MODUL
Disusun oleh:
BAB VII Penggunaan Penulisan Bentuk Kalimat Baku dan Tidak Baku.....82
Daftar Pustaka....................................................................................................102
BAB I
SEJARAH BAHASA INDONESIA
A. KUTIPAN
1. Pengertian
Gani (2011:2) mengemukakan bahwa kutipan adalah suatu suatu kegiatan
yang berkaitan dengan memungut, mengabil, atau meminjam pemikiran orang
lain berdasarkan kaidah dan tata cara tertentu. Pemikiran yang dipungut tersebut
dapat berupa kata, istilah, kalimat atau paragraf, atau dapat berupa informasi yang
disampaikan secara lisan (oleh seorang pembicara) atau secara tertulis (oleh
seorang pengarang). Walaupun kutipan atas pendapat seorang ahli itu
diperkenankan tidaklah berarti bahwa sebuah tulisan seluruhnya dapat terdiri dari
kutipan-kutipan.
2. Fungsi Kutipan
Seorang penulis karya ilmiah tidak akan mengutip bila kutipan tersebut
tidak memiliki fungsi yang jelas. Sekaitan dengan itu, fungsi sebuah kutipan di
dalam karya tulis ilmiah adalah sebagai berikut (Gani, 2011:3).
a. Fungsi memperkokoh atau memperkuat gagasan atau pikiran yang
hendak disampaikan penulis karya ilmiah
b. Fungsi perbandingan
c. Fungsi kesungguhan
d. Fungsi ilustrasi
e. Fungsi landasan teori
3. Syarat-syarat Mengutip
Ada aturan tertentu dalam kegiatan kutip-mengutip. Aturan tersebut adalah
sebagai berikut (Gani, 2011:5—11).
a. Kutipan berasal dari sumber ali atau sumber pertama
b. Kutipan berasal dari pakar atau para ahli
c. Informasi yang dikutip adalah informasi terbaru (mutakhir)
d. Informasi kutipan menyatu dengan gagasan penulis
e. Perhatikan panjang materi kutipan
f. Mencantumkan sumber kutipan
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 10
g. Hindarilah “parade” kutipan
h. Kutiplah jika dirasa sangat perlu
i. Perhatikan kaidah-kaidah yang berlaku
4. Prinsip-prinsip Dasar Mengutip
Selain dari persyaratan yang harus dikemukakan tersebut, kegiatan kutip
mengutip juga dapat dilihat dari prinsip-prinsip mengutip. Menurut Keraf (dalam
Gani, 2011:11) prinsip-prinsip mengutip tersebut adalah sebagai berikut.
a. Jangan melakukan perubahan
b. Biarkan kesalahn yang terdapat pada materi yang dikutip
c. Menghilangkan bagian yang dikutip
d. Membandingkan bagian yang dikutip
5. Jenis-jenis Kutipan
Gani, 2011:14) mengemukakan bahwa jenis kutipan ada dua macam, yaitu
kutipan langsung dan kutipan tidak langsung. Penjelasannya adalah sebagai
berikut.
a. Kutipan Langsung
Kutipan Langsung merupakan pernyataan yang ditulis dalam susunan
aslinya tanpa mengalami perubahan sedikitpun. Bahan yang dikutip harus
direproduksi tepat seperti apa adanya sesuai sumber, termasuk ejaan, tanda baca,
dan sebagainya.
Contoh Kutipan Langsung:
Agus mengatakan, “perlu dikembangkan sikap apresiatif dan
aspiratif terhadap pengetahuan-pengetahuan tandingan yang dimiliki
dan dipegang teguh kaum miskin yang terlibat dalam akar
penjarahan” (Sudibyo, 2002:184). ………………………………
b. Kutipan Tak Langsung
Kutipan tidak langsung merupakan pengungkapan kembali maksud penulis
dengan kata-katanya sendiri. Yang dikutip adalah pokok-pokok pikiran, atau
ringkasan dan kesimpulan dari sebuah tulisan kemudian dinyatakan dengan
bahasa sendiri. Walaupun yang dikutip berasal dari bahasa asing, namun tetap
dinyatakan dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Contoh Kutipan Tidak Langsung :
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 11
Sikap apresiatif dan aspiratif terhadap pengetahuan-pengetahuan
tandingan yang dimiliki dan dipegang teguh kaum miskin yang
terlibat dalam akar penjarahan perlu dikembangkan agar lebih
terbuka pada perkembangan yang ada disekitarnya. Hal itu penting
agar mereka tidak terpaku pada padi, jagung, tetapi juga pada
komoditi yang lain (Sudibyo, 2001 : 12). Selain itu Joni menyataka
bahwa ………………………………………….
B. DAFTAR PUSTAKA
1. Pengertian Kepustakaan/Daftar Pustaka
Menurut Gani (2011:2), daftar pustaka adalah komponen karya tulis ilmiah
yang berisikan informasi lengkap tentang bahan-bahan pustaka (buku, koran,
majalah, jurnal, email, dan lain-lain) yang dipakai sebagai referensi dari suatu
tulisan yang sedang ditulis. Informasi lengkap dari bahan pustaka tersebut
meliputi informasi tentang identitas pengarang, judul karangan, dan data publikasi
karangan.
Menurut Jauhari (2010:171), bibliografi yakni daftar buku-buku, artikel,
dan laporan penelitian yang dipakai sebagai sumber teori atau sumber kutipan
sebagai rujukan dalam penelitian atau penulisan karangan.
Menurut Keraf (1979:213), yang dimaksud dengan bibliografi atau daftar
kepustakaan adalah sebuah daftar yang berisi judul buku-buku, artikel-artikel, dan
bahan-bahan penerbitan lainnya, yang mempunyai pertalian dengan sebuah
karangan atau sebagian dari karangan yang tengah digarap.
Menurut Wahid (1999:81), daftar pustaka merupakan daftar yang berisi
buku, makalah, artikel, atau bahan lainnya yang dikutip baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Jadi, kesimpulannya kepustakaan adalah komponen karya ilmiah yang
berisi informasi lengkap tentang bahan-bahan pustaka seperti buku, koran,
majalah, jurnal, artikel, dan bahan penerbitan lainnya yang mempunyai pertalian
dengan sebuah karangan atau sebagian dari karangan yang tengah digarap yang
dipakai sebagai referensi dari suatu tulisan yang sedang ditulis.
