Anda di halaman 1dari 40

Model Komunikasi: Pengertian, Fungsi, dan Jenis-Jenisnya

Sebagai aktivitas utama manusia, komunikasi dikaji dalam berbagai aspek. Salah


satunya dari sisi model. Berikut ini pengertian model komunikasi, fungsi, dan
jenis-jenisnya.
Pengertian Model Komunikasi
Model komunikasi adalah gambaran sederhana dari proses komunikasi yang
memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya.
Menurut Sereno dan Mortensen, suatu model komunikasi merupakan deskripsi ideal
mengenai apa yang dibutuhkan untuk terjadinya komunikasi.
John Fiske (1990) menyebut ada dua mazhab utama yang tercermin dalam model
komunikasi.
1. Transmisi Pesan
Mazhab pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Mazhab ini tertarik
dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan
menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmiter menggunakan saluran
dan media komunikasi.
Mazhab ini cenderung membahas kegagalan komunikasi dan melihat ke tahap-tahap
dalam proses tersebut guna mengetahui di mana kegagalan tersebut terjadi.
2. Produksi dan pertukaran makna
Mazhab kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna.
Hal ini berkenaan dengan bagaimana pesan berinteraksi dengan orang-orang dalam
menghasilkan makna.
Fungsi Model Komunikasi
Menurut Gardon Wiseman & Barker, ada tiga fungsi model komunikasi:
1. Melukiskan proses komunikasi.
2. Menunjukkan hubungan visual.
3. Membantu dalam menemukan dan memperbaiki kemacetan komunikasi.
Deutsch (1966) menyebutkan empat fungsi model:
1. Organizing functon: mengorganisasikan suatu hal dengan mengurutkan serta
mengkaitkan satu bagian/sistem dengan bagian lain sehingga mendapat
gambaran menyeluruh.
2. Explaining: membantu menjelaskan tentang suatu hal melalui penyajian
sederhana.
3. To predict: sebuah model memungkinkan kita untuk memprediksi outcome,
akibat, yang akan dicapai dari suatu peristiwa.
4. Heuristic: melalui model akan mengetahu hal secara keseluruhan dari gambaran
komponen pokok dari sebuah proses atau sistem
Jenis-Jenis Model Komunikasi
Banyak ahli merumuskan model komunikasi. Dari berbagai model yang telah
dirumuskan, model komunikasi diklasifikasikan ke dalam tiga jenis model, yaitu model
komunikasi linear, model komunikasi transaksional, dan model komunikasi
interaksional.
1. Model Komunikasi Linear
Model komunikasi linear adalah model komunikasi yang sangat sederhana. Model ini
menggambarkan komunikasi berlangsung secara satu arah.
Arus pesan digambarkan bersifat langsung dari pengirim pesan ke penerima pesan,
komunikator ke komunikan.
Dalam model komunikasi linear, tidak terdapat konsep umpan balik (feedback).
Penerima pesan bersifat pasif dalam menerima pesan.
Model komunikasi linear di antaranya:
 Model Komunikasi Aristoteles,
 Model Komunikasi Lasswell,
 Model Komunikasi SMCR Berlo,
 Model Komunikasi Shannon dan Weaver.
2. Model Komunikasi Transaksional
Model komunikasi transaksional adalah model komunikasi yang menekankan pada
pentingnya peran pengirim pesan dan penerima pesan dalam proses komunikasi yang
berlangsung dua arah.
Model komunikasi transaksional mengaitkan komunikasi dengan konteks sosial,
konteks hubungan, dan konteks budaya.
Dalam model ini digambarkan bahwa kita berkomunikasi tidak hanya sebagai ajang
untuk pertukaran pesan, melainkan juga untuk membangun hubungan.
Model komunikasi yang merujuk pada model komunikasi transaksional diantaranya
adalah model komunikasi transaksional Barnlund.
3. Model Komunikasi Interaksi
Model komunikasi interaksi adalah model komunikasi yang menggambarkan
komunikasi berlangsung dua arah.
Umumnya model komunikasi interaksi digunakan dalam media baru seperti internet
atau media komunikasi modern.
Model komunikasi yang merujuk pada model komunikasi interaksi adalah model
Osgood dan Schramm.
Para ahli telah mengenalkan berbagai macam model komunikasi sebagai upaya untuk
menggambarkan dan menjelaskan proses komunikasi serta berbagai faktor yang
mempengaruhi arus serta efektivitas komunikasi.
Model-Model Komunikasi
Berikut ini beberapa model komunikasi menurut para ahli yang terangkum dalam tiga
jenis model komunikasi di atas.
1. Model Komunikasi Aristoteles
Model Komunikasi Aristoteles dibentuk dengan lima elemen dasar:
1. Pembicara,
2. Pidato,
3. Acara,
4. Audiens
5. Efek.
Aristoteles menyarankan pembicara untuk membangun pidato untuk audiens yang
berbeda pada waktu (kesempatan) yang berbeda dan untuk efek yang berbeda.
Pembicara memainkan peran penting dalam Public Speaking. Pembicara harus
mempersiapkan pidato dan analisis kebutuhan audiens sebelum ia masuk ke
panggung. Kata-katanya harus memengaruhi pikiran audiens dan membujuk pemikiran
mereka terhadapnya.
Model komunikasi Aristoteles adalah salah satu model komunikasi linear yang ditujukan
untuk menggambarkan atau menjelaskan proses public speaking.
Model ini merupakan model komunikasi pertama dan merupakan model komunikasi
yang diterima secara luas diantara model komunikasi lainnya.
Model Aristoteles adalah model komunikasi paling klasik, yang sering juga disebut
model retoris (rhetorical model).
Berdasarkan model komunikasi ini, komunikasi terjadi ketika seorang pembicara
menyampaikan pembicaraannya kepada khalayak dalam upaya mengubah sikap
mereka.
Dalam model komunikasi ini, ada lima unsur dalam proses komunikasi, yaitu pembicara
(speaker), pesan (message/speech), pendengar (listener/audience), acara (occasion),
dan aampak (effect).
2. Model Komunikasi Lasswell
Model Lasswell sering digunakan secara spesifik dalam komunikasi massa. Dia
menegaskan, untuk memahami proses komunikasi massa kita perlu mempelajari setiap
tahapan dalam modelnya.
Model komunikasi Lasswell dalam rumus who says what in which channel to whom with
what effect memiliki lima komponen:
1. Who (sender) – komunikator atau pengirim atau sumber pesan.
2. What (message) – isi pesan.
3. Channel (media) – medium atau media.
4. Whom (receiver) – penerima pesan atau khalayak.
5. Effect (feedback) – umpan balik yang diberikan oleh penerima pesan kepada
pengirim pesan.
Kelima komponen tersebut seringkali dijadikan sebagai bahan analisis atau kajian untuk
mengevaluasi masing-masing komponen dan proses komunikasi secara keseluruhan.
Analisis yang dilakukan terhadap kelima komponen komunikasi tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Analisis kontrol, umumnya dilakukan untuk membantu pengirim pesan untuk
memiliki seluruh kekuatan.
2. Analisis isi, umumnya dikaitkan dengan stereoptipe dan representasi perbedaan
kelompok politik dan berhubungan dengan tujuan pesan yang disampaikan.
3. Analisis media, umumnya mengkaji pemilihan media yang akan digunakan untuk
mencapai khalayak.
4. Analisis khalayak, umumnya mengkali siapa yang menjadi target sasaran.
5. Analisis efek, umumnya dilakukan sebelum proses dimulai dengan tujuan untuk
memprediksi efek pesan terhadap target sasaran.
Model komunikasi Lasswell awalnya dikembangkan untuk menganalisis komunikasi
massa, khususnya studi tentang media propaganda.
Namun, pada perkembangannya, model ini digunakan pula untuk menganalisis
komunikasi interpersonal atau komunikasi kelompok yang menjadi sasaran diseminasi
pesan.
Selain itu, Lasswell juga membawa konsep proses komunikasi yang efektif.
Menurutnya, terdapat hubungan antara penyajian fakta-fakta dengan bagaimana fakta-
fakta tersebut dapat menyebabkan efek yang berbeda.
Penggunaan konsep efek membuat model Laswell tidak seperti namanya. Hal ini
dikarenakan efek dapat berperan juga sebagai umpan balik.

Model komunikasi Lasswell memiliki beberapa karakteristik:


1. Komunikasi berlangsung satu arah.
2. Tidak konsisten karena menyatakan adanya konsep efek.
3. Tidak menyertakan umpan balik.
4. Mengabaikan kemungkinan adanya hambatan-hambatan komunikasi.
5. Dipandang sangat umum dan hanya mencakup tema-tema tradisional.
6. Merupakan dasar propaganda karena lebih menitikberatkan pada hasil keluaran.
7. Umumnya digunakan untuk media persuasi.
3. Model Komunikasi Shannon dan Weaver
Claude Elwood Shannon dan Warren Weaver (1948) mengembangkan salah satu
model komunikasi linear yang disebut dengan Model Komunikasi Shannon dan Weaver.
Model Shannon dan Weaver menekankan pada penyampaian pesan berdasarkan
tingkat kecermatan.
Diawali dengan pemancar (transmiter) yang mengubah pesan menjadi suatu sinyal,
kemudian sinyal tersebut disalurkan atau diberikan pada penerima (received) dalam
bentuk percakapan.
Model komunikasi Shannon dan Weaver dapat diterapkan dalam
komunikasi antarpribadi, komunikasi publik, dan komunikasi massa.
 
4. Model Komunikasi SMCR Berlo
SMCR singkatan dari Source, Message, Channel, dan Receiver yang merupakan unsur
komunikasi.

