Anda di halaman 1dari 105

BAHASA INDONESIA UNTUK PERGURUAN TINGGI

MODUL

Sebagai bahan acuan dalam mata kuliah Bahasa Indonesia

Disusun oleh:

HUSNI DWI SYAFUTRI, M.Pd.

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI


JAMBI
2018
DAFTAR ISI
BAB I Sejarah Bahasa Indonesia........................................................................1

BAB II Kutipan dan Daftar Pustaka.................................................................10

BAB III Ragam Bahasa Indonesia.....................................................................24

BAB IV Pedoman Umum Bahasa Indonesia dan Pedoman Umum


Pembentukan Istilah............................................................................................30

BAB V Kalimat dalam Bahasa Indonesia..........................................................34

BAB VI Paragraf dalam Bahasa Indonesia.......................................................49

BAB VII Penggunaan Penulisan Bentuk Kalimat Baku dan Tidak Baku.....82

BAB VIII Penulisan Karya Tulis Ilmiah...........................................................86

BAB IX Karangan dalam Bahasa Indonesia.....................................................92

BAB X Membaca Kritis untuk Menulis yang Bersumber dari Jurnal-jurnal


Ilmiah....................................................................................................................97

Daftar Pustaka....................................................................................................102
BAB I
SEJARAH BAHASA INDONESIA

A. Sejarah Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia bersumber dari bahasa Melayu Riau yang merupakan
salah satu rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini sudah dipakai sebagai bahasa
perhubungan (lingua franca), bukan hanya di kepulauan nusantara, melainkan juga
hampir di seluruh Asia Tenggara. Bahasa Melayu mulai digunakan sebagai alat
komunikasi sejak zaman Kerajaan Sriwijaya sekitar pertengahan abad ke-7 yang
dibuktikan dari berbagai prasasti kuno yang ditemukan. Prasasti-prasasti tersebut,
antara lain:
1. Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683.
2. Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684.
3. Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686.
4. Prasasti Karang Brahi, Bangko, Kabupaten Merangin, Jambi, tahun 688, yang
bertulis Pra-Nagari dan bahasanya bahasa Melayu Kuno, memberi petunjuk
kepada kita bahwa bahasa Melayu dalam bentuk bahasa Melayu Kuno sudah
dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.
5. Prasasti Gandasuli di Jawa Tengah, tahun 832. 6. Prasasti Bogor di Bogor,
tahun 942 (Halim dikutip Arifin dan Tasai, 2009:5).
Nama bahasa Indonesia diresmikan pada peristiwa Sumpah Pemuda pada
tanggal 28 Oktober 1928. Naskah putusan kongres pemuda itu berisi tiga butir
kebulatan tekad dan janji untuk bertumpah darah satu, tanah air Indonesia,
berbangsa satu, bangsa Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia. Dengan diikrarkannya Sumpah Pemuda, resmilah bahasa Melayu, yang
sudah dipakai di kerajaan Sriwijaya sejak pertengahan abad VII itu, menjadi
bahasa Indonesia.
Ada empat faktor yang menjadi penyebab bahasa Melayu diangkat
menjadi bahasa Indonesia, yaitu:
1. Bahasa Melayu merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan,
dan bahasa perdagangan.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 1


2. Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam bahasa ini
tidak dikenal tingkatan bahasa, seperti dalam bahasa Jawa (ngoko, kromo)
atau perbedaan bahasa kasar dan halus, seperti dalam bahasa Sunda (kasar,
lemes).
3. Suku Jawa, suku Sunda, dan suku-suku yang lain dengan sukarela menerima
bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional.
4. Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa
kebudayaan dalam arti yang luas.
Rakyat Indonesia menjadi lebih dekat kepada Bahasa Indonesia, karena
bahsa Indonesia adalah alat komunikasi yang utama dan terpenting. Dalam
undang-undang dasar RI 1945 , pasal 36 dinyatakan bahwa “ Bahasa Negara ialah
Bahasa Indonesia”, lengkaplah sudah sejarah perkembangan Bahasa Indonesia
dalam menentukan kedudukannya di tengah-tengah bangsa baru yang menamakan
dirinya Bangsa Indonesia.
Dalam Negara RI yang merdeka itulah Bahasa Indonesia akan terus
dikembangkan karena Bahasa Indonesia adalah Bahasa kebudayaan bagi bangsa
Indonesia dalam arti yang luas. Bahasa Indonesia bukan lagi hanya penghubung
dan Bahasa pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi telah berubah menjadi
bahasayang lebih kaya , yang dapat digunakan sebagai Bahasa ilmiah (Badudu,
1992:6-7).

B. Peristiwa-Peristiwa Penting yang Berkaitan dengan Perkembangan


Bahasa Indonesia.
Awalludin (2017:2-6) menyebutkan bahwa ada beberapa peristiwa penting
yang berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia. Adapun peristiwa
peristiwa itu adalah sebagai berikut:
1. Pada tahun 1901 disusun ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. van
Ophuijsen dan dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2. Pada tahun 1908, pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku bacaan
dengan nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat).
Kemudian, pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka.
3. Pada tanggal 28 Oktober 1928 diikrarkan Sumpah Pemuda.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 2
4. Pada tahun 1933 didirikan sebuah angkatan sastrawan muda dengan nama
Pujangga Baru, yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, dan kawan-
kawan.
5. Pada tanggal 25—28 Juni 1938 dilaksanakan Kongres Bahasa Indonesia I di
Solo. Putusannya adalah pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
telah dilakukan oleh cendekiawan dan budayawan saat itu.
6. Pada tanggal 18 Agustus 1945 ditandatangani UUD 1945. Salah satu
pasalnya (pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
7. Pada tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan
Soewandi).
8. Pada tanggal 28 Oktober—2 November 1954 dilaksanakan Kongres Bahasa
Indonesia II di Medan. Putusannya ialah bangsa Indonesia bertekad untuk
terus menerus menyempurnakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
dan bahasa Negara.
9. Pada tanggal 16 Agustus 1972, Presiden Republik Indonesia meresmikan
penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan melalui pidato
kenegaraan pada siding DPR yang dikuatkan dengan Keputusan Presiden
Nomor 57, Tahun 1972.
10. Pada tanggal 31 Agustus 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
11. Pada tanggal 28 Oktober—2 November 1978 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia III di Jakarta. Putusannya tentang pemantapan kedudukan
dan fungsi bahasa Indonesia.
12. Pada tanggal 21—26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia IV di Jakarta. Putusannya adalah pembinaan dan pengembangan
bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua
warga negara Indonesia untuk meng gunakan bahasa Indonesia dengan baik
dan benar dapat tercapai semaksimal mungkin.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 3


13. Pada tanggal 9 September 1987 dikeluarkan Surat Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 054a/U/1987 tentang Ejaan yang
Disempurnakan.
14. Pada tanggal 28 Oktober—3 November 1988 di selenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini ditandai dengan
dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
kepada pecinta bahasa di nusantara berupa (1) Kamus Besar Bahasa
Indonesia dan (2) Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
15. Pada tanggal 28 Oktober—2 November 1993 di selenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Kongres ini mengusulkan agar Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi
Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang
Bahasa Indonesia.
16. Pada tanggal 26—30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres ini mengusulkan
dibentuknya Badan Pertim bangan Bahasa.
17. Pada tanggal 14—17 Oktober 2003 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia VIII di Jakarta.
18. Pada tanggal 28 Oktober—1 November 2008 diselenggarakan Kongres
Bahasa Indonesia IX di Jakarta.
19. Pada tanggal 31 Juli 2009, disahkannya Permendiknas Nomor 46 tentang
Ejaan yang Disempurnakan.
20. Pada tanggal 28—31 Oktober 2013 diselenggarakan Kongres Bahasa
Indonesia X di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.
21. Pada tanggal 26 November 2015, ditetapkannya Permendikbud N0. 50
tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI).

C. Fungsi dan Kedudukan Bahasa Indonesia

1. Fungsi Bahasa Indonesia


Fungsi bahasa yang utama dan pertama adalah fungsi komunikasi dan ini
berlaku bagi semua bahasa. Sugihastuti (dalam rinayanthi, 2018:8-9) menyatakan
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 4
bahwa fungsi bahasa adalah nilai pemakaian bahasa, sedangkan kedudukan
bahasa adalah status relatif bahasa sebagai sistem lambang sosial budaya di tengah
masyarakat. Ini mencerminkan bahwa fungsi dan kedudukan bahasa saling
berkaitan dan saling menunjang. Secara umum fungsi bahasa dibagi menjadi tiga
bagian utama, yakni:
a. Fungsi ideasional, yaitu fungsi bahasa untuk membentuk, mempertahankan,
dan menjelaskan hubungan di antara anggota masyarakat
b. Fungsi interpersonal, yaitu menyampaikan informasi di antara anggota
masyarakat
c. Fungsi tekstual, yaitu untuk menyediakan kerangka, pengorganisasian wacana
yang relevan dengan situasi Fungsi dan kedudukan bahasa Indonesia dibagi
menjadi bahasa persatuan, bahasa negara, bahasa standar IPTEKS dan bahasa
dalam pembangunan nasional.
Fungsi bahasa Indonesia juga dapat dilihat, sebagai berikut:
a. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan
Fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan adalah untuk alat
pemersatu bangsa, yaitu pemersatu suku, agama, ras dan antar golongan (SARA)
bagi suku bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Fungsi pemersatu ini
(heterogenitas/kebhinekaan) sudah dicanangkan dalam Sumpah Pemuda 28
Oktober 1928 yang merupakan unsur ketiga bahwa bahasa Indonesia merupakan
bahasa persatuan bangsa Indonesia.
Dengan menggunakan bahasa Indonesia, rasa kesatuan dan persatuan
bangsa berbagai etnis terpupuk. Kehadiran bahasa Indonesia di tengah-tengah
ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan sentimen negatif bagi etnis yang
menggunakannya. Sebaliknya, justru kehadiran bahasa Indonesia dianggap
sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai penengah ego kesukuan.
Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku mempunyai
latar belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indoensia justru dapat
menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meninggalkan identitas
kesukuuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial-budaya serta latar belakang
bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 5


sebagai bahasa persatuan,kepentingan nasional diletakkan jauh di atas
kepentingan daerah dan golongan.
Tetapi, berkat bahasa Indonesia, etnis yang satu bisa berhubungan dengan
etnis yang lain sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Setiap orang Indonesia apa pun latar belakang etnisnya dapat berpergian ke
pelosok Tanah Air dengan memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai alat
komunikasi. Kenyataan ini membuat adanya peningkatan dalam penyebarluasan
pemakaian bahasa Indonesia dalam fungsinya sebagai alat perhubungan
antardaerah dan antarbudaya.

b. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Negara


Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada
18 Agustus 1945, karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan
sebagai Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang
Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indoensia.
(Bab XV, Pasal 36). Dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, bertambah
pula kedudukan bahasa Indoensia, yaitu sebagai bahasa Indonesia, yaitu sebagai
bahasa negara dan bahasa resmi.
Dalam kedudukan sebagai bahasa negara bahasa Indonesia berfungsi
sebagai administrasi kenegaraan, yang juga digunakan dalam segala upacara,
peristiwa dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tulis, selain itu
fungsi bahasa Indonesia juga sebagai perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
bagi negara Indonesia sebagai negara berkembang .
Hanya dalam kondisi tertentu saja dan demi komunikasi internasional,
kadang-kadang pidato kenegaraan di tulis dan diucapkan dengan bahasa asing,
terutama bahasa inggris. Penguasaan bahasa Indonesia perlu di jadikan salah satu
faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan, baik dalam
penerimaan karyawan atau pegawai baru, kenaikan pangkat maupun pemberian
tugas atau jabatan tertentu seseorang.
Sebagai bahasa negara, bahasa indonesia berfungsi sebagai pengantar
resmi belajar di sekolah dan perguruan tinggi. Selain itu, apabila pokok persoalan
yang dibicarakan menyangkut masalah nasional, dan dalam situasi formal, bahasa
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 6
Indonesia juga digunakan sebagai bahasa pengantar. Bahasa Indonesia sebagai
bahasa negara atau bahasa Nasional, maksudnya bahasa Indonesia itu ialah bahasa
yang sudah diresmikan menjadi bahasa bagi seluruh bangsa Indonesia. Adapun
bahasa Indonesia sebagai budaya menunjukkan bahwa bahasa Indonesia
merupakan bagian dari budaya Indonesia dan merupakan ciri khas atau pembeda
dari bangsa-bangsa lain di dunia.

c. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan


Seni
Sejak diikrarkan sebagai bahasa nasional dan ditetapkan sebagai bahasa
negara, bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Perkembangan itu telah mengantarkan bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri
bangsa dan sebagai alat pemersatu, bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai
sarana komunikasi modern dalam penyelenggaraan pemerintahan, pendidikan,
pengembangan ilmu, dan teknologi, serta seni. Pecantuman bahasa Indonesia
dalam Bab XV, Pasal 36 UUD 1945, bahasa Indoenseia berkedudukan juga
sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu.
Dalam hubungannya sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan
satu-satunya alat yang memungkinkan untuk membina dan mengembangkan
kebudayaan nasional sedemikian rupa karena bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri
dan identitas sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Saat ini,
bahasa Indonesia digunakan sebagai alat untuk menyatakan semua sosial-budaya
nasional. Pada situasi inilah bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya
sebagai bahasa budaya. Dalam kedudukannya sebagai bahasa Indonesia berfungsi
sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) untuk
kepentingan pembangunan nasional. Dalam hal ini ada beberapa peran bahasa
Indonesia antara lain:
1) Penyebarluasan IPTEK dan pemanfaatannya kepada perencanaan dan
pelaksanaan pembangunan negara dilakukan dengan menggunakan bahasa
Indonesia

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 7


2) Penulisan dan penerjemaahan buku-buku teks serta penyajian pelajaran atau
perkuliahan di lembaga lembaga pendidikan masyarakat umum dilakukan
dengan menggunakan bahasa Indonensia.
Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak lagi bergantung sepenuhnya
kepada bahasa-bahasa asing (bahasa sumber) dalam usaha mengikuti
perkembangan dan penerapan IPTEK. Bahasa Indonesia dipakai pula sebagai alat
untuk mengantar dan menyampaian ilmu pengetahuan kepada berbagai kalangan
dan tingkat pendidikan. Semua jenjang pendidikan dalam penyampaiannya tentu
menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantarnya, maka bahasa Indonesia
jelas mempunyai peran penting sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam penyebarannya dalam dunia pendidikan.

d. Bahasa Indonesia sebagai Bahasa dalam Pembangunan


Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi, dan bahasa pertama yang
digunakan, selain bahasa daerah. Sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia
digunakan dalam kegiatan. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia mempunyai
fungsi sebagai alat perhubungan pada tingkat nasional tentu akan menggunakan
bahasa Indonesia. Karena itulah, bahasa Indonesia akan digunakan dalam hal
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Bahasa Indonesia
memiliki peranan penting dalam kehiduapan bermasyrakat, berbangsa dan
bernegara. Komunikasi perhubungan pada berbagai wilayah tanah tumpah darah
Indonesia. Komunikasi perhubungan pada berbagai kegiatan masyarakat telah
memanfaatkan bahasa Indonesia di samping bahasa daerah sebagai wahana dan
peranti untuk membangun kesepahaman, kesepakan, dan persepsi yang
memungkinkan terjadinya kelancaran pembangunan masyarakat di berbagai
bidang. Adanya gejolak dan kerawanan yang mengancam kerukunan dan kesatuan
bangsa Indonesia bukanlah bersumber dari bahasa persatuanya, bahasa Indonesia
yang dimilikinya, melainkan bersumber dari krisis multidimensional terutama
krisis ekonomi, hokum, politik, dan pengaruh globalisasi.
Justru, bahasa Indonesia hingga kini menjadi prisai pemersatu yang belum
pernah dijadikan sumber permasalahan oleh masyarakat pemakainya. Hal ini
terjadi, karena bahasa Indonesia dapat menempatkan dirinya sebagai sarana
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 8
komunikasi efektif, berdampingan dan bersama-sama dengan bahasa daerah yang
ada di Nusantara dalam mengembangkan dan melancarkan berbagai aspek
kehidupan dan kebudayaan, termasuk pengembangan bahasa-bahasa daerah.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 9


BAB II
KUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA

A. KUTIPAN
1. Pengertian
Gani (2011:2) mengemukakan bahwa kutipan adalah suatu suatu kegiatan
yang berkaitan dengan memungut, mengabil, atau meminjam pemikiran orang
lain berdasarkan kaidah dan tata cara tertentu. Pemikiran yang dipungut tersebut
dapat berupa kata, istilah, kalimat atau paragraf, atau dapat berupa informasi yang
disampaikan secara lisan (oleh seorang pembicara) atau secara tertulis (oleh
seorang pengarang). Walaupun kutipan atas pendapat seorang ahli itu
diperkenankan tidaklah berarti bahwa sebuah tulisan seluruhnya dapat terdiri dari
kutipan-kutipan.
2. Fungsi Kutipan
Seorang penulis karya ilmiah tidak akan mengutip bila kutipan tersebut
tidak memiliki fungsi yang jelas. Sekaitan dengan itu, fungsi sebuah kutipan di
dalam karya tulis ilmiah adalah sebagai berikut (Gani, 2011:3).
a. Fungsi memperkokoh atau memperkuat gagasan atau pikiran yang
hendak disampaikan penulis karya ilmiah
b. Fungsi perbandingan
c. Fungsi kesungguhan
d. Fungsi ilustrasi
e. Fungsi landasan teori
3. Syarat-syarat Mengutip
Ada aturan tertentu dalam kegiatan kutip-mengutip. Aturan tersebut adalah
sebagai berikut (Gani, 2011:5—11).
a. Kutipan berasal dari sumber ali atau sumber pertama
b. Kutipan berasal dari pakar atau para ahli
c. Informasi yang dikutip adalah informasi terbaru (mutakhir)
d. Informasi kutipan menyatu dengan gagasan penulis
e. Perhatikan panjang materi kutipan
f. Mencantumkan sumber kutipan
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 10
g. Hindarilah “parade” kutipan
h. Kutiplah jika dirasa sangat perlu
i. Perhatikan kaidah-kaidah yang berlaku
4. Prinsip-prinsip Dasar Mengutip
Selain dari persyaratan yang harus dikemukakan tersebut, kegiatan kutip
mengutip juga dapat dilihat dari prinsip-prinsip mengutip. Menurut Keraf (dalam
Gani, 2011:11) prinsip-prinsip mengutip tersebut adalah sebagai berikut.
a. Jangan melakukan perubahan
b. Biarkan kesalahn yang terdapat pada materi yang dikutip
c. Menghilangkan bagian yang dikutip
d. Membandingkan bagian yang dikutip
5. Jenis-jenis Kutipan
Gani, 2011:14) mengemukakan bahwa jenis kutipan ada dua macam, yaitu
kutipan langsung dan kutipan tidak langsung. Penjelasannya adalah sebagai
berikut.
a. Kutipan Langsung
Kutipan Langsung merupakan pernyataan yang ditulis dalam susunan
aslinya tanpa mengalami perubahan sedikitpun. Bahan yang dikutip harus
direproduksi tepat seperti apa adanya sesuai sumber, termasuk ejaan, tanda baca,
dan sebagainya.
Contoh Kutipan Langsung:
Agus mengatakan, “perlu dikembangkan sikap apresiatif dan
aspiratif terhadap pengetahuan-pengetahuan tandingan yang dimiliki
dan dipegang teguh kaum miskin yang terlibat dalam akar
penjarahan” (Sudibyo, 2002:184). ………………………………
b. Kutipan Tak Langsung
Kutipan tidak langsung merupakan pengungkapan kembali maksud penulis
dengan kata-katanya sendiri. Yang dikutip adalah pokok-pokok pikiran, atau
ringkasan dan kesimpulan dari sebuah tulisan kemudian dinyatakan dengan
bahasa sendiri. Walaupun yang dikutip berasal dari bahasa asing, namun tetap
dinyatakan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Contoh Kutipan Tidak Langsung :
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 11
Sikap apresiatif dan aspiratif terhadap pengetahuan-pengetahuan
tandingan yang dimiliki dan dipegang teguh kaum miskin yang
terlibat dalam akar penjarahan perlu dikembangkan agar lebih
terbuka pada perkembangan yang ada disekitarnya. Hal itu penting
agar mereka tidak terpaku pada padi, jagung, tetapi juga pada
komoditi yang lain (Sudibyo, 2001 : 12). Selain itu Joni menyataka
bahwa ………………………………………….

B. DAFTAR PUSTAKA
1. Pengertian Kepustakaan/Daftar Pustaka
Menurut Gani (2011:2), daftar pustaka adalah komponen karya tulis ilmiah
yang berisikan informasi lengkap tentang bahan-bahan pustaka (buku, koran,
majalah, jurnal, email, dan lain-lain) yang dipakai sebagai referensi dari suatu
tulisan yang sedang ditulis. Informasi lengkap dari bahan pustaka tersebut
meliputi informasi tentang identitas pengarang, judul karangan, dan data publikasi
karangan.
Menurut Jauhari (2010:171), bibliografi yakni daftar buku-buku, artikel,
dan laporan penelitian yang dipakai sebagai sumber teori atau sumber kutipan
sebagai rujukan dalam penelitian atau penulisan karangan.
Menurut Keraf (1979:213), yang dimaksud dengan bibliografi atau daftar
kepustakaan adalah sebuah daftar yang berisi judul buku-buku, artikel-artikel, dan
bahan-bahan penerbitan lainnya, yang mempunyai pertalian dengan sebuah
karangan atau sebagian dari karangan yang tengah digarap.
Menurut Wahid (1999:81), daftar pustaka merupakan daftar yang berisi
buku, makalah, artikel, atau bahan lainnya yang dikutip baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Jadi, kesimpulannya kepustakaan adalah komponen karya ilmiah yang
berisi informasi lengkap tentang bahan-bahan pustaka seperti buku, koran,
majalah, jurnal, artikel, dan bahan penerbitan lainnya yang mempunyai pertalian
dengan sebuah karangan atau sebagian dari karangan yang tengah digarap yang
dipakai sebagai referensi dari suatu tulisan yang sedang ditulis.
2. Fungsi Kepustakaan
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 12
Menurut Gani (2011:3), di dalam karya ilmiah, kepustakaan merupakan
sesuatu yang penting, karena ia memiliki fungsi-fungsi tertentu. Fungsi-fungsi
tersebut sebagai berikut.
a. Ungkapan rasa tanggung jawab
Daftar pustaka dapat berfungsi sebagai unkapan rasa tanggung jawab
moral akademik atau tanggung jawab moral keilmuan penulis. Penulis yang
mengutip, meminjam, atau memakai pikiran, pendapat, atau pandangan orang lain
(ahli atau pakar) dalam tulisannya harus menyadari bahwa yang dikutipnya
bukanlah miliknya.
b. Sarana untuk menginformasikan buku-buku yang dirujuk
Daftar pustaka dapat berfungsi sebagai sarana untuk menginformasikan
buku-buku rujukan yang dipakai secara langsung oleh penulis karya ilmiah.
Informasi tersebut merupakan salah satu cermin dari kesungguhan penulis karya
ilmiah yang bersangkutan di dalam menyelesaikan karya ilmiah yang ditulisnya.
c. Penuntun untuk mendapatkan buku-buku yang dirujuk
Daftar pustaka dapat berfungsi sebagai penuntun bagi seseorang untuk
menentukan dan mendapatkan buku-buku apa saja yang harus dibaca dan dimiliki
jika ingin lebih mengetahui aneka materi yang dikutip atau jika ingin lebih
memahami, memperluas, dan memperdalam materi karya tulis ilmiah yang sedang
dibacanya.
d. Perpanjangan dari sebuah materi yang dikutip
Daftar pustaka dapat berfungsi sebagai perpanjangan dari sebuah materi
yang dikutip.
3. Komponen-komponen Kepustakaan
Menurut Keraf (1980:214) dalam Gani (2011:6), komponen-komponen
daftar pustaka adalah sebagai berikut.
a. Nama pengarang buku yang dirujuk.
b. Judul karangan atau judul tulisan yang dirujuk, termasuk tambahannya. Yang
dimaksudkan dengan tambahan di sini adalah kata-kata yang mengiringi suatu
tulisan, misalnya: identitas tulisan (disertai, tesis, skripsi, makalah, artikel,
dan lain-lain), edisi atau volume, nomor, dan lain-lain.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 13


c. Data publikasi, data publikasi ini meliputi tahun buku diterbitkan, nama kota
tempat buku diterbitkan, dan nama penerbit yang menerbitkan buku yang
dirujuk.
Berdasarkan komponen dan pembagian komponen tersebut, maka sebuah
daftar pustaka pada hematnya dibangun oleh lima komponen, yaitu komponen: (1)
nama pengarang; (2) tahun buku diterbitkan; (3) judul karangan; (4) nama kota
tempat buku diterbitkan; dan (5) nama penerbit. Susunan penulisan komponen
daftar pustaka tersebut menurut S. Efendi (Ed.) (1978) (S. Efendi adalah salah
seorang yang sangat familiar dengan Pusat Bahasa) adalah sebagai berikut.
a. Nama pengarang
b. Tahun penerbitan
c. Judul tulisan
d. Nama kota tempat penerbitan
e. Nama penerbit
4. Prosedur Penulisan Kepustakaan
a. Sumber dari buku
Dalam Wahid (1999:81), prosedur penulisan kepustakaan adalah tahun
ditulis setelah nama pengarang, diakhiri dengan tanda baca titik (.). Judul buku
digarisbawahi atau ditulis dengan huruf miring, dengan huruf kapital pada awal
setiap kata, kecuali kata hubung. Tempat penerbitan dan nama penerbit dipisah
dengan tanda baca titik dua (:).
1) Satu pengarang
a) Penulisan komponen nama pengarang yang terdiri dari satu kata (dalam Gani,
2011:14)
Untuk nama pengarang yang jumlah katanya hanya satu, maka penulisan
daftar pustakanya adalah sebagaimana adanya nama tersebut. Perhatikan contoh
berikut ini.
Atmazaki. 1994. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa
Raya.

Suyatno. 2004. Teknik Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.


Surabaya: SIC.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 14


Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi
Konstruktivisme. Jakarta: Prestasi Pustaka Publiser.

b) Penulisan komponen nama pengarang yang terdiri dari dua kata atau lebih
(dalam Gani, 2011:14)
Penulisan komponen nama pengarang daftar pustakanya mengacu kepada
ketentuan berikut, yaitu: (a) Kata terakhir dari nama tersebut selalu dibalikkan,
atau diubah letaknya dari kata terakhir menjadi kata pertama. Kata pertama, ke
dua, ke tiga sampai menjelang kata terakhir tersebut dibiarkan seperti apa adanya;
(b) Penulisan kata terakhir yang dibalikkan itu diakhiri dengan tanda baca koma;
(c) Setelah tanda baca koma, baru dibuat kata pertama, ke dua, ke tiga, dan
seterusnya dari rangkaian kata nama tersebut; dan (d) Untuk pengarang asing, kata
ke dua, ke tiga, dan seterusnya biasanya yang dituliskan hanya huruf pertama saja.
Perhatikan contoh berikut ini.
Forster, E. M. 1985. Aspecsof The Novel. London: Penguin Books.

Junus, Umar. 1981. Dasar-dasar Interpretasi Sajak. Kuala Lumpur:


Heinimen.

Pradoko, Rahmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah


Mada University Press.

2) Dua pengarang
Menurut Gani (2011:19), aturannya yaitu: (a) Urutan nama pengarang
pada komponen nama pengarang kepustakaan harus sesuai dengan urutan nama
yang ada pada buku, kalau pengarang tersebut adalah Abdullah dan Maimunah,
maka urutan tersebut tetap Abdullah dan Maimunah; (b) Jika nama pengarang
pertama terdiri dari satu kata, maka penulisan komponen nama pengarang daftar
pustakanya adalah sebagaimana adanya nama tersebut, jika dua kata atau lebih,
maka penulisannya dibalikkan; (c) jika nama pengarang kedua terdiri dari satu
kata, maka penulisan komponen nama pengarang daftar pustakanya adalah
sebagaimana adanya nama tersebut, jika dua kata atau lebih, maka penulisannya
juga sebagaimana adanya nama tersebut, tidak dibalikkan; (d) Antara nama

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 15


pengarang pertama dan pengarang ke dua, ditulis kata “dan” yang berfungsi
sebagai penanda bahwa pengarang buku yang dirujuk adalah dua orang.
Agar uraian tersebut mudah dipahami, perhatikan contoh berikut.
Arifin, E. Zainal dan S. Amran Tasai. 2004. Cermat Berbahasa
Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo.

Subati dan Sunarti. 2009. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia:


Berbagai Pendekatan, Metode, Teknik, dan Media Pengajaran.
Bandung: Pustaka Setia.

3) Lebih dari dua orang pengarang


Menurut Gani (2011:20), ketentuannya yaitu: (1) Nama pengarang yang
dicantumkan pada komponen nama pengarang daftar pustaka hanyalah nama
pengarang yang pertama saja; (2) jika nama pengarang yang pertama tersebut
terdiri dari satu kata, maka penulisan komponen nama pengarang daftar
pustakanya adalah sebagaimana adanya nama tersebut, jika dua kata atau lebih,
maka penulisannya dibalikkan; (3) Di akhir nama pengarang pertama, ditulis kata
“dkk.” atau “at.al.” (bahasa Latin). Penulisan “dkk.” digunakan untuk nama
pengarang dan buku-buku terbitan Indonesia, sedangkan penulisan “at.al.”
digunakan untuk nama pengarang dan buku-buku asing. Fungsi “dkk.” atau
“at.al.” adalah sebagai pengganti dari nama pengarang ke dua, ke tiga, ke empat,
dan seterusnya.
Agar uraian tersebut mudah dipahami, perhatikan contoh berikut ini.
Adams, Lewis Mulford, at.al. 1965. Webster’s World University Dictionary.
Washington D.C.: Publisher Company Inc.

Alwi, Hasan, dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.

Joice, Bruce, at.al. 1996. Models of Teaching. Boston: Allyan and Bacon.

4) Penerjemah
Menurut Gani (2011:27), Buku-buku terjemahan dipakai sebagai rujukan
sekiranya seorang penulis karya ilmiah tidak mendapatkan buku aslinya (buku

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 16


yang diterjemahkan tersebut). Terhadap buku tersebut, penulisan komponen
kepustakaannyaa adalah sebagai berikut.
a) Nama pengarang yang ditulis pada komponen nama pengarang daftar pustaka
adalah nama pengarang asli buku tersebut, yaitu nama pengarang yang
pengarang tulisan yang diterjemahkan tersebut.
b) Nama penerjemah ditulis tanda kurung setelah penulisan komponen judul
buku daftar pustaka.
c) Jika tampilan buku terjemahan tersebut tidak mencantumkan nama pengarang
asli, melainkan nama penerjemah pada perwajahan atau pada kulitnya, maka
komponen nama pengarang yang ditulis pada daftar pustaka adalah nama
penerjemah dan setelah komponen judul buku dibuat kata terjemahan dalam
tanda kurung “(terjemahan)”. Di dalam kenyataannya sangat jarang
penerjemah atau penerbit Indonesia yang melakukan tersebut. Pada umumnya
mereka tetap menghargai penulis asli buku yang diterjemahkan. Hal ini
sangat berbeda dengan buku-buku dari hasil penyuntingan atau pengeditan.
Agar ketentuan-ketentuan tersebut dapat lebih dipahami, perhatikan-lah
contoh berikut ini.
Al-Qarni, Aidh. 2005. La Tahzan: Jangan Bersedih (Diterjemahkan oleh
Samson Rahman). Jakarta: Qisthi Press.

Amstrong, Karen. 2002. Sejarah Bahasa (Alih bahasa oleh Zainul Am).
Bandung: Mizan.

Best, John. 1982. Metologi Penelitian Pendidikan (Terjemahan Sanapiah


Faisal dan Mudyadi Guntur Waseso). Surabaya: Usaha Nasional.

Corey, Gerald. 1995. Teori dan Pratek dari Konseling dan Psikoterapi
(Diterjemahkan oleh Mulyanto). Semarang: IKIP Semarang
Press.

5) Editor
Menurut Gani (2011:25), Ketentuan penulisan kepustakaan karya ilmiah
tersebut adalah sebagai berikut.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 17


a) Jika buku kumpulan makalah atau artikel tersebut mencantumkan nama
pengarang naskah yang diedit, maka nama pengarang yang ditulis pada
komponen daftar pustaka adalah nama pengarang naskah yang diedit,
sedangkan nama pengedit dibuat setelah penulisan komponen judul daftar
pustaka.
b) Jika buku tersebut tidak mencantumkan nama pengarang naskah yang diedit,
maka nama pengarang yang ditulis pada komponen daftar pustaka adalah
nama pengedit (editor atau penyunting).
Menurut Ermanto dan Emidar (2014:198), buku yang memiliki editor
karena di tulis oleh banyak pengarang, penulisannya seperti dari buku dan
ditambah dengan tulisan (Ed.) atau (Eds.) untuk editor lebih dari satu. Variasi
lainnya sengan tulisan (Editor).
Agar ketentuan-ketentuan tersebut dapat lebih dipahami, perhatikanlah
contoh berikut.
Ermanto (Peny.). 2010. Prosiding Seminar Nasional Kebahasaan dan
Pembelajarannya. Padang: UNP Press.

Gani, Erizal. 2009. “Dilema Pembelajaran Sastra di Sekolah Dasar”


dalam Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Pendidikan
dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam
Peningkatan Profesionalisme Guru, oleh Hasanuddin dan
Ermanto (Ed.). Padang: Citra Budaya.

Hasanuddin dan Ermanto (Ed.). 2009. Prosiding Seminar Nasional


Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia dalam Peningkatan Profesionaismel Guru.
Padang: Citra Budaya.

Skjorten, M. D. 2003. “Menulis Inklusi dan Pengayaan” dalam


Pendidikan Kebutuhan Khusus, Sebuah Pengantar, oleh Johnsen
(Ed.). Bandung: UPI Bandung.

Suparno, dkk. (Eds.). 1994. Bahasa Indonesia Keilmuan. Malang: FBSS


IKIP Padang.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 18


Contoh tersebut menginformasikan bahwa: (a) Ermanto adalah penulis
buku berdasarkan makalah atau artikel yang telah disunting. Dalam hal ini,
makalah atau artikel yang dimuat di dalam buku tersebut tidak ada mencantumkan
nama pengarangnya, (b) Gani, Erizal adalah pengarang dari makalah yang diedit.
Tulisan Erizal Gani tersebut terdapat di dalam buku hasil editan Hasanuddin dan
Ermanto, (c) Hasanuddin dan Ermanto adalah penulis buku berdasarkan makalah
atau artikel yang telah disunting. Dalam hal ini, makalah atau artikel yang dimuat
di dalam buku tersebut ada mencantumkan nama pengarangnya, (d) Skjorten, M.
D. Terdapat di dalam buku hasil editan Johnsen, (e) Suparno adalah penulis buku
berdasarkan buku yang telah disunting.

b. Buku yang tidak dipublikasikan (tidak diterbitkan)


Dalam Ermanto dan Emidar (2014:199), penulisan daftar pustaka dari
penelitian, skripsi, disertai, buku ajar (belum diterbitkan) diawali dengan
membuat nama penulis, tahun terbit, judul ditulis tegak diantara tanda petik dan
kata Laporan penelitian, Skripsi, Tesis, Disertai atau Buku Ajar ditulis miring.
Agar ketentuan-ketentuan tersebut dapat lebih dipahami, perhatikanlah
contoh berikut.
Ermanto. 2001. “Berita dan Fotografi”. Buku Ajar tidak diterbitkan.
Padang: FBSS UNP.

Ermanto dan Abdurrahman. 2003. “Karakteristik Kebahasaan Tulisan


Jurnalistik dalam Surat kabar Kompas”. Laporan Penelitian tidak
diterbitkan. Padang: FBSS UNP.

c. Sumber Rujukan Berbentuk Artikel yang Dipublikasikan Melalui Media


Cetak atau Jurnal
Menurut Gani (2011:42), secara umum, aturan dan ketentuan penulisan
kepustakaan tersebut adalah sebagai berikut.
1) Tulis judul artikel yang dirujuk dalam tanda petik.
2) Tulis dalam bentuk cetak miring nama majalah, koran, tabloit, atau jurnal
yang mempublikasikan artikel yang dirujuk.
3) Tulis volume atau edisi majalah, koran, tabloit atau jurnal (kalau ada).

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 19


4) Jika poin b, c, dan d di atas tidak ada, tulis tanggal dan bulan publikasi media
sebagai penggantinya. Tahun tidak dituliskan karena tahun tersebut sudah
dituliskan pada komponen tahun terbit buku.
5) Tulis halaman majalah, koran, tabloit, atau jurnal (kalau ada).
6) Di antara masing-masing bagian tersebut buat tanda koma pemisah
Penulisan kepustakaan karya ilmiah tersebut adalah sebagai berikut.
Alie, Marjuki. 2010. “Membongkar Bungker Koruptor”. Kompas,
Nomor 009, Tahun ke-46, Selasa 6 Juli. Jakarta: Kompas Media
Nusantara.

Gani, Erizal. 2009. “Kajian Terhadap Upaya Pelestarian Pantun


Minangkabau”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta:
Depdiknas.

Johanes, H. 1981. “Gagasan Gaya Bahasa Keilmuan”. Analisis


Kebudayaan, Tahun 1, Nomor 3. Jakarta: Depdikbud.

d. Sumber dari Internet


Dalam Ermanto dan Emidar (2014:201), sumber ilmiah dari internet yang
dijadikan rujukan harus diseleksi nilai ilmiahnya. Sumber-sumber ilmiah dan
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dapat dijadikan rujukan walau
diambil melalui internet. Oleh karena itu, buku-buku dan bahan jurnal ilmiah yang
diambil melalui internet bisa dirujuk. Penulisan kepustakaannya diawali dengan
nama pengarang, tahun, judul buku atau judul artikel yang ditulis tegak dan diapit
tanda petik yang diikuti nama jurnal dan volume, ditambah kata (Online) dalam kurung
dan alamat elektronis sumber rujukan disertai dengan keterangan kapan diakses di
antara tanda kurung. Hal tersebut seperti berikut ini.
Ad-Dumaiji, Abdullah Bin Umar. 2005. “Tawakal Adalah Sarana
Terbesar Untuk Mendapatkan Kebaikan dan menghindari
Kerusakan”. Jurnal Keagamaan. (Online). (http://mubarok-
institute.blogspot.com, diunduh pada tanggal 3 Mei 2007).

Kumaidi. 1998. “Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan


Tesnya”. Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 5 No. 4. (Online).
(http://www.Malang.ac.id, diunduh pada tanggal 20 Januari
2000).

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 20


e. Dikeluarkan oleh lembaga
Menurut Wahid (1999:84), nama lembaga penanggung jawab ditulis
paling depan, diikuti dengan tahun, judul karangan, nama tempat penerbit, dan
nama lembaga tertinggi yang bertanggung jawab atas penerbitan tersebut.
Penulisan kepustakaan karya ilmiah tersebut adalah sebagai berikut.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1978. Pedoman Penulisan
Laporan Penelitian. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
kebudayaan.

Suyoto, Pujiati dan Lim Rahmina. 1998. Evaluasi Pengajaran Bahasa


Indonesia. Jakarta. Depdikbud.

f. Penulisnya tidak tercantum


Menurut Gani (2011:21), pada penulisan komponen nama pengarang
sebuah daftar pustaka untuk tulisan yang tidak diketahui nama pengarangnya ini,
komponen nama pengarang ini ditulis dengan “t.p” sebagai singkatan dari tanp a
pengarang atau “n.n” sebagai singkatan dari noname. Untuk lebih jelas, perhatikanlah
contoh berikut.
“t.p.”. 2012. “Demam Korea dan Pengimitasian Identitas”. Singgalang,
15 April, halaman B-14. Padang: Genta Singgalang.
atau
“n.n.”. 1949. De Krant van Alle Tijden. Amsterdam: Keesing.

5. Contoh kepustakaan
Catatan: daftar pustaka ditulis secara berurutan menurut Alfabetis.
Alfabetis di sini contohnya seperti awalan nama pengarang yang penulisannya
ditebalkan di bawah ini:
KEPUSTAKAAN

Adams, Lewis Mulford, al.al. 1965. Webster’s World University Dictionary.


Washington D.C.:Publisher Company Inc.

Alie, Marjuki. 2010. “Membongkar Bungker Koruptor”. Kompas, Nomor


009, Tahun ke-46, Selasa 6 Juli. Jakarta: Kompas Media Nusantara.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 21


Al-Qarni, Aidh. 2005. La Tahzan: Jangan Bersedih (Diterjemahkan oleh
Samson Rahman). Jakarta: Qisthi Press.

Alwi, Hasan, dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Amstrong, Karen. 2002. Sejarah Bahasa (Alih bahasa oleh Zainul Am).
Bandung: Mizan.

Atmazaki. 1994. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.

Ermanto. 2001. “Berita dan Fotografi”. Buku Ajar tidak diterbitkan. Padang:
FBSS UNP.

Gani, Erizal. 2009. “Kajian Terhadap Upaya Pelestarian Pantun


Minangkabau”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta:
Depdiknas.

Hasanuddin dan Ermanto (Ed.). 2009. Prosiding Seminar Nasional


Pengembangan Pendidikan dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia dalam Peningkatan Profesionaismel Guru. Padang: Citra
Budaya.

Kumaidi. 1998. “Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan


Tesnya”. Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 5 No. 4. (Online).
(http://www.Malang.ac.id, diunduh pada tanggal 20 Januari 2000).

Mustafa, Shazali. (2010). The Interpretation of Implicature: A Comparative


Study between Implicature in Linguistics and Journalism. Journal of
Language and Research, 1 (1), 35—43.

“n.n.”. 1975. The Anatomy of The Novel. London:Routledge Kegan Paul.

Subati dan Sunarti. 2009. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia:


Berbagai Pendekatan, Metode, Teknik, dan Media Pengajaran.
Bandung: Pustaka Setia.

Kumaidi. 1998. “Pengukuran Bekal Awal Belajar dan Pengembangan


Tesnya”. Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 5 No. 4. (Online).
(http://www.Malang.ac.id, diunduh pada tanggal 20 Januari 2000).

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 22


Skjorten, M. D. 2003. “Menulis Inklusi dan Pengayaan” dalam Pendidikan
Kebutuhan Khusus, Sebuah Pengantar, oleh Johnsen (Ed.). Bandung:
UPI Bandung.

