 1997. Strategy under uncertainty, Harvard
business review, 75 (6), 67-79

Covin, J.G., and Slevin, D. P. 1988. The influence of organization structure on the utility of an
entrepreneurial top management style. Journal of Management Studies, 25, pp. 217-
234.

Covin, J. G., & Slevin, D. P., 1989. Strategic management of small firms in hostile and benign
environments. Strategic Management Journal, 10 (1), 75–
87.doi:10.1002/smj.4250100107

--------, 1991. A Conceptual Model of Entrepreneurship as Firm behavior. Entrepreneurship


Theory and Practice Journals, Vol. 16 (1) : pp. 7-24.

--------, J.G., Green, K.K., Slevin, D.P. 2006. Strategic Process Effects on the Entrepreneurial
Orientation-Sales Growth Rate Relationship, Entrepreneurship Theory and Practice.

David Di Zhang, 2009. Absorptive capability and its mediating effect on the learning and
market orientations’ influences on performance, International Journal Technology
Marketing, Vol. 4, Nos. 2/3

Davidsson, Per and Wiklund, Johan, 2001. Levels of Analysis in Entrepreneurship Research:
Current Research Practice and Suggestions for the Future, Entrepreneurship Theory
& Practice 25(4):pp. 81-100.

Day, G.S. 1994. The capabilities of market-driven organizations. Journal of Marketing, 58(4),
37–52.

Day, G. S. 2011. Closing the marketing capabilities gap. Journal of Marketing, 75 (October),
183–195.

Deshpande, Rohit and Grinstein, Amir. 2013. Achievement motivation, strategic orientations
and business performance in entrepreneurial firms How different are Japanese and
American founders? International Marketing Review Vol. 30 No. 3, pp. 231-252

Deshpande, R., J.U. Farley and F.E. Webster. 1993. “Corporate Culture, Customer
Orientation, and Innovativeness in Japanese Firms: A Quadrad Analysis.” Journal of
Marketing 57: pp. 23–37.

Deshpande, R. And Farley, J.U., 1999.” Measuring Market Orientation: Generalization and
Synthesis”, Journal of Market Focused Management, 2, 213-232

Dess, G., Lumpkin, G.T., and Taylor M.L., 2003, Strategic Management: Creating Competitive
Advantage, McGraw Hill.

Diamantopoulos, A., & Hart, S. 1993. Linking market orientation and performance: preliminary
evidence on Kohli and Jaworski’s framework. Journal of Strategic Marketing, 1,
Diamantopoulos, Adamantios and John W. Cadogan, 1996. Internationalizing the market
orientation construction: an in-depth interview approach. Journal of Strategic
Marketing, 4 (1), 23-52.

Dimitratos, Lioukas, and Carter, 2004. The relationshipbetween entrepreneurship and


international performance: the importanceof domestic environment, International
Business Review 13, 19–41

Dracnic Dasa, 2014. Impact of internal and external factors on the performance of fast-growing
small and meduim businesses, Journal of Contemporer Management Issues Vol.19
119-159

Drucker, Peter F. 1994. Innovation and Entrepreneurship, Practice and Principles. Jakarta
Gelora Aksara. Erlangga.

Duncan, M. E. 2000. The Internet Diffusion Into Small Business: Market Orientation,
Identifiable Application, and Moderators od Siccessful Applications. Dissertation,
University of Oregon.

Dushnitsky, G., & Lenox, M. J. 2005. When do firms undertake R&D by investing in new
ventures? Strategic Management Journal, 26(10), 947–965.

Dutta, Gupta, and Chen, 2016. A Tale of Three Strategic Orientations: A Moderated-Mediation
Framework of the Impact of Entrepreneurial Orientation, Market Orientation, and
Learning Orientation on Firm Performance, Journal of Enterprising Culture Vol. 24, No.
3, 313–348

Edmiston Kelly, 2007. The Role of Small and Large Businesses in Economic
Development, SSRN Electronic Journal

Eggers, F., Kraus, S. and Hughes, M. 2013. “Implications of customer and entrepreneurial
orientation for SME growth”, Management Decision, Vol. 51 No. 3, pp. 524-546.

Elbanna, Said., and Alhwarai, Muhamed. 2012. The Influence of Environmental Uncertainty
and Hostily on Organization Performance, UAEU-FBE-Working Paper Series.

Ellis, P. D. 2006. Market Orientation and performance: A meta-analysis and Cross-National


Comparison, Journal of Management Studies, July, 1089-1107.

Fabrizio Kira R. 2009. Absorptive capacity and the search for innovation, Research Policy, 38
pp. 255-267

Faiz, GM., Ahmed, Al-Swidi, 2015. The Mediating Effect of Market Orientation on the
Relationship between Entrepreneurial Orientation Dimensions and Organizational
Performance: A Study on Banks in Libya, Games Review December, Volume 1, 2, pp
40-51

Ferdinand, A. 2002. Structural Equation Modeling Dalam Penelitian Manajemen: Aplikasi


Model-Model Rumit Dalam Penelitian untuk Tesis Magister and Disertasi Doktor, Edisi
2, Semarang: BP Undip.

----------, 2005. Structural Equation Modelling dalam Penelitian Manajemen”. Seri


Pustaka Kunci No.06 Program Magister Manajemen Universitas Diponegoro
----------, 2014. Structural Equation Modelling dalam Penelitian Manajemen”. Aplikasi
model-model rumit dalam penelitian untuk Skripsi, Tesis, and Disertasi Doktor Edisi
5, BP. Undip Press.

Feurer, Rainer., Chaharbaghi, Kazem. 1996. Competitive environments, dynamic strategy


development capabilities and business performance, Benchmarking for Quality
Management & Technology, Vol. 3 No. 3, 1996, pp. 32-49.

Flatten, T. Adams, D. and Brettel, M. 2014. Fostering Absorptive Capacity Through


Leadership: A Cross-Cultural Analysis, Journal of World Business, 703. p. 16

Flor, Cooper, and Oltra, 2017. External knowledge search, absorptive capacity and radical
innovation in high-technology firms, European Management Journal, xxx 1e12,
http://dx.doi.org/10.1016/j.emj.2017.08.003

França Alexandra and Rua Orlando Lima, 2017.Contributions of Absorptive Capabilities to


Export Performance, Periodica Polytechnica Social and Management Sciences, 25(2),
pp. 150-157,

França Alexandra and Rua Orlando Lima, 2018. Relationship between intangible resources,
absorptive capacities and export performance, Tourism & Management Studies, 14(1),
94-107 DOI: 10.18089/tms.2018.14108

Frank, Hermann, Alexander Kessler and Matthias Fink. 2010. Entrepreneurial Orientation and
Busiess Performance – A Replication Study. Entrepreneurial Orientation. SBR 62:
175 – 198.

Freeman, S., & Tamer Cavusgil, S. 2007. Toward a typology of commitment states among
managers of born-global firms: A study of accelerated internationalization. Journal of
International Marketing, 15(4), 1–40.

Frösén Johanna, MattiJaakkola, Iya Churakova, and Henrikki Tikkanen, 2015. Effective forms
of market orientation across the business cycle: A longitudinal analysis of business-to-
business firms, Industrial Marketing Management

Gaganis, C., Pasiouras, F., Voulgari, F., 2018. Culture, business environment and SMEs'
profitability: Evidence from European Countries, Economic Modelling, doi: https://
doi.org/10.1016/j.econmod.2018.09.023.

Galloway, T.L., Miller, D.R., Sahaym, A., and Arthurs, J.D. 2016. Exploring the innovation
strategies of young firms: Corporate venture capital and venture capital impact on
alliance innovation strategy, Journal of Business Research

Gao, G., Zhou, K. and Yim, C. 2007. “On what should firms focus in transitional economies?
A study of the contingent value of strategic orientations in China”, International Journal
of Research in Marketing, Vol. 24 No. 1, pp. 3-15.

García-Antonio Navarro, Gaitán-Jorge Arenas-F., and Cataluña Javier Rondán. 2014.


External environment and the moderating role of export market orientation, Journal of
Business Research 67, 740–745

Gartner, W.B. 1985. A conceptual framework for describing the phenomenon of new venture
creation. Academy Management Journal.
George, Wood Jr and Khan, 2001. Networking strategy of boards: implications for small and
medium-sized enterprises, Entrepreneurship & Regional Development: An
International Journal, 13:3, 269-285, DOI: 10.1080/08985620110058115

Gerbing DW, Anderson JC. 1988. An updated paradigm for scale development incorporating
unidimensionality and its assessment. J Mark Res; 25:186-92.

Grbac, B. & Martin, J. (eds.). 2001. Developing Market Based Resource Strategies for South
East Europe. Rijeka: Ekonomski fakultet & Cleveland: Booler School of Business.

Greenley, G. 1995. Market orientation and company performance: Empirical evidence from
UK companies. British Journal of Management, 6, 1–13. doi:10.1111/j.1467-
8551.1995.tb00082.x.CrossRefGoogle Scholar

Griffin, Ricky, W. and Donald J. Elbert. 1996. Business, 4th edition, Prentice Hall, New Jersey

Griffin, Ricky W. 2003. Manajemen, Edisi 7. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Griffin, K. 2003. Economic Globalization and Institutions of Global Governance, Development


and Change, Vol.34 Issue 5 pp. 789-808

Grinstein, Amir. 2008. The relationships between market orientation and alternative strategic
orientations A meta-analysis, European Journal of Marketing Vol. 42 No. 1/2, pp. 115-
134

Guo Hong, Wanli Li, Yuxiang Zhong, 2018. Political Involvement and Firm Performance-
Chinese Setting and Cross-Country Evidence, Journal of International Financial
Markets, Institutions & Money, doi: https://doi.org/10.1016/j.intfin.2018.12.006

Hair, JF., Hult, GTM., Ringel, CM., and Sarstedt M., 2014. A Primer on Partial Least Squares
Structural Equation Modeling (PLS-SEM), Sage Publications, inc.

Hair, J.F., Black, W.C., Babin, B.J., and Anderson, R.E.,. 2014. Multivariate Data Analisys, seventh
Edition, Pearson Education Limited.

Hair, J.F., A. Rolp., Tatham E., Ronald L., and Black William C. 1998. Multivariate Data
Analysis, Fifth Edition, New York: Prentice-Hall International Inc.

Hambrick, D. C., 1983. Some Tests of the Effectiveness and Functional Attributes of Miles
and Snow´s Strategic Types. Academy of Management Journal, 26 (1), 5-26.

Hamel, G. and A. Heene, 1994. Competence-based Competition, Chichester: John Willey &
Sons.

Hamel, G., and Prahalad, C.K., 1994. Competing for the Future, Boston: Harvard Business
School Press.

Han JK, Kim N, Srivastava RK., 1998. Market orientation and organizational performance is
innovation a missing link. Journal of Marketing; 62 (4): 30-45.

Harris, Lloyd C., and Piercy, Nigel F., 1999, Management behavior and barriers to market
orientation in retailing companies, The Journal of Services Marketing, vol. 13 no. 2
1999, pp. 113-131, 0887-6045
Harris, L.C., 2001. Market orientation and performance: subjective and objective empirical
evidence from UK companies. Journal Management Studies 38 (1), 17–44.

Harris, L.C and Ogbonna, E., 2001, Strategic Human Resource Management, Market
Orientation and Organizational Performance, Journal of Business Research, Vol. 51,
No. 2, pp. 157-166

Heirman Ans and Clarysse Bart, 2004. How and Why do Research-Based Start-Ups Differ at
Founding? A Resource-Based Configurational Perspective, Journal of Technology
Transfer, 29, 247–268

Hidayat, Rahmad, 2009. Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Strategi Bisnis and Kinerja
Industri, Jurnal Ilmiah Semesta Teknika, Vol. 12 No. 1 10-20.

Hidayat, R., Ahmad, S., and Mu’alim. 2015. Effects of Environmental Factors on Corporate
Strategy and Performance in Indonesia, Journal of Industrial Engineering and
Management, 763-782

Hill C.W.L., and Jones G. R., 2012. Essential of Strategic Management, 3rd edition, South-
Western Cengage Learning

Hitt M.A., Ireland R.D., and Hoskisson R.E., 2009. Strategic Management: Concept and Case,
South-Western Cengage Learning

Hoe, Siu Loon. 2008., Benefiting from Customer and Competitor Knowledge. Journal of
Learning Organization, Vol. 15, No. 3, pp. 240-250.

Homburg and Pfesser, 2000, A Multiple-Layer Model of Market-Oriented Organizational


Culture: Measurement Issues and Performance Outcomes, Journal of Marketing
Research,Vol. XXXVII, 449-462

Hughes, M., and Morgan, R.E., 2007. Deconstructing the Relationship Between
Entrepreneurial Orientation ad Business Performance at the Embryonic Stage of Firm
Growth, Industrial Marketing Management, 36 pp. 651-661

Hult GT, Ketchen Jr DJ., 2001. Does market orientation matter?: a test of the relationship
between positional advantage and performance. Strategic Management Journal;
22(9):899 –906.

Hurley, R.F. and Hult, T.M., 1998. “Innovation, market orientation, and organizational learning:
an integration and empirical examination”, Journal of Marketing, Vol. 62, pp. 42-54.

Im, Subin and Workman Jr, John, P., 2004, Market Orientation, Creativity, and New Product
Performance In High Technology Firms, Journal of Marketing, Vol. 68, April, pp. 114-
132

Jauch L.R, and Glueck W. F., 1998. Business Policy and Strategic Management, McGraw Hill, New
York.

Jaworski, B. J., & Kohli, A. K., 1993. Market oientation: Antecedents and consequences.
Journal of Marketing, 57(July), 53–70. doi:10.2307/1251854.CrossRefGoogle Scholar
---------, 1996. Market orientation: Review, refinement, and roadmap. Journal of Market-
Focused Management, 1(2), 119–135. doi:10.1007/BF00128686.CrossRefGoogle
Scholar

Jogaratnam Giri, 2017. How organizational culture influences market orientation and business
performance in the restaurant industry, Journal of Hospitality and Tourism
Management 31, 211e219

Jose´ C. Casillas, Ana M. Moreno, Jose´ L. Barbero, 2011. Entrepreneurial orientation of


family firms: Family and environmental dimensions, Journal of Family Business
Strategy 2, 90–100

Kale, P., Singh, H., 2007. Building firm capabilities through learning: The role of the alliance
learning process in alliance capability and firm-level alliance success. Strategic
Management Journal, 28(10), 981–1000.

Kara Ali, Spillan John E., and Oscar W. DeShields, Jr., 2005. The Effect of a Market
Orientation on Business Performance: A Study of Small-Sized Service Retailers Using
MARKOR Scale, Journal of Small Business Management, 43(2), pp. 105–118

Kedia, B.L., Bhagat, R.S., 1988. Cultural constraints on transfer of technology across nations:
Implications for research in international and comparative advantage. Acad. Manag.
Rev. 13, 559–571

Khodaei, Scholten, Wubben and Omta, 2016. Entrepreneurial orientation and opportunity
recognition: The mediating role of absorptive capacity, Academy of Management
Proceedings Vol., No. 1

Kirca, A. H., Jayachandran S., Bearden, W., 2005. Market Orientation: a Meta-Analytic Review
and Assessment of Its Antecedents and Impact on Performance. Journal of Marketing,
April, 24-41

Kohli, A.K., and Jaworski, B.J., 1990. The Construct, Research Proposition, and Managerial
Implications, Journal of Marketing, Vol. 54, No. 2 pp. 1-18

Kokzal, M. H. & Ozgul, E., 2007. The relationship between marketing strategies and
performance in an economic crisis. Marketing Intelligence & Planning, 25 (4), 326-342.

Kotabe Masaaki, Jiang XC., Murray Y.J., 2011. Managerial ties, knowledge acquisition,
realized absorptive capacity and new product market performance of emerging
multinational companies: A case of China, Journal of World Business, 46 (2011) 166–
176

Kotler, Philips and Gary Armstrong, 2004. Principles of Marketing, Ninth Edition (Alih Bahasa
Bambang Sarwiji), Prentice Hall, Inc, New Jersey

---------, 2005. Manajemen Pemasaran, edisi kesebelas, Jilid I, Indeks Jakarta

---------, 2007. Manajemen Pemasaran, Prenhallindo, Jakarta

Kreiser, P.M., Davis, J., 2012. Entrepreneurial Orientation and Firm Performance: The Unique
Impact of Innovativeness, Proactiveness, and Risk-Taking, Journal of Small Business
and Entrepreneurship, 23: 1, 39-51
Kreiser, Marino, Kuratko, and Weaver, 2013. Disaggregating entrepreneurial orientation: the
non-linear impact of innovativeness, proactiveness and risk-taking on SME
performance, Small Business Economics, 40:273–291, DOI 10.1007/s11187-012-
9460-x

Kuada John and Buatsi Seth N., 2005. Market Orientation and Management Practices in
Ghanaian Firms: Revisiting the Jaworski and Kohli Framework, Journal of International
Marketing , Vol. 13, No. 1 (2005), pp. 58-88

Kumar, Subramanian, and Yauger, 1998. Examining the Market Orientation-Performance


Relationship: a Context-Spesific Study, Journal of Management, Vol. 24, No. 2, 201-
233

Kwon, Yung-Chul and Hu, Michael Y., 2000. Market orientation among small Korean
Exporters, International Business Review 9 (2000) 61–75

Lane, PJ., and Lubatkin M., 1998. Relative Absorptive Capacity and Interorganizational
Learning, Strategic Management Journal, Vol. 19 461-477

Lane J., Salk E., and Lyles MA., 2001. Absorptive Capacity, Learning, and Performance in
International Joint Ventures, Strategic Management Journal, Vol. 22, No. 12 (Dec.,
2001), pp. 1139-1161

Lane Peter J., Koka Balaji R. and Pathak Seemantini, 2006. The Reification of Absorptive
Capacity: A Critical Review and Rejuvenation of the Construct, The Academy of
Management Review, Vol. 31, No. 4, pp. 833-863

Langerak, F., 2003. The effect of market orientation on positional advantage and
organizational performance. Journal of Strategic Marketing, 11(June), 93–115.
doi:10.1080/0965254032000102957.CrossRefGoogle Scholar

Lau, Chung Ming and Bruton, Garry D., 2011. Strategic orientations and strategies of high
technology ventures in two transition economies, Journal of World Business 46, 371-
380

Laukkanen, T., Nagy, G., Hirvonen, S., Reijonen, H. and Pasanen, M., 2013. “The effect of
strategic orientations on business performance in SMEs: a multigroup analysis
comparing Hungary and Finland”, International Marketing Review, Vol. 30 No. 6, pp.
510-535.

Lechner Christian and Gudmundsson SV., 2012. Entrepreneurial orientation, firm strategy and
small firm performance, International Small Business Journal, DOI:
10.1177/0266242612455034

Ledwith Ann and O’Dwyer Michele, 2009. Market Orientation, NPD Performance, and
Organizational Performance in Small Firms, Journal Production Innovation
Management, 26:652–661

Lee, Choonwoo, Kyungmook Lee, and Johannes M. Pennings., 2001. Internal Capabilities,
External Networks, and Performance: A Study on Technology Based Ventures,
Strategic Management Journal 22, 615-640.

Lee D Y and Tsang E W K., 2001. The Effect of Entrepreneurial Personality, Background and
Network Activities on Venture Growth, Journal of Management Studies 38-4 pp 583-602.

Lee, jangwoo., & Andny Miller., 1996. Strategy, Environment and Performance in two
technological Contexs: Contingency theory in Korea. Organizations Studies, 17/5, pp.
729-750

Lee Yong-Ki, Soon-Ho Kim, Min-Kyo Seo, S.Kyle Hight, 2015. Market orientation and business
performance: from Evidence franchising industry, International Journal of Hospitality
Management, 44, 28–37

Lee Yong-Ki, Kim Soon-Ho, Seo Min-Kyo, Hight S. Kyle, 2015. Market orientation and
business performance: Evidencefrom franchising industry, International Journal of
Hospitality Management 44. 28–37

Lewandowska, Ward, S., A., 2008. Is the marketing concept always necessary? The
effectiveness of customer, competitor and societal strategies in business environment
types. European Journal of Marketing, 42(1/2),222-237.

Li, H., Atuahene-Gima, K., 2001. Product innovation strategy and the performance of new
technology ventures in China. Academy of Management Journal 44 (6), 1123-1134.

Li, L., Jiang, F., Pei, Y., and Jiang, N., 2017. Entrepreneurial orientation and strategic alliance
success: the contingency role ofrelational factors, Journal of Business Research, 72,
45-46

Lin, Rogoff, Foo, and Liu, 2015. The effect of entrepreneurial context on the performance of
new ventures, Chinese Management Studies, Vol. 9 Iss 2 pp. 197 220

Lin Tsui-Jung, Hai-Yen Chang, Hui-Fun Yu, Ching-Pao Kao, 2018. The impact of political
connections and business groups on cash holdings: Evidence from Chinese listed
firms. Global finance, doi:10.1016/j.gfj.2018.10.001

Littunen, H., Storhammar, E., Nenonen, T., 1998. The survival of firms over the critical first 3
years and the local environment. Entrep. Reg. Dev. 10 (3), 189–202.

Littunen, Hannu, 2000. Entreprenuership and Characteristies of The Entreprenuership Personality:


International Journal of Entreprenuerial Behaviour and Research, Vol. 6. No. 6, 2000, pp. 295-
309.

Liu Haijian, Jing Yu Yang, and Darline Augustine, 2017. Political Ties and Firm Performance:
The Effects of Proself and Prosocial Engagement and Institutional Development,
Global Strategy Journal.

Longenecker JG., Moore CW., & Petty JW., 2001. Kewirausahaan, Manajemen Usaha Kecil,
Salemba Empat Jakarta.

Lonial Subhash C. and Carter Robert E., 2015. The Impact of Organizational Orientations on
Medium and Small Firm Performance: A Resource-Based Perspective, Journal of
Small Business Management, 53(1), pp. 94–113

Luft, Joan and Shields Michael D., 2003. Mapping management accounting: graphics and
guidelines for theory-consistent empirical research, Accounting, Organizations and
Society 28. 169–249
Lumpkin G..T and G.regory G.. Dess, 1996. Clarifying the Entrepreneurial Orientation
Construct and Linking It to Performance. Academy of Management Review, Vol. 21(1),
pp. 135-172.