2. Fungsi Kepustakaan
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 12
Menurut Gani (2011:3), di dalam karya ilmiah, kepustakaan merupakan
sesuatu yang penting, karena ia memiliki fungsi-fungsi tertentu. Fungsi-fungsi
tersebut sebagai berikut.
a. Ungkapan rasa tanggung jawab
Daftar pustaka dapat berfungsi sebagai unkapan rasa tanggung jawab
moral akademik atau tanggung jawab moral keilmuan penulis. Penulis yang
mengutip, meminjam, atau memakai pikiran, pendapat, atau pandangan orang lain
(ahli atau pakar) dalam tulisannya harus menyadari bahwa yang dikutipnya
bukanlah miliknya.
b. Sarana untuk menginformasikan buku-buku yang dirujuk
Daftar pustaka dapat berfungsi sebagai sarana untuk menginformasikan
buku-buku rujukan yang dipakai secara langsung oleh penulis karya ilmiah.
Informasi tersebut merupakan salah satu cermin dari kesungguhan penulis karya
ilmiah yang bersangkutan di dalam menyelesaikan karya ilmiah yang ditulisnya.
c. Penuntun untuk mendapatkan buku-buku yang dirujuk
Daftar pustaka dapat berfungsi sebagai penuntun bagi seseorang untuk
menentukan dan mendapatkan buku-buku apa saja yang harus dibaca dan dimiliki
jika ingin lebih mengetahui aneka materi yang dikutip atau jika ingin lebih
memahami, memperluas, dan memperdalam materi karya tulis ilmiah yang sedang
dibacanya.
d. Perpanjangan dari sebuah materi yang dikutip
Daftar pustaka dapat berfungsi sebagai perpanjangan dari sebuah materi
yang dikutip.
3. Komponen-komponen Kepustakaan
Menurut Keraf (1980:214) dalam Gani (2011:6), komponen-komponen
daftar pustaka adalah sebagai berikut.
a. Nama pengarang buku yang dirujuk.
b. Judul karangan atau judul tulisan yang dirujuk, termasuk tambahannya. Yang
dimaksudkan dengan tambahan di sini adalah kata-kata yang mengiringi suatu
tulisan, misalnya: identitas tulisan (disertai, tesis, skripsi, makalah, artikel,
dan lain-lain), edisi atau volume, nomor, dan lain-lain.
b) Penulisan komponen nama pengarang yang terdiri dari dua kata atau lebih
(dalam Gani, 2011:14)
Penulisan komponen nama pengarang daftar pustakanya mengacu kepada
ketentuan berikut, yaitu: (a) Kata terakhir dari nama tersebut selalu dibalikkan,
atau diubah letaknya dari kata terakhir menjadi kata pertama. Kata pertama, ke
dua, ke tiga sampai menjelang kata terakhir tersebut dibiarkan seperti apa adanya;
(b) Penulisan kata terakhir yang dibalikkan itu diakhiri dengan tanda baca koma;
(c) Setelah tanda baca koma, baru dibuat kata pertama, ke dua, ke tiga, dan
seterusnya dari rangkaian kata nama tersebut; dan (d) Untuk pengarang asing, kata
ke dua, ke tiga, dan seterusnya biasanya yang dituliskan hanya huruf pertama saja.
Perhatikan contoh berikut ini.
Forster, E. M. 1985. Aspecsof The Novel. London: Penguin Books.
2) Dua pengarang
Menurut Gani (2011:19), aturannya yaitu: (a) Urutan nama pengarang
pada komponen nama pengarang kepustakaan harus sesuai dengan urutan nama
yang ada pada buku, kalau pengarang tersebut adalah Abdullah dan Maimunah,
maka urutan tersebut tetap Abdullah dan Maimunah; (b) Jika nama pengarang
pertama terdiri dari satu kata, maka penulisan komponen nama pengarang daftar
pustakanya adalah sebagaimana adanya nama tersebut, jika dua kata atau lebih,
maka penulisannya dibalikkan; (c) jika nama pengarang kedua terdiri dari satu
kata, maka penulisan komponen nama pengarang daftar pustakanya adalah
sebagaimana adanya nama tersebut, jika dua kata atau lebih, maka penulisannya
juga sebagaimana adanya nama tersebut, tidak dibalikkan; (d) Antara nama
Alwi, Hasan, dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Joice, Bruce, at.al. 1996. Models of Teaching. Boston: Allyan and Bacon.
4) Penerjemah
Menurut Gani (2011:27), Buku-buku terjemahan dipakai sebagai rujukan
sekiranya seorang penulis karya ilmiah tidak mendapatkan buku aslinya (buku
Amstrong, Karen. 2002. Sejarah Bahasa (Alih bahasa oleh Zainul Am).
Bandung: Mizan.
Corey, Gerald. 1995. Teori dan Pratek dari Konseling dan Psikoterapi
(Diterjemahkan oleh Mulyanto). Semarang: IKIP Semarang
Press.
5) Editor
Menurut Gani (2011:25), Ketentuan penulisan kepustakaan karya ilmiah
tersebut adalah sebagai berikut.
5. Contoh kepustakaan
Catatan: daftar pustaka ditulis secara berurutan menurut Alfabetis.
Alfabetis di sini contohnya seperti awalan nama pengarang yang penulisannya
ditebalkan di bawah ini:
KEPUSTAKAAN
Alwi, Hasan, dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Amstrong, Karen. 2002. Sejarah Bahasa (Alih bahasa oleh Zainul Am).
Bandung: Mizan.
Atmazaki. 1994. Ilmu Sastra: Teori dan Terapan. Padang: Angkasa Raya.
Ermanto. 2001. “Berita dan Fotografi”. Buku Ajar tidak diterbitkan. Padang:
FBSS UNP.
Suparno, dkk. (Eds.). 1994. Bahasa Indonesia Keilmuan. Malang: FBSS IKIP
Padang.
A. Batasan Kalimat
Sekurang-kurangnya kalimat dalam ragam resmi, baik lisan maupun
tertulis, harus memiliki subjek (S) dan predikat (P). Jika tidak memiliki unsur S
dan P, pernyataan itu bukanlah kalimat. Dengan kata lain yang seperti itu hanya
dapat disebut sebagai frasa. Inilah yang membedakan kalimat dengn frasa.