Suparno, dkk. (Eds.). 1994. Bahasa Indonesia Keilmuan. Malang: FBSS IKIP
Padang.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 23


BAB III
RAGAM BAHASA INDONESIA

A. Pengertian Ragam Bahasa


Kridalaksana (dalam Yanti, 2016:26) menjelaskan bahwa ragam bahasa
adalah variasi Bahasa menurut pemakaiannya. Tiap manusia menyesuaikan
bahasanya menurut:
1. Apa yang dibicarakan
2. Dengan siapa dan tentang apa ia berbicara, dan
3. Media yang digunakannya.
Semua Bahasa di dunia mempunyai dialek dan ragam bahasa, tidak terkecuali
Bahasa Indonesia.
Di dalam kehidupan masyarakat terdapat bermacam-macam pemakaian
Bahasa. Kenyataan ini harus diakui dan disadari karena keragaman situasi, daerah,
ilmu pengetahuan, dan sarana juga ditemukan dalam masyarakat. Pemakaian
Bahasa yang baik tidak hanya menggunakan Bahasa yang baku, tetapi juga yang
sudah di standarkan.
Ada tiga kriteria yang perlu diperhatikan jika kita berbicara tentang ragam
Bahasa. Ketiga kriteria itu adalah:
1. Media yang digunakan
2. Latar belakang penutur
3. Pokok persoalan yang dibicarakan
Berdasarkan media yang digunakan untuk menghasilkan Bahasa, ragam
Bahasa dapat dibedakan atas ragam Bahasa lisan dan ragam Bahasa tulis. Secara
lebih mendalam kedua ragam itu dibicarakan secara tersendiri. Dilihat dari segi
penuturnya, ragam Bahasa dapat dibedakan menjadi:
1. Ragam daerah (dialek)
2. Ragam bahasa terpelajar
3. Ragam bahasa resmi, dan
4. Ragam bahasa tak resmi

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 24


B. Jenis-jenis Ragam Bahasa
Menurut Prihantini (2015:17—18) berdasarkan pokok persoalan yang
dibicarakan, ragam Bahasa dapat dibedakan atas bidang-bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi misalnya, ragam bahasa ilmu, ragam Bahasa hukum, ragam Bahasa
niaga, dan ragam Bahasa sastra.
1. Ragam Bahasa Lisan dan Tulisan
Ragam Bahasa menurut sarana dibagi menjadi dua, yaitu ragam Bahasa
lisan dan ragam Bahasa tulisan. Ragam Bahasa lisan adalah Bahasa yang
digunakan secara lisan. Ragam Bahasa tulisan adalah ragam Bahasa yang
digunakan secara tertulis.
Dalam pemakaian ragam Bahasa lisan, komunikasi biasanya
disertaidengan mimic, gerak gerik anggota tubuh, dan intonasi ucapan. Sementara
itu, dalam rangka Bahasa tulisan, komunikasi dibantu dengan pemakaian tanda
baca
Bahasa Lisan Bahasa Tulisan
Erna: “ Kemarin ada seekor gajah Di Kebun Binatang Taman Safari
mengamuk lagi di taman safari. Satu sudah terjadi tiga kali perusakan
mobil rusak parah. ” mobil pengunjung oleh gajah.
Menurut salah seorang petugas
Bayu: “ Aku sudah tahu kabar itu. kebun binatang, hal itu terjadi karena
Kamu tahu apa penyebab nya? “ gajah-gajah disana merasa terganggu
dengan adanya suara mesin
Erna: “ Kata salah seorang petugas, kendaraan bermotor.
gajah itu merasa terganggu dengan
adanya suara mesin kendaraan
bermotor milik pengunjung yang
melintas di kawasan Taman Safari. “

Bayu: “ Oh, mungkin di habitat


aslinya, gajah menyukai kesunyian “

Erna: “ Iya, ini sudah kali ketiga


gajah di kebun binatang itu
mengamuk dan meremukkan mobil
pengunjung. “

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 25


2. Ragam Bahasa Sosial dan Fungsional
Ragam Bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat dari
golongan sosial tertentu disebut Sosiolek. Contoh sosiolek adalah sebagai berikut.
a. Ragam Bahasa mahasiswa
b. Ragam Bahasa buruh
c. Ragam Bahasa remaja masjid
Ragam Bahasa yang digunakan dalam kegiatan suatu bidang tertentu disebut
Fungsiolek. Contoh fungsiolek adalah sebagai berikut.
a. Ragam Bahasa penelitian
b. Ragam Bahasa jurnalistik
c. Ragam Bahasa hukum, dan
d. Ragam Bahasa militer
Biasanya ragam Bahasa ilmiah bersifat logis dan eksak, sedangkan ragam Bahasa
sastra penuh dengan kiasan dan ungkapan.

3. Ragam Bahasa berdasarkan Media


Berdasarkan media, Ragam Bahasa terdiri atas dua ragam Bahasa, yaitu
ragam Bahasa lisan dan ragam Bahasa tulis.
Ragam Bahasa lisan adalah Bahasa yang dilafalkan langsung oleh penuturnya
kepada pendengar atau teman bicaranya. Ragam Bahasa lisan ditentukan oleh
intonasi dalam pemahaman maknanya. Misalnya:
a. Kucing/ makan tikus mati.
b. Kucing makan/ / tikus mati.
c. Kucing makan tikus/ mati.
Sedangkan, ragam Bahasa tulis adalah ragam Bahasa yang ditulis atau dicetak
dengan memperhatikan penempatan tanda baca dan ejaan secara benar.

4. Ragam Bahasa berdasarkan Waktu


Menurut Rinayanthi (2018:21-23), ragam bahasa berdasarkan waktunya
terdiri atas tiga bagian, yaitu ragam bahasa formal, ragam bahasa semiformal, dan
ragam bahasa nonformal. Setiap ragam Bahasa dari sudut pandang yang lain dan
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 26
berbagai jenis laras Bahasa digunakan tergantung dari situasi pemakaiannya.
Misalnya, ragam Bahasa lisan diidentifikasikan sebagai ragam Bahasa formal,
semiformal, atau nonformal. Begitu juga Bahasa manajemen diidentifikasikan
sebagai ragam Bahasa formal, semiformal, atau nonformal.
Dengan pembedaan antara ragam Bahasa formal dan ragam Bahasa
nonformal yang paling mencolok adalah sebagai berikut:
a. Penggunaan kata sapaan dan kata ganti, misalnya:
Saya dan gue
Anda dan lu/ situ/ ente.
b. Penggunaan imbuhan (afiksasi), awalan (prefiks), akhiran (sufiks), gabungan
awalan dan akhiran (simulfiks), dan imbuhan terpisah (konfiks). Misalnya:
Prefiks: Menyapa – apaan ; Mengopi – ngopi
Sufiks: laporan - laporin ; Marahi – marahin
Konfiks: Kesalahan – nyalahin ; Pembetulan – botulin
c. Penggunaan unsur prefiks (persuasi) lebih sering muncul dalam ragam
Bahasa nonformal, seperti sih, deh, dong, kok, lho, ya kale, gitu ya.
d. Penghilangan unsur atau fungsi kalimat (S-P-O-Pel-Ket) dalam ragam Bahasa
nonformal yang menggangu penyampaian suatu pesan. Misalnya:
1) Penghilang subjek : Kepada hadirin harap berdiri
2) Penghilang predikat : Laporan itu untuk pimpinan
3) Penghilang objek : RCTI melaporkan dari Medan
4) Penghilang pelengkap: Mereka berdiskusi dilantai II

5. Ragam Bahasa Berdasarkan Pesan Komunikasi


Ragam bahasa berdasarkan pesan komunikanya terdiri dari beberapa
bagian. Bagiannya adalah sebagai berikut.
a. Ragam bahasa ilmiah
Ragam bahasa ilmiah adalah sarana verbal yang efektif, efisien, baik, dan
benar. Ciri ragam bahasa ilmiah, sebagai berikut.
1) Struktur kalimat jelas dan bermakna lugas.
2) Struktur wacana bersifat formal, mengacu pada standar konvensi naskah.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 27
3) Singkat, berisi analisis dan pembuktian, menyajikan konsep secara
lengkap.
4) Cermat dalam menggunakan unsur baku istilah/kata, ejaan, bentuk kata,
kalimat, paragraf, wacana.
5) Cermat dan konsisten menggunakan penalaran dari penentuan topik,
pendahuluan, deskripsi teori, deskripsi data, analisis data, hasil analisis,
sampai dengan kesimpulan dan saran.
6) Menggunakan istilah khusus yang bersifat teknis dalam bidang tertentu.
7) Dapat diukur kebenarannya secara terbuka oleh umum.
8) Konsisten dalam pembahasan topik.

b. Ragam Bahasa Pidato


1) Ragam pidato ilmiah
Terdiri beberapa jenis, yaitu sebagai berikut: presentasi makalah ilmiah,
skripsi, tesis, desertasi dan pidato pengukuhan guru besar, dan sebagainya
2) Ragam pidato resmi
Kata resmi memiliki beberapa pengertian, yaitu:
a) Resmi karena situasinya, misal : pidato kenegaraan oleh pejabat negara.
b) Resmi karena kemuliaan isi dan situasi, misal : Khotbah agama.
c) Resmi karena informasi dan kekidmatan situasi penyampaian dalam suatu
upacara. Misal : Pidato akad nikah/ perkawinan.
d) Resmi karena isi atau materi mengandung kebenarab unifersal dan
disampaikan untuk mewakili suatu negara. Misal : Pidato untuk mewakili
suatu negara.

c. Ragam Bahasa Tulis Resmi


Ragam bahasa tulis resmi ditandai oleh:
1) Penyajian materi / pesan bersifat mulia.
2) Penggunaan fungsi-fungsi gramatikal secara eksplisit dan konsisten.
3) Penggunaan bentuk lengkap, bentuk yang tidak disingkat.
4) Penggunaan imbuhan secara eksplisit dan konsisten.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 28
5) Pengunaan kata ganti resmi dan menghindari kata ganti tidak resmi.
6) Penggunaan pola frase yang baku.
7) Penggunaan ejaan yang baku pada bahasa tulis dan lafal yang baku pada
bahasa lisan.
8) Tidak menggunakan unsur tidak baku.

d. Ragam Bahasa Sastra


Ragam ini mengutamakan unsur-unsur keindahan seni. Misal : dalam roman,
novel, cerita pendek dll. Namun, ragam ini sering digunakan juga dalam iklan
promosi produk komersial. Misal : Iklan sabun untuk kecantikan, mobil yang
menawarkan kemewahan dan kenyamanan.
Beda bahasa sastra dan iklan terletak pada tujuannya. Ragam sastra
menyenangkan bagi pembacanya tanpa mendorong pembaca untuk membeli
suatu produk, sedang iklan bersifat persuasif agar pembaca (pendengar)
membeli produk.

e. Ragam bahasa berita


Ragam ini lazim digunakan dalam pemberitaan.Bahasa berita menyajikan
fakta secara utuh dan objektif. Untuk menjamin objektifitas berita, penyaji
perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1) Tidak menambah atau mengurangi fakta yang disajikan.
2) Tidak mengubah fakta berdasarkan pendapat penyaji.
3) Tidak menambah tanggapan pribadi.
4) Tidak menggunakan perasaan suka atau tidak suka.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 29


BAB IV
PEDOMAN UMUM BAHASA INDONESIA DAN PEDOMAN UMUM
PEMBENTUKAN ISTILAH

A. Pengertian Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia


Menurut Alwi (dalam Sinta, 2018) Ejaan adalah seperangkat aturan
tentang cara menuliskan bahasa dengan menggunakan huruf, kata dan tanda baca
sebagai sarananya. Batasan tersebut menunjukkan pengertian kata ejaan berbeda
dengan kata mengeja. Mengeja dalah kegiatan melafalkan huruf, suku kata, atau
kata; sedangkan ejaan adalah suatu sistem aturan yang jauh lebih luas dari sekedar
masalah pelafalan. Ejaan mengatur keseluruhan cara menuliskan bahasa.
Ejaan merupakan kaidah yang harus dipatuhi oleh pemakai bahasa demi
keteraturan dan keseragaman bentuk, terutama dalam bahasa tulis. Keteraturan
bentuk akan berimplikasi pada ketepatan dan kejelasan makna. Ibrat sedang
mengemudi kendaraan, ejaan adalah rambu lalu lintas yang harus dipatuhi oleh
setiap pengemudi. Jika para pengemudi mematuhi rambu-rambu yang ada,
terciptalah lalu lintas yang tertib dan teratur. Seperti itulah kira-kira bentuk
hubungan antara pemakaian bahasa dengan ejaan.
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI) adalah ejaan bahasa indonesia yang berlaku
sejak tahun 2015 berdasaekan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia nomor 50 tahun 2015 tentang Pedomn Umum Ejaan Bahasa
Indonesia. Ejaan ini menggantikan Ejaan Yang Disempurnakan.
Menurut Rokhmansyah, dkk. (2018:19), dalam kaitannya dengan
pembakuan bahasa, baik yang menyangkut pembakuan tata bahasa maupun
kosakata dan peristilahan, ejaan mempunyai fungsi yang sangat penting. Fungsi
tersebut antara lain sebagai berikut:
1. sebagai landasan pembakuan tata bahasa;
2. sebagai landasan pembakuan kosakata dan peristilahan; serta
3. alat penyaring masuknya unsur-unsur bahasa lain ke dalam bahasa Indonesia

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 30


Disamping ketiga fungsi tersebut, ejaan berfungsi untuk membantu pemahaman
pembaca di dalam mencerna informasi yang disampaikan secara tertulis
B. sejarah Ejaan Bahasa Indonesia
Ejaan bahasa Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan dan
penyempurnaan. Ejaan yang saat ini dipakai adalah Ejaan Bahasa Indonesia yang
mulai berlaku sejak tahun 2015. Ejaan ini merupakan perubahan keempat dan
menggantikan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD). Penyebutan
perkembangan ejaan yang digunakan di Indonesia ejak zaman kolonial Belanda,
awal kemerdekaan, hingga ejaan yang dipakai saat ini, adalah sebagai berikut
(Rokhmansyah, dkk., 2018:21—25).
1. Ejaan van Ophuijsen
Ejaan ini disusun oleh Adrian van Ophuijsen yang dibantu oleh dua orang
pakar bahasa dari Melayu — Engkoe Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad
Thaib Soetan Ibrahim sejak tahun 1896 dengan menggabungkan dasar-dasar ejaan
Latin dan ejaan Belanda. Ejaan tersebut diakui pemerintah kolonial Belanda dan
diresmikan pemakaiannya pada tahun 1901. Ejaan tersebut dipakai selama 46
tahun dan baru diganti setelah Indonesia merdeka.
2. Ejaan Republik (Ejaan Soewandi)
Ejaan van Ophuijsen diganti karena dirasa sudah tidak sesuai lagi dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, pada tahun 1947
muncullah sebuah ejaan baru sebagai pengganti ejaan van Ophuijsen. Ejaan
tersebut diresmikan oleh Dr. Soewandi, yang saat itu menjabat sebagai Menteri
Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia, pada tanggal 19
Maret 1947 yang kemudian disebut sebagai Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi.
3. Ejaan yang Disempurnakan (EYD)
Pada tanggal 16 Agustus 1972 , Presiden Republik Indonesia meresmikan
pemakaian Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang lazim disingkat
dengan EYD. Peresmian ejaan tersebut berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
57 Tahun 1972 yang sebelumnya sudah tercantum dalam Keputsan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 03/A.1/72 tanggal 20 Mei 1972.
4. Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 31
Istilah ejaan bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD), sejak 2015
sudah tidak lagi digunakan berdasarkan Permendikbud Nomor 50 Tahun 2015
tanggal 26 November 2015. Sejak Permendikbud tersebut diundangkan, istilah
EYD tidak lagi digunakan dan digantikan dengan istilah EBI (Ejaan Bahasa
Indonesia).
Meskipun namanya diganti, sebenarnya tidak ada perbedaan secara
signifikan antara EYD edisi 2009 dan EBI 2015. Ada tiga perbaan menonjol
antara EYD dan EBI. Perrtama, penambahan huruf vokal diftong. Pada EYD,
huruf diftong hanya tiga, yaitu ai, au, ao. Sedangkan pada EBI, huruf diftong
ditambah satu, yaitu ei (misalnya pada kata geiser dan survei). Kedua,
penggunaan huruf kapital digunakan untuk menulis unsur julukan (hanya
menuliskan nama orang). Pada EBI, unsur julukan diatur ditulis dengan awal
huruf kapital. Ketiga, penggunaan huruf tebal. Pada EYD. Fungsi huruf tebal ada
tiga, yaitu (a) menuliskan judul buku, bab, dan semacamnya; (b) mengkhususkan
huruf; dan (c) menulis lema atau sublema dalam kamus. Sedangkan dalam EBI,
fungsi ketiga dihapus.
Dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI), terdapat
beberapa aturan sebagai berikut.
a. Pemakaian huruf (huruf abjad, huruf vokal, huruf konsonan, huruf diftong,
gabungan huruf konsonan, huruf kapital, huruf miring, dan huruf tebal)
b. Penulisan kata (kata dasar, kata berimbuhan, bentuk ulang, gabungan kata,
pemenggalan kata, kata depan, partikel, singkatan dan akronim, angka dan
bilangan, kata ganti, serta kata sandang)
c. Penempatan tanda baca, di antaranya: tanda titik, tanda koma, tanda titik dua,
anda titik koma, tanda hubung, tanda pisah, tanda titik titik/elipsis, tanda
tanya, tanda seru, tanda kurung biasa, tanda petik tunggal, tanda petik gand,
tanda kurung siku, tanda garis miring, dan tanda apostrof. Tanda baca
tersebut diaplikasikan dalam teks sesuai dengan kaidah yang berlaku secara
resmi.
d. Penulisan unsur serapan. Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia banyak
menyerap unsur bahasa dari pelbagai daerah dan negara, seperti Sanskerta,
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 32
Arab, Portugis, Belanda, atau Inggris. Berdasarkan integrasinya, penyerapan
unsur itu dibagi ke dalam dua golongan besar, yaitu unsur penyerapan yang
belum sepenuhnya dam unsur penyerapan yang disesuaikan dengan kaidah
bahasa Indonesia.
e. Pedoman umum pembentukan istilah di antaranya: konsep dasar istilah,
proses pembentukan istilah, pemadanan istilah, aspek tata bahasa peristilahan,
aspek semantik peristilahan, dan bentuk terikat bahasa asing (Bahar,
2017:101—145).
Untuk lebih mengetahui aturan dalam Ejaan Bahasa Indonesia tahun 2015
tersebut, dapat dilihat pada Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI),
dan mahasiswa diperkenankan untuk membandingkan dengan Pedoman Umum
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD) tahun 2009, agar
mendapatkan pengetahuan tentang perubahannya.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 33


BAB V
KALIMAT DALAM BAHASA INDONESIA

A. Batasan Kalimat
Sekurang-kurangnya kalimat dalam ragam resmi, baik lisan maupun
tertulis, harus memiliki subjek (S) dan predikat (P). Jika tidak memiliki unsur S
dan P, pernyataan itu bukanlah kalimat. Dengan kata lain yang seperti itu hanya
dapat disebut sebagai frasa. Inilah yang membedakan kalimat dengn frasa.
Kalimat mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan, kalimat
diucapkan dengan suara naik turun, dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri
dengan intonasi akhir. Dalam wujud tulisan berhuruf latin kalimat dimulai dengan
huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru
(Rokhmansyah, 2018:29).
Kalimat mempunyai beberapa ciri-ciri. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai
berikut.
1. berintonasi akhir;
2. miniml terdiri atas subjek dan predikat;
3. predikat transitif disertai objek, intransitif dapat diikuti pelengkap;
4. mengandung pikiran yang utuh dan kesatuan makna;
5. menggunakan urutan yang logis; dan
6. dalam bahasa tulis diawali huruf kapital dan diakhiri tanda titik, tanda tanya,
atau tanda seru.

B. Struktur Kalimat
Karangan ilmiah harus dengan menggunakan struktur kalimat bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Namun dalam kenyataannya, banyak penulis yang
hanya mementingkan komponen isi dan mengabaikan komponen bentuk, terutama
struktur kalimat dan struktur paragraf.
Karangan ilmiah mengandung satuan-satuan tata bahasa yang bersifat
hierarkis, yaitu satuan-satuan yang secara bertingkat membentuk satu sistem.
Dalam sistem tersebut satuan yang lebih kecil merupakan bagian dari satuan yang
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 34
lebih besar. Pembentukan masing-masing satuan tersebut mengikuti kaidah-
kaidah tertentu, yang disebut kaidah-kaidah tata bahasa.
1. Struktur Kalimat
Alwi, dkk., 1998 (dalam Ermanto dan Emidar. 2014:115) mengungkapkan
kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang
mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan
suara naik turun dan keras lembut, disela jeda. Dan diakhiri dengan intonasi akhir
yang diikuti oleh kesenyapan. Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), atau tanda tanya (?), atau tanda seru (!).
Kalimat ragam baku minimal memiliki dua unsur, yaitu unsur subjek dan
unsur predikat. Jika predikat kalimatnya berupa kata kerja transitif (kata kerja
yang menuntut kehadiran unsur objek), kalimat itu harus terdiri atas tiga unsur,
yakni subjek-predikat, objek.
Untuk memeriksa apakah kalimat yang ditulis memenuhi syarat kaidah
tata bahasa, seorang penulis perlu mengenal fungsi unsur kalimat (subjek,
predikat, objek, pelengkap, dan keterangan.
Pertama, subjek merupakan fungsi sintaksis terpenting dalam sebuah
kalimat, selain unsur predikat. Menurut Sugono, 1993 (dalam Ermanto dan
Emidar, 2014:116) ciri-ciri subjek adalah sebagai berikut.
a. Pada umumnya subjek berupa nomina atau frase nomina atau kelas kata lain
yang dapat menduduki fungsi subjek.
b. Merupakan jawaban atas pertanyaan apa atau siapa.
c. Dapat diperluas dengan kata itu, ini.
d. Dapat diperluas dengan menggunakan frase atau klausa dengan kata
penghubung yang.

Kedua, predikat merupakan unsur pokok yang disertai unsur subjek, dan
jika ada disertai unsur objek, pelengkap, dan atau keterangan wajib di sebelah
kanan. Ciri-ciri predikat juga diungkapkan oleh Sugono,1993 (dalam Ermanto dan
Emidar, 2014:116) sebagai berikut.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 35


a. Predikat berupa verba atau frase verbal, adjektiva atau frase adjektival,
nomina atau frase nominal, nemeral atau frase numeralia.
b. Merupakan jawaban atas pertanyaan mengapa atau bagaiamana.
c. Dapat disertai kata pengingkar tidak dan bukan.
d. Dapat disertai kata-kata seperti sesudah, belum, akan, ingin, hendak, dan
mau.

Ketiga, objek adalah unsur kalimat yang kehadirannya dituntut oleh


predikat yang berupa verba transitif pada kalimat aktif. Ciri-ciri objek
diungkapakan Sugono, 1993 (dalam Ermanto dan Emidar, 2014:117) sebagai
berikut.
a. Terdapat dalam kalimat transitif.
b. Terletak langsung di belakang predikat.
c. Dapat menjadi subjek dalam kalimat pasif.
d. Tidak didahului oleh preposisi
e. Dapat diganti dengan pronomina-nya.
f. Berwujud frasa nomina atau klausa.

Keempat, pelengkap berbeda dengan objek. Sugono, 1993 (dalam Ermanto


dan Emidar, 2014:117) menjelaskan ciri-ciri pelengkap dalam bahasa Indonesia
adalah sebagai berikut.
a. Berwujud nomina atau frasa nominal, verba atau frasa verba, adjektiva atau
frasa adjektiva, atau klausa.
b. Berada langsung di belakang predikat jika tidak ada objek dan di belakang
objek kalau unsur objek hadir.
c. Tidak dapat menjadi subjek akibat pemasifan kalimat.
d. Terdapat dalam kalimat yang berpredikat verba.
e. Tidak dapat diganti dengan –nya kecuali dalam kobinasi preposisi selain di,
ke, dari, dan akan.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 36


Kelima, keterangan merupakan unsur kalimat yang memberikan informasi
lebih lanjut tentang sesuatu yang dinyatakan dalam kalimat. Ciri-ciri keterangan
menurut Sugono, 1993 (dalam Ermanto dan Emidar, 2014:117) adalah sebagai
berikut.
a. Memberikan informasi tentang tempat, waktu, cara, alat, sebab, akibat.
b. Memiliki keleluasaan posisi (penempatan) dalam kalimat.
c. Didahului oleh kata depan, seperti di, dari, pada, selama, dengan,sebab.
d. Biasanya berupa frase preposisional.
e. Pada umumnya, kehadiran keterangan dalam kalimat bersifat manasuka.

2. Pola Kalimat Dasar


Kalimat dasar merupakan kalimat yang belum mengalami perubahan,
seperti penambahan keterangan atau pun keterangan subjek, keterangan predikat,
dan keterangan objek. Menurut Alwi, dkk., 1998 (dalam Ermanto dan Emidar,
2014:118). Ada enam tipe kalimat dasar dalam bahasa Indonesia.
a. Kalimat dasar berpola S-P seperti di bawah ini.
Orang itu sedang tidur
Kami pengamen

b. Kalimat dasar berpola S-P-O seperti di bawah ini.


Ayahnya membeli mobil baru.
Dia menulis buku teks.

c. Kalimat dasar berpola S-P-Pel seperti di bawah ini.


Adikku belajar komputer.
Dia sudah menjadi dosen.

d. Kalimat dasar berpola S-P-Ket seperti di bawah ini.


Banjir besar telah terjadi di Amerika.
Rumah kami berada di seberang sungai.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 37


e. Kalimat dasar berpola S-P-O-Pel seperti di bawah ini.
Kami mengirimi ibu paket lebaran.
Dian mengambilkan adiknya air minum.

f. Kalimat dasar berpola S-P-O-Ket seperti di bawah ini.


Dia memasukkan dokumen itu ke dalam map.
Polisi melakukan tertuduh dengan baik.

3. Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri dari satu dasar kalimat.
Namun dalam kalimat tunggal bisa diperluas dengan unsur tambahan seperti
keterangan tempat, waktu, dan alat. Alwi, dkk., 1998 (dalam Ermanto dan Emidar,
2014:120) menguraikan beberapa macam kalimat tunggal sebagai berikut.
a. Kalimat taktransitif seperti di bawah ini.
Mahasiswa itu sedang berbelanja.
Pak Ahmad akan naik haji.

b. Kalimat ekatransitif seperti di bawah ini.


Pemerintah akan memasok semua kebutuhan lebaran.
Dia memberangkatkan kereta api itu dengan cepat.

c. Kalimat dwitransitif seperti di bawah ini.


Kami sedang mencarikan anak itu pekerjaan
Ayah mengirimi kami uang bulanan.

d. Kalimat pasif seperti di bawah ini.


Seorang asisten baru telah diangkat pak Toha.
Tugas ini baru kami selesaikan.

e. Kalimat berpredikat adjektif seperti di bawah ini.


Ayahnya sakit.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 38
Warna bajunya biru langit.

f. Kalimat berpredikat nominal seperti di bawah ini.


Buku itu cetakan Bandung.
Orang itu pencurinya.

g. Kalimat berpredikat numeral seperti di bawah ini.


Anaknya banyak.
Lebar sungai itu lebih dari dua retus meter.

h. Kalimat berpredikat frasa preposisional seperti di bawah ini.


Ibu sedang ke pasar.
Ayahnya dari Sunda.

4. Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat yang memiliki dua pola kalimat atau
lebih yang saling berhubungan.

a. Kalimat Majemuk Setara (Koordinatif)


Kalimat majemuk setara adalah kalimat majemuk yang memiliki dua
kluasa (dua pola kalimat) atau lebih yang masing-masingnya mempunyai
kedudukan yang setara dalam struktur konstituen kalimat. Hubungan antara kluasa
yang satu dan klausa yang lainnya tidaklah membentuk hubungan yang hierarkis.
Artinya, Klausa yang satu bukanlah bagian dari klausa yang lain.
Kalimat majemuk setara menyatakan hubungan penjumlahan seperti di
bawah ini.
Sudah sebulan kami mengarungi laut dan kami amat merindukan
daratan.
Aku melompat dari anak tangga, kemudian berlari ke halaman.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 39


Kalimat majemuk setara menyatakan hubungan perlawanan seperti di
bawah ini.
Dunia anak kampung tidak saja bebas, tetapi juga lebih terbuka.
Adikku belum bersekolah, tetapi dia sudah bisa membaca.

b. Kalimat Majemuk Bertingkat (Subordinatif)


Kalimat majemuk bertingkat adalah kalimat majemuk yang memiliki dua
klausa (dua pola kalimat) atau lebih yang salah satu klausa yang lain. Dalam
kalimat majemuk bertingkat, antara klausa yang satu dan klausa yang lain lazim
dihubungkan oleh konjungtor seperti bahwa. Menurut Alwi, 1998 (dalam
Ermanto dan Emidar, 2014:123), selain menggunakan kunjungtor bahwa, juga
terdapat konjungtor lain untuk menyatakan hubungan bertingkat. Seperti yang
dijelaskan berikut ini.
1) Konjongtor waktu, yaitu setelah, sesudah, sebelum, sehabis, sejak, selesai,
ketika, tatkala, sewaktu, sementara, sambil, seraya, selaga, selama,
hingga, sampai.
2) Konjungtor syarat, yaitu jika, kalau, jikalau, asal(kan), bila, manakala.
3) Konjungtor pengandaian, yaitu andaikan, seandainya, andaikata,
sekiranya.
4) Konjungtor tujuan, yaitu agar, supaya, biar, guna, untuk.
5) Konjungtor konsesif, yaitu biarpun, meski(pun), sesungguhpun, sekalipun,
walaupun, kendati(pun).
6) Konjungtor pembandingan (kemiripan), yaitu seperti, laksana, seolah-
olah, sebagaimana, bagaikan, seakan-akan, alih-alih, ibarat.
7) Konjungtor sebab, yaitu sebab, karena, oleh karena.
8) Konjungtor hasil atau akibat, yaitu sehingga, akibatnya, sampai-sampai.
9) Konjungtor cara, yaitu dengan, tanpa.
10) Konjungtor alat, yaitu dengan, tanpa.

C. Pengertian Kalimat Efektif

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 40


Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan
penutur/penulisnya secara tepat sehingga dapat dipahami oleh pendengar/pembaca
secara tepat pula. Efektif dalam hal ini adalah ukuran kalimat yang memiliki
kemampuan menimbulkan gagasan atau pikiran pada pendengar atau pembaca.
Dengan kata lain, kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mewakili pikiran
penulis atau pembicara secara tepat sehingga pendengar/pembaca dapat
memahami pikiran tersebut dengan mudah, jelas dan lengkap seperti apa yang
dimaksud oleh penulis atau pembicaranya.
Efektif mengandung pengertian tepat guna, artinya sesuatu akan berguna
jika dipakai pada sasaran yang tepat. Pengertian efektif dalam kalimat adalah dan
ketepatan penggunaan kalimat dan ragam bahasa tertentu dalam situasi
kebahasaan tertentu pula.

D. Penyusunan Kalimat Bahasa Indonesia Ragam Formal


Kata-kata yang digunakan dalam kalimat, perlu dipilih secara tepat.
Karena diksi yang tepat akan memudahkan pembaca memahami maksud kita.
Ketika membuat kalimat bahasa Indonesia ragam formal, kita harus memilih,
menimbang, dan menggunakan kata secara tepat. Dengan alasan sebagai berikut.
1. Kata-kata Denotatif dan Konotatif
Kata bermakna denotatif adalah kata yang bermakna sesuai dengan hasil
observasi penglihatan, penciuman, pendengaran, perabaan, dan pengecapan.
Artinya, kata-kata bermakna denotatif adalah kata-kata yang maknanya
menyangkut informasi-informasi faktual objektif, Chaer, 1995 (dalam Ermanto
dan Emidar, 2014:95).
Sedangkan kata-kata bermakna konotatif menurut Arifin dan Tasai, 2004
(dalam Ermanto dan Emidar, 2014:95) adalah kata-kata yang memiliki makna
asosiatif yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial, sikap pribadi dan kriteria
tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual atau denotatif.
Dalam karangan ilmiah, kata-kata bermakna denotatif perlu digunakan
secara tepat. Dengan demikian, kata-kata bermakna konotatif dapat pula
digunakan ada kondisi dan situasi tertentu.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 41
Kata Denotatif Kata Konotatif
pekerja pegawai, karyawan
mati meninggal, wafat

Menurut Arifin dan Tasai, 2004 (dalam Ermanto dan Emidar, 2014:96)
makna denotatif dan makna konotatif berhubungan erat dengan kebutuhan
pemakai bahasa. Artinya, kata bermakna denotatif adalah kata yang memiliki arti
harfiah dan tidak memiliki makna tambahan yang berkaitan dengan sikap penutur.
Demikian pula, kata bermakna konotatif adalah kata yang memiliki nilai rasa
tertentu.

2. Kata Umum dan Kata Khusus


Kata umum digunakan untuk mengungkapkan hal yang generik
(universal). Sebaliknya, kata khusus digunakan untuk mengungkapkan hal yang
spesifik (spesial). Dalam bahasa Indonesia, kata umum adalah kata yang memiliki
acuan yang lebih luas daripada kata khusus.
Kata Umum Kata Khusus
ikan gurame, lele, sepat,tuna, nila, koki mas
bunga mawar, ros, melati, dahlia, anggrek

3. Kata-kata Bersinonim
Kata-kata bersinonim adalah kata-kata (bentuknya memang berbeda) yang
pada dasarnya mempunyai makna yang hampir serupa atau mirip. Oleh karena itu,
diakui para pakar bahasa, bahwa kesinoniman kata-kata itu tidaklah bersifat
mutlak. Kata-kata bersinonim perlu dipahami, dipilih, dan digunkan secara tepat
dalam kalimat ragam formal.
Contoh:
cerdas = cerdik, hebat, pintar
mati = mangkat, wafat, maninggal

4. Kata Baku dan Nonbaku


Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 42
Kata baku dan kata nonbaku dapat dilihat berdasarkan beberapa ranah,
seperti ranah fonologis, ranah morfologis, dan ranah leksikon. Pertama, kata baku
dan kata nonbaku dapat dilihat berdasarkan ranah fonologis. Maksudnya, sebuah
kata baku kadang-kadang memiliki kata nonbaku karena penambahan fonem,
pengurangan, atau pengubahan fonem.
Contoh pasangan kata baku dan kata nonbaku karena penambahan fonem.
Kata Baku Kata Nonbaku
imbau himbau
utang hutang

Contoh pasangan kata baku dan kata nonbaku karena pengurangan fonem.
Kata Baku Kata Nonbaku
tidak tak
tetapi tapi
Contoh pasangan kata baku dan kata nonbaku karena pengubahan fonem.
Kata Baku Kata Nonbaku
telur telor
roboh rubuh

Kedua, kata baku dan kata nonbaku dapat pula dilihat berdasarkan ranah
morfologis. Maksudnya, sebuah kata baku kadang-kadang memiliki kata nonbaku
karena pada hasil proses morfologis terjadi pengurangan fonem atau pengubahan
fonem, terjadi penggantian afiks, dan terjadi kelebihan fonem.
Contoh kata baku dan kata nonbaku karena pada hasil morfologis terjadi
pengurangan fonem.
Kata Baku Kata Nonbaku
memfokuskan memokuskan
memprotes memrotes

Contoh kata baku dan kata nonbaku karena pada hasil morfologis terjadi
pengurangan fonem.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 43
Kata Baku Kata Nonbaku
mengubah merubah

Contoh kata baku dan kata nonbaku karena pada hasil morfologis terjadi
penggantian afiks.
Kata Baku Kata Nonbaku
menangkap nangkap
menatap natap

Contoh kata baku dan kata nonbaku karena pada hasil morfologis terjadi
kelebihan fonem.
Kata Baku Kata Nonbaku
bekerja berkerja
teperdaya terperdaya

Ketiga, kata (frasa) baku dan kata (frasa) nonbaku dapat dilihat
berdasarkan ranah leksikon. Maksudnya, sebuah kata (frasa) baku kadang-kadang
memiliki kata (frasa) nonbaku yang terdapat dalam ragam percakapan.
Contoh pasangan kata (frasa) baku dan kata (frasa) nonbaku ragam
percakapan.
Kata Baku Kata Nonbaku
belum masak belum matang
sedang tidur pada tidur

Selain itu, dalam kalimat ragam formal, jangan menggunakan frasa ragam
percakapan karena salah susunannya. Seperti dalam contoh berikut.
Kata Baku Kata Nonbaku
waktu lain lain waktu
malam nanti nanti malam

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 44


Dalam kalimat ragam formal, ada yang membuat kata-kata yang
maknannya redundan atau kata-kata yang berlebihan maknanya. Seperti dalam
contoh berikut.
Frasa Baku Frasa Nonbaku
paling pandai, terpandai paling terpandai
para ibu, ibu-ibu para ibu-ibu

Dalam bahasa Indonesia karena adanya penyerapan bahasa asing atau


bahasa daerah (Sanskerta) terdapat pasangan kata baku dan nonbaku. Seperti
dalam contoh berikut.
Kata Baku Kata Nonbaku
apotek apotik
atlet atlit
aktivitas aktifitas
asas azas

5. Penggunaan Kata Secara Tepat


Dalam kalimat-kalimat ragam formal, kata-kata yang digunakan harus
tepat. Misalnya, kekeliruan penggunaan kata yang sering terjadi adalah dalam hal
penggunaan kata depan (preposisi), seperti di yang seharusnya digunakan pada,
atau ke yang seharusnya digunakan kepada.
Contoh kekeliruan penggunaan preposisi di yang seharusnya digunakan
pada.
Penggunaan yang Tepat Penggunaan yang Tidak Tepat
pada saya di saya
pada siang hari di siang hari

Contoh kekeliruan penggunaan preposisi ke yang seharusnya digunakan


kepada.
Penggunaan yang Tepat Penggunaan yang Tidak Tepat
kepada saya ke saya
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 45
kepada mereka ke mereka

Alwi, 1998 (dalam Ermanto dan Emidar, 2014:108) mengemukakan


penggunaan kata depan atau kata penghubung sesuai fungsinya seperti berikut ini.
a. Untuk keterangan tempat digunakan kata di, ke, dari, di, di dalam, pada.
b. Untuk keterangan waktu digunakan kata pada, setelah, sebelum, sesudah,
selama, sepanjang.
c. Untuk keterangan alat digunakan kata dengan.
d. Untuk keterangan tujuan digunakan kata agar, supaya, untuk, bagi, demi.
e. Untuk keterangan cara digunakan kata dengan, secara, dengan cara, dengan
jalan.
f. Untuk keterangan penyerta digunakan kata dengan, bersama, beserta.
g. Untuk keterangan perbandingan/kemiripan digunakan kata seperti, bagaikan,
laksana.
h. Untuk keterangan sebab digunakan kata karena, sebab.

6. Penulisan Kata Secara Benar


Kesalahan penulisan kata yang sering terjadi dalam kalimat-kalimat ragam
formal adalah dalam hal penulisan kata depan (preposisi), seperti di, ke, dari yang
seharusnya ditulis terpisah dari kata yang diikutinya.
Penulisan preposisi di yang benar ditulis terpisah. Dapat dilihat dalam
contoh berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
di atas diatas
di jalan dijalan

Penulisan preposisi ke yang benar ditulis terpisah. Dapat dilihat dalam


contoh berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
ke atas keatas
ke jalan kejalan
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 46
Penulisan preposisi dari yang benar ditulis terpisah. Dapat dilihat dalam
contoh berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
dari atas dariatas
dari jalan darijalan

Selain kesalahan penulisan kata depan, sering pula terdapat kesalahan


penulisan partikel non seperti pada contoh berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
non-Indonesia non Indonesia
nonkependidikan non kependidikan, non-kependidikan

Kadang-kadang dalam karangan ilmiah, sering pula terdapat kesalahan


penulisan partikel sub seperti pada contoh berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
subseksi sub seksi, sub-seksi
subbab sub bab, sub-bab

Partikel per dalam bahasa Indonesia memiliki arti ‘mulai, demi, tiap’.
Penulisan pertikel per ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
per jam perjam
per hari perhari

Selain itu, dalam bahasa Indoneisa juga terdapat awalan per yang memiliki
arti ‘menjadikan...’, menjadikan lebih...’, atau ‘memperlakukannya sebagai...’.
Penulisan awalan per ini ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Seperti
pada contoh berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
perbesar per besar
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 47
perkakak per kakak

Kata pun dalam bahasa Indonesia yang mempunyai arti ‘juga’ harus
dituliskan secara terpisah dengan kata yang diikutinya. Seperti pada contoh
berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
aku pun akupun
mereka pun merekapun

Selain itu, kata pun padakata tertentu yakni ungkapan yang sudah padu
harus dituliskan serangkai dengan kata yang diikutinya. Dapat dilihat dalam
contoh berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
walaupun walau pun
sungguhpun sungguh pun

Bentuk terikat pasca dalam bahasa Indonesia ditulis serangkai dengan kata
yang mengikutinya. Seperti yang terlihat dalam contoh berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
pascasarjana pasca sarjana, pasca-sarjana
pascapanen pasca panen, pasca panen

Selain itu, kesalahan penulisan kata yang sering terjadi adalah dalam hal
penulisan awalah tertentu. Seperti yang terdapat dalam contoh berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
bertolak belakang bertolakbelakang
ditandatangani ditanda tangani

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 48


BAB VI
PARAGRAF DALAM BAHASA INDONESIA

A. Pengertian Paragraf
Paragraf disebut juga alinea. Kata tersebut merupakan serapan dari bahasa
Inggris paragraf. Kata Inggris “paragraf” terbentuk dari kata Yunani para yang
berarti “sebelum” dan grafein “menulis atau menggores”. Sedangkan kata alinea
dari bahasa Belanda dengan ejaan yang sama. Alinea berarti “mulai dari baris
baru” (Adjad Sakri,1992).
Paragraf adalah seperangkat atau sekelompok kalimat yang tersusun dari
satu kalimat pokok dan beberapa kalimat penjelas. Yang di maksud Kalimat
Pokok adalah suatu kalimat yang berisikan masalah atau kesimpulan dari paragraf
itu sendiri. Dan Kalimat Penjelas merupakan suatu kalimat yang berisikan
penjelasan masalah yang terdapat di kalimat pokok. Atau definisi paragraf adalah
bagian yang berasal dari suatu karangan yang terdiri dari sejumlah kalimat, yang
isinya mengungkapkan satuan informasi / kalimat dengan pikiran utama sebagai
pengendaliannya dan juga pikiran penjelas sebagai pendukungnya.

B. Struktur Paragraf dan Pengembangan Paragraf


Paragraf terdiri atas kalimat topik atau kalimat pokok dan kalimat penjelas
atau kalimat pendukung. Kalimat topik merupakan kalimat terpenting yang berisi
ide pokok alinea. Sedangkan kalimat penjelas atau kalimat pendukung berfungsi
untuk menjelaskan atau mendukung ide utama.
Mendapatkan banyaknya unsur dan urutan unsur yang pembangun
paragraf, struktur paragraf dapat dikelompokkan menjadi delapan kemungkinan,
yaitu:
1. Paragraf terdiri atas transisi kalimat, kalimat topik, kalimat pengembang, dan
kalimat penegas.
2. Paragraf terdiri atas transisi berupa kata, kalimat topik, kalimat pengembang,
dan kalimat penegas.
3. Paragraf terdiri atas kalimat topik, kalimat pengembang, dan kalimat peneges.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 49
4. Paragraf terdiri atas transisi berupa kata, kalimat topik, dan kalimat
pengembang.
5. Paragraf terdiri atas transisi berupa kalimat, kalimat topik, kalimat
pengembang.
6. Paragraf terdiri atas kalimat topik dan kalimat pengembang.
7. Paragraf terdiri atas kalimat pengembang dan kalimat topik. 

C. Jenis dan Pengembangan Paragraf


1. Pengembangan Paragraf
Gagasan utama dari sebuah paragraf hanya akan jelas apabila dirinci
dengan gagasan-gagasan penjelas. Tiap-tiap gagasan penjelas dapat dituangkan ke
dalam satu kalimat penjelas atau lebih. Dengan demikian, dalam sebuah paragraf
terdapat satu gagasan utama dan beberapa gagasan penjelas. Inilah yang
dinamakan kerangka paragraf.
Bagaimana mengembangkan kerangka tersebut menjadi paragraf, hal itu
amat bergantung pada sifat paragraf itu sendiri. Ada beberapa teknk dalam
mengembangkan paragraf. Teknik pengembangan paragraf itu, secara garis besar
ada dua macam. Pertama, menggunakan ‘ilustrasi’. Apa yang dikatakan dalam
kalimat topik dilukiskan dan digambarkan dengan kalimat-kalimat penjelas
sehingga di depan pembaca tergambar dengan nyata apa yang dimaksudkan oleh
penulis. Kedua, menggunakan’ analisis’. Apa yang dinyatakan dalam kalimat
topik dianalisis secara logika sehingga pernyataan tadi merupakan suatu yang
meyakinkan.
Di dalam praktiknya, kedua teknik di atas dapat dirinci lagi menjadi
beberapa cara pengembangan paragraf yang lebih praktis. Di antaranya, yaitu: (a)
alamiah, (b) perbandingan dan pertentangan, (c) analogi, (d) contoh-contoh, (e)
sebab akibat (f) definisi luas, dan (g) klasifikasi. Berikut merupakan penjelasan
singkat dan contoh-contoh pengembangan paragraf tersebut.