--------------, 2001. Linking two dimensions of entrepreneurial orientation to firm performance: the
moderating role of environment and industry life cycle, Journal Business Venturing, 16, 429-
451

Maholtra, Naresh K., 2002. Marketing Research. Second Edition. Australia: Prentice Hall.

-----------, Naresh K., 2006. Riset Pemasaran Pendekatan Terapan, Indeks Jakarta

Martin Silvia, L. Rajshekhar, Jalvagi, G., 2015. Entrepreneurial orientation, marketing


capabilities and performance: The Moderating role of Competitive Intensity on Latin
American International New Ventures, Journal of Business Research

Mason R.B., 2007. The External Environment’s Effect on Management and Strategy: a
Complexity Theory Approach, Management Decision, Vol. 45 Iss 1 pp. 10-28

Mason, Floreani, Miani, Roberto, Beltrame, and Cappelletto, 2015. Understanding The Impact
of Entrepreneurial Orientation on Smes’ Performance. The Role of The Financing
Structure, Procedia Economics and Finance, 23 1649 – 1661

Masovic Azemina, 2018. Socio-Cultural Factors And Their Impact on The Performance of
Multinational Companies, Ecoforum [Volume 7, Issue 1(14), 2018]

Massa, S. and Testa, S., 2008. “Innovation and SMEs: misaligned perspectives and goals
among entrepreneurs, academics, and policy makers”, Technovation, Vol. 28 No. 7,
pp. 393-407.

Matear, S., Osborne, P., Garrett, T. and Gray, B., 2002. “How does market orientation
contribute to service firm performance? An examination of alternative mechanisms”,
European Journal of Marketing, Vol. 36 Nos 9/10, pp. 1058-75.

Matsuno K., John T. Mentzer and Aysegul Ozsomer, 2002. The Effects of Entrepreneurial
Proclivity and Market Orientation on Business Performance. Journal of Marketing, Vol.
66 No. 3; pp. 18-32.

McLarty Roy, 1998. Case study: evidence of a strategic marketing paradigm in a growing SME
Journal of Marketing Practice: Applied Marketing Science, Vol. 4 No. 4, 1998, pp. 105-
117. © MCB University Press, 1355-2538

Mendez, JLF, Newell Sue, Mesa AF, and Alegre J., 2015. Depth and breadth of external
knowledge search and performance: The mediating role of Absorptive Capacity,
Industrial Marketing Management, 47, 86-97.

Mendez, JLF, Mesa AF, and Alegre J., 2016. Technovation,

Menguc Bulent, 1996. The influence of the market orientation of the firm on sales force
behavior and attitudes: Further empirical results, International Journal of Research in
Marketing, 13 277-291

Menguc, B., and Auh, S., 2008. The asymmetric moderating role of market orientation on the
ambidexterity–firm performance relationship for prospectors and defenders. Industrial
Marketing Management 37, 455–470.
Menon A, and Varadarajan PR., 1992. A model of marketing knowledge use within firms.
Journal of Marketing; 56(4):53 – 71.

Meyer, J. P., Allen, N. J., & Smith, C. A., 1993. Commitment to organizations and occupations:
Extension and test of a three-component conceptualization. Journal of Applied
Psychology, 78(4), 538–551. doi:10.1037/0021-9010.78.4.538

Migliori, Pittino, Consorti, and Lucianetti, 2017. The Relationship between Entrepreneurial
Orientation, Market Orientation and Performance in University Spin-Offs, International
Entrepreneur Management Journal, https://doi.org/10.1007/s11365-017-0488-x

Miles MP, and Arnold DR., 1991. The relationship between marketing orientation and
entrepreneurial orientation. Entrepreneur Theory Practice;15(4):49 – 65.

Miller, D. and Friesen, P. H., 1983. Strategy-making and environment: The third link. Strategic
Management Journal, 4, 221-235.

Milovanovic, B.M., and Wittine Z., 2014. Analysis of External Environment’s Moderating Role
on the Entrepreneurial Orientation and Business Performance Relationship among
Italian Small Enterprises, International Journal of Trade, Economics and Finance, Vol.
5, No. 3

Milovanovic, Primorac, and Kozina, 2016. Two-Dimensional Analysis Of The Influence Of


Strategic Networking On Entrepreneurial Orientation And Business Performance
Among Smes, Tehnicki vjesnik 23, 1. 247-255

Minbaeva, D., Pedersen, T., Björkman, I., Fey, C.F., Park, H.J., 2003. MNC knowledge
transfer, subsidiary absorptive capacity, and HRM. J. Int. Bus. Stud. 34, 586–599.

Morris MH, Paul GW., 1987. The relationship between entrepreneurship and marketing in
established firms. Jounal Business Venturing, 2 (3): 247 – 59.

Murovec, N., Proand, I., 2009. Absorptive capacity, its determinants, and influence on
innovation output: cross-cultural validation of the structural model. Technovation, 29,
859–872.

Naman, John L and Dennis P. Slevin, 1993. Entrepreneurship and The Concept of Fit : A
Model and Empirical Tests. Strategic Management Journal. Vol. 14 No. 2, pp. 137-
153

Nandakumar M.K., Abby Ghobadian Nicholas O'Regan, 2010. "Business-level strategy and
performance", Management Decision, Vol. 48 Iss 6 pp. 907 - 939

Narver, J.C. and Slater S.F. 1990. The Effect of Market Orientation On Business Profitability,
Journal of Marketing, 54 (October), pp 20-25

_____, 1994. Does Competitive Environment Moderate the Market Orientation Performance
Relationship. Journal of Marketing, 58 (January), pp. 46-55

Nunnally, J. C., & Bernstein, I. 1994. Psychometric theory, 3 ed. New York: McGrawHill
Olson D.E., 2000. The Role of Entrepreneurial Personality Characteristic on Entry Decisions in a
Simulated Market, USASBE/SBIDA, pp1-13

O’Regan, N., Ghobadian, A. and Gallear, D., 2006. “In search of the drivers of high growth in
manufacturing SMEs”, Technovation, Vol. 26 No. 30, pp. 30-41.

Park, H. D., & Steensma, H. K., 2013. The selection and nurturing effects of corporate
investors on new venture innovativeness. Strategic Entrepreneurship Journal, 7(4),
311–330.

Parnell, J.A., 2013. Uncertainty, Generic Strategy, Strategic Clarity, and Performance of Retail
SMEs in Peru, Argentina, and United States, Journal of Small Business Management,
51 (2) pp. 215-234.

Paul J. Davis, 2012. The global training deficit: the scarcity of formal and informal professional
development opportunities for women entrepreneurs, Industrial and Commercial
Training, Vol. 44 Iss 1 pp. 19 - 25

Pearce J, Robbins D, Robinson R., 1987. The impact of grand strategy and planning formality
on financial performance. Strategic Management Journal; 8: 125– 34.

Pearce, II, J.A. & Robinson, Jr., R.B., 2003. Strategic management: formulation,
implementation and control. Boston: Richard D. Irwin.

--------, Strategic Management Formulation, Implementation, and Control, 10th ed. McGraw-Hill.

Pelham, A. M., 1995. A longitudinal Study of the Impact of Market Structure, Firm
Structure, Strategy and Market Orientation Culture on Dimensions of Small-Firm
Performance. Journal of Academy of Marketing Science, 24 (1), 27-43.

--------, 1999. Influence of Environment, Strategy, and Market Orientation on Performance in


Small Manufacturing Firms, journal of Business research, Vol. 45, pp33-46.

--------, 2000. Market orientation and other potential influences on performance in small and
medium-sized manufacturing Firms Journal of Small Business Management, 38, 1;
ProQuest pg. 48

Perlines, García and Araque, 2017. Family firm performance: The influence of entrepreneurial
orientation and absorptive capacity, Psychology Marketing, 34:1057–1068.

Pihlajamaa Matti, Kaipia Riikka, Säilä Julius, Tanskanen Kari, 2017. Can supplier innovations
substitute for internal R & D? A multiple case study from an absorptive capacity
perspective, Journal of Purchasing and Supply Management,
http://dx.doi.org/10.1016/j.pursup.

Pitt, L, Caruana and Berton, P., 1996. Market Orientation and Business Perfomance: Some
European Evidence. International Marketing Review. 13 10.pp.5-8

Podsakoff Philip M., Scott B. McKenzie, and Nathan P. Podsakoff, 2012. Sources of method
bias in social science research and recommendations on how to control it, Annual
Reviews Psychology doi:10.1146/annurev-psych-120710-100452

Porter, M.E., 1990. Competitive Strategy. The Free Press. New York,p.20
--------, 1998. Competitive Advantage, Creating and Sustaining Superior Performance, With a
New Introduction, New York: The Free Press.

Prahalad, C.K. and G. Hamel, 1989. Strategic Intent, Harvard Business Review, May-June,
pp. 63-76., 1990. The Core Competence of the Corporation, Harvard Business Review,
June, pp. 79-91.

Prajogo, D.I., 2016. The Strategic Fit Between Innovation Strategies and Business
Environment in Delivering Business Performance, Int. J. Production Economics, 171

Preacher, K and AF Hayes, 2004. “SPSS and Procedures for Estimating Indirect Effects in
Simple Mediation Models”. Behavior Research Method

Qu, Riliang and Zhang Zelin, 2015. Market orientation and business performance in MNC
foreign subsidiaries-Moderating effects of integration and responsiveness, Journal of
Business Research, 68 (2015) 919–924

Rahomee, Aljanabi, Noor, and Kumar, 2014. The Mediating Role of Absorptive Capacity in Its
Effect on Organizational Support Factors and Technological Innovation, Information
Management and Business Review Vol. 6, No. 1, pp. 25-41, (ISSN 2220-3796)

Ramaseshan B., Caruana A., Pang L.S., 2002. The effect of market orientation on new product
performance: a study among Singaporean firms, Journal of Product & Brand
Management, Vol. 11 Iss 6 pp. 399 – 409

Rangus Kaja and Alenka Slavec, 2017. The interplay of decentralization, employee
involvement and absorptive capacity on firms' innovation and business performance,
Technological Forecasting & Social Change

Rauch A., wiklund J., 2004. Entrepreneurial Orientation and Business Performance: an
Assessment of Past Research and Suggestions for the Future, Entrepreneurship
theory and practice, in press, blackwell publishing.

Rauch A., Wiklund J., Lumpkin G.T., Frese M., 2009. Entrepreneurial Orientation and
Business Performance: an Assessment of Past Research and Suggestion for the
Future, Entrepreneurship Theory and Practice,

Richardson, H.A., Simmering, M.J., & Sturman, M.C., 2009. A tale of three perspectives:
Examining post-hoc statistical techniques for detection and correction of common
method variance. Organizational Research Methods, 12, 762–800.