Kalimat mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan, kalimat
diucapkan dengan suara naik turun, dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri
dengan intonasi akhir. Dalam wujud tulisan berhuruf latin kalimat dimulai dengan
huruf kapital dan diakhiri dengan tanda titik, tanda tanya, dan tanda seru
(Rokhmansyah, 2018:29).
Kalimat mempunyai beberapa ciri-ciri. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai
berikut.
1. berintonasi akhir;
2. miniml terdiri atas subjek dan predikat;
3. predikat transitif disertai objek, intransitif dapat diikuti pelengkap;
4. mengandung pikiran yang utuh dan kesatuan makna;
5. menggunakan urutan yang logis; dan
6. dalam bahasa tulis diawali huruf kapital dan diakhiri tanda titik, tanda tanya,
atau tanda seru.
B. Struktur Kalimat
Karangan ilmiah harus dengan menggunakan struktur kalimat bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Namun dalam kenyataannya, banyak penulis yang
hanya mementingkan komponen isi dan mengabaikan komponen bentuk, terutama
struktur kalimat dan struktur paragraf.
Karangan ilmiah mengandung satuan-satuan tata bahasa yang bersifat
hierarkis, yaitu satuan-satuan yang secara bertingkat membentuk satu sistem.
Dalam sistem tersebut satuan yang lebih kecil merupakan bagian dari satuan yang
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 34
lebih besar. Pembentukan masing-masing satuan tersebut mengikuti kaidah-
kaidah tertentu, yang disebut kaidah-kaidah tata bahasa.
1. Struktur Kalimat
Alwi, dkk., 1998 (dalam Ermanto dan Emidar. 2014:115) mengungkapkan
kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang
mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan, kalimat diucapkan dengan
suara naik turun dan keras lembut, disela jeda. Dan diakhiri dengan intonasi akhir
yang diikuti oleh kesenyapan. Dalam wujud tulisan, kalimat dimulai dengan huruf
kapital dan diakhiri dengan tanda titik (.), atau tanda tanya (?), atau tanda seru (!).
Kalimat ragam baku minimal memiliki dua unsur, yaitu unsur subjek dan
unsur predikat. Jika predikat kalimatnya berupa kata kerja transitif (kata kerja
yang menuntut kehadiran unsur objek), kalimat itu harus terdiri atas tiga unsur,
yakni subjek-predikat, objek.
Untuk memeriksa apakah kalimat yang ditulis memenuhi syarat kaidah
tata bahasa, seorang penulis perlu mengenal fungsi unsur kalimat (subjek,
predikat, objek, pelengkap, dan keterangan.
Pertama, subjek merupakan fungsi sintaksis terpenting dalam sebuah
kalimat, selain unsur predikat. Menurut Sugono, 1993 (dalam Ermanto dan
Emidar, 2014:116) ciri-ciri subjek adalah sebagai berikut.
a. Pada umumnya subjek berupa nomina atau frase nomina atau kelas kata lain
yang dapat menduduki fungsi subjek.
b. Merupakan jawaban atas pertanyaan apa atau siapa.
c. Dapat diperluas dengan kata itu, ini.
d. Dapat diperluas dengan menggunakan frase atau klausa dengan kata
penghubung yang.
Kedua, predikat merupakan unsur pokok yang disertai unsur subjek, dan
jika ada disertai unsur objek, pelengkap, dan atau keterangan wajib di sebelah
kanan. Ciri-ciri predikat juga diungkapkan oleh Sugono,1993 (dalam Ermanto dan
Emidar, 2014:116) sebagai berikut.
3. Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal adalah kalimat yang hanya terdiri dari satu dasar kalimat.
Namun dalam kalimat tunggal bisa diperluas dengan unsur tambahan seperti
keterangan tempat, waktu, dan alat. Alwi, dkk., 1998 (dalam Ermanto dan Emidar,
2014:120) menguraikan beberapa macam kalimat tunggal sebagai berikut.
a. Kalimat taktransitif seperti di bawah ini.
Mahasiswa itu sedang berbelanja.
Pak Ahmad akan naik haji.
4. Kalimat Majemuk
Kalimat majemuk adalah kalimat yang memiliki dua pola kalimat atau
lebih yang saling berhubungan.
Menurut Arifin dan Tasai, 2004 (dalam Ermanto dan Emidar, 2014:96)
makna denotatif dan makna konotatif berhubungan erat dengan kebutuhan
pemakai bahasa. Artinya, kata bermakna denotatif adalah kata yang memiliki arti
harfiah dan tidak memiliki makna tambahan yang berkaitan dengan sikap penutur.
Demikian pula, kata bermakna konotatif adalah kata yang memiliki nilai rasa
tertentu.
3. Kata-kata Bersinonim
Kata-kata bersinonim adalah kata-kata (bentuknya memang berbeda) yang
pada dasarnya mempunyai makna yang hampir serupa atau mirip. Oleh karena itu,
diakui para pakar bahasa, bahwa kesinoniman kata-kata itu tidaklah bersifat
mutlak. Kata-kata bersinonim perlu dipahami, dipilih, dan digunkan secara tepat
dalam kalimat ragam formal.
Contoh:
cerdas = cerdik, hebat, pintar
mati = mangkat, wafat, maninggal
Contoh pasangan kata baku dan kata nonbaku karena pengurangan fonem.
Kata Baku Kata Nonbaku
tidak tak
tetapi tapi
Contoh pasangan kata baku dan kata nonbaku karena pengubahan fonem.
Kata Baku Kata Nonbaku
telur telor
roboh rubuh
Kedua, kata baku dan kata nonbaku dapat pula dilihat berdasarkan ranah
morfologis. Maksudnya, sebuah kata baku kadang-kadang memiliki kata nonbaku
karena pada hasil proses morfologis terjadi pengurangan fonem atau pengubahan
fonem, terjadi penggantian afiks, dan terjadi kelebihan fonem.
Contoh kata baku dan kata nonbaku karena pada hasil morfologis terjadi
pengurangan fonem.
Kata Baku Kata Nonbaku
memfokuskan memokuskan
memprotes memrotes
Contoh kata baku dan kata nonbaku karena pada hasil morfologis terjadi
pengurangan fonem.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 43
Kata Baku Kata Nonbaku
mengubah merubah
Contoh kata baku dan kata nonbaku karena pada hasil morfologis terjadi
penggantian afiks.
Kata Baku Kata Nonbaku
menangkap nangkap
menatap natap
Contoh kata baku dan kata nonbaku karena pada hasil morfologis terjadi
kelebihan fonem.
Kata Baku Kata Nonbaku
bekerja berkerja
teperdaya terperdaya
Ketiga, kata (frasa) baku dan kata (frasa) nonbaku dapat dilihat
berdasarkan ranah leksikon. Maksudnya, sebuah kata (frasa) baku kadang-kadang
memiliki kata (frasa) nonbaku yang terdapat dalam ragam percakapan.
Contoh pasangan kata (frasa) baku dan kata (frasa) nonbaku ragam
percakapan.
Kata Baku Kata Nonbaku
belum masak belum matang
sedang tidur pada tidur
Selain itu, dalam kalimat ragam formal, jangan menggunakan frasa ragam
percakapan karena salah susunannya. Seperti dalam contoh berikut.
Kata Baku Kata Nonbaku
waktu lain lain waktu
malam nanti nanti malam
Partikel per dalam bahasa Indonesia memiliki arti ‘mulai, demi, tiap’.
Penulisan pertikel per ditulis terpisah dengan kata yang mengikutinya.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
per jam perjam
per hari perhari
Selain itu, dalam bahasa Indoneisa juga terdapat awalan per yang memiliki
arti ‘menjadikan...’, menjadikan lebih...’, atau ‘memperlakukannya sebagai...’.
Penulisan awalan per ini ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Seperti
pada contoh berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
perbesar per besar
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 47
perkakak per kakak
Kata pun dalam bahasa Indonesia yang mempunyai arti ‘juga’ harus
dituliskan secara terpisah dengan kata yang diikutinya. Seperti pada contoh
berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
aku pun akupun
mereka pun merekapun
Selain itu, kata pun padakata tertentu yakni ungkapan yang sudah padu
harus dituliskan serangkai dengan kata yang diikutinya. Dapat dilihat dalam
contoh berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
walaupun walau pun
sungguhpun sungguh pun
Bentuk terikat pasca dalam bahasa Indonesia ditulis serangkai dengan kata
yang mengikutinya. Seperti yang terlihat dalam contoh berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
pascasarjana pasca sarjana, pasca-sarjana
pascapanen pasca panen, pasca panen
Selain itu, kesalahan penulisan kata yang sering terjadi adalah dalam hal
penulisan awalah tertentu. Seperti yang terdapat dalam contoh berikut.
Penulisan yang Benar Penulisan yang Salah
bertolak belakang bertolakbelakang
ditandatangani ditanda tangani
A. Pengertian Paragraf
Paragraf disebut juga alinea. Kata tersebut merupakan serapan dari bahasa
Inggris paragraf. Kata Inggris “paragraf” terbentuk dari kata Yunani para yang
berarti “sebelum” dan grafein “menulis atau menggores”. Sedangkan kata alinea
dari bahasa Belanda dengan ejaan yang sama. Alinea berarti “mulai dari baris
baru” (Adjad Sakri,1992).
Paragraf adalah seperangkat atau sekelompok kalimat yang tersusun dari
satu kalimat pokok dan beberapa kalimat penjelas. Yang di maksud Kalimat
Pokok adalah suatu kalimat yang berisikan masalah atau kesimpulan dari paragraf
itu sendiri. Dan Kalimat Penjelas merupakan suatu kalimat yang berisikan
penjelasan masalah yang terdapat di kalimat pokok. Atau definisi paragraf adalah
bagian yang berasal dari suatu karangan yang terdiri dari sejumlah kalimat, yang
isinya mengungkapkan satuan informasi / kalimat dengan pikiran utama sebagai
pengendaliannya dan juga pikiran penjelas sebagai pendukungnya.
2. Jenis Paragraf
b. Paragraf/Alinea Pengembangan
Paragraf pengembangan ialah paragraf yang terletak antara paragraf
pembuka dan paragraf yang terakhir sekali di dalam bab atau anak bab. Paragraf
ini mengembangkan pokok pembicaraan yang dirancang. Paragraf pengembangna
mengemukakan inti persoalan yang akan dikemukakan. Satu paragraf dan
paragraf lain harus memperlihatkan hubungan dengan cara ekspositoris, dengan
cara deskriptif, dengan cara naratif, atau dengan cara argumentative yang akan
dibicarakan pada halaman-halaman selanjutnya.
Secara lebih rinci dapat dirumuskan bahwa fungsi paragraf pengembang di
dalam karangan adalah
1) Mengemukakan inti persoalan.
2) Mempersiapkan dasar atau landasan bagi kesimpulan.
3) Meringkas alinea sebelumnya.
4) Menjelaskan hal yang akan diuraikan pada paragraf berikutnya.
c. Paragraf/Alinea Penutup
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 51
Paragraf penutup adalah paragraf yang terdapat pada akhir karangan atau
pada akhir suatu kesatuan yang lebih kecil di dalam karangan itu. Paragraf
penutup berupa simpulan semua pembicaraan yang telah dipaparkan pada bagian-
bagian sebelumnya. Karena paragraf ini dimaksudkan untuk mengakhiri karangan
atau bagian karangan, penyajiannya harus memperhatikan hal berikut ini.
1) Sebagai bagian penutup, paragraf ini tidak boleh terlalu panjang.
2) Isi paragraf harus benar-benar merupakan penutup atau kesimpulan akhir
sebagai cerminan inti seluruh uraian.
3) Sebagai bagian paling akhir yang dibaca, hendaknya paragraf ini dapat
menimbulkan kesan yang mendalam bagi pembacanya.
1. Jenis-jenis Kohesi
Halliday dan Hassan (dalam Mulyana, 2005:26) mengemukakan bahwa
unsur-unsur kohesi wacana dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu kohesi
gramatikal dan kohesi leksikal. Unsur kohesi gramatikal terdiri dari reference
(referensi), substitution (substitusi), ellipsis (elipsis), dan conjunction (konjungsi),
sedangkan kohesi leksikal terdiri atas reiteration (reiterasi) dan collocation
(kolokasi).
Jika Anda ingin dengan cepat berpendapat ‘dua’, lalu Anda memasukkan
pengetahuan budaya umum, bahkan mungkin tanpa memperhatikan bahwa nama
yang dipakai (Moses) itu tidak cocok. Kita sebenarnya membuat suatu penafsiran
yang koheren terhadap suatu teks yang secara potensial tidak memiliki penafsiran
itu.