2. Jenis Paragraf

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 50


Dalam sebuah karangan biasanya terdapat tiga macam paragraf jika dilihat
dari segi jenisnya.
a. Paragraf/Alinea Pembuka
Paragraf ini merupakan pembuka atau pengantar untuk sampai pada segala
pembicaraan yang akan menyusul kemudian. Paragraf pembuka harus dapat
menarik minat dan perhatian pembaca, serta sanggup menghubungkan pikiran
pembaca kepada masalah yang akan disajikan selanjutnya. Salah satu cara untuk
menerik perhatian ini ialah dengna mengutip pertanyaan yang memberikan
rangsangan dari para orang terkemuka atau orang yang terkenal. Sebagai awal
sebuah karangan, paragraf pembuka harus mampu menjalankan fungsi
1) Menghantar pokok pembicaraan.
2) Menarik minat dan perhatian pembaca.
3) Menyiapkan atau menata pikiran pembaca untuk mengetahui isi seluruh
karangan.

b. Paragraf/Alinea Pengembangan
Paragraf pengembangan ialah paragraf yang terletak antara paragraf
pembuka dan paragraf yang terakhir sekali di dalam bab atau anak bab. Paragraf
ini mengembangkan pokok pembicaraan yang dirancang. Paragraf pengembangna
mengemukakan inti persoalan yang akan dikemukakan. Satu paragraf dan
paragraf lain harus memperlihatkan hubungan dengan cara ekspositoris, dengan
cara deskriptif, dengan cara naratif, atau dengan cara argumentative yang akan
dibicarakan pada halaman-halaman selanjutnya.
Secara lebih rinci dapat dirumuskan bahwa fungsi paragraf pengembang di
dalam karangan adalah
1) Mengemukakan inti persoalan.
2) Mempersiapkan dasar atau landasan bagi kesimpulan.
3) Meringkas alinea sebelumnya.
4) Menjelaskan hal yang akan diuraikan pada paragraf berikutnya.

c. Paragraf/Alinea Penutup
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 51
Paragraf penutup adalah paragraf yang terdapat pada akhir karangan atau
pada akhir suatu kesatuan yang lebih kecil di dalam karangan itu. Paragraf
penutup berupa simpulan semua pembicaraan yang telah dipaparkan pada bagian-
bagian sebelumnya. Karena paragraf ini dimaksudkan untuk mengakhiri karangan
atau bagian karangan, penyajiannya harus memperhatikan hal berikut ini.
1) Sebagai bagian penutup, paragraf ini tidak boleh terlalu panjang.
2) Isi paragraf harus benar-benar merupakan penutup atau kesimpulan akhir
sebagai cerminan inti seluruh uraian.
3) Sebagai bagian paling akhir yang dibaca, hendaknya paragraf ini dapat
menimbulkan kesan yang mendalam bagi pembacanya.

D. Hubungan Antarparagraf (Hubungan Koherensi dan Kohesi)


Hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang
teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit
(terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan
interpretasi.
Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian dalam wacana, dan
kohesi merupakan salah satu cara untuk membentuk koherensi. Koherensi
merupakan salah satu aspek wacana yang penting dalam menunjang keutuhan
makna wacana. Bila suatu ujaran tidak memiliki koherensi, hubungan semantik-
pragmatik yang seharusnya ada menjadi tidak terbina dan tidak logis. Brown dan
Yule (dalam Mulyana, 2005:135) menegaskan bahwa koherensi berarti kepaduan
dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau tuturan. Dalam struktur
wacana, aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian
batin antara proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan keutuhan.
Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan
makna yang terjadi antarunsur secara semantis.
Pada dasarnya hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan
gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara
implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan
interprestasi. Di samping itu, pemahaman hubungan koherensi dapat ditempuh
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 52
dengan cara menyimpulkan hubungan antarproposisi dalam tubuh wacana itu.
Kohesi dapat diungkapkan secara eksplisit, yaitu dinyatakan dalam bentuk
penanda koherensi yang berupa penanda hubungan antarkalimat. Penanda
hubungan itu berfungsi untuk menghubungkan kalimat sekaligus menambah
kejelasan hubungan antarkalimat dalam wacana.
Tujuan pemakaian aspek atau sarana koherensi antara lain ialah agar
tercipta susunan dan struktur wacana yang memiliki sifat serasi, runtut, dan logis.
Sifat serasi artinya sesuai, cocok, dan harmonis. Kesesuaian terletak pada
serasinya hubungan antarproposisi dalam kesatuan wacana. Runtut artinya urut,
sistematis, tidak terputus-putus, tetapi bertautan satu sama lain. Sedangkan sifat
logis mengandung arti masuk akal, wajar, jelas, dan mudah dimengerti. Suatu
rangkaian kalimat yang tidak memiliki hubungan bentuk dan makna secara logis,
tidak dapat dikatakan sebagai wacana.
Harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana 2005:32) mengemukakan bahwa
hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan semantis. Artinya,
hubungan itu terjadi antarproposisi. Secara struktural, hubungan itu
direpresentasikan oleh pertautan secara semantis antara kalimat (bagian) yang satu
dengan kalimat lainnya. Hubungan maknawi ini kadang-kadang ditandai oleh alat
leksikal, namun kadang-kadang tanpa petanda. Hubungan semantis yang
dimaksud antara lain (1) hubungan sebab akibat, (2) hubungan sarana hasil, (3)
hubungan alasan sebab, (4) hubungan sarana tujuan, (5) hubungan latar
kesimpulan, (6) hubungan kelonggaran hasil, (7) hubungan syarat-hasil, (8)
hubungan perbandingan, (9) hubungan parafrastis, (10) hubungan amplikatif, (11)
hubungan aditif waktu (simultan dan berurutan), (12) hubungan aditif nonwaktu,
(13) hubungan identifikasi, (14) hubungan generik spesifik, dan (15) hubungan
ibarat. Penjelasannya, yaitu sebagai berikut.
a. Hubungan Sebab Akibat
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan sebab,
sedangkan kalimat berikutnya menyatakan akibat. Berikut penggunaan
hubungan sebab-akibat dalam kalimat.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 53


Ia tidak mungkin menemukan buku fiksi di perpustakaan itu. Koleksi
perpustakaan itu khusus buku nonfiksi ilmiah.
b. Hubungan Akibat Sebab
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kedua menyatakan sebab
terjadinya/tindakan yang dinyatakan pada kalimat pertama. Berikut
penggunaan hubungan akibat-sebab dalam kalimat.
Tiba-tiba ia merasa rindu kepada anaknya. Tanpa banyak persiapan pergilah
ia ke kota yang jauh itu.
c. Hubungan Sarana Hasil
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan sarana untuk
perolehan yang dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan
hubungan sarana-hasil dalam kalimat.
Atlit bulutangkis kita akhirnya mendominasi kejuaraan Indonesia Terbuka.
Kita tidak usah heran, mereka berlatih dengan ketat dan sangat disiplin.
d. Hubungan Sarana Tujuan
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kalimat kedua menyatakan syarat
untuk tercapainya apa yang dinyatakan pada kalimat lain. Berikut
penggunaan hubungan sarana-tujuan dalam kalimat.
Bekerjalah dengan keras. Cita-citamu menjadi orang kaya bakal kesampaian.
e. Hubungan Alasan Tindakan
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan alasan bentuk
tindakan yang dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan
hubungan alasan-tindakan dalam kalimat.
Tahun ini mereka bertekad membangun rumah sendiri. Sudah lama sekali
mereka numpang di rumah saudara.
f. Hubungan Latar Simpulan
Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimat menyatakan simpulan
atas pernyataan pada kalimat lainnya. Berikut penggunaan hubungan latar-
simpulan dalam kalimat.
Mobil itu sudah tua, tetapi. Rupanya pemiliknya pandai merawatnya.
g. Hubungan Kelonggaran Hasil
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 54
Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimatnya menyatakan
kegagalan suatu usaha yang dinyatakan pada kalimat lainnya. Berikut
penggunaan hubungan kelonggaran-hasil dalam kalimat.
Sudah lama aku di kota ini mencarinya. Alamat itu tak juga kutemukan.
h. Hubungan Syarat Hasil
Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimat menyatakan syarat untuk
tercapainya apa yang dinyatakan pada kalimat lainnya. Berikut penggunaan
hubungan syarat-hasil dalam kalimat.
Beri bumbu dan penyadap rasa yang tepat. Masakanmu pasti enak.
i. Hubungan Perbandingan
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama dibandingkan dengan yang
dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan sebab-
akibat dalam kalimat.
Pengantin itu sangat anggun. Seperti dewa-dewi dari Khayangan.
j. Hubungan Parafrastis
Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada
kalimat pertama dinyatakan secara lain dengan kalimat berikutnya. Berikut
penggunaan hubungan parafrastis dalam kalimat.
Saya tidak setuju dengan penambahan anggaran untuk proyek ini, karena
tahun lalu dana juga tidak habis. Sudah saatnya kita menghemat uang rakyat.
k. Hubungan Amplikatif
Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat
pertama diperkuat atau ditegaskan dengan gagasan pada kalimat berikutnya.
Berikut penggunaan hubungan amplikatif dalam kalimat.
Dua burung itu jangan dipisah. Masukkan dalam satu kandang saja.
l. Hubungan Adiktif
Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat
pertama diikuti atau ditambah dengan gagasan pada kalimat berikutnya.
Berikut penggunaan hubungan adiktif dalam kalimat.
Biar dia duduk dulu. Saya akan selesaikan pekerjaan ini (simultan).
m. Hubungan Identifikasi
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 55
Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat
pertama didentifikasi dengan kalimat berikutnya. Berikut penggunaan
hubungan identifikasi dalam kalimat.
Tidak bisa masuk ke universitas itu tidak berarti bodoh. Kamu tahu nggak,
Einstein? Fisikawan genius itu juga pernah gagal masuk ke universitas.
n. Hubungan Generik-Spesifik.
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan gagasan umum
atau luas, sedangkan kalimat berikutnya menyatakan gagasan khusus atau
sempit. Berikut penggunaan hubungan generik-spesiik dalam kalimat.
Gadis model itu sangat cantik. Wajahnya bersih, matanya indah, bibirnya
menawan. Apalagi jalannyaa, luar biasa.
o. Hubungan Spesifik-Generik
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan gagasan umum
atau luas, sedangkan kalimat berikutnya menyatakan gagasan khusus atau
sempit. Berikut penggunaan hubungan spesifik-generik dalam kalimat.
Saya bangun tidur pukul 05.00. Saya mandi lalu salat subuh. Setelah itu saya
membantu ibu lalu makan pagi bila ada. Kemudian berangkat ke sekolah.
Itulah kegiatanku setiap pagi.
p. Hubungan Ibarat
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama diibaratkan seperti yang
dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan ibarat
dalam kalimat.
Kelihaiannya mengelola bisnis sungguh piawai. Memang dia seperti belut di
lumpur basah.
q. Argumentatif (makna alasan)
Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kedua menyatakan argumen
(alasan) bagi pendapat yang dinyatakan pada kalimat pertama. Berikut
penggunaan hubungan argumentatif dalam kalimat.
Dia menang dalam pemilihan ketua RW. Dia orang yang bijaksana dan dapat
bergaul dengan siapa saja.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 56


Tujuan pemakaian aspek atau sarana koherensi antara lain ialah agar
tercipta suasana dan struktur wacana yang memiliki sifat serasi, runtut, dan logis.
Sifat serasi artinya sesuai, cocok, dan harmonis. Kesesuaian terletak pada
serasinya hubungan antarproposisi dalam kesatuan wacana. Runtut artinya urut,
sistematis, tidak terputus-putus, tetapi bertautan satu sama lain. Keruntutan artinya
umumnya terjadi dalam susunan kalimat (struktur). Asas ini diperlukan untuk
mengintegrasikan secara rapi unsur-unsur wacana ke dalam satu kesatuan
sehingga tidak terjadi loncatan-loncatan pikiran. Sifat logis mengandung arti
masuk akal, wajar, jelas, dan mudah dimengerti. Suatu rangkaian kalimat yang
tidak memiliki hubungan bentuk dan makna secara logis tidak dapat dikatakan
sebagai wacana (Mulyana 2005:35).

1. Jenis-jenis Kohesi
Halliday dan Hassan (dalam Mulyana, 2005:26) mengemukakan bahwa
unsur-unsur kohesi wacana dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu kohesi
gramatikal dan kohesi leksikal. Unsur kohesi gramatikal terdiri dari reference
(referensi), substitution (substitusi), ellipsis (elipsis), dan conjunction (konjungsi),
sedangkan kohesi leksikal terdiri atas reiteration (reiterasi) dan collocation
(kolokasi).

2. Contoh Wacana yang Koheren dan Tidak Koheren


a. Contoh Wacana yang Koheren
Menurut Yule (2006:144-145), secara umum, apa yang ada dalam benak
pemakai bahasa sebagian besar adalah suatu asumsi koherensi, yaitu apa yang
dikatakan atau dituliskan mengandung arti sesuai dengan pengalaman normal
mereka. Pengalaman itu akan diartikan secara lokal oleh masing-masing individu
dan karena itu pengalaman akan terikat dengan keakraban dan harapan. Perhatikan
contoh berikut:
1) a. Plant Sale
(tanaman dijual)
b. garage sale
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 57
(perabot rumah tangga bekas dijual)
Contoh (1a.) berarti bahwa seseorang menjual tanaman, tetapi tulisan dalam (1b.)
tidak berarti bahwa sesorang menjual gudang.
Walaupun tulisan tersebut memiliki struktur yang identik, tulisan tersebut
diterjemahkan berbeda. Memang benar penerjemah (1b.), bahwa seseorang mau
menjual perabot rumah tangga bekas dari dalam gudang mereka, merupakan
sesorang yang menginginkan sedikit pengakraban dengan kehidupan pinggiran
kota.
Penekanan pada keakraban dan pengetahuan sebagai dasar koherensi itu
perlu karena terbukti bahwa orang cenderung membuat penafsiran seketika
terhadap materi yang dikenal dan cenderung tidak memperhatikan yang disajikan
dalam alternatif lain. Misalnya pertanyaan yang disajikan dalam:
2) How many animals of each type did Moses take on the ark?
(berapa banyak tipe binatang yang dibawa Moses di atas bahtera?

Jika Anda ingin dengan cepat berpendapat ‘dua’, lalu Anda memasukkan
pengetahuan budaya umum, bahkan mungkin tanpa memperhatikan bahwa nama
yang dipakai (Moses) itu tidak cocok. Kita sebenarnya membuat suatu penafsiran
yang koheren terhadap suatu teks yang secara potensial tidak memiliki penafsiran
itu.
Contoh lain, perhatikan berikut ini:

(a) Buah Apel adalah salah satu buah yang sangat tidak diragukan
kelezatan rasanya. (b) Menurut beberapa penelitian dibalik
kelezatan dari rasa buah apel ternyata juga mengandung banyak
zat-zat yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh kita. (c) Untuk itu
sangatlah penting untuk mengkonsumsi buah apel. (d) Buah Apel
memiliki kandungan vitamin, mineral dan unsur lain seperti serat,
fitokimian, baron, tanin, asam tartar, dan lain sebagainya. (e)
Dengan kandungan zat-zat tersebut buah apel memiliki manfaat
yang dapat mencegah dan menanggulangi berbagai penyakit. (f)
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 58
Berikut ini adalah beberapa manfaat buah apel bagi kesehatan yang
berhasil dihimpun dari berbagai sumber yaitu buah apel dapat
mencegah penyakit asma, dapat mengurangi berat badan,
melindungi tulang, menurunkan kadar kolesterol, mencegah kanker
hati, kanker paru-paru, kanker payudara, kanker usus, mengontrol
diabetes, membersihkan dan menyegarkan mulut.

Bagian-bagian pada wacana di atas saling mempunyai kaitan secara


maknawi, kalimat di atas menjelaskan secara rinci zat-zat dan manfaat yang
terkandung dalam buah apel. Wacana itu termasuk wacana padu karena hampir
setiap kalimat berhubungan padu secara maknawi dengan bagian lain. Selain itu,
wacana itu juga kohesif. Ada beberapa kata yang diulang (buah apel pada setiap
kalimat). Jadi, wacana itu harus kohesif dan dan koherensif. Bahkan
keterpaduanlah (koherensi) yang harus diutamakan.

b. Contoh Wacana yang Tidak Koheren


Tamatan IKIP dan FKIP dimaksudkan untuk menjadi guru SLP dan
SLA di seluruh Indonesia (1) Indonesia adalah negeri kepulauan,
ada pulau yang besar dan ada pulau yang kecil (2) setiap pulau
dihuni oleh suku bangsa yang berbeda adat istiadat dan bahasa
daerahnya (3) eksistensi bahasa daerah di jamin undang-undang
Dasar 1945.
Kalimat (2) dan kalimat (1) dihubungkan dengan mengulang kata
Indonesia. Lalu kalimat (3) dan kalimat (2) dihunungkan dengan mengulang kata
pulau. Kemudian kalimat (4) dan kalimat (3) dihunungkan dengan mengulang
kata bahasa daerah. Namun, meskipun tampaknya ada hungungan antara setiap
kalimat yang berurutan, tetapi paragraph tersebut bukan paragraph yang baik dan
benar. Mengapa? Karena setiap kalimat mempunyai konsepnyaatau isinya
masing-masing, yang tidak saling berhubugan.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 59


3. Piranti Kohesi Gramatikal
Kohesi wacana terbagi ke dalam dua aspek, yaitu kohesi gramatikal dan
kohesi leksikal. Kohesi gramatikal antara lain adalah referensi, substitusi, elipsis,
konjungsi (Halliday dalam Mulyana, 2005:26). Kohesi gramatikal adalah
kepaduan yang dicapai dengan menggunakan elemen dan aturan gramatikal.
Kohesi gramatikal, antara lain, dapat terbentuk melalui rujukan, substitusi, dan
elipsis. Hal itu dapat disimak pada contoh berikut.
Orang tua ada yang setuju bahwa siswa boleh membawa telepon seluler
ke sekolah karena merela berpikir hal itu dapat memudahkan orang tua
untuk dapat menghubungi anaknya.
Ketika telepon seluler berdering ketika guru sedang mengajar di dalam
kelas, meskipun hanya mode getar, guru akan kehilangan beberapa saat
kesempatan mengajar karena terganggu. Hal itu akan merugikan seluruh
kelas.
Berdasarkan contoh (1) tersebut, -nya pada kata anaknya, merujuk pada
orang tua; sedangkan pada contoh (2) frasa hal itu merujuk pada kalimat guru
akan kehilangan kesempatan mengajar. Sarana kohesi gramatikal meliputi referen,
substitusi, elipsis, dan konjungsi.
1) Referensi (pengacuan)
Referensi (pengacuan) merupakan bagain kohesi gramatikal yang
berkaitan dengan penggunaan kata atau kelompok kata untuk menunjuk kata atau
kelompok kata atau satuan gramatikal lainnya (M. Ramlan dalam Mulyana,
2005:26).
Referensi atau pengacuan merupakan hubungan antara kata dengan
acuannya. Kata-kata yang berfungsi sebagai pengacu disebut deiksis sedangkan
unsur-unsur yang diacunya disebut antesedan. Referensi dapat bersifat eksoforis
(situasional) apabila mengacu ke antesedan yang ada di luar wacana, dan bersifat
endoforis (tekstual) apabila yang diacunya terdapat di dalam wacana. Referensi
endoforis yang berposisi sesudah antesedennya disebut referensi anaforis,
sedangkan yang berposisi sebelum antesedennya disebut referensi kataforis.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 60


Referen atau pengacuan adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu
acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Satuan lingual yang acuannya berada
di dalam teks wacana disebut pengacuan endofora, sedangkan satuan lingual yang
acuannya berada di luar teks wacana disebut pengacuan eksofora. Pengacuan
endofora berdasarkan arah pengacuannya dibedakan menjadi dua yaitu
a) Pengacuan Anaforis (anaphoric reference).
Pengacuan anaforis adalah jika satuan lingual mengacu pada satuan
lingual lain yang mendahuluinya, mengacu anteseden di sebelah kiri.
Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa
satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang
mendahuluinya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri, atau mengacu
pada unsur yang telah disebut terdahulu.
b) Pengacuan Kataforis (cataphoric reference)
adalah jika satuan lingual mengacu pada satuan lingual lain yang
mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan (Sumarlam
2008:23-24). Pengacuan kataforis merupakan salah satu kohesi
gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada
satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di
sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang baru disebutkan kemudian.
Satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain ini dapat
berupa persona (kata ganti orang), demonstratif (kata ganti penunjuk),
dan komparatif (satuan yang berfungsi membandingkan antara unsur
yang satu dengan unsur lainnya).
Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang
berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu
acuan) yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam, 2008:23). Berdasarkan
tempatnya, apakah acuan itu berada di dalam atau di luar teks, maka pengacuan
dibedakan menjadi dua jenis: (1) pengacuan endofora apabila acuannya (satuan
lingual yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana itu, dan (2)
pengacuan eksofora apabila acuannya berada atau terdapat di luar teks wacana.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 61
Jenis kohesi yang pertama yaitu pengacuan endofora. Berdasarkan arah
pengacuannya endofora dibedakan menjadi dua jenis lagi, yaitu pengacuan
anaforis dan pengacuan kataforis. Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi
gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual
lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri, atau mengacu
pada unsur yang telah disebut terdahulu. Sementara itu, pengacuan kataforis
merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang
mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di
sebelah kanan, atau mengacu satuan lingual lain yang mengikutinya, atau
mengacu anteseden yang baru disebutkan kemudian.
Satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain itu dapat
berupa persona (kata ganti orang), demonstratif (kata ganti penunjuk), dan
komparatif (satuan lingual yang berfungsi membandingkan antara unsur satu
dengan unsur lainnya). Dengan demikian, jenis kohesi gramatikal pengacuan
tersebut diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu pengacuan persona,
pengacuan demonstratif, dan pengacuan komparatif (Sumarlam, 2008:24).
a) Pengacuan Persona
Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti
orang), yang meliputi persona pertama (persona 1), kedua (persona 2),
dan ketiga (persona 3), baik tunggal maupun jamak. Pronomina persona
tunggal ada yang berupa bentuk bebas (morfem bebas) dan ada pula yang
terikat (morfem terikat). Selanjutnya ada yang berupa bentuk terikat ada
yang melekat di sebelah kiri (lekat kiri) dan ada yang melekat di sebelah
kanan (lekat kanan). Berikut klasifikasi pengacuan pronomina persona.
(1) Persona 1
Persona pertama tunggal dalam bahasa indonesia adalah saya, aku,
dan daku. Pronomina persona aku mempunyai variasi bentuk –ku
dan ku-.Di samping persona pertama, di dalam bahasa indonesia juga
mengenal persona jamak, yaitu kami, dan kita. Kalimat berikut
mengandung persona pertama jamak.
(a) Tunggal: aku, saya, hamba, gua/gue, ana/ane
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 62
Terikat lekat kiri: ku–
Terikat lekat kanan: –ku
(b) Jamak: kami, kita

(2) Persona 2
(a) Tunggal: kamu, anda, kau, saudara
Terikat lekat kiri: kau–
Terikat lekat kanan: –mu
(b) Jamak: kalian, kamu semua, anda semua

(3) Persona 3
(a) Tunggal: dia, ia, beliau
Terikat lekat kiri: di–
Terikat lekat kanan: –nya
(b) Jamak: mereka

b) Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina
demonstratif tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada
yang mengacu pada waktu kini, lampau, akan datang, dan netral.
Pronomina demonstratif tempat atau lokasi yang dekat dengan
pembicara, agak jauh dengan pembicara, jauh dengan pembicara, dan
menunjuk tempat secara eksplisit. Berikut klasifikasi pronomina
demonstratif.
(1) Demonstratif waktu
(a) Kini: sekarang, hari ini, kini, sekarang, saat ini
(b) Lampau: kemarin, dahulu, kebelakang, dulu, …yang lalu
(c) Yang akan datang: besok, esok, kedepan, …depan, …yang akan
datang
(d) Netral: pagi, siang, sore, malam
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 63
(2) Demonstratif tempat
(a) Dekat dengan penutur: ini, di sini, ke sini
(b) Agak dekat dengan penutur: itu, di situ, ke situ
(c) Jauh dari penutur: sana, di sana, ke sana
(d) Eksplisit: Semarang, Demak, Sala

c) Pengacuan komparatif (Perbandingan)


Pengacuan komparatif (perbandingan) adalah salah satu jenis kohesi
gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang
mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap,
sifat, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang biasa digunakan untuk
membandingkan misalnya kaya, mirip, persis, meh padha, dan
sebagainya.