Rocha, Erick A.G., 2012. The Impact of the Business Environment on the size of the Micro,
Small and Medium Enterprise Sector; Preliminary Findings from a Cross-Country
Comparison, Procedia Economic and Finance 4, 335 – 349

Ruekert Robert W., 1992. Developing a market orientation: An organizational strategy


perspective International, Journal of Research in Marketing, 9, 225-245 North-Holland

Runyan, Rodney C., Patricia Huddleston, and Jane Swinney, 2006. Entrepreneurial
Orientation and Social Capital as Small Firm Strategies: A Study of Gender
Differences from a Resource-Based View, International Entrepreneurship and
Management Journal 2, 455-477
Ruzgar S., Kocak and Ruzgar B., 2014. The Mediating Effect of Market Orientation on the
Relationship between Entrepreneurial Orientation and Performance, Recent Advances
in Financial Planning and Product Development,
https://www.researchgate.net/publication/270822288

Saeed Najafi-Tavani, Zhaleh Najafi-Tavani, Peter Naudé, Pejvak Oghazi, Elham Zeynaloo,
2017. How collaborative innovation networks affect new product performance: Product
innovation capability, process innovation capability, and absorptive Capacity, Industrial
Marketing Management

Salim Ubud, 2011. Manajemen keuangan strategik panduan memperbaiki kinerja keuangan
and profit, Gaya kualitatif didukung kuantitatif, UB Press, Malang

Salyoya, S., Petrovicova., Nedelova, and Dado, 2015. Effect of Marketing Orientation on
Business Performance: A Study from Slovak Foodstuff Industry, Business Economics
and Management 2015 Conference, BEM2015, Procedia Economics and Finance 34.
622 – 629

Sapienza, Harry J. and Curtis M. Grimm, 1997. Founder Characteristics, Start-Up Process,
and Strategy/Structure Variables as Predictors of Shortline Railroad Performance,
Entrepreneurship Theory and Practice 22, 5-24.

Scarborough, N.M. and Zimmerer, T.W., 1993. Effective Small Business Management, New
York:Mc Millan.

Scaringella Laurent and Burtschell François, 2015. The challenges of radical innovation in
Iran: Knowledge transfer and absorptive capacity highlights – Evidence from a joint
venture in the construction sector, Technological Forecasting and Social Change,
(2015), http://dx.doi.org/10.1016/j.techfore.2015.09.013

Schindehutte, M., Michael H, Morris and Akin Kocak, 2008. Understanding Market-Diving
Behaviour : The Role of Entrepreneurship. Journal of Small Business Management,
Vol. 46 (1), pp. 4-26.

Schumpeter, J. A., 1934. The Theory of Economic Development. Cambridge, Mass ; Harvard
University Press.

Sebora T.C., Tower C.B., and Hartman E.A., 1994. Information Sources and Their
Relationship to Organizational Innovation in Small Business, Journal of Small Business
Management, Vol.

Sekaran Uma, 2010. Research Methods for Business, A-Skill Building Approach, John Willey
& Sons Ltd.

Selnes, F., Jaworski, B.J., Kohli, A.K., 1996. Market orientation in United States and
Scandinavian companies: a cross-cultural study. Scandinavian Journal of
Management 12 (2), 139–157

Shehu Aliyu, Aminu Ahmed and Haladu Utai, 2015. Entrepreneurial and Market Orientation
Relationship to Performance: The Role of Business Environment, European Journal of
Business and Management, ISSN 2222-1905 (Paper) ISSN 2222-2839 (Online) Vol.7,
No.26

Simarro-David Martinez, Devece Carlos, Albert-Carlos Llopis, 2015. How information systems
strategy moderates the relationship between business strategy and performance
Journal of Business Research 68, 1592–1594

Siu W.S., and Kirby D.A., 1998. Approaches to Small Firm Marketing: A Critique, European
Journal of Marketing, Vol. 32 Issue: 1-2 pp. 40-60

Škare Marinko, and Tea Hasic, 2015. Corporate Governance, Firm Performance, and
Economic Growth – Theoretical Analysis, Journal of Business Economics and
Management ISSN 1611-1699 / eISSN 2029-4433 2016 Volume 17(1): 35–51,
doi:10.3846/16111699.2015.1071278

Slater, S.F. and Jhon C. Narver, 1994. Does Competitive Environment Moderate the Market
Orientation Performance Relationship? Journal of Marketing, Vol.60, pp. 15-32.

--------, 1995. Market orientation and the learning organization, Journal of Marketing, Vol. 59
No. 3, pp. 63-74.

--------, 1998. Customer-Led and Market-Oriented: Let’s Not Confuse the Two, Strategic
Management Journal, Vol. 19, No. 10

Slater, S. F., & Narver, J. C., 2000. The positive effect of a market orientation on business
profitability: A balanced replication. Journal of Business Research, 48, 69–73.
doi:10.1016/S0148-2963(98)00077-0.CrossRefGoogle Scholar

Slater, Stanley F. Hult, G. Tomas M., Olson, Eric M., 2010. Factors influencing the relative
importance of marketing strategy creativity and marketing strategy implementation
effectiveness, Industrial Marketing Management 39. 551–559

Smircich, L., and Stubbart C., 1985, Strategic Management in an Enacted World, Academy of
Management Review, Vol. 10 Issue 4, p.724

Singarimbun, Masri and S. Effendi, 1995. Metode Penelitian Survey. Second Printing. Jakarta:
Pustaka LP3ES.

Srivastavaa, Rajendra K. Faheyb Liam, Christensenc H. Kurt, 2001. The resource-based view
and marketing: The role of market-based assets in gaining competitive advantage,
Journal of Management 27, 777–802

Stam,W., & Elfring,T., 2008. Entrepreneurial orientation and new venture performance: The
moderating role of intra and extra-indsutry social capital. Academy of Management
Journal, 51(1), 97–111.

Stanley Kam, Sing Wong, and Canon Tong, 2012. The influence of market orientation on new
product success, European Journal of Innovation Management, Vol. 15 Iss 1 pp. 99 –
121

Stel André van, Martin Carree, Roy Thurik, 2005. The effect of entrepreneurial activity on
national economic growth, Scientific Analysis of Entrepreneurship and SMEs,
SCALES-paper N200419

Sugiyono, 2002. Metode Penelitian Administrasi, CV. Alfabeta, Bandung


Suryana, 2009. Kewirausahaan, Pedoman Praktis: Kiat and Proses Menuju Sukses, Salemba
Empat Jakarta

Szulanski, Gabriel, 1996. Exploring Internal Stickiness: Impediments To The Transfer Of Best
Practice Within The Firm, Strategic Management Journal, Vol. 17 pp. 27-43
Szymanski, David M;Bharadwaj, Sundar G;Varadarajan, P Rajan, 1993. Standardization
versus adaptation of international marketing strategy: An empirical investigation,
Journal of Marketing; 57, 4; ProQuest pg. 1

Tang J., Tang Z., Marino LD., Zhang Y., and Li Q., 2008. Exploring an Inverted U-Shape
Relationship between Entrepreneurial Orientation and Performance in Chinese
Ventures, Entrepreneurship Theory And Practice, 1042-2587

Tavani Saeed Najafi, Zhaleh Najafi-Tavani, Peter Naudé, Pejvak Oghazi, Elham Zeynaloo,
2017. How collaborative innovation networks affect new product performance: Product
innovation capability, process innovation capability, and absorptive Capacity, Industrial
Marketing Management

Teng Lefa, And Huang, Yigang Pan, 2017. The Performance of MNE Subsidiaries in China:
Does It Matter to Be Close to the Political or Business Hub?, Journal of International
Management xxx (2017) xxx–xxx

Todorova, G., and Durisin, B., 2007. Absorptive Capacity: Valuing a Reconceptualization,
Academy of Management Review, Vol. 32, No. 3, 774-786.

Tsai Wenpin, 2001. Knowledge Transfer in Intraorganizational Networks: Effects of Network


Position and Absorptive Capacity on Business Unit Innovation and Performance,
Academy of Management Journal, Vol. 44, No. 5, pp. 996-1004

Ukko Juhani, Mina Nasiri, Minna Saunila, and Tero Rantala, 2019. Sustainability strategy as
a moderator in the relationship between digital business strategy and financial
performance, Journal of Cleaner Production 236 - 117626

Van de Vrande, V., & Vanhaverbeke, W., 2013. How prior corporate venture capital
investments shape technological alliances: A real options approach. Entrepreneurship
Theory and Practice, 37(5), 1019–1043.

Varadarajan, Rajan, 2009. Strategic marketing and marketing strategy: domain, definition,
fundamental issues and foundational premises, Academy of Marketing Science,
38:119–140

Varadarajan, R., Yadaf, M.S., and Shankar, V., 2008. First-Mover Advantage in an Internet-
Enabled Market Environment: Conceptual Framework and Proposition, Jounal of the
Academic Marketing Science, 36: 293-308

Vázquez, Santos and Álvarez, 2001. Market orientation, innovation and Competitive strategies
in industrial firms, Journal of strategic marketing 9 69–90

Venkatraman, N., 1989. Strategic orientation of business enterprises: The construct,


dimensionality, and measurement. Management Science, 35, 942–962.
doi:10.1287/mnsc.35.8.942.CrossRefGoogle Scholar

Voss, G.B., and Voss, Z.G., 2000. Strategic Orientation and Firm Performance in an Artistic
Environment, Journal of Marketing, Vol. 64 pp. 67-83
Wadhwa, A., Phelps, C., & Kotha, S., 2016. Corporate venture capital portfolios and firm
innovation. Journal of Business Venturing, 31(1), 95–112.

Wang Catherine L. and Altinay Levent, 2012. Social embeddedness, entrepreneurial


orientation and firm growth in ethnic minority small businesses in the UK, International
Small Business Journal, 30: 3 DOI: 10.1177/0266242610366060

Wheelen T.L., and Hunger J.D., 2012. Strategic Management and Business Policy, Pearson
Education inc., Publishing as Prantice Hall

Wiklund J., 1999. The Sustainability of the Entrepreneurial Orientation Performance Relationship,
Entrepreneurship Theory and Practice, Baylor University.

Wiklund, J., and Shepherd, D., 2005. Entrepreneurial Orientation and Small Business
Performance: a Configurational Approach, Journal of Business Venturing, 20 pp. 71-
91

Wilburn Kathleen M., and H. Ralph Wilburn, 2018. The Impact of Technology on Business and
Society, Global Journal of Business Research, Vol. 12, No. 1, pp. 23-39

Wood V, Bhuian S, Kiecker P., 2000. Market orientation and organizational performance in
not-for-profit hospitals. J Bus Res; 48:213– 26.

Xie Wenjing, Keji Liu, Fei Xie and Haoyuan Ding, 2017. Political ties and firm performance in
China: evidence from a quantile regression, Journal of East Asian Studies 17 (2017),
331–341, doi:10.1017/jea.2017.12

Yayla Serdar, Sengun Yeniyurt, Can Uslay, Erin Cavusgil, 2018. International Business
Review

Yoo, T., & Sung, T., 2015. Howoutside directors facilitate corporate R&D investment?
Evidence from large Korean firms. Journal of Business Research, 68(6), 1251–1260.

Zahra S., 1991. Predictors and financial outcomes of corporate entrepreneurship: an


exploratory study. J Bus Venturing; 6:259 –85.

Zahra, S.A., Covin, J.G., 1995. Contextual Influences on the Corporate Entrepreneurship
Performance Relationship: a Longitudinal Analysis, Journal of Business Venturing, 10,
43-58

Zahra SA, Nielsen AP, Bogner WC., 1999. Corporate entrepreneurship, knowledge, and
competence development, Entrepreneur Theory Practice; 23 (3): 169– 89.

Zahra, S.A., George, G., 2002. Absorptive capacity: a review, and extension. Acad. Manag.
Proc. 27 (2), 185–203.

Zebal, Mostaque Ahmed, 2003 .A Synthesis Model of Market Orientation For A Developing
Country-The Case of Bangladesh. Thesis Victoria University of Technology
Melbourne, Australia.

Zhang Y., and Zhang X., 2012. The Effect of Entrepreneurial Orientation on Business
Performance: a Role of Network Capabilities in China, Journal of Chinese
Entrepreneurship, Vol. 4 Iss. 2 pp. 132-142
Zhang, H., Shu, C., Jiang, X., & Malter, A. J., 2010. Managing knowledge for innovation: The
role of cooperation, competition, and alliance nationality. Journal of International
Marketing, 18(4), 74–94.

Zhou KZ., Li JJ., and Zhou N., 2004. Employee's Perceptions of Market Orientation in a
Transitional Economy, Journal of Global Marketing, 17:4, 5-22, DOI:
10.1300/J042v17n04_02

Zhou KZ., Yim KC, and Tse DK., 2005. The Effects of Strategic Orientations on Technology-
and Market-Based Breakthrough Innovations, Journal of Marketing, Vol. 69 (April
2005), 42–60

Zimmerer, W. Thomas, Norman M. Scarborough, 1996. Entrepreneurship and The New


Venture Formation. New Jersey : Prentice Hall - International Inc.

Zimmerer TW., Scarborough NM., and Wilson Doug., 2008. Kewirausahaan and Manajemen
Usaha Kecil, Salemba Empat Jakarta.
1 KUESIONER DISERTASI
Program Doktor Ilmu Manajemen (PDIM)
Universitas Brawijaya Malang 2017

A. Profilling Responden

1. Nama :
2. Jenis Kelamin :
3. Umur :
4. Alamat :
5. No. HP :
6. Alamat e-mail :

B. Pendidikan

1. SD
2. SMP
3. SMA
4. SARJANA (S-1)
5. PASCASARJANA (S-2 & S-3)

C. Identitas Usaha

Nama Usaha :
Lama Beroperasi :
Status Usaha

Dirintis dari awal

Warisan keluarga

Beli dari pihak lain

Jumlah Tenaga Kerja :


Produk Utama :
Nilai Aset yang dimiliki :
2 KUESIONER DISERTASI
Program Doktor Ilmu Manajemen (PDIM)
Universitas Brawijaya Malang 2017

PETUNJUK PENGISIAN ANGKET

Isilah pada kotak pilihan jawaban angka 1 sampai 7 pada kotak yang tersedia dengan memberi
tanda (X) berdasarkan persepsi Bapak/Ibu. Angka tersebut merupakan alternatif pilihan jawaban
dengan berbagaikriteria tingkat persetujuan, dengan penjelasan sebagai berikut :

1 = sangat tidak setuju


2 = mendekati sangat tidak setuju
3 = tidak setuju
4 = netral
5 = setuju
6 = mendekati sangat setuju
7 = sangat setuju

Semakin mengarah ke angka yang lebih besar berarti Bapak/Ibu sangat setuju terhadap pernyataan
tersebut, demikian pula sebaliknya apabila mengarah ke angka yang lebih kecil berarti Bapak/Ibu
sangat tidak setuju.

ORIENTASI WIRAUSAHA (ENTREPRENEUR ORIENTATION)

No Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7
I. Autonomy
1. Kami mampu mengelola bisnis secara mandiri
Kami berpegang pada prinsip dalam
2.
mengoperasikan bisnis
3. Kami mampu membuat kebijakan dalam bisnis

II. Innovativeness
4. Kami mampu menghasilkan ide-ide baru
5. Kami mampu mengembangkan produk baru
6. Kami mampu mengembangkan bisnis

III. Risk-Taking
7. Kami mampu mengambil keputusan
8. Kami mampu mengelola risiko
3 KUESIONER DISERTASI
Program Doktor Ilmu Manajemen (PDIM)
Universitas Brawijaya Malang 2017

No Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7
IV. Proactiveness
Kami mampu mengantisipasi kondisi pasar yang
9.
berubah

V. Competitive Agressiveness
10. Kami mampu bersaing dengan produk lainnya
11. Kami mampu melihat peta persaingan
12. Kami mampu melakukan kemajuan

ORIENTASI PASAR (MARKET ORIENTATION)

No Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7
VI. Orientasi Pelanggan
Kami mampu mencari informasi keinginan
13.
pelanggan
Kami mampu membuat informasi pelanggan
14.
kedalam rencana pemasaran

VII. Orientasi Pesaing


15. Kami mampu melihat posisi pesaing
16. Kami mampu lebih baik dari pesaing
17. Kami mampu memantau perkembangan pesaing

VIII. Koordinasi Lintas Fungsi


Kami mampu bekerjasama antar bagian dengan
18.
baik
19. Kami saling membantu diantara fungsi yang ada
4 KUESIONER DISERTASI
Program Doktor Ilmu Manajemen (PDIM)
Universitas Brawijaya Malang 2017

KAPASITAS PENYERAPAN (ABSORPTIVE CAPACITY)

No Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7
IX. Eksplorasi
Kami mampu mengidentifikasi pengetahuan
20.
dari luar perusahaan
21. Kami mampu menemukan sesuatu yang baru

X. Transformasi
Kami mampu memadukan potensi yang kami
22.
miliki dengan peluang yang kami dapatkan
Kami mampu memanfaatkan pengetahuan yang
23.
kami dapat dari luar untuk tujuan perusahaan

XI. Eksploitasi
Kami mampu memanfaatkan pengetahuan baru
24.
tersebut sebagai peluang komersil

LINGKUNGAN EKSTERNAL BISNIS (EXTERNAL ENVIRONMENT)

No Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7
XII. Kondisi Ekonomi
Kami mampu menyesuaikan dengan kondisi
25.
ekonomi yang berkembang
Kami mampu memanfaatkan peluang bisnis
36.
dalam kondisi ekonomi yang dinamis

XIII. Kemajuan Teknologi


Kami mampu mengadopsi perkembangan
27.
teknologi
5 KUESIONER DISERTASI
Program Doktor Ilmu Manajemen (PDIM)
Universitas Brawijaya Malang 2017

No Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7
XIV. Kondisi Politik/Hukum
Kami mampu menyesuaikan dengan
28.
perkembangan politik/hukum dalam bisnis
Kami mampu mengikuti kebijakan
29.
politik/hukum dalam bisnis

XV. Kondisi Sosial/Budaya


Kami mampu menyesuaikan tradisi masyarakat
30.
sebagai peluang bisnis

KINERJA BISNIS (BUSINESS PERFORMANCE)

No Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7
XVI. Profitabilitas
31. Kami mampu meningkatkan laba perusahaan
Kami mampu meningkatkan margin
32.
keuntungan
Kami mmapu mencapai pengembalian modal
33.
(ROI)

XVII. Respon Pasar


Kami mampu meningkatkan jumlah permintaan
34.
konsumen
35. Kami mampu meningkatkan volume penjualan
36. Kami mampu mencapai pertumbuhan penjualan
37. Kami mampu meningkatkan pangsa pasar
6 KUESIONER DISERTASI
Program Doktor Ilmu Manajemen (PDIM)
Universitas Brawijaya Malang 2017

No Pernyataan 1 2 3 4 5 6 7
XVIII. Nilai Posisi Pasar
Kami mampu meningkatkan persepsi konsumen
38.
pada produk kami
39. Produk kami lebih baik dari pesaing
Kami mampu meningkatkan reputasi
40.
perusahaan/produk
41. Kami mampu menciptakan kepuasan konsumen
42. Kami mampu meningkatkan citra perusahaan

XIX. Kesuksesan Produk Baru


Kami mampu menciptakan produk yang
43.
diterima oleh pasar
44. Kami sukses mengembangkan produk baru
45. Produk kami lebih unggul di pasar

Terima kasih atas partisipasi Bapak/Ibu dalam mengisi angket ini, semoga kesuksesan selalu
tercipta pada pribadi kita, dan semoga Allah SWT. Meridhoi jerih payah kita. Aamiin......
Lampiran 1.
OUTER MODEL

R Square

R Square R Square Adjusted


AC 0.798 0.791
KB 0.791 0.750
MO 0.901 0.897

f Square

Moderating
AC EO KB LEB MO
Effect 1
AC 0.052
EO 3.951 0.111 9.051
KB
LEB 0.039
MO 0.038
Moderating
0.012
Effect 1

Construct Reliability and Validity

Cronbach's Composite Average Variance


rho_A
Alpha Reliability Extracted (AVE)
AC 0.846 0.858 0.896 0.683
EO 0.931 0.943 0.944 0.654
KB 0.925 0.926 0.935 0.507
LEB 0.951 0.962 0.962 0.810
MO 0.903 0.915 0.925 0.640
Moderating
1.000 1.000 1.000 1.000
Effect 1

Discriminant Validity
Fornell-Larcker Criterion

Moderating
AC EO KB LEB MO
Effect 1
AC 0.826
EO 0.893 0.809
KB 0.843 0.854 0.712
LEB 0.904 0.880 0.855 0.900
MO 0.880 0.949 0.779 0.790 0.800
Moderating
-0.456 -0.377 -0.411 -0.583 -0.259 1.000
Effect 1
Cross Loadings
Moderating
AC EO KB LEB MO
Effect 1
EO * LEB -0.456 -0.377 -0.411 -0.583 -0.259 1.000
ac1 0.862 0.863 0.813 0.774 0.884 -0.339
ac2 0.810 0.653 0.556 0.726 0.624 -0.328
ac3 0.848 0.702 0.758 0.825 0.638 -0.585
ac4 0.783 0.708 0.620 0.657 0.732 -0.246
eo1 0.630 0.737 0.588 0.526 0.730 -0.121
eo2 0.857 0.924 0.794 0.790 0.912 -0.193
eo3 0.798 0.827 0.830 0.967 0.704 -0.556
eo4 0.605 0.654 0.501 0.530 0.622 -0.122
eo5 0.528 0.717 0.611 0.470 0.692 -0.110
eo6 0.766 0.895 0.670 0.798 0.868 -0.440
eo7 0.857 0.917 0.799 0.778 0.902 -0.218
eo8 0.602 0.653 0.696 0.640 0.547 -0.432
eo9 0.776 0.891 0.678 0.807 0.855 -0.505
kb1 0.549 0.667 0.779 0.545 0.577 -0.268
kb10 0.642 0.583 0.657 0.622 0.550 -0.346
kb11 0.546 0.573 0.725 0.545 0.536 -0.172
kb12 0.604 0.587 0.755 0.631 0.522 -0.269
kb13 0.577 0.609 0.672 0.571 0.555 -0.360
kb14 0.666 0.723 0.768 0.688 0.684 -0.323
kb2 0.506 0.601 0.670 0.432 0.603 -0.198
kb3 0.510 0.576 0.727 0.597 0.451 -0.343
kb4 0.663 0.562 0.753 0.718 0.482 -0.551
kb5 0.749 0.706 0.721 0.636 0.745 -0.124
kb6 0.570 0.524 0.635 0.515 0.469 -0.197
kb7 0.596 0.571 0.659 0.664 0.509 -0.327
kb8 0.602 0.603 0.762 0.681 0.498 -0.231
kb9 0.578 0.602 0.668 0.618 0.561 -0.362
leb1 0.810 0.653 0.556 0.726 0.624 -0.328
leb2 0.848 0.702 0.758 0.825 0.638 -0.585
leb3 0.798 0.827 0.830 0.967 0.704 -0.556
leb4 0.831 0.865 0.796 0.940 0.801 -0.538
leb5 0.825 0.821 0.835 0.978 0.706 -0.559
leb6 0.803 0.869 0.801 0.937 0.793 -0.546
mo1 0.611 0.624 0.488 0.442 0.800 -0.002
mo2 0.609 0.653 0.492 0.454 0.815 0.036
mo3 0.677 0.679 0.553 0.647 0.762 -0.184
mo4 0.849 0.928 0.793 0.775 0.912 -0.187
mo5 0.655 0.635 0.738 0.622 0.591 -0.473
mo6 0.685 0.788 0.526 0.569 0.817 -0.070
mo7 0.762 0.895 0.670 0.791 0.862 -0.458
Outer Loadings