Contoh lain, perhatikan berikut ini:
(a) Buah Apel adalah salah satu buah yang sangat tidak diragukan
kelezatan rasanya. (b) Menurut beberapa penelitian dibalik
kelezatan dari rasa buah apel ternyata juga mengandung banyak
zat-zat yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh kita. (c) Untuk itu
sangatlah penting untuk mengkonsumsi buah apel. (d) Buah Apel
memiliki kandungan vitamin, mineral dan unsur lain seperti serat,
fitokimian, baron, tanin, asam tartar, dan lain sebagainya. (e)
Dengan kandungan zat-zat tersebut buah apel memiliki manfaat
yang dapat mencegah dan menanggulangi berbagai penyakit. (f)
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 58
Berikut ini adalah beberapa manfaat buah apel bagi kesehatan yang
berhasil dihimpun dari berbagai sumber yaitu buah apel dapat
mencegah penyakit asma, dapat mengurangi berat badan,
melindungi tulang, menurunkan kadar kolesterol, mencegah kanker
hati, kanker paru-paru, kanker payudara, kanker usus, mengontrol
diabetes, membersihkan dan menyegarkan mulut.
(2) Persona 2
(a) Tunggal: kamu, anda, kau, saudara
Terikat lekat kiri: kau–
Terikat lekat kanan: –mu
(b) Jamak: kalian, kamu semua, anda semua
(3) Persona 3
(a) Tunggal: dia, ia, beliau
Terikat lekat kiri: di–
Terikat lekat kanan: –nya
(b) Jamak: mereka
b) Pengacuan Demonstratif
Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina
demonstratif tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada
yang mengacu pada waktu kini, lampau, akan datang, dan netral.
Pronomina demonstratif tempat atau lokasi yang dekat dengan
pembicara, agak jauh dengan pembicara, jauh dengan pembicara, dan
menunjuk tempat secara eksplisit. Berikut klasifikasi pronomina
demonstratif.
(1) Demonstratif waktu
(a) Kini: sekarang, hari ini, kini, sekarang, saat ini
(b) Lampau: kemarin, dahulu, kebelakang, dulu, …yang lalu
(c) Yang akan datang: besok, esok, kedepan, …depan, …yang akan
datang
(d) Netral: pagi, siang, sore, malam
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 63
(2) Demonstratif tempat
(a) Dekat dengan penutur: ini, di sini, ke sini
(b) Agak dekat dengan penutur: itu, di situ, ke situ
(c) Jauh dari penutur: sana, di sana, ke sana
(d) Eksplisit: Semarang, Demak, Sala
2) Substitusi (penggantian)
Substitusi (penggantian)adalah proses dan hasil penggantian unsure bahasa
oleh unsure lain dalam satuan yang lebih besar. Penggantian dilakukan untuk
memperoleh unsur pembeda atau menjelaskan struktur tertentu (Kridalaksana
dalam dalam Mulyana, 2005:28).
Substitusi mengacu ke penggantian kata-kata dengan kata lain. Substitusi
hampir sama dengan referensi. Perbedaan antara keduanya adalah referensi
merupakan hubungan makna sedangkan substitusi merupakan hubungan leksikal
atau gramatikal. Selain itu, substitusi dapat berupa proverba, yaitu kata-kata yang
digunakan untuk menunjukan tindakan, keadaan, hal, atau isi bagian wacana yang
sudah disebutkan sebelum atau sesudahnya juga dapat berupa substitusi klausal.
Substitusi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian
satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana untuk
memperoleh unsur pembeda (Sumarlam, 2008:28).
a) Substitusi nominal
b) Substitusi verbal
Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori
verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori
verba. Misalnya, kata mengarang digantikan dengan kata berkarya, kata
berusaha digantikan dengan kata berikhtiar, dan sebagainya. Perhatikan
contoh berikut.
Wisnu mempunyai hobi mengarang cerita pendek. Dia berkarya sejak
masih di bangku sekolah menengah pertama.
c) Substitusi frasal
Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa
kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa. Misalnya
pada contoh berikut.
Maksud hati mau menengok orang tua. Mumpung hari Minggu,
senyampang hari libur.
d) Substitusi klausal
Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa
klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau
frasa. Perhatikan contoh tuturan berikut ini.
S: Jika perubahan yang dialami oleh Anang tidak bisa diterima dengan
baik oleh orang orang di sekitarnya; mungkin hal itu disebabkan oleh
kenyataan bahwa orang-orang itu banyak yang tidak sukses seperti
Anang.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 65
T: Tampaknya memang begitu.
3) Elipsis (penghilangan/pelesapan)
Ellipsis (penghilangan/pelesapan) adalah proses penghilangan kata atau
satuan-satuan kebahasaan lain. Bentuk atau unsur yang dilesapkan dapat
diperkirakan ujudnya dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa (Kridalaksana
dalam Mulyana, 2005:28).
Sumarlam (2008:28) mengemukakan bahwa pelesapan adalah salah satu
jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual
tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang
dilesapkan itu dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat. Adapun fungsi
pelesapan dalam wacana antara lain ialah untuk
a) Menghasilkan kalimat yang efektif (untk efektivitas kalimat)
b) Efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa
c) Mencapai aspek kepaduan wacana
d) Bagi pembaca/pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya
terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa
e) Untuk kepraktisan berbahasa terutama berkomunikasi secara lisan.
Perhatikan contoh berikut.
(1) Bowo seketika itu terbangun. Ø menutupi matanya karena silau, Ø
mengusap muka dengan sapu tangannya, lalu Ø bertanya, “Di mana
ini?”
Pada tuturan tersebut terdapat pelepasan satuan lingual yang berupa kata,
yaitu kata Bowo yang berfungsi sebagai subjek atau pelaku tindakan pada tuturan
tersebut. Subjek yang sama itu dilesapkan sebanyak tiga kali, yaitu sebelum kata
menutupi pada klausa ke dua, sebelum kata mengusap pada klausa ketiga, dan
sebelum kata lalu, atau di antara kata lalu dan bertnya pada klausan ke empat. Di
dalam analisis wacana, unsur (kontituen) yang dilesapkan itu biasanya ditandai
dengan konstituen nol atau zero (atau dengan lambang Ø) pada tempat
Pada tuturan tersebut kata selagi diulang beberapa kali secara berturut-
turut untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam konteks tuturan
itu.