Penemu model SMCR ini adalah David Berlo K. Salah satu mahasiswa generasi
pertama di Program Doktor Komunikasi di bawah kepemimpinan Wilbur Schramm di
Illinois.
Berlo merupakan penulis buku teks komunikasi yang terkenal, The Process of
Communication (1960).
Menurut model ini, sumber dan penerima dipengaruhi oleh faktor-faktor berikut:
kemampuan berkomunikasi, perilaku, pengetahuan, sistem sosial, dan budaya.
Model komunikasi SMCR juga menitikberatkan pada
proses encoding dan decoding yang terjadi sebelum pengirim mengirim pesan dan
sebelum penerima menerima pesan.
Dalam model ini terdapat beberapa komponen yaitu sender, message, channel,
dan receiver. Masing-masing komponen dipengaruhi oleh beberapa faktor.
1. Sender (pengirim)
Sumber pesan atau orang yang mengorganisasi pesan. Seorang pengirim pesan atau
sumber pesan mengirimkan pesan kepada penerima pesan.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pengirim pesan dan penerima pesan,
yaitu:
1. Keterampilan komunikasi – Jika pengirim pesan memiliki keterampilan
komunikasi yang baik, maka pesan akan lebih mudah dikomunikasikan
dibandingkan dengan pengirim pesan yang tidak memiliki keterampilan
komunikasi yang baik. Keterampilan komunikasi mencakup keterampilan
berbicara, keterampilan membaca, keterampilan menulis, keterampilan
mendengarkan, dan lain-lain.
2. Sikap – Sikap yang dimiliki oleh pengirim pesan untuk menciptakan efek pesan.
3. Pengetahuan – Pengetahuan yang dimiliki oleh pengirim pesan dapat membuat
pesan dapat dikomunikasikan secara lebih efektif.
4. Sistem sosial – Sistem sosial yang mencakup nilai, kepercayaan, hukum, aturan,
agama dan lain-lain serta tempat dan situasi mempengaruhi cara pengirim pean
dalam mengkomunikasikan pesan. Hal ini menciptakan perbedaan dalam
membuat pesan.
5. Budaya – perbedaan budaya menyebabkan perbedaan dalam menyampaikan
pesan.
2. Message (pesan)
Pesan adalah hal substansif yang dikirimkan oleh pengirim pesan kepada penerima
pesan.
Pesan dapat berbentuk suara, teks, video atau lain-lain. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pesan adalah:
1. Isi pesan – Merupakan sesuatu yang terdapat dalam pesan.
2. Elemen pesan – Elemen pesan merupakan hal-hal yang berkaitan dengan pesan
nonverbal yang melekat dalam isi seperti gesture, tanda, bahasa sebagai alat
komunikasi, dan lain-lain.
3. Perlakuan – Cara pesan dikirimkan kepada penerima pesan yang menimbulkan
efek berupa umpan balik yang diberikan oleh penerima pesan.
4. Struktur pesan – Pola pembentukan pesan dapat mempengaruhi efektivitas
pesan.
5. Kode – Bentuk dimana pesan dikirimkan bisa berupa teks, video, dan lain-lain.
3. Channel (media)
Media yang digunakan untuk mengirim pesan misalnya telepon, internet sebagai media
komunikasi dan lain-lain dan biasanya digunakan dalam komunikasi bermedia (media
massa atau media baru).
Namun, jika merujuk pada bentuk atau konteks komunikasi lain seperti misalnya
komunikasi interpersonal maka media komunikasi yang dimaksud merujuk pada kelima
rasa melalui panca indera yang dimiliki oleh manusia.
Kelima rasa inilah yang turut mempengaruhi arus dan efektivitas komunikasi. Kelima
rasa tersebut adalah mendengarkan, melihat, menyentuh, mencium, dan merasakan.
1. Mendengar – pesan yang diterima melalui indera pendengaran.
2. Melihat – pesan yang diterima melalui indera penglihatan mencakup pesan
nonverbal.
3. Menyentuh – sebagian pesan nonverbal terjadi melalui sentuhan seperti
menepuk pundak.
4. Mencium – pesan yang diterima melalui indera penciuman.
5. Merasakan – pesan yang diterima melalui indera perasa.
4. Receiver (penerima)
Orang yang menerima pesan yang dikirmkan oleh pengirim pesan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penerima pesan sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
pengirim pesan, yaitu :
1. Keterampilan komunikasi – Penerima pesan yang memiliki keterampilan
komunikasi (keterampilan berbicara, keetrampilan menulis, keterampilan
membaca, kemampuan mendengarkan dan lain-lain) yang baik akan dapat
menerima pesan dengan baik.
2. Sikap – sikap yang dimiliki oleh penerima pesan untuk menerima pesan.
3. Pengetahuan – pengetahuan yang dimiliki oleh penerima pesan dapat membuat
pesan mudah diterima dengan baik oleh penerima pesan.
4. Sistem sosial – Sistem sosial (nilai, kepercayaan, hukum, aturan, agama, dan
lain-lain) mempengaruhi cara menerima pesan yang menyebabkan perbedaan
dalam menerima pesan.
5. Budaya – perbedaan budaya dapat menyebabkan perbedaan dalam menerima
pesan.
Model komunikasi SMCR Berlo memiliki beberapa karakteristik:
1. Fokus pada proses encoding dan decoding.
2. Komponen komunikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor.
3. Tidak adanya konsep umpan balik.
4. Efek komunikasi tidak dapat diketahui.
5. Tidak ada konsep gangguan atau noise atupun berbagai hambatan proses
komunikasi lainnya,
6. Komunikasi berlangsung satu arah.
7. Baik pemberi pesan atau penerima pesan memiliki kesamaan jika dilihat dari
faktor-faktor yang mempengaruhi keduanya.
5. Model Komunikasi Barnlund
Dean C. Barnlund mengenalkan model komunikasi transaksional bagi dasar komunikasi
interpersonal atau komunikasi antarpribadi tahun 1970.
Model ini menggambarkan proses pengiriman dan penerimaan pesan yang terjadi
secara simultan antara partisipan komunikasi.
Model komunikasi Barnlund dikenal dengan nama Model Komunikasi Transaksional
Barnlund.
Model ini merupakan respons terhadap model komunikasi linear yang bersifat statis ke
model komunikasi yang bersifat dinamis dan model komunikasi dua arah.
Model komunikasi transaksional Barnlund menggambarkan proses komunikasi yang
berlangsung secara berkesinambungan.
Pengirim dan penerima saling bertukar peran dan bertukar tempat secara seimbang.
Pesan berjalan mengambil tempat dengan umpan balik konstan yang diberikan oleh
partisipan komunikasi.
Umpan balik yang diberikan oleh salah satu pihak adalah pesan bagi pihak lainnya.
6. Model Komunikasi Osgood dan Schramm
Model proses komunikasi yang digambarkan oleh Osgood dan Schramm ini berlaku
untuk bentuk-bentuk komunikasi antarpribadi.
Dijelaskan bahwa proses komunikasi berjalan secara sirkuler, dimana masing-masing
pelaku secara bergantian bertindak sebagai komunikator/ sumber dan
komunikan/penerima.
Menurut model ini masing-masing pelaku komunikasi akan terlibat dalam proses
pembentukan pesan (encoding), penafsiran (interpreting) pesan, serta penerimaan dan
pemecahan kode pesan (decoding).
Menurut model komunikasi Osgood dan Schramm, terdapat sembilan komponen dalam
proses komunikasi:
1. Sender (transmitter) orang yang mengirimkan pesan.
2. Encoder – orang yang mengubah pesan ke dalam bentuk kode.
3. Decoder – orang yang mendapatkan pesan yang telah di-encode yang telah
dikirimkan oleh encoder dan mengubahnya ke dalam bahasa yang dapat
dimengerti oleh orang lain.
4. Interpreter – orang yang mencoba untuk memahami dan menganalisa pesan.
Pesan diterima setelah interpretasi. Interpreter dan receiver adalah orang yang
sama.
5. Receiver – orang yang menerima pesan yang melakukan proses decoding dan
menginterpretasikan pesan-pesan aktual.
6. Message – data yang dikirimkan oleh pengirim pesan dan informasi yang
diterima oleh penerima pesan.
7. Feedback – proses merespon pesan yang diterima oleh penerima pesan.
8. Medium – media atau saluran yang digunakan oleh pengirim pesan untuk
mengirim pesan.
9. Noise – gangguan yang terjadi selama proses komunikasi berlangsung.
Gangguan juga dapat berupa gangguan semantic dimana terjadi perbedaan
dalam pemaknaan pesan yang dikirimkan oleh pengirim pesan dan pemaknaan
pesan yang diinterpretasi oleh penerima pesan.

Menurut Schramm, latar belakang individu yang terlibat dalam proses komunikasi
memainkan peranan yang sangat penting dalam komunikasi.
Setiap orang memiliki latar belakang pengetahuan, pengalaman, serta budaya yang
berbeda satu sama lain. Perbedaan latar belakang ini mempengaruhi setiap individu
dalam menginterpretasi pesan yang diterima.
Model komunikasi Osgood dan Schramm memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
1. Fokus pada encode dan decode.
2. Komunikasi berlangsung dua arah.
3. Adanya konsep field of experience yang merupakan efek psikologis dapat
membantu untuk memahami proses komunikasi.
4. Umpan balik bersifat tidak langsung dan lambat.
5. Terdapat konsep umpan balik sehingga memudahkan bagi pengirim pesan untuk
mengetahui apakah pesan diinterpretasi dengan baik oleh penerima pesan.
6. Tidak diabaikannya konsep gangguan atau noise.
7. Penerima pesan dan pengirim pesan dapat bertukar peran dalam menyampaikan
dan menerima pesan.
8. Bersifat dinamis dan berguna secara praktis.
9. Gangguan semantik atau semantic noise merupakan konsep yang dapat
membantu memahami permasalah yang dapat terjadi selama pesan
diinterpretasi.
10. Konsep interpretatif membuat komunikasi menjadi efektif.
11. Konsep konteks membuat faktor lingkungan dapat dimasukkan ke dalam
interpretasi pesan dan membuat perubahan dalam nilai pesan.
12. Tidak sesuai atau tidak cocok untuk diterapkan dalam proses komunikasi yang
sangat kompleks.
13. Hanya terdapat dua sumber utama yang berkomunikasi.
14. Banyaknya sumber justru akan membuat proses komunikasi mengalami
komplikasi dan model komunikasi tidak dapat diimplementasikan dengan baik.
15. Dimungkinkan terjadinya perbedaan interpretasi terhadap pesan yang dikirimkan
dan pesan yang diterima
16. Digunakan untuk media baru
17. Dapat menjadi model komunikasi linear jika penerima pesan tidak memberikan
tanggapan.
7. Model S&R
Model komunikasi paling dasar. Sebagai pertukaran atau pemindahan informasi atau
gagasan, komunikasi dianggap sebagai suatu proses aksi & reaksi yang sangat
sederhana.
Ketika saya tersenyum pada Anda dan Anda membalas senyuman saya itulah model
S&R.

Model ini mengasumsikan bahwa kata-kata, isyarat, verbal, gambar, non-verbal, dan
tindakan-tindakan tertentu akan merangsang orang lain untuk memberikan respons
dengan cara tertentu.
8. Model Westley dan MacLean
Model Westley dan MacLean merupakan model perluasan dari model komunikasi
Lasswell dan mode  Shannon and Weaver, yaitu dengan menambahkan jumlah
peristiwa, gagasan, dan objek yang tidak terbatas.

Model ini tidak membatasi pada tingkat individu, bisa juga terjadi pada aktivitas suatu
kelompok atau suatu lembaga sosial, karena menurut pendapat Westley, setiap
individu, kelompok, atau sistem mempunyai kebutuhan untuk mengirim dan menerima
pesan sebagai sarana orientasi terhadap lingkungan.
Model ini merumuskan antara komunikasi antarpribadi dan komunikasi massa.
Konsep penting yang tercakup dalam model ini adalah memasukkan umpan balik.
Perbedaan dalam umpan balik inilah yang membedakan antara komunikasi antar
pribadi dan komunikasi massa.
Dalam komunikasi antarpribadi, umpan balik yang diterima bersifat segera, sedangkan
umpan balik dalam komunikasi massa bersifat tertunda.
Dalam model Westley dan MacLean ini terdapat lima unsur, yaitu: objek, orientasi,
pesan, sumber, penerima dan umpan balik.
6 Model – Model Komunikasi Menurut Para Ahli
Komunikasi adalah sebuah proses yang sangat kompleks karenanya sangat sulit untuk
mengetahui siapa yang memulai komunikasi, kepada siapa komunikasi ditujukan, dan
dimana komunikasi berawal dan berakhir (Baca : Pengantar Ilmu Komunikasi). Untuk
memahami proses komunikasi yang sedemikian kompleks, diperlukan suatu instrumen
yang membantu menjelaskan proses komunikasi. Instrumen tersebut adalah model
komunikasi.
Model komunikasi adalah sebuah model konseptual untuk menjelaskan proses
komunikasi manusia dan memperlihatkan proses komunikasi dengan menggunakan
berbagai simbol. Model komunikasi membentuk perspektif komunikasi dengan
menguraikan komunikasi yang begitu kompleks menjadi lebih sederhana tanpa
menghilangkan komponen-komponen yang ada di dalamnya.
Jenis-jenis Model Komunikasi
Dari berbagai model komunikasi yang telah dirumuskan oleh para ahli, dapat ditarik
benang merah bahwa model komunikasi dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) jenis
model komunikasi, yaitu model komunikasi linear, model komunikasi transaksional, dan
model komunikasi interaksional.
Model komunikasi linear adalah model komunikasi yang sangat sederhana dan
menggambarkan komunikasi berlangsung secara satu arah. Arus pesan digambarkan
bersifat langsung dari pengirim pesan ke penerima pesan. Dalam model komunikasi
linear tidak terdapat konsep umpan balik dan penerima pesan bersifat pasif dalam
menerima pesan. Model komunikasi yang merujuk pada model komunikasi linear
diantaranya adalah model komunikasi Aristoteles, model komunikasi Lasswell, model
komunikasi SMCR Berlo, dan model komunikasi Shannon dan Weaver.
Model komunikasi transaksional adalah model komunikasi yang menekankan pada
pentingnya peran pengirim pesan dan penerima pesan dalam proses komunikasi yang
berlangsung dua arah. Model komunikasi transaksional mengaitkan komunikasi dengan
konteks sosial, konteks hubungan, dan konteks budaya. Dalam model ini digambarkan
bahwa kita berkomunikasi tidak hanya sebagai ajang untuk pertukaran pesan
melainkan untuk membangun hubungan. Model komunikasi yang merujuk pada model
komunikasi transaksional diantaranya adalah model komunikasi
transaksional Barnlund.
Model komunikasi interaksi adalah model komunikasi yang menggambarkan
komunikasi berlangsung dua arah. Umumnya model komunikasi interaksi digunakan
dalam media baru seperti internet atau media komunikasi modern. Model komunikasi
yang merujuk pada model komunikasi interaksi adalah model Osgood dan Schramm.
Para ahli telah mengenalkan berbagai macam model komunikasi sebagai upaya untuk
menggambarkan dan menjelaskan proses komunikasi serta berbagai faktor yang
mempengaruhi arus serta efektivitas komunikasi.
Berikut adalah beberapa model komunikasi menurut para ahli.
1. Model Komunikasi Aristoteles
Model komunikasi Aristoteles adalah salah satu model komunikasi linear yang
ditujukan untuk menggambarkan atau menjelaskan proses public speaking. Model ini
merupakan model komunikasi pertama dan merupakan model komunikasi yang
diterima secara luas diantara model komunikasi lainnya.
a. Komponen-komponen dalam Model Komunikasi Aristoteles
Model komunikasi Aristoteles menitikberatkan pada pembicara (speaker) dan bicara
(speech). Model ini memiliki lima elemen, yaitu speaker, speech, occasion,
audience, dan effect.
Model Komunikasi Aristoteles
 Pembicara (speaker) – orang yang berperan aktif dalam membentuk dan
mengirimkan pesan kepada khalayak.
 Pesan verbal (speech) – pesan yang dibentuk dan disampaikan oleh speaker.
 Situasi (occasion) – situasi saat pesan disampaikan.
 Khalayak (audience) – orang yang menjadi target sasaran atau khalayak
sasaran dalam proses komunikasi.
 Efek (effect) – dampak yang ditimbulkan dalam proses komunikasi.
Model komunikasi Aristoteles dikenal sebagai model komunikasi yang berpusat pada
speaker atau pembicara karena pembicara dipandang sebagai pihak yang aktif dan
berperan penting dalam proses public speaking yaitu mengirimkan pesan kepada
khalayak. (Baca : Komunikasi Dakwah)
Dalam model ini, khalayak digambarkan bersifat pasif dalam menerima pesan. Itulah
mengapa proses komunikasi dalam model Aristoteles berlangsung secara satu arah
yakni dari pengirim ke penerima. Dalam menyampaikan pesannya, pembicara harus
menyiapkan pesan sedemikian rupa yang disesuaikan dengan target sasaran dan
situasi sehingga khalayak dapat dengan mudah dilakukan persuasi maupun pengaruh
melalui pesan yang disampaikan.
b. Karakteristik Model Komunikasi Aristoteles
Model komunikasi Aristoteles memiliki beberapa karakteristik, diantaranya adalah :
 Berpusat pada pengirim pesan.
 Khalayak bersifat pasif.
 Tidak terlalu fokus pada komunikasi intrapersonal atau komunikasi interpersonal.
 Fokus pada interaksi khalayak dalam komunikasi.
 Tidak terdapat konsep umpan balik.
 Tidak ada konsep kegagalan komunikasi.
 Komunikasi berlangsung satu arah.
 Hanya bisa digunakan dalam public speaking.
2. Model Komunikasi Lasswell
Harold D. Lasswell (1948) mengembangkan model komunikasi yang dikenal dengan
model komunikasi Lasswell. Model komunikasi Lasswell merupakan salah satu model
komunikasi linear atau model komunikasi satu arah dan merupakan model komunikasi
yang sangat berpengaruh.
a. Komponen-komponen dalam Model Komunikasi Lasswell
Model Komunikasi Lasswell
Model komunikasi Lasswell memiliki 5 (lima) komponen, yaitu :
 who (sender) – komunikator atau pengirim atau sumber pesan.
 says what (message) – isi pesan.
 channel (media) – medium atau media.
 to whom (receiver) – penerima pesan atau khalayak.
 with what effect (feedback) – umpan balik yang diberikan oleh penerima pesan
kepada pengirim pesan.
Kelima komponen tersebut seringkali dijadikan sebagai bahan analisis atau kajian untuk
mengevaluasi masing-masing komponen dan proses komunikasi secara keseluruhan.
Adapun analisis yang dilakukan terhadap kelima komponen komunikasi tersebut adalah
sebagai berikut :
 Analisis kontrol, umumnya dilakukan untuk membantu pengirim pesan untuk
memiliki seluruh kekuatan.
 Analisis isi, umumnya dikaitkan dengan stereoptipe dan representasi
perbedaan kelompok politik dan berhubungan dengan tujuan pesan yang
disampaikan.
 Analisis media, umumnya mengkaji pemilihan media yang akan digunakan
untuk mencapai khalayak (Baca : Analisis Framing)
 Analisis khalayak, umumnya mengkali siapa yang menjadi target sasaran.
 Analisis efek, umumnya dilakukan sebelum proses dimulai dengan tujuan untuk
memprediksi efek pesan terhadap target sasaran (Baca : Teori Efek Media
Massa)
Model komunikasi Lasswell awalnya dikembangkan untuk menganalisis komunikasi
massa, khususnya studi tentang media propaganda. Namun, pada perkembangannya,
model ini digunakan pula untuk menganalisis komunikasi interpersonal atau komunikasi
kelompok yang menjadi sasaran diseminasi pesan. Selain itu, Lasswell juga membawa
konsep proses komunikasi yang efektif. Menurutnya, terdapat hubungan antara
penyajian fakta-fakta dengan bagaimana fakta-fakta tersebut dapat menyebabkan efek
yang berbeda. Penggunaan konsep efek membuat model Laswell tidak seperti
namanya. Hal ini dikarenakan efek dapat berperan juga sebagai feedback atau umpan
balik.
b. Karakteristik Model Komunikasi Lasswell
Model komunikasi Lasswell memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
 Komunikasi berlangsung satu arah.
 Tidak konsisten karena menyatakan adanya konsep efek.
 Tidak menyertakan umpan balik.
 Mengabaikan kemungkinan adanya hambatan-hambatan komunikasi.
 Dipandang sangat umum dan hanya mencakup tema-tema tradisional.
 Merupakan dasar propaganda karena lebih menitikberatkan pada hasil keluaran.
 Umumnya digunakan untuk media persuasi (Baca : Komunikasi Persuasif).
3. Model Komunikasi Shannon dan Weaver
Claude Elwood Shannon dan Warren Weaver (1948) mengembangkan salah satu
model komunikasi linear yang disebut dengan Model Komunikasi Shannon dan Weaver.
a. Komponen-komponen dalam Model Komunikasi Shannon dan Weaver
Model Komunikasi Shannon Weaver
Dalam model komunikasi Shannon dan Weaver terdapat 6 (enam) elemen yaitu :
 Pengirim (Sender/Information source) – orang yang membuat pesan, memilih
media yang akan digunakan dan mengirimkan pesan.
 Encoder (Transmitter) – orang yang menggunakan mesin yang mengubah
pesan ke dalam bentuk sinyal atau data biner. Dimungkinkan juga encoder
merujuk pada mesin itu sendiri.
 Media (Channel) – media yang digunakan untuk mengirim pesan.
 Decoder (Transmitter) – mesin yang digunakan untuk mengubah sinyal atau
data biner ke dalam bentuk pesan atau penerima pesan yang
menginterpretasikan pesan dari sinyal yang diberikan.
 Penerima (Receiver/Destination) – orang yang menerima pesan atau tempat
dimana pesan harus dijangkau. Penerima pesan memberikan umpan balik
berdasarkan pesan yang dikirimkan oleh pengirim.
 Gangguan (Noise) – gangguan fisik seperti lingkungan, manusia, dan lain-lain
yang tidak membiarkan pesan diterima dengan baik oleh penerima pesan.
Pengirim pesan menyandi pesan dan mengirimkannya kepada penerima pesan melalui
media. Pengirim mengubah pesan ke dalam berbagai kode yang dapat dipahami ke
dalam mesin. Pesan dikirim dalam bentuk kode melalui media. Penerima harus
menerima sandi pesan sebelum memahami dan menginterpretasikannya. Mesin
penerima dapat juga berperan sebagai penerima sandi dalam beberapa kasus. Media
dapat mengalami gangguan dan penerima bisa saja tidak memiliki kapasitas untuk
melakukan sandi-awa sehingga menyebabkan masalah dalam proses komunikasi.
Menurut model ini, terdapat tiga macam permasalahan komunikasi, yaitu masalah
teknis, masalah semantik, dan masalah efektifitas.
 Masalah teknis – masalah yang disebabkan oleh channel.
 Masalah semantik – adanya perbedaan dalam mengartikan pesan yang dikirim
dan diterima.
 Masalah efektivitas – reaksi penerima terhadap pesan yang disampaikan.
Model ini pada awalnya ditujukan untuk memperbaiki teknis komunikasi utamanya
komunikasi melalui telepon dengan tujuan memaksimalkan kapasitas telepon dan
meminimalkan gangguan. Namun dalam perkembangannya, model ini kemudian
diterapkan bagi seluruh bentuk komunikasi untuk mengembangkan komunikasi yang
efektif.
b. Karakteristik Model Komunikasi Shannon dan Weaver
Model komunikasi Shannon dan Weaver memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
 Komunikasi berlangsung dalam dua proses yang membuatnya sebagai model
yang dapat diterapkan dalam semua bentuk komunikasi.
 Konsep gangguan atau noise membantu dalam membuat komunikasi efektif
dengan cara menghilangkan gangguan atau masalah yang menyebabkan
berbagai gangguan.
 Hanya dapat diterapkan dengan baik pada komunikasi interpersonal
dibandingkan dengan komunikasi massa atau komunikasi kelompok.
 Penerima pesan berperan sebagai bagian yang pasif dalam proses komunikasi.
 Pengirim pesan berperan aktif dalam mengirim pesan.
 Umpan balik tidak begitu penting jika dibandingkan dengan pesan yang
dikirimkan oleh pengirim.
4. Model Komunikasi Berlo
David K. Berlo (1960) merumuskan sebuah model komunikasi linear yang merupakan
pengembangan dari model komunikasi Shannon dan Weaver. Model komunikasi dari
David K. Berlo disebut dengan Model Komunikasi SMCR (Sender-Message-Channel-
Receiver). Menurut Berlo, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi berbagai
komponen yang dimiliki oleh individu dalam komunikasi yang membuat komunikasi
berlangsung secara lebih efisien. Faktor-faktor tersebut adalah keterampilan
komunikasi, sikap, pengetahuan, sistem sosial, dan budaya.
a. Komponen-komponen dalam Model Komunikasi Berlo
Model Komunikasi SMCR
Model komunikasi SMCR juga menitikberatkan pada
proses encoding dan decoding yang terjadi sebelum pengirim mengirim pesan dan
sebelum penerima menerima pesan.
Dalam model ini terdapat beberapa komponen yaitu sender, message,
channel, dan receiver dimana masing-masing komponen dipengaruhi oleh beberapa
faktor.
1. Pengirim (sender)
Sumber pesan atau orang yang mengorganisasi pesan. Seorang pengirim pesan atau
sumber pesan mengirimkan pesan kepada penerima pesan. Terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi pengirim pesan dan penerima pesan, yaitu :
 Keterampilan komunikasi – Jika pengirim pesan memiliki keterampilan
komunikasi yang baik, maka pesan akan lebih mudah dikomunikasikan
dibandingkan dengan pengirim pesan yang tidak memiliki keterampilan
komunikasi yang baik. Keterampilan komunikasi mencakup keterampilan
berbicara, keterampilan membaca, keterampilan menulis, keterampilan
mendengarkan, dan lain-lain.
 Sikap – Sikap yang dimiliki oleh pengirim pesan untuk menciptakan efek pesan.
 Pengetahuan – Pengetahuan yang dimiliki oleh pengirim pesan dapat membuat
pesan dapat dikomunikasikan secara lebih efektif.
 Sistem sosial – Sistem sosial yang mencakup nilai, kepercayaan, hukum,
aturan, agama dan lain-lain serta tempat dan situasi mempengaruhi cara
pengirim pean dalam mengkomunikasikan pesan. Hal ini menciptakan
perbedaan dalam membuat pesan.
 Budaya – perbedaan budaya menyebabkan perbedaan dalam menyampaikan
pesan.
2. Pesan (message)
Pesan adalah hal substansif yang dikirimkan oleh pengirim pesan kepada penerima
pesan. Pesan dapat berbentuk suara, teks, video atau lain-lain. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pesan adalah :
 Isi pesan – Merupakan sesuatu yang terdapat dalam pesan.
 Elemen pesan – Elemen pesan merupakan hal-hal yang berkaitan dengan
pesan nonverbal yang melekat dalam isi seperti gesture, tanda, bahasa sebagai
alat komunikasi, dan lain-lain.
 Perlakuan – Cara pesan dikirimkan kepada penerima pesan yang menimbulkan
efek berupa umpan balik yang diberikan oleh penerima pesan.
 Struktur pesan – Pola pembentukan pesan dapat mempengaruhi efektivitas
pesan.
 Kode – Bentuk dimana pesan dikirimkan bisa berupa teks, video, dan lain-lain.
3. Media (channel)
Media yang digunakan untuk mengirim pesan misalnya telepon, internet sebagai media
komunikasi dan lain-lain dan biasanya digunakan dalam komunikasi bermedia (media
massa atau media baru). Namun, jika merujuk pada bentuk atau konteks komunikasi
lain seperti misalnya komunikasi interpersonal maka media komunikasi yang dimaksud
merujuk pada kelima rasa melalui panca indera yang dimiliki oleh manusia. Kelima rasa
inilah yang turut mempengaruhi arus dan efektivitas komunikasi. Kelima rasa tersebut
adalah mendengarkan, melihat, menyentuh, mencium, dan merasakan.
 Mendengar – pesan yang diterima melalui indera pendengaran.
 Melihat – pesan yang diterima melalui indera penglihatan mencakup pesan
nonverbal.
 Menyentuh – sebagian pesan nonverbal terjadi melalui sentuhan seperti
menepuk pundak.
 Mencium – pesan yang diterima melalui indera penciuman.
 Merasakan – pesan yang diterima melalui indera perasa.
4. Penerima (receiver)
Orang yang menerima pesan yang dikirmkan oleh pengirim pesan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penerima pesan sama dengan faktor-faktor yang mempengaruhi
pengirim pesan, yaitu :
 Keterampilan komunikasi – Penerima pesan yang memiliki keterampilan
komunikasi (keterampilan berbicara, keetrampilan menulis, keterampilan
membaca, kemampuan mendengarkan dan lain-lain) yang baik akan dapat
menerima pesan dengan baik.
 Sikap – sikap yang dimiliki oleh penerima pesan untuk menerima pesan.
 Pengetahuan – pengetahuan yang dimiliki oleh penerima pesan dapat membuat
pesan mudah diterima dengan baik oleh penerima pesan.
 Sistem sosial – Sistem sosial (nilai, kepercayaan, hukum, aturan, agama, dan
lain-lain) mempengaruhi cara menerima pesan yang menyebabkan perbedaan
dalam menerima pesan.
 Budaya – perbedaan budaya dapat menyebabkan perbedaan dalam menerima
pesan.
b. Karakteristik Model Komunikasi Berlo
Model komunikasi Berlo memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
 Fokus pada proses encoding dan decoding.
 Komponen komunikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor.
 Tidak adanya konsep umpan balik.
 Efek komunikasi tidak dapat diketahui.
 Tidak ada konsep gangguan atau noise atupun berbagai hambatan proses
komunikasi lainnya,
 Komunikasi berlangsung satu arah.
 Baik pemberi pesan atau penerima pesan memiliki kesamaan jika dilihat dari
faktor-faktor yang mempengaruhi keduanya.
5. Model Komunikasi Barnlund
Pada tahun 1970, Dean C. Barnlund mengenalkan sebuah model komunikasi
transaksional bagi dasar komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi yang
menggambarkan proses pengiriman dan penerimaan pesan yang terjadi secara
simultan antara partisipan komunikasi. Model komunikasi Barnlund dikenal dengan
nama Model Komunikasi Transaksional Barnlund. Model ini merupakan respon
terhadap model komunikasi linear yang bersifat statis ke model komunikasi yang
bersifat dinamis dan model komunikasi dua arah.
Model komunikasi transaksional Barnlund menggambarkan proses komunikasi yang
berlangsung secara berkesinambungan dimana pengirim dan penerima saling bertukar
peran dan bertukar tempat secara seimbang. Pesan berjalan mengambil tempat
dengan umpan balik konstan yang diberikan oleh partisipan komunikasi. Umpan balik
yang diberikan oleh salah satu pihak adalah pesan bagi pihak lainnya.
a. Komponen-komponen dalam Model Komunikasi Barnlund
Model Barnlund
Dalam model komunikasi Barnlund, terdapat beberapa komponen, yaitu :
 Cues – tanda untuk melakukan sesuatu. Terdapat tiga macam cues, yaitu public
cues, private cues, dan behavioral cues.
o Public cues – lingkungan, fisik, artifisial atau alamiah.
o Private cues – dikenal dengan orientasi obyek pribadi, dapat berupa
verbal dan nonverbal.
o Behavioral cues – dapat berupa verbal atau non verbal.
 Speech act – contoh khusus dalam model komunikasi.
 Filter – realitas manusia yang terikat dengan komunikasi.
 Noise – masalah yang berkembang dalam arus komunikasi dan mengganggu
arus pesan.
b. Karakteristik Model Komunikasi Barnlund
Karakteristik model komunikasi Barnlund adalah sebagai berikut :
 Komunikasi bersifat transaksional.
 Digunakan dalam komunikasi interpersonal.
 Pengirim dan penerima pesan dapat bertukar peran.
 Melibatkan peran konteks dan lingkungan.
 Melibatkan gangguan dan hambatan-hambatan komunikasi sebagai faktor.
 Membahas komunikasi non verbal.
 Umpan balik bersifat simultan.
 Pengirim pesan dan penerima pesan saling berbagi kedalaman pengalaman.
 Fokus pada pengiriman pesan yang simultan, gangguan serta umpan balik.
 Dipandang sebagai model komunikasi yang sangat sistematis.
 Model komunikasi dipandang sangat kompleks.
 Pengirim pesan dan penerima pesan harus mengerti kode-kode yang dikirim
oleh masing-masing pihak.
6. Model Komunikasi Osgood dan Schramm
Model Komunikasi Schramm dikenalkan oleh Wilbur Schramm (1954) yang
menggambarkan proses komunikasi berlangsung secara dua arah baik pengirim pesan
atau penerima pesan dapat berganti peran dalam mengirim dan menerima pesan.
Pesan dikirimkan setelah proses encoding karenanya pengirim pesan juga disebut
dengan Encoder. Sementara itu, penerima pesan atau receiver disebut juga
dengan decoder karena pesan yang telah di-encode oleh pengirim pesan kemudian
mengalami proses decoding yang dilakukan oleh penerima pesan atau receiver.
Model komunikasi Schramm diadaptasi dari teori yang dikemukakan oleh Ryan A.
Osgood, karenanya model komunikasi ini disebut dengan Model Komunikasi Osgood
dan Schramm atau Model Komunikasi Encode-Decode. Melalui model ini, Osgood
mengganti model komunikasi linear dengan model proses komunikasi sirkular dan
Schramm menambahkan konsep field of experience ke dalamnya. Yang dimaksud
dengan field of experience adalah hal-hal yang mempengaruhi pemahaman dan
mengeinterpretasi pesan yang umumnya meliputi budaya, latar belakang budaya,
kepercayaan, pengalaman, nilai-nilai, dan peraturan.
a. Komponen-komponen Model Komunikasi Osgood dan Schramm
Menurut model komunikasi Osgood dan Schramm, terdapat 9 (sembilan) komponen
dalam proses komunikasi, yaitu sender (transmitter), encoder, decoder, interpreter,
receiver, message, feedback, medium, dan noise.
 Sender (transmitter) – orang yang mengirimkan pesan.
 Encoder – orang yang mengubah pesan ke dalam bentuk kode.
 Decoder – orang yang mendapatkan pesan yang telah di-encode yang telah
dikirimkan oleh encoder dan mengubahnya ke dalam bahasa yang dapat
dimengerti oleh orang lain.
 Interpreter – orang yang mencoba untuk memahami dan menganalisa pesan.
Pesan diterima setelah interpretasi. Interpreter dan receiver adalah orang yang
sama.
 Receiver – orang yang menerima pesan yang melakukan proses decoding dan
menginterpretasikan pesan-pesan aktual.
 Message – data yang dikirimkan oleh pengirim pesan dan informasi yang
diterima oleh penerima pesan.
 Feedback – proses merespon pesan yang diterima oleh penerima pesan.
 Medium – media atau saluran yang digunakan oleh pengirim pesan untuk
mengirim pesan.
 Noise – gangguan yang terjadi selama proses komunikasi berlangsung.
Gangguan juga dapat berupa gangguan semantic dimana terjadi perbedaan
dalam pemaknaan pesan yang dikirimkan oleh pengirim pesan dan pemaknaan
pesan yang diinterpretasi oleh penerima pesan.
Menurut Schramm, latar belakang individu yang terlibat dalam proses komunikasi
memainkan peranan yang sangat penting dalam komunikasi. Sebagaimana diketahui,
setiap orang memiliki latar belakang pengetahuan, pengalaman, serta budaya yang
berbeda satu sama lain. Perbedaan latar belakang ini mempengaruhi setiap individu
dalam menginterpretasi pesan yang diterima.
b. Karakteristik Model Komunikasi Osgood dan Schramm
Model komunikasi Osgood dan Schramm memiliki beberapa karakteristik, yaitu :
 Fokus pada encode dan decode.
 Komunikasi berlangsung dua arah.
 Adanya konsep field of experience yang merupakan efek psikologis dapat
membantu untuk memahami proses komunikasi.
 Umpan balik bersifat tidak langsung dan lambat.
 Terdapat konsep umpan balik sehingga memudahkan bagi pengirim pesan untuk
mengetahui apakah pesan diinterpretasi dengan baik oleh penerima pesan.
 Tidak diabaikannya konsep gangguan atau noise.
 Penerima pesan dan pengirim pesan dapat bertukar peran dalam menyampaikan
dan menerima pesan.
 Bersifat dinamis dan berguna secara praktis.
 Gangguan semantik atau semantic noise merupakan konsep yang dapat
membantu memahami permasalah yang dapat terjadi selama pesan
diinterpretasi.
 Konsep interpretatif membuat komunikasi menjadi efektif.
 Konsep konteks membuat faktor lingkungan dapat dimasukkan ke dalam
interpretasi pesan dan membuat perubahan dalam nilai pesan.
 Tidak sesuai atau tidak cocok untuk diterapkan dalam proses komunikasi yang
sangat kompleks.
 Hanya terdapat dua sumber utama yang berkomunikasi. Banyaknya sumber
justru akan membuat proses komunikasi mengalami komplikasi dan model
komunikasi tidak dapat diimplementasikan dengan baik.
 Dimungkinkan terjadinya perbedaan interpretasi terhadap pesan yang dikirimkan
dan pesan yang diterima
 Digunakan untuk media baru (Baca : Teori Media Baru)
 Dapat menjadi model komunikasi linear jika penerima pesan tidak memberikan
tanggapan.
Manfaat Mempelajari Model Komunikasi
Mempelajari berbagai model komunikasi yang disajikan oleh para ahli dapat menambah
pengetahuan dan pemahaman kita mengenai proses komunikasi yang begitu kompleks.
Memahami model komunikasi dapat membantu memilih metode ataupun saluran yang
akan digunakan sesuai dengan tujuan komunikasi yang telah ditetapkan, membantu
melakukan evaluasi terhadap proses komunikasi yang dilakukan, serta memahami
bagaimana penerima pesan menginterpretasikan pesan yang dikirimkan oleh pengirim
pesan.
Penerapan Teori Komunikasi Antar Budaya
Di era saat ini, komunikasi antar budaya sangatlah penting. Pada dasarnya budaya
merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam konteks kehidupan maupun
konteks berkomunikasi. Indonesia sendiri memiliki keberagaman budaya di seluruh
nusantara. Maka dari itu adanya komunikasi antar budaya yang diperkuat dengan
teorinya dapat melancarkan aspek kebudayaan dalam kehidupan maupun
berkomunikasi. Dalam hal ini, kebudayaan, manusia, dan masyarakat, adalah hal yang
tidak terpisahkan. Aspek budaya begitu beragam mulai dari bahasa, pakaian, etika,
peninggalan sejarah, tarian, alat tradisional, dan sebagainya.
Adanya pekembangan budaya dan  kehidupan manusia dengan hubungan kelompok
manusia yang membawa budaya masing-masing menciptakan komunikasi antar
budaya antara kelompok masyarakat tersebut. Pengertian dari komunikasi antar
budaya sendiri adalah peristiwa komunikasi dimana mereka yang terlibat didalamnya
berasal dari latar belakang yang berbeda. Teori Komunikasi Antar Budaya meliputi:
1. Teori kecemasan dan ketidakpastian
Teori ini dikembangkan oleh William Gudykunts yang memfokuskan pada perbedaan
budaya antar kelompok dan orang asing. Ia menjelaskan bahwa teori ini dapat
digunakan dalam segala situasi dan kondisi berkaitan dengan terdapatnya perbedaan
diantara keraguan dan ketakutan. Gudykunts berpendapat bahwa kecemasan dan
ketidakpastian yang menjadi penyebab kegagalan komunikasi antar kelompok.
Contohnya, mahasiswa Universitas Darussalam yang bukan alumni Gontor akan lebih
sulit mengerti dan memahami pelajaran yang berbahasa arab. Dia harus belajar lebih
untuk memahami bahasa arab agar jalannya komunikasi antara mahasiswa NK (non
KMI) dan alumni KMI maupun dosen dapat berjalan dengan baik.
2. Teori negosiasi wajah
Teori yang di kemukakan oleh Stella Ting-Toomey ini menjelaskan bagaimana
perbedaan-perbedaan dari berbagai budaya dalam merespon berbagai konflik yang
dihadapi. Ia berpendapat bahwa orang-orang dalam setiap budaya akan selalu
mencitrakan dirinya didepan publik, hal tersebut merupakan cara baginya agar orang
lain melihat dan memperlakukannya. Lebih lanjut Ia menjelaskan bahwa wajah bekerja
merujuk pada pesan verbal dan non verbal yang membantu menyimpan rasa malu, dan
menegakkan muka terhormat. Contohnya pemahaman mahasiswa terhadap dosen
yang bersuku batak yang ketika bicara dengan berbicara dengan nada tinggi
menimbulkan pesan non-verbal  yang berbeda-beda pada mahasiswa dalam
menangkap pesan yang di sampaikan, ada yang menganggap dosen ini galak dan juga
ada yang memahami bahwasannya seperti itulah logatnya dalam berkomunikasi.
3. Teori Kode Bicara
Gerry Phillipsen dalam teorinya ini berusaha menjelaskan bagaimana keberadaan kode
bicara dalam suatu budaya. Dan juga bagaimana kekuatan dan dan substansinya
dalam sebuah budaya. Contohnya mahasiswa yang memiliki latar budaya yang sama
seperti sama-sama orang jawa akan faham dengan panggilan-pangilan sapaan seperti
“lur” (singkatan dari sedulur yang berarti saudara) atau sesama orang malang yang
biasa membalik kata seperti “Sam” (yang harusnya mas yang berarti abang/kakak).
(Harazan Qisthani Syamsudin/YU)