Moderating
AC EO KB LEB MO
Effect 1
EO * LEB 1.032
ac1 0.862
ac2 0.810
ac3 0.848
ac4 0.783
eo1 0.737
eo2 0.924
eo3 0.827
eo4 0.654
eo5 0.717
eo6 0.895
eo7 0.917
eo8 0.653
eo9 0.891
kb1 0.779
kb10 0.657
kb11 0.725
kb12 0.755
kb13 0.672
kb14 0.768
kb2 0.670
kb3 0.727
kb4 0.753
kb5 0.721
kb6 0.635
kb7 0.659
kb8 0.762
kb9 0.668
leb1 0.726
leb2 0.825
leb3 0.967
leb4 0.940
leb5 0.978
leb6 0.937
mo1 0.800
mo2 0.815
mo3 0.762
mo4 0.912
mo5 0.591
mo6 0.817
mo7 0.862
Outer Weights

Moderating
AC EO KB LEB MO
Effect 1
EO * LEB 1.000
ac1 0.357
ac2 0.258
ac3 0.310
ac4 0.283
eo1 0.123
eo2 0.162
eo3 0.146
eo4 0.109
eo5 0.116
eo6 0.146
eo7 0.161
eo8 0.116
eo9 0.146
kb1 0.101
kb10 0.101
kb11 0.092
kb12 0.101
kb13 0.098
kb14 0.114
kb2 0.084
kb3 0.097
kb4 0.107
kb5 0.111
kb6 0.090
kb7 0.101
kb8 0.106
kb9 0.099
leb1 0.134
leb2 0.183
leb3 0.200
leb4 0.192
leb5 0.201
leb6 0.193
mo1 0.147
mo2 0.152
mo3 0.163
mo4 0.227
mo5 0.178
mo6 0.175
mo7 0.208
Lampiran 2.
INNER MODEL FIT

R Square

R Square
R Square
Adjusted
Kapasitas Penyerapan 0.055 0.051
Kinerja Bisnis 0.394 0.382
Orientasi Pasar 0.618 0.616

f Square

Lingkungan
Kapasitas Kinerja Moderating Orientasi Orientasi
Eksternal
Penyerapan Bisnis Effect 1 Kewirausahaan Pasar
Bisnis
Kapasitas Penyerapan 0.005
Kinerja Bisnis
Lingkungan Eksternal
0.106
Bisnis
Moderating Effect 1 0.004
Orientasi
0.058 0.013 1.615
Kewirausahaan
Orientasi Pasar 0.019
Construct Reliability and Validity

Average Variance
Cronbach's Alpha rho_A Composite Reliability
Extracted (AVE)
Kapasitas Penyerapan 0.796 0.835 0.869 0.690
Kinerja Bisnis 0.856 0.863 0.893 0.582
Lingkungan Eksternal Bisnis 0.795 0.813 0.879 0.709
Moderating Effect 1 1.000 1.000 1.000 1.000
Orientasi Kewirausahaan 0.835 0.838 0.890 0.670
Orientasi Pasar 0.826 0.829 0.884 0.657

Discriminant Validity
Fornell-Larcker Criterion

Kapasitas Lingkungan Moderating Orientasi


Kinerja Bisnis Orientasi Pasar
Penyerapan Eksternal Bisnis Effect 1 Kewirausahaan
Kapasitas Penyerapan 0.830
Kinerja Bisnis 0.083 0.763
Lingkungan Eksternal Bisnis 0.227 0.590 0.842
Moderating Effect 1 -0.318 -0.284 -0.522 1.000
Orientasi Kewirausahaan 0.234 0.537 0.712 -0.490 0.819
Orientasi Pasar 0.194 0.545 0.704 -0.446 0.786 0.810
Cross Loadings

Lingkungan
Kapasitas Kinerja Moderating Orientasi
Eksternal Orientasi Pasar
Penyerapan Bisnis Effect 1 Kewirausahaan
Bisnis
Orientasi Kewirausahaan *
-0.318 -0.284 -0.522 1.000 -0.490 -0.446
Lingkungan Eksternal Bisnis
ac1 0.853 0.078 0.226 -0.259 0.230 0.190
ac2 0.780 0.007 0.090 -0.173 0.077 0.075
ac3 0.857 0.082 0.188 -0.311 0.202 0.164
eo6 0.190 0.440 0.619 -0.458 0.833 0.637
eo7 0.247 0.483 0.603 -0.382 0.863 0.663
eo8 0.120 0.449 0.533 -0.378 0.777 0.583
eo9 0.201 0.385 0.574 -0.387 0.800 0.686
kb1 0.086 0.750 0.415 -0.148 0.337 0.403
kb10 0.143 0.808 0.478 -0.237 0.423 0.406
kb6 0.047 0.825 0.543 -0.253 0.479 0.486
kb7 -0.032 0.725 0.441 -0.191 0.437 0.427
kb8 0.027 0.709 0.385 -0.272 0.380 0.391
kb9 0.118 0.755 0.415 -0.192 0.379 0.364
leb3 0.122 0.402 0.787 -0.339 0.431 0.438
leb5 0.187 0.531 0.820 -0.476 0.680 0.655
leb6 0.249 0.540 0.914 -0.483 0.653 0.653
mo1 0.239 0.446 0.603 -0.400 0.640 0.814
mo5 0.149 0.446 0.569 -0.358 0.619 0.797
mo6 0.048 0.440 0.473 -0.226 0.560 0.777
mo7 0.182 0.437 0.626 -0.444 0.718 0.851
Heterotrait-Monotrait Ratio (HTMT)

Lingkungan
Kapasitas Kinerja Moderating Orientasi
Eksternal Orientasi Pasar
Penyerapan Bisnis Effect 1 Kewirausahaan
Bisnis
Kapasitas Penyerapan
Kinerja Bisnis 0.109
Lingkungan Eksternal Bisnis 0.243 0.701
Moderating Effect 1 0.329 0.306 0.577
Orientasi Kewirausahaan 0.244 0.630 0.857 0.537
Orientasi Pasar 0.207 0.645 0.850 0.485 0.942

Inner VIF Values

Lingkungan
Kapasitas Kinerja Moderating Orientasi
Eksternal Orientasi Pasar
Penyerapan Bisnis Effect 1 Kewirausahaan
Bisnis
Kapasitas Penyerapan 1.123
Kinerja Bisnis
Lingkungan Eksternal Bisnis 2.449
Moderating Effect 1 1.507
Orientasi Kewirausahaan 1.000 3.090 1.000
Orientasi Pasar 2.941
Model_Fit
Fit Summary

Saturated Model Estimated Model


SRMR 0.078 0.081
d_ULS 1.271 1.373
d_G 0.812 0.842
Chi-Square 984.445 1,000.769
NFI 0.681 0.675

Path Coefficients

Kapasitas Lingkungan Moderating Orientasi


Kinerja Bisnis Orientasi Pasar
Penyerapan Eksternal Bisnis Effect 1 Kewirausahaan
Kapasitas Penyerapan -0.059
Kinerja Bisnis
Lingkungan Eksternal Bisnis 0.397
Moderating Effect 1 0.058
Orientasi Kewirausahaan 0.234 0.154 0.786
Orientasi Pasar 0.183
Indirect Effects
Total Indirect Effects

Lingkungan
Kapasitas Moderating Orientasi Orientasi
Kinerja Bisnis Eksternal
Penyerapan Effect 1 Kewirausahaan Pasar
Bisnis
Kapasitas Penyerapan
Kinerja Bisnis
Lingkungan Eksternal Bisnis
Moderating Effect 1
Orientasi Kewirausahaan 0.130
Orientasi Pasar

Specific Indirect Effects

Specific Indirect
Effects
Orientasi Kewirausahaan -> Kapasitas Penyerapan -> Kinerja
-0.014
Bisnis
Orientasi Kewirausahaan -> Orientasi Pasar -> Kinerja Bisnis 0.144

Total Effects
Lingkungan
Kapasitas Kinerja Moderating Orientasi Orientasi
Eksternal
Penyerapan Bisnis Effect 1 Kewirausahaan Pasar
Bisnis
Kapasitas Penyerapan -0.059
Kinerja Bisnis
Lingkungan Eksternal Bisnis 0.397
Moderating Effect 1 0.058
Orientasi Kewirausahaan 0.234 0.284 0.786
Orientasi Pasar 0.183
Outer Loadings

Lingkungan
Kapasitas Kinerja Moderating Orientasi
Eksternal Orientasi Pasar
Penyerapan Bisnis Effect 1 Kewirausahaan
Bisnis
Orientasi Kewirausahaan *
1.066
Lingkungan Eksternal Bisnis
ac1 0.853
ac2 0.780
ac3 0.857
eo6 0.833
eo7 0.863
eo8 0.777
eo9 0.800
kb1 0.750
kb10 0.808
kb6 0.825
kb7 0.725
kb8 0.709
kb9 0.755
leb3 0.787
leb5 0.820
leb6 0.914
mo1 0.814
mo5 0.797
mo6 0.777
mo7 0.851
Outer Weights

Lingkungan
Kapasitas Kinerja Moderating Orientasi
Eksternal Orientasi Pasar
Penyerapan Bisnis Effect 1 Kewirausahaan
Bisnis
Orientasi Kewirausahaan *
1.000
Lingkungan Eksternal Bisnis
ac1 0.538
ac2 0.165
ac3 0.482
eo6 0.304
eo7 0.326
eo8 0.283
eo9 0.308
kb1 0.199
kb10 0.224
kb6 0.263
kb7 0.227
kb8 0.197
kb9 0.197
leb3 0.323
leb5 0.426
leb6 0.433
mo1 0.311
mo5 0.304
mo6 0.283
mo7 0.334
Lampiran 3.
INNER MODEL

Path Coefficients
Mean, STDEV, T-Values, P-Values

Standard
Original Sample T Statistics
Deviation P Values
Sample (O) Mean (M) (|O/STDEV|)
(STDEV)
Kapasitas Penyerapan -> Kinerja Bisnis -0.059 -0.054 0.056 1.061 0.289
Lingkungan Eksternal Bisnis -> Kinerja Bisnis 0.397 0.398 0.074 5.335 0.000
Moderating Effect 1 -> Kinerja Bisnis 0.058 0.061 0.059 0.970 0.333
Orientasi Kewirausahaan -> Kapasitas Penyerapan 0.234 0.245 0.073 3.202 0.001
Orientasi Kewirausahaan -> Kinerja Bisnis 0.154 0.155 0.090 1.722 0.086
Orientasi Kewirausahaan -> Orientasi Pasar 0.786 0.790 0.024 32.770 0.000
Orientasi Pasar -> Kinerja Bisnis 0.183 0.183 0.084 2.183 0.030

