Anda di halaman 1dari 7

URGENSI JAMINAN KEBENDAAN DAN EKSEKUSINYA

DALAM AKAD MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH1

Oleh:

Dr., Drs., H. A. Mukti Arto, S.H., M.Hum.2

I PENDAHULUAN

Kegiatan ekonomi merupakan kebutuhan hidup manusia dalam meraih rizki guna mencari
bekal kehidupannya di akhirat dan memenuhi kewajibannya di dunia. Syariah Islam sebagai
sebuah jalan hidup (khittah) yang benar dan sesuai dengan fitrah manusia yang sesungguhnya
menempatkan ekonomi sebagai lahan untuk mendapatkan sebesar-besar keuntungan di akhirat
tanpa mengabaikan keuntungan di dunia.

Kegiatan ekonomi dalam syariah Islam memiliki moto: halal, berkah, dan bertambah. Halal
bertumpu pada aqidah dan syariah, yakni keimanan di dalam hati dan aturan hukum syar’i yang
mengaturnya. Berkah bertumpu pada nilai dan niat ibadah dengan tekad untuk melaksanakannya.
Bertambah bertumpu pada manajemen dan kejujuran dalam menjalankan roda ekonomi. Pepatah
mengatakan bahwa:

‫الحق بل نظام يغلبه الباطل بنظام‬

Artinya: “Kebenaran yang tidak dikelola dengan baik akan dikalahkan oleh kebatilan yang
dikelola dengan baik”. Oleh sebab itu kegiatan ekonomi syariah pun harus dikelola dengan baik
dan dijiwai dengan sikap jujur pelakunya. Tanpa manajemen dan kejujuran, kegiatan ekonomi
syariah tidak bisa diharapkan untuk terus bertambah.

Untuk menjaga agar moto halal, berkah, dan bertambah tersebut dapat diwujudkan, maka
diperlukan adanya jaminan, baik berupa benda yang dapat diuangkan (jaminan materiil) maupun
orang sebagai penjamin (immateriil). Jaminan kebendaan harus berupa barang yang dapat dinilai
dengan uang dan dapat dieksekusi

II URGENSI JAMINAN KEBENDAAN DALAM AKAD SYARIAH

Urgensi jaminan kebendaan

Syariah Islam mengajarkan agar kita menjadi orang yang ‘amanah’, yakni bisa dipercaya
lahir dan batin agar tidak merugikan orang lain maupun diri sendiri. Amanah secara batiniah
dikendalikan oleh iman yang di dalamnya tertanam rasa takut berbuat ingkar janji (wanprestasi)
dan merasa puas jika bisa menepati janji.

Amanah secara lahiriyah dibuktikan dengan adanya jaminan kebendaan yang dapat
menjamin orang lain terhindar dari kerugian dan menjamin dirinya sendiri terhindar murka Allah
SWT. Dengan adanya jaminan kebendaan akan membuat pihak terasa tenang dan aman, serta
membuat sang pelaku juga harus berhati-hati dan bersungguh-sungguh dalam melakukan
kegiatan ekonomi syariah.

Jaminan sebagai pengejawantahan amanah

1
Seminar Eksekusi Jaminan Kebendaan Dalam Praktik Ekonomi Syariah (urgensi pelembagaan jaminan untuk akad
musyarakah danmudharabah) SAFE LAW FIRM & ICLLASS UMY PRESEN, 14 Okteber 2017 di Yogyakarta.
2
Hakim Agung pada Mahkamah Agung R.I.
1
Setiap akad menuntut pelakunya untuk memenuhi segala kewajiban yang telah disepakati.
Agar pelaku terhindar dari tindakan kesalahan berganda maka diperlukan jaminan kebendaan
agar pihak lain memiliki tempat untuk menaruh amanah (kepercayaan) kepada partnernya.
Jaminan kebendaan berfungsi menyelamatkan para pelaku dari kerugian yang timbul akibat
wanprestasi baik karena kelalaian maupun karena kesengajaan. Tanpa jaminan kebendaan, akad
ekonomi akan terasa hampa (hambar). Tidak ada amanah tanpa jaminan. Amanah adalah ruh,
jaminan itu jasadnya.

Jaminan merupakan penyelamat dari kerugian

Jaminan kebendaan merupakan pengejawantahan amanah yang telah menjadi sunnah


Rasulullah SAW. Jaminan kebendaan menyelamatkan para pihak yang terikat dalam akad dari
kerugian material dan immaterial. Jaminan menjadi dasar penguatan niat dan tekad bagi pihak-
pihak dalam akad untuk memenuhi segala prestasi yang menjadi kewajibannya. Akad tanpa
jaminan bagaikan layang-layang tanpa kendali, atau keranjang tanpa kunci.

Jaminan kebendaan dalam akad mudharabah dan msyarakah

Pada prinsipnya tidak ada perbedaan mengenai urgensinya jaminan kebendaan dalam akad
mudharabah dan akad musyarakah dengan akad-akad syariah pada umumnya. Demikian pula
mengenai eksekusinya. Eksekusi jaminan kebendaan dalam akad mudharabah dan akad
musyarakah sama dengan eksekusi dalam akad-akad syariah pada umumnya.

III EKSEKUSI JAMINAN KEBENDAAN

Eksekusi jaminan kebendaan

Eksekusi jaminan kebendaan merupakan realisasi dari amanah ketika terjadi wanprestasi.
Tanpa eksekusi, amanah tidak ada realisasi. Jaminan tanpa eksekusi merupakan benda mati yang
tidak berfungsi. Umar ibn Khattab mengatakan:

‫فاءنه ل ينفع تكلم بحق ل نفاذ له‬

Artinya: “Tidak ada manfaatnya berbicara tentang kebenaran yang tidak ada eksekusinya”.

Bagi pencari keadilan, eksekusi merupakan puncak keberhasilan dalam mencari keadilan.
Keberhasilan eksekusi merupakan tugas mulia dan utama bagi pengadilan dengan
mempertaruhkan nama pengadilan.

Pengadilan Agama dan pelayanan eksekusi

Sikap Pengadilan Agama dalam memberi pelayanan upaya hukum yang berupa eksekusi
sebagaimana telah diatur dalam hukum acara adalah:
 Menunggu, yakni jika ada perkara atau upaya hukum diajukan kepadanya.
 Pasif, yakni dalam menentukan ruang lingkup perkara atau upaya hukum.
 Aktif, yakni dalam rangka memberi perlindungan hukum dan keadilan yang diajukan
kepadanya agar semua pihak yang terkait berhasil dengan mudah memperoleh keadilan.

Pengadilan Agama dan eksekusi jaminan

Sikap Pengadilan Agama terhadap permohonan eksekusi putusan maupun jaminan adalah
bersifat:
 Menunggu, yakni jika ada permohonan eksekusi.
 Pasif, yakni dalam menentukan ruang lingkup eksekusi.
 Aktif, yakni dalam melaksanakan eksekusi yang dimohonkan kepadanya agar pencari
keadilan berhasil dengan mudah memperoleh keadilan.

Eksekusi putusan dan jaminan kebendaan dalam ekonomi syariah

2
Pasal 13 ayat (1) dan (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 menegaskan
bahwa pelaksanaan:
 putusan ekonomi syariah,
 hak tanggungan dan fidusia berdasarkan akad syariah, dan
 putusan arbitrase syariah
dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

Jenis-jenis objek eksekusi

Objek eksekusi dalam perkara perdata pada umumnya dapat dibedakan menjadi beberapa
jenis berdasarkan objek dalam eksekusi sebagai berikut:
1. Mengosongkan suatu benda tetap atau eksekusi riil (Pasal 1033 Rv).
2. Membayar sejumlah uang (Pasal 196 HIR/Pasal 208 RBg).
3. Melakukan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg).
4. Lelang objek jaminan (200 HIR/Pasal 218 ayat (2) RBg jo PMK Nomor 27/PMK.06/2016).

Eksekusi poin 2, 3, dan 4 biasanya dilakukan dalam bentuk membayar ganti rugi dengan cara
menjual lelang objek benda yang dijadikan jaminan yang hasilnya diambil untuk membayar
kerugian kepada pemohon eksekusi.

Jenis-jenis eksekusi putusan dan jaminan

Eksekusi jaminan kebendaan dalam praktik perdata, ada beberapa jenis berdasarkan dasar
perintah eksekusinya, yaitu:
1) Eksekusi putusan hakim.
2) Eksekusi jaminan hak tanggungan.
3) Eksekusi putusan arbitrase syariah.
4) Eksekusi jaminan fidusia.
5) Eksekusi jaminan gadai
6) Eksekusi jaminan hipotik
7) Eksekusi hak jaminan resi gudang

IV EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

Dasar hukum hak tanggungan atas tanah

Hak tanggungan adalah hak jaminan atas utang yang dibebankan pada hak atas tanah
sebagaimana dimaksud oleh UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (UUPA). Hak tanggungan hanya dapat dibebankan atas tanah yang telah didaftarkan
pada Kantor Badan Pertanahan Nasional dan dapat dipindahtangankan.

Model-model eksekusi hak tanggungan

Dalam pelaksanaan eksekusi perdata kita temukan beberapa model-model eksekusi dalam
praktik sesuai dengan kebutuhan para pihak, sebagai berikut:
1) Eksekusi di bawah tangan.
2) Eksekusi dengan menjual sendiri objek hak tanggungan.
3) Eksekusi melalui kantor lelang (KPKNL) secara langsung.
4) Eksekusi melalui pengadilan (fiat eksekusi) yang kemudian diteruskan ke KPKNL.
5) Eksekusi melalui gugatan perdata.

Tatacara pelaksanaan lelang hak tanggungan oleh KPKNL

Pasal 14 ayat (3) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang, menegaskan bahwa:
 Lelang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).
 Pemohonan lelang atas hak tanggungan dalam perjanjian ekonomi konvensional dilakukan
oleh pengadilan negeri.

3
 Permohonan lelang atas hak tanggungan dalam akad ekonomi syariah dilakukan oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

Tahapan-tahapan eksekusi hak tanggungan melalui pengadilan agama

Praktik eksekusi hak tanggungan melalui pengadilan agama dilakukan melalui tahapan-
tahapan sebagai berikut:
1. Permohonan eksekusi ke PA.
2. Pemeriksaan surat-surat bukti.
3. Pendaftaran permohonan eksekusi.
4. Aanmaning.
5. Penetapan sita eksekusi.
6. Permohonan lelang ke KPKNL
7. Pelaksanaan lelang oleh KPKNL

1. Permohonan eksekusi ke PA

Permohonan eksekusi hak tanggungan diajukan oleh pihak Bank kepada Ketua Pengadilan
Agama dimana objek hak tanggungan itu berada. Permohonan diajukan secara tertulis dengan
dilampiri surat-surat bukti yang diperlukan.

2. Pemeriksaan surat-surat bukti

Panitera memeriksa surat-surat bukti yang berupa:


1) Akad syariah yang dibuat di depan Notaris.
2) SHM tanah yang dibebani hak tanggungan.
3) Akta pembebanan atas tanah dari PPAT.
4) Sertipikat Hak Tanggungan dari BPN.
5) Surat kuasa dari pemilik tanah kepada Bank untuk menjual tanah objek tanggungan yang
dibuat di hadapan notaris.
6) Bukti jumlah utang.
7) Bukti cicilan utang.
8) Bukti sisa utang yang harus dibayar.
9) Bukti wanprestasi.
10) Bukti tegoran (somasi) untuk bayar cicilan terutang.

3. Pendaftaran permohonan eksekusi

Jika surat-surat sudah lengkap, maka permohonan eksekusi bisa didaftar dalam Register
Eksekusi. Pemohon wajib membayar panjar biaya sita eksekusi dan biaya eksekusi yang dicatat
pada Buku Jurnal Eksekusi. Permohonan eksekusi didaftar di Register Eksekusi dengan
menunjuk Nomor dan Tanggal Akad syariah yang akan dieksekusi.

4. Aanmaning

Ketua PA melakukan aanmaning. Ketua menetapkan hari aanmaning. Ketua memerintahkan


juru sita untuk memanggil para pihak. Ketua melakukan aanmaning kepada debitur dengan
dibantu oleh panitera pengganti. Ketua berusaha mendamaikan para pihak seoptimal mungkin.
Panitera Pengganti yang turut bersidang membuat berita acara aanmaning.

5. Penetapan sita eksekusi

Jika tidak tercapai perdamaian, maka rencana eksekusi dilanjutkan. Ketua menetapkan
perintah sita eksekusi. Jurusita melaksanakan perintah sita eksekusi atas tanah objek hak
tanggungan dan membuat berita acara sita eksekusi. Jurusita mendaftarkan sita eksekusi ke BPN
yang mengeluarkan Sertipat Hak Tanggungan.

6. Permohonan lelang ke KPKNL

4
Ketua Pengadilan Agama membuat surat permohonan lelang ke Kantor KPKNL dengan
dilampiri surat-surat yang teridiri dari:
1) Penetapan perintah lelang oleh Ketua PA.
2) Bukti pengumuman lelang.
3) Syarat lelang dari penjual (bila ada).
4) Surat keterangan tanah dari BPN.
5) Surat Penunjukan Pejabat Penjual.
6) Daftar barang yang akan dilelang.
7) Nilai limit.
8) Nomor rekening pemohon lelang.
9) Sertipikat hak tanggungan.
10) Penetapan aanmaning.
11) Penetapan sita eksekusi.
12) Berita acara sita eksekusi.
13) Rincian utang yang harus dibayar.
14) Surat pemberitahuan lelang kepada termohon eksekusi.
15) SHM tanah yang akan dilelang.
16) Sertipikat hak tanggungan.

7. Pelaksanaan lelang oleh KPKNL

KPKNL kemudian menetapkan hari tanggal lelang. KPKNL melaksanakan lelang sesuai
PMK Nomor 27/PMK.06/2016 tanggal 19 Februari 2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Hasil lelang disampaikan ke PA. PA membuat catatan pada Register Eksekusi tentang telah
dilaksanakannya eksekusi lelang.

V EKSEKUSI PUTUSAN BADAN ARBITRASE SYARIAH NASIONAL (BASYARNAS)

Dasar hukum eksekusi putusan basyarnas

Pasal 13 ayat (2) dan (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 menetapkan
bahwa:
 Pelaksanaan putusan arbitrase syariah dan pembatalannya dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan agama.
 Tatacara pelaksanaan putusan badan arbitrase syariah mengacu kepada UU No 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Badan Arbitrase Syariah Nasional (UU No. 30 Tahun 1999)

Pada asasnya tempat penyelesaian sengketa adalah di pengadilan tanpa menutup


penyelesaian di luar pengadilan. Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) merupakan
tempat alternatif penyelesaian sengketa ekonomi syariah di luar PA/MS. Kekuasaan Basyarnas
diperoleh melalui penunjukan atau pemberian kuasa dari para pihak yang dimuat dalam
perjanjian (akad) bisnis syariah antara para pihak yg diatur dalam UU No 30/1999.

UU No 30/1999 berlaku terhadap UU Peradilan Agama 3/2006

Berdasarkan asas-asas hukum, yakni asas lex posteriori derogat legi priori: aturan hukum
yang baru menyisihkan aturan hukum yang lama, dan asas lex specialis derogat legi generali:
aturan hukum yang khusus menyisihkan aturan hukum yang umum, maka semua aturan dalam
UU No 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berlaku juga bagi
Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah.

Eksekusi Putusan Basyarnas

Pada asasnya putusan arbitrase dapat dilaksanakan dengan suka rela oleh para pihak. Jika ada
pihak yang tidak mau melaksnakan dengan suka rela, maka dapat dimintakan eksekusi ke

5
PA/MS. Pasal 13 ayat (2) Perma 14/2016 menetapkan bahwa pelaksanaan putusan arbitrase
syariah dan pembatalannya dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.

Agar putusan arbitrase syariah dapat dieksekusi harus telah dideponir (diserahkan dan
didaftarkan) oleh arbiter di kepaniteraan PA/MS paling lambat 30 hari terhitung mulai tanggal
putusan diucapkan (pasal 59 UU 30/1999). Putusan arbitrase harus dilaksanakan secara suka rela
oleh para pihak dalam waktu 30 hari sejak didaftarkan di PA/MS. Jika dlm waktu 30 hari tersebut
tidak dilaksanakan, maka dapat dimintakan eksekusi paksa kepada ketua PA/MS. Ketua PA/MS
membuat penetapan perintah eksekusi.

Agar putusan Arbitrase nantinya dapat dimohonkan eksekusi ke pengadilan agama, maka
harus dilakukan deponir atas setia putusan Arbitrase. Deponir dilakukan dengan cara mencatat
dan menandatangani pada bagian akhir putusan oleh arbiter dan panitera. Keterlambatan
melakukan deponir ini berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. Deponir putusan
arbitrase bersifat konstitutif agar putusan memiliki kekuatan hukum untuk dieksekusi.
Pelaksanaan putusan arbitrase dilakukan menurut tatacara eksekusi yang diatur dalam pasal 59
s/d 64 UU Arbitrase.

Tahap-tahap pelaksanaan putusan arbitrase

Pelaksanaan putusan Arbitrase Syariah dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:


1) Deponir putusan arbitrase.
2) Pendaftaran permononan eksekusi.
3) Pemeriksaan syarat formil putusan.
4) Penetapan perintah ekseskusi.
5) Pelaksanaan eksekusi.