Analisis Semiotika Komunikasi – Pengertian dan Tanda (Sign)


Kajian studi ilmu komunikasi mencakup berbagai hal dalam kehidupan, salah satunya
adalah kajian tentang tanda (sign) atau semiotika. Pada pembahasan kali ini, kita akan
mengulas lebih lanjut mengenai teori semiotika komunikasi yang banyak mengacu pada
penelitian dari salah seorang ilmuwan di bidang komunikasi yaitu Roland Barthes.
Selain sebagai ilmuwan yang mumpuni, Roland Barthes juga merupakan ketua
dari literary semiology pada College of France. (Baca juga: Metode Penelitian
Komunikasi)
Pengertian Semiotika
Bagi Roland Barthes, semiotika bukanlah suatu perkara, ilmu pengetahuan, disiplin
ilmu, pembelajaran, pergerakan, atau bahkan teori; tapi merupakan sebuah
pertualangan. Semiotika memiliki tujuan untuk menerjemahkan dan
menginterpretasikan sign baik berupa verbal, yang disebut juga linguistic, dan
nonverbal. Barthes sendiri lebih memfokuskan kajian studi dan penelitiannya pada
aspek nonverbal seperti cultural meaning dan visual sign. (Baca juga: Teori Pers)
Semiotika adalah kajian mengenai produksi sosial dan komunikasi terhadap sistem
tanda (sign system) yang menganalisa berbagai hal yang dapat berdiri atas hal lain,
dengan kata lain hal yang memiliki makna dibaliknya. Sedangkan ahli semiotika dari
Italia, Umberto Eco, menyatakan bahwa semiotika adalah “the discipline studying
everything which can be used in order to lie, because if something cannot be used to
tell a lie, conversely it cannot be used to tell the truth; it cannot, in fact, be used to tell at
all.”
Barthes sendiri agak berbeda dari umumnya para ilmuwan kala itu, dimana ia sering
muncul di televisi dan menulis berbagai artikel populer untuk mengomentari mengenai
kelemahan kalangan middle-class Prancis. Barthes tertarik kepada kajian semiotika
yang berupa sign yang terlihat seperti sesuatu yang polos dan apa adanya, namun
sebenarnya mengkomunikasikan ideologi dan memiliki makna konotasi (yang tidak
sebenarnya) dalam memperkuat nilai-nilai dominasi yang ada di masyarakat. (Baca
juga: Jurnalistik Online)
Sign dalam Semiotika Komunikasi
Barthes menjelaskan bahwa sign tidak berdiri sendiri sebagai suatu tanda atau hal
yang memiliki arti dibaliknya, namun sign merupakan kombinasi
dari signifier dan signifier. Signifier adalah suatu hal, benda, bentuk, visual, atau
apapun yang kita lihat dan terima melaui panca indera. Sedangkan signifier adalah
makna yang kita terapkan, artikan, dan asosiasikan dengan hal (signifier) yang kita
terima. (Baca juga: Kode Etik Wartawan)
Misalnya saja ketika kita sedang berjalan dan menemukan ada bendera kuning
terpasang di depan sebuah gang, kita akan menafsirkan keadaan tersebut bahwa ada
orang yang meninggal. Mengapa? Karena bendera kuning sudah menjadi tanda yang
diketahui umum bahwa ada orang yang meninggal, tanpa kita diberitahu secara lisan
ataupun tulisan. (Baca juga: Pengantar Ilmu Komunikasi)
Dalam hal ini, bendera kuning adalah signifier dan orang meninggal
adalah signified. Kita melihat bendera kuning yang berupa visual dan ditangkap oleh
mata, dan penafsiran ada orang meninggal adalah pemaknaan yang kita kaitkan ketika
melihat bendera kuning. Bendera kuning dan orang meninggal berkombinasi menjadi
sebuah sign yang kita tangkap dan persepsikan maknanya. (Baca juga: Pengertian
Jurnalistik Menurut Para Ahli)
 Sign bagian dari sistem
Kapan pertama kali Anda mengetahui bahwa bendera kuning adalah tanda bahwa ada
orang yang meninggal? Anda mungkin sudah mengetahui hal tersebut dari kecil, baik
dari orangtua, kerabat, guru, teman, atau orang-orang lain yang berada di dekat Anda.
Hal ini menunjukkan bahwa sign tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari sistem
yang terus terpelihara dan diturunkan dari generasi ke generasi. (Baca juga: Paradigma
Komunikasi)
Karena kita tahu bahwa bendera kuning adalah tanda untuk orang meninggal, kita tidak
sembarangan menggunakan bendera itu dalam acara lain seperti karnaval atau
perayaan. Dan karena sistem yang mempertahankan sign akan makna dari bendera
kuning, kita akan bertindak menyesuaikan keadaan.
Mungkin Anda pernah sedang berjalan dan mengobrol bersama teman dengan sedikit
bercanda, namun ketika melewati jalan yang dipasang bendera kuning; Anda dan
teman otomatis menghentikan candaan dan berbicara lebih pelan. (Baca
juga: Komunikasi Sosial)
Hal ini karena Anda dan teman Anda tahu betul apa makna dari tanda bendera kuning
yang dipasang, dan meskipun tidak mengenal pribadi, Anda dan teman Anda secara
tidak langsung menyampaikan belasungkawa dan menghormati keadaan. Sign yang
merupakan bagian dari sistem ini membuat manusia bertindak sesuai dengan apa yang
diekspektasikan, atau dimaknai. (Baca juga: Teori Dramaturgi)
Sifat Sign
Selain prinsip dasar, sign juga memiliki beberapa sifat yang perlu diketahui, yaitu:
 Sign bukan sesuatu yang mutlak
Meski memiliki makna tertentu, sign bukanlah sesuatu yang mutlak dan memiliki arti
yang selamanya seperti itu. Seiring dengan berjalannya waktu, sign tertentu dapat saja
berubah. Misalnya saja makna pita kuning.
Di jaman dulu, pita kuning memiliki makna pemberian maaf. Namun sekarang, pita
kuning digunakan sebagai tanda kehormatan. Hal ini menunjukkan bahwa sign tidak
pasti memiliki arti yang paten dan konstan.
 Sign memiliki makna konotatif dan denotatif
Saat mendengar kata tanda atau sign, mungkin kita akan langsung terlintas akan
makna tertentu yang ada di baliknya, maknya yang tidak sama dengan yang terlihat
atau makna konotatif. Namun tidak semua sign bermakna konotatif, karena sign dapat
juga memiliki makna denotatif.
Makna denotatif dalam sign berarti berarti makna yang sebenarnya dan sama dengan
apa yang terlihat atau makna yang rasional dan logis. Sedangkan makna konotatif
dari sign adalah sesuatu yang cenderung bersifat implisit, memilki makna yang irasional
dan berbeda dengan apa yang ditangkap. (Baca juga: Teori Fenomenologi)
 Sign dapat mengalami pergeseran makna
Seperti yang diulas sebelumnya, sign dapat saja berubah makna dan memiliki dua jenis
makna yaitu konotatif serta denotatif. Para ahli menyatakan bahwa seiring dengan
berjalannya waktu, terjadi pegeseran makna sign dari denotatif ke konotatif.
Hal ini mengacu pada fenomena bahwa makna konotatif lebih dipakai dan diterapkan
untuk memahami suatu fenomena dalam sosial masyarakat. Masyarakat kini melihat
suatu fenomena bukan dengan apa yang terlihat, namun justru melihat hal lain dari
fenomena tersebut.
Model dan Jenis Sign
Setelah memahami mengenai prinsip dan sifat sign, kita akan mengulas mengenai
model dan jenis sign yang terbentuk dari model tersebut. Model sign ini dibuat oleh
salah seorang ilmuwan bidang Semiotika selain Barthes, yaitu Charles Sanders Pierce.
Pierce membentuk model yang menjelaskan unsur-unsur dalam sign yang disebut
dengan triadic model atau model segitiga sign. Triadic model terdiri dari:
1. Object, yaitu sesuatu yang dimaksudkan atau dituju oleh sign. Object biasanya
berupa benda fisik, namun bisa juga tindakan atau ide. (Baca juga: Literasi
Media)
2. Representament (sign vehicle), yaitu signifier atau bentuk fisik dari sign yang kita
terima melalui panca indera dan kita lihat bentuk sebenarnya. (Baca
juga: Komunikasi Politik)
3. Interpretant, yaitu signified atau makna yang kita buat untuk signifier atau hal
yang kita terima. (Baca juga: Teori Spiral Keheningan)
Berdasarkan hubungan unsur-unsur dalam triadic model tersebut, Pierce kemudian
membagi sign menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Symbolic sign, yang menunjukkan bahwa tidak ada kesamaan antara objek
dengan apa yang dimaksud (signifier dan signified). Hal ini berarti kesatuan
diantara tiga hal tersebut masih tidak jelas dan harus dipelajari lebih mendalam
lagi untuk mengetahuinya. (baca juga: Pengaruh Media Sosial )
2. Iconic sign, yang menunjukkan adanya kesamaan dan kesinambungan antara
objek dengan apa yang dimaksud (signifier dan signified). Antara objek dengan
apa yang dimaksud dapat dengan jelas terlihat, terdengar, tercium, atau terasa
mirip satu sama lain. (baca juga: Jenis – Jenis Interaksi Sosial)
3. Indexial sign, yang menghubungkan semua unsur tersebut secara tempat,
waktu, atau dengan hubungan sebab-akibat. (Baca juga: Teori Agenda Setting)
Demikian pembahasan mengenai teori semiotika komunikasi dari Roland Barthes dan
beberapa ilmuwan bidang Ilmu Komunikasi lainnya. Semoga pembahasan ini dapat
berguna bagi Anda yang mencari informasi mengenai semiotika dan tanda
atau sign, berikut prinsip dasar, sifat, model, dan jenisnya.
Jenis-jenis Penelitian
Penelitian bisa diklasifikasikan menurut aneka macam segi atau sudut pandang, antara
lain adalah :
1. dari pendekatan analisisnya
berdasarkan sudut pandang ini, penelitian bisa dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
– Penelitian Kuantitatif, yaitu suatu penelitian yang didalamnya menggunakan metode
statistik pada setiap menganalisa data-data numeric. Penelitian
ini umumnya menggunakan sample pada jumlah yg akbar. Dimana
nanti hasil yg didapat asal penelitian ini akan bisa disparitas yg cukup signifikan antara
variabel-variabel yang diteliti.
– Penelitian kualitatif, yaitu suatu penelitian yang didalamnya
menggunalkan nalar ilmiah dalam setiap menganalisa setiap proses
penyimpulan kenyataan yang diamati. dalam penelitian ini
hanya memakai sample dalam jumlah yang mungil.

2. dari kedalaman analisisnya
sesuai sudut pandang ini, penelitian bisa dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu :
– Penelitian naratif, yaitu Penelitian yang melakukan
analisis menggunakan menyajikan liputan–fakta yg sistematik sebagai
akibatnya lebih mudah dalam proses pemahaman serta penyimpulannya.
– Penelitian inferential, yaitu penelitian yang memakai pengujian hipotesis pada setiap
analisis korelasi antar variabelnya.
6 macam-macam metode analisis data yang penting & perlu diketahui
Masa kini telah menuntun arus dan sumber informasi menjadi lebih dinamis berkat
pertumbuhan tinggi di dunia penambangan data. Penambangan atau pengumpulan
data tentu saja terkait dengan macam-macam metode analisis data, serta teknik
hingga alat yang dapat digunakan untuk meningkatkan riset data.
Metode analisis data memang beragam dan bermacam-macam, namun tidak bisa
digunakan sembarangan. Metode analisis data yang digunakan harus berdasarkan
dengan tipe data yang telah kamu kumpulkan.  Tipe data sendiri umumnya dibagi
menjadi dua jenis yaitu data kuantitatif dan data kualitatif.
Data kuantitatif biasanya berupa data yang berhubungan dengan angka atau kuantitas,
sedangkan data kualitatif berupa data yang lebih subyektif karena berasal dari jawaban
informasi survei atau wawancara. Berikut ini adalah macam-macam metode analisis
data yang dapat digunakan dalam mempermudahmu untuk mengolah kedua data.
Metode analisis data kuantitatif
Metode analisis data kuantitatif bergantung pada kemampuan untuk dapat menghitung
secara akurat. Tidak hanya itu, metode ini juga memerlukan kemampuan untuk
menginterpretasikan data yang sulit.  
Beberapa metode analisis data yang dapat digunakan untuk jenis data ini adalah
sebagai berikut. 
1. Analisis deskriptif
Analisis deskriptif dapat digunakan untuk mengolah data kuantitatif. Cara ini dulakukan
untuk melihat performa data di masa lalu agar dapat mengambil kesimpulan dari hal
tersebut. Metode ini mengedepankan deskripsi yag memungkinkan kamu untuk
belajar dari hal lalu.
Biasanya, metode analisis jenis ini diaplikasikan pada data dengan volume yang sangat
besar seperti data sensus misalnya.
 Analisis deskriptif memiliki dua proses yang berbeda di dalamnya berupa deskripsi dan
interpretasi. Jenis metode ini biasa digunakan dalam menyajikan data statistik.
2. Analisis regresi
Metode regresi adalah cara yang tepat untuk digunakan dalam membuat data prediksi
dari tren masa depan. Metode ini dapat mengukur hubungan antara variabel dependen
yang ingin kamu ukur dengan variabel independen. 
Meskipun cara ini membatasi kamu karena hanya dapat memuat satu variabel
dependen, tetapi kamu dapat memiliki variabel independen yang tidak terbatas.
Metode ini baik dalam membantumu melihat hal yang dapat dioptimasi dengan
menyoroti tren dan hubungan antar data faktor.
3. Analisis faktor 
Analisis faktor merupakan teknik analisis yang berdasarkan dari data analisis regresi.
Metode ini digunakan untuk menemukan struktur pokok dari kumpulan variabel-
variabel. 
Metode ini berjalan dengan mencari faktor independen dari variabel yang dapat
mendeskripsikan pola dan metode dari variabel dependen orisinil.
Analisis faktor menjadi metode yang cukup ppuler untuk mengola topik kompleks
seperti skala psikologis dan status sosio-ekonomi.
Metode analisis data kualitatif
Tidak seperti data kuantitatif, data kualitatif memerlukan pendekatan dari data yang
sifatnya lebih subyektif. Namun, kamu tetap dapat melakukan ekstraksi data berguna
dengan teknik analisis data yang berbeda-beda tergantung kebutuhan. 
Beberapa metode analisis yang dapat memenuhi kebutuhan data kualitatifmu adalah
sebagai berikut. 
1. Analisis konten 
Metode ini membantu untuk memahami keseluruhan tema yang ada di dalam data
kualitatif yang kamu miliki.
Metode ini menggunakan teknik seperti penggunaan kode warna tema dan ide tertentu
untuk membantu mengurai data tekstual yang ada agar dapat menemukan rangkaian
data yang paling umum.
2. Analisis naratif 
Jenis analisis satu ini berfokus pada cara bagaimana sebuah cerita dan ide
dikomunikasikan ke seluruh bagian terkait. Metode ini juga membantumu untuk dapat
lebih memahami kultur dari sebuah organisasi.
Analisis jenis ini dapat digunakan untuk menginterpretassi bagaimana perasaan
karyawan terhadap pekerjaannya, bagaimana pelanggan menilai perusahaan kamu,
dan bagaimana proses operasional dikerjakan.
Metode ini sanat berguna dalam mengembangkan kultur perusahaan ataupun
membantu merencanakan strategi pemasaran. 
3. Analisis wacana
Macam-macam metode analisis data selanjutnya yakni analisis wacana. Sama seperti
analisis naratif, analisis wacana juga digunakan untuk menganalisis interaksi dengan
orang-orang.
Tapi, analisis ini berfokus pada konteks sosial dimana terjadi komunikasi antara peneliti
dan responden terjadi. 
Nantinya analisis wacana juga akan melihat bagaimana lingkungan responden sehari-
hari dan menggunakan informasi itu selama analisis terjadi. 
https://shindohjourney.wordpress.com/seputar-kuliah/metodelogi-penelitian-
komunikasi-analisis-isi-wacana-semiotika-framing-kebijakan-redaksional-dan-
analisis-korelasional/
metodelogi penelitian komunikasi (analisis isi, wacana, semiotika, framing,
kebijakan redaksional, dan analisis korelasional)
Analisis Isi
Analisis isi (Content Analysis) adalah tekhnik penelitian untuk membuat inferensi –
inferensi yang dapat ditiru (replicable), dan sahih data dengan memperhatikan
konteksnya. Analisis isi berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi. Logika
dasar dalam komunikasi, bahwa setiap komunikasi selalu berisi pesan dalam sinyal
komunikasinya itu, baik berupa verbal maupun nonverbal. Sejauh ini, makna
komuniaksi menjadi amat dominan dalam setiap peristiwa komunikasi.
Sebenarnya analisis isi komunikasi amat tua umurnya, setua umur manusia. Namun,
panggunaan teknik ini diintoduksikan di bawah nama analisis isi (content analysis)
dalam metode penelitian tidak setua umur penggunaan istilah tersebut. Tuanya umur
penggunaan analisis isi dalam praktik kehiudupan menusia terjadi karena sejak ada
manusia di dunia, manusia saling menganalisis makna komunikasi yang dilakukan
antara satu dengan lainnya. Gagasan untuk menjadikan analisis isi sebagai teknik
penelitian justru muncul dari orang seperti Bernard Berelson (1959). Ia telah menaruh
banyak perhatian pada analisis isi.
Berelson mendefinisikan analisis isi dengan: content anlysis is a research technique for
the objective, systematic, and quantitative description of the manifest content of
communication. Tekanan Berelson adalah menjadikan analisis isi sebagai teknik
penelitian yang objektif, sistematis, dan deskripsi kuantitatif dari apa yang tampak
dalam komunikasi. Kendatipun banyak kritik yang dapat kita sampaikan pada definisi
Berlson sehubungan perkembangan analisis isi sampai hari ini, namun catatan
mengenai objektif dan sistematik dalam menganalisis isi komunikasi yang tampak
dalam komunikasi, menjadi amat penting utnuk dibicarakan saat ini.
Analisis isi dapat di pergunakan pada teknik kuantitatif maupun kualitatif, tergantung
pada sisi mana peneliti memanfaatkannya. Dalam penelitian kualitatif, Analisis Isi
ditekankan pada bagaimana peneliti melihat keajekan isi komunikasi secara kualitatif,
pada bagaimana peneliti memaknakan isi komunikasi, membaca simbol-simbol,
memaknakan isi interaksi simbolis yang terjadi dalam komunikasi.
Karya-karya besar dalam penelitian kualitatif tentang penggunaan analisis isi seperti
yang dilakukan oleh Max Weber dalam bukunya The proestant ethic dan the spirit of
capitalism. Dalam karya ini Max Weber berusaha menentukan apa yang di maknakan
dengan “Spirit of capitalism” terutapa dari apa yang di tulis oleh Benyamin Franklik.
Namun, Weber lebih banyak bertitik tolak dari kasus-kasus konkret yang bertujuan
untuk menciptakan tipe-tipe ideal (ideal types) dari sekadar menghasilkan suatu
deskripsi objektif dan sistematis dari tulisan Franklin. Jadi, dalam menyifatkan
“Protestan ethic dan spirit of capitalism”, maka Weber mengkaji isi tulisan Franklin
secara ideal. Hal ini dilakukan dengan sengaja karena Weber tidak percaya bahwa
realitas historis adalah seperti yang dideskripsikan dalam tipe-tipe ideal yang
diciptakan, seperti ascetism, rational organization of labour, dan lainnya.
Selain itu penggunaan analisis isi tidak berbeda dengan penelitian kualitatif lainnya.
Hanya saja, karena teknik ini dapat digunakan pada pendekatan yang berbeda (baik
kuantitatif maupun kualitatif), maka penggunaan analisis isi tergantung pada kedua
pendekatan itu. Penggunaan analisis isi untuk penelitian kualitatif tidak jauh berbeda
dengan pendekatan lainnya. Awal mula harus ada fenomena komunikasi yang dapat
diamati, dalam arti bahwa peneliti harus lebih dulu dapat merumuskan dengan tepat
apa yang ingin diteliti dan semua tindkan harus didasarkan pada tujuan tersebut.
Langkah berikutnya adalah memilih unit analisis yang akan di uji, memilih objek
penelitian yang menjadi sasaran analisis. Kalau objek penelitan berhubungan dengan
data-data verbal (hal ini umumnya ditemukan dalam analisis isi), maka perlu disebutkan
tempat, tanggal, dan alat komunikasi yang bersangkutan. Namun, kalau objek
penelitian berhubungan dengan pesan-pesan dalam suatu media, perlu di lakukan
identifikasi terhadap pesan dan media yang mengantarkan pesan itu.
Penggunaan analisis isi dapat dilakukan sebagaimana pual W.Missing melakukan studi
tentang “The Voice of America”. Analisis isi didahului dengan melakukan coding
terhadap istilah-istilah atau penggunaan kata dan kalimat yang relevan, yang paling
banyak muncul dalam media komunikasi. Dalam hal pemberian coding, perlu juga di
catat konteks mana istilah itu muncul. Kemudian, dilakukan klasifikasi terhadap coding
yang telah dilakukan. Klasifikasi dilakukan dengan melihat sejauh mana satauan makna
berbungan dengan tujuan penelitian. Klasifikasi ini dimaksudkan untuk membangun
kategori dari setiap klasifikasi. Kemudian, satuan makna dan kategori dianalisis dan di
cari hubungan satu dengan lainnya untuk menemukan makna, arti, dan tujuan isi
komunikasi itu. Hasil analisis ini kemudian dideskripsikan dalam bentuk draf laporan
penelitian sebagaimana umumnya laporan penelitian.
Beberapa Bentuk Klasifikasi
Ada beberapa bentuk klasifikasi dalam analisis isi. Janis menjelaskan klasifikasi
sebagai berikut:
1. Analisis isi pragmatis, dimana klasifikasi dilakukan terhadap tanda menurut
sebab akibatnya yang mungkin. Misalnya, berapa kali suatu kata diucapkan yang
dapat mengakibatkan munculnya sikap suka terhadap produk sikat gigi A.
2. Analisis isi semantik, di lakukan untuk mengklasifikasikan: tanda menurut
maknanya. Analisis ini terdiri dari tiga jenis sebagai berikut:
1. Analisis penunjukan (designation), menggambarkan frekuensi seberapa sering
objek tertentu (orang, benda, kelompok, atau konsep) dirujuk.
2. Analisis penyifatan (attributions), menggambarkan frekuensi seberapa sering
karakterisasi dirujuk (misalnya referensi kepada ketidakjujuran, kenakalan,
penipuan, dan sebagainya).
3. Analisis pernyataan (assertions), menggambarkan frekuensi seberapa sering
objek tertentu dikarakteristikkan secara khusus. Analisis ini secara kasar di sebut
analisis tematik. Contohnya, referensi terhadap perilaku nyontek di kalangan
mahasiswa sebagai maling, pembohong dan sebagainya
1. Analisis sarana tanda (sign-vechile), dilakukan untuk mengklasifikasi isi pesan
melalui sifat psikofisik dari tanda, misalnya berapa kali kata cantik muncul, kata
seks muncul.
Dalam penelitian kualitatif, penggunaan analisis isi lebih banyak ditekankan pada
bagaimana simbol-simbol yang ada pada komunikasi itu terbaca dalam interaksi sosial,
dan bagimana simbol-simbol itu terbaca dan dianalisis oleh peneliti. Dan sebagaimana
penelitian kualitatif lainnya, kredebilitas peneliti menjadi amat penting. Analisis isi
memerlukan peneliti yang mampu menggunakan ketajaman analisisnya untuk merajut
fenomena isi komunikasi menjadi fenomena sosial yang terbaca oleh orang pada
umumnya.
Dapat dipahami bahwa makna simbol dan interaksi amat majemuk sehingga penafsiran
ganda terhadap objek simbol tunggal umumnya menjadi fenomena umum dalam
penelitian sosial. Oleh karena itu , analisis isi menjadi tantangan sangat besar bagi
peneliti itu sendiri. Oleh karena itu, pemahaman dasar terhadap kultur dimana
komunikasi itu terjadi amat penting. Kultur ini menjadi muara yang luas terhadap
berbagai macam bentuk komunikasi di masyarakat.
Pada penelitian kualitatif, terutama dalam strategi verifikasi kualiatif, teknik analisis data
ini diangap sebagai teknik analisis data yang sering digunakan. Namun selain itu pula,
teknik analisis ini dipandang sebagai teknik analisis data yang paling umum. Artinya,
teknik ini adalah yang paling abstrak untuk menganalisis data-data kualitatif. Content
analysis berangkat dari anggapan dasar dari ilmu-ilmu sosial bahwa studi tentang
proses dan isi komunikasi adalah dasar dari studi-studi ilmu sosial. Deskripsi yang
diberikan para ahli sejak janis (1949), Berelson (1952) sampai Lindzey dan Aronso
(1968) tentang Content Anlysis, selalu menampilkan tiga syarat, yaitu: objektivitas,
pendekatan sistematis, dan generalisasi.
Analisis isi sering digunakan dalam analisis-analisis verifikasi. Cara kerja atau logika
analisis data ini sesungguhnya sama dengan kebanyakan analisis data kuantitatif.
Peneliti memulai analisisnya dengan menggunakan lambang-lambang tertentu,
mengklasifikasikan data tersebut dengan kriteria-kriteria tertentu serta melakukan
prediksi dengan teknik analisis yang tertentu pula. Secara lebih jelas, alur analisis
dengan menggunakan Teknik Content Analysis.
Analisis Wacana
Analisis wacana adalah analisis isi yang lebih bersifat kualitatif dan dapat menjadi salah
satu alternatif untuk melengkapi dan menutupi kelemahan dari analisis isi kuantitatif
yang selama ini banyak digunakan oleh para peneliti. Jika pada analisis kuantitatif,
pertanyaan lebih ditekankan untuk menjawab “apa” (what) dari pesan atau teks
komunikasi, pada analisis wacana lebih difokuskan untuk melihat pada “bagaimana”
(how), yaitu bagaimana isi teks berita dan juga bagaimana pesan itu disampaikan.
Analisis wacana merupakan suatu kajian yang digunakan secara ilmiah, baik dalam
bentuk tulis maupun lisan. Penggunaan bahasa secara alamiah ini berarti penggunaan
bahasa seperti dalam komunikasi sehari-hari. Stubbs menjelaskan bahwa analisis
wacana menekankan kajian penggunaan bahasa dalam konteks sosial, khususnya
dalam interaksi antar penutur. Senada dengan itu, cocok dalam hal ini menyatakan
bahwa analisis wacana itu merupakan kajian yang membahas tentang wacana,
sedangkan wacana itu adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi.
Menurut Stubbs (Arifin,2000:8).
Analisis wacana dalam Sobur ( 2006:48) adalah studi tentang struktur pesan pada
dalam komunikasi. Lebih tepatnya lagi, telaah mengenai aneka fungsi (prakmatik)
bahasa. Kajian tentang pembahasaan realitas dalam sebuah pesan tidak hanya apa
yang tampak dalam teks atau tuklisan, situasi dan kondisi (konteks) seperti apa bahasa
tersebut diujarkan akan membedakan makna subyektif atau makna dalam perspektif
mereka.
Crigler (1996) dalam Sobur (2006 : 72) mengemukakan bahwa analisis wacana
termasuk dalam pendekatan konstruktionis. Ada dua karakteristik penting dari
pendekatan konstruksionis yaitu :
1. Pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses
bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas politik.
2. Pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai suatu
proses yang terus menerus dan dinamis. Dari sisi sumber (komunikator),
pendekatan konstruksionis memeriksa pembentukan bagaimana pesan
ditampilkan, dan dari sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi individu
ketika menerima pesan.
Kembali pada anilsa wacana yang sesungguhnya berusaha memahami bagaimana
realitas dibingkai, direproduksi dan didistribusikan ke khalayak. Analisis ini bekerja
menggali praktek-praktek bahasa di balik teks untuk menemukan posisi ideologis dari
narasi dan menghubungkannya dengan struktur yang lebih luas. Dengan demikian
analisis wacana merupakan salah satu model analisa kritis yang memperkaya
pandangan khalayak bahwa ada keterkaitan antara produk media, ekonomi dan politik.
Keterkaitan ini dapat dimunculkan pada saat analisis wacana bergerak menuju
pertanyaan bagaimana bahasa bekerja dalam sebuah konteks dan mengapa bahasa
digunakan dalam sebuah konteks dan bukan untuk konteks yang lain.
Pada dasarnya ada beberapa perbedaan mendasar antara analisis wacana dengan
analisis isi yang bersifat kuantitatif adalah sebagai berikut. Analisis wacana lebih
bersifat kualitatif daripada yang umum dilakukan dalam analisis isi kuantitatif karena
analisis wacana lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada penjumlahan unit
kategori, seperti dalam analisis isi. Analisis isi kuantitatif digunakan untuk membedah
muatan teks komunikasi yang bersifat manifest (nyata), sedangkan analisis wacana
justru memfokuskan pada pesan yang bersifat latent (tersembunyi).
Analisis isi kuantitatif hanya dapat mempertimbangkan “apa yang dikatakan” (what),
tetapi tidak dapat menyelidiki bagaimana ia dikatakan (how). Analisis wacana tidak
berpretensi melakukan generalisasi, sedangkan analisis isi kuantitatif memang
diarahkan untuk membuat generalisasi.
Analisis Semiotik (Semiotic Analysis)
Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari sederetan luas
objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Menurut Eco,
semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang berhubungan dengannya cara
berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh
mereka yang mempergunakannya. Menurut Eco, ada sembilan belas bidang yang bisa
dipertimbangkan sebagai bahan kajian untuk semiotik, yaitu semiotik binatang, semiotik
tanda-tanda bauan, komunikasi rabaan, kode-kode cecapan, paralinguistik, semiotik
medis, kinesik dan proksemik, kode-kode musik, bahasa yang diformalkan, bahasa
tertulis, alfabet tak dikenal, kode rahasia, bahasa alam, komunikasi visual, sistem objek,
dan sebagainya Semiotika di bidang komunikasi pun juga tidak terbatas, misalnya saja
bisa mengambil objek penelitian, seperti pemberitaan di media massa, komunikasi
periklanan, tanda-tanda nonverbal, film, komik kartun, dan sastra sampai kepada musik.
Berkenaan dengan hal tersebut, analisis semiotik merupakan upaya untuk mempelajari
linguistik-bahasa dan lebih luas dari hal tersebut adalah semua perilaku manusia yang
membawa makna atau fungsi sebagai tanda. Bahasa merupakan bagian linguistik, dan
linguistik merupakan bagian dari obyek yang dikaji dalam semiologi. Selain bahasa
yang merupakan representasi terhadap obyek tertentu, pemikiran tertentu atau makna
tertentu, obyek semiotika juga mempelajari pada masalah-masalah non linguistik.
Salah seorang sarjana yang secara konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah
RolandBarthes (1915 – 1980). Ia menerapkan model Ferdinand De Saussure dalam
penelitiannya tentang karya -karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode
pakaian. Bagi Barthes komponen – komponen tanda penanda – petanda terdapat juga
pada tanda -tanda bukan bahasa antara lainterdapat pada bentuk mite yakni
keseluruhan si stem citra dan kepercayaan yang dibentukmasyarakat untuk memp-
ertahankan dan menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988).
Selanjutnya Barthes (1957 dalam de Saussure) menggunakan
teori signifiant – signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabaha sa dan
konotasi. Istilah signifiant menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi isi (C). Namun
Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) ter-tentu, sehingga
membentuk tanda ( sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori tentang tanda lebih
mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh pemakai tanda.
Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan membentuk tanda baru, sehingga
ada lebih dari satu dengan isi yang sama. Pengem-bangan ini disebut sebagai gejala
meta -bahasa dan membentuk apa yang disebut kesinoniman (synonymy). Setiap tanda
selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah denotasi dan
oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian pengembangan -nya disebut sistem
sekunder. Sistem sekunder ke arah ekspresi dise but metabahasa. Sistem sekunder ke
arah isi disebut konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini
tentunya didasari tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham
pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya.
Macam-macam Semiotik
Hingga saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang kita kenal
sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik ini antara lain semiotik
analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif, natural, normatif, sosial,
struktural.
1. Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce
mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya menjadi
ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang, sedangkan makna
adalah beban yang terdapat dalam lambang yang mengacu pada obyek tertentu.
2. Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang
dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap seperti
yang disaksikan sekarang.
3. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan semiotik yang khusus memper hatikan
sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik
yang khusus menelaah system tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat.
4. Semiotik naratif adalah semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi
yang berwujud mitos dan c erita lisan (folklore).
5. Semiotik natural atau semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh alam. Semiotik normative merupakan semiotik yang khusus
membahas sistem tanda yang dibuat oleh manusia yang berwujud norma-norma.
6. Semiotik sosial merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem tanda yang
dihasilkan oleh manusia yang berwujud lambang, baik lambang kata maupun
lambing rangkaian kata berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang
khusus menelaah system tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
Analisis Framing
Analisa Framing adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui bagaimana realitas
(aktor, kelompok, atau apa saja) dikonstruksi oleh media (Eriyanto, 2005, p.3). Analisa
framing memiliki dua konsep yakni konsep pskiologis dan sosiologis. Konsep psikologis
lebih menekankan pada bagaimana seseorang memproses informasi pada dirinya
sedangkan konsep sosiologis lebih melihat pada bagaimana konstruksi sosial atas
realitas.  Analisis Framing sendiri juga merupakan bagian dari analisis isi yang
melakukan penilaian tentang wacana persaingan antar kelompok yang muncul atau
tampak di media.
Analisis Framing juga dikenal sebagai konsep bingkai, yaitu gagasan sentral yang
terorganisasi, dan dapat dianalisis melalui dua turunannya, yaitu simbol berupa framing
device dan reasoning device. Framing device menunjuk pada penyebutan istilah
tertentu yang menunjukkan “julukan” pada satu wacana, sedangkan reasoning device
menunjuk pada analisis sebab-akibat. Di dalamnya terdapat beberapa ‘turunan’, yaitu
metafora, perumpamaan atau pengandaian. Catchphrases merupakan slogan-slogan
yang harus dikerjakan. Exemplar mengaitkan bingkai dengan contoh, teori atau
pengalaman masa silam. Depiction adalah “musuh yang harus dilawan bersama”, dan
visual image adalah gambar-gambar yang mendukung bingkai secara keseluruhan.
Pada instrumen penalaran, Roots memperlihatkan analisis sebab-akibat, Appeals to
principles merupakan premis atau klaim moral, dan Consequences merupakan
kesimpulan logika penalaran.
Teknik Framing Dan Konsep Model Zhondhang Pan Dan Gerald M Kosicki
Menurut Etnman, framing berita dapat dilakukan dengan empat teknik, yakni
pertama, problem identifications yaitu peristiwa dilihat sebagai apa dan nilai positif atau
negatif apa, causal interpretations yaitu identifikasi penyebab masalah siapa yang
dianggap penyebab masalah, treatmen rekomnedations yaitu menawarkan suatu cara
penanggulangan masalah dan kadang memprediksikan penanggulannya, moral
evaluations yaitu evaluasi moral penilaian atas penyebab masalah.
Ada dua konsep framing yang saling berkaitan, yaitu konsep psikologis dan konsep
sosiologis yaitu :
1. Dalam konsep psikologis, framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam
suatu konteks khusus dan menempatkan elemen tertentu dari suatu isu dengan
penempatan lebih menonjol dalam kognisi seseorang. Elemen-elemen yang
diseleksi itu menjadi lebih penting dalam mempengaruhi pertimbangan
seseorang saat membuat keputusan tentang realitas.
2. Sedangkan konsep sosiologis framing dipahami sebagai proses bagaimana
seseorang mengklasifikasikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan
pengalaman sosialnya untuk mengerti dirinya dan realitas diluar dirinya Dalam
Zhondhang Pan Dan Gerald M Kosicki, kedua konsep tersebut diintegrasikan.
Secara umkum konsepsi psikologis melihat frame sebagai persoalan internal pikiran
seseorang, dan konsepsi sosiologis melihat frame dari sisi lingkungan sosial yang
dikontruksi seseorang.  Dalam model ini, perangkat framing yang digunakan dibagi
dalam empat struktur besar, yaitu sintaksis (penyusunan peristiwa dalam bentuk
susunan umum berita), struktur skrip (bagaimana wartawan menceritakan peristiwa ke
dalam berita), struktur tematik (bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya
atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat, atau antar hubungan hubungan kalimat yang
memberntuk teks secara keseluruhan), dan struktur retoris (bagaimana menekankan
arti tententu dalam berita)
Analisa Kebijakan Redaktur
Kebijakan sendiri merujuk pada tiga hal yakni sudut pandang (point of view); rangkaian
tindakan (series of actions) dan peraturan (regulations). Ketiga hal tersebut menjadi
pedoman bagi para pengambil keputusan untuk menjalankan sebuah kebijakan. Dan
seorang Redaktur merupakan suatu pimpinan sekaligus penanggung jawab dalam
suatu media. Oleh karenanya Analisa Kebijakan Redaktur merupakan suatu proses
analisa mengenai kebijakan redaktur dalam proses penerbitan suatu media.
Dalam proses analisa kebijakan, terdapat dua pendekatan yaitu:
1. Analisis proses kebijakan (analysis of policy process), dimana dalam pendekatan
ini, analisis dilakukan atas proses perumusan, penentuan agenda, pengambilan
keputusan, adopsi, implementasi dan evaluasi dalam proses kebijakan. Jika
dilihat dari item analisisnya, pendekatan ini lebih melihat kandungan (content)
sebuah proses kebijakan.
2. Analisis dalam dan untuk proses kebijakan (analysis in and for policy process),
dimana dalam pendekatan ini, analisis dilakukan atas teknik analisis, riset,
advokasi dalam sebuah proses kebijakan. Nampaknya, pendekatan ini
cenderung melihat prosedur proses kebijakan. Hasil analisis kebijakan adalah
informasi yang relevan bagi pihak-pihak yang akan melaksanakan kebijakan.
Analisis bisa dilakukan pada semua tahap proses kebijakan Analisis pada tahap
selanjutnya mencakup interpretasi dan sosialisasi kebijakan, merencanakan
serta menyusun kegiatan implementasi kebijakan. Hasil analisis pada tahap ini
adalah aksi kebijakan (policy action).
3. Analisis berikutnya adalah evaluasi implementasi kebijakan dengan
memperhatikan tingkat kinerja dan dampak sebuah implementasi kebijakan.
Hasil analisisnya berupa informasi kinerja yang akan menjadi dasar tindakan
apakah kebijakan tersebut akan diteruskan atau sebaliknya.
Tipe Analisis Kebijakan
Tipe analisis kebijakan dikategorikan menjadi dua tipe yaitu:
1. Tipe analisis akademis. Tipe analisis ini berfokus pada hubungan antara faktor
determinan utama dengan isi kebijakan dan berusaha untuk menjelaskan
hakikat, karakteristik dan profil kebijakan dan bersifat komparatif baik dari segi
waktu maupun segi subtansi.
2. Tipe analisis terapan. Tipe analisis ini lebih memfokuskan diri pada hubungan isi
kebijakan dengan dampak kebijakan serta lebih berorientasi pada evaluasi
kebijakan dan bertujuan untuk menemukan alternatif lebih baik dan bisa
menggantikan kebijakan yang sedang dianalisis.
Elemen dalam Kebijakan yang Menjadi target analisis
Terdapat tiga elemen dalam kebijakan yang menjadi target analisis, yakni:
1. faktor determinan utama;
2. isi kebijakan; dan
3. dampak kebijakan baik yang diharapkan maupun yang tidak diharapkan.
Analisa Korelasional
Analisa Korelasional adalah analisa yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara
dua variabel atau lebih. Analisa korelasional/hubungan/assosiasi dapat dikatakan
merupakan pengembangan dari analisa deskriptif (untuk selanjutnya baca : deskriptif-
kuantitatif), kalau dalam penelitia deskriptif kita mengumpulkan data sebanyak-
banyaknya, menyusunya dengan sistematis, kita analisa dengan cermat dan yang
dideskripsikan dalam analisis penelitian adalah variabel-variabel penelitian, situasi dan
kondisi yang melingkupinya. Penelitian korelasional bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan antar gejala (variabel), hubungan tersebut positif atau negatif dan
seberapa erat hubungan antar gejala tersebut.
Misalnya pengusaha ingin mengetahui hubungan antara muatan
informasi (kecukupan/kekurangan informasi) dan kebutuhan akan informasi, Divisi
Humas ingin mengetahui hubungan antara kualitas media (daya tarik untuk dibaca,
sesuai dengan kebutuhan, terpercaya, mudah dipahami, lengkap dan jelas dsb)
dan motif pengunaan media, dosen ingin mengetahui hubungan antara pemberian
tugas dengan prestasi mahasiswa dsb.
Terdapat beberapa perbedaan yang membedakan Analisa Korelasional dan Analisa
Deskriptif yaitu bahwa dalam analisa deskriptif tidak membahas tentang hubungan
antar variabel, sedangkan kalau kita lihat dari jenis datanya sama, yang membedakan
adalah sifat-sifat analisanya, analisa deskripsi mendeskripsikan variabel dan
karakteristik responden, sedangkan analisa korelasional meneliti bagaimana untuk
memperoleh kejelasan ada tidaknya hubungan antar variabel dan karakteristik
responden seperti apa dalam konteks penelitian tersebut. Statistik deskripsi tidak
berupaya adanya generalisasi data sampel terhadap populasi, sedangkan analisis
korelasional selain mendesripsikan data sampel, peneli ingin memperoleh kesimpulan
apakah korelasi (yang sebenarnya data sampel) tersebut juga berlaku pada populasi
(dengan uji signifikansi).
Perbedaan tersebut dapat terlihat dari analisa deskriptif kita mengumpulkan data
sebanyak-banyaknya, menyusunya dengan sistematis, kita analisa dengan cermat dan
yang dideskripsikan dalam analisis penelitian adalah variabel-variabel penelitian, situasi
dan kondisi yang melingkupinya. Analisa korelasional bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya hubungan antar gejala (variabel), hubungan tersebut positif atau negatif dan
seberapa erat hubungan antar gejala tersebut.  Misalnya pengusaha ingin mengetahui
hubungan antara muatan informasi (kecukupan/kekurangan informasi) dan kebutuhan
akan informasi, Divisi Humas ingin mengetahui hubungan antara kualitas media (daya
tarik untuk dibaca, sesuai dengan kebutuhan, terpercaya, mudah dipahami, lengkap
dan jelas dsb) dan motif pengunaan media, dosen ingin mengetahui hubungan
antara pemberian tugas dengan prestasi mahasiswa dsb.
Statistik deskripsi tidak berupaya adanya generalisasi data sampel terhadap populasi,
sedangkan analisis korelasional selain mendesripsikan data sampel, peneli ingin
memperoleh kesimpulan apakah korelasi (yang sebenarnya data sampel) tersebut juga
berlaku pada populasi (dengan uji signifikansi). Penelitian korelasi (secara statistik)
menunjukkan adanya ko-variasi (sebaran data yang sama) antar variabel, apakah
variasi-variasi pada satu faktor berkaitan dengan variasi pada faktor yang lain, yang
mana hubungan tersebut kemungkinan merupakan :
1. “ ko-variasi antar variabel dari penyebab (dependen) yang sama”
2. “ko-variasi antar variabel akibat (independent)” , atau
3. atau mungkin korelasi tersebut sifatnya “hanya kebetulan saja”.  Untuk memperoleh
informasi yang akurat tentang dugaan hubungan antar variabel tersebut dapat
perpedoman pada teori (konsep dan proposisi), model, atau melakukan penelitian
secara intensif dan mendalam.
Penelitian asosiasi atau korelasi sering dikaburkan dengan penelitian/analisis causal
(sebab-akibat), korelasi yang kuat dianggap adanya hubungan sebab-akibat. Hubungan
kausal dapat diinterpretasikan pasti “ada hubungan” yang sifatnya kausalitas, tetapi
kalau “ada hubungan” belum tentu adanya kausalitas. Kita sering terjebak dengan
proses berfikir yang nampaknya logis atau cara berfikir linier, hal inilah yang perlu
dicermati, khususnya dalam perumusan masalah. Jika ada kesalahan dalam
membuat perumusan masalah, alih-alih pertanyaan yang salah tentang obyek yang kita
teliti tidak akan menghasilkan jawaban yang benar.
Sebagai Contoh, pernyataan :
1. Pengaruh “kemampuan membaca” terhadap “lamanya belajar Mahasiswa”
2. Hubungan antara “kemampuan membaca”dengan “lamanya belajar Mahasiswa”
3. Pengaruh “kemampuan membaca” dan “lamanya belajar Mahasiswa” terhadap
“Tingkat Pengetahuan Mahasiswa tentang Metode Penelitian Komunikasi”.
Adanya hubungan antara “kemampuan membaca” dan “lamanya belajar” jangan
diinterpretasikan bahwa “lamanya belajar” disebabkan oleh “kemampuan membaca”.
Atau “Lamanya Belajar” diakibatkan oleh “ Kemampuan membaca”. Mahasiswa yang
“lama belajar” belum tentu atau bukan karena “kemampuan membacanya yang kurang”,
tetapi (diduga) karena akan mengikuti UTS, karena ingin bisa, lagi tertarik dsb.
Bandingkan dengan; Pengaruh “kemampuan membaca” dan “ lamanya belajar”
terhadap “Tingkat Pengetahuan Mahasiswa tentang Metode Penelitian Komunikasi”.
Jika kita perhatikan dengan seksama, dari ketiga pernyataan tersebut yang secara
logika mana yang lebih dapat diterima dan benar. Dengan demikian tipe hubungan
antar variabel dalam penelitian korelasional adalah hubungan simetri, adalah jenis
hubungan antar variabel yang mana suatu variabel yang satu tidak disebabkan oleh
variabel yang lain atau tidak dipengaruhi oleh variabel yang lain.
Hal ini dapat terjadi apabila :
1. Kedua variabel tersebut merupakan dimensi/indikator untuk konsep yang sama,
misalnya : Hubungan antara frekuensi penggunaan media, durasi (lama), pilihan
jenis media dan jenis isi sebagai indikator dari pola penggunaan media dsb.
2. Sebagai akibat dari faktor yang sama, Misalnya; Penguasaan materi, lulus mata
kuliah, IP bagus sebagai akibat yang sama karena rajin membaca/belajar dsb.
3. Berkaitan secara fungsional, apabila keberadaan sesuatu hal diikuti oleh
keberadaan yang lainnya atau sebaliknya. Misalnya : ada mahasiswa ada dosen,
ada asap – ada api, ada pekerja – ada majikan, ada pimpinan – ada bawahan,
dsb.
4. Hubungan yang sifatnya kebetulan saja. Misalnya; hubungan mimpi buruk
dengan kehilangan HP, hubungan berkokok-nya ayam dengan terbitnya
matahari, dsb.
Analisis Data dalam Analisa Korelasional
Dalam melakukan analisis data yang perlu diperhatikan adalah :
1. Masalah dan Tujuan penelitian;
2. Hubungan antar variabel (hipotesis penelitian) yang dalam analisa statistik
sebagai hipotesis statistik (Ho dan H1);
3. Jenis informasi dan jenis data; apakah data yang kita peroleh sebagai data
nominal, ordinal, interval atau rasio;
4. Kesesuaian antara jenis data dengan jenis analisa statistik yang digunakan;
5. Taraf signifikansi (α) atau tingkat kepercayaan (1- α);
6. Berbagai variasi analisis data berdasarkan kebutuhan dsb. Alat analisis korelasi
digunakan untuk mengetahui hubungan dua atau lebih variabel. Korelasi antar
dua variabel disebut korelasi sederhana, dan korelasi lebih dari dua variabel
disebut korelasi berganda (multiple Correlation). Sehingga alat anlisa ada rumus
untuk menghitung korelasi sederhana dan berganda.
Berbagai variasi alat analisa korelasi tergantung dari hubungan antar variabel dan jenis
data, apakah nominal, ordinal atau interval dan tujuan penelitian kita.
Daftar Pustaka:
Al Rasyid, Harun, 2000, Hand out Statistik Sosial, PPS UNPAD, Bandung.
Alex Sobur, Analis is Teks Media…..hal 172
Bungin, Burhan, 2008, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Kencana prenada media group,
hlm. 155 – 156.
Bungin, Burhan, 2008, Penelitian Kualitatif, Jakarta: Kencana prenada media group,
hlm. 156 – 159.
Dajan, Anto, 1996, Pengantar Statistik Jilid I, LP3ES, Jakarta.
Dajan, Anto,1996, Pengantar Statistik Jilid II, LP3ES, Jakarta .
Kriyantono, Rachmat, 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana
prenada media group, hlm.247-251
Rakhmat ,Jalaludin, 1999, Metode Penelitian Komunikasi, Rosdakarya, Bandung .
Sudradjat M,2002, Metode Penarikan Sampel dan Penyusunan Skala, UNPAD
Bandung.
Wimmer D. Roger, 1987, Mass Media Research, Wadsworth Publisher Company,
Belmont, California .
Online :
Perpustakan online Uniersitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Perpustakan online Universitas  Kristen Petra
Perpustakan online Universitas Mercu Buana