2) Repetisi tautotes.
Repetisi tautotes adalah pengulangan satuan lingual (sebuah kata)
beberapa kali dalam sebuah konstruk.
Contoh repetsi tautotes.
Aku dan dia terpaksa harus tinggal berjauhan, tetapi aku sangat
mempercayai dia, dia pun sangat mempercayai aku. Aku dan dia
saling mempercayai.
3) Repetisi anafora.
Repetisi anafora adalah pengulangan satuan lingual berupa kata atau
frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya.
Contoh repetisi anafora.
Bukan nafsu,
bukan wajahmu,
bukan kakimu,
bukan tubuhmu,
Aku mencintaimu karena hatimu.
4) Repetisi epistrofa.
Repetisi epistrofa adalah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada
akhir baris (puisi) atau akhir kalimat (prosa) secara berturut-turut.
Contoh repetisi epistrofa.
Bumi yang kaudiami, laut yang kaulayari, adalah puisi.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 69
Udara yang kauhirup, air yang kauteguki, adalah puisi.
Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli, adalah puisi.
Gubug yang kauratapi, gedung yang kautinggali, adalah puisi.
5) Repetisi simploke.
Repetisi simploke adalah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir
beberapa baris/kalimat berturut-turut.
Contoh repetisi simploke.
Kamu bilang hidup ini brengsek. Biarin.
Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Biarin.
Kamu bilang nggak punya kepribdian. Biarin.
Kamu bilang nggak punya pengertian. Biarin.
6) Repetisi mesodiplosis.
Repetisi mesodiplosis adalah pengulangan satuan lingual di tengah-
tengah baris atau kalimat secara berturut-turut.
Contoh repetisi mesodiplosis.
Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon.
Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng.
Para pembesar jangan mencuri bensin.
Para gadis jangan mencuri perawannya sendiri.
7) Repetisi epanalepsis.
Repetisi epanalepsis adalah pengulangan satuan lingual, yang kata/frasa
terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa
pertama.
Contoh repetisi epanalepsis.
Minta maaflah kepadanya sebelum dia datang minta maaf.
Kamu mengalah bukan berarti dia mengalahkan kamu.
Berbuat baiklah kepada sesama selagi bisa berbuat baik.
f. Ekuivalensi (kesepadanan)
Menurut Sumarlam (2008:46), ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan
antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah
paradigma. Penggunaan ekuivalensi dapat dilihat pada contoh berikut.
Baru-baru ini, Andi memperoleh predikat pelajar teladan. Dia memang
tekun sekali dalam belajar. Apa yang telah diajarkan oleh guru pengajar
di sekolah diterima dan dipahaminya dengan baik. Andi merasa senang
dan tertarik pada semua pelajaran.
Inferensi terjadi, jika proses yang harus dilakukan oleh pendengar atau
pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat pada tuturan
yang diungkapkan oleh pembicara atau penulis. Pendengar atau pembaca dituntut
untuk mampu memahami informasi (maksud) pembicara atau penulis. Contoh :
Orang pergi berkunjung ke tetangganya dengan harapan untuk mendapat
pinjaman uang. Dalam usahanya itu mungkin sekali itu akan menyatakan wacana
berikut :
(1) Tanggal tua seperti ini repot sekali pak haji bulan lalu sudah habis, istri
tidak bisa bekerja dan anak – anak pada sakit yang paling berat yang
bungsu Pak. Panas dia naik turun terus selama empat hari ini. Saya tidak
tahu apa yang harus saya perbuat.
Biarpun tidak terdapat pemerkah hubungan yang jelas antara kalimat (a)
dan (b), tiap pembaca akan menafsirkan makna kalimat (b) mengikuti kalimat (a).
Pembaca mengandaikan adanya ‘hubungan semantik’ antara kalimat-kalimat itu,
biarpun tidak terdapat pemerkah eksplisit yang menyatakan hubungan seperti itu.
Berikut ini adalah contoh wacana yang mempunyai koherensi baik, tetapi
tidak tampak hubungan kohesifnya.
A: “ada telepon.”
B: “saya sedang mandi.”
C: “baiklah.”
Sebagai sebuah wacana, contoh percakapan di atas tidak dapat pemerkah kohesif.
Untuk memahami tuturan tersebut, kita harus menggunakan informasi yang
terkandung di dalam ujaran-ujaran yang di ungkapkan dan juga sesuatu yang lain
yang dilibatkan dalam penafsiran wacana itu. Percakapan semacam itu akan dapat
dipahami dengan baik melalui tindakan-tindakan konvensional yang dilakukan
oleh partisipan dalam percakapan itu.
1. Koherensi Kondisional
Koherensi kondisional biasanya ditandai dengan pemakaian anak kalimat
sebagai penjelas. Anak kalimat menjadi cermin kepentingan komunikator karena
ia dapat memberikan keterangan yang baik/buruk terhadap suatu pernyataan
(Eriyanto, 2001: 244).
Perhatikan contoh berikut:
a. Tim PSSI akhirnya tidak jadi dikirim ke Asian Games. (Tanpa Koherensi)
b. Tim PSSI, yang akhir-akhir ini selalu kalah dalam pertandingan
internasional, akhirnya tidak jadi dikirim ke Asian games. (Dengan
Koherensi)
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 79
Sebagai penjelas, anak kalimat dalam kalimat (2) tidak berpengaruh pada
arti kalimat tersebut sebab initi dari kalimat itu atau yang mau disampaikan adalah
“Tim PSSI tidak jadi dikirim ke Asian Games”. Meskipun demikian, koherensi
kondisisonal ini dapat menjadi penjelas yang bagus mengenai bagaimana maksud
tersembunyi diekspresikan dalam kalimat tersebut (Eriyanto, 2001: 245). Secara
tidak langsung, koherensi kondisional ini bermaksud mengiring pembaca atau
pendengar untuk sampai pada pemaknaan tertentu. Tetapi, muncul pemikiran lain
apakah penejelasan dari kalimat tersebut bisa bersifat positif atau tidak?
Perhatikan contoh berikut:
a. Tim PSSI, yang akhir-akhir ini selalu kalah dalam pertandingan
internasional, akhirnya tidak jadi dikirim ke Asian games. (penjelasan
negatif)
b. Tim PSSI, yang diharapkan masyarakat bisa bertanding di Asian Games,
akhirnya diputuskan tidak jadi dikirim ke Asian Games. (penjelasan
positif)
Kedua contoh di atas secara koherensi kondisional memberikan efek kepada
pembaca atau pendengar untuk merespon atau memaknainya secara negatif dan
positif.
2. Koherensi Pembeda
Koherensi kondisional berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua
peristiwa dihubungkan sedangkan koherensi pembeda berhubungan dengan
pertanyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan (Eriyanto,
2001: 247).
Perhatikan dua contoh berikut:
a. Pada masa Habibie, kran kebebasan pers telah dibuka lebar-lebar.
Kebebasan pers ini dilanjutkan oleh pemerintah Gus Dur, hanya
sayangnya dicoreng oleh peristiwa pendudukan Banser atas Jawa Pos
yang menyebabkan koran tersebut tidak bisa terbit. (tanpa koherensi
pembeda)
Jika kalimat tersebut diperbaiki sesuai dengan struktur kaimat yang baik, hasilnya
adalah kalimat baku berikut ini.
Permasalahan itu sudah kami rundingkan dengan Bapak Rektor. (baku)
Hasil penelitian itu sudah saya baca. (baku)
Jika kalimat di atas diperbaiki sesuai dengan kelogisan hubungan makna S dengan
P, hasilnya adalah kalimat baku berikut ini.
Bantuan uang tunai telah diberikan pemerintah daerah kepada masyarakat
korban galodo. (baku)
Dalam penelitian itu dibicarakan sistem demokrasi di Indonesia setelah
reformasi. (baku)
Jika kalimat di atas diperbaiki sesuai dengan kelogisan makna rincian (paralel),
hasilnya adalah kalimat baku berikut ini.
Seorang pengusaha memerlukan kecerdasan, kegigihan, dan
kesabaran. (baku)
Jika kalimat di atas diperbaiki sesuai dengan kebakuan kata, hasilnya adalah
kalimat baku berikut ini.
Dokumentasi sastra klasik itu hanya bisa didapatkan melalui kajian
filologi. (baku)
b. Landasan teori
Landasan teori diletakkan pada bab dua dan berisi uraian teoritis yang
berhubungan dengan masalah penelitian dan konsep yang mendasari perumusan
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 88
hipotesis. Hal-hal yang perlu ditulis dalam landasan teori harus sesuai dengan
bidang kajian atau fenomena yang sedang diteliti. Agar tidak salah dalam
memasukkan teori kita harus berpedoman pada judul, topic, masalah, kerangka
berpikir, dan atau pada variabel-variabel penelitian (bagi yang penelitiannya
terdiri atas beberapa variabel).
c. Metodologi Penelitian
Metodologi merupakan alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam
melaksanakan penelitian. Metodologi menyangkut berbagai hal yang diperlukan
dan digunakan selam penelitian berlangsung. Hal-hal tersebut mencakup:
1) Metode yang digunakan dalam penelitian;
2) Sumber data;
3) Cara mengambil data;
4) Cara menganalisis data;
5) Cara menyimpulkan/membuat simpulan;
d. Hasil penelitian
Menguraikan: pengolahan dan analisis data, serta penafsiran hasil analisis
data.
3. Bagian Terakhir
Pada umumnya terdiri dari:
a. Daftar pustaka. Daftar ini harus secara lengkap dan sistematis
mencantumkan seluruh buku sumber yang digunakan dalam penulisan
laporan.
B. Pengertian Penalaran
Berdasarkan Kamus Besar Indonesia, (1) cara (perihal) menggunakan
nalar; pemikiran atau cara berpikir logis; jangkauan pemikiran. Contoh:
kepercayaan takhayul serta–yang tidak logis haruslah dikikis habis; (2) hal yang
mengembangkan atau mengendalikan sesuatu dengan nalar dan bukan dengan
perasaan atau pengalaman; dan (3) proses mental dengan mengembangkan pikiran
dari beberapa fakta atau prinsip.
Penalaran adalah suatu proses berpikir manusia untuk menghubungkan
fakta-fakta atau data yang sistematik menuju suatu kesimpulan berupa
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 92
pengetahuan. Dengan kata lain, penalaran merupakan sebuah proses berpikir
untuk mencapai suatu kesimpulan yang logis. Sebuah penalaran terdiri atas premis
dan kesimpulan. Premis (antesedens) adalah proposisi yang dijadikan dasar
penyimpulan, dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi
Penalaran memiliki ciri–ciri. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dilakukan dengan sadar
2. Didasarkan atas sesuatu yang sudah diketahui
3. Sistematis
4. Terarah, bertujuan
5. Menghasilkan kesimpulan berupa pengetahuan, keputusan atau sikap yang
baru
6. Premis berupa pengalaman atau pengetahuan, bahkan teori yang telah
diperoleh
7. Pola pemikiran tertentu
8. Sifat empiris rasional
Contoh 2 :
Premis 1 : Kerbau punya mata
Premis 2 : Anjing punya mata
Premis 3 : Kucing punya mata
Kesimpulan : Setiap hewan punya mata
Contoh 3 :
Premis 1 : Harimau berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan
Premis 2 : Ikan Paus berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan
Kesimpulan : Semua hewan yang berdaun telinga berkembang biak
dengan melahirkan
2. Metode Deduktif
Metode deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu
peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir
pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.
Penalaran deduktif menarik kesimpulan khusus dari premis yang lebih
umum. Jika premis benar dan cara penarikan kesimpulannya sah, maka dapat
dipastikan hasil kesimpulannya benar. Jika penalaran induktif erat kaitannya
dengan statistika, maka penalaran deduktif erat dengan matematika khususnya
matematika logika dan teori himpunan dan bilangan.
Contoh 2 :
Premis 1 : Barang elektronik membutuhkan daya listrik untuk beroperasi
Premis 2 : Laptop adalah barang elektronik
Kesimpulan : Laptop membutuhkan daya listrik untuk beroperasi
A. Membaca Kritis
Membaca merupakan kegiatan yang sangat menunjang kegiatan menulis.