Confidence Intervals

Original Sample
2.5% 97.5%
Sample (O) Mean (M)
Kapasitas Penyerapan -> Kinerja Bisnis -0.059 -0.054 -0.156 0.058
Lingkungan Eksternal Bisnis -> Kinerja Bisnis 0.397 0.398 0.249 0.539
Moderating Effect 1 -> Kinerja Bisnis 0.058 0.061 -0.052 0.181
Orientasi Kewirausahaan -> Kapasitas Penyerapan 0.234 0.245 0.131 0.363
Orientasi Kewirausahaan -> Kinerja Bisnis 0.154 0.155 -0.025 0.331
Orientasi Kewirausahaan -> Orientasi Pasar 0.786 0.790 0.741 0.832
Orientasi Pasar -> Kinerja Bisnis 0.183 0.183 0.019 0.356
Confidence Intervals Bias Corrected

Original Sample
Bias 2.5% 97.5%
Sample (O) Mean (M)
Kapasitas Penyerapan -> Kinerja Bisnis -0.059 -0.054 0.006 -0.160 0.046
Lingkungan Eksternal Bisnis -> Kinerja Bisnis 0.397 0.398 0.001 0.239 0.534
Moderating Effect 1 -> Kinerja Bisnis 0.058 0.061 0.004 -0.062 0.169
Orientasi Kewirausahaan -> Kapasitas
0.234 0.245 0.011 -0.117 0.332
Penyerapan
Orientasi Kewirausahaan -> Kinerja Bisnis 0.154 0.155 0.001 -0.029 0.323
Orientasi Kewirausahaan -> Orientasi Pasar 0.786 0.790 0.004 0.728 0.824
Orientasi Pasar -> Kinerja Bisnis 0.183 0.183 0.000 0.019 0.357

Total Indirect Effects


Mean, STDEV, T-Values, P-Values

Standard
Original Sample T Statistics
Deviation P Values
Sample (O) Mean (M) (|O/STDEV|)
(STDEV)
Kapasitas Penyerapan -> Kinerja Bisnis
Lingkungan Eksternal Bisnis -> Kinerja Bisnis
Moderating Effect 1 -> Kinerja Bisnis
Orientasi Kewirausahaan -> Kapasitas
Penyerapan
Orientasi Kewirausahaan -> Kinerja Bisnis 0.130 0.131 0.065 1.983 0.048
Orientasi Kewirausahaan -> Orientasi Pasar
Orientasi Pasar -> Kinerja Bisnis
Confidence Intervals

Original Sample
2.5% 97.5%
Sample (O) Mean (M)
Kapasitas Penyerapan -> Kinerja Bisnis
Lingkungan Eksternal Bisnis -> Kinerja Bisnis
Moderating Effect 1 -> Kinerja Bisnis
Orientasi Kewirausahaan -> Kapasitas
Penyerapan
Orientasi Kewirausahaan -> Kinerja Bisnis 0.130 0.131 0.006 0.265
Orientasi Kewirausahaan -> Orientasi Pasar
Orientasi Pasar -> Kinerja Bisnis

Confidence Intervals Bias Corrected

Original Sample
Bias 2.5% 97.5%
Sample (O) Mean (M)
Kapasitas Penyerapan -> Kinerja Bisnis
Lingkungan Eksternal Bisnis -> Kinerja Bisnis
Moderating Effect 1 -> Kinerja Bisnis
Orientasi Kewirausahaan -> Kapasitas
Penyerapan
Orientasi Kewirausahaan -> Kinerja Bisnis 0.130 0.131 0.001 0.006 0.261
Orientasi Kewirausahaan -> Orientasi Pasar
Orientasi Pasar -> Kinerja Bisnis
Specific Indirect Effects
Mean, STDEV, T-Values, P-Values

Standard
Original Sample T Statistics
Deviation P Values
Sample (O) Mean (M) (|O/STDEV|)
(STDEV)
Orientasi Kewirausahaan -> Kapasitas Penyerapan
-0.014 -0.013 0.015 0.954 0.341
-> Kinerja Bisnis
Orientasi Kewirausahaan -> Orientasi Pasar ->
0.144 0.144 0.067 2.161 0.031
Kinerja Bisnis

Confidence Intervals

Original Sample
2.5% 97.5%
Sample (O) Mean (M)
Orientasi Kewirausahaan -> Kapasitas Penyerapan
-0.014 -0.013 -0.042 0.014
-> Kinerja Bisnis
Orientasi Kewirausahaan -> Orientasi Pasar ->
0.144 0.144 0.015 0.281
Kinerja Bisnis

Confidence Intervals Bias Corrected

Original Sample
Bias 2.5% 97.5%
Sample (O) Mean (M)
Orientasi Kewirausahaan -> Kapasitas Penyerapan
-0.014 -0.013 0.001 -0.047 0.012
-> Kinerja Bisnis
Orientasi Kewirausahaan -> Orientasi Pasar ->
0.144 0.144 0.001 0.017 0.286
Kinerja Bisnis
Total Effects
Mean, STDEV, T-Values, P-Values

Standard
Original Sample T Statistics
Deviation P Values
Sample (O) Mean (M) (|O/STDEV|)
(STDEV)
Kapasitas Penyerapan -> Kinerja Bisnis -0.059 -0.054 0.056 1.061 0.289
Lingkungan Eksternal Bisnis -> Kinerja Bisnis 0.397 0.398 0.074 5.335 0.000
Moderating Effect 1 -> Kinerja Bisnis 0.058 0.061 0.059 0.970 0.333
Orientasi Kewirausahaan -> Kapasitas Penyerapan 0.234 0.245 0.073 3.202 0.001
Orientasi Kewirausahaan -> Kinerja Bisnis 0.284 0.287 0.077 3.708 0.000
Orientasi Kewirausahaan -> Orientasi Pasar 0.786 0.790 0.024 32.770 0.000
Orientasi Pasar -> Kinerja Bisnis 0.183 0.183 0.084 2.183 0.030

Confidence Intervals

Original Sample
2.5% 97.5%
Sample (O) Mean (M)
Kapasitas Penyerapan -> Kinerja Bisnis -0.059 -0.054 -0.156 0.058
Lingkungan Eksternal Bisnis -> Kinerja Bisnis 0.397 0.398 0.249 0.539
Moderating Effect 1 -> Kinerja Bisnis 0.058 0.061 -0.052 0.181
Orientasi Kewirausahaan -> Kapasitas Penyerapan 0.234 0.245 0.131 0.363
Orientasi Kewirausahaan -> Kinerja Bisnis 0.284 0.287 0.125 0.430
Orientasi Kewirausahaan -> Orientasi Pasar 0.786 0.790 0.741 0.832
Orientasi Pasar -> Kinerja Bisnis 0.183 0.183 0.019 0.356
Confidence Intervals Bias Corrected

Original Sample
Bias 2.5% 97.5%
Sample (O) Mean (M)
Kapasitas Penyerapan -> Kinerja Bisnis -0.059 -0.054 0.006 -0.160 0.046
Lingkungan Eksternal Bisnis -> Kinerja Bisnis 0.397 0.398 0.001 0.239 0.534
Moderating Effect 1 -> Kinerja Bisnis 0.058 0.061 0.004 -0.062 0.169
Orientasi Kewirausahaan -> Kapasitas Penyerapan 0.234 0.245 0.011 -0.117 0.332
Orientasi Kewirausahaan -> Kinerja Bisnis 0.284 0.287 0.002 0.120 0.430
Orientasi Kewirausahaan -> Orientasi Pasar 0.786 0.790 0.004 0.728 0.824
Orientasi Pasar -> Kinerja Bisnis 0.183 0.183 0.000 0.019 0.357
Outer Loadings
Mean, STDEV, T-Values, P-Values

Standard
Original Sample Mean T Statistics
Deviation P Values
Sample (O) (M) (|O/STDEV|)
(STDEV)
Orientasi Kewirausahaan * Lingkungan Eksternal
1.066 1.069 0.078 13.629 0.000
Bisnis <- Moderating Effect 1
ac1 <- Kapasitas Penyerapan 0.853 0.838 0.112 7.611 0.000
ac2 <- Kapasitas Penyerapan 0.780 0.761 0.116 6.733 0.000
ac3 <- Kapasitas Penyerapan 0.857 0.836 0.088 9.722 0.000
eo6 <- Orientasi Kewirausahaan 0.833 0.833 0.022 37.864 0.000
eo7 <- Orientasi Kewirausahaan 0.863 0.864 0.019 44.799 0.000
eo8 <- Orientasi Kewirausahaan 0.777 0.775 0.030 25.880 0.000
eo9 <- Orientasi Kewirausahaan 0.800 0.800 0.027 29.858 0.000
kb1 <- Kinerja Bisnis 0.750 0.752 0.037 20.264 0.000
kb10 <- Kinerja Bisnis 0.808 0.806 0.031 26.098 0.000
kb6 <- Kinerja Bisnis 0.825 0.826 0.021 38.897 0.000
kb7 <- Kinerja Bisnis 0.725 0.722 0.035 20.879 0.000
kb8 <- Kinerja Bisnis 0.709 0.707 0.050 14.197 0.000
kb9 <- Kinerja Bisnis 0.755 0.753 0.040 18.744 0.000
leb3 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.787 0.781 0.047 16.627 0.000
leb5 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.820 0.821 0.029 27.997 0.000
leb6 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.914 0.914 0.012 73.867 0.000
mo1 <- Orientasi Pasar 0.814 0.815 0.026 31.228 0.000
mo5 <- Orientasi Pasar 0.797 0.796 0.025 31.404 0.000
mo6 <- Orientasi Pasar 0.777 0.777 0.032 24.187 0.000
mo7 <- Orientasi Pasar 0.851 0.852 0.018 48.301 0.000
Confidence Intervals

Original Sample Mean


2.5% 97.5%
Sample (O) (M)
Orientasi Kewirausahaan * Lingkungan Eksternal
1.066 1.069 0.928 1.217
Bisnis <- Moderating Effect 1
ac1 <- Kapasitas Penyerapan 0.853 0.838 0.710 0.961
ac2 <- Kapasitas Penyerapan 0.780 0.761 0.485 0.874
ac3 <- Kapasitas Penyerapan 0.857 0.836 0.615 0.920
eo6 <- Orientasi Kewirausahaan 0.833 0.833 0.790 0.871
eo7 <- Orientasi Kewirausahaan 0.863 0.864 0.820 0.896
eo8 <- Orientasi Kewirausahaan 0.777 0.775 0.711 0.830
eo9 <- Orientasi Kewirausahaan 0.800 0.800 0.743 0.848
kb1 <- Kinerja Bisnis 0.750 0.752 0.671 0.815
kb10 <- Kinerja Bisnis 0.808 0.806 0.737 0.858
kb6 <- Kinerja Bisnis 0.825 0.826 0.782 0.863
kb7 <- Kinerja Bisnis 0.725 0.722 0.644 0.782
kb8 <- Kinerja Bisnis 0.709 0.707 0.595 0.793
kb9 <- Kinerja Bisnis 0.755 0.753 0.666 0.826
leb3 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.787 0.781 0.676 0.864
leb5 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.820 0.821 0.753 0.871
leb6 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.914 0.914 0.887 0.936
mo1 <- Orientasi Pasar 0.814 0.815 0.755 0.860
mo5 <- Orientasi Pasar 0.797 0.796 0.743 0.839
mo6 <- Orientasi Pasar 0.777 0.777 0.709 0.834
mo7 <- Orientasi Pasar 0.851 0.852 0.816 0.884
Confidence Intervals Bias Corrected