Analisis Semiotika, Wacana dan Framing

ANALISIS SEMIOTIKA

            Ilmu yang memperlajari kehidupan tanda-tanda dalam masyarakat dapat


dibbayangkan ada. Ia akan menjadi bagian dari psikologi sosial dan karenanya juga
bagian dari psikologi umum. Saya akan menyebutkan semiologi (dari bahasa
Yunani, semion “tanda”). Semiologi akan menunjukan hal-hal yang membangun tanda-
tanda dan hukum-hukum yang mengaturnya. Ferdinand de Saussure (1857-1913).

 Tradisi semiotika terdiri atas sekumpulan teori tentang bagaimana tanda-tanda


merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi, perasaan, dan kondisi di luar tanda-
tanda itu sendiri.

Konsep Dasar Semiotika

¢  Tanda didefinisikan sebagai stimulus yang menandakan atau menunjukkan beberapa


kondisi lain. Ex: ketika adanya asap menandakan adanya api.

¢  Simbol menandakan tanda yang kompleks dengan banyak arti.

            Semiotika adalah ilmu yang menjawab pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan
X? X dalam semiotika ini dapat berupa apa saja. Bisa kata ataupun isyarat. Saat
mempresentasikan makna (makna-makna) yang dikodifikasi X dengan Y, maka tugas
utama analisis semiotika secara esensial dapat direduksi menjadi upaya untuk
menentukan sifat relasi X = Y.

Contoh Analisis Semiotika:

X = red (merah)

Pada contoh di atas, warna merah merujuk pada jenis warna. Akan tetapi, jika kita
meneliti semiotika, maka X dapat berarti apa saja. Ex: merah lampu lalu lintas. Tanda
red pada lampu lalu lintas di sini menunjukan arti berhenti.

Maka dari contoh di atas X (red) = Y (lampu lalu lintas) menjadi penggambaran dan
penelusuran sifat hubungan keduanya. Merekalah menjadi subjek penelitian semiotika.
Variasi dalam Tradisi Semiotik

¢  Semantik : berbicara bagaimana tanda-tanda berhubungan dengan yang


ditunjuknya / apa yang ditunjukkan oleh tanda-tanda.

¢  Sintatik : melihat kajian hubungan di antara tanda-tanda.

¢  Pragmatik : memperlihtkan bagaimana tanda-tanda membuat perbedaan dalam


kehidupan manusia atau pengunaan praktis serta berbagai akibat dan pengaruh tanda
pada kehidupan sosial.

Tokoh Semiotika:

¢  Santo Agustino (354-430 M)

¢  John Locke (1632-1704)

¢  Ferdinand de Saussure (1857-1913)

¢  Charles Morris (1901-1979)

¢  Roman Jakobson (1896-1982)

¢  Roland Barthes (1915-1980)

¢  Algirdas J. Greimas (1917-1992)

¢  Thomas A. Sebeok (1920-2001)

¢  Umberto Eco (1932-)

ANALISIS WACANA

            Cara tertentu untuk membicarakan dan memahami dunia.

            Analisis yang berhubungan dengan studi mengenai bahasa / pemakaian


bahasa.

            Analisis wacana merupakan analisis yang memfokuskan pada struktur yang
secara alamiah terdapat pada bahasa lisan, sebagaimana banyak terdapat dalam
wacana seperti percakapan, wawancara, komentar, dan ucapan-ucapan. (Crystal:
1987).

            Analisis wacana Sobur ( 2006:48) merupakan studi mengenai struktur pesan


dalam komunikasi. Yakni telaah mengenai aneka fungsi (prakmatik) bahasa. Analisis
wacana  mengkajian tentang pembahasaan realitas dalam sebuah pesan tidak hanya
apa yang tampak dalam teks atau tulisan, situasi dan kondisi (konteks) seperti apa
bahasa tersebut diujarkan akan membedakan makna subyektif atau makna dalam
perspektif mereka.

            Analisis wacana bersifat kualitatif yang menekan pada pemaknaan teks.
            Anilsis wacana berusaha memahami bagaimana realitas dibingkai, direproduksi
dan didistribusikan pada khalayak. Analisis ini bekerja menggali praktek-praktek bahasa
di balik teks untuk menemukan posisi ideologis dari narasi dan menghubungkannya
dengan struktur yang lebih luas. Dengan demikian analisis wacana merupakan salah
satu model analisa kritis yang memperkaya pandangan khalayak bahwa ada
keterkaitan antara produk media, ekonomi dan politik.

            Tiga pandangan mengenai bahasa dalam analisis wacana menurut Mohammad
A. S. Hikam:

1. Positivisme-empiris
2. Konstruktivisme
3. Pandangan kritis

            Positivisme-empiris: penganut aliran ini, bahasa dilihat sebagai jembatan antara
manusia dengan objek di luar dirinya.

            Konstruktivisme: pada aliran ini, bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk
memahami realitas objekbelaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampaian
pernyataan.

            Kritis: pandangan ingin mengoreksi pandangan konstruktivisme yang kurang


sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis
maupun institusional.

ANALISIS FRAMING

            Pelopor pertama Beterson tahun 1955 (Subdibiyo, 1999a:23). Fram dimaknai


sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir
pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori
standar untuk mengapresisasi realitas.

            Dilaanjutkan oleh Goffman pada tahun 1974, yang


mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang
membimbing individu dalam membaca realitas.

            Analisis framing dalam pandangan ilmu komunikasi dipakai untuk membedah
cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis framing mencermati
strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna,
lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring intrepetasi khalayak
sesuai perspektifnya.

            Dengan kata lain, framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana
perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wrtawan ketika menyeleksi isu dan
menulis berita.

Pada prakteknya analisis framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu
dan mengabaikan isu lain; serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan mencolok
(menempatkan di headline, halaman depan, atau bagian belakang), pengulangan,
pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan.

*Penonjolan: membuat sebuah informasi lebih diperhatikan, bermakna, dan berkesan.


Teknik Framing

            Menurut Entman (Qadari, 2000:20), framing dalam berita dilakukan dengan


empat cara, yakni:

1. Identifikasi masalah: peristiwa dilihat sebagai apa dan nilai positif atau negatif.
2. Identifikasi penyebab masalah.
3. Evaluasi moral: penilaian atas penyebab masalah.
4. Saran penanggulangan masalah: menawarkan suatu cara penanganan masalah
dan kadang kala memprediksikan hasilnya.

Anda mungkin juga menyukai