2) Substitusi (penggantian)
Substitusi (penggantian)adalah proses dan hasil penggantian unsure bahasa
oleh unsure lain dalam satuan yang lebih besar. Penggantian dilakukan untuk
memperoleh unsur pembeda atau menjelaskan struktur tertentu (Kridalaksana
dalam dalam Mulyana, 2005:28).
Substitusi mengacu ke penggantian kata-kata dengan kata lain. Substitusi
hampir sama dengan referensi. Perbedaan antara keduanya adalah referensi
merupakan hubungan makna sedangkan substitusi merupakan hubungan leksikal
atau gramatikal. Selain itu, substitusi dapat berupa proverba, yaitu kata-kata yang
digunakan untuk menunjukan tindakan, keadaan, hal, atau isi bagian wacana yang
sudah disebutkan sebelum atau sesudahnya juga dapat berupa substitusi klausal.
Substitusi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian
satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana untuk
memperoleh unsur pembeda (Sumarlam, 2008:28).
a) Substitusi nominal

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 64


Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori
nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori
nomina. Misalnya kata derajat, tingkat diganti dengan pangkat, kata gelar
diganti dengan titel. Perhatikan contoh berikut.
Agus sekarang sudah berhasil mendapat gelar Sarjana Sastra. Titel
kesarjanaannya itu akan digunakan untuk mengabdi kepada nusa dan
bangsa melalui sastranya.

b) Substitusi verbal
Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori
verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori
verba. Misalnya, kata mengarang digantikan dengan kata berkarya, kata
berusaha digantikan dengan kata berikhtiar, dan sebagainya. Perhatikan
contoh berikut.
Wisnu mempunyai hobi mengarang cerita pendek. Dia berkarya sejak
masih di bangku sekolah menengah pertama.
c) Substitusi frasal
Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa
kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa. Misalnya
pada contoh berikut.
Maksud hati mau menengok orang tua. Mumpung hari Minggu,
senyampang hari libur.

d) Substitusi klausal
Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa
klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau
frasa. Perhatikan contoh tuturan berikut ini.
S: Jika perubahan yang dialami oleh Anang tidak bisa diterima dengan
baik oleh orang orang di sekitarnya; mungkin hal itu disebabkan oleh
kenyataan bahwa orang-orang itu banyak yang tidak sukses seperti
Anang.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 65
T: Tampaknya memang begitu.

3) Elipsis (penghilangan/pelesapan)
Ellipsis (penghilangan/pelesapan) adalah proses penghilangan kata atau
satuan-satuan kebahasaan lain. Bentuk atau unsur yang dilesapkan dapat
diperkirakan ujudnya dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana
dalam Mulyana, 2005:28).
Sumarlam (2008:28) mengemukakan bahwa pelesapan adalah salah satu
jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual
tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang
dilesapkan itu dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat. Adapun fungsi
pelesapan dalam wacana antara lain ialah untuk
a) Menghasilkan kalimat yang efektif (untk efektivitas kalimat)
b) Efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa
c) Mencapai aspek kepaduan wacana
d) Bagi pembaca/pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya
terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa
e) Untuk kepraktisan berbahasa terutama berkomunikasi secara lisan.
Perhatikan contoh berikut.
(1) Bowo seketika itu terbangun. Ø menutupi matanya karena silau, Ø
mengusap muka dengan sapu tangannya, lalu Ø bertanya, “Di mana
ini?”

Pada tuturan tersebut terdapat pelepasan satuan lingual yang berupa kata,
yaitu kata Bowo yang berfungsi sebagai subjek atau pelaku tindakan pada tuturan
tersebut. Subjek yang sama itu dilesapkan sebanyak tiga kali, yaitu sebelum kata
menutupi pada klausa ke dua, sebelum kata mengusap pada klausa ketiga, dan
sebelum kata lalu, atau di antara kata lalu dan bertnya pada klausan ke empat. Di
dalam analisis wacana, unsur (kontituen) yang dilesapkan itu biasanya ditandai
dengan konstituen nol atau zero (atau dengan lambang Ø) pada tempat

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 66


terjadinya pelepasan unsur tersebut. Dengan cara seperti itu maka peristiwa
pelepasan pada tuturan tersebut dapat direpresentasikan menjadi berikut ini.
(1) a. Bowo seketika itu terbangun. Ø menutupi matanya karena silau, Ø
mengusap muka dengan sapu tangannya, lalu Ø bertanya, “Di mana
ini?”
b. Bowo seketika itu terbangun. Bowo menutupi matanya karena
silau, Bowo mengusap muka dengan sapu tangannya, lalu Bowo
bertanya, “Di mana ini?”
Tampak pada analisis tersebut bahwa dengan terjadinya peristiwa
pelesapan, seperti pada (1) atau (1a), maka tuturan itu menjadi lebih efektif,
efisien, wacananya menjadi padu (kohesif), dan memotivasi pembaca untuk lebih
kreatif menemukan unsur-unsur yang dilesapkan, serta praktis dalam
berkomunikasi. Fungsi-fungsi semacam itu tentu tidak ditemukan pada tuturan
(1b), sekalipun dari segi informasi lebih jelas atau lengkap daripada (1) dan (1a).

4) Konjungsi (kata sambung)


Konjungsi (kata sambung) adalah bentuk atau satuan kebahasaaan yang
berfungsi sebagai penyambung, perangkai, atau penghubung antara kata dengan
kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, dan
seterusnya (Kridalaksana dalam Mulyana, 2005:28).

4. Piranti Kohesi Leksikal


Anton M. Moeliono (dalam Mulyana, 2005:26) menyatakan bahwa
wacana yang baik dan utuh mensyaratkan kalimat-kalimat yang kohesif. Kohesi
leksikal adalah sinonim, repetisi, kolokasi (Halliday dalam Mulyana, 2005:26).
kohesi leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal antara
bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif.
Unsur kohesi leksikal terdiri dari sinonim (persamaan), antonim (lawan kata),
hiponim (hubungan bagian atau isi), repetisi (pengulangan), kolokasi (kata
sanding), dan ekuivalensi (Sumarlam, 2008:35). Tujuan digunakannya aspek-

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 67


aspek leksikal itu diantaranya ialah untuk mendapatkan efek intensitas makna
bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya. Kohesi leksikal adalah
kepaduan yang dicapai melalui pemilihan kata. Kohesi leksikal itu dapat
berbentuk, antara lain, dengan pengulangan, sinonim, antonim, dan hiponim.
Di samping itu, salah satu keuntungan dari penggunaan telepon seluler di
sekolah adalah telepon seluler dapat digunakan sebagai alat bantu,
terutama telepon seluler yang dilengkapi dengan beberapa aksesoris,
seperti kalkulator, kamera, dan internet.
Di samping itu, salah satu keuntungan dari penggunaan telepon seluler di
sekolah adalah telepon seluler dapat digunakan sebagai alat bantu,
terutama telepon seluler yang dilengkapi dengan beberapa aksesori,
seperti kalkulator, kamera, dan internet. Aplikasi ini dapat dimanfaatkan
untuk membantu siswa dalam bidang akademik.
Berdasarkan contoh pertama tersebut dapat dikemukakan bahwa supaya
padu, penulis mengulang kata telepon seluler beberapa kali. Sementara itu, pada
contoh kedua frasa beberapa aksesoris, dan kata aplikasi ini merupakan sinonim.
Kohesi leksikal hubungan anatarunsur dalam wacana secara semantis. Kohesi
leksikal dapat dibedakan menjadi enam macam, sebagai berikut.
a. Repetisi (pengulangan)
Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi suku kata, kata atau
bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah
konteks yang sesuai (Sumarlam 2008:35-38). Berdasarkan tempat satuan lingual
yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisis dapat dibedakan menjadi
delapan macam, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke,
mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis.
1) Repetisi epizeuksis.
Repetisi epizeuksis adalah pengulangan satuan lingual (kata) yang
dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut.
Contoh repetisi epizeuksis.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 68


Sebagai seorang beriman, berdoalah selagi ada kesempatan,
selagi diberi kesehatan, dan selagi diberi umur panjang. Berdoa wajib
bagi manusia.

Pada tuturan tersebut kata selagi diulang beberapa kali secara berturut-
turut untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam konteks tuturan
itu.

2) Repetisi tautotes.
Repetisi tautotes adalah pengulangan satuan lingual (sebuah kata)
beberapa kali dalam sebuah konstruk.
Contoh repetsi tautotes.
Aku dan dia terpaksa harus tinggal berjauhan, tetapi aku sangat
mempercayai dia, dia pun sangat mempercayai aku. Aku dan dia
saling mempercayai.

3) Repetisi anafora.
Repetisi anafora adalah pengulangan satuan lingual berupa kata atau
frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya.
Contoh repetisi anafora.
Bukan nafsu,
bukan wajahmu,
bukan kakimu,
bukan tubuhmu,
Aku mencintaimu karena hatimu.

4) Repetisi epistrofa.
Repetisi epistrofa adalah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada
akhir baris (puisi) atau akhir kalimat (prosa) secara berturut-turut.
Contoh repetisi epistrofa.
Bumi yang kaudiami, laut yang kaulayari, adalah puisi.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 69
Udara yang kauhirup, air yang kauteguki, adalah puisi.
Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli, adalah puisi.
Gubug yang kauratapi, gedung yang kautinggali, adalah puisi.

5) Repetisi simploke.
Repetisi simploke adalah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir
beberapa baris/kalimat berturut-turut.
Contoh repetisi simploke.
Kamu bilang hidup ini brengsek. Biarin.
Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Biarin.
Kamu bilang nggak punya kepribdian. Biarin.
Kamu bilang nggak punya pengertian. Biarin.

6) Repetisi mesodiplosis.
Repetisi mesodiplosis adalah pengulangan satuan lingual di tengah-
tengah baris atau kalimat secara berturut-turut.
Contoh repetisi mesodiplosis.
Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon.
Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng.
Para pembesar jangan mencuri bensin.
Para gadis jangan mencuri perawannya sendiri.

7) Repetisi epanalepsis.
Repetisi epanalepsis adalah pengulangan satuan lingual, yang kata/frasa
terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa
pertama.
Contoh repetisi epanalepsis.
Minta maaflah kepadanya sebelum dia datang minta maaf.
Kamu mengalah bukan berarti dia mengalahkan kamu.
Berbuat baiklah kepada sesama selagi bisa berbuat baik.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 70


8) Repetisi anadiplosis.
Repetisi anadiplosis adalah pengulangan kata/frasa terakhir dari baris
atau kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat
berikutnya.
Contoh repetisi anadiplosis.
dalam hidup ada tujuan
tujuan dicapai dengan usaha
usaha disertai doa
doa berarti harapan
harapan adalah perjuangan
perjuangan adalah pengorbanan

b. Sinonimi (Padan Kata)


Menurut Sumarlam (2008:39), aspek leksikal selain repetisi adalah
sinonimi. Fungsi dari sinonimi adalah untuk menjalin hubungan makna yang
sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam
wacana. Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal yang mendukung
kepaduan wacana. Sinonimi adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai (1)
telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama atau (2)
keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama. Sebaliknya
sinonim adalah kata-kata yang memiliki makna yang sama. Hubungan sinonimi
bisa terbentuk antara kata dengan kata, kata dengan frasa atau sebaliknya, frasa
dengan frasa, maupun klausa/kalimat dengan klausa/kalimat. Berdasarkan wujud
satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu:
1) sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat),
a) Aku mohon kau mengerti perasaanku.
b) Kamu boleh bermain sesuka hatimu.
c) Dia terus berusaha mencari jatidirinya

2) kata dengan kata,

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 71


Meskipun sedikit, saya sudah menerima bayaran. Setahun menerima gaji
80%. SK PNSku keluar. Gajiku naik.

3) kata dengan frasa atau sebaliknya,


Kota itu semalam dilanda hujan dan badai. Akibat adanya musibah itu
banyak gedung yang runtuh, rumah-rumah penduduk roboh, dan pohon-
pohon pun tumbang disapu badai.

4) frasa dengan frasa,


Tina adalah sosok wanita yang pandai bergaul. Betapa tidak. Baru
pindah dua hari ke sini, dia sudah bisa beradaptasi dengan baik.

5) klausa/kalimat dengan klausa/kalimat.


Gunakan landasan teori yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut.
Pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan itu pun juga
harus akurat

c. Antonimi (lawan makna)


Menurut Sumarlam (2008:40), istilah antonimi dipakai untuk menyatakan
lawan makna sedangkan kata yang berlawanan disebut antonim. Antonimi adalah
relasi antarmakna yang wujud logisnya sangat berbeda atau bertentangan.
Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup
konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras.
Antonim dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain;
atau satuan lingual yang yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan
lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Berdasarkan sifatnya,
oposisi makna dapat dibedakan menjadi menjadi lima macam, yaitu (a) oposisi
mutlak, (b) oposisi kutub, (c) oposisi hubungan, (d) oposisi hirarkial, dan (e)
oposisi majemuk.
1) Contoh antonim mutlak

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 72


2) Hidup dan matinya perusahaan tergantung dari usaha kita. Jangan hanya
diam menunggu kehancuran, mari kita mencoba bergerak dengan cara
lain.
3) Contoh antonim kutub
Baik orang kaya maupun orang miskin, semua orang mempunyai hak
yang sama untuk mengenyam pendidikan.
4) Contoh antonim hubungan
Ibu Rini adalah seorang guru yang cantik dan cerdas, sehingga semua
murid senang kepadanya.
Pak Rahmat adalah dokter. Beliau sangat baik kepada semua pasiennya.
5) Contoh antonim hirarkial
SD >< SMP >< SMA >< PT
6) Contoh antonim majemuk
Adi berlari karena takut dimarahi ibunya. Setelah agak jauh dari ibunya,
ia berjalan menuju ke rumah temannya. Samapai di rumah itu lalu ia
melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Mendadak ia berhenti dan
terkejut karena ternyata yang tampak di depan mata Adi adalah ibunya
sendiri.

d. Kolokasi (sanding kata)


Menurut Sumarlam (2008:44), kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi
tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara
berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung
dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu. Contoh pemakaian kata-kata
yang berkolokasi adalah sebagai berikut.
Waktu aku masih kecil, ayah sering mengajakku ke sawah. Ayah adalah
seorang petani yang sukses. Dengan lahan yang luas dan bibit padi yang
berkualitas serat didukung sistem pengolahan yang sempurna maka panen
pun melimpah. Dari hasil panen itu pula keluarga ayahku mampu
bertahan hidup secara layak.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 73


e. Hiponimi (hubungan atas-bawah)
Menurut Sumarlam (2008:45), hiponimi dapat diartikan sebagai satuan
bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari
makna satuan lingual yang lain. Hiponimi adalah semacam relasi antarkata yang
berwujud atas-bawah atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen
yang lain. Karena ada kelas atas yang mencakup sejumlah komponen yang lebih
kecil dan ada sejumlah kelas bawah yang merupakan komponen-komponen yang
tercakup dalam kelas atas, maka kelas kata yang berkedudukan sebagai kelas atas
disebut superordinat dan kelas bawah yang disebut hiponim. Contoh penggunaan
hiponimi dapat diperhatikan pada penggalan wacana berikut.
Binatang melata termasuk ketegori hewan reptil. Reptil ada yang hidup di
darat dan di air yaitu katak dan ular. Cicak adalah reptil yang biasa
merayap di dinding. Adapun jenis reptil yang hidup di semak-semak dan
rumput adalah kadal. Sementara itu, reptil yang dapat berubah wrna sesuai
dengan lingkungannya yaitu bunglon.

f. Ekuivalensi (kesepadanan)
Menurut Sumarlam (2008:46), ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan
antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah
paradigma. Penggunaan ekuivalensi dapat dilihat pada contoh berikut.
Baru-baru ini, Andi memperoleh predikat pelajar teladan. Dia memang
tekun sekali dalam belajar. Apa yang telah diajarkan oleh guru pengajar
di sekolah diterima dan dipahaminya dengan baik. Andi merasa senang
dan tertarik pada semua pelajaran.

5. Contoh Analisis Piranti Kohesi


Sebagai contoh, perhatikan paragraf berikut ini.

Sekarang Riau amat sukar mencari terubuk (1). Jangankan ikannya,


telurpun sulit untuk diperoleh (2). Kalaupun bisa diperoleh

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 74


harganya melambung selangit (3). Makanya, ada kecemasan
masyarakat di sana bahwa terubuk yang spesifik itu akan punah (4).
Wacana (paragraf) tersebut merupakan paragraf yang kohesif dan
koherens. Kekohesifan itu dicapai dengan menggunakan kata ganti –nya. Kalimat
(1) adalah kalimat bebas yang berisi pernyataan bahwa sekarang Riau amat sukar
mencari terubuk. Kalimat (2) adalah kalimat terikat yang dikaitkan dengan
kalimat (1) dengan kata ganti –nya pada kata ikannya dan telurnya yang jelas
mengacu pada kalimat (1). Kalimat (3) dikaitkan dengan kalimat (2) dengan kata
ganti –nya pada kata harganya, yang juga jelas mengacu pada kata terubuk pada
kalimat (1). Lalu, kalimat (4) merupakan kesimpulan dari kalimat (1), (2), dan (3).

Listrik mempunyai banyak kegunaan. Orang tuaku berlangganan


listrik dari PLN. Baru-baru ini tarif pemakaian listrik naik 25%,
sehingga banyak masyarakat yang mengeluh. Akibatnya, banyak
pelanggan listrik yang melakukan penghematan. Jumlah peralatan
yang menggunakan listrik sekarang meningkat. Alat yang banyak
menyedot listrik adalah AC atau alat penyejuk udara. Di kantor-
kantor sekarang penggunaan alat penyejuk udara itu sudah biasa
saja, bukan barang mewah.

Contoh wacana di atas dikatakan kohesif, karena menggunakan alat kohesi


pengulangan, misalnya listrik yang diulang beberapa kali. Namun, paragraf
tersebut tidak padu karena bagian-bagian paragraf itu tidak mempunyai kepaduan
secara maknawi.

6. Referens dan Inferensi


Referen atau pengacuan adalah penggunaan kata atau frase untuk mengacu
atau menunjuk kepada kata atau frase lain yang memiliki kesamaan. Referens juga
bisa diartikan sebagai hubungan yang sesuai antara kata dengan benda. Referens
memiliki hubungan dengan inferens. Dalam hal ini, referens sama-sama mengacu
pada sesuatu kata, frase, atau benda dan makna. Berdasarkan pemikiran ini, bisa
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 75
disimpulkan bahwa referen merupakan pengacuan pada kata, frase, atau benda
dalam konteks kohesi (pertalian) bentuk atau dalam konteks gramatikal dan
leksikal, sedangkan inferensi merupakan pengacuan pada makna (semantik) atau
sesuatu yang dipahami oleh pendengar atau pembaca.
Pemahaman tentang referens telah dibahas sebelumnnya, maka perlu
pengkajian yang lebih mendalam mengenai inferens. Sebuah pekerjaan bagai
pendengar (pembaca) yang selalu terlibat dalam tindak tutur selalu harus siap
dilaksanakan ialah inferensi. Inferensi dilakukan untuk sampai pada suatu
penafsiran makna tentang ungkapan-ungkapan yang diterima dan pembicara atau
(penulis). Dalam keadaan bagaimanapun seorang pendengar (pembaca)
mengadakan inferensi.
Menurut Moeliono (dalam Mulyana, 2005:19) inferensi yaitu proses yang
harus dilakukan pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak
terdapat di dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis.
Pengertian inferensi yang umum ialah proses yang harus dilakukan pembaca
(pendengar) untuk melalui makna harfiah tentang apa yang ditulis (diucapkan)
sampai pada yang diinginkan oleh seorang penulis (pembicara).
Bisa disimpulkan bahwa Inferensi adalah proses yang harus dilakukan
oleh pendengar atau pembaca untuk memahami makna secara harfiah tidak
terdapat dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis, yaitu
dengan membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya.
Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah
makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang
terkatakan (eksplikatur). Untuk menarik sebuah kesimpulan (inferensi) perlu kita
mengetahui jenis-jenis inferensi, antara lain;
1. Inferensi Langsung
Inferensi yang kesimpulannya ditarik dari hanya satu premis (proposisi
yang digunakan untuk penarikan kesimpulan). Konklusi yang ditarik tidak boleh
lebih luas dari premisnya. Contoh:
Pohon yang di tanam pak Budi setahun lalu hidup.
dari premis tersebut dapat kita lansung menarik kesimpulan (inferensi)
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 76
bahwa: pohon yang ditanam pak budi setahun yang lalu tidak mati.