Original Sample Mean


Bias 2.5% 97.5%
Sample (O) (M)
Orientasi Kewirausahaan * Lingkungan Eksternal
1.066 1.069 0.002 0.928 1.217
Bisnis <- Moderating Effect 1
ac1 <- Kapasitas Penyerapan 0.853 0.838 -0.015 0.731 0.973
ac2 <- Kapasitas Penyerapan 0.780 0.761 -0.019 0.422 0.870
ac3 <- Kapasitas Penyerapan 0.857 0.836 -0.021 0.653 0.925
eo6 <- Orientasi Kewirausahaan 0.833 0.833 0.001 0.787 0.869
eo7 <- Orientasi Kewirausahaan 0.863 0.864 0.001 0.816 0.894
eo8 <- Orientasi Kewirausahaan 0.777 0.775 -0.002 0.711 0.830
eo9 <- Orientasi Kewirausahaan 0.800 0.800 0.001 0.733 0.842
kb1 <- Kinerja Bisnis 0.750 0.752 0.001 0.666 0.811
kb10 <- Kinerja Bisnis 0.808 0.806 -0.002 0.740 0.858
kb6 <- Kinerja Bisnis 0.825 0.826 0.001 0.776 0.859
kb7 <- Kinerja Bisnis 0.725 0.722 -0.003 0.644 0.783
kb8 <- Kinerja Bisnis 0.709 0.707 -0.002 0.591 0.790
kb9 <- Kinerja Bisnis 0.755 0.753 -0.002 0.668 0.827
leb3 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.787 0.781 -0.007 0.695 0.874
leb5 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.820 0.821 0.001 0.741 0.864
leb6 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.914 0.914 0.000 0.886 0.935
mo1 <- Orientasi Pasar 0.814 0.815 0.001 0.752 0.855
mo5 <- Orientasi Pasar 0.797 0.796 -0.001 0.744 0.839
mo6 <- Orientasi Pasar 0.777 0.777 0.000 0.707 0.829
mo7 <- Orientasi Pasar 0.851 0.852 0.001 0.811 0.881
Outer Weights
Mean, STDEV, T-Values, P-Values

Standard
Original Sample T Statistics
Deviation P Values
Sample (O) Mean (M) (|O/STDEV|)
(STDEV)
Orientasi Kewirausahaan * Lingkungan Eksternal
1.000 1.000 0.000
Bisnis <- Moderating Effect 1
ac1 <- Kapasitas Penyerapan 0.538 0.532 0.175 3.071 0.002
ac2 <- Kapasitas Penyerapan 0.165 0.160 0.197 0.837 0.403
ac3 <- Kapasitas Penyerapan 0.482 0.467 0.118 4.097 0.000
eo6 <- Orientasi Kewirausahaan 0.304 0.304 0.016 18.573 0.000
eo7 <- Orientasi Kewirausahaan 0.326 0.326 0.015 22.204 0.000
eo8 <- Orientasi Kewirausahaan 0.283 0.281 0.015 18.597 0.000
eo9 <- Orientasi Kewirausahaan 0.308 0.308 0.016 19.490 0.000
kb1 <- Kinerja Bisnis 0.199 0.201 0.019 10.249 0.000
kb10 <- Kinerja Bisnis 0.224 0.223 0.014 15.659 0.000
kb6 <- Kinerja Bisnis 0.263 0.263 0.018 14.232 0.000
kb7 <- Kinerja Bisnis 0.227 0.225 0.018 12.527 0.000
kb8 <- Kinerja Bisnis 0.197 0.196 0.021 9.452 0.000
kb9 <- Kinerja Bisnis 0.197 0.197 0.016 12.102 0.000
leb3 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.323 0.320 0.029 11.264 0.000
leb5 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.426 0.427 0.027 15.714 0.000
leb6 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.433 0.435 0.023 19.020 0.000
mo1 <- Orientasi Pasar 0.311 0.311 0.016 18.871 0.000
mo5 <- Orientasi Pasar 0.304 0.302 0.016 18.557 0.000
mo6 <- Orientasi Pasar 0.283 0.283 0.017 16.569 0.000
mo7 <- Orientasi Pasar 0.334 0.334 0.014 23.149 0.000
Confidence Intervals

Original Sample
2.5% 97.5%
Sample (O) Mean (M)
Orientasi Kewirausahaan * Lingkungan Eksternal
1.000 1.000 1.000 1.000
Bisnis <- Moderating Effect 1
ac1 <- Kapasitas Penyerapan 0.538 0.532 0.340 0.879
ac2 <- Kapasitas Penyerapan 0.165 0.160 -0.276 0.360
ac3 <- Kapasitas Penyerapan 0.482 0.467 0.243 0.671
eo6 <- Orientasi Kewirausahaan 0.304 0.304 0.272 0.336
eo7 <- Orientasi Kewirausahaan 0.326 0.326 0.298 0.355
eo8 <- Orientasi Kewirausahaan 0.283 0.281 0.249 0.311
eo9 <- Orientasi Kewirausahaan 0.308 0.308 0.282 0.344
kb1 <- Kinerja Bisnis 0.199 0.201 0.164 0.238
kb10 <- Kinerja Bisnis 0.224 0.223 0.193 0.252
kb6 <- Kinerja Bisnis 0.263 0.263 0.232 0.301
kb7 <- Kinerja Bisnis 0.227 0.225 0.192 0.262
kb8 <- Kinerja Bisnis 0.197 0.196 0.151 0.234
kb9 <- Kinerja Bisnis 0.197 0.197 0.167 0.228
leb3 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.323 0.320 0.257 0.375
leb5 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.426 0.427 0.372 0.480
leb6 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.433 0.435 0.393 0.479
mo1 <- Orientasi Pasar 0.311 0.311 0.279 0.343
mo5 <- Orientasi Pasar 0.304 0.302 0.269 0.333
mo6 <- Orientasi Pasar 0.283 0.283 0.249 0.315
mo7 <- Orientasi Pasar 0.334 0.334 0.307 0.362
Confidence Intervals Bias Corrected

Original Sample
Bias 2.5% 97.5%
Sample (O) Mean (M)
Orientasi Kewirausahaan * Lingkungan Eksternal
1.000 1.000 0.000 1.000 1.000
Bisnis <- Moderating Effect 1
ac1 <- Kapasitas Penyerapan 0.538 0.532 -0.006 0.372 0.913
ac2 <- Kapasitas Penyerapan 0.165 0.160 -0.004 -0.447 0.330
ac3 <- Kapasitas Penyerapan 0.482 0.467 -0.015 0.296 0.730
eo6 <- Orientasi Kewirausahaan 0.304 0.304 0.000 0.271 0.336
eo7 <- Orientasi Kewirausahaan 0.326 0.326 0.000 0.297 0.355
eo8 <- Orientasi Kewirausahaan 0.283 0.281 -0.002 0.249 0.311
eo9 <- Orientasi Kewirausahaan 0.308 0.308 0.000 0.285 0.347
kb1 <- Kinerja Bisnis 0.199 0.201 0.001 0.162 0.236
kb10 <- Kinerja Bisnis 0.224 0.223 0.000 0.194 0.252
kb6 <- Kinerja Bisnis 0.263 0.263 0.001 0.232 0.301
kb7 <- Kinerja Bisnis 0.227 0.225 -0.002 0.194 0.267
kb8 <- Kinerja Bisnis 0.197 0.196 -0.001 0.150 0.232
kb9 <- Kinerja Bisnis 0.197 0.197 0.000 0.167 0.228
leb3 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.323 0.320 -0.003 0.264 0.381
leb5 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.426 0.427 0.001 0.371 0.478
leb6 <- Lingkungan Eksternal Bisnis 0.433 0.435 0.002 0.393 0.478
mo1 <- Orientasi Pasar 0.311 0.311 0.001 0.277 0.341
mo5 <- Orientasi Pasar 0.304 0.302 -0.002 0.273 0.334
mo6 <- Orientasi Pasar 0.283 0.283 0.000 0.247 0.312
mo7 <- Orientasi Pasar 0.334 0.334 0.000 0.307 0.362
Lampiran 4.
Lampiran 5.

Final Results
Construct Crossvalidated Redundancy
Total

SSO SSE Q² (=1-SSE/SSO)


Kapasitas Penyerapan 741.000 720.676 0.027
Kinerja Bisnis 1,482.000 1,171.477 0.210
Lingkungan Eksternal Bisnis 741.000 741.000
Moderating Effect 1 247.000 247.000
Orientasi Kewirausahaan 988.000 988.000
Orientasi Pasar 988.000 611.177 0.381

Construct Crossvalidated Communality


Total

SSO SSE Q² (=1-SSE/SSO)


Kapasitas Penyerapan 741.000 479.370 0.353
Kinerja Bisnis 1,482.000 874.451 0.410
Lingkungan Eksternal Bisnis 741.000 444.981 0.399
Moderating Effect 1 247.000 1.000
Orientasi Kewirausahaan 988.000 559.172 0.434
Orientasi Pasar 988.000 576.095 0.417
Indicator Crossvalidated Redundancy
Total

SSO SSE Q² (=1-SSE/SSO)


Orientasi Kewirausahaan *
247.000 247.000
Lingkungan Eksternal Bisnis
ac1 247.000 235.418 0.047
ac2 247.000 247.011 0.000
ac3 247.000 238.247 0.035
eo6 247.000 247.000
eo7 247.000 247.000
eo8 247.000 247.000
eo9 247.000 247.000
kb1 247.000 202.643 0.180
kb10 247.000 191.280 0.226
kb6 247.000 175.020 0.291
kb7 247.000 193.597 0.216
kb8 247.000 206.054 0.166
kb9 247.000 202.884 0.179
leb3 247.000 247.000
leb5 247.000 247.000
leb6 247.000 247.000
mo1 247.000 151.138 0.388
mo5 247.000 157.080 0.364
mo6 247.000 172.952 0.300
mo7 247.000 130.006 0.474
Indicator Crossvalidated Communality
Total

SSO SSE Q² (=1-SSE/SSO)


Orientasi Kewirausahaan *
247.000 1.000
Lingkungan Eksternal Bisnis
ac1 247.000 182.282 0.262
ac2 247.000 131.271 0.469
ac3 247.000 165.817 0.329
eo6 247.000 132.754 0.463
eo7 247.000 122.250 0.505
eo8 247.000 154.693 0.374
eo9 247.000 149.475 0.395
kb1 247.000 147.421 0.403
kb10 247.000 127.806 0.483
kb6 247.000 128.275 0.481
kb7 247.000 162.640 0.342
kb8 247.000 162.820 0.341
kb9 247.000 145.489 0.411
leb3 247.000 159.416 0.355
leb5 247.000 168.526 0.318
leb6 247.000 117.039 0.526
mo1 247.000 143.326 0.420
mo5 247.000 149.248 0.396
mo6 247.000 153.710 0.378
mo7 247.000 129.810 0.474
Contoh Hasil Kerajinan

Anda mungkin juga menyukai