Dengan banyak membaca, kita akan mempunyai banyak informasi dan
pengetahuan yang tidak kita dapat dari pengalaman sehari-hari. Dengan banyak
membaca, kita juga akan banyak mendapat gagasan yang berguna untuk tulisan
kita. Tulisan yang baik memberikan pengetahuan bagi pembacanya. Oleh karena
itu, kalau kita ingin menghasilkan tulisan yang baik, kita perlu banyak membaca.
Tidak mengherankan bahwa penulis yang baik umumnya banyak membaca.
Selain itu, membaca juga adalah suatu proses yang dilakukan serta
dipergunakan oleh pembaca untuk memperoleh informasi yang disampaikan oleh
penulis melalui media kata-kata maupun bahasa tulisan. Dalam membaca dikenal
jenis membaca telaah isi yang memiliki pengertian yaitu membaca dengan cara
meneliti bahan yang tersedia dengan tidak mengesampingkan ketelitian,
pemahaman, serta kekritisan dalam berpikir.
Menurut Nurgiyantoro (2012:368), kegiatan membaca merupakan aktivitas
mental memahami apa yang dituturkan pihak lain melalui sarana tulisan. Kegiatan
membaca juga merupakan aktivitas berbahasa yang bersifat reseptif kedua setelah
menyimak. Hubungan antara penutur (penulis) dan penerima (pembaca) bersifat
tidak langsung, yaitu melalui lambang tulisan.
Membaca kritis sangat relevan dengan kehidupan kita sekarang sebagai
pelajar yang dituntut untuk menambah wawasan dan mengembangkan ilmu. Oleh
sebab itu, belajar ini tentu akan sangat bermanfaat karena kita akan dapat
memanfaatkan hasil pembacaan kita yang cermat. Berdasarkan hal itulah hakikat
membaca kritis ini merupakan kegiatan belajar yang penting dan wajib dikuasai
oleh pelajar maupun mahasiswa. Melalui kegiatan belajar ini, kita sebagai pelajar
dibekali dengan kompetensi yang berkenaan dengan kemampuan untuk
menerapkan metode membaca kritis untuk menulis.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 97
Membaca kritis merupakan kegiatan membaca untuk mendapatkan
informasi yang relevan dan diperlukan untuk tulisan yang akan dikembangkan.
1. Ragam Membaca Kritis
Ada berbagai ragam membaca kritis bergantung pada jenis informasi
seperti apa yang kita inginkan, yaitu:
a. Membaca cepat atau sekilas untuk membaca topik
Membaca cepat bertujuan untuk mengetahui informasi secara umum yang
dibicarakan dalam tulisan. Dalam hal ini, perlu memfokuskan perhatian pada
bagian-bagian tertentu. Kita bisa membaca tulisan dengan cepat/secara sekilas
dari awal sampai akhir. Dari kegiatan membaca cepat ini, kita mendapat ide
tentang topik tulisan yang kita baca.
b. Membaca cepat untuk informasi khusus
Membaca cepat juga bisa dilakukan jika kita menginginkan informasi
khusus dari sebuah tulisan. Perhatian kita hanya tertuju pada bagian-bagian yang
kita inginkan. Bagian-bagian yang mengandung informasi yang tidak dinginkan
tidak mendapat perhatian dari kita.
c. Membaca teliti untuk informasi rinci
Ketika ingin mendapatkan informasi rinci tentang suatu hal dalam,
kegiatan membaca difokuskan pada bagian yang mengandung informasi yang kita
ketahui secara rinci. Saat kita sampai pada bagian tersebut, kita membacanya
dengan teliti sampai kita benar-benar memahami informasi yang kita dapatkan.
Bagian-bagian lain yang tidak kita perlukan tidak perlu dibaca lebih lanjut
B. Menulis Ilmiah
Menulis adalah kegiatan menyusun serta merangkaikan kalimat agar
pesan, informasi, serta maksud yang terkandung dalam pikiran, gagasan, dan
pendapat penulis dapat disampaikan dengan baik. Untuk itu satu kalimat harus
disusun sesuai dengan kaidah gramatika, sehingga mampu mendukung pengertian
baik dalam taraf significance maupun dalam taraf value. Sebagai proses kreatif
yang berlangsung secara kognitif, penulisan karya ilmiah dan penyusunan laporan
tulisan ilmiah, sekurang-kurangnya memuat 3 tahap, yaitu:
1. Tahap Persiapan (Pra-Penulisan)
Tahap persiapan adalah ketika seseorang merencanakan, mengumpulkan
dan mencari informasi, merumuskan masalah, menentukan arah dan fokus tulisan,
mengolah informasi, menarik tafsiran dan inferensi terhadap realitas yang
dihadapinya, berdiskusi, membaca, mengamati dan lain-lain yang akan
memperkaya masukan kognitifnya yang akan diproses pada tahap selanjutnya.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 100
2. Tahap Inkubasi
Tahap ketika sesorang memproses informasi yang telah dimilikinya,
sehingga mengantarkannya pada kemampuan untuk menyelesaikan masalah.
3. Tahap Iluminasi
Tahap ketika datangnya inspirasi, yaitu gagasan yang muncul secara tiba-
tiba dan dilakukan tahap verifikasi atau evaluasi yaitu apa yang dituliskan sebagai
hasil dari tahap iluminasi diperiksa kembali, diseleksi dan disusun sesuai dengan
fokus laporan atau tulisan yang diinginkan.
Badudu, J.S. 1981. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar. Jakarta: Gramedia.
Bahar, Putra. 2017. EBI (Ejaan Bahasa Indonesia). Yogyakarta: Chivita Books.
Gani, Erizal. 2011. Menulis Karya Ilmiah Teori dan Terapan. Padang: UNP
PRESS.
Jauhari, Heri. 2007. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Bandung: Pustaka Setia.
Nurhadi. 1987. Membaca Cepat dan Efektif. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Rinayanthi, I Nengah Laba Ni Made. 2018. Buku Ajar Bahasa Indonesia berbasis
Karya Tulis Ilmiah. Yogyakarta: Deepublish.
Wahid, Syahruddin. 1999. “Teknik Penulisan Karya Ilmiah” dalam Aliasar (Ed.).
Padang: FIP UNP.
Ditulis oleh Husni Dwi Syafutri, M.Pd. 102
Yanti, Prima Gusti. 2016. Bahasa Indonesia Konsep Dasar dan Penerapan.
Jakarta: Grasindo.