2. Inferensi Tak Langsung


Inferensi yang kesimpulannya ditarik dari dua atau lebih premis. Proses
akal budi membentuk sebuah proposisi baru atas dasar penggabungan proposisi-
preposisi lama. Contoh:
A : Saya melihat ke dalam kamar itu.
B : Plafonnya sangat tinggi.
Sebagai Inferensi yang menjembatani kedua ujaran tersebut, misalnya:
C: kamar itu memiliki plafon

Contoh yang lain;


A: Sebuah truk datang melaju dan membelok ke kanan
B: Kendaraan itu hampir melanggar tiang listrik
Sebagai Inferensi yang menjembatani kedua ujaran tersebut, misalnya:
C: Truk itu adalah kendaraan

Inferensi terjadi, jika proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau
pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat pada tuturan
yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis. Pendengar atau pembaca dituntut
untuk mampu memahami informasi (maksud) pembicara atau penulis. Contoh :
Orang pergi berkunjung ke tetangganya dengan harapan untuk mendapat
pinjaman uang. Dalam usahanya itu mungkin sekali itu akan menyatakan wacana
berikut :

(1) Tanggal tua seperti ini repot sekali pak haji bulan lalu sudah habis, istri
tidak bisa bekerja dan anak – anak pada sakit yang paling berat yang
bungsu Pak. Panas dia naik turun terus selama empat hari ini. Saya tidak
tahu apa yang harus saya perbuat.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 77


Dari wacana di atas jelas tidak ada pernyataan bahwa orang itu ingin
meminjam uang. Namun sebagai pesapa, kita harus dapat mengambil inferensi
apa yang di maksudkannya. Pengambilan inferensi pada umumnya memakan
waktu lebih lama daripada penafsiran langsung, yang tanpa memerlukan inferensi.
Hal ini merupakan bukti, ada sesuatu yang tidak disampaikan kepada pembaca
atau pendengar.
Inferensi atau kesimpulan sering harus dibuat sendiri oleh pendengar atau
pembaca, karena dia tidak mengetahui apa makna yang sebenarnya yang
dimaksudkan oleh pembicara/penulis. Karena jalan pikiran pembicara mungkin
saja berbeda dengan jalan pikiran pendengar, mungkin saja kesimpulan pendengar
meleset atau bahkan salah sama sekali. Apabila ini terjadi maka pendengar harus
membuat inferensi lagi.
Contoh (3) lebih lama untuk menafsirkan daripada (2) karena (3)
memerlukan untuk mengadakan inferensi atau menyimpulkan berdua tahap.

(2) a. Mereka mengeluarkan makanan dalam perjalanan itu


b. Mendoanya sudah tidak hangat lagi
(3) a. Mereka mengeluarkan persendian dalam perjalanan itu
b. Mendoanya sudag tidak hangat lagi.
Pada (2) hubungan semantik antara makananan dan mendoan dapat lebih
cepat dirasakan. Sebaliknya pada (3) hubungan antara persediaan mencakup hal
lain disamping makanan.

7. Analisis Koherensi Wacana


Istilah koherensi mengacu pada aspek tuturan, bagaimana proposisi yang
terselubung disimpulkan untuk menginterpretasikan tindakan ilokusinya dalam
membentuk sebuah wacana. Proposisi-proposisi di dalam suatu wacana dapat
membentuk suatu wacana yang runtut (koheren) meskipun tidak terdapat
pemerkah penghubung kalimat yang di gunakan (Eriyanto, 2001:242).
Contoh:

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 78


(a) Guntur kembali bergema dan hujan menderas lebih hebat lagi. (b)
Hati Darsa makin kecut.

Biarpun tidak terdapat pemerkah hubungan yang jelas antara kalimat (a)
dan (b), tiap pembaca akan menafsirkan makna kalimat (b) mengikuti kalimat (a).
Pembaca mengandaikan adanya ‘hubungan semantik’ antara kalimat-kalimat itu,
biarpun tidak terdapat pemerkah eksplisit yang menyatakan hubungan seperti itu.
Berikut ini adalah contoh wacana yang mempunyai koherensi baik, tetapi
tidak tampak hubungan kohesifnya.

A: “ada telepon.”
B: “saya sedang mandi.”
C: “baiklah.”

Sebagai sebuah wacana, contoh percakapan di atas tidak dapat pemerkah kohesif.
Untuk memahami tuturan tersebut, kita harus menggunakan informasi yang
terkandung di dalam ujaran-ujaran yang di ungkapkan dan juga sesuatu yang lain
yang dilibatkan dalam penafsiran wacana itu. Percakapan semacam itu akan dapat
dipahami dengan baik melalui tindakan-tindakan konvensional yang dilakukan
oleh partisipan dalam percakapan itu.

1. Koherensi Kondisional
Koherensi kondisional biasanya ditandai dengan pemakaian anak kalimat
sebagai penjelas. Anak kalimat menjadi cermin kepentingan komunikator karena
ia dapat memberikan keterangan yang baik/buruk terhadap suatu pernyataan
(Eriyanto, 2001: 244).
Perhatikan contoh berikut:
a. Tim PSSI akhirnya tidak jadi dikirim ke Asian Games. (Tanpa Koherensi)
b. Tim PSSI, yang akhir-akhir ini selalu kalah dalam pertandingan
internasional, akhirnya tidak jadi dikirim ke Asian games. (Dengan
Koherensi)
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 79
Sebagai penjelas, anak kalimat dalam kalimat (2) tidak berpengaruh pada
arti kalimat tersebut sebab initi dari kalimat itu atau yang mau disampaikan adalah
“Tim PSSI tidak jadi dikirim ke Asian Games”. Meskipun demikian, koherensi
kondisisonal ini dapat menjadi penjelas yang bagus mengenai bagaimana maksud
tersembunyi diekspresikan dalam kalimat tersebut (Eriyanto, 2001: 245). Secara
tidak langsung, koherensi kondisional ini bermaksud mengiring pembaca atau
pendengar untuk sampai pada pemaknaan tertentu. Tetapi, muncul pemikiran lain
apakah penejelasan dari kalimat tersebut bisa bersifat positif atau tidak?
Perhatikan contoh berikut:
a. Tim PSSI, yang akhir-akhir ini selalu kalah dalam pertandingan
internasional, akhirnya tidak jadi dikirim ke Asian games. (penjelasan
negatif)
b. Tim PSSI, yang diharapkan masyarakat bisa bertanding di Asian Games,
akhirnya diputuskan tidak jadi dikirim ke Asian Games. (penjelasan
positif)
Kedua contoh di atas secara koherensi kondisional memberikan efek kepada
pembaca atau pendengar untuk merespon atau memaknainya secara negatif dan
positif.

2. Koherensi Pembeda
Koherensi kondisional berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua
peristiwa dihubungkan sedangkan koherensi pembeda berhubungan dengan
pertanyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan (Eriyanto,
2001: 247).
Perhatikan dua contoh berikut:
a. Pada masa Habibie, kran kebebasan pers telah dibuka lebar-lebar.
Kebebasan pers ini dilanjutkan oleh pemerintah Gus Dur, hanya
sayangnya dicoreng oleh peristiwa pendudukan Banser atas Jawa Pos
yang menyebabkan koran tersebut tidak bisa terbit. (tanpa koherensi
pembeda)

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 80


b. Dibandingkan pemerintah Habibie, kebebasan pers di era Gus Dur
mengalami kemunduran. Pada masa Gus Dur terjadi peristiwa pendudukan
Banser atas Jawa Pos yang menyebabkan koran tersebut tidak bisa terbit.
Dari dua contoh di atas, terdapat koherensi perbandingan yang menyebabkan
perbedaan pemaknaan bagi pendengar dan pembaca. Dalam contoh ini, terdapat
koherensi pembeda yang membawa dampak buruk, terutama dalam pemikiran
pada saat pemerintahan Gus Dur.

8. Kesimpulan (Perbedaan Kohesi dan Koherensi)


Pada tabel di bawah ini digambarkan perbedaan relatif antara kohesi dan
koherensi (Mulyana, 2005:36).
Kohesi Koherensi
Kepaduan Kerapian
Keutuhan Kesinambungan
Aspek bentuk (form) Aspek makna (meaning)
Aspek lahiriah Aspek batiniah
Aspek fomal Aspek ujaran
Organisasi sintaktik Organisasi semantik
Unsur internal Unsur eksternal

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 81


BAB VII
PENGGUNAAN PENULISAN BENTUK KALIMAT BAKU DAN TIDAK
BAKU

A. Penggunaan Penulisan Bentuk Kalimat Baku


Kalimat baku tersebut haruslah menyampaikan pokok persoalan secara
langsung (lugas). Berkaitan dengan hal ini, Razak, 1998 (dalam Ermanto dan
Emidar, 2014:125) mengatakan bahwa kalimat yang baik adalah kalimat yang
mampu mewujudkan proses menyampaikan dan penerimaan pesan secara
sempurna.
Selain itu, Keraf, 1980 (dalam Ermanto dan Emidar, 2014:126) juga
mengemukakan bahwa suatu kalimat dapat dikatakan baik (efektif) apabila
kalimat tersebut sesuai dengan kriteria atau syarat-syarat kalimat yang baik.
Syarat-syarat tersebut adalah (1) memiliki kesatuan gagasan, (2) memiliki
koherensi, (3) memiliki variasi kalimat, (4) memiliki kesejajaran (paralel), dan (5)
memiliki kelogisan penalaran.

B. Ciri-ciri Kalimat Baku


Kalimat baku haruslah berwawasan keilmuan. Bertolak dari berbagai
pendapat pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa kalimat baku merupakan kalimat
yang memiliki empat ciri berikut ini.
1. Kalimat baku adalah kalimat yang memiliki kejelasan struktur (normatif)
2. Kalimat baku adalah kalimat yang memiliki kelogisan makna (logis)
3. Kalimat baku adalah kalimat yang memiliki kehematan kata (ekonomis)
4. Kalimat baku adalah kalimat yang memiliki kebakuan kata.
Keempat ciri kalimat baku tersebut dijelaskan secara berturut–turut berikut ini.
1. Kalimat Baku Memiliki Kejelasan Struktur (normatif)
Ciri pertama kalimat baku adalah kalimat yang memiliki kejelasan struktur
(normatif). Artinya, kalimat baku haruslah sesuai dengan struktur kalimat bahasa
Indonesia. Seperti dijelaskan sebelumnya, struktur kalimat bahasa Indonesia
memiliki enam pola kalimat dasar, yakni (1) S-P, (2) S-P-O, (3) S-P-Pel, (4) S-P-
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 82
Ket, (5) S-P-O-Pel, (6) S-P-O-Ket. Namun setiap pola kalimat dasar itu dapat pula
ditambah dengan berbagai fungsi keterangan. Selain itu, tiap-tiap fungsi dapat
pula dijelaskan dengan frase atau klausa tertentu yang menghasilkan berbagai
bentuk kalimat majemuk. Beberapa kalimat nonbaku di bawah ini harus
diperbaiki agar menjadi kalimat baku dari segi kejelasan struktur aktif dan pasif.

Permasalahan itu kami sudah merundingkannya dengan Bapak Rektor.


(nonbaku).
Hasil penelitian itu saya sudah membacanya. (nonbaku)

Jika kalimat tersebut diperbaiki sesuai dengan struktur kaimat yang baik, hasilnya
adalah kalimat baku berikut ini.
Permasalahan itu sudah kami rundingkan dengan Bapak Rektor. (baku)
Hasil penelitian itu sudah saya baca. (baku)

2. Kalimat Baku Memiliki Kelogisan Makna (Logis)


Ciri kalimat baku yang memiliki kelogisan, yaitu (1) logis hubungan
makna S dengan P dan (2) logis hubungan makna rincian (paralel). Pertama,
kalimat nonbaku di bawah ini harus diperbaiki agar menjadi kalimat baku dari
segi kelogisan hubungan makna S dengan P.
Masyarakat korban galodo telah diberikan bantuan uang tunai oleh
pemerintah daerah. (nonbaku)
Penelitian itu membicarakan sistem demokrasi di Indonesia setelah
reformasi. (nonbaku)

Jika kalimat di atas diperbaiki sesuai dengan kelogisan hubungan makna S dengan
P, hasilnya adalah kalimat baku berikut ini.
Bantuan uang tunai telah diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat
korban galodo. (baku)
Dalam penelitian itu dibicarakan sistem demokrasi di Indonesia setelah
reformasi. (baku)

Kedua, kelogisan makna juga berkaitan dengan keparalelan rincian. Kalimat


nonbaku di bawah ini harus diperbaiki agar menjadi kalimat baku dari segi
kelogisan makna rincian (paralel).

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 83


Seorang pengusaha memerlukan kecerdasan, gigih bekerja, dan harus
bersabar. (nonbaku)

Jika kalimat di atas diperbaiki sesuai dengan kelogisan makna rincian (paralel),
hasilnya adalah kalimat baku berikut ini.
Seorang pengusaha memerlukan kecerdasan, kegigihan, dan
kesabaran. (baku)

3. Kalimat Baku Memiliki Kehematan Kata (Ekonomis)


Ciri kalimat baku yang ketiga adalah memiliki kehematan kata, seperti (1)
menggunakan satu subjek dari subjek yang sama, (2) menggunakan satu kata dari
beberapa kata yang bersinonim, dan (3) menggunakan kata yang dibutuhkan
untuk mengungkapkan maksud penulis.

4. Kalimat Baku Memiliki Kebakuan Kata


Kalimat nonbaku di bawah ini harus diperbaiki agar menjadi kalimat baku
dari segi kebakuan kata di dalamnya. Seperti dalam contoh berikut.
Dokumentasi sastra klasik itu hanya bisa didapatkan lewat kajian
filologi. (nonbaku)

Jika kalimat di atas diperbaiki sesuai dengan kebakuan kata, hasilnya adalah
kalimat baku berikut ini.
Dokumentasi sastra klasik itu hanya bisa didapatkan melalui kajian
filologi. (baku)

C. Variasi Kalimat Baku


Variasi kalimat ini diperlukan untuk menghindari kemenotonan
penyampaian gagasan. Beberapa variasi kalimat yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut.
a. Variasi Pengutamaan Informasi
Untuk mewujudkan variasi kalimat dalam karangan formal adalah dengan
cara memvariasikan pengutamaan informasi. Hal itu dapat dilakukan dengan
mengubah posisi keterangan seperti dalam kalimat di bawah ini.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 84


Karena keterbatasan anggaran, pemerintah daerah hanya dapat
membangun sepuluh gedung SD pada tahun ini.
Untuk membangun mesjid itu, kami membutuhkan uang sebanyak dua
miliar rupiah.

b. Variasi Kalimat Aktif dan Pasif


Selain itu, variasi kalimat dapat diwujudkan dengan cara memvariasikan
kalimat aktif dan pasif seperti dalam kalimat berikut ini.
Saya akan melaporkan masalah ini kepada rektor.
Masalah ini akan saya laporkan kepada rektor.

c. Variasi Kalimat Tunggal dan Majemuk


Kalimat-kalimat yang digunakan dalam ragam formal dapat bervariasi,
seperti kalimat tunggal, kalimat majemuk setara (koordinatif), dan kalimat
majemuk bertingkat (subordinatif).

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 85


BAB VIII
PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH

A. Pengertian Karya Ilmiah


Menurut Gani ( 2011:7), karya tulis ilmiah adalah karya tulis yang bersifat
keilmuan. Karya tersebut disusun secara sistematis menurut kaidah-kaidah
tertentu berdasarkan hasil berfikir ilmiah dan metode ilmiah. Kaidah-kaidah
dimaksud dapat berupa kaidah-kaidah keilmuan, kebakuan bahasa, kekonsistenan,
keobjetifan, kelogisan, kejelasan, kebermaknaan, tat tulis, dan lain-lain.
Karya ilmiah adalah laporan tertulis dan diterbitkan yang memaparkan
hasil penelitian atau pengkajian yang telah dilakukan oleh seseorang atau sebuah
tim dengan memenuhi kaidah dan etika keilmuan yang dikukuhkan dan ditaati
oleh masyarakat keilmuan. Karya ilmiah dibuat untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan dan bentuknya dapat berupa makalah, skripsi, dan laporan
penelitian.
Karangan ilmiah merupakan suatu karangan atau tulisan yang diperoleh
sesuai dengan sifat keilmuannya dan didasari oleh hasil pengamatan, peninjauan,
penelitian dalam bidang tertentu, disusun menurut metode tertentu dengan
sistematika penulisan yang bersantun bahasa dan isisnya dapat dipertanggung
jawabkan kebenarannya/keilmiahannya. Tujuan dari pembuatan karangan ilmiah,
antara lain:
1. Memberi penjelasan
2. Memberi komentar atau penilaianMemberi saran
3. Menyampaikan sanggahan
4. Membuktikan hipotesa
Karya ilmiah adalah suatu karya dalam bidang ilmu pengetahuan (science)
dan teknologi yang berbentuk ilmiah. Suatu karya dapat dikatakan ilmiah apabila
proses perwujudannya lewat metode ilmiah. Bila fakta yang disajikan berupa fakta
umum yang obyektif dan dapat dibuktikan benar tidaknya serta ditulis secara
ilmiah, yaitu menurut prosedur penulisan ilmiah, maka karya tulis tersebut dapat
dikategorikan karya ilmiah, sedangkan bilamana fakta yang disajikan berupa
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 86
dakta pribadi yang subyektif dan tidak dapat dibuktikan benar tidaknya serta tidak
ditulis secara ilmiah, karya tulis tersebut termasuk karya tulis non ilmiah.

B. Sistematika atau Kerangka Penulisan Karya Ilmiah


Hasil penelitian yang dilaporkan dalam bentuk tulisan merupakan karya
ilmiah. Oleh karena itu, penulisnya harus menuruti suatu aturan kerangka
penulisan tertentu. Aturan penulisan tersebut dapat berbeda-beda tergantung pada
lembaga yang bersangkutan. Secara umum, kerangka penulisan karya ilmiah dapat
dibagi dalam tiga bagian, yaitu: pendahuluan, isi, dan penutup.
1. Bagian Pendahuluan
Bagian ini biasanya berisi : halaman judul, halaman pengesahan, kata
pengantar, daftar isi, daftar tabel, daftar gambar dan grafik.
a. Halaman Judul
Judul ditulis untuk mengetahui garis besar isi laporannya. Judul ditulis
dengan huruf kapital, biasanya di tengah halaman agak ke atas. Tetapi ada juga
variasi lain.
b. Halaman Pengesahan
Halaman pengesahan ini digunakan terutama untuk karya-karya ilmiah
yang biasa diujikan atau dipertahankan di depan penguji seperti skripsi, tesis, dan
disertasi. Halaman pengesahan bermaksud menginformasikan kepada panitian
ujian akhir bahwa karya ilmiah yang akan diujikan itu telah memenuhi syarat dan
disetujui oleh pembimbing untuk dipertahankan di depan para penguji.
c. Kata Pengantar
Kata pengantar terdiri atas sejumlah paragraf yang bertujuan
mengantarkan sebuah karya tulis kepada pembaca. Di dalamnya bersi antara lain
garis besar atau substansi pokok yang terdapat dalam karya tulis dengan ucapan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan dukungan dalam
menggarap dan menyelesaikankarya tulis tersebut.
d. Halaman Abstrak
Abstrak adalah ikhtisar atau inti dari sebuah karangan.
e. Daftar Isi
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 87
Daftar isi merupakan petunjuk untuk para pembaca. Daftar isi harus
ditempatkan di bagian depan karya ilmiah dan bukan di bagian penutup atau di
bagian belakang. Daftar isi hampir sama dengan kerangka karangan.
Perbedaannya ialah daftar isi memakai nomor halaman, sedangkan kerangka
karangan tidak. Keduanya terdiri atas bab-bab dan subbab serta rinciannya
f. Daftar Tabel, Gambar, dan Grafik
Jika menggunakan lampiran tabel, gambar, dan grafik untuk menunjang isi
laporan, maka harus mencantumkan nomor urut dan halaman dengan jelas.
2. Bagian Isi
Secara umum, bagian isi terdiri dari:
a. Pendahuluan
Memaparkan: latar belakang dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, hipotesis, penjelasan, dan metode penelitian.
1) Latar Belakang Masalah
Latar belakang masalah adalah hal tertentu yang mendorong mahasiswa
untuk melakukan penelitian. Pengungkapan latar belakang masalah harus
berurutan dari hal-hal yang bersifat umum sampai hal-hal yang bersifat khusus.
2) Rumusan Masalah
Rumusan masalah ditulis untuk menspesifikasikan masalah yang akan
dibahas dalam karya tulis. Masalah yang dirumuskan harus merupakan hasi
penspesifikasian atau pengkhususan masalah utama yang harus dijawab pada bab
kesimpulan.
3) Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dan manfaat selalu ada dalam penelitian. Tujuan penelitian
biasanya untuk mengetahui sebuah atau sejumlah fenomena tertentu. Manfaat
penelitian yakni sesuatu yang bisa irasakan dan dilaksanakan. Manfaat terdiri dari
manfaat yang bersifat teoritis dan manfaat yng bersifat praktis.

b. Landasan teori
Landasan teori diletakkan pada bab dua dan berisi uraian teoritis yang
berhubungan dengan masalah penelitian dan konsep yang mendasari perumusan
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 88
hipotesis. Hal-hal yang perlu ditulis dalam landasan teori harus sesuai dengan
bidang kajian atau fenomena yang sedang diteliti. Agar tidak salah dalam
memasukkan teori kita harus berpedoman pada judul, topic, masalah, kerangka
berpikir, dan atau pada variabel-variabel penelitian (bagi yang penelitiannya
terdiri atas beberapa variabel).

c. Metodologi Penelitian
Metodologi merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam
melaksanakan penelitian. Metodologi menyangkut berbagai hal yang diperlukan
dan digunakan selam penelitian berlangsung. Hal-hal tersebut mencakup:
1) Metode yang digunakan dalam penelitian;
2) Sumber data;
3) Cara mengambil data;
4) Cara menganalisis data;
5) Cara menyimpulkan/membuat simpulan;

d. Hasil penelitian
Menguraikan: pengolahan dan analisis data, serta penafsiran hasil analisis
data.

e. Penutup: Kesimpulan dan Saran


Menguraikan keseluruhan hasil penelitian. Mengulas hasil penafsiran yang
dirujukkan kepada landasan teori yang digunakan kemudian dikemukakan
beberapa saran.

3. Bagian Terakhir
Pada umumnya terdiri dari:
a. Daftar pustaka. Daftar ini harus secara lengkap dan sistematis
mencantumkan seluruh buku sumber yang digunakan dalam penulisan
laporan.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 89


b. Lampiran. Berisi seluruh materi yang disertai daftar pertanyaan, perhitungan
statistik, tabel, dan lain-lain.
c. Indeks. Berisi daftar kata, istilah, atau nama yang ada dalam laporan dan
disusun menurut abjad.

C. Cara atau Syarat Penulisan Karya Ilmiah yang Baik


Secara umum, penulisan karya tulis ilmiah harus memenuhi beberapa
syarat tertentu, hasil penulisan karya ilmiah harus bisa dipertanggungjawabkan
kebenarannya karena karya ilmiah bukanlah suatu karangan bebas yang dapat di
buat berdasarkan imajinasi ataupun khayalan penulis.
Suatu karya ilmiah harus apa adanya sesuai dengan kenyataan adapun syarat –
syarat penulisan karya ilmiah adalah prinsip ilmiah dan sesuai dengan tatatulis
baku (EYD).Syarat penulisan karya ilmiah mencakup bebarapa hal sebagai
berikut :
1. Objektivitas
Objektivitas berhubungan dengan sikap penulis. Dalam hal ini, penulis
harus bersikap objektif dalam mengemukan pendapatannya, apa adanya, tidak
dibuat–buat. Sehingga hasil tulisannya dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan
data yang ada.
2. Pola berfikir deduktif – induktif
Dalam mengemukakan atau menarik kesimpulan, penulis harus
menggunakan pola berfikir yang logis (runtut dan sesuai dengan nalar) ada dua
pola berfikir logis yaitu : dedukatif dan indukatif. Pola berfikir deduktif bertolak
dari teori atau hal yang umum untuk menarik kesimpulan yang khusus.Contoh:
Secara umum dikatakan semua dokter tulisannya jelek, lalu fakta khusus ayahku
seorang dokter, maka dapat ditarik kesimpulan ayahku tulisannya jelek.
Sedangkan pola berfikir induktif yaitu cara berfikir atau menarik kesimpulan dari
fakta–fakta khusus kepada fakta umum atau kalimat utamanya berupa kalimat
yang bersifat umum.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 90


Contoh: Fakta–fakta khusus menyatakan manusia membutuhkan oksigen. Hewan
membutuhkan oksigen. Tumbuhan membutuhkan oksigen, maka dapat
disimpulkan bahwa “semua mahluk hidup membutuhkan oksigen”.
3. Sistematika
Karya tulis ilmiah harus disusun secara sistematika, artinya menuruti alur
pemahaman yang runtut dari masalah sampai pada kesimpulan. Tata tulis baku
berhubungan dengan sistematika penulisan karya tulis ilmiah, biasanya masing –
masing lembaga mempunyai peraturan tata tulis yang berbeda. Akan tetapi, pada
dasarnya peraturan tersebut mempunyai patokan yang sama.
Tata tulis baku ini diperlukan karena:
a. Dapat memperlancar komunikasi hasil penelitian.
b. Memudahkan penilaian atau pertanggungjawabannya.
c. Mempercepat penyebarluasan tanpa membutuhkan penyusunan kembali.
Tata Cara Penulisan Ilmiah terdiri dari: penulisan kutipan, catatan kaki, dan daftar
pustaka. Penjelasan lengkapnya lihat BAB II.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 91


BAB IX
KARANGAN DALAM BAHASA INDONESIA

Karangan merupakan hasil akhir dari pekerjaan merangkai kata, kalimat


dan alenia untuk menjabarkan atau mengulas topik dan tema tertentu dan tertuang
dalam tulisan. Menulis atau mengarang pada hakikatnya adalah menuangkan
gagasan, pendapat, perasaan, keinginan, dan kemauan serta informasi ke dalam
tulisan dan mengirimkannya kepada orang lain. Selanjutnya, menurut Tarigan
menulis atau mengarang adalah proses menggambarkan suatau bahasa sehingga
pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami pembaca.
A. Jenis Karangan
Tulisan atau karangan pada hakikatnya adalah representasi bunyi-bunyi
bahasa dalam bentuk visual menurut sistem ortografi tertentu. Banyak aspek
bahasa lisan seperti nada, tekanan, irama serta beberapa aspek lainnya tidak dapat
direpresentasikan dalam bentuk tulisan. Begitu juga halnya dengan aspek fisik
seperti gerak tangan, tubuh, kepala, wajah, yang mengiringi bahasa lisan tidak
dapat diwujudkan dalam bahasa tulis. Oleh karena itu, dalam mengemukakan
gagasan secara tertulis, penulis perlu menggunakan bentuk tertentu. Bentuk-
bentuk tersebut seperti dikemukakan oleh Semi bahwa secara umum karangan
dapat dikembangkan dalam empat bentuk yaitu narasi, eksposisi, deskripsi,
argumentasi dan persuasi.

B. Pengertian Penalaran
Berdasarkan Kamus Besar Indonesia, (1) cara (perihal) menggunakan
nalar; pemikiran atau cara berpikir logis; jangkauan pemikiran. Contoh:
kepercayaan takhayul serta–yang tidak logis haruslah dikikis habis; (2) hal yang
mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan dengan
perasaan atau pengalaman; dan (3) proses mental dengan mengembangkan pikiran
dari beberapa fakta atau prinsip.
Penalaran adalah suatu proses berpikir manusia untuk menghubungkan
fakta-fakta atau data yang sistematik menuju suatu kesimpulan berupa
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 92
pengetahuan. Dengan kata lain, penalaran merupakan sebuah proses berpikir
untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis. Sebuah penalaran terdiri atas premis
dan kesimpulan. Premis (antesedens) adalah proposisi yang dijadikan dasar
penyimpulan, dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi
Penalaran memiliki ciri–ciri. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan dengan sadar
2. Didasarkan atas sesuatu yang sudah diketahui
3. Sistematis
4. Terarah, bertujuan
5. Menghasilkan kesimpulan berupa pengetahuan, keputusan atau sikap yang
baru
6. Premis berupa pengalaman atau pengetahuan, bahkan teori yang telah
diperoleh
7. Pola pemikiran tertentu
8. Sifat empiris rasional

C. Metode dalam Penalaran


Terdapat dua jenis metode penalaran yaitu penalaran deduktif dan induktif.
1. Metode Induktif
Metode induktif adalah suatu penalaran yang berpangkal dari peristiwa
khusus sebagai hasi pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau
pengetahuan baru yang bersifat umum.
Menurut Smart, Penalaran induktif adalah penalaran yang memberlakukan
atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Dan menurut
Suriasumantri, penalaran induktif adalah proses penarikan kesimpulan dari kasus-
kasus yang bersifat individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum.
Penalaran induktif adalah penalaran yang mengambil contoh-contoh
khusus yang khas untuk kemudian diambil kesimpulan yang lebih umum.
Penalaran ini memudahkan untuk memetakan suatu masalah sehingga dapat
dipakai dalam masalah lain yang serupa. catatan bagaimana penalaran induktif ini
bekerja adalah, meski premis-premis yang diangkat benar dan cara penarikan
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 93
kesimpulannya sah, kesimpulannya belum tentu benar. tapi kesimpulan tersebut
mempunyai peluang untuk benar.
Penalaran induktif membutuhkan banyak sampel untuk mempertinggi
tingkat ketelitian premis yang diangkat. untuk itu penalaran induktif erat dengan
pengumpulan data dan statistic. Penalaran ini lebih banyak berpijak pada
observasi inderawi atau empirik.
Contoh 1 :
Premis 1 : Ani bersekolah dengan memakai seragam merah putih karena
masih SD
Premis 2 :Anton Bersekolah dengan memakai seragam merah putih karena
dia masih SD.
Kesimpulan: Semua siswa yang masih SD memakai seragam merah putih
saat bersekolah.

Contoh 2 :
Premis 1 : Kerbau punya mata
Premis 2 : Anjing punya mata
Premis 3 : Kucing punya mata
Kesimpulan : Setiap hewan punya mata

Contoh 3 :
Premis 1 : Harimau berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan
Premis 2 : Ikan Paus berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan
Kesimpulan : Semua hewan yang berdaun telinga berkembang biak
dengan melahirkan

2. Metode Deduktif
Metode deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu
peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir
pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.
Penalaran deduktif menarik kesimpulan khusus dari premis yang lebih
umum. Jika premis benar dan cara penarikan kesimpulannya sah, maka dapat
dipastikan hasil kesimpulannya benar. Jika penalaran induktif erat kaitannya
dengan statistika, maka penalaran deduktif erat dengan matematika khususnya
matematika logika dan teori himpunan dan bilangan.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 94


Menurut Aristoteles penalaran deduktif merupakan penalaran yang beralur
dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum menuju pada penyimpulan yang
bersifat khusus.
Contoh 1 :
Premis 1 : Semua hewan punya mata
Premis 2: Kucing termasuk hewan
Kesimpulan : Kucing punya mata

Contoh 2 :
Premis 1 : Barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi
Premis 2 : Laptop adalah barang elektronik
Kesimpulan : Laptop membutuhkan daya listrik untuk beroperasi

D. Perbedaan Paradigma Kuantitatif dan Kualitatif


1. Paradigma Kuantitatif
a. Realita bersifat obyektif dan berdimensi tunggal. Menilai data lebih
obyektif karena tidak boleh terpengaruh oleh nilai atau kepercayaan
peneliti atau orang lain (value free).
b. Peneliti independen terhadap fakta yang diteliti.
c. Menggunakan struktur teori.
d. Struktur teori digunakan untuk membangun satu atau lebih hipotesis.
2. Paradigma Kualitatif
a. Realita bersifat subyektif dan berdimensi banyak. Menilai data
lebih subyektif karena hasil observasi langsung dilakukan peneliti,
dan peneliti sendiri yang menyimpulkannya.
b. Peneliti berinteraksi terhadap fakta yang diteliti.
c. Tidak menggunakan struktur teori karena lebih bertujuan menemukan
teori bukan memverifikasi teori, kecuali jika tujuan penelitiannya ingin
membuktikan atau menemukan keterbatasan dari suatu teori.
d. Tidak ada hipotesis, jika ada hipotesis tersebut bersifat implisit tidak
eksplisit.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 95


3. Paradigma Kualitatif
Dalam penelitian kualitatif sebaliknya meneliti pola-pola makna yang
muncul dari data dan ini sering disajikan dalam kata-kata sendiri peserta. Tugas
peneliti kualitatif adalah untuk menemukan pola dalam kata-kata (dan tindakan)
dan menyajikan pola-pola bagi orang lain untuk memeriksa sementara pada saat
yang sama tetap sebagai dekat dengan dunia konstruksi sebagai peserta awalnya
mengalaminya. Penelitian kualitatif adalah untuk menemukan pola-pola yang
muncul setelah pengamatan dekat, dokumentasi yang cermat, dan analisis
mendalam tentang topik penelitian. Apa yang dapat ditemukan oleh penelitian
kualitatif tidak menyapu generalisasi tapi temuan kontekstual.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 96


BAB X
MEMBACA KRITIS UNTUK MENULIS YANG BERSUMBER DARI
JURNAL-JURNAL ILMIAH

A. Membaca Kritis
Membaca merupakan kegiatan yang sangat menunjang kegiatan menulis.
Dengan banyak membaca, kita akan mempunyai banyak informasi dan
pengetahuan yang tidak kita dapat dari pengalaman sehari-hari. Dengan banyak
membaca, kita juga akan banyak mendapat gagasan yang berguna untuk tulisan
kita. Tulisan yang baik memberikan pengetahuan bagi pembacanya. Oleh karena
itu, kalau kita ingin menghasilkan tulisan yang baik, kita perlu banyak membaca.
Tidak mengherankan bahwa penulis yang baik umumnya banyak membaca.
Selain itu, membaca juga adalah suatu proses yang dilakukan serta
dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh informasi yang disampaikan oleh
penulis melalui media kata-kata maupun bahasa tulisan. Dalam membaca dikenal
jenis membaca telaah isi yang memiliki pengertian yaitu membaca dengan cara
meneliti bahan yang tersedia dengan tidak mengesampingkan ketelitian,
pemahaman, serta kekritisan dalam berpikir.
Menurut Nurgiyantoro (2012:368), kegiatan membaca merupakan aktivitas
mental memahami apa yang dituturkan pihak lain melalui sarana tulisan. Kegiatan
membaca juga merupakan aktivitas berbahasa yang bersifat reseptif kedua setelah
menyimak. Hubungan antara penutur (penulis) dan penerima (pembaca) bersifat
tidak langsung, yaitu melalui lambang tulisan.
Membaca kritis sangat relevan dengan kehidupan kita sekarang sebagai
pelajar yang dituntut untuk menambah wawasan dan mengembangkan ilmu. Oleh
sebab itu, belajar ini tentu akan sangat bermanfaat karena kita akan dapat
memanfaatkan hasil pembacaan kita yang cermat. Berdasarkan hal itulah hakikat
membaca kritis ini merupakan kegiatan belajar yang penting dan wajib dikuasai
oleh pelajar maupun mahasiswa. Melalui kegiatan belajar ini, kita sebagai pelajar
dibekali dengan kompetensi yang berkenaan dengan kemampuan untuk
menerapkan metode membaca kritis untuk menulis.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 97
Membaca kritis merupakan kegiatan membaca untuk mendapatkan
informasi yang relevan dan diperlukan untuk tulisan yang akan dikembangkan.
1. Ragam Membaca Kritis
Ada berbagai ragam membaca kritis bergantung pada jenis informasi
seperti apa yang kita inginkan, yaitu:
a. Membaca cepat atau sekilas untuk membaca topik
Membaca cepat bertujuan untuk mengetahui informasi secara umum yang
dibicarakan dalam tulisan. Dalam hal ini, perlu memfokuskan perhatian pada
bagian-bagian tertentu. Kita bisa membaca tulisan dengan cepat/secara sekilas
dari awal sampai akhir. Dari kegiatan membaca cepat ini, kita mendapat ide
tentang topik tulisan yang kita baca.
b. Membaca cepat untuk informasi khusus
Membaca cepat juga bisa dilakukan jika kita menginginkan informasi
khusus dari sebuah tulisan. Perhatian kita hanya tertuju pada bagian-bagian yang
kita inginkan. Bagian-bagian yang mengandung informasi yang tidak dinginkan
tidak mendapat perhatian dari kita.
c. Membaca teliti untuk informasi rinci
Ketika ingin mendapatkan informasi rinci tentang suatu hal dalam,
kegiatan membaca difokuskan pada bagian yang mengandung informasi yang kita
ketahui secara rinci. Saat kita sampai pada bagian tersebut, kita membacanya
dengan teliti sampai kita benar-benar memahami informasi yang kita dapatkan.
Bagian-bagian lain yang tidak kita perlukan tidak perlu dibaca lebih lanjut

2. Karakteristik Membaca Kritis


Membaca kritis pada dasarnya merupakan langkah lebih lanjut dari
berpikir dan bersikap kritis. Adapun kemampuan berpikir dan bersikap kritis
meliputi.
a. menginterpretasi secara kritis.
b. menganalisis secara kritis.
c. mengorganisasi secara kritis.
d. menilai secara kritis.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 98
e. menerapkan konsep secara kritis.
Teknik-teknik yang digunakan untuk meningkatkan sikap kritis adalah
sebagai berikut:
a. Kemampuan mengingat dan mengenali ide pokok paragraf, tokoh-tokoh
cerita dan sifat-sifatnya.
b. Kemampuan memahami atau menginterpretasi makna tersirat.
c. Kemampuan menganalisis.
d. Kemampuan menilai isi bacaan.

3. Membaca Kritis Tulisan atau Artikel Ilmiah


Membaca tulisan atau artikel ilmiah berbeda dengan membaca jenis tulisan
lain karena jenis informasinya berbeda. Tulisan ilmiah biasanya berisi informasi
yang merupakan hasil penelitian. Ini berbeda dengan jenis tulisan lain yang
informasinya bisa berupa pendapat dan kesan pribadi yang belum dibuktikan
melalui penelitian dan prosedur ilmiah. Berikut adalah beberapa hal yang
mungkin perlu diperhatikan dalam membaca tulisan atau artikel ilmiah.
a. Menggali tesis atau pernyataan masalah
Tulisan atau artikel ilmiah biasanya mempunyai tesis atau pernyataan
umum tentang masalah yang dibahas. Sebuah tesis biasanya diungkapkan dengan
sebuah kalimat dan menilai apakah penulisannya berhasil atau tidak dalam
membahas atau memecahkan masalah yang diajukan.
b. Meringkas butir-butir penting setiap artikel
Meringkas butir-butir penting setiap artikel yang kita baca perlu dilakukan
karena ringkasan itu bisa dikembangkan untuk mendukung pernyataan yang kita
buat. Dengan adanya ringkasan, kita juga tidak perlu lagi membaca artikel secara
keseluruhan kalau kita memerlukan informasi dari artikel yang bersangkutan.

c. Memahami konsep-konsep penting (pandangan ahli, hasil penelitian,dan


teori).

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 99


Memahami konsep-konsep penting dari tulisan ilmiah perlu dilakukan
untuk mendukung tesis atau pernyataan umum tulisan. Dengan memahami
konsep-konsep penting dari sebuah tulisan ilmiah, kita juga dapat lebih
memahami konsep-konsep yang akan kita kembangkan dalam tulisan.
d. Menentukan bagian yang akan dikutip
Mengutip pendapat orang lain merupakan kegiatan yang sering kita
lakukan dalam menulis. Dalam mengutip bagian dari sebuah tulisan ilmiah juga
perlu memperhatikan relevansi bagian tersebut dengan tulisan kita.
e. Menentukan implikasi dari bagian/sumber yang dikutip
Dalam mengutip bagian dari sebuah artikel perlu menyadari implikasinya,
apakah kutipan itu mendukung gagasan yang akan kita kembangkan dalam tulisan
atau sebaliknya.
f. Menentukan posisi penulis sebagai pengutip
Dalam mengutip pernyataan yang ada sebuah artikel, perlu secara jelas
meletakkan posisi kita. Apakah kita bersikap netral, menyetujui atau tidak
menyetujui pernyataan yang kita kutip.

B. Menulis Ilmiah
Menulis adalah kegiatan menyusun serta merangkaikan kalimat agar
pesan, informasi, serta maksud yang terkandung dalam pikiran, gagasan, dan
pendapat penulis dapat disampaikan dengan baik. Untuk itu satu kalimat harus
disusun sesuai dengan kaidah gramatika, sehingga mampu mendukung pengertian
baik dalam taraf significance maupun dalam taraf value. Sebagai proses kreatif
yang berlangsung secara kognitif, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
tulisan ilmiah, sekurang-kurangnya memuat 3 tahap, yaitu:
1. Tahap Persiapan (Pra-Penulisan)
Tahap persiapan adalah ketika seseorang merencanakan, mengumpulkan
dan mencari informasi, merumuskan masalah, menentukan arah dan fokus tulisan,
mengolah informasi, menarik tafsiran dan inferensi terhadap realitas yang
dihadapinya, berdiskusi, membaca, mengamati dan lain-lain yang akan
memperkaya masukan kognitifnya yang akan diproses pada tahap selanjutnya.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 100
2. Tahap Inkubasi
Tahap ketika sesorang memproses informasi yang telah dimilikinya,
sehingga mengantarkannya pada kemampuan untuk menyelesaikan masalah.

3. Tahap Iluminasi
Tahap ketika datangnya inspirasi, yaitu gagasan yang muncul secara tiba-
tiba dan dilakukan tahap verifikasi atau evaluasi yaitu apa yang dituliskan sebagai
hasil dari tahap iluminasi diperiksa kembali, diseleksi dan disusun sesuai dengan
fokus laporan atau tulisan yang diinginkan.

C. Teknik Mengenali Identitas Referensi


Referensi adalah cara standar untuk mengakui sumber informasi dan ide-
ide yang telah digunakan dalam karya ilmiah yang dibuat oleh peneliti. Di dalam
karya ilmiah, penulisan referensi (citation mark, citation) harus dilakukan dengan
baik karena pembaca harus dapat mengecek sumber aslinya mengenai ide atau
informasi yang digunakan di dalam karya ilmiah tersebut. Penulis harus menulis
daftar referensi yang ada di domain publik yang dapat dibaca oleh pembaca, baik
dalam letter, paper, proseding, jurnal, skripsi, thesis, disertasi (Bayu, 2001).
Kata referensi berasal dari inggris reference dan merupakan kata kerja to
refer yang artinya menunjukan kepada. Buku referensi adalah buku yang dapat
memberikan keterangan topik perkataan, tempat, peristiwa, data statistika,
pedoman, alamat, nama orang, riwayat orang-orang terkenal. Pelayanan referensi
adalah pelayanan dalam menggunakan buku-buku referensi.di perpustakaan
biasanya buku-buku referensi di kumpulkan tersendiri dan di sebut “koleksi
referensi” sedangakan ruang tempat penyimpanan disebut ruang referensi. Buku-
buku referensi yang karena sifatnya sebagai buku penunjuk, harus selalu tersedia
di perpustakaan sehingga dapat di pakai oleh setiap orang pada setiap saat.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 101


DAFTAR PUSTAKA

Awalludin. 2017. Pengantar Bahasa Indonesia untuk perguruan Tinggi.


Yogyakarta: Deepublish.

Badudu, J.S. 1981. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: Gramedia.

Badudu, J.S. 1992. Cakrawala Bahasa Indonesia 2. Jakarta: Gramedia.

Bahar, Putra. 2017. EBI (Ejaan Bahasa Indonesia). Yogyakarta: Chivita Books.

Ermanto dan Emidar. 2014. Bahasa Indonesia: Pengembangan Kepribadian di


Perguruan Tinggi. Padang: UNP Press.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta: LkiS.

Gani, Erizal. 2011. Menulis Karya Ilmiah Teori dan Terapan. Padang: UNP
PRESS.

Jauhari, Heri. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia.

Keraf, Gorys. 1994. Komposisi. Jakarta: Nusa Indah.

Mulyana. 2005. Kajian Wacana : Teori, Metode & Aplikasi Prinsip-prinsip


Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Penilaian Pembelajaran Bahasa Berbasis


Kompetensi. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.

Nurhadi. 1987. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Prihantini, Ainia. 2015. Master Bahasa indonesia. Yogyakarta: B First.

Rinayanthi, I Nengah Laba Ni Made. 2018. Buku Ajar Bahasa Indonesia berbasis
Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta: Deepublish.

Rokhmansyah, Alfian, dkk. 2018. Bahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi.


Semarang: Unnes Press.

Sumarlam. 2008. Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Caraka.

Wahid, Syahruddin. 1999. “Teknik Penulisan Karya Ilmiah” dalam Aliasar (Ed.).
Padang: FIP UNP.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 102
Yanti, Prima Gusti. 2016. Bahasa Indonesia Konsep Dasar dan Penerapan.
Jakarta: Grasindo.

Yule, George. 2006. Pragmatik (Diterjemahkan oleh Indah Fajar Wahyuni).


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 103

Anda mungkin juga menyukai