Ad.1) Deponering putusan arbitrase

Dalam waktu 30 hari kalender tmt putusan diucapkan, putusan arbitrase harus didaftarkan di
PA setempat dengan menyerahkan putusan asli atau salinan otentik kepada panitera untuk
didaftar. Pendaftaran (deponering) dilakukan dengan cara membuat catatan pada bagian akhir
atau pinggir putusan yg kmd ditandatangani oleh panitera dan arbiter atau kuasanya yang sah.
Deponering dicatat dalam Register Permohonan Eksekusi. Arbiter atau kuasanya wajib
menyerahkan putusan yang telah dideponir dan lembar asli atau salinan resmi pengangkatannya
sebagai arbiter kepada panitera PA.

Tidak dipenuhinya ketentuan tersebut berakibat putusan tidak dapat dieksekusi. Semua biaya
pendaftaran dibebankan kepada para pihak. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat serta
berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

Ad.2) Pendaftaran permohonan eksekusi

Dalam hal para pihak tidak mau melaksanakan putusan secara suka rela dapat diajukan
permohonan eksekusi kepada ketua PA setempat. Permohonan eksekusi diajukan secara tertulis
di kepaniteraan PA setempat. Pemohon eksekusi membayar panjar biaya eksekusi dan dicatat
dlm jurnal. Permohonan eksekusi didaftar dalam Register Eksekusi di kepaniteraan dengan
menunjuk nomor putusan arbitrase.

Ad.3) Pemeriksaan syarat formil dan materiil putusan arbitrase

Ketua PA melakukan pemeriksaan tentang:


a) Apakah dalam perjanjian resmi tertulis klausul bahwa jika terjadi sengketa akan diselesaikan
melalui Basyarnas.
b) Apabila persetujuan mengenai klausul tersebut dilakukan dalam bentuk pertukaran surat,
maka pengiriman teleks, telegram, faksimil, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi
lainnya, wajib disertai catatan bukti penerimaan oleh para pihak.

6
c) Apakah putusan arbitrase memuat titel eksekutorial: "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA".
d) Apakah amar putusan arbitrase tidak terdapat hambatan yuridis untuk dieksekusi.
e) Apakah putusan arbitrase tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
f) Apakah sengketa itu murni sengketa di bidang perdagangan. Sengketa di luar perdagangan
tidak dapat dieksekusi.
g) Apakah sengketa itu mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak.
h) Apakah sengketa itu menurut hukum dapat diselesaikan melalui perdamaian (yakni yang
diatur dengan aturan yang bersifat mengatur, bukan memaksa).
i) Ketua PA tidak boleh memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase.

Apabila putusan arbitrase tidak memenuhi syarat-syarat tersebut maka tidak dapat
dieksekusi. Ketua PA membuat penetapan yang berisi penolakan permohonan eksekusi. Terhadap
penolakan tersebut tidak tersedia upaya hukum apapun. Upaya hukum yang ada adalah
mengajukan gugatan ke pengadilan agama.

Ad.4) Penetapan perintah eksekusi

Jika putusan arbitrase memenuhi syarat formil, maka dapat dieksekusi. Ketua PA membuat
penetapan perintah eksekusi. Penetapan tersebut harus sudah dikeluarkan oleh Ketua PA paling
lama 30 hari kalender sejak permohonan eksekusi putusan didaftarkan. Perintah tersebut ditulis
oleh panitera pada lembar asli dan salinan otentik putusan arbitrase yang ditandatangani oleh
Ketua PA.

Ad.5) Pelaksanaan eksekusi

Eksekusi putusan arbitrase dilaksanakan sesuai tatacara pelaksanaan putusan perkara perdata.
Apabila diperlukan eksekusi lelang, maka diproses sepertihalnya eksekusi lelang sebagaimana
telah diuraikan di atas melalui KPKNL. Pelaksanaan eksekusi dicatat dalam Berita Acara
Eksekusi dan dicatat dalam Register Permohonan Eksekusi.

VI PENUTUP

Demikian catatan singkat mengenai urgensi jaminan kebendaan dan eksekusinya dalam akad
mudharabah dan akad musyarakah. Meskipun pembahasan ini serba singkat, namun penulis tetap
berharap semoga tulisan ini ada bermanfaat. Terima kasih.

Daftar Pustaka:

Ahmad Gozali, Halal, Berkah, Bertambah, Mengenal dan Memilih Produk Investasi Syariah, PT
Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta, 2004.

Amran Suadi, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Teori dan Praktik, Penerbit Kencana,
Jakarta, 2017.

Imron Rosyadi, Jaminan Kebendaan Berdasarkan Akad Syariah (Aspek Perikatan, Prosedur
Pembebanan dan Eksekusi), Penerbit Kencana, Jakarta, 2017.

M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, 2006.

Anda mungkin juga menyukai