dalam
Sejarah Islam
Dapatkan pula buku ini dalam format E–BOOK
dengan mengakses APLIKASI melalui GOOGLE PLAY STORE.
Bahasa & Kekuasaan
dalam
Sejarah Islam
SEBUAH RISET HISTORIOGRAFI
Penulis:
DR. GREG SOETOMO SJ
Kata Pengantar:
• Karel Steenbrink
• Prof. Dr. Arifin Mansurnoor
OB 40817001
© Greg Soetomo
PENERBIT OBOR
Anggota IKAPI – Ikatan Penerbit Indonesia;
Anggota SEKSAMA – Sekretariat Bersama Penerbit Katolik Indonesia
Jl. Gunung Sahari 91 – Jakarta 10610
• Telp.: (021) 422 2396 (hunting) • Fax.: (021) 421 9054
• E-mail: penerbit@obormedia.com
• Website: www.obormedia.com
_____________
ISBN 978-979-565-802-3
PRAKATA.............................................................................................. ix
KATA PENGANTAR .............................................................................. xv
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN........................................ xxi
Bab I : PENDAHULUAN................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 3
B. Permasalahan.................................................................................. 17
1. Identifikasi Masalah.................................................................. 17
2. Perumusan Masalah.................................................................. 19
3. Pembatasan Masalah: Marshall G.S.
Hodgson dan Michel Foucault.................................................. 20
C. Tujuan Penelitian............................................................................. 21
D. Penelitian Terdahulu yang Relevan................................................ 22
1. Mengambil Inspirasi Hodgson.................................................. 22
2. Membandingkan Hodgson dengan Sejarawan lain................. 25
3. Hodgson dan Kajian Sejarah Islam Global................................ 28
4. Memanfaatkan Teori Hodgson ’Islam sebagai Penghubung’. 31
5. Memperdebatkan Hodgson..................................................... 33
6. Kajian Michel Foucault dan Islam............................................. 34
E. Manfaat dan Signifikansi Penelitian............................................. 37
F. Metodologi Penelitian................................................................... 37
G. Sistematika Penulisan.................................................................... 42
v
B. ’Kekuasaan dan Pengetahuan’ dalam Sejarah Islam................... 65
1. Periode Klasik............................................................................ 66
2. Periode Pertengahan................................................................ 73
3. Periode Modern........................................................................ 78
C. Nalar Berpikir dalam Sejarah Islam .............................................. 84
1. Periode Klasik............................................................................ 86
2. Periode Pertengahan................................................................ 93
3. Periode Modern....................................................................... 99
ix
Pertama, bagaimana Hodgson, dalam posisi strukturalis,
menulis sejarah Islam dengan membangun sistem diskursus
untuk menjelaskan sebuah makna; tetapi pada saat yang sama,
ia dalam posisi poststrukutralis memperlihatkan inkoherensi
dalam sistem diskursus yang ditandai dengan pluralitas makna?
Kedua, bagaimana menjelaskan bahwa struktur sosial dalam
sejarah Islam tidak pernah bisa lepas dari rantai kekuasaan yang
adalah dimensi konstitutif dalam diskursus? Ketiga, bagaimana
membuktikan bahwa setiap era dalam sejarah Islam memiliki
epistemenya masing-masing yang khas dan keanekaragaman
cara berpikir yang mengkerangkakan terbentuknya pernyataan
dan diskursus?
Kesimpulan besar dan temuan Riset: Analisa bahasa dalam
Arkeologi Pengetahuan Michel Foucault menyingkapkan adanya
keanekaragaman dalam struktur pemikiran, ideologi, dan
kerangka berpikir sejarah Islam Marshall G.S. Hodgson (1922–
1968).
Metodologi penelitian ini pada prinsipnya menjelaskan tiga
perspektif pemikiran filsafat Foucault. Pada saat yang sama
tiga pendekatan Hodgson dalam menulis sejarah Islam juga
juga diuraikan. Keduanya, secara metodologis dan substantif,
memiliki titik temu dan titik pisah, yang menjadi bahasan seluruh
kajian riset ini.
Dalam kesempatan ini, saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang
Maha Esa atas segala bimbingan dan kekuatan yang diberikan-
Nya, sehingga Buku yang semula merupakan Disertasi S-3
dengan judul ”Bahasa, Kekuasaan, dan Sejarah. Historiografi
Islam Marshall G.S. Hodgson dalam Perspektif Kajian Michel
Foucault.” menjadi paripurna. Riset ini disusun untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Doktor dengan bidang
konsentrasi Pemikiran Islam di Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Sebuah proses penulisan yang benih-
yang dilanjutkan
(sejak 2015) di bawah pimpinan Prof Dr Masykuri Abdillah
MA, Prof. Dr. Didin Saepuddin MA, dan Dr JM Muslimin MA di
Sekolah ini.
4. Prof. Dr. Azyumardi Azra MA dan Prof. Dr. Iik Arifin M,
pembimbing Disertasi, kepada siapa saya datang berkonsultasi,
berdiskusi, dan berbincang-bincang. Mereka berdua selalu
ramah, penuh senyum, bersedia menerima saya setiap saat.
Terima kasih Pak Azra dan Pak Iik! Perlu saya sebutkan juga
nama-nama yang ikut menyumbangkan gagasan, baik lewat
Prakata – xi
bincang-bincang, proses verifikasi, ujian, dan lainnya: Prof Dr
Masykuri Abdillah MA, Prof. Dr. Didin Saepuddin MA, Prof. Dr.
Sukron Kamil MA, Prof Dr. Zainun Kamaladdin MA, Dr. M. Arief
Mufraini, LC, MSi, Prof. Dr. Budi Sulistiono, Prof. Dr. Amany B.
Umar Lubis, MA, Prof. Dr. M. Sastrapratedja, Suparto, M.Ed,
Ph.D, Dr Ali Munhanif MA, Ismatu Ropi’ Ph.D.
5. Sejak 2013, teman-teman mahasiswa-mahasiswi di Sekolah
ini telah menerima saya ’yang lain dan berbeda’ ini dan
menjadikannya sebagai bagian secara alamiah dalam
komunitas ini. Mereka datang dan pergi selama saya studi di
Sekolah ini. Berbagai kisah, interaksi
Prakata – xiii
KATA PENGANTAR
xv
rikat
xx
K
xxv
Bab I
PENDAHULUAN
.4
Pencarian dan pemetaan pola-pola sejarah dunia membawa
Hodgson menjadi salah seorang dari generasi paling awal yang
1
kritis terhadap kebekuan dan kebuntuan metodologi kerja para
orientalis.5 Ia yakin ada kebutuhan reorientasi mendasar terhadap
cara pandang historis dan geografis para orientalis. Berbagai
data dan fakta digunakan sebagai basis untuk mempertanyakan
keistimewaan dan superioritas Barat. Hodgson menjadi salah
seorang yang pertama kali menjelaskan teori peradaban
menyeluruh dalam kajian sejarah. Teori ini telah membuka
kemungkinan Islam dijelaskan dalam relasinya dengan berbagai
kebudayaan yang lain.6
6
Hodgson menciptakan terminologi Islamicate dan Islamdom dalam The Venture of
Civilization”, 60–62.
Ma
9
10
Hodgson, The Venture of Islam , Vol 1, One:I, ”The World before Islam”, 110.
11
Bab I : Pendahuluan – 3
tulisan lain dari Hodgson ”Introduction to the Study of Islamic
Civilization” yang menjadi pembuka untuk Volume Pertama The
Venture of Islam.12
Di bawah ini akan dibuat uraian ringkas dua hal sebagai
berikut: ’kerangka metodologi sejarah Marshall G.S. Hodgson’ dan
’kerangka teori sejarah Michel Foucault’. Dan sebagai penutup
dari ’Latar Belakang Masalah’ ini akan ditegaskan pernyataan
singkat atas pertanyaan ’Mengapa Topik Riset ini Penting?’
Kerangka kerja metodologi apakah yang sebenarnya
digunakan oleh Hodgson dalam menulis sejarah dunia? Sejarah
dunia hanya dapat dijelaskan secara memadai bila dimulai
dengan proposisi bahwa sejarah manusia beradab ’baca-tulis’
adalah sejarah Asia. Eropa tidak memiliki peran istimewa dalam
hal ini. Dengan demikian, ’sejarah dunia’ hanya pantas disebut
sejarah dunia jika menjelaskan secara intensif ketergantungan
dan interaksi satu sama lain dalam perkembangan lintas-regional.
Maka sejarah yang ia tulis melukiskan persimpangan dan
persilangan seni Helenistik, perkembangan matematika, corak-
corak monastik India, dan perkembangan kerajaan Mongol.13
Dalam interkoneksi antar berbagai peradaban, Hodgson memberi
makna dan nilai universal. Yaitu, bahwa semua manusia adalah
saudara. Islam adalah satu bagian dari seluruh komunitas sejagad
dalam sejarah. 14
3–69.
13
Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, dalam Marshall
G. S. Hodgson dan Edmund Burke, Rethinking World History: Essays on Europe,
Islam and World History (Cambridge–New York : Cambridge University Press,
1993), 309.
14
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic
Civilization”, 30–34.
Greg Soetomo, ”Sejarah Hubungan Islam dan Barat Menurut Marshall G.S.
15
Bab I : Pendahuluan – 5
sehingga pluralitas makna menjadi nyata. Poststrukturalis,
dengan kecenderungan selalu melihat apa yang membuat
berbeda, telah meninggalkan upaya untuk mencari ’kebenaran
universal’. Di sini humanisme tunduk pada struktur bahasa
dan diskursus.
Kajian bahasa itulah yang akan digunakan untuk mendeteksi
sejarah Islam Hodgson. Di dalam sejarah Islam, bahasa
menjadi pe nentu manusia dalam mengungkapkan ide-ide
mereka. Sejarah tidak ditentukan oleh satu peristiwa besar
(perang, bencana) atau oleh keputusan mengagumkan dari
raja, dinasti, pemimpin besar. Sejarah tidak digerakkan oleh
subyek individual, melainkan oleh diskursus. Jadi, diskursus
inilah yang justru membentuk subyek.
Unsur-unsur strukturalisme dan postrukturalisme ini tampak
dalam beberapa ciri dan fenomena berikut. Pertama, sejarah
Islam Hodgson yang dihasilkan lewat penggalian dokumen.
Hodgson ia berlelah-lelah memulai karya besarnya itu dengan
catatan metodologis puluhan halaman ”Introduction to the
Study of Islamic Civilization,”yang menjadi semacam syllabus of
errors.17Arah besar The Venture of Islam adalah memperlihatkan
kemungkinan cara baru menulis sejarah Islam. Klarifikasi yang
dibuat oleh Hodgson sangat mengandalkan klarifikasi bahasa
dan penjelasan diskursus. Di bawah judul ”On making sense
of Islamicate words, names, and dates”,18 misalnya, Hodgson
melukiskan bagaimana kebudayaan Islamicate diungkapkan
17
Prolegomena ”Introduction to the Study of Islamic Civilization” dianggap sebagai
tulisan yang pararel dengan karya Muqaddimah Ibn Khaldūn. Sebagaimana Ibn
Khaldūn, langkah demi langkah, Hodgson memeriksa prinsip dan praktik yang
menjadi framing dalam studi-studi sejarah sebelumnya. Tidak hanya kritis, ia
menawarkan sebuah paradigma baru dalam merekonstruksi sejarah Islam.
(Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic
Civilization”, 3–69.)
18
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic
Civilization”, 3.
Bab I : Pendahuluan – 7
b. Sejarah Islam Hodgson, Bahasa, dan Kekuasaan
Bahasa menjadi alat penentu manusia dalam mengungkapkan
ide-ide mereka mengenai hidup dan pengalamannya. Menurut
Foucault, karena bahasa selalu bersifat sosial, maka ia juga
merupakan alat manusia untuk menyebarkan kekuasaan dan
ikut membentuk struktur sosial. Definisi dan makna dari kata-
kata dan konsep selalu memiliki pertautan dengan ’fungsi
kekuasaan’ dalam masyarakat. Bahasa, dengan demikian,
selalu ideologis.
Setidaknya tiga konsep ada dalam cara pandang Hodgson
yang menyentuh isu ini. Pertama, lahirnya kekuasaan dalam
diskursus. Satu konsep yang paling penting yang dibuat oleh
Hodgson dalam The Venture of Islam adalah penjelasannya
yang panjang lebar mengenai Periode Pertengahan (Middle
Periods). Dengan menggunakan frase Periode Pertengahan,
Hodgson mengoreksi frase konvensional Abad Pertengahan
(Middle Ages). Konsep yang terakhir ini adalah rekonstruksi
sejarah Eropa-sentrisme yang menempatkan sejarah Islam di
penggiran, bahkan di luar sejarah Eropa. Abad Pertengahan
tidak menganggap sejarah Islam sebagai faktor penting
sejarah kawasan ini. Periode Pertengahan ini membentang
sejak pudarnya kejayaan kalifah Abbasiyah yang sangat
sentralistik ini (945 CE) hingga lahirnya kerajaan ’bubuk mesiu’
pada abad ke-16.21
Kedua, kekuasaan sebagai faktor penting dalam menalar sejarah.
Fokus penulisan sejarah dunia Hodgson adalah menengok dan
memeriksa kembali persyaratan sejarah Barat dalam konteks
global. Ia mempertanyakan, dan kemudian membongkar
21
Hodgson membahas panjang lebar Periode Pertengahan dalam Volume 2, ”The
Expansion of Islam in the Middle Periods”dalam The Venture of Islam. Uraian
sepanjang lebih dari enam ratus halaman dalam Volume 2 dibagi ke dalam Book
Three (”The Establishment of an International Civilization”) dan Book Four (”Crisis
and Renewal: The Age of Mongol Prestige”).
22
Di bawah judul kecil ”Islamicate Civilization as Human Heritage”Hodgson mem
berikan posisi keyakinan itu. (Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 1, ”General
Prologue: The Islamic Vision in Religion and in Civilization”, 95–99).
23
Esai ini pertama kali diterbitkan Chicago Today (1967): 40-50. Tulisan ini juga
muncul dalam Rethinking World History (Bab 4) dan The Venture of Islam (Vol 3,
Six, I: ”The Impact of the Great Western Transmutation: The Generation of 1789”).
Bab I : Pendahuluan – 9
epistemologis ini mengkerangkakan cara berpikir sejarawan.
Hal ini berimplikasi pada bagaimana pernyataan-pernyataan
dirumuskan dan berbagai diskursus dibentuk. Sejarah Islam
Hodgson memperlihatkan adanya tertib struktural, dengan
segala perbedaan dan diskontinuitasnya.
Beberapa aspek pemikiran sejarah Hodgson menunjukkan
konsep di atas. Pertama, kesatuan dan keragaman dalam
diskursus peradaban. Hodgson menghadapi kesulitan melihat
kenyataan betapa besar dan luas yang disebut ’peradaban
Islam’ itu. Bagaimana mungkin menjelaskan secara tepat
sebuah peradaban ekumene Afro-Erosia yang membentang
dari Maroko hingga Tiongkok, yang mengisi periode waktu
hampir satu setengah milenium sejak abad tujuh hingga
dewasa ini?24 Sebuah entitas kultural, menurut Hodgson,
tidak bisa dijelaskan secara konklusif dalam hubungannya
dengan sebuah peradaban. Sebagai contoh, hingga batas-
batas tertentu, Islam memiliki kontinuitas relasional dengan
tradisi Irano-Semitis. Tetapi, di lain pihak, diskontinuitas juga
berlangsung di sana.25
Kedua, peradaban dan intelektualisme. Sejarah Hodgson tidak
menggunakan filsafat politik dengan konsep waktu linear.
Ia membawa pembaca ke dalam dunia di mana pola-pola
historis dinyanyikan dengan tempo penuh kejutan. Hodgson
membedakan dan menunjukkan adanya tiga tradisi intelektual
24
Satu tulisan Hodgson mendiskusikan persoalan ’kesatuan’ ini, ”The Unity of Later
Islamic History”, dalam Marshall G. S. Hodgson dan Edmund Burke, Rethinking
World History”, 171–206.
25
Sebagai satu ilustrasi, Hodgson menjelaskan bahwa dalam Periode Pertengahan,
sosio-religius merupakan produk konteks dan kehidupan Irano-Semitis. Nilai-nilai
Islam mendorong perpaduan dengan cita-cita kehidupan sosial. Di sini, Islam
tidak hanya beradaptasi, tetapi juga ikut mempengaruhi kebudayaan setempat.
Dengan demikian, Islamicate di kawasan kebudayaan Irano-Semitis berlangsung
karena sumbangan moralisme Islam. (Hodgson, The Venture of Islam, Vol 2,
Three, VII: ”Cultural Patterning in Islamdom and the Occident”, 340.)
Zaman Axial (Axial Age, Axis Age), sebuah frase yang diciptakan oleh Karl
26
Jaspers (1883–1969) dalam Vom Ursprung und Ziel der Geschichte (1949; The
Origin and Goal of History), yang menandai periode kuno sekitar 800–200 BCE.
Dalam rentang waktu ini, menurut Jaspers, lahir berbagai konsep cara berpikir
baru filsafat dan agama di Persia, India, Tiongkok dan Yunani-Romawi secara
hampir bersamaan, tanpa adanya kesinambungan dengan periode sebelumnya.
(Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, One, I, ”The World before Islam”, 112–113.)
Penjelasan Hodgson dalam bentuk grafik dan tabel akan segera memberikan
27
gambaran konteks kultural dan intelektual di sekitar kelahiran Islam: ”The Origins
of Islamic Culture in Its World Context, 226–715” (Hodgson, The Venture of
Islam, Vol 1, One, I, ”The World before Islam”, 139; Edmund Burke, III,”Conclusion:
Islamic History as World History”, 321–322).
Ketika Hodgson meninggal pada 1968 (dalam usia 47 tahun), The Venture
28
of Islam baru terdiri dari lima buku pertama. Volume Three, ”The Gunpowder
Empires and Modern Times”, khususnya ”Book Six: The Islamic Heritage in the
Modern World”adalah bagian tidak pernah diselesaikan. Tulisan-tulisan tersedia
dalam rupa catatan tulisan tangan yang tercecer. Rekan kerjanya yang paling
dekat Reuben Smith dengan penuh kesetiaaan mengumpulkan manuskrip yang
masih tersisa dan berserakan. Catatan dan tulisan tangannya ini kemudian
diterbitkan dalam wujud Buku 6 ini. Reuben Smith bekerja keras selama empat
tahun mempersiapkan penerbitan The Venture of Islam (1974). (Edmund Burke,
III, ”Conclusion: Islamic History as World History, 302.)
Bab I : Pendahuluan – 11
Tulisan ini mencakup wilayah kajian historiografi dan
filsafat sejarah Islam. Sejarah Islam yang ditulis Hodgson akan
dikaji dengan menggunakan teori L’Archéologie du savoir (1969;
Arkeologi Pengetahuan) Michel Foucault (1926–1984). Marshall
G.S. Hodgson (1922–1968) dan Michel Foucault (1926–1984)
hadir dan hidup dalam era yang hampir sama. Meski demikian,
keduanya tidak pernah berkontak langsung. Tahun terbit
L’Archéologie du savoir (1969) hampir menandai tahun ketika
Hodgson wafat (1968). Keduanya menyandang sebagai pemikir
yang serius pada masanya, dengan bacaan yang sangat luas.
Meski keduanya bekerja di dua ranah keilmuan yang berbeda,
mereka berdua memiliki titik temu (dan, titik pisah) karena hidup
dan bergumul dalam zaman yang sama.
Bab awal buku L’Archéologie du savoir (1969) diisi dengan
pengantar yang mempertanyakan asumsi bahwa sejarah adalah
sejarah yang kontinu. Pertanyaan mendasar yang hendak diklarifikasi
Michel Foucault: Mengapa penjelasan dan penulisan sejarah selalu
berubah? Pertama, karena penjelasan sejarah dengan menggunakan
metode empiris itu tidak memadai. Kedua, terkait dengan pertama,
terbukti bahwa sejarah adalah bangunan diskursus naratif yang
ditulis oleh para sejarawan. Dengan demikian, sejarah ada dan hidup
dengan klaim untuk merepresentasikan aktualitas, kenyataan, dan
peristiwa. Sejarah, tidak jarang, adalah interpretasi dari interpretasi
sejarah lainnya. Sejarah adalah hasil interpretasi banyak sejarawan
yang masing-masing mengklaim sejarahnya paling atau lebih akurat
dan dekat realitas masa lalu yang dilukiskan. Dengan demikian,
sejarah tidak tunggal. Ia berubah-ubah dan menjadi tidak pasti.29
Foucault mengeritik model pengetahuan ini. Ia menganggapnya
kurang memperhatikan kompleksitas dalam diskursus. Studi sejarah
pemikiran, dari satu periode ke periode lain, menurutnya, tidak
bersifat transisional dalam kontinuitas, melainkan ’keterpatahan’.
30
Pendekatan Foucault ’sejarah sebagai proses diskontinu’ bisa dibandingkan
dengan gagasan dari Thomas Kuhn (1922–1996) tentang ’paradigma’ atau Imre
Lakatos (1922–1974) mengenai ’program riset ilmiah’. Keduanya menganalisa
norma-norma yang menggejala dalam berbagai aliran pemikiran, model-model
teori masing-masing, serta teknik dan cara merumuskan asumsi-asumsinya.
Ini semua adalah pergumulan ontologis dalam ilmu sejarah. [Scott J. Simon,
”Paradigms, Presuppositions, and Information: Kuhn’s Structure of Scientific
Revolutions”, http://shell.cas.usf.edu/~simon/documents/Paradigms.pdf (diun
duh 28 Desember 2015); Imre Lakatos, ”History of Science and Its Rational
Reconstructions”, Proceedings of the Biennial Meeting of the Philosophy of
Science Association, Vol. 1970. (1970): 91–136, file:///C:/Users/gssoetomo/
Downloads/Lakatos%201970.pdf (diunduh 28 Desember 2015)]
31
Warna poststrukturalisme terutama dalam metode genealoginya. Foucault
menampilkan pendekatan poststrukturalis ketika ia membelokkan dan meng
evaluasi kembali bahasa dalam teori pengetahuan.
32
Poststrukturalisme berbeda dari strukturalisme. Strukturalisme cenderung men
jelaskan koherensi sehingga makna bisa dijelaskan. Ia membedah bagaimana
sebuah sistem membangun batas-batas agar bisa dipikirkan, bisa dikatakan,
bisa dimaknai. Konsekuensinya, cara berpikir ini tidak jarang mereduksi perkara
kompleks menjadi beberapa unsur. Upaya ini digunakan untuk menjelaskan
kebenaran universal. Strukturalisme bersifat ’anti-humanis’, karena sistem ber
peranan dalam menstrukturkan cara berpikir dan cara pandang-dunia yang dimiliki
manusia. Di sini humanisme tunduk pada struktur bahasa dan diskursus. [Clayton
Bab I : Pendahuluan – 13
memperlihatkan inkoherensi dalam sistem diskursus,
se
hingga pluralitas makna menjadi nyata. Perbedaan
dan keanekaragaman ini kerap menciptakan celah dan
keterpatahan yang dapat mengoreksi sistem itu sendiri.
Poststrukturalis, dengan kecenderungan selalu melihat apa
yang membuat berbeda, telah meninggalkan upaya untuk
mencari ’kebenaran universal’.
Foucault membangun pemahaman baru mengenai sejarah
sebagai proses keterpatahan, penyimpangan, dan kontingensi.
Diskursus sejarah dalam pemikiran Foucault adalah proses
yang tidak memiliki tujuan dan tidak beraturan. Sejarah
ditandai dengan perubahan terus-menerus dan karena proses
reorganisasi diskursus tiada henti. Sejarah tidak ditentukan
oleh satu peristiwa besar (perang, bencana) atau oleh
keputusan mengagumkan dari raja, dinasti, pemimpin besar.
Sejarah tidak digerakkan oleh subyek individual, melainkan
oleh diskursus. Diskursus inilah yang membentuk subyek.
b. Postmodernisme. Foucault bisa dikategorikan ke dalam
para pemikir postmodernisme mengingat dua konsepnya:
’diskursus’ (discours) dan ’kekuasaan’ (pouvoir). Dua konsep
ini menjelaskan karakter fenomena postmodern. Salah satu
perspektif dari postmodernisme adalah menolak ’Pencerahan’
(Enlightenment), yang ditandai dengan kebangkitan sains,
rasionalitas, dan penyelidikan ilmu. Semangat Pencerahan kira-
kira bisa diwakili dengan ungkapan terkenal dari Francis Bacon
(1561–1626) Scientia Potentia Est (”Knowledge is Power’)33.
oleh Thomas Hobbes (1588–1679), yang pada waktu muda adalah sekretaris
Bacon. Dokumen yang lebih muda sudah ditulis oleh Imam Ali (599–661 CE), yang
tercatat dalam buku yang ditulis abad ke-10, Nahj Al-Balagha (Peak of Eloquence).
Ia menulis, ”Pengetahuan adalah kekuasaan dan ia bisa menuntut ketaatan.
Orang berilmu mampu membuat orang lain taat. Ia dipuji dan dihormati. Ingatlah,
pengetahuan adalah penguasa, sedangkan kesejahteraan adalah subyeknya”.
34
Konsep ini sudah muncul dalam L’Archéologie du savoir (1969) (Foucault, L’Archéologie,
240–243). Topik ini akan lebih kentara dalam dalam tulisan Foucault bertemakan
genealogi kemudian.
Bab I : Pendahuluan – 15
pola pernyataan terstruktur, yang terungkap dalam sebuah
diskursus sistematis.
Setiap era dalam sejarah dan setiap stratum arkeologis,
menurut Foucault, memiliki episteme yang khas. Episteme
atau struktur epistemologis ini mengkerangkakan cara berpikir
sejarawan. Hal ini berimplikasi pada bagaimana pernyataan-
pernyataan dirumuskan dan berbagai diskursus dibentuk.
Episteme ini seakan sudah terpatri dalam diri pikiran menjadi
kesadaran yang tidak pernah dipertanyakan lagi. Arkeologi
hendak memperlihatkan tertib struktural, dengan segala
perbedaan dan diskontinuitasnya. Dengan kata lain, arkeologi
pada dasarnya menarik garis batas perbedaan antara ’hari ini’
dengan ’yang lalu’.
Akhirnya, mengapa topik riset ini penting? Karena ia
hendak meng klarifikasi dan mengoreksi penulisan sejarah
konvensional. Sejarah itu bukan sesuatu yang begitu
saja mengalir, beraturan, kontinu, satu dan utuh, produk
sebuah upaya rekonstruktif. Riset ini membuktikan, dengan
pembalikan ke arah studi bahasa dalam ilmu sejarah,
penulisan sejarah kovensional-empirisme ditinjau ulang
dan perlu dikritik secara memadai. Karya tulis ini hendak
mengambil peranan kritik tersebut. Caranya adalah dengan
membuktikan bahwa analisa Arkeologi Pengetahuan Michel
Foucault mampu memperlihatkan dan menjelaskan pluralitas
dan keanekaragaman makna dan pemikiran dalam sejarah
Islam global sebagaimana ditulis oleh Marshall G.S. Hodgson.
Dengan cara inilah penulisan sejarah konvensional perlu
ditinjau ulang dan metodologinya diperbaiki.
1. Identifikasi Masalah
Asumsi dan pemikiran dalam riset ini berbeda dengan teori dari
penulis lain. Perbedaan dan pertentangan dengan riset dan
cara berpikir para pakar lain telah memberi peluang terbukanya
berbagai permasalahan.
1.1. Persamaan dan Perbedaan dengan Pandangan Edward Said
Marshal G.S. Hodgson (1922–1968) dan Edward Said (1935–2003),
meski tidak pernah bertemu dan kenal satu sama lain dan tidak
pernah bertemu muka, mereka berdua memiliki persamaan
dalam memandang peradaban Barat. Peranan strategis
karya Edward Said, Orientalism35 (1978), adalah mengevaluasi
hubungan sejarah Barat dengan dunia sekitarnya. Orientalisme,
bagi Said, adalah perpanjangan hegemoni Eropa atas Timur
Tengah, pada khususnya, dan, hegemoni Barat atas non-Barat,
pada umumnya. Sebaliknya, meski menyadari adanya kelemahan
ini, Hodgson tetap menggunakan pendekatan peradaban untuk
menulis sejarah dunia.
Riset ini menunjukkan bahwa Hodgson meyakini setiap kritik
mengandung apriori epistemologis. Setiap karya adalah produk
’prakomitmen dari sang penulis’ (author’s precommitments).
Prakomitmen ini menjadi ideologi yang mendasari proses
memahami fenomena yang hendak disingkapkan. Pada saat yang
sama, prakomitmen ini kerap kali menghalangi kemungkinan dan
cara lain dalam memahami sebuah realitas.
1.2. Perbedaan dengan Sejarah Islam Ibn Khaldūn
Marshall G.S. Hodgson, sebagai seorang sejarawan, memiliki
beberapa padanan sebelumnya, di antaranya adalah Ibn Khaldūn
(1332–1406). Dalam The Venture of Islam, Hodgson memulai
Bab I : Pendahuluan – 17
dengan prolegomena sepanjang 66 halaman, ”Introduction to the
Study of Islamic Civilization.”Pengantar ini kerap dibandingkan
dengan Muqaddimah dari Ibnu Khaldun. Penjelasan Hodgson yang
distingtif mengenai banyak perkara dalam kajian Islam36 membuat
para pakar harus merumuskan kembali secara lebih akurat apa
itu yang disebut Islam dan Muslim. Menurut Ibn Khaldūn, sejarah
merupakan penjelasan dan pencerminan organisasi sosial
dan pola-pola peradaban. Sejalan dengan Khaldūn, Hodgson
menempatkan Islam ’di dalam’ (bukan ’di luar’) konstelasi sejarah
dunia pada umumnya.
Beberapa pakar menganggap metodologi penulisan semacam
ini berisiko. Penulisan sejarah dengan menggunakan pendekatan
ini akan membuat Islam tertelan dalam sejarah umum. Menjawab
keraguan di atas, Hodgson yang hidup lima abad sesudah Khaldūn
menggunakan data dan fakta yang baru. Ia mulai dengan asumsi
bahwa Islam itu besar dan luas, dengan pengaruh yang mendalam.
Ia menganggap Islam dengan ajaran dan ibadahnya bukan hanya
milik masyarakat Muslim saja. Ia menciptakan kosakata Islamicate
yang mendeskripsikan bagaimana Islam memberikan getaran
sosial dan gerakan kultural dalam rupa tradisi yang sedemikian
kuat ke lingkungan sekitarnya.
1.3. Berlawanan dengan Teori Esensialisme
Dalam kajian peradaban dikenal terminologi esensialisme.
Esensialisme adalah basis dan sentral untuk kajian-kajian
peradaban. Orientalisme memulai teks yang ditulisnya dengan
praandaian bahwa peradaban memiliki berbagai esensi. Untuk
memudahkan, misal, peradaban Islam dilihatnya sebagai sebuah
perjalanan yang penuh dengan tragedi, sementara kebangkitan
Barat sebagai sebuah kemenangan. Produk esensialisme
36
Hodgson dalam Pengantar ini menjelaskan dan membuat klarifikasi di bawah
beberapa subjudul, antara lain, ”On making sense of Islamicate words, names, and
dates”, ”Why transliteration?”, ”Historical humanism”, ”On defining civilizations”,
”Islamics,Islamicist”, ”Islamdom, Islamicate”, ”Middle East, Nile to Oxus”.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan ’Pembatasan Masalah’ di atas, satu pertanyaan
mayor yang hendak dijawab dalam riset ini dirumuskan demikian:
”Bagaimana Arkeologi Pengetahuan Michel Foucault yang
bertumpu pada analisa bahasa menjelaskan keanekaragaman
dalam sejarah Islam Marshall G.S. Hodgson?”
Pertanyaan mayor ini diuraikan ke dalam tiga pertanyaan
minor di bawah. Tiga pertanyaan ini masing-masing men
cerminkan tiga dimensi pemikiran Arkeologi Pengetahuan
Foucault (strukturalisme-poststrukturalisme, postmodernisme,
dan filsafat sejarah). Tiga dimensi ini juga pararel dengan tiga
Lihat antara lain, Afsin Matin-asgari, ”Islamic Studies and the Spirit of Max Weber:
37
Bab I : Pendahuluan – 19
wujud ’keanekaragaman’ yang disebut dalam pertanyaan mayor
di atas, yaitu dalam struktur pemikiran, ideologi, dan kerangka
berpikir. Tiga pertanyaan ini merupakan tiga alat pendekatan
untuk menjelaskan historiografi sejarah Islam Hodgson.
Pertama, bagaimana Hodgson, dalam posisi strukturalis,
menulis sejarah Islam dengan membangun sistem diskursus
untuk menjelaskan sebuah makna; tetapi pada saat yang sama, ia
dalam posisi poststrukturalis memperlihatkan inkoherensi dalam
sistem diskursus yang ditandai dengan pluralitas makna?
Kedua, bagaimana menjelaskan bahwa struktur sosial dalam
sejarah Islam tidak pernah bisa lepas dari rantai kekuasaan yang
adalah dimensi konstitutif dalam diskursus?
Ketiga, bagaimana membuktikan bahwa setiap era dalam
sejarah Islam memiliki epistemenya masing-masing yang khas
dan keanekaragaman cara berpikir yang mengkerangkakan ter
bentuknya pernyataan dan diskursus?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian
ini dibedakan antara tujuan umum yang hendak menjawab
pertanyaan utama, dan tiga tujuan khusus yang merupakan
respons terhadap tiga pertanyaan penjelas.
1. Tujuan Umum
Riset ini bertujuan untuk membuktikan bahwa analisa
Arkeologi Pengetahuan Michel Foucault memperlihatkan
dan menjelaskan struktur pemikiran, ideologi, dan keaneka
ragaman kerangka berpikir dalam sejarah Islam global
sebagaimana ditulis oleh Marshall G.S. Hodgson.
2. Tujuan Khusus
a. Mengeksplorasi komplekstitas sejarah Islam. Di satu sisi,
dalam posisi strukturalis, sejarah Islam membangun sistem
diskursus yang ketat untuk menjelaskan ’makna’ dalam
sejarah Islam; tetapi di sisi lain, dalam posisi poststrukutralis,
Bab I : Pendahuluan – 21
kajian ini hendak memperlihatkan inkoherensi sistem
diskursus yang berimplikasi adanya pluralitas struktur
pemikiran.
b. Membongkar pendapat lama yang mengatakan bahwa
’pengetahuan adalah pembawa kekuasaan’. Sebaliknya
di sini hendak dianalisa bagai mana struktur sosial,
sebagaimana tersusun dalam sejarah Islam, tidak pernah
bisa lepas dari pengaruh kekuasaan yang menjadi faktor
terbentuknya pengetahuan.
c. Menunjukkan realita pada level transedental, bahwa setiap
era dalam sejarah Islam memiliki epistemenya masing-
masing yang khas. Dengan demikian, pada setiap periode
terdapat keanekaragaman cara berpikir dalam merumus
kan pernyataan dan membangun diskursus.
38
Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University
Press, 2002), http://books.google.co.id/books?id=I3mVUEzm8xMC&pg=PR7&
hl=id&source=gbs_selected_pages&cad=3#v=onepage&q&f=false (diunduh 20
Pebruari 2014).
39
Azyumardi Azra, ”Sejarah Islam Totalitas”dalam Historiografi Islam Kontemporer.
Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2002), 68–70.
40
Edmund Burke III, ’There is No Orient’: Hodgson and Said”, Presented to
American Historical Association Annual Meetings January 2008. Panel on
Marshall Hodgson’s The Venture of Islam, https://escholarship.org/uc/
item/8hg7g677#page-2 (diunduh 18 Oktober 2014).
41
Azra, ”Sejarah Sosial Dialogis”dalam Azra, Historiografi Islam Kontemporer., 65–67.
Bab I : Pendahuluan – 23
ekspansi oleh satu rezim berkuasa terhadap sebuah bangsa,
Lapidus melukiskan peradaban Islam lewat detail-detail pemikiran
hukum, filsafat dan teologi, penjelasan bahasa, dan bahkan lewat
keindahan berbagai karya seni.42
Dengan demikian, pendekatan Ira Lapidus mencoba
mengo rek
si paradigma sejarah yang pada umumnya Middle-
Eastern oriented, Islam yang identik dengan Arab. Pengamat
mengatakan, Ira berhasil menggantinya dengan sejarah Islam
dengan perspektif mondial. Bahkan, sejarah yang ditulis oleh
Lapidus menjadi indikasi dan bukti luruhnya batas-batas antara
Islam pusat dan Islam periferi.43
Selain Ira Lapidus, sejarawan lain, Francis Robinson (l.
1944),44 dari Inggris, menggunakan karya Hodgson sebagai
sumber referensi untuk menyusun Atlas of the Islamic World since
1500 (1982). Karya yang disertai dengan desain menarik dengan
gambar mewah memberi sketsa sejarah politik, ekonomi, dan
religius dalam dunia Islam sejak periode modern (dimulai tahun
1500), dalam relasinya dengan Barat. Meski menggunakan
sumber Hodgson yang memiliki asumsi bahwa Islam adalah
entitas yang berperan penting dalam mendefinisikan Barat,
karya Robinson dianggap masih meletakkan Islam ’di luar’ Barat.
Robinson dan Lapidus adalah contoh dua sejarawan yang
terkesan dengan Hodgson tanpa harus lekat dan bergantung
42
Greg Soetomo, ”Sejarah Politik Islam menurut Ira Lapidus: Kritik Historiografis”,
Indo-Islamika, Vol. 4. No. 2 Juli–Desember 2014: 229.
43
Azra, ”Revisionisme Historis Sejarah Umat Islam”, dalam Azra, Historiografi
Islam Kontemporer, 62–64.
44
Riset Robinson, pengajar di Oxford University dan University of Washington,
berfokus pada komunitas Muslim di kawasan Asia Selatan. Ia juga mengkaji
bagaimana Islam merespons modernitas, perubahan politik. Ia telah menulis
sejumlah buku, antara lain Atlas of the Islamic World Since 1500 (1982), Islam
and Muslim History in South Asia (2000), The Ulama of Farangi Mahall and
Islamic Culture in South Asia (2001), The Mughal Emperors (2007), dan Islam,
South Asia, and the West (2007).
Bab I : Pendahuluan – 25
orang ini sudah diselenggarakan di berbagai belahan dunia.
Magnum opus-nya yang diberi judul Muqqadimah (’Pendahuluan’,
Prolegomena), adalah karya raksasa yang berisi diskursus sejarah
(Islam) universal yang tersusun dalam 6 (enam) bab.46
The Venture of Islam, dimulai dengan prolegomena
sepanjang 66 halaman, ”Introduction to the Study of Islamic
Civilization. ”Pengantar ini bisa dibandingkan dengan
Muqaddimah dari Ibn Khaldun.47 Sebagaimana Ibnu Khaldūn, di
abad ke-14, di Afrika Utara, Hodgson di abad ke-20 dengan latar
belakang tradisi keilmuan Barat juga melakukan kritik terhadap
tradisi intelektual yang sedang berlangsung. Hodgson, lapis
demi lapis, menguliti kerangka kajian sejarah para Orientalis,
dan memberikan paradigma alternatif untuk merekonstruksi
sejarah Islam. Sebagaimana Muqaddimah, Hodgson menulis
”Introduction”sebagai manifesto untuk meninjau kembali tidak
saja fondasi sejarah Islam, tetapi sejarah dunia secara umum.
Sambil menjelaskan kehidupan sosial berbagai bangsa dan
komunitas, disertai dengan seribu satu aspek kehidupan manusia,
Khaldūn memeriksa berbagai tulisan dan sumber sejarah yang
tersedia pada zamannya. Ia mengeritik sumber-sumber sejarah
yang tidak didasarkan pada fakta dan data. Dengan demikian,
ia memberikan dimensi ilmiah baru untuk ilmu-ilmu sosial.
Dalam ilmu ekonomi, pemikirannya yang lahir pada abad ke-
14 ini dianggap melampaui zamannya. Buruh sebagai sumber
kemakmuran, pembedaan antara sumber pendapatan langsung
(pertanian, perdagangan, industri) dan tidak langsung (pekerja
46
Topik dan isi dari enam Bab ini adalah sebagai berikut. Bab I: Geografi Fisik
dan Manusia; Bab II:Kkehidupan Urban dan Pedesaan; Bab III: Negara dan
Pengelolaannya; Bab IV: Kota-kota, Kejayaan dan Kehancurannya; Bab V: Ekonomi
Masyarakat; Bab VI: Ilmu Pengetahuan, Klasifikasi dan Perkembangannya.
47
Steve Tamari, ”The Venture of Marshall Hodgson: Visionary Historian of Islam and
the World”, New Global Studies 2015; 9(1): 73–87 (76) (http://econpapers.repec.
org/article/bpjnglost/ v_3a9_3ay_3a2015_3ai_3a1_3ap_3a73-87_3an_3a7.htm,
diunduh 23 Pebruari 2016)..
Bab I : Pendahuluan – 27
ringkasan gagasan Hodgson mengenai bagaimana sejarah dunia
ditulis. Paper ini juga merupakan kritik terhadap buku William
McNeill The Rise of the West.52
Riset ini hendak meneliti topik yang lain. Ia tidak mem
bandingkan Hodgson dengan sejarawan lain. Meski Foucault,
bisa dianggap sebagai sejarawan, peranan pemikirannya
bukanlah pembanding. Filsafat sejarah Foucault di sini digunakan
memberikan ’kerangka teori’ untuk menjelaskan dan menggali
problematika tulisan sejarah Islam Hodgson.
Tulisan ini sebenarnya sebuah ekstrak dari suratnya yang ditujukan pada John O.
52
Civilization”, 57–60.
Samir Amin, ”The Ancient World-Systems versus the Modern Capitalist World-
55
Bab I : Pendahuluan – 29
merasakan ’kesamaan diskursus’. Pengalaman yang mirip dengan
Ibn Baṭūṭah ketika ia berkelana ke pelbagai belahan dunia Muslim
di abad ke-14.
Islam sebagai sistem-dunia mempertontonkan kekuatannya
ketika di zaman kapitalisme mulai menggurita di abad ke-16. Pada
saat itu para pedagang, guru dan ulama Sufi mampu menarik
orang-orang di Afrika dan Asia Tenggara untuk memeluk Islam.
Kekuatan kultural-religius mereka, dalam kasus di Kepulauan
Nusantara, mampu melampui kekuatan ekonomi politik
Pemerintahan Belanda.57
Tekanan tulisan Voll, mengikuti konsep sistem-dunia Wallers
tein, adalah menjelaskan pengaruh praktik kapitalisme. Meski
demikian, ia mencoba untuk melampaui paradigma kapitalisme
ini dengan menggunakan gagasan diskursus dalam sistem
dunia. Komunitas Muslim sejagat tidak hanya berinteraksi lewat
pertukaran barang-barang ekonomis, tetapi juga lewat per
temuan diskursus kebudayaan dan agama. Dengan demikian,
meski sistem-dunia Islam sangat dipengaruhi oleh kapitalisme,
namun yang pertama tidak pernah bisa hanyut oleh yang kedua.
Voll menggunakan kosakata kunci yang sama dengan
Foucault, yaitu ’diskursus’. Meski demikian, keduanya meng
gunakan dan memahami kata yang sama ini dengan cara dan
makna yang berbeda. Riset ini mencurahkan makna diskursus
dalam Arkeologi Pengetahuan, yang memiliki penjelasan yang
berbeda dengan diskursus sebagaimana dijelaskan oleh Voll.
Edmund Burke III, ”Islam at the Center: Technological Complexes and the Roots
58
138.
Bab I : Pendahuluan – 31
memiliki kekayaan kultural dan institusional yang khas. Ia juga
memberikan sumbangan yang khas terbentuknya teknologi dan
pengetahuan baru.
Pada masa pra-Islam, wilayah ’Nil-ke-Oxus’ adalah palungan
timbul tenggelamnya kerajaan, dinasti, dan agama-agama.
Hodgson mencatat bahwa agama-agama monoteistik Asia Barat
(Judaisme, Kristianitas, Zoroaster) kerap memainkan peranan
sebagai benteng moral pengeritik kekuasaan dan militer. Gejala
yang mirip juga berlangsung di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Islam dibangun dalam konteks seperti itu.61
Beberapa abad setelah lahir di Arab, Islam menjadi agama
untuk masyarakat agraris dan komunitas gembala di pusat
Eroasia. Islam memainkan peranan penyambung jalur sutra di
Asia. Ia menghubungkan kawasan Mediterania dengan Tiongkok
dan India, dan juga wilayah Lautan India. Pada abad ke-10,
Islam melakukan penetrasi ke Afrika Barat lewat jalur karavan
Gurun Sahara. Ringkasnya, geografi Islam ada di sentral yang
memerankan ekspansi interkomunikasi lintas Afro-Eroasia.
Tidak terhindarkan, riset yang membahas Hodgson ini juga
memberi tekanan Islam pada posisi ’sentral’ dan penghubung.62
5. Memperdebatkan Hodgson
Pada 28 Mei 2013, Sir Christopher Bayly menyampaikan ceramah
pada serial Humanitas Lecture di bidang historiografis, dengan
topik ”Marshall G. S. Hodgson, Islam and World History”.
Pada saat yang sama diundang pula Faisal Devji sebagai
penanggap.63 Christopher Bayly64 dari Cambridge University
mengeritik keras Hodgson. Dalam forum ini, ia menganggap
bahwa Hodgson, seorang vegetarian dan pacifist, mempunyai
agenda tersembunyi. Ia menggunakan suara Islam dan Dunia
Islam sebagai pengganti dan nama lain untuk Dunia Ketiga.
Sebagai seorang sejarawan, Hodgson dianggap memanfaatkan
suara komunitas Muslim, mengolah argumen-argumen Islam
untuk menopang proyeknya dalam melawan kapitalisme.
Bayly mengeritik Hodgson yang sebenarnya sedang meng
kampanyekan ide-ide kuasi-sosialisme.
Dalam forum yang sama, Faisal Devji dari University of Oxford
menolak pendapat Bayly. Devji membela dan memuji Hodgson yang
membuat model alternatif, menyusun peta sejarah baru, dengan
menempatkan Islam di antara Eropa dan India. Ia menghargai
Hodgson sebagai seorang moralis yang membela kaum pinggiran.
Ia berasumsi, monograf yang ditulis Hodgson, The Secret Order
of Assassins (1955), adalah karya awal yang menjadi pelatuk dan
Bab I : Pendahuluan – 33
pemberi arah proyek The Venture of Islam. Meski Devji mengeritik
tema-tema yang memberi tekanan dan pujian berlebihan pada
Persia di volume tiga dalam buku itu,65 ia tidak setuju dengan
’serangan murahan’ yang disampaikan oleh Bayly. Ia mendukung
perjuangan dan pilihan moral dalam karya Hodgson ini.
Tulisan ini pertama-tama tidak bermaksud memperdebatkan
Hodgson, meski di dalamnya ada analisa dan kritik. Substansi dan
isi pemikiran Hodgson bukan subyek kajian utama. Yang menjadi
kesibukan riset ini adalah analisa wacana. Dalam banyak hal,
pusat kajian karya tulis ini adalah nalar dan logika dalam bahasa
sebagaimana dijelaskan Foucault.
Volume 3 The Venture of Islam yang terdiri dari Buku Five dan Six ini merupakan
65
Bab I : Pendahuluan – 35
antara keduanya. Michel Foucault (w. 1984), dalam pandangan
Mårtensson, adalah contoh yang paling nyata seorang Weberian
yang menggunakan pendekatan kultural.
Meski menggunakan pemikiran analisa diskursus Michel
Foucault, riset ini berbeda dengan Matin-asgari dan Mårtensson.
Riset ini menggunakan diskursus dengan cara berbeda. Ia tidak
meng gunakannya sebagai analisa kultural, melainkan sebagai
analisa arkeologi dan bahasa untuk men jelaskan historiografi
Islam.
Setelah melewati ziarah penelitian terdahulu atas topik-topik
Hodgson di atas, riset ini memiliki posisi yang unik dan berbeda
dalam beberapa hal. Pada level abstraksi dan transedental, riset
ini menunjukkan realita yang selama ini tidak diperhatikan oleh
banyak sejarawan. Yaitu, setiap era dalam sejarah Islam memiliki
epistemenya masing-masing yang khas, dengan demikian di sana
terdapat keanekaragaman cara berpikir dalam merumuskan
pernyataan dan membangun diskursus.
Eksplorasi ini akan menjelaskan bahwa, dalam posisi
strukturalis, sejarah Islam membangun sistem diskursus yang
ketat untuk menjelaskan ’makna’ dalam sejarah Islam; tetapi
pada saat yang sama, dalam posisi poststrukturalis, kajian ini
juga hendak memperlihatkan inkoherensi sistem diskursusnya
yang berimplikasi adanya pluralitas makna. Selain itu, riset ini
hendak membongkar pendapat lama yang mengatakan bahwa
’pengetahuan membawa kekuasaan’, sebaliknya di sini hendak
dianalisa bagaimana manusia, sebagaimana tersusun dalam
sejarah Islam, tidak pernah bisa lepas dari rantai jerat kekuasaan
yang adalah pembentuk pengetahuan.
F. Metodologi Penelitian
Metodologi penelitian menjelaskan beberapa konsep teoretis
yang digunakan dalam riset ini. Kemudian, dilanjutkan dengan
pemilihan metode yang digunakan. Dengan demikian, metode-
metode teknis yang digunakan dalam penelitian ini diuraikan
untuk mendukung dan mengimplementasikan metodologi
penelitian yang dijelaskan teoretis.
Metodologi penelitian ini pada prinsipnya menjelaskan
tiga pendekatan dan kerangka berpikir Hodgson dalam
penulisan sejarah Islam. Pada saat yang sama pemikiran filsafat
Foucault juga diuraikan dalam tiga perspektif. Keduanya,
secara metodologis dan substantif, memiliki titik temu dan
titik pisah, yang menjadi bahasan seluruh kajian tulisan ini.
Titik temu tersebut dapat diringkaskan dalam penjelasan atas
satu permasalahan: Bagaimana analisa Arkeologi Pengetahuan
Bab I : Pendahuluan – 37
Michel Foucault menjelaskan struktur pemikiran, ideologi, dan
keanekaragaman kerangka berpikir dalam sejarah Islam global
Marshall G.S. Hodgson.
Metodologi di atas, sangat dekat dengan metode
postpositivisme-rasionalistik, sebagaimana kategori yang dibuat
dan dijelaskan Noeng Muhadjir. Ia menguraikan metode ini
dengan menunjukkan beberapa elemen sebagai berikut:68
1. Pola berpikir rasionalistik dan logis,
2. Konseptualisasi teoretis,
3. Perumusan grand concepts sebagai landasan penelitian,
4. Penarikan kesimpulan dan pemberian makna.
Dengan memanfaatkan metode postpositivisme rasionalis
tik di atas, titik temu antara Michel Foucault (Arkeologi Penge
tahuan) dan Marshall G.S. Hodgson (sejarah Islam global)
diupayakan dalam riset ini. Titik temu yang dirumuskan dalam
satu pertanyaan mayor di atas dijabarkan dalam tiga problematika
yang spesifik berikut ini. Tiga problematika ini paralel dengan tiga
pertanyaan minor yang disebutkan dalam Perumusan Masalah.
Pertama, problematika bagaimana Hodgson dalam posisi
struk
turalis membangun sistem diskursus yang ketat untuk
menjelaskan ’isi pemikiran’ dalam sejarah Islam, tetapi pada
saat yang sama, dalam posisi poststrukutralis, tulisannya
juga memperlihatkan inkoherensi sistem diskursusnya yang
berimplikasi adanya pluralitas makna. Sejarah ditandai dengan
perubahan terus-menerus dan karena reorganisasi diskursus
tiada henti. Sejarah di sini tidak digerakkan oleh subyek individual,
melainkan oleh diskursus yang membentuk subyek.
68
Karakteristik utama aktivitas riset postpositivistik, menurut Muhadjir, adalah mencari
dan menjelaskan makna di balik data. Ia memiliki empat macam metode: rasionalistik,
phenomenologis-interpretatif, postpositivisme teori kritis, dan postpositivisme meta-
etik. (Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin,
2000), 79–87).
Bab I : Pendahuluan – 39
Metode induktif70 digunakan untuk memperoleh gambaran
umum (generalisasi) mengenai isi dan metodologi yang
dipakai Marshall G.S. Hodgson ketika menjelaskan proses dan
perkembangan sejarah Islam. Buku karya Marshall G.S. Hodgson
The Venture of Islam menjadi bacaan dan sumber utama. Tulisan ini
menyediakan materi perkembangan dan sejarah Islam yang akan
diteliti isi dan metodologinya. Karya Michel Foucault L’archéologie
du savoir (1969) menjadi basis teori untuk menjelaskan, dan
memberikan kritik isi dan metodologi sejarah Hodgson. Corak
deskriptif dari sumber primer ini dilengkapi dengan sumber-
sumber sekunder, yaitu komentar-komentar berbagai penulis
lain yang mengkaji pemikiran mereka.
Dengan kata lain, studi ini merupakan kajian Meta-Research.71
Metodologi ini adalah nama lain dari ’riset atas riset’. Ia meng
gunakan metode riset untuk memeriksa bagaimana sebuah
riset dibuat. Dari sini, diajukan alternatif-alternatif perbaikan.
Kesimpulan ditarik, yang tahap demi tahapnya bisa dijelaskan
sebagai berikut.
Landasan teoretis kajian ini menggunakan pemikiran filsafat
sejarah dan filsafat bahasa Michel Foucault, khususnya lewat
karyanya L’archéologie du savoir (1969), dengan fokus pada tiga
unsur: pemikiran strukturalisme-poststrukturalisme, penjelasan
mengenai kekuasaan dan ideologi dalam pengetahuan, dan
filsafat sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini
Penalaran induksi adalah sebuah proses logis di mana berbagai premis ditarik
70
benang merahnya untuk mendapatkan kesimpulan spesifik. Penalaran ini tiada lain
merupakan proses generalisasi dari berbagai pendapat orang. (Evan Heit dan Caren
M. Rotello,”Relations Between Inductive Reasoning and Deductive Reasoning”,
Journal of Experimental Psychology: Learning, Memory, and Cognition 2010, Vol.
36, No. 3: 805–812 (805) (http:/ /www.psych.umass.edu/ uploads/sites/ 48/
Files/Heit%20 Rotello% 202010.pdf, diakses 13 Desember 2015).
71
John P. A. Ioannidis , dkk, ”Meta-research: Evaluation and Improvement of
Research Methods and Practices”, Plos Biology, October 2, 2015, http://
journals.plos.org/plosbiology/article?id=10.1371/journal.pbio.1002264,
diunduh 19 Agustus 2016).
Bab I : Pendahuluan – 41
G. Sistematika Penulisan
Setelah Bab I Pendahuluan, penjelasan dan perdebatan
’historiografi Islam global’ menjadi fokus kajian Bab II. Alur pemi
kiran Bab II ini dibangun dalam pola dialektis. Di satu pihak,
pembagian tiga subbab di bawah adalah mengadaptasi tiga logika
dan dimensi pemikiran Michel Foucault. Di lain pihak, uraian dan
isi penjelasan di dalamnya tidak begitu saja mengikuti rationale
dari Foucault. Dengan demikian, aliran pemikiran dalam Bab ini
berlangsung dalam cara kerja tesa dan antitesa secara dialektis.
Bab III menjelaskan panjang lebar Arkeologi Pengetahuan
dan pemikiran sejarah sebagaimana dikontemplasikan Michel
Foucault. Dibuka dengan posisi pemikiran Michel Foucault
dalam peta pemikiran kontemporer, khususnya di Eropa,
kemudian dilanjutkan dengan tiga perspektif dari pemikiran
Foucault mengenai Arkeologi Pengetahuan. Tiga perspektif
itu meliputi ’strukturalisme dan poststrukturalisme’, ’unsur-
unsur postmodernisme’, dan ’konsep dan pemikiran sejarah’.
Tiga elemen ini digunakan sebagai alat untuk menganalisa
sejarah Islam global yang ditulis oleh Marshall G.S. Hodgson,
sebagaimana dianalisa dalam Bab V.
Inti pemikiran sejarah Islam global Marshall G.S. Hodgson
diuraikan dalam Bab IV. Sebelum berbicara substansi, genealogi
pemikiran sejarah Marshall G.S. Hodgson ditelusuri. Tiga topik
utama metodologi penulisan sejarahnya digali: 1. Sejarah Islam
dalam Logika Struktur dan Poststruktur; 2. Sejarah Islam Hodgson,
Bahasa, dan Kekuasaan; 3. Sejarah Islam Hodgson sebagai Rantai
Keragaman Kerangka Berpikir. Tiga topik ini merupakan paralel dari
tiga perspektif Arkeologi Pengetahuan yang dipaparkan dalam Bab
III. Paralelitas ini yang memungkinkan proses sintesis dalam Bab V.
Bab V diberi judul ’Keragaman dalam Historiografi Islam’
yang merupakan sintesa dan analisa riset ini. Judul ini juga sudah
memberikan isyarat kesimpulan besar yang diungkapkan dalam
Bab I : Pendahuluan – 43
B A B II
SEJARAH ISLAM:
HISTORIOGRAFI DALAM
PERDEBATAN
45
Alur pemikiran Bab II ini dibangun dalam pola dialektis. Di satu
pihak, pembagian tiga subbab di bawah adalah mengadaptasi
tiga dimensi pemikiran Michel Foucault.73 Di lain pihak, uraian
dan isi penjelasan perkembangan historiografi Islam di dalamnya
tidak begitu saja mengikuti rationale dari Foucault. Dengan
demikian, aliran pemikiran dalam Bab ini berlangsung dalam cara
kerja tesis (’Arkeologi Pengetahuan Michel Focault’) dan antitesis
(’perkembangan historiografi Islam’) secara dialektis.
Uraian Bab II ini dibagi ke dalam tiga dimensi berdasarkan
alur pemikiran yang dirumuskan dalam tiga pertanyaan minor
yang dibangun sejak awal dalam riset ini.74
A. Struktur Diskursus dalam Sejarah Islam
B. ’Kekuasaan dan Pengetahuan’ dalam Sejarah Islam
C. Nalar Berpikir Sejarah Islam
Masing-masing subbab dibagi ke dalam tiga periode sejarah
Islam (Klasik, Pertengahan, dan Modern). Tiga pembabakan
sejarah Islam sebagaimana digariskan oleh Harun Nasution
(1919–1998) secara arbitrary digunakan di sini:75 Periode Klasik
(650–1250); Periode Pertengahan (1250–1800); Periode Modern
73
Lihat ”Kerangka Teori Sejarah Michel Foucault”dalam Bab I Pendahuluan.
74
Lihat ”Perumusan Masalah”dalam Bab I Pendahuluan.
75
Arbitrary (’sewenang-wenang’), karena Harun Nasution membuat pembagian
dan pembabakan sejarah tanpa memberi penjelasan dan alasan serta basis
argumentasi yang memadai. Ia juga secara arbitrary membagi tiga periode ini
dengan lebih rinci. Yaitu, ’masa kemajuan Islam’ (650–1000), ’masa disintegrasi’
(1000–1250), ’masa kemunduran’ (1250–1500), ’masa tiga kerajaan besar’
(1500–1800), ’kemunduran tiga kerajaan besar’ (1500–1800), ’masa
kolonialisme dan modern’ (1800–sekarang). (Harun Nasution, ”Aspek Sejarah
dan Kebudayaan”, dalam Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jilid 1) (Jakarta:
Penerbit Universitas Indonesia, 1985), 50–87). Badri Yatim mengikuti pola
periodisasi Harun Nasution ini. (Lihat Badri Yatim, ”Daftar Isi”, dalam Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), xi–xiv. Sedangkan
Didin Saefuddin Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa,
2009), tidak membuat pembagian berdasarkan kronologi waktu, melainkan topik
dan peristiwa politik dalam Sejarah Islam.
https://www.academia.edu/2584435/Post-structuralism_as_Historiographical_
Paradigm (diunduh 16 September)
Sebagai gerakan intelektual, strukturalisme mencapai puncaknya di Perancis
77
pada dekade 1960an. Gagasan dasarnya berasal dari karya dan pemikiran
bahasa dari Ferdinand de Saussure (1857–1913). Bahasa sebagai fenomena
yang mengandung gagasan ’tak terbatas’ (’rantai makna yang tak berkesudahan’,
’tidak memiliki awal dan akhir’) menjadi kesibukan intelektual yang paling utama
dari Jacques Derrida (1930–2004). Posisi postsrukturalis ini, pada dekade
1960-an dan 1970-an, dilanjutkan oleh Roland Barthes (1915–1980) yang
memperlihatkan konsekuensi ’rantai makna yang tak berkesudahan’ dari bahasa.
Yaitu, pengetahuan pasti memiliki sekian lapisan ’struktur’ makna dan signifikansi.
1. Periode Klasik
Rekonstruksi biografi Nabi Muhammad yang ditulis segera setelah
Nabi wafat merupakan salah satu upaya penulisan sejarah Islam
yang paling awal. Di samping sebagai sumber pokok kedua dalam
ajaran Islam, ḥadīth merupakan tambang informasi sejarah Islam
awal. Tetapi, peranan ḥadīth tidak hanya menyediakan materi
atau data untuk penulisan sejarah, melainkan juga membentuk
struktur dan metode historiografi Islam. Metode isnād79 yang
Sejarah tidak ditentukan oleh satu peristiwa besar (perang, bencana) atau
78
oleh keputusan mengagumkan dari raja, dinasti, pemimpin besar. Sejarah tidak
digerakkan oleh subyek individual, melainkan oleh diskursus. Diskursus inilah
yang membentuk subyek. (Corlew, ”Post-Structuralismas Historiographical
Paradigm”, 2–3).
Isnād, (sanad, ”mendukung”) adalah rantai otoritas yang mentransmisikan ḥadīth
79
dari Nabi Muhammad, atau Sahabat (Ṣaḥābah), atau Sahabat dari Sahabat
(tabīʿ). Derajat keterpercayaan rantai ini menentukan kesahihan sebuah ḥadīth.
Sebuah isnād mendahului isi teks (matn) dan memberikan bentuknya. (Jonathan
A.C. Brown, ”How We Know Early Ḥadīth Critics Did Matn Criticism and Why It’s
So Hard to Find”, Islamic Law and Society 15 (2008):143-184, file:///C:/ Users/
HENING%20GRIYA/Downloads/ Documents/ publication-51827.pdf (diunduh
13 Desember 2015).
perang dan penyerangan militer yang dilakukan Nabi Muhammad. Literatur ini
merupakan studi paling awal dan paling penting dari sejarah kehidupan Nabi oleh
para sahabat. Studi maghāzi lahir bersamaan dengan studi ḥadīth. Para pionir
studi maghāzi pada saat yang sama adalah juga para muḥaddith. (Al-Ṭabarī,
History of Al-Ṭabarī, ”Vol. 39 Biographies of the Prophet’s Companions”, 235,
241, 253, 318ck; Azra, ”Peranan Hadīts”, 29–30).
Satu penelitian mengenai sīrah Nabi Muhammad menarik perhatian dalam kajian
82
ini. Materi yang dikumpulkan oleh Ibn Isḥāq dan al-Wāqidī, serta kisah Perang
Badr yang ditulis oleh Mūsā b. ʿUqba memberikan persamaan isi yang mencolok
satu sama lain. Pada saat yang sama, ketiganya memperlihatkan variasi dalam
cara mengkonstruksi diskursus. [Victor Jongjin Bauhng, ”Early Sīra material
and the Battle of Badr”, MPhil Thesis, SOAS (School of Oriental and African
Studies), 2012, http://eprints.soas.ac.uk/ 13187/1/Bauhng_3313.pdf (diunduh
20 Nopember 2015)].
83
Abū Rayḥān Muḥammad ibn Aḥmad Al-Bīrūnī (Al-Biruni) (973–1048) salah
satu sarjana Muslim paling penting dalam Periode Pertengahan. Tinggal di
sepanjang hidupnya di Ghazni (sekarang: Afghanistan), ia menjadi pelopor studi
perbandingan agama-agama. Ia tidak berprasangka membuktikan salah agama-
agama tertentu. Dengan pendekatan obyektif, dipelajarinya Zoroastrianism,
Judaism, Hinduism, Christianity, Buddhism, Islam, dan berbagai agama lain.
(Kamar Oniah Kamaruzzaman, ”Al-Bīrūnī: Father of Comparative Religion”,
Intellectual Discourse, Vol 11, No. 2: 113–138, http://journals.iium.edu.my/
intdiscourse/index.php/islam/article/view/252/234, diunduh 14 Juli 2016).
84
Mustafa Sareer, ”Initial Conquest of India by Turks and Their Slaves”, IOSR Journal
Of Humanities And Social Science (JHSS) Volume 5, Issue 4 (Nov. - Dec. 2012):
1–14 (1), http://iosrjournals.org/ iosr-jhss/papers/ Vol5-issue4/ A0540114.
pdf?id=5880, (diunduh, 8 Mei 2016).
86
Azra, ”Peranan Hadīts”, 42.
87
Mereka, antara lain, adalah Ibn Sa’d (168/784–230/844; menulis Kitāb al-
Ṭabaqāt al-Kubrā), Ibn ’Abd al-Barr (368/978–463/1070; menulis al-Istīʻāb fī
Ma’rifat al-Aṣḥāb), Ibn al-Athīr (555/1160–630/1232; menulis Usd al-Ghābah
fī Ma’rifat al-Ṣaḥābah), al-Dhahabī (673/1274–748/1347; menulis Tajrīd Asma’
al-Ṣaḥābah), dan Ibn cambira ajar al-’Asqalānī (773/1371–852/1448; menulis
al-Iṣābah fī Tamyīz al-Ṣaḥābah). (Fu’ad Jabali, ”A Study of the Companions”, 14;
Azra, ”Peranan Hadīts”, 42–43).
88
Fu’ad Jabali, ”A Study of the Companions”, 16.
89
Maka bisa dipahami Ibn ’Abd al-Barr (368/978–463/1070), Ibn al-Athīr
(555/1160–630/1232), dan Ibn Ḥajar al-’Asqalānī (773/1371–852/1448),
masing-masing memiliki koleksi jumlah Sahabat yang semakin banyak:
4200 orang, 8.000 orang, dan 12.000 orang. (Fu’ad Jabali, ”A Study of the
Companions”, 16–17).
2. Periode Pertengahan
Strukturalisme Periode Pertengahan ini terungkap dalam karya
dua sejarawan Ibn Baṭūṭah (1304–1368/1369) dan Ibn Khaldūn
(1332–1406).
Sebuah tulisan J. Arno & H. Grady, ”Ibn Battuta: A View
of the 14th-Century World”92 memperlihatkan bagaimana Ibn
Baṭūṭah merajut kisah dan peristiwa jaringan perdagangan dan
kebudayaan Afrika, Asia dan Eropa menjadi sebuah entitas global.
90
Orang-orang seperti Ibn Saʻd, Ibn ’Abd al-Barr, Ibn al-Athīr, al-Dhahabī, dan Ibn
Ḥajar al-’Asqalānī, adalah para muḥaddith yang sekaligus sejarawan. Bahkan
Ibn Saʻd adalah rekan kerja dari al-Wāqidī dan diberi titel kātib al-Wāqidī. (Azra,
”Peranan Hadīts”, 40; Fu’ad Jabali, ”A Study of the Companions”, 18.)
91
Fu’ad Jabali, ”A Study of the Companions”, 19.
92
Berdasarkan Clinton Grant, ”Fourteenth Century Islamic Civilization in Southwest
Asia and North Africa”[http://teachersites.schoolworld.com/ webpages/
GHurst/files/ ibn%20battuta1.pdf, (diunduh 11 Mei 2016)].
93
Prolegomena (jamak dari Prolegomenon) berasal dari kata prolegein (Yunani),
’penyampaian pendahuluan’. Prolegomena adalah sebuah esai kritis yang
menghantar sebuah karya dengan isi pembahasan yang panjang lebar dan
mendalam. Ia sebenarnya adalah pendahuluan untuk sebuah karya ilmiah
yang komprehensif. (Abd Ar Rahman bin Muhammed Ibn Khaldun, [Translated
by Franz Rosenthal), The Muqaddimah, https://asadullahali. files.wordpress.
com/2012/10/ ibn_khaldun-al_muqaddimah.pdf. (diunduh 17 Agustus 2015)].
94
Sāṭi` al-Ḥuṣrī (1882–1968) menganggap bahwa karya ini pada dasarnya karya
sosiologi yang mencakup lima topik bahasan: sosiologi umum, sosiologi politik,
sosiologi kehidupan perkotaan, sosiologi ekonomi, dan sosiologi pengetahuan. (Salah
Machouche dan Benaouda Bensaid, ”The roots and Constructs of Ibn Khaldūn’s
Critical Thinking. Intellectual Discourse, 23:2 (2015) 201-228, http://webcache.
googleusercontent.com/search?q=cache:http://irep.iium.edu. my/47243/1/694-
1618-3-PB.pdf (diunduh 16 September 2016).
95
Abd Ar Rahman bin Muhammed Ibn Khaldun, The Muqaddimah, ”Chapter III
On Dynasties, Royal Authority, The Caliphate, Government Ranks, And All
That Goes With These Things. The Chapter Contains Basic And Supplementary
Propositions”. Ia menjelaskan ini secara ringkas dalam judul kecil ”Dynasties have
a natural life span like individuals”, (lembaran ke 227–228).
Pada tahap ini, solidaritas dibangun atas dasar ikatan keluarga dan agama. Ikatan
96
ini digunakan untuk menjaga keutuhan sistem. Penguasa tampil sebagai pimpinan,
bukan sebagai tuan atau raja. Ia taat mengikuti aturan dan hukum agama.
Proses ke arah ini, oleh Ibn Khaldūn, dianggap sebagai proses natural dan
97
perasaan percaya diri bahwa situasi seperti ini akan langgeng. Atmosfer ini,
tanpa sadar, segera membawa pada kondisi genting dan dekadensi moral.
(Stowasser, ”Ibn Khaldun’s Philosophy of History”, 187).
100
Warga yang semula menyampaikan loyalitas secara natural dan cuma-
cuma, kini diganti oleh militer dan birokrasi yang menuntut bayaran. Dengan
berkembangnya ekonomi biaya tinggi ini maka pajak dinaikkan. Kenaikan pajak,
sebaliknya, mengurangi daya beli masyarakat. Aktivitas ekonomi menjadi lesu.
Kemampuan finansial untuk menopang jalannya roda kekuasaan menurun. (Abd
Ar Rahman bin Muhammed Ibn Khaldun, The Muqaddimah, ”When the natural
(tendencies) of the royal authority to claim all glory for itself and to obtain luxury
and tranquility have been firmly established, the dynasty approaches senility”,
(lembaran ke 224–226).
3. Periode Modern
Dua sejarawan kontemporer Ira M Lapidus (1937–...) dan Hamka
(Haji Abdul Malik Karim Amrullah; 1908–1981) hendak diambil
sebagai representasi untuk memberikan ’petunjuk’ apa itu
struktur diskursus.103
A History of Islamic Societies, karya Ira Lapidus104 kerap
dibandingkan dengan magnum opus dari Marshall G.S. Hodgson
101
Stowasser, ”Ibn Khaldun’s Philosophy of History”, 187–188.
102
Stowasser, ”Ibn Khaldun’s Philosophy of History”, 188.
Dalam khasanah tulisan sejarah Islam yang menelusuri sejak kelahirannya, kita
103
temukan beberapa karya dalam Bahasa Indonesia, antara lain Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) dan Didin Saefuddin
Buchori, Sejarah Politik Islam (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009). Didin Saefuddin
Buchori meletakkan sejarah Islam sejak awal dalam pembahasan sejarah politik.
Sedangkan Badri Yatim mendekatinya sebagai sejarah peradaban meski ia tidak
cukup menjelaskan secara mendalam apa yang dimaksud dengan peradaban.
Ira Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University
104
Azyumardi Azra menjelaskan arti ’totalitas’ dalam sejarah Islam, dengan mem
105
bandingkan karya Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, dengan tulisan Ibn
Khaldun, Kitābu l-ʻibar wa Diwānu l-Mubtada’ wa l-Ħabar fī tarikhi l-ʻarab wa l-Barbar
wa man ʻĀsarahum min Đawī Ash-Sha’n l-Akbār (Book of Lessons, Record of
Beginnings and Events in the History of the Arabs and Berbers and their Powerful
Contemporaries). Ia menjelaskan bahwa keduanya menulis dengan basis argumen
sejarah Islam dan masyarakat Muslim dalam ’totalitas’ peradaban manusia. Mereka
berdua menulis sejarah Islam (kontemporer dan klasik) dengan menggunakan
pendekatan general dan total history. Ibn Khaldun, misalnya, menunjukkan
pendekatan totalitas ketika ia menguraikan sejarah Islam dari berbagai perspektif:
geografi, klimatologi, sosiologi, antropologi, etnologi, pedagogi, filosofi, astronomi—
untuk menyebut beberapa saja. (Azyumardi Azra, ”Sejarah Islam Totalitas”dalam
Historiografi Islam Kontemporer. Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2002), 68–70).
107
Lapidus, A History of Islamic Societies, xviii; Azra, ”Revisionisme Historis”dalam
Azra, Historiografi Islam Kontemporer, 59.
Lihat daftar isi buku A History of Islamic Societies. (Lapidus, A History of Islamic
109
Societies, vii–xii).
Situasi ini didukung oleh sistem kapitalisme yang dibangun oleh Pemerintahan
110
Belanda dan Inggris antara 1795–1815. Dua kolonialis ini bereksperimen dengan
menggunakan kontrol terhadap sistem ekonomi dan perdagangan. Ketika Inggris
menguasai tanah Jawa (1811), Sir Stamford Raffles (1781–1826) menerapkan
113
Lapidus, A History of Islamic Societies, 652.
Menjelang lahirnya Islam, peta kultural-politik Timur Tengah terbagi ke dalam dua
114
Abbasiyah dengan Sultan Abdul Majid II di zaman Dinasti Usmani, yang keduanya
memiliki nasib yang sama, yaitu disingkirkan dari kekuasaaannya yang singkat.
(Hamka, Sejarah Umat Islam, 19–20, 290).
Frederick Cooper, salah satunya, mengeritik cara menghubungkan antara
119
Hamka, ”Pengantar”, dalam Sejarah Umat Islam, 3; Hamka, Sejarah Umat Islam,
121
282–283.
Khairudin Aljunied berpendapat bahwa Hamka memeragakan semua empat tipe
122
1. Periode Klasik
Penulisan sejarah Islam dalam Periode Klasik ditelusuri dengan
beberapa cara. Antara lain, sejarah diungkapkan lewat penulisan
biografi, ilmu Ḥadīth, dan isnād. Tampil ke permukaan riwayat
pemain-pemain penting yang menulis sejarah perkembangan
Islam. Karya-karya asma’ al-rijāl telah mematangkan historiografi
awal Islam. Kamus biografi para Sahabat ini sudah barang tentu
merupakan bahan penting sejarah Islam awal. Kisah-kisah ini
semula digunakan untuk kepentingan ilmu ḥadīth. Dengan
Foucault mengambil topik-topik yang terdengar ’aneh’ (antara lain, penjara, klinik,
124
dengan struktur yang baku dan jelas. Ia menguraikan periode pra-Islam untuk
menjelaskan kehidupan Nabi, menyampaikan aspek-aspek penting periode
Mekah dalam hidupnya, dan hijrahnya ke Madinah. Selanjutnya, ia membahas,
tahap demi tahap, kegiatan militer Nabi. (Al-Ṭabarī, History of Al-Ṭabarī, ”Vol.
39 Biographies of the Prophet’s Companions”, 12, 23, 55, 108–109, 165–167,
174–176, 186–187, 234–35).
Aḥmad b. Yaḥyā al-Balādhurī (w. 892) adalah salah satu dari sejarawan Arab
128
terbaik dalam abad ke-9. Kitāb Futūḥ al-buldān yang ditulis Aḥmad b. Yaḥyā al-
Balādhurī menjelaskan proses bagaimana Islam tersebar dengan perkembangan
politiknya selama era penaklukan awal oleh dinasti-dinasti Muslim. Tulisan ini
juga berisi survei geografis teritori Kekalifahan.
Ahmad ibn Abu Ya’qub ibn Ja’far ibn Wahb Ibn Wadih al-Ya’qubi (w. 897/8),
129
sekitar enam puluh ribu sajak, yang ditulis oleh Firdawsi antara 977–1010 M. Ia
adalah epik bangsa Iran dan sekitarnya. Berisi hal-hal mitis dan sejarah Kerajaan
Persia, sejak dunia ini diciptakan hingga Muslim menaklukkan pada abad ke-7.
definisikan Sahabat. Dampaknya, jumlah ḥadīth yang mereka terima jauh lebih
sedikit. (Fu’ad Jabali, ”A Study of the Companions”, 54)
Sebagaimana Sunnī, komunitas Shīʻī juga menulis biografi para Sahabat sejak
137
abad ke-3/9. Komunitas Shīʻī dan Sunnī memiliki perbedaan kriteria dalam
menyeleksi materi yang dikoleksi. Komunitas Sunnī memfokuskan pada substansi
yang terkait dengan periwayatan ajaran-ajaran Nabi, sejak dari Sahabat Nabi
ke generasi-generasi berikutnya. Komunitas Shīʻī memiliki strategi kerja yang
berbeda. Mereka mengerjakan hal-hal yang terkait dengan menjaga dan
memelihara ajaran para Imam. Para sarjana Shīʻī seperti al-Barqī (w. 274/887),
Ṭūsī (w. 460/1067), dan Najāshī (w. 450/1058-9) pada umumnya menulis para
Sahabat dari Imam-Imam. Demi keketatan metodologi sumber-sumber Shīʻī tidak
dipakai dalam riset ini. (Etan Kohlberg, ”Some Zaydī Views on the Companions of
the Prophet”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University
of London, Vol. 39, No. 1, (1976): 91-98, file:///C:/Users/ HENING%20GRIYA/
Downloads/ Documents/ Zaydi_Views.pdf (diunduh, 14 Desember 2015); Fu’ad
Jabali, ”A Study of the Companions”, 29–30).
Companions”, 64–65.
142
Banyak ḥadīth yang sebelumnya dianggap memiliki status al-musnad diubah
menjadi al-mursal, dianggap lemah, sehingga tidak dipakai lagi dan dipinggirkan.
(Fu’ad Jabali, ”A Study of the Companions”, 65).
143
Perdebatan antara ahl al-Ḥadīth dan Muʻtazilah bisa diringkaskan sebagai kom
petisi dan pilihan dilematis antara Wahyu vis-à-vis rasio (akal). Akal harus menjadi
subordinat dari Wahyu atau Qur’an, demikian posisi ahl al-Ḥadīth. Ketika Wahyu
dianggap terlalu umum dan kurang memberikan kepastian dalam menjelaskan
hukum dan persoalan hidup, bukan akal yang menjadi tumpuan berikut, melainkan
ḥadīth Nabi. Para Muʻtazilah memiliki pandangan yang berbeda. Dalam proses
membuat pertimbangan, akal itu setara dengan Wahyu. Penjelasan al-Ḥadīth,
demikian anggapan mereka, kerap mengandung keraguan dan menyampaikan
kontradiksi maka ia tidak bisa menjadi sumber acuan. (Fu’ad Jabali, ”A Study of
the Companions”, 58–59).
Dianalogikan oleh al-Shāfiʻī (w. 204/820) sebagai berikut. Aḥmad ibn Ḥanbal (w.
144
2. Periode Pertengahan
Komunitas sejarawan dan intelektual Muslim memiliki gairah
untuk mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan di luar komunitas
mereka. Tiga sejarawan pada Periode Pertengahan akan
disampaikan secara ringkas untuk memberikan pesan adanya
’kekuasaan dalam pengetahuan’: Rashīd al-Dīn Tabīb (Rashīd
al-Dīn Fadhl-allāh Hamadānī (1247–1318), Ibn Baṭūṭah (1304–
1368/1369), dan Ibn Khaldūn (1332–1406). Mereka mener
jemahkan karya-karya asing yang bermutu. Relevansi pemikiran-
pemikiran asing yang mereka temui itu kemudian mereka gali,
dan kemudian dihubungkan dengan konteks dan kebutuhan
pada zamannya masing-masing. Beberapa upaya kontekstualisasi
ini telah memproduksi karya-karya kreatif. Tidak jarang mereka
melampaui kualitas karya aslinya. Beberapa di antara mereka
juga mencatat apa yang mereka lihat dan alami, menyusunnya
menjadi sebuah pengetahuan penting.
Rashīd al-Dīn Tabīb (Rashīd al-Dīn Fadhl-allāh Hamadānī (1247–
1318)147 yang menulis Jami al-Tawarikh (Compendium of Chronicles)
mewakili situasi pengetahuan pada periode krisis. Warisan
Stefano Carboni dan Qamar Adamjee, ”Folios from the Jami’ al-tavarikh”
148
Timur Dekat (1330–1335); India dan Srilanka (1333–1345); Asia Tenggara dan
(mungkin) Tiongkok (1345-1346); Afrika Utara, Spanyol, dan Afrika Barat (1349-
1354); Ibn Baṭūṭah wafat (1368/1369) kemungkinan di kampung kelahirannya
Tangiers, Afrika Utara. (”The Rise and Growth of Islamic Historiography”,
New Dictionary of the History of Ideas, (http://post.queensu.ca/~woolfd/
Historiography.pdf, diunduh 14 Mei 2016), xliii).
Hosung Shim, ”The Postal Roads of the Great Khans in Central Asia under the
151
Abd Ar Rahman bin Muhammed Ibn Khaldun, The Muqaddimah, ”When a dynasty
153
is, firmly established, it can dispense with group feeling” (lembaran ke 206–207).
154
Abd Ar Rahman bin Muhammed Ibn Khaldun, The Muqaddimah, ”The differences
of Muslim opinion concerning the laws and conditions governing the caliphate”
(lembaran ke 258–264); Zaid Ahmad, ”Ibn Khaldun and The Greek Philosophy:
Some notes from the Muqaddima”, Historical Research Letter, Vol 2, 2012:
23–26. (file:///C:/Users/gssoetomo/Downloads/2233-4238-1-PB%20(2).pdf,
diunduh 11 Juli 2016).
155
Machiavelli, dalam Il Principe (The Prince), juga mendeskripsikan timbul dan
tenggelamnya bangsa-bangsa dan kebudayaannya. Demikian pula, ia mengamati
agama sebagai pilar yang mengikat komunitas. Tanpa agama, katanya, bangsa-
bangsa tidak akan bisa mengembangkan karakter dan keutamaan sosial dan
politik. Machiavelli meletakkan agama sebagai fungsi politik. Ia tidak berminat
untuk menggali agama sebagai realitas spiritual dan ilahi. Datang dan perginya
agama melulu merupakan fakta historis pembangun peradaban. Machiavelli
adalah seorang pragmatis dan positivis yang ’tidak peduli’ mengenai kebenaran
transendental dalam agama. (Stowasser, ”Ibn Khaldun’s Philosophy of History”,
189–190).
Abd Ar Rahman bin Muhammed Ibn Khaldun, The Muqaddimah, ”Forecasting the
156
3. Periode Modern
Dua penulisan sejarah oleh dua sejarawan yang berbeda mewakili
bagaimana interaksi antara pengetahuan dan kekuasaan
terbentuk dalam sejarah Islam Periode Modern. Ira Lapidus,
A History of Islamic Societies (2002), mengoreksi paradigma
sejarah yang pada umumnya Middle-Eastern oriented, Islam
yang identik dengan Arab. Sejarah sebagai medium perubahan
menjadi corak tulisan sejarah Islam oleh Hamka. Lewat Sejarah
Umat Islam, Hamka menyampaikan agenda reformasinya. Ia ingin
mempengaruhi dan mengubah cara berpikir orang-orang.
Pengamat mengatakan Ira Lapidus berhasil mengkreasi
sejarah Islam dengan perspektif mondial. Bahkan, sejarah yang
ditulis oleh Lapidus menjadi indikasi dan bukti luruhnya batas-
batas Islam pusat dan Islam periferi.158 Dalam pembahasan
topik yang spesifik, misal Islam di Jawa, Lapidus tidak luput
meletakkannya dalam perspektif mondial ini.
Sepanjang abad ke-16 dan 17, tepatnya pada puncak kekuasaannya di bawah
157
Lapidus masih mengikuti cara berpikir ’lama’ dari Clifford Geertz, The Religion of
160
Java, yang sudah banyak dikritik. Deliar Noer, antara lain, menyebutkan kelemahan
epistemologis pembagian Geertz yang tidak menggunakan kriteria yang sama
ketika membedakan ’priyayi’ dan ’abangan’. Priyayi menunjuk pada kebangsawan
atau kepegawaian, bukan pada kesalehan beragama. Noer mengajukan alternatif
’abangan’ dibandingkan dengan ’putihan’ yang didasarkan pada ukuran dedikasi
dan intensitas seseorang pada agama Islam yang dianutnya. (Lapidus, A History
of Islamic Societies, 658; Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–
1942 (Jakarta: LP3ES, 1982), 23).
Lapidus, A History of Islamic Societies, 659–660.
161
Gagasan ini bisa dibandingkan dengan Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
162
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam
Indonesia (selanjutnya, Jaringan Ulama) yang melukiskan hubungan dan dinamika
pemikiran di Timur Tengah dan Nusantara (termasuk Thailand Selatan), pada abad
ke-17 dan 18. Dua abad ini adalah periode yang paling dinamis dalam sejarah sosial-
intelektual Islam. Interaksi yang berlangsung dalam dua abad ini dianggap sebagai
akar pembaruan Islam Indonesia. (Lapidus, A History of Islamic Societies, 660–662;
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad
XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2013), xi).
Kelompok yang lebih konservatif, Persatuan Islam (1923) didirikan oleh Haji
163
Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Kelompok ini menentang hiburan kultural
wayang kulit yang dianggapnya peninggalan Hindu, dan juga menolak praktik
ziarah kubur. Komunitas ini menganggap tidak perlu memikirkan bagaimana Islam
mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, karena Islam pada dasarnya
sudah progresif. (Lapidus, A History of Islamic Societies, 662–663).
165
Kerap dianggap sebagai ’penulis sejarah dari luar’ (outsider history-makers),
karena statusnya sebagai seorang sarjana yang bekerja di luar jalur formal
universitas dan tidak bekerja dalam dunia akademis. Istilah ’penulis sejarah
dari luar’, dikenalkan oleh Benjamin Filene, merujuk pada ilmuwan sejarah yang
bekerja di luar museum atau perguruan tinggi, tanpa training formal, kerap
dengan pendanaan yang sangat terbatas. Meski demikian, ia menulis sejarah
dengan pendekatan yang menginspirasi kalangan luas. (Khairudin Aljunied,
”Writing Reformist Histories ”, 11).
166
Khairudin Aljunied, ”Writing Reformist Histories ”, 12.
167
Demikian pula Hamka yang menulis secara popular, tulisan-tulisannya diacu oleh
para ilmuwan profesional seperti Harry Benda, Anthony Reid, Taufik Abdullah
and Deliar Noer. Hamka telah mampu menjembatani komunitas akademis dan
peminat sejarah popular. (Khairudin Aljunied, ”Writing Reformist Histories ”, 12).
Hamka, Sejarah Umat Islam, 527–528, 539–540. Selain itu, ia juga menyebut
168
Religious Renewal in Muslim Southeast Asia,’’ dalam Islam in the Era of Nation-
States, ed. Robert W. Hefner (Honolulu: University of Hawai’i Press, 1997), 9.
171
Hamka, Sejarah Umat Islam, 5.
172
Hamka merujuk pada tulisan-tulisan G. W. J. Drewes, ’’New Light on the Coming
of Islam to Indonesia,’’ Bijdragen tot de Taal-,Land-enVolkenkunde 124, no.4
(1968): 433–59 and R.O.Windstedt, ”The Advent of Muhammadanism in the
Malay Peninsula and Archipelago”, Journal of the Royal Straits Branch of the
Royal Asiatic Society 77 (1917): 171–75. (Hamka, Sejarah Umat Islam, 680)
173
Hamka, Sejarah Umat Islam, 685–86.
Hamka, Sejarah Umat Islam, 697–701.
174
175
Sejarawan rekonstruktionis adalah sejarawan empiris dan realis. Metode yang
digunakan adalah memvalidasi cara dan hasil kerja empirisme. Dilahirkan dalam tradisi
Empirisme abad ke-19, para pemikir sejarah ini membangun konstruk sejarah di
atas basis bukti empiris dan pengalaman. Di sini, sejarah adalah produk dari sebuah
rekonstruksi masa lalu berdasarkan riset obyektif. Ia dibebaskan dari pengaruh
ideologis dan a priori bahasa. (Alun Munslow, Deconstructing History, 18, 32).
1. Periode Klasik
Dalam dunia Arab dan Persia ada karya-karya historiografi lokal,
genealogi, dan tradisi oral, misal narasi-narasi popular tentang
perang (Ayyām).180 Historiografi Islam dimulai pada abad ke-7
yang menelusuri dan menggali kehidupan, perbuatan, dan kisah
perjalanan Nabi Muhammad, termasuk di dalamnya hijra dari
Makkah ke Medinah (622 CE). Kisah-kisah ini berperanan sebagai
jangkar untuk mendalami kronologi Islam awal.
dalam Bab III dan Bab IV. Bab V adalah sintesis Bab III dan Bab IV dengan
memasukkan analisa Bab II ini.
Mahayudin Haji Yahaya, ”The People of Al-Ayyam in the Arab Conquest of Iraq”,
180
Mengingat ḥadīth memiliki otoritas yang paling tinggi sebagai sumber referensi
181
setelah Al-Qur’an, para ulama melakukan kajian secara hati-hati dan teliti. Bisa
dipahami, penerimaan ḥadīth, dalam aspek hukum, dilakukan lewat proses yang
sangat kritis. (Azra, ”Peranan Hadîts”, 27).
Al-Ṭabarī (Abū Jaʿfar Muḥammad ibn Jarīr al-Ṭabarī; 839 - 923), lahir di Iran (Āmol,
182
Fu’ad Jabali dan Azyumardi Azra memberikan daftar sejarawan penting dalam
184
Periode Klasik dan Periode Pertengahan Islam: Urwah (w. 712), Wahb ibn Munabbih
(w. 728), Ibn Ishaq (w. 761), al Waqidi (745–822), Ibn Hisham (w. 834), Muhammad
al-Bukhari (810–870) and Ibn Hajar (1372–1449). Fu’ad Jabali, ”A Study of the
Companions of the Prophet’, 14; Azyumardi Azra, ’Peranan Hadîts’, 42 - 43.
185
Lihat tulisan-tulisan Al-Ṭabarī, History of Al-Ṭabarī khususnya sejak Vol. 06:
Muhammad at Mecca hingga Vol. 39: Biographies of the Prophet’s Companions
& Their Successors: al-Tabari’s Supplement to His History.
186
Azyumardi Azra, ”Peranan Hadîts”, 45.
187
Al-Masʿūdī (Abū al-Ḥasan ʿAlī ibn al-Ḥusayn al-Masʿūdī; 893–956), lahir di Irak
(Baghdad), wafat di Mesir (Al-Fusṭāṭ), seorang sejarawan dan petualang, dikenal
sebagai Herodotus of the Arabs. Orang pertama yang menggabungkan sejarah
dan ilmu geografi. (”Major Trends in Historical Thought and Writing Study
Material”, B.A. History Thenjipalam, Calicut University P.O., Malappuram, Kerala,
file:///C:/Users/ HENING %20GRIYA/ Downloads/ Documents/ VI_sem_ Major_
Trends_in_ Historical_ Thought_ and_Writing.pdf (diunduh 12 Nopember 2015)
Fu’ad Jabali menulis sebuah disertasi ”A Study of the Companions of the Prophet:
188
Bdk Suyuthi (Tadrib al-Rāwi, 108), sebagaiamana dikutip oleh Mun’im Sirry
191
(Mun’im Sirry, ”Modernitas dan Upaya Rethinking Hadis”, dalam Tradisi Intelektual
Islam. Rekonfigurasi Sumber Otoritas Agama, (Malang: Madani, 2015), 90.
Mun’im Sirry, ”Modernitas dan Upaya Rethinking Hadis”, 90 - 94; Fu’ad Jabali, ”A
192
193
Fu’ad Jabali, ”A Study of the Companions”, 245–246.
Beberapa sarjana Muslim masih terus mengeritik dan mempertanyakan doktrin
194
klasik yang dipegang oleh para muḥaddith ’para sahabat semuanya adil’ (al-sahābah
kulluhum ’udūl) (Mun’im Sirry, ”Modernitas dan Upaya Rethinking Hadis”, 91.
195
Akbarally Meherally, Myths and Realities of Hadith. A Critical Study (Burnaby, BC,
Canada: Mostmerciful.com, 2001), http://www. mostmerciful.com/hadith-book.
pdf (diunduh 19 Desember 2015); Fu’ad Jabali, ”A Study of the Companions”, 245.
196
Perang Ṣiffīn telah menyebabkan berbagai faksi dalam kelompok sosial dan
pemikiran teologi. ʻAlī dan para pendukungnya adalah grup yang dekat dengan Nabi,
dan juga pengikutnya yang sangat awal, memiliki status sosial-ekonomi yang tinggi.
Sebaliknya, di grup lawan, Muʻāwiyah dan pendukungnya adalah kalangan yang
lemah secara sosial-ekonomi. Perang Ṣiffīn, tanpa disengaja, menjadi pertempuran
kelompok kaya dan kelas miskin. (Al-Ṭabarī, History of Al-Ṭabarī, ”Vol. 17 The First
Civil War: From the Battle of Siffin to the Death of Ali, A. D. 656-661-A. H. 36-
40”, (translated by G.R. Hawting)”, New York: State University of New York Press,
1989. https://kalamullah.com/ Books/ The%20History %20Of%20Tabari/ Tabari_
Volume_17.pdf. (diunduh 16 Desember 2016).
197
Fitnah adalah sebuah periode dan sejarah Islam awal yang dimulai dengan
pembunuhan ʻUthmān (36/656), dan berpuncak pada Perang Ṣiffīn (37/657).
Setelah ʻUthmān meninggal, ʻAlī diangkat menjadi kalifah di Madinah, yang
segera menimbulkan percekcokan komunitas Muslim awal. Konflik ini berpuncak
pada Perang Ṣiffīn yang diakhiri dengan arbitrase, lewat siasat licin oleh kaki
Rāfiḍī berarti ’penolak’, ’orang yang menolak’; cukup sering diartikan orang yang
199
menolak otoritas dan kepemimpinan Islam yang legitim. Kerap kali ini disematkan
oleh Muslim Sunni, khususnya Salafi, untuk Muslim Syiah yang tidak mengakui
Abu Bakar, Umar, dan Usman sebagai pengganti Nabi Muhammad. [Shmuel Bar,
”Sunnis and Shiites—Between Rapprochement and Conflict”, 87–96, https://
hudson.org/ content/ researchattachments/attachment/1370/bar_vol2.pdf (21
Nopember 2015)].
ʻUbayd Allāh memiliki hubungan yang erat dengan Nabi. Abū Rāfī, ayahnya,
200
2. Periode Pertengahan
Dua nama sejarawan penting dalam Periode Pertengahan, yang
keduanya memiliki kemiripan adalah: Ibn al-Athīr (1160–1233) dan
Rashīd al-Dīn Tabīb (1247–1318). Ibn al-Athīr menulis sejarah dunia,
al-Kāmil fī al-tārīkh (The Complete History). Ia menulis dalam
konteks menjelang invasi Mongol terhadap dunia Muslim pada
awal 1220an. Dalam karya itu, ia menulis sejarah yang dimulai
dengan Nabi Adam. Jika digunakan standar ilmu sejarah dewasa
ini, tulisannya mengundang banyak kritik.
Hampir satu abad sesudah Ibn al-Athīr, seorang yang kelak
akan menjadi sejarawan dan birokrat pemerintahan Persia
berpengaruh pada masanya, lahir. Rashīd al-Dīn Tabīb (Rashīd
al-Dīn Fadhl-allāh Hamadānī (1247–1318), seorang keturunan
Yahudi yang kemudian memeluk Islam, menulis Jami al-Tawarikh
(Compendium of Chronicles), yang dianggap sebagai karya paling
penting selama periode Dinasti Ilkhan (1256–1353) dan Kerajaan
Mongol (1206–1368). Jami al-Tawarikh pada awalnya dibatasi
sebagai sejarah Dinasti Mongol. Tetapi, kemudian, ia berekspansi
dan mencakup seluruh sejarah kehidupan manusia sejak Nabi
Adam.
Dalam Periode Pertengahan, para sejarawan juga mem
bangun dan menyusun sejarah yang memberikan gambaran
bahwa setiap periode sejarah memiliki epistemenya sendiri.
adalah seorang mawlá dari Nabi yang ikut serta bersamanya dalam semua
perang kecuali Badr. Nabi menjodohkan ia dengan Salma, yang juga adalah
seorang mawālī. ʻUbayd Allāh adalah anak mereka berdua. (Fu’ad Jabali, ”A
Study of the Companions”, 23).
Judul buku yang ditulis ʻUbayd Allāh: Tasmīyat man Shahida Ma’a Amir al-Muʾminīn
201
202
Ibn Baṭūṭah (ʾAbū ʿAbd al-Lāh Muḥammad ibn ʿAbd al-Lāh l-Lawātī ṭ-Ṭanǧī ibn
Baṭūṭah), atau Muhammad Ibn Battuta ( 1304–1368/1369).
203
”The Rise and Growth of Islamic Historiography”, dalam New Dictionary of the History of
Ideas, (http://post.queensu.ca/~woolfd/Historiography.pdf, diunduh 14 Mei 2016), xliii.
A Gift to Those Who Contemplate the Wonders of Cities and the Marvels of
204
Travelling.
the Modern Period with Special Reference to the Malay Muslim Community In
Malaysia”, Thesis, University of Birmingham Doctor of Philosophy June 2012,
108–111, http://etheses.bham.ac.uk/4337/1/Ab_Halim13Phd.pdf (diunduh 16
Agustus 2016).
Ibn Khaldūn memulai menyusun karya ini pada 1377. Sebuah tulisan yang
207
Abd Ar Rahman bin Muhammed Ibn Khaldun, The Muqaddimah, ”Only tribes held
208
210
Abd Ar Rahman bin Muhammed Ibn Khaldun, The Muqaddimah, ”A nation that
has been defeated and come under the rule of another nation will quickly perish”,
(lembaran ke 197–198).
211
Abd Ar Rahman bin Muhammed Ibn Khaldun, The Muqaddimah, ”How
disintegration befalls dynasties”, (lembaran ke 375–378).
212
Abd Ar Rahman bin Muhammed Ibn Khaldun, The Muqaddimah, ”Obstacles on
the way toward royal authority are luxury and the submergence of the tribe in
a life of prosperity”, (lembaran ke 187); Stowasser, ”Ibn Khaldun’s Philosophy of
History”, 188–189.
213
Buku ini kemudian direstorasi secara cukup signifikan oleh penulis yang sama,
dan diterbitkan dengan judul Islamic Societies to the Nineteenth Century. A
Global History (Cambridge: Cambridge University Press, 2012).
Dengan mengamati sistematika ”Daftar Isi”Buku ini, kita dapat merasakan alur
214
metodologi sejarah yang dibangun Lapidus. Buku ini dibagi ke dalam tiga bagian
besar. ”Part I The Origins of Islamic Civilization: The Middle East From c. 600 to
c. 1200”; ”Part II The Worldwide Diffusion of Islamic Societies from the Tenth to
the Nineteeth Centuries”; ”Part III The Modern Transformation: Muslim Peoples
in the Nineteenth and Twentieth Centuries”. (Lapidus, A History of Islamic
Societies, vii - xii)
Lihat Lapidus, ”From Islamic Culture to Islamic Society: Iran and Iraq, 945–c.
215
Safawi ditaklukkan oleh ’pemberontak’ dari Afghanistan. Usmani bergulat
219
Selalu ada kasus-kasus yang menarik untuk diperhatikan. Teknologi dan
223
ekonomi global telah merombak lembaga politik dan religius. Dalam kasus Tuki,
misalnya, struktur pemerintahan dan religius yang sudah sekian lama melekat,
kini mengalami retakan dengan lahirnya perbedaan mencolok antara kelas
bourgeouis pedagang dan proletar (Lapidus, A History of Islamic Societies, 871–
872).
Lapidus, A History of Islamic Societies, 872.
224
225
Lapidus, A History of Islamic Societies, 650–675. Dalam buku yang sama,
Lapidus menulis ’pembentukan masyarakat Muslim di Asia Tenggara’ secara
terpisah dalam bab lain (”The Formation of Islamic Societies in Southeast Asia”).
(Lapidus, A History of Islamic Societies, 382–399).
226
Lihat Daftar Isi di bawah judul ’Secularism and Islam in Central and Southern
Asia’. (Lapidus, A History of Islamic Societies, xi).
227
Para penulis sejarah yang mewujudkan cita-cita penulisan sejarah ini antara
lain, Ulama Pakistan Abū al-Aʿlā Maududi (1903–1979), A Short History of the
Revivalist Movement in Islam (1963).
Michael Wood, Official History in Modern Indonesia (Leiden: Brill, 2005), 165–66.
228
229
”Hanya Sultan-sultan yang jatuh, Islamnya sendiri tidak. Kalau dahulu benteng
Islam ialah Sultan-sultan itu sendiri, namun kemudiannya benteng Islam ialah
hati nurani kaum Muslimin itu sendiri.”(Hamka, Sejarah Umat Islam, 820).
230
Khairudin Aljunied, ”Writing Reformist Histories ”, 14–15.
Great Transition, ed. John Bresnan (New York: Rowman & Littlefield, 2005), 92;
Khairudin Aljunied, ”Writing Reformist Histories ”,15.
Lihat tulisan Tasawuf: Perkembangan dan Pemurniannya.
232
ARKEOLOGI PENGETAHUAN
DAN PEMIKIRAN SEJARAH
MICHEL FOUCAULT
Sebagian pakar menganggap ada satu topik lain yang muncul di penghujung
234
109
dalam ”A. Michel Foucault dalam Silang-Lintasan Pemikiran
Kontemporer”. Eksplorasi ini memberikan percikan-percikan ide
untuk menjelaskan distingsi tiga subbab berikutnya.
Tulisan Foucault L’Archéologie du savoir (1969), dalam kaitan
nya dengan panorama pemikirannya yang lain, bisa dieksplorasi
dalam tiga pendekatan:
1. Strukturalisme-postrukturalisme (”B. Strukturalisme dan
Poststrukturalisme Michel Foucault”),
2. Postmodernisme (”C. Unsur-unsur Postmodernisme Pemikiran
Michel Foucault”), dan
3. Filsafat sejarah (”D. Konsep dan Pemikiran Sejarah Michel
Foucault”).
Dalam menjelaskan tiga dimensi pemikiran Foucault ini,
’tumpang tindih’ gagasan tak terhindarkan.
Perancis, dari keluarga makmur konservatif, dari seorang ayah, yang adalah
seorang dokter bedah sukses, dan ibu, seorang anak dari dokter bedah
juga. Pemikir yang sedang kita bicarakan ini memilih nama Michel Foucault
(menyembunyikan nama ’Paul’), dan memiliki satu saudari perempuan dan dua
saudara laki-laki. Mereka adalah keluarga yang beragama Katolik Roma ’nominal’,
yang pergi ke gereja di Saint-Porchair. Lulus baccalaurèat di sebuah Kolese Yesuit
Collège Saint-Stanislas, dia tidak pernah mengungkapkan detail masa kecilnya.
Pada waktu muda mengalami kesepian dan perasaan terasing, tetapi kemudian
bermetamorfosa menjadi berkepribadian matang yang relaks dan ceria.
Ingin mengetahui warna-warni Michel Foucault ’kecil’ dan ’orientasi sek
236
sualitasnya’?: ”Di sekolah dahulu saya tidak pandai, bahkan agak bodoh
sebenarnya. Nah, di sekolah ada seorang anak laki-laki bodoh tetapi ’cantik’. Agar
saya bisa dekat dengannya, maka saya memacu diri untuk mengerjakan PR-nya.
Di sinilah saya mulai menjadi sedikit lebih pinter. Yang paling penting bagi saya
adalah lebih pinter dari anak laki-laki ’cantik’ ini, agar dia bisa terus dekat dengan
saya. Motivasi ini mungkin menjadi bagian hidup intelektual saya selanjutnya.
Yaitu, menjadi intelek untuk menarik perhatian laki-laki cantik.”
Pada 1966, Foucault mengajar filsafat, seni, dan sastera di University of Tunis
237
dan bergumul HIV dan AIDS dalam tubuhnya. Pada 9 Juni 1984 ia masuk dan
dirawat di Rumah Sakit Paris’ Hôpital de la Salpêtrière. Uniknya, inilah Rumah
Sakit di mana sekitar 25 tahun sebelumnya, Foucault melakukan penelitian yang
menghasilkan Histoire de la folie. Ia meninggal pada 25 Juni 1984. Pada upacara
pemakaman beberapa hari kemudian, Gillez Deleuze memberikan sambutan
dengan mengutip teks Histoire de la sexualité.
239
Asli Daldal, ”Power and Ideology in Michel Foucault and Antonio Gramsci: A
Comparative Analysis”, Review of History and Political Science June 2014, Vol.
2, No. 2: 149-167 (160–166), http://rhpsnet.com/journals/rhps/Vol_2_No_2_
June_2014/8.pdf (diunduh 17 Agustus 2016).
Foucault mengidap AIDS. Ia tidak pernah menyampaikan secara publik penyakit
240
yang dideritanya ini, tetapi ia juga tidak pernah membantahnya. Pada 1984 ia
meninggal karena sakit ini. Beberapa tahun sebelum meninggal, akhir 1970an
dan awal 1980an, ia mengajar di California. Di Amerika Serikat namanya banyak
dikenal, terkait dengan isu politik yang sangat bervariasi, dari feminisme hingga
dukungannya terhadap Revolusi Iran. Hingga meninggalnya, ia tidak pernah
Di École Normale Supérieure (ENS) (sejak 1946), Foucault dikenali sebagai seorang
244
Folie et déraison (1964). Teks ini bukanlah karya yang mudah dipahami. Segala
upaya untuk membuat ringkasan atau menyederhanakan isi pemikirannya akan
menemui banyak kesulitan. Foucault memiliki rujukan pada sumber-sumber
tulisan dari pengarang-pengarang besar seperti Erasmus (Desiderius Erasmus
Roterodamus; 1466–1536) dan Molière (nama samaran dari Jean-Baptiste
Poquelin; 1622–1673), hingga dokumen dan arsip yang sudah lama dilupakan
dalam sejarah ilmu kedokteran dan psikiatri. Riset ini menghasilkan tulisan yang
pada umumnya sangat berat untuk dimengerti.
Karya ini mendapatkan komentar dan resensi yang luas. Jacques Derrida (1930–
247
Foucault menggunakan cara berpikir Kantian yang dicirikan dengan membuka kemungkinan
252
dan syarat epistemologi secara a priori historis. [Bregham Dalgliesh, ”Critical History:
Foucault after Kant and Nietzsche”, Parrhesia Number 18, 2013: 68-84, http://www.
parrhesiajournal.org/parrhesia18/parrhesia18_dalgliesh.pdf (diunduh 22 Maret 2016)).
253
Colin McQuillan, ”Philosophical Archaeology in Kant, Foucault, and Agamben”,
39–42.
254
Serhat Kologlugil, ”Michel Foucault’s Archaeology of Knowledge”, 7.
255
Thomas Kuhn mendefinisikan ’paradigma’ sebagai rangkaian teori, gagasan, asbtraksi,
atau keyakinan yang memberikan berbagai model yang darinya dilahirkan aliran atau
sebuah tradisi riset ilmiah. Pergeseran paradigma yang dilukiskan olehnya antara
lain berlangsung dalam ilmu-ilmu alam, Teori Dinamika Aristotelia, Teori Astronomi
Copernican, Teori Optik Newtonian, dan Teori Relativitas Einstein. Loncatan
paradigmatis diawali dengan krisis dan konflik antara dua atau lebih paradigma, dan
the ”fittest”paradigm survives. Tidak ada kategori ’sintesis’ di dalamnya. Perubahan
ini boleh disebut sebagai ’revolusi’. [Scott J. Simon, ”Paradigms, Presuppositions,
and Information: Kuhn’s Structure of Scientific Revolutions”, http://shell.cas.usf.
edu/ ~simon/documents/ Paradigms.pdf (diunduh 28 Desember 2015)].
David Garland, ”What is a ’’history of the present’’? On Foucault’s Genealogies and
256
Their Critical Preconditions”, Punishment & Society 2014, Vol. 16(4): 365–384
(370–371), http://www.corteidh.or.cr/tablas/r32759.pdf (diunduh 16 Agustus
2016).
(A Response to Calvert-Minor)”, Kritike Vol Four Number One (June 2010): 18-
27 (22 - 24), http://www.kritike.org/journal/issue_7/lightbody_june2010.pdf
(diunduh 18 Juni 2016).
Amy Allen, ”Adorno, Foucault, and the End of Progress”, (Forthcoming in)
259
Pembantaian para demonstran yang segera menjadi gejolak krusial yang memicu
berlangsungnya Revolusi Iran 1979.
Michel Foucault, À quoi rêvent les Iraniens ?, Paris, Le Nouvel Observateur, 1978,
261
n°727, repris dans Dits et écrits, Gallimard, 1994, t.III, p. 692), http://1libertaire.
free.fr/MFoucault143.html – ; Michel Foucault, What Are the Iranians Dreaming
About?, http://www.press.uchicago.edu/Misc/Chicago/007863.html, diunduh 1
April 2017.
Kritik komprehensif, salah satunya, dilancarkan oleh Maxime Rodinson, terutama
262
dalam pengantar bukunya Khomeini and the ’Primacy of the Spiritual’, https://
rosswolfe.files.wordpress.com/2015/11/maxime-rodinson-critique-of-foucault-
on-iran-1993.pdf, diunduh, 1 April 2017.
263
Janet Afary dan Kevin B. Anderson, Foucault and the Iranian Revolution. Gender
And The Seductions Of Islamism (Chicago: University of Chicago Press, 2005),
http://www.press.uchicago.edu/ucp/books/book/chicago/f/bo3534884.html,
diunduh 1 April 2017.
Gary P. Radford and Marie L. Radford, ”Structuralism, Post-structuralism, and
264
David Pace, ”Structuralism in History and the Social Sciences”, American Quaterly,
267
Clayton J. Whisnant, ”Differences between the Structuralism and Pos
269
t
structuralism”, A Handout for HIS, 389, http://webs.wofford.edu/ whisnantcj/
his389 /differences_struct_poststruct.pdf, (diunduh 6 Oktober 2013).
Dalam dua karyanya Surveiller et punir: Naissance de la prison (1975; Discipline and
275
Punish; The Birth of the Prison) dan Histoire de la sexualité, vol. 1 : La volonté de
savoir (The Will to Knowledge; 1976), Foucault memeriksa arsip dan sejarah konstruk
sosial. Ia memperlihatkan adanya ’kekuasaan’ yang diperagakan untuk mendisiplinkan
tubuh. Ini semua secara vulgar tampil dalam sistem penjara, lembaga rehabilitasi
mental, dan praktik-praktik seks. (Alun Munslow, Deconstructing History, 33).
276
Referensi dan kutipan Michel Foucault, L’Archéologie du savoir, (Gallimard:
Êditions Gallimard, 1969) dalam riset ini pada dasarnya selalu diperbandingkan
dengan referensi buku yang sama dalam terjemahan bahasa Inggrisnya, Michel
Foucault, (terj. A.M. Sheridan Smith), The Archaeology of Knowledge & The
Discourse on Language (New York: Pantheon Books, 1972.
Diskursus bekerja pada level ’yang dikatakan’. Pada level ini berbagai pernyataan
279
283
Foucault, L’archéologie du savoir, 172–173.
Dalam Bagian IV, ”La description archéologique”, Focault memperlihatkan bahwa
284
area sejarah pemikiran yang ia buat adalah kreasi baru yang unik. Foucault
mendefinisikan ulang dokumen sebagai rantai pernyataan yang dideskripsikan
secara ’positif’ (konkret, real, nyata). Pemahaman arsip sejarah juga mengalami
definisi ulang. (Foucault, L’archéologie du savoir, 177–178.
285
Foucault, L’archéologie du savoir, 103–174.
Kajian sejarah dewasa ini, menurut Foucault, mengalami krisis. Krisis disebabkan
286
karena dokumen sebagai dasar untuk membaca sejarah dipahami secara keliru.
Kekeliruannya adalah ketika dokumen didekati lewat ’interpretasi’. (Foucault,
L’archéologie du savoir, 129–131).
Michel Foucault, The Order of Things (London-New York: Routledge, 2002), xiv–xv.
287
288
Foucault, L’archéologie du savoir, 51–52, 87, 90–91.
289
Berdasarkan Foucault, The Order of Things, xii.
290
Foucault, L’archéologie du savoir, 31–43.
291
Foucault, L’archéologie du savoir, 44–54.
292
Foucault, L’archéologie du savoir, 55–67.
293
Foucault, L’archéologie du savoir, 68–74.
Foucault, L’archéologie du savoir, 75–84.
294
295
Foucault, L’archéologie du savoir, 85–93.
296
David Ruccio, ”Postmodernism and Economics”, Journal of Post Keynesian
Economics, 1991. 13 (4): 495-510 (499); Serhat Kologlugil, ”Michel Foucault’s
Archaeology of Knowledge”, 19–20.
297
Postmodernisme memperlihatkan bahwa cita-cita universal yang hendak diraih
oleh modernisme lewat rasio manusia telah melupakan penjelasan individual
sebagai subyek. Kritik ini memperlihatkan bahwa ’rezim kebenaran’ dalam periode
modernisme ini telah ’memarkir’ dan mengenyahkan interpretasi-interpretasi yang
berbeda dari kaidah keilmiahan universal. (Andrew Uduigwomen, ”Philosophical
Objections to the Knowability of Truth: Answering Postmodernism”, Quodlibet
Journal: Volume 7 Number 2, April–June 2005, http://www.quodlibet.net/
articles/uduigwomen-postmodernism.shtml (diunduh, 14 Maret 2016).
298
Gagasan ini bisa dilihat antara lain di Naissance de la clinique - une archéologie
du regard médical (The Birth of the Clinic: An Archaeology of Medical Perception).
Bahasa sebagai fenomena yang mengandung gagasan ’tak terbatas’ (’rantai
299
makna yang tak berkesudahan’, ’tidak memiliki awal dan akhir’) menjadi kesibukan
intelektual yang paling utama dari Jacques Derrida (1930–2004). Posisi posts
rukturalis ini, pada dekade 1960-an dan 1970an, dilanjutkan oleh Roland
Aturan ini menentukan apa yang bisa dipikirkan dan apa yang bisa dikatakan
302
dalam rasionalitas ilmiah. Praktik ilmiah, bagi Foucault, adalah sebuah kerja yang
mengikutsertakan sebuah proses pembentukan aturan-aturan diskursus dalam
sejarah. (Bisa dilihat dalam pembahasan ”Archéologie et histoire des idées”dalam
Foucault, L’archéologie du savoir,177–183; Serhat Kologlugil, ”Michel Foucault’s
Archaeology of Knowledge”, 20–21).
Foucault, L’archéologie du savoir, 23–24; Serhat Kologlugil, ”Michel Foucault’s
303
Frase scientia potentia est (scientia est potentia, atau scientia potestas
304
est) paling kerap disematkan pada Sir Francis Bacon (1561–1626). Meski
demikian, rumusan yang ia buat sesungguhnya adalah ipsa scientia potestas
est (knowledge itself is power), sebagaimana ditulis dalam Meditationes
Sacrae (1597). Sementara frase scientia potentia est (knowledge is power)
ditulis dalam Leviathan (1688) oleh Thomas Hobbes, yang pada waktu muda
adalah asisten Bacon. Dokumen yang lebih muda sudah ditulis oleh Imam Ali
(599–661 CE), yang tercatat dalam buku yang ditulis abad ke-10, Nahj Al-
Balagha (Peak of Eloquence). Ia mengatakan, ”Pengetahuan adalah kekuasaan
dan ia bisa menuntut ketaatan. Orang berilmu mampu membuat orang lain taat.
Ia dipuji dan dihormati. Ingatlah, pengetahuan adalah penguasa, sedangkan
kesejahteraan adalah subyeknya”.
Ini sangat nyata dalam tulisan Foucault Naissance de la clinique - une archéologie
305
The Will to Knowledge) adalah uraian yang relatif ringkas mengenai l’hypothèse
répressive (’Hipotesa Represif’). (Ismaël Al Amoudi, ”The Economy of Power. An
Analytical Reading of Michel Foucault”, Behaviour in Organisations http://www.
csun.edu/ ~hfspc002/ foucault1.pdf (diunduh, 3 Agustus 2016).
Karya-karya penting Foucault L’archéologie du savoir (1969; The Archaeology
308
power and subject in organizations”, LSE Research Online: April 2013: 6–9 (Original
citation: Välikangas, Anita and Seeck, Hannele (2011) Exploring the Foucauldian
interpretation of power and subject in organizations. Journal of management and
organization, 17 (6). pp. 812-827.), http://eprints.lse.ac.uk/ 49807/1/ Seeck_exploring
_foucauldian_interpretation_2011.pdf (diunduh, 5 Pebruari 2016).
310
Teori Foucault mengenai ’kekuasaan dan disiplin’ dan teori Bourdieu mengenai
’kekuasaan simbolis’ merupakan pemikiran yang sangat berpengaruh dalam
perkembangan teori sosial kontemporer. Keduanya menjelaskan ’kekuasaan’
yang di era modern ini memiliki karakter yang semakin elusive. Kritik radikal atas
subyek dari Foucault membawa kemustahilan dalam mengidentifikasi pelaku atau
penggerak kekuasaan. Bourdieu mencoba mengatasi ini dengan media simbolis
yang menjembatani habitus dan lembaga sosial. [Ciaran Cronin, ”Bourdieu and
Foucault on Power and Modernity”, Philosophy Social Criticism, 1996 22: 55,
(https://www.scribd.com/doc/124873554/Bourdieu-and-Foucault-on-power-
and-modernity-pdf, diunduh 7 Agustus 2016)].
311
Stokes melukiskan seluruh pemikiran Foucault dalam satu kalimat berikut,
”Controlling the mind is a more effective means of social control than punishing
the body”. (Philip Stokes, Philosophy: 100 Essential Thinkers (New York:
Enchanted Lion Books, 2006), 186–187.
Alun Munslow, Deconstructing History (London-New York:Routledge, 1997), 18–19.
312
313
Pada abad ke-20, misalnya, pendekatan sejarah Marxis (dan neo-Marxis) adalah
contoh konstruksionis yang mengambil mengambil sejarah masa lalu sebagai model
untuk menjelaskan fenomena zaman sekarang. Aliran Marxisme dipakai sebagai
pendekatan untuk menawarkan pelukisan konstruk eksploitasi kelas sebagai model
untuk memahami sejarah. (Alun Munslow, Deconstructing History, 179).
Alun Munslow, Deconstructing History, 16.
314
317
Foucault, L’ archéologie du savoir, 9–11.
318
Foucault, L’ archéologie du savoir, 15–20.
Georges Canguilhem adalah seorang filsuf Perancis dan sekaligus dokter, yang
319
memiliki spesialisasi dalam bidang epistemologi dan filsafat sains (khususnya, biologi).
Karya Canguilhem dalam filsafat sains dirumuskan dalam dua karyanya Le Normal
et le pathologique (1943; diperluas kajian dan diterbikan kembali 1968), dan La
Connaissance de la vie (1952). Dua karya ini memberi banyak pengaruh untuk Focault.
Foucault membedakan metode arkeologi dengan sejarah pemikiran. Ia
320
323
Bagi Foucault, transformasi di bidang medis, menciptakan kondisi-kondisi lahirnya
kemungkinan baru di bidang diskursus klinik modern. Selain itu, ia membangun
pemahaman baru hubungan antara pasien dan dokter. Pada abad ke-18, terdapat
keyakinan bahwa orang sakit harus dirawat di rumah. Ia membutuhkan atmosfer
kehidupan sosial dan keluarga. (Serhat Kologlugil, ”Michel Foucault’s Archaeology of
Knowledge”, 8).
324
Serhat Kologlugil, ”Michel Foucault’s Archaeology of Knowledge”, 8.
Foucault mendalami alur kaitan satu elemen dengan elemen lain dalam proses
325
terletak dalam rumusan abstrak subyek epistemologis. Dari manakah pikiran manusia
memperoleh bahan untuk mendapatkan pengetahuan? Bagi Locke, berbeda sama sekali
dengan Descartes, pengetahuan tidak bisa tidak hanya bersumber dari pengalaman. Ia
menolak segala pengetahuan yang berasal dari ide dan konsep yang tersimpan dalam
pikiran manusia. Para pemikir dalam kubu Empirisme bisa disebutkan, antara lain,
Aristoteles (Zaman Yunani Klasik), Ibn Tufail dan Thomas Aquinas (Abad Pertengahan),
Niccolo Machiavelli, Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Locke (dalam rentang Abad
ke-16-19). [James Hill, ”The Philosophy of Sleep: The Views of Descartes, Locke and
Leibniz”, Richmond Journal of Philosophy 6 (Spring 2004): 1 - 7, http://www.richmond-
philosophy.net/rjp/back_issues/rjp6_hill.pdf (diunduh 12 September 2016)].
Dalam Les Mots et les Choses. Une archéologie des sciences humaines (The
330
adanya persamaan antara Ricardo dan Marx pada level arkeologi pengetahuan.
Pendekatan arkeologis terhadap sejarah pemikiran ekonomi memperlihatkan
bahwa status ilmiah ilmu ekonomi ditentukan dalam jaringan diskursus. Realita
ini membuat epistemologi tidak memiliki kapasitas yang mencerahkan lagi.
(Serhat Kologlugil, ”Michel Foucault’s Archaeology of Knowledge”, 14–18).
Foucault, L’ archéologie du savoir, 249–250.
331
Gagasan ’episteme’ sebenarnya sudah dibahas oleh pemikir sejarah abad ke-18
332
333
Bregham Dalgliesh, ”Critical History: Foucault after Kant and Nietzsche”,
Parrhesia Number 18, 2013: 68-84, http://www.parrhesiajournal.org/
parrhesia18/ parrhesia18_dalgliesh.pdf (diunduh 22 Maret 2016).
Dalam Les Mots et les Choses. Une archéologie des sciences humaines (The
334
339
Michel Foucault, ”What is Enlightenment?”dalam Rabinow (P.), éditor, The Foucault
Reader, New York, Pantheon Books, 1984, pp. 32-50. https://www.libarts.
colostate.edu/leap/ wp-content/ uploads/sites/24/2017/01/ Foucault-What-is-
enlightenment. pdf, diunduh 16 April 2017; Stuart Dalton, ”Beyond Intellectual
Blackmail: Foucault and Habermas on Reason, Truth, and Enlightenment”, E–L O
G O S Electronic Journal For Philosophy/2008 Issn 1211-0442, http://nb.vse.
cz/ kfil/elogos/ history/ dalton08.pdf, diunduh 16 April 2017.
340
Kj Hutchings dan E Frazer, ”Avowing Violence: Foucault and Derrida on
Politics, Discourse and Meaning”, https://qmro.qmul.ac.uk/ xmlui/bitstream/
handle/123456789/8088/HUTCHINGS%20Avowing%20Violence%3A%20
Foucault%20and%20Derrida%20on%20Politics%2C%20Discourse%20
and%20Meaning%202011.pdf?sequence=2, diunduh 16 April 2017.
Kevin Ryan, ”Truth, Reason and the Spectre of Contigency”, dalam Sinisa
341
Malesevic dan Mark Haugard (editor), Ernest Gellner and Contemporary Social
Thought (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), 227.
Modernisme ditandai dengan proses untuk ’mengetahui’ dan ’mensis
342
343
Annales. Histoire, Sciences Sociales adalah jurnal akademis Perancis
(dipublikasikan pertama kali di Strasbourg, Swiss, 1929, kemudian pindah ke
Paris), yang mengalami pergantian beberapa kali nama, memfokuskan kajiannya
pada sejarah sosial Marc Bloch (1886–1944) dan Lucien Febvre (1878–1956).
Jurnal inilah yang membentuk sebuah mazhab pemikiran sejarah yang disebut
Annales School. Kajian jurnal ini berkosentrasi pada sejarah sosial dan arus
pemikiran jangka panjang (long-term trends, longue durée).
Peranan strategis buku Edward Said, Orientalism (1978), adalah mengevaluasi
344
hubungan sejarah Barat dengan dunia ’yang lain’. Orientalisme, bagi Said, adalah
161
menyadari adanya kelemahan ini, Hodgson tetap menggunakan
pendekatan peradaban untuk menulis sejarah dunia. Hodgson
memfokuskan pada pengamatan peradaban.
Tiga pertanyaan kecil yang dimunculkan dalam
’perumusan masalah’345 membayangi uraian dalam Bab IV ini.
Sejarah Islam Hodgson yang diuraikan dan dianalisa dalam
bayang-bayang tiga pertanyaan ini tercermin dalam formulasi
judul-judul subbab di bawah ini. Sebelum membahas tiga topik
ini, penjelasan asal-usul pemikiran sejarah Marshall Hodgson
hendak diperiksa secara menyeluruh. Dengan demikian, empat
subbab dalam Bab IV ini dirumuskan sebagai berikut:
A. Genealogi Pemikiran Sejarah Marshall G.S. Hodgson
B. Sejarah Islam dalam Logika Struktur dan Poststruktur
C. Sejarah Islam, Bahasa, dan Kekuasaan
D. Sejarah Islam sebagai Rangkaian Keragaman Kerangka
Berpikir
sendiri) adalah anggota dari sebuah gerakan religius yang disebut Religious
Society of Friends. Doktrin inti yang membungkus gerakan ini adalah ’imamat’
untuk semua orang yang percaya. Doktrin ini berasal dari satu kutipan Pernjanjian
Baru 1 Petrus 2:9 –”Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani,
bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan
perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar
dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib”. Sebagian anggota menganggap
mereka adalah juga denominasi Kristen. Tetapi mereka menghindari doktrin-
doktrin dan struktur hierarkis. [Herbert Standing, ”Quakers in Delaware in the
Time of William Penn”, http://nc-chap.org/church/quaker/standingDH3crop.pdf
(diunduh 7 Maret 2015)].
Institusi ini didirikan pada 1941 dengan premis: ”Studi serius mengenai sebuah
349
Great Books of the Western World adalah 54 volume serial buku yang diter
351
yang mengatakan bahwa India tidak akan berkembang secara ekonomi selama
masih menganut sistem kasta dan spiritualitas Hindu. Sedangkan Redfield
mengembangkan sebuah sintesis atas berbagai disiplin ilmu, antara lain
arkeologi, antropologi bahasa, antropologi budaya, dan etnologi.
353
Hodgson mendedikasikan karya The Venture of Islam untuk Gustave Edmund
von Grunebaum (dan John U. Nef). Gustave Edmund von Grunebaum (1909–
1972), lahir di Wina (Austria) dan wafat di Los Angeles AS, seorang sejarawan
yang meminati sastra dan puisi Arab klasik. Pada 1938, dia bermigrasi ke AS,
dan bergabung dengan University of Chicago (1943) dan UCLA (1957).
William McNeill, The Rise of the West: A History of the Human Community
354
359
Lihat penjelasan panjang mengenai Hodgson di Albert Hourani, ”Islam in
European Thought”, The Tanner Lectures On Human Value Delivered at Clare
Hall, Cambridge University January 30 and 31 and February 1, 1989: 279–281.
(http://tannerlectures.utah.edu/_documents/a-to-z/h/hourani90.pdf,diunduh 16
Juli 2016); Albert Hourani ”Marshall Hodgson and The Venture of Islam”, Journal
of Near Eastern Studies 37,1 (1978): 53-62.
Louis Massignon (25 Juli 1883–31 Oktober 1962) seorang akademisi Katolik
360
yang menekuni kajian Islam, dan menjadi pionir dalam upaya saling memahami
antara Katolik dan Muslim. Riset-risetnya mengenai Islam dianggap sebagai jalan
yang melancarkan visi Gereja Katolik yang positif mengenai Islam sebagaimana
terungkap dalalam dokumen Lumen Gentium dan Nostra Aetate Konsili Vatikan II
(1962–1965). (Christian S. Krokus, ”Louis Massignon’s Influence on the Teaching
of Vatican II on Muslims and Islam”, Islam and Christian–Muslim Relations Volume
23, 2012 - Issue 3: 329–345, http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09
596410.2012.686264?src=recsys (diunduh, 15 September 2016))
361
John Woolman (19 Oktober 1720 – 7 Oktober 1772) seorang pedagang,
jurnalis, pengkhotbah keliling Quaker. Ia terus-menerus mencatat perjalanannya
365
Lihat kutipan mengenai Dilthey dan Jung oleh Hodgson, antara lain, di Hodgson,
The Venture of Islam, Vol. I, Two: IV, ”Muslim Personal Piety: Confrontations with
History and with Selfhood, c. 750-945”, 379, n. 6.; Martin Messner dan Silvia Jordan,
”Knowledge and Critique. A Foucauldian Perspective”, Department of Finance,
University of Innsbruck, Austria, (http://www2.warwick.ac.uk/ fac/soc/wbs/conf/
olkc/ archive/oklc5/ papers/ b-1_messner.pdf, diunduh 15 Oktober 2016).
’Tipe ideal’ dikembangkan oleh seorang sosiolog Jerman Max Weber (1864–
366
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, iii; Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic
369
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 3, Six: ”Epilogue: The Islamic Heritage and
371
Reuben Smith bekerja keras selama empat tahun mempersiapkan penerbitan The
372
Venture of Islam (1974). Ia dikenal sebagai orang yang secara khusus memberi
kuliah topik ”Introduction to the Study of Islamic Civilization”. (Edmund Burke, III,
”Conclusion: Islamic History as World History, 302).
373
Marilyn Waldman menjelaskan logika tahap demi tahap dalam pergeseran
perkembangan peradaban Islamicate. Dia menyederhanakan substansi tulisan
Hodgson menjadi sebuah tulisan ringkas yang membantu pembaca untuk
memahami tulisan Hodgson sendiri. Marilyn Waldman, Encyclopedia Britannica,
”The Islamic World”, (https://www.britannica.com/ topic/Islamic-world, diunduh
18 Oktober 2015; Bruce B. Lawrence, ”Genius Denied and Reclaimed: A 40-Year
Retrospect on Marshall G.S. Hodgson’s The Venture of Islam”, November 11,
2014. http://islamicommentary.org/ 2014/11/genius-denied-and-reclaimed-a-
40-year-retrospect-on-marshall-g-s-hodgsons-the-venture-of-islam-by-bruce-
lawrence/, (diunduh 26 April 2015).
Lawrence, B. B. ”Genius Denied and Reclaimed: A 40-Year Retrospect on
374
Setelah lebih dari 40 tahun, terminologi Islamicate terus bertahan dan solid
376
377
Edmund Burke III, ”Introduction: Marshall G.S. Hodgson and World History”, xii.
378
Marshall G. S. Hodgson dan Edmund Burke, Rethinking World History: Essays on
Europe, Islam and World History (Cambridge–New York: Cambridge University
Press, 1993).
379
Pengantar Burke untuk buku ini memberikan penjelasan proses terbentuknya
buku ini. (Edmund Burke III, ”Introduction: Marshall G.S. Hodgson and World
History”, dalam Marshall G. S. Hodgson dan Edmund Burke, Rethinking World
History)
380
Terbit pertama kali di Jurnal Comparative Studies in Societies and History, V
(1963), 227–250, tulisan tersebut sebenarnya edisi perkembangan lebih lanjut
dari tulisan yang lebih awal diterbitkan di Cahiers d’histoire mondiale (Journal of
World History) I (1954), 715–723.
381
Dua tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan Hodgson yang paling awal
ketika ia baru memulai menjadi mahasiswa di University of Chicago (1941).
382
Semula diterbitkan UNESCO Courier (May 1956), 16–18.
383
Esai ini muncul di The Social Studies 35 (1944), 297–301dan memuat dateline:
Camp Elkton, Elkton, Oregon. Seorang Quaker penyeru dan pejuang perdamaian,
di penjara selama Perang Dunia II, Hodgson menyelesaikan esai tersebut di Camp
ini. Esai ini sangat kuat diwarnai dengan ide federalisme global. Sebuah konsep
yang mempengaruhi konsepnya mengenai sejarah dunia. Ide ini berangsur-
angsur menghilang dalam tulisan-tulisannya kemudian.
Esai yang pertama kali diterbitkan di Chicago Today (1967) ini sebenarnya
384
perbaikan dari tulisan yang pernah muncul dalam Hodgson, The Venture of Islam,
Vol. 3, Six: I, ”The Impact of the Great Western Transmutation: The Generation of
1789”, 176–222.
Tulisan ini sebenarnya sebuah ekstrak dari suratnya yang ditujukan untuk John O.
385
Middle East Studies, I (1970), 99–123 dan Journal of World History, 5 (1960),
879–914.
Poststrukturalisme berbeda dari strukturalisme. Strukturalisme cenderung
389
Hodgson membuka The Venture of Islam dengan pesan yang ia dapatkan
390
dari seorang Quaker Amerika dan seorang abolisionis John Woolman (w.
1771): ”To consider mankind otherwise than brethren, to think favours are
peculiar to one nation and exclude others, plainly supposes a darkness in the
understanding.”(Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, iii).
Prolegomena ”Introduction to the Study of Islamic Civilization” dianggap sebagai
391
tulisan yang pararel dengan karya Muqaddimah Ibn Khaldūn. Sebagaimana Ibn
Khaldūn, langkah demi langkah, Hodgson memeriksa prinsip dan praktik yang
menjadi framing dalam studi-studi sejarah sebelumnya. Tidak hanya kritis, ia
menawarkan sebuah paradigma baru dalam merekonstruksi sejarah Islam. Jika
Ibn Khaldūn pada abad ke-14 memunculkan gagasan ʻaṣabīya (tribalism, clanism,
communitarism, nationalism) untuk menjelaskan bangkit dan hancurnya dinasti,
Hodgson menawarkan berbagai terminologi baru untuk mengganti istilah-istilah
konvensional yang tidak jarang mengandung kebodohan. (Hodgson, The Venture
of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic Civilization”, 3–69).
392
Hodgson melukiskan Periode Pertengahan ini sebagai titik puncak peradaban
Islam, di mana berlangsung harmonisasi antara kebudayaan tinggi kosmopolitan
dengan masyarakat yang ditandai dengan mentalitas yang terbuka. Jadi, meski
secara sosial-politik tidak stabil, antara lain karena okupasi oleh serdadu Mongol,
tetapi dalam kehidupan sosial-kultural periode ini adalah periode stabil, yang
antara lain tampak dalam mekarnya masyarakat-masyarakat urban dan kota.
(Hodgson, The Venture of Islam, Vol 2, Four: ”Prologue to Book Four”, 371).
393
Setelah lebih dari 40 tahun, terminologi Islamicate terus bertahan dan solid
digunakan dalam lingkungan akademis. Islamicate adalah penanda kultural dan
intelektual lintas agama, ideologi, dan bahasa dalam dunia Afro-Erosia. Beberapa
publikasi ilmiah menggunakan istilah ini, antara lain Intellectual History of the
Islamicate World (J. Brill, Leiden; sejak 2013), dan sebuah website, Society for
Contemporary Thought and the Islamicate World (sejak 2010).
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic
394
Civilization”, 3.
395
Hodgson menjelaskan bahwa ekuivalensi kata antara satu bahasa (khususnya,
Arab atau Persia) dengan bahasa lain membutuhkan ’diakritik’. Kepastian sistem
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Contoh kegagalan dalam transliterasi adalah ketika
para penulis Islam tidak membedakan antara Ḥassân dan Ḥasan, atau antara
Ḥâkim dan Ḥakîm. (Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the
Study of Islamic Civilization”, 4–6.
Teknis dan Teknologi (Technical Age). Sedangkan Occident, istilah yang relatif
jarang digunakan, merujuk pada Kekristenan Barat (Western Christendom). Ia
mencakup juga pemukiman baru yang masyarakatnya berasal-usul dari Eropa
Latin. Sementara Europe kerap diasosiasikan secara politikdengan negara-negara
dan struktur organisasi Eropa Kristen (Christian European). Dalam diskursus ilmiah,
ketiganya tentu saja kerap dipertukarkan satu sama lain. (Hodgson, The Venture of
Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic Civilization”, 53–54).
397
Hodgson menjelaskan secara distingtif sebagai berikut. Ḥadīth adalah laporan dari
sunnah. Ḥadīth kerap juga disebut Tradisi (Tradition). Traditio (Latin), dimengerti
sebagai pesan yang diteruskan dari satu orang ke orang lain. Tradition tidak
hanya menunjuk kebalikkan dari ’apa yang tertulis’, melainkan juga memberikan
konotasi adanya ’anonimitas’ dan ’kekurangjelasan’ (’kekaburan’). Dalam hal ini,
ḥadīth berbeda dengan Tradisi. Laporan dalam ḥadīth justru menyampaikan
berbagai pernyataan eksplisit dan jelas (bukan kekaburan). Ia merupakan
teks sangat awal yang sudah didokumentasikan secara tertulis. Di sana juga
disebutkan sumber yang jelas dan rujukan nama pembawa laporan (transmitter).
Segala diskusi yang hendak menjelaskan ḥadīth dalam kaitannya dengan Tradisi,
pada umumnya hanya akan menimbulkan kebingungan. (Hodgson, The Venture
of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic Civilization”, 63–64).
398
Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 309.
399
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic
Civilization”, 48 - 56.
Untuk menjelaskan nuansa istilah ’kajian peradaban’, lihat Robert McC. Adams,
400
The Evolution of Urban Society dan Ruth Tringham, ”The Concept of ’Civilizations
in European Archeology”. (Berdasarkan Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic
History as World History”, 315).
403
Dengan dimulainya peradaban klasik dan Kekalifahan Agung (High Caliphate),
sejak 692, dimulailah periode Islamicate Civilization. Pada awalnya tumbuh
secara positif dan berinteraksi dalam lingkungan kultur Irano-Semitic (hingga
945), tetapi kemudian meluas ke dunia yang benar-benar internasional (945–
1503). (Inilah pembahasan panjang lebar Hodgson dalam Buku Dua, Tiga dan
Empat, khususnya Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 1, Two: ”Prologue to
Book Two”, 233–240; Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2, Three: I: ”The
Formation of the International Political Order, 945-1118”, 12–61; Hodgson, The
Venture of Islam, Vol. 2, Three: V: ”The Victory of the New Sunni Internationalism,
1118-1258”, 255–292.
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2, Three: VI: ”Adab: The Bloom of Arabic
404
sejarah dunia membawa risiko bahwa ia dituduh memiliki bias terhadap Arab,
dan cenderung menjadi Persianisme. (Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic
History as World History”, 317–318.)
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, One: I, ”The World before Islam”, 120–124.
410
411
Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 318.
412
Hodgson, The Venture of Islam, III, Five: ”Prologue to Book Five”, 186.
413
Hodgson, The Venture of Islam, III, Five: ”Prologue to Book Five”, 166; Edmund
Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 318.
414
”At the very most, we may say (using economic rather than biological terms)
that a society may encourage investment in one sort of opportunity so heavily
that it cannot quickly marshal its resources in other directions when new
circumstances make other sorts of investment more profitable.”(Hodgson, The
Venture of Islam, III, Six: I: ”The Impact of the Great Western Transmutation: The
Generation of 1789”, 204).
415
Albert Hourani (1915–1993), seorang sejarawan Islam dengan nama besar di
Oxford University, dalam ulasan yang luas membandingkan Hodgson dengan Ibn
Khaldun. (Albert Hourani, ”Review: The Venture of Islam: Conscience and History
in a World Civilization by Marshall G. S. Hodgson.” Journal of Near Eastern
Studies 37 (1) 1978: 53–62, dalam Steve Tamari, ”The Venture of Marshall
Hodgson”, 83).
menuliskan Overview yang menguraikan setahap demi setahap proses ini dalam
periode sejarah sejak abad ke-5 hingga era kontemporer. Sejarah Islamdom
dalam 15 abad ini menunjukkan ’Islam sebagai bagian dari satu peradaban
universal’ tersebut. (Hodgson, The Venture of Islam, I, ”General Prologue: The
Islamic Vision in Religion and in Civilization”, 96–99 (96).
Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 308–309.
419
420
Penjelasan pesan-pesan Qur’an dalam The Venture of Islam merata dalam tiga
volume bukunya. Ini dengan mudah dapat dicek dalam indeks dengan entri
”Qur’an”dalam setiap volume. Hodgson selalu menghadirkan Qur’an untuk
menjelaskan berbagai konteks yang berubah dalam semua pembabakan periode:
Periode Klasik, Periode Pertengahan, dan Periode Modern.
421
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, Two: II, ”The Shar’ī Islamic Vision, c. 750-
945”, 318–326, 347–348; Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as
World History”, 325.
Esensialisme memiliki beberapa makna dan arti. Pertama, atribut karakteristik
422
terhadap orang atau komunitas tertentu yang diletakkan dalam sebuah kategori,
ribu ayat, sekitar 50 ribu barus) ditulis oleh Rumi. Karya yang merupakan tulisan
rohani ini sangat berpengaruh sebagai karya literatur Sufisme Persia. Di dalamnya
berisi ajaran para Sufi untuk mencapai cinta sesungguhnya pada Tuhan. (Sayyed
Ali Asghar Mirbagheri Fard, ”Aspects of the Saints in the Masnavi of Rumi”,
Transcendent Philosophy, London Academy of Iranian Studies 97–108 (98–100),
http://iranianstudies.org/ wp-content/ uploads/ 2010/04/Transcendent-Philosophy-
Journal-Vol-7-2006.pdf (diunduh 5 Nopember 2016)); Hodgson, The Venture of Islam,
Vol 2, Three: IV: ”The Ṣūfism of the Ṭarīqah Orders, c. 945–1273”, 244, 246–254.
pelaku penting dalam The Venture of Islam. Oleh karena itu pembaca tidak
akan menemukan, misalnya, penjelasan sosiologis peranan Sufisme dalam
pembentukkan masyarakat Islam. (Hodgson, The Venture of Islam, Vol 2, Three:
III: ”Maturity and Dialogue among the Intellectual Traditions, c. 945-1111”, 183–
193; Hodgson, The Venture of Islam, Vol 2, Three: IV: ”The Ṣūfism of the Ṭarīqah
Orders, c. 945-1273”, 244–254, 249; Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic
History as World History”, 326)
Nama-nama besar ini tersebar dalam tujuh Bab di Book Three (”The Establishment
427
beberapa penjaga moral Islam, antara lain, Ḥasan al-Baṣrī (w.728), Abū Ḥāmid
Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī (1058–1111), dan Muḥammad ’Abduh
(1849 - 1905). Para ulama ini berjuang untuk menerjemahkan dan mengolah
kembali Islam untuk setiap konteks dan tantangan zaman mereka masing-
masing. (Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 305)
Hodgson membahas Islamisasi di Asia Tenggara, Indonesia dan Jawa dalam
429
International Civilization”) dan Book Four (”Crisis and Renewal: The Age of Mongol
Prestige”) sudah memberikan gambaran Volume 2: ”The Expansion of Islam in
the Middle Periods”. Misalnya, Hodgson merumuskan judul-judul Bab sebagai
berikut: ”The Formation of the International Political Order, 945-1118”(Book
Three: I) ”The Victory of the New Sunni Internationalism 1118-1258”(Book Three:
V), dan ”The Expansion of Islam, c. 1258- 1503”(”(Book Four: IV)
Hodgson menutup enam ratus halaman Volume 2: ”The Expansion of Islam in
431
the Middle Periods”, dengan uraian ’optimis’ dan ’rekonsiliatif’ sepanjang lima
halaman yang merefleksikan kesadaran ini. Sejarah umat manusia di muka bumi
ini tidak pernah berdiri sendiri terpisah satu sama lain. (Hodgson, The Venture of
Islam, Vol. 2, Four: IV: ”The Expansion of Islam, c. 1258- 1503”, 570–574)
Karya Foucault mengenai prinsip-prinsip ’kapasitas berpikir’ (inteligibilitas)
432
memberikan posisi keyakinan itu. Rumusan ini dibuat oleh penulis. (Hodgson,
The Venture of Islam, Vol. 1, ”General Prologue: The Islamic Vision in Religion and
in Civilization”, 95–99).
Esai ini pertama kali diterbitkan Chicago Today (1967): 40-50. Tulisan ini juga
436
muncul dalam Rethinking World History (Bab 4) dan The Venture of Islam (Vol 3,
Six: I: ”The Impact of the Great Western Transmutation: The Generation of 1789”).
437
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 3, Six: I: ”The Impact of the Great Western
Transmutation: The Generation of 1789”, 183, 190, 197, 199.
438
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 3, Six: I: ”The Impact of the Great Western
Transmutation: The Generation of 1789”, 176, 199.
439
Di bawah judul subbab ”The Western Transmutation as a World Event”, Hodgson
memperlihatkan apa yang berlangsung pada akhir abad ke-16 hingga akhir
abad 18 di Eropa Barat. Transformasi kultural di kawasan ini telah mendorong
berlangsungnya Revolusi Industri dan Revolusi Perancis, yang kemudian
berdampak ke seluruh komunitas manusia di luar benua tersebut. (Hodgson, The
Venture of Islam, Vol 3, Six: I: ”The Impact of the Great Western Transmutation:
The Generation of 1789”, 176–179).
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 3, Six: I: ”The Impact of the Great Western
440
sejak abad 18. Hodgson memberikan sebuah ilustrasi yang tidak konvensional
mengenai ’industri dan indutrialisasi’. Ia pada dasarnya mengatakan bahwa
industrialisasi juga sudah dimulai berabad-abad di ”Occident dan Sung
China”sebelum Eropa memulainya. (Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 3,
”Index to Volume 3: industry, industrialization”, 460.)
Bubuk mesiu atau bubuk hitam adalah bahan peledak yang terbuat dari cam
442
puran belerang, arang, dan kalium nitrat, yang membakar sangat cepat
dan bahan pendorong pada senjata api dan kembang api. Bubuk mesiu
diklasifikasikan sebagai bahan peledak lemah karena daya ledaknya yang rendah.
Bubuk mesiu ditemukan oleh ahli alkimia Tiongkok abad ke-9. Penemuan bubuk
mesiu diperkirakan adalah hasil dari percobaan-percobaan kimia selama berabad-
abad. Militer Tiongkok mendengar tentang bahan peledak ini, dan kemudian
mengubahnya, menjadi senjata (roket dan meriam) dan senjata ledak (Granat dan
Bom) untuk melawan Kekaisaran Mongol ketika Kekaisaran Mongol berusaha
untuk menghancurkan dan merebut benteng kota di perbatasan Tiongkok Utara
(abad ke-10 dan 11). (Hodgson, The Venture of Islam, Vol 3, Five: I: ”The Ṣafavi
Empire: Triumph of the Shi’ah, 1503-1722.”, 17–18; Stephen G. Haw, ”The
Mongol Empire–the First ’Gunpowder Empire’?”, Journal of the Royal Asiatic
Society, Volume 23, Issue 3, July 2013: 441-469, https://www.cambridge.org/
core/ journals/journal-of-the-royal-asiatic-society /article/the-mongol-empire-
the-first-gunpowder-empire/9128388937125B6FBA9E5F708E27AC8F,
diunduh 17 September 2016).
443
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 3, Six: I: ”The Impact of the Great Western
Transmutation: The Generation of 1789.”, 187; H. O. Hansen dan M. Lund,
”The Development of Danish Agriculture and Agribusiness: Lessons to Be
Learned in a Global Perspective”, Journal of Agricultural Science and Technology
B 1 (2011): 463-472, http://www.davidpublishing.com/davidpublishing/
Upfile/9/26/2011/2011092685164497.pdf (diunduh, 27 Desember 2015).
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 3, Six: I: ”The Impact of the Great Western
444
445
Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 307.
446
Setelah lebih dari 40 tahun, terminologi Islamicate terus bertahan dan solid
digunakan dalam lingkungan akademis. Beberapa publikasi ilmiah menggunakan
istilah ini, antara lain Intellectual History of the Islamicate World (J. Brill, Leiden;
sejak 2013), dan sebuah website, Society for Contemporary Thought and the
Islamicate World (sejak 2010).
447
Tulisan ini mula-mula ditulis oleh Marshall Hodgson, ”Hemispheric Inter-regional
History as an Approach to World History”, Journal of World History I, 3 (1954):
715-23. Eksplorasi ini menjadi basis untuk ”Introduction to the Study of Islamic
Civilization”yang menjadi pembuka untuk Vol 1 The Venture of Islam.
Mercator projection adalah proyeksi peta bumi dengan bentuk silindris yang dibuat
448
oleh ahli geografi bernama Gerardus Mercator pada 1569. Sebuah peta yang
mula-mula digunakan untuk perjalanan laut. Skala linear (’bujur’) ini memang ’sama’
(equal), yang membuat peta proyeksi ini harmonis. Tetapi, ukuran ’lintang’ dari garis
katulistiwa hingga ke kutub dalam proyeksi ini ternyata distortif. Maka, misalnya,
Greenland dan Antarctica tampak sangat besar (’lebih besar dari proporsinya’)
dibanding daratan yang mendekati garis katulistiwa. (Hodgson, ”World History and
a World Outlook”, dalam Hodgson, Rethinking World History, 38–39).
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 2, Three: VII: ”Cultural Patterning in Islamdom
452
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2, Three: V, ”The Victory of the New Sunni
Internationalism, 1118–1258”, 287–288
’Tipe Ideal’ dikembangkan oleh seorang sosiolog Jerman Max Weber (1864–
456
458
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, One: I, ”The World before Islam”, 111–117
(113).
Lewat penjelasan ”The culture of agrarian-based society”dan ”Cosmopolitan and
459
Oikoumene” [Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, One: I, ”The World before
Islam”, 120–124 (124)].
463
Peradaban Islam, setidaknya hingga era modern, menurut Hodgson, diwarnai
oleh karakter ’kesatuan’. Komunitas Muslim dipersatukan oleh Ideal yang
mengikat peradaban mereka. Hingga periode itu mereka memiliki cara pandang
dan titik tolak berpikir yang sama, dan bahkan menggunakan beberapa bahasa
yang sama, untuk mendiskusikan topik-topik penting. Satu tulisan Hodgson
mendiskusikan persoalan ’kesatuan’ ini, ”The Unity of Later Islamic History”(dalam
Hodgson dan Burke, Rethinking World History”, 171–206.)
Sebagai satu ilustrasi, Hodgson menjelaskan bahwa dalam Periode Pertengahan,
464
465
Dalam hampir setiap penjelasan Hodgson selalu menempatkan argumentasinya
dalam bingkai sejarah. Ini antara lain muncul ketika ia menjelaskan pesan Qur’an
dalam konteks modernitas. Ia akan memulai dengan makna dan pesan fundamental
Qur’an di zaman Nabi Muhammad. Kemudian, ia membentangkan jembatan
hermenutis sebagai alat untuk menafsirkan bagaiman Qur’an tetap relevan di
tengah-tengah peradaban modern. (Hodgson, The Venture of Islam, Vol 3, Six:
”Epilogue: The Islamic Heritage and the Modern Conscience”, 436–441).
466
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 2, Four: II: ”Conservation and Courtliness in
the Intellectual Traditions, c. 1258-1503”, 446–455).
467
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic
Civilization”, 57–60, 95.
Dalam tulisannya yang diterbitkan sesudah meninggal ia menjelaskan
468
dalam The Venture of Islam. Masing-masing volume terdiri dari dua buku yang
menganalisis periode dan pembabakan tadi. (Lihat Lampiran Riset ini: LAMPIRAN
1: A.Isi Buku dan Skema: The Venture of Islam: Conscience and History in a
World Civilization (1974).
dan Periode Marwanid. Praktis ini berlangsung dari 692–945. (Hodgson, The Venture
of Islam, Vol 1, Two: II, ”The Absolutism in Flower, 750-813”, 280 - 314; Lihat juga
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Index to Volume I”: absolusits ideal, 519;
Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 322–323).
472
Yang dimaksud a’yān-amīr sederhananya adalah ’militerisasi’. Bukan
milite
risasi total masyarakat, melainkan militerisasi kekuasaan untuk
memerintah. Ringkasnya, kekuasaan dibagi ke dalam dua kekuatan: a’yān
(notables, para tokoh, orang penting, orang terpandang) dan amīr (komandan
militer dan perang) (Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2, Three: II: ”The Social
Order: Mercantile Interests, Military Power, Liberty”, 64 - 69, 91–94; Edmund
Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 323).
473
Iqta’, dalam berbagai aspeknya (militer, ekonomi, politik, dan sosial) menjadi
sistem kelembagaan yang kuat mewarnai Kekaisaran Saljuk (1087–1157),
meski sistem ini sudah berlangsung sebelumnya. Terminologi iqṭāʿ tidak pernah
digunakan lagi di Persia sejak paruh ke dua abad ke-13. Dan segera digantikan
oleh dua istilah lain, tuyūl dan soyūrghāl. Sebagaimana tuyūl, terminologi iqṭāʿ
juga terkadang diterjemahkan ke dalam fief (Inggris). Sistem ini dilukiskan ketika
sebidang tanah diberikan seorang tuan tanah (lord) untuk sementara kepada
seorang vassal (penguasa bawahan atau pemimpin militer). Sebagai imbalannya
mereka memberikan pelayanan dan jasa tertentu kepada penguasa (lord)
tersebut. Dalam hal ini, secara longgar, tuyūl dan iqṭāʿ, bisa disamakan dengan
praktik feodalisme di Eropa Abad Pertengahan. Meski menyampaikan pararelitas
ini tidak jarang dikoreksi dan dikritik dan dianggap tidak tepat. (Lihat Ann K. S.
Lambton, ”The Evolution of the Iqṭāʿ in Medieval Iran”, Journal of the British
Institute of Persian Studies, Volume 5, 1967 - Issue 1, 41–50. http://www.
tandfonline.com/ doi/abs/10.1080/ 05786967. 1967.11834762#, diunduh 12
April 2017; Bandingkan pula dengan Wan Kamal Mujani dkk, ”Some Notes on the
Iqta’ System in Mamluk Period”, Middle-East Journal of Scientic Research 2011,
7: 103–107; Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2, Three: II: ”The Social Order:
Mercantile Interests, Military Power, Liberty”, 64, 101–102, 124).
474
Tariqa, tariqah, sekolah atau lembaga Sufisme, ajaran mistik dan praktik
kerohanian yang mencari ḥaqīqah, kebenaran tertinggi sebagai sasaran terakhir.
Ia memiliki murshid, pemimpin atau guru spiritual, sehingga di dalamnya juga ada
sekian murīdīn (murīd), para pengikut, yang juga adalah seorang faqīr, seorang
yang rindu akan pengetahuan tentang Tuhan dan cinta-Nya.
Hodgson melukiskan kesalehan Sufisme yang sudah berkembang sejak Periode
475
Kekalifahan Agung masuk lebih merasuk, bahkan menjadi simbol kesalehan Muslim
pada umumnya. Dan kemudian, kehadiran secara bersama-sama tiga lembaga
Syariah, waqaf, dan Sufi membuat sistem a’yān-amīr menjadi pola umum yang
dianut wilayah yang lebih luas lagi. (Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2, Three:
II: ”The Social Order: Mercantile Interests, Military Power, Liberty”, 70, 119, 125;
Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 323).
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2, Three: V: ”The Victory of the New Sunni
476
Teknikalisme adalah representasi dari kekuatan dan konsep ’alat’. Meski Hodgson
478
menjelaskan dan mengolah era dengan cara yang solid, literatur yang menjadi
acuan Hodgson untuk melukiskan periode modern dianggap ketinggalan zaman.
Ada beberapa buku penting yang sudah terbit ketika Book Six ditulis, seperti
Arabic Thought in the Liberal Age (Albert Hourani) dan The Emergence of Modern
Turkey (Bernard Lewis). Meski dua buku itu ada dalam daftar bibliografi, tetapi
beberapa orang mengeritik Hodgson tidak banyak memanfaatkan inspirasinya.
Sementara pada level teoretis, dua buku penting Social Origins of Dictatorship
and Democracy (Barrington Moore, Jr) dan Peasant Wars of the Twentieth
Century (Eric Wolf) tidak dibicarakan sama sekali.
Ada pendapat yang mengatakan ”Book Six: The Islamic Heritage in the Modern
480
Hodgson melukiskan yang berlangsung pada abad ke-14 dan 15 sebagai berikut:
484
berbagai Tarekat Ṣūfi sudah tertata dengan baik, sastera Persia mencapai
kematangan karakteristiknya, komanado militer oleh para amīr menjadi praktik
dimana-mana. Dengan menyerap keterampilan militerisme Mongol, tetapi
juga memasukkan pengaruh Islam ke dalam masyarakat Mongol, masyarakat
Islamicate internasional menjadi nyata dan matang dalam dua abad ini.
(Hodgson, The Venture of Islam , Vol 2, Four: ”Prologue to Book Four”, 371).
485
Ini menjadi pembahasan Hodgson dalam Vol. 3 The Venture of Islam. (Hodgson,
The Venture of Islam, Vol. 3, Five: ”Prologue to Book Five”, 3; Hodgson, The
Venture of Islam, Vol. 3, Five: IV, ”Before the Deluge: The Eighteenth Century”,
134; Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 321.
Ia juga membuat grafik berbagai madzhab filsafat Islam, seperti Sufi, Shi’a, dan
486
Penjelasan Hodgson dalam bentuk grafik dan tabel akan segera memberikan
488
gambaran konteks kultural dan intelektual di sekitar kelahiran Islam: ”The Origins
of Islamic Culture in Its World Context, 226–715”(Hodgson, The Venture of Islam,
Vol 1, One: I, ”The World before Islam”, 139; Edmund Burke, III, ”Conclusion:
Islamic History as World History”, 321–322).
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic Civilization”,
489
43; Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, One: I, ”The World before Islam”, 103–104.
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 1, Two: IV, ”Muslim Personal Piety:
490
sejarah. Dia juga disebut Timur Leng. Penaklukan dahsyat yang ia lakukan berhasil
melumpuhkan dua Raja besar pada zamannya, Sultan Turki, Bayazid Yiddrim, dan
Kaisar Mongol, Toktamish. Kekaisaran Timuriyah yang didirikan oleh penakluk
legendaris Tamerlane pada abad ke-14, adalah dinasti Islam Sunni di Asia
Tengah yang meliputi seluruh Asia Tengah, Iran, Afganistan, dan Pakistan, dan
juga sebagian dari India, Mesopotamia, dan Kaukasus.
Fase terakhir ini belum diselesaikan oleh Hodgson. Eksplorasi fase terakhir ini
496
yang menulis ”Islam and Globalization: the Age of Mobility”, yang menelusuri
sejarah Islam sejak Perang Dunia hingga Era Kontemporer.
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 3, Six: I: ”The Impact of the Great Western
497
the Occident had been an integral part, the Western Transmutation would be
almost unthinkable.”(Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 3, Six: I:, ”The Impact
of the Great Western Transmutation: The Generation of 1789”, 198).
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 3, Six: I, ”The Impact of the Great Western
499
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 3, Six: I, ”The Impact of the Great Western
500
502
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 3, Six: I, ”The Impact of the Great Western
Transmutation: The Generation of 1789”, 187–192.
503
Hodgson menjelaskan persoalan ini dengan cukup mendalam. Ia menuliskan
catatan kaki yang panjang dengan memaparkan kembali gagasan-gagasan penting
Gunnar Myrdal (1898–1987) dalam Economic Theory and Underdeveloped
Regions (1957) (Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 3, Six: I, ”The Impact of the
Great Western Transmutation: The Generation of 1789”, 203ck). Ia kemudian
melukiskan fenomena ini dalam dunia Islam pada abad ke-20. (Hodgson, The
Venture of Islam, Vol. 3, Six: VII, ”The Drive for Independence: The Twentieth
Century”, 376–384.
Andre Gunder Frank, Capitalism and Underdevelopment in Latin America (New
504
(Paris, 1973); Immanuel Wallerstein, ”Capitalist Agriculture and the Origins of the
European Economy in the Sixteenth Century”dalam The Modern World System,
Vol. I., (New York and London, 1974). (Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic
History as World History”, 313).
Apotheosis, ’menjadikan ilahi’, ’pengilahian’, glorifikasi satu subyek hingga
505
mendekati level ’tuhan’. Dalam teologi, Apotheosis merujuk pada sebuah gagasan
mengenai individu yang diangkat sangat tinggi hingga menyerupai ’tuhan’.
Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 325.
506
Ketika Hodgson meninggal pada 1968 (dalam usia 47 tahun), The Venture
507
of Islam baru terdiri dari lima buku pertama. Volume Three: ”The Gunpowder
Empires and Modern Times”, khususnya ”Book Six: The Islamic Heritage in the
Modern World”adalah bagian tidak pernah diselesaikan. Tulisan-tulisan tersedia
dalam rupa catatan tulisan tangan yang tercecer. Rekan kerjanya yang paling
dekat Reuben Smith dengan penuh kesetiaaan mengumpulkan manuskrip yang
masih tersisa dan berserakan. Catatan dan tulisan tangannya ini kemudian
diterbitkan dalam wujud Buku 6 ini. Reuben Smith bekerja keras selama empat
tahun mempersiapkan penerbitan The Venture of Islam (1974). (Edmund Burke,
III, ”Conclusion: Islamic History as World History, 302).
508
Yaitu berhenti pada uraian mengenai ”The Impact of the Great Western
Transmutation: The Generation of 1789”, sebagaimana terdapat dalam
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 3, Six: I, ”The Impact of the Great Western
Transmutation: The Generation of 1789”, 176–222. (Edmund Burke, III,
”Conclusion: Islamic History as World History”, 324–325).
KERAGAMAN DALAM
HISTORIOGRAFI ISLAM:
SINTESA DAN ANALISA
231
analisa bahasa menjelaskan keanekaragaman dalam sejarah
Islam Marshall G.S. Hodgson?”
Pertanyaan mayor ini diuraikan ke dalam tiga pertanyaan minor
di bawah ini. Tiga pertanyaan ini masing-masing mencerminkan
tiga dimensi pemikiran Arkeologi Pengetahuan dari Foucault
(strukturalisme-poststrukturalisme, postmodernisme, dan filsa
fat sejarah). Tiga dimensi ini juga pararel dengan tiga wujud
’keanekaragaman’ yang disebut dalam pertanyaan mayor di atas,
yaitu dalam struktur pemikiran, ideologi, dan kerangka berpikir.
Tiga pertanyaan berikut ini merupakan tiga alat pendekatan
untuk menjelaskan historiografi sejarah Islam Hodgson dalam
Bab ini.
Pertama, bagaimana Hodgson, dalam posisi strukturalis,
menulis sejarah Islam dengan membangun sistem diskursus
untuk menjelaskan sebuah makna; tetapi pada saat yang sama, ia
dalam posisi poststrukutralis memperlihatkan inkoherensi dalam
sistem diskursus yang ditandai dengan pluralitas makna?
Kedua, bagaimana menjelaskan bahwa struktur sosial dalam
sejarah Islam tidak pernah bisa lepas dari rantai kekuasaan yang
adalah dimensi konstitutif dalam diskursus?
Ketiga, bagaimana membuktikan bahwa setiap era dalam
sejarah Islam memiliki epistemenya masing-masing yang khas
dan keanekaragaman cara berpikir yang mengkerangkakan
terbentuknya pernyataan dan diskursus?
Tiga subbab dalam Bab V ini mencerminkan jawaban,
respons, dan penjelasan atas tiga pertanyaan minor di atas:
A. Keragaman Diskursus dalam Sejarah Islam.
B. Kekuasaan dan Ideologi yang Menyebar lewat Pengetahuan.
C. Keragaman Episteme dalam Sejarah Islam.
Linda J. Graham, ”Discourse Analysis and the Critical Use of Foucault”, 2–4.
509
menuliskan Overview yang menguraikan setahap demi setahap proses ini dalam
periode sejarah sejak abad ke-5 hingga era kontemporer. Sejarah Islamdom
dalam 15 abad ini menunjukkan ’Islam sebagai bagian dari satu peradaban
universal’ tersebut. (Hodgson, The Venture of Islam, I, ”General Prologue: The
Islamic Vision in Religion and in Civilization”, 96–99 (96).
512
Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 308–309.
513
Foucault, The Order of Things, xii.
Foucault, L’ archéologie du savoir, 129–131.
514
Civilization”, 3–69.
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic
516
Civilization”, 3.
Diacritics: a sign, such as an accent or cedilla, which when written above or
517
Hodgson, The Venture of Islam, III, Five: ”Prologue to Book Five”, 186.
520
521
Timur Tengah bergerak normal, yang bergerak tidak normal adalah Barat. Pada
periode yang sama Barat bergerak lewat belokan dan loncatan yang sedemikian
jauh dan tidak normal. (Hodgson, The Venture of Islam, III, Five: ”Prologue
to Book Five”, 166; Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World
History”, 318).
522
Serhat Kologlugil, ”Michel Foucault’s Archaeology of Knowledge”, 3.
523
Hodgson, The Venture of Islam, III, Six: I: ”The Impact of the Great Western
Transmutation: The Generation of 1789”, 204.
524
Foucault, L’archéologie du savoir, 39–40.
Civilization”, 3–69.
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic
526
Civilization”, 53–54.
Foucault, L’archéologie du savoir, 39–40.
527
Civilization”, 63–64.
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 2, Four: ”Prologue to Book Four”, 371.
529
532
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic
Civilization”, 48–56.
533
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic
Civilization”, 30–34, 54–55.
534
Untuk menjelaskan nuansa istilah ’kajian peradaban’, lihat Robert McC. Adams,
The Evolution of Urban Society dan Ruth Tringham, ”The Concept of ’Civilizations
in European Archeology”. (Berdasarkan Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic
History as World History”, 315).
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the Study of Islamic
535
538
Foucault, L’archéologie du savoir, 116, 121, 126.
539
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2, Three: VI: ”Adab: The Bloom of Arabic
Literary Culture, c. 813-945”, 330–335.
Foucault, L’archéologie du savoir, 172–173.
540
542
Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 302.
543
Hodgson, antara lain, mengeksplorasi topik hubungan dinamis antara Shi’a-
Sunni, Islam-Hindu, selama Kekaisaran Timuri di India (1526–1707) (Hodgson,
The Venture of Islam, III, Five: II ”The Indian Timuri Empire: Coexistence of
Muslims and Hindus, 1526- 1707”, 83–84, 86, 93, 97).
Meski harus diakui bahwa Arab adalah tempat kelahiran Islam, Hodgson melihat sisi
544
lain, yaitu sejarah dan peradaban Islam yang tidak bergantung pada Arab. (Hodgson,
The Venture of Islam, Vol 1, One: I, ”The World before Islam”, 120–124.)
Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 317–318.
545
area sejarah pemikiran yang ia buat adalah kreasi baru yang unik. Foucault
mendefinisikan ulang dokumen sebagai rantai pernyataan yang dideskripsikan
secara ’positif’ (konkret, real, nyata). Pemahaman arsip sejarah juga mengalami
definisi ulang. (Foucault, L’archéologie du savoir, 177–178.
550
Hodgson, ”The Interrelations of Societies in History”, dalam Marshall G.S.
Hodgson, Rethinking World History,10; Edmund Burke III, ”Introduction: Marshall
G.S. Hodgson and World History”, xvi.
Esai ini pertama kali diterbitkan Comparative Studies in Society and History,
551
553
Al-Zuhri adalah ulama yang pertama kali merekonstruksi sīrah Nabi Muhammad
dengan struktur yang baku dan jelas. Ia menguraikan periode pra-Islam untuk
menjelaskan kehidupan Nabi, menyampaikan aspek-aspek penting periode
Makkah dalam hidupnya, dan hijrahnya ke Madinah. Selanjutnya, ia membahas
kegiatan militer Nabi, tahap demi tahap. (Al-Ṭabarī, History of Al-Ṭabarī, ”Vol. 39
Biographies of the Prophet’s Companions”, 12, 23, 55, 108–109, 165–167,
174–176, 186–187, 234–235; Azra, ”Peranan Hadīts”, 34).
Stowasser, ”Ibn Khaldun’s Philosophy of History”, 186–187.
554
555
Abd Ar Rahman bin Muhammed Ibn Khaldun, The Muqaddimah, ”A nation
that has been defeated and come under the rule of another nation will quickly
perish”, (lembaran ke 197–198); Clayton J. Whisnant, ”Differences between the
Structuralism and Poststructuralism”, A Handout for HIS, 389, http://webs.
wofford.edu/ whisnantcj/ his389/differences_struct_poststruct.pdf, (diunduh 6
Oktober 2013).
Sebagaimana banyak buku sejarah Islam, buku ini dimulai dengan penelusuran
556
Poin gagasan ini adalah pemikiran Foucault yang sudah diresapi oleh
557
(a.l. Herodotus) untuk Amu Darya. Ia adalah sungai yang mengalir sepanjang
perbatasan selatan Uzbekistan, dan memisahkan dua negara lain, Turkmenistan
dan Afghanistan. (Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”Introduction to the
Study of Islamic Civilization”, 60–62).
Esai ini pertama kali diterbitkan Chicago Today (1967): 40-50. Tulisan ini juga
561
muncul dalam Rethinking World History (Bab 4) dan The Venture of Islam (Vol
3, Six: I: ”The Impact of the Great Western Transmutation: The Generation of
1789”).
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 3, Six: I: ”The Impact of the Great Western
562
terhadap pemahaman Clifford Geertz, lihat Hodgson, The Venture of Islam, Vol.
2, Four: IV: ”The Expansion of Islam, c. 1258–1503”, 543–551, 551ck; Greg
Soetomo, ”Indonesian Pluralism and Global Islamic History. Marshall Hodgson’s
Thoughts in the Writings of Nurcholish Madjid”, 2015.
Hodgson menutup enam ratus halaman Volume 2: ”The Expansion of Islam in
568
the Middle Periods”, dengan uraian ’optimis’ dan ’rekonsiliatif’ sepanjang lima
halaman yang merefleksikan kesadaran ini. Sejarah umat manusia di muka bumi
ini tidak pernah berdiri sendiri terpisah satu sama lain. (Hodgson, The Venture of
Islam, Vol. 2, Four: IV: ”The Expansion of Islam, c. 1258–1503”, 570–574).
Foucault, ”Archéologie et histoire des idées”dalam Foucault, L’archéologie
569
kemudian kawin silang dengan dinasti Asia Barat, dengan demikian menjadi
saudara sepupu kebudayaan Barat. Islam adalah ’Yang Lain’ untuk Barat, tetapi
sekaligus menjadi sebuah peradaban (yang tidak kalah) kaya dan sukses yang
karenanya Barat menjadi mungkin untuk menjelaskan dirinya dengan lebih baik.
Studi peradaban Islam, dengan demikian, memiliki kapasitas untuk memeriksa
kembali sejarah Eropa. Burke berpendapat bahwa kritik Hodgson menjadi kurang
menggigit karena posisi epistemologinya yang meletakkan peradaban sebagai
sebuah unit analisis. (Edmund Burke III, ”Introduction: Marshall G.S. Hodgson
and World History”, xv–xvi).
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 2, Three: VII: ”Cultural Patterning in Islamdom
572
Penjelasan Revolusi Industri selalu merujuk apa yang berlangsung di Eropa sejak
574
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 2, Three: V, ”The Victory of the New Sunni
Internationalism, 1118 –1258”, 287–288.
Ini sangat nyata dalam tulisan Foucault Naissance de la clinique - une archéologie
581
The Will to Knowledge) adalah uraian yang relatif ringkas mengenai l’hypothèse
répressive (’Hipotesa Represif’). (Ismaël Al Amoudi, ”The Economy of Power. An
Analytical Reading of Michel Foucault”, Behaviour in Organisations http://www.
csun.edu/ ~hfspc002/ foucault1.pdf (diunduh, 3 Agustus 2016).
Geertz yang tidak menggunakan kriteria yang sama ketika membedakan ’priyayi’
dan ’abangan’. Priyayi menunjuk pada kebangsawan atau kepegawaian, bukan
pada kesalehan beragama. Noer mengajukan alternatif ’abangan’ dibandingkan
dengan ’putihan’ yang didasarkan pada ukuran dedikasi dan intensitas seseorang
pada agama Islam yang dianutnya. (Lapidus, A History of Islamic Societies, 658;
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942 (Jakarta: LP3ES,
1982), 23).
585
Lapidus, A History of Islamic Societies, 659–660.
Dengan mengambil satu Teori Sosial tertentu sebagai pegangan umum,
586
oleh karakter ’kesatuan’. Komunitas Muslim dipersatukan oleh Ideal yang mengikat
peradaban mereka. Hingga periode itu mereka memiliki cara pandang dan titik
tolak berpikir yang sama, dan bahkan menggunakan beberapa bahasa yang sama,
untuk mendiskusikan topik-topik penting. Satu tulisan Hodgson mendiskusikan
persoalan ’kesatuan’ ini, ”The Unity of Later Islamic History”, dalam Marshall G. S.
Hodgson dan Edmund Burke, Rethinking World History”, 171–206.
Sebagai satu ilustrasi, Hodgson menjelaskan bahwa dalam Periode Pertengahan,
589
Hodgson, The Venture of Islam, III, Five: ”Prologue to Book Five”, 186.
592
593
Hodgson, The Venture of Islam, III, Five: ”Prologue to Book Five”, 166; Edmund
Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 318.
”At the very most, we may say (using economic rather than biological terms)
594
598
Hodgson, The Venture of Islam , Vol 1, Two: VI, ”Adab: The Bloom of Arabic
Literary Culture, c. 813–945”, 444–472.
Kekhalifahan membangun struktur politik yang solid dan komprehensif. Ia
599
Ini menjadi pembahasan Hodgson dalam Vol. 3 The Venture of Islam. (Hodgson,
603
The Venture of Islam, Vol. 3, Five: ”Prologue to Book Five”, 3; Hodgson, The
Venture of Islam, Vol. 3, Five: IV, ”Before the Deluge: The Eighteenth Century”,
134; Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 321.
alat analisis dalam studi sejarah. Lewat karyanya Die protestantische Ethik
und der Geist des Kapitalismus (1904/1905), ’tipe ideal’ dijelaskan sebagai
konstruk mental yang digunakan untuk memperkirakan sebuah realitas lewat
seleksi dan penekanan elemen-elemen tertentu. Kelemahan kerangka teori ini
adalah kecenderungan untuk memberikan perhatian pada ’ekstrem’, polarisasi,
dan fenomena. Ia melupakan hubungan kompleksitasnya. Dengan demikian,
teori gagal memperlihatkan bagaimana berbagai tipe dan elemen tersebut
membentuk sebuah ’sistem sosial total’. ( Encyclopædia Britannica, Inc http://
www.britannica.com/topic/ideal-type, diunduh 7 Januari 2016).
Tipe ideal Agrarian Age dan Technical Age yang diciptakan Hodgson telah
610
615
Penjelasan Hodgson dalam bentuk grafik dan tabel akan segera memberikan
gambaran konteks kultural dan intelektual di sekitar kelahiran Islam: ”The Origins
of Islamic Culture in Its World Context, 226–715”(Hodgson, The Venture of Islam,
Vol 1, One: I, ”The World before Islam”, 139; Edmund Burke, III, ”Conclusion:
Islamic History as World History”, 321–322).
616
Zaman Axial (Axial Age, Axis Age), sebuah frase yang diciptakan oleh Karl
Jaspers dalam Vom Ursprung und Ziel der Geschichte (1949; The Origin and Goal
of History), yang menandai periode kuno sekitar 800–200 BCE. Dalam rentang
waktu ini, menurut Jaspers, lahir berbagai konsep cara berpikir baru filsafat dan
agama di Persia, India, Tiongkok dan Yunani-Romawi secara hampir bersamaan,
tanpa adanya kesinambungan dengan periode sebelumnya. (Hodgson, The
Venture of Islam, Vol 1, One: I, ”The World before Islam”, 112–113).
617
Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, One: I, ”The World before Islam”, 139;
Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 321–322.
618
Michel Foucault berpendapat bahwa studi sejarah pemikiran, yang mengkaji
topik-topik transisi di antara berbagai peristiwa historis sebenarnya berlangsung
’keterpatahan’. (Foucault, L’ archéologie du savoir, 15–20).
Civilization”, 43; Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, One: I, ”The World before
Islam”, 103–104.
Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 1, Two: IV, ”Muslim Personal Piety:
620
622
Hodgson menjelaskan bagaimana proses menurun dan memudarnya kehidupan
sosial-politik-kultural pada masing-masing dinasti: Safawi (Hodgson, The Venture
of Islam, Vol. 3, Five: I: ”The Ṣafavi Empire: Triumph of the Shi’ah, 1503–1722”,
55–58); Usmani (Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 3, Five: III: ”The Ottoman
Empire: Shari’ah-Military Alliance, 1517–1718”, 126–133); dan Mughal (India
Timuri) (Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 3, Five: II: ”The Indian Timuri Empire:
Coexistence of Muslims and Hindus, 1526- 1707”, 144–151).
623
Lihat ringkasan ”Overview of the History of Islamdom”yang dibuat oleh Hodgson.
Ringkasan ini memberikan gambaran umum secara ringkas seluruh The Venture
of Islam. (Hodgson, The Venture of Islam, Vol 1, ”General Prologue: The Islamic
Vision in Religion and in Civilization”, 96 ).
Alun Munslow, Deconstructing History, 32.
624
Mahayudin Haji Yahaya, ”The People of Al-Ayyam in the Arab Conquest of Iraq”,
625
setelah Al-Qur’an, para ulama melakukan kajian secara hati-hati dan teliti. Bisa
dipahami, penerimaan ḥadīth, dalam aspek hukum, dilakukan lewat proses
yang sangat kritis. (Azyumardi Azra, ”Peranan Hadîts dalam Perkembangan
Historiografi Awal Islam”, dalam Azyumardi Azra, Historiografi Islam
Kontemporer, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 27. Tulisan ini semula
merupakan Orasi Ilmiah yang disampaikan dalam Dies Natalis ke-36 IAIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 31 Juli 1993.
Alun Munslow, Deconstructing History, 32.
627
Islam antara lain, adalah Urwah (w. 712), Wahb ibn Munabbih (w. 728), Ibn Ishaq
(w. 761), al Waqidi (745–822), Ibn Hisham (w. 834), Muhammad al-Bukhari (810–
870) and Ibn Hajar (1372–1449). (Fu’ad Jabali, ”A Study of the Companions of
the Prophet”, 14; Azyumardi Azra, ”Peranan Hadîts”, 42–43).
Abd Ar Rahman bin Muhammed Ibn Khaldun, The Muqaddimah, ”When the natural
630
(tendencies) of the royal authority to claim all glory for itself and to obtain luxury and
tranquility have been firmly established, the dynasty approaches senility”, (lembaran
ke 224–226; Stowasser, ”Ibn Khaldun’s Philosophy of History”, 186–188.
631
Lapidus, A History of Islamic Societies, 3–196.
632
Lapidus, A History of Islamic Societies, 197–452.
633
Lapidus, A History of Islamic Societies, 453–872.
Foucault menganalisa syarat-syarat ’pengetahuan’. Pengetahuan merupakan
634
gejala transisi dari satu mode pengetahuan ke pengetahuan lain. Arkeologi melukiskan
transformasi kondisi-kondisi yang menentukan apa yang bisa diperhitungkan sebagai
pengetahuan. (Foucault, L’ archéologie du savoir, 221–222).
Lapidus, A History of Islamic Societies, 183–184.
635
Sejak awal abad ke-17 hingga awal 20, pertanyaan dalam filsafat Barat mengenai
639
pengetahuan yang berasal dari ide dan konsep yang tersimpan dalam pikiran
manusia. Bagi Locke, berbeda sama sekali dengan Descartes, pengetahuan
tidak bisa tidak hanya bersumber dari pengalaman. Locke adalah pencetus
aliran Empirisme (Paul Deery, ”Descartes and Foundationalism: A Definitive
Explanation for Knowledge Possession?”, MA Thesis, 2004, The Faculty of
Philosophy, National University of Ireland, Maynooth).
Foucault memang tidak secara eksplisit mengkontraskan prinsip arkeologinya
640
Ini bisa dilihat antara lain ketika Hodgson menjelaskan proses menaik, menurun,
643
Dalam Les Mots et les Choses. Une archéologie des sciences humaines (The
644
Yaitu berhenti pada uraian mengenai ”The Impact of the Great Western
648
Bandingkan dengan Hodgson, lewat The Islamic venture, menjelaskan
650
Dalam tujuh Bab di Book Three (”The Establishment of an International
652
1048), dan al- Firdawsī (Ḥakīm Abū al-Qāsim Firdowsī Țusī; 935–1025).. Ini
memberikan sebuah gambaran bahwa peranan pemikiran hadir dalam berbagai
kancah sekaligus (politik, teologi, filsafat, sufisme, sastera). (Hodgson, The
Venture of Islam, Vol. 2, ”Index to Volume 2”, 587–609).
653
Hodgson melangkah maju dalam karyanya dengan menulis serial kesalehan
beberapa penjaga moral Islam, antara lain, Ḥasan al-Baṣrī (w.728), Abū Ḥāmid
Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī (1058–1111), dan Muḥammad ’Abduh
(1849–1905). Para ulama ini berjuang untuk menerjemahkan dan mengolah
kembali Islam untuk setiap konteks dan tantangan zaman mereka masing-
masing. (Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic History as World History”, 305)
Foucault, L’archéologie du savoir, 23–24; Serhat Kologlugil, ”Michel Foucault’s
654
KESIMPULAN DAN
TANTANGAN-REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Penelitian ini memberikan tiga kesimpulan yang pada dasarnya
menjawab satu pertanyaan mayor dan tiga pertanyaan minor
yang dirumuskan dalam ’Pembatasan Masalah’.
Pertama, Hodgson menawarkan sebuah paradigma baru
dalam merekonstruksi sejarah Islam, yang sudah diantisipasi
oleh Foucault. Klarifikasi yang dibuat oleh Hodgson sangat
mengandalkan bahasa dan penjelasan diskursus. Diskursus yang
dibangun Hodgson menjelaskan bagaimana bahasa muncul ke
permukaan dan bertransformasi. Transformasi bahasa dalam
diskursus tampak ketika Hodgson memberi makna dan nilai
universal dalam interkoneksi berbagai peradaban. Yaitu, bahwa
semua manusia adalah diikat dalam sebuah persaudaraan yang
tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Islam adalah satu bagian
dari seluruh komunitas sejagad dalam sejarah.
293
Hodgson menjelaskan obyek, membentuk konsep, dan
menyusun teori, dan akhirnya teorinya mendapatkan status
’ilmiah’. Aspek historis arkeologi Foucault ini telah men
dekonstruksi ide mengenai ’kemajuan dalam pengetahuan’.
Sebuah ilmu tidak akan pernah lebih superior dari lainnya.
Yang ada hanyalah perbedaan interpretasi atas sebuah realitas.
Pluralitas makna ini tampak dalam tulisan Hodgson yang
memeriksa kembali periodisasi sejarah. Ia melukiskan peradaban
Islam sebagai sebuah entitas independen dalam sejarah dunia.
Sejarah Islam bukan hanya sekadar tambahan dari sejarah Eropa,
melainkan salah satu dari berbagai sejarah penting dunia.
Kedua, Foucault menyampaikan posisi filsafat sejarahnya
bahwa satu-satunya pintu untuk menjelaskan pengalaman
adalah lewat dan melalui medium bahasa. Ia menjelaskan
bahwa dalam proses kerja manusia atas bahasa, ’kekuasaan’
juga bekerja. Di dalam proses ini diputuskan status legitim atau
tidak legitim narasi sejarah. Sejarah tidak pernah obyektif karena
penulis sejarah tidak pernah terbebaskan dari psiko-kultural
pada masanya. Satu sumbangan terpenting yang diberikan oleh
Hodgson, seraya mengafirmasi Foucault, adalah penjelasannya
mengenai periode sejarah modernitas dan tempat Eropa secara
baru. Ia membongkar ’kekuasaan’ dalam ’diskursus’ Eropa,
dengan menyampaikan ’diskursus’ yang berbeda.
Hodgson, sejalan dengan cara berpikir Foucault, melihat
bahwa sejarah Islam, beserta kekuasaan bahasa di dalamnya,
menyimpan kekuatan strategis untuk mengeritik diskursus
peradaban Barat. Dengan meletakkan proses tahap demi tahap
perkembangan Eropa ke dalam konteks sejarah dunia, sejarah
Islam menyimpan data-data sejarah untuk merekonstruksi
berbagai asumsi keistimewaan yang selama ini melekat di dalam
sejarah Eropa. Ketika Hodgson melihat bahwa sejarah Islam
menyimpan kekuatan strategis untuk mengeritik diskursus
Francis Fukuyama, The End Of History And The Last Man, xii–xiii; Francis
658
Mun’im Sirry, ”Menulis Sejarah Islam dari Pinggiran”, Geotimes, 26 Maret 2016,
665
666
Hagarism merujuk pada suku Hajarin abad ke-7 di Semenanjung Arab. Mereka
menganggap diri mereka sebagai keturunan abdi perempuan bernama Hagar
(Hajar) yang dinikahi Ibrahim, dan menurunkan Ismail. Menurut buku yang ditulis
Crone dan Cook, penaklukkan bangsa Arab dan terbentuknya kekalifahan di
Semenanjung Arab mendapatkan inspirasi dari Mesianisme Yahudi. Dalam
aliansi dengan orang-orang Yahudi,orang-orang Arab hendak mengambil alih
Tanah Terjanji dari Dinasti Bizantium. Ajaran-ajaran Islam ini banyak dipengaruhi
oleh Yahudi-Kristen dan sumber-sumber Timur Tengah. [Patricia Crone & Michael
Cook, ”Excerpt on Assyrians”, Hagarism: The Making of the Islamic World,
Assyrian International News Agency Books: 55–60 (http://www.aina.org/
books/hagarism.pdf, diunduh 12 Juli 2016)].
667
Robert G. Hoyland, ”Seeing Islam as Others saw it. A Survey and Evaluation of
Christian, Jewish and Zoroastrian Writings on Early Islam. Reviewed by Michael
G. Morony”, International Journal of Middle East Studies, Volume 31/Issue 03/
August 1999, 452-453, http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?f
romPage=online&aid=3049676&fileId=S0020743800055550 (diunduh 27 Juli
1996).
668
Patrick Madigan, ”Envisioning Islam: Syriac Christians and the Early Muslim
World. By Michael Philip Penn”, The Heythrop Journal, Volume 57, Issue 1
January 2016: 251–252, http://onlinelibrary.wiley.com/enhanced/doi/10.1111/
heyj.121_12307, diunduh 12 Juli 2016.
Mun’im Sirry, Kontroversi Islam Awal, Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis
669
Dalam pandangan Weber, masyarakat modern, khususnya di Barat, terus
672
675
Ada pendapat yang mengatakan ”Book Six: The Islamic Heritage in the Modern
World”memperlihatkan beberapa kelemahan yang mencolok. Book Six ini
semula tersedia dalam bentuk draft, belum menjadi wujud yang definitif, karena
penulisnya keburu wafat. Ia dipublikasikan tanpa penyuntingan. Kelemahan dan
kekurangan yang ada dalam Buku 6 menodai kesan bagus keseluruhan The
Venture of Islam.
676
Albert Hourani, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798-1939, Cambridge:
University Printing House, 1983 https://www.amazon.com/Arabic-Thought-
Liberal-Age-1798-1939/dp/0521274230, (diunduh, 20 Nopember 2016).
677
Camilla Dawletschin-Linder, ”Re-Reading Bernhard Lewis: ”The Emergence
of Modern Turkey”, Aibü Sosyal Bilimler Enstitüsü Dergisi, Semih TEZCAN’a
Armağan, Cilt:13, Yıl:13, 13:99-106 99 http://sbedergi.ibu.edu.tr/ index.php/
sbedergi/ article/viewFile/666/1003 (diunduh, 20 Nopember 2016).
678
Theda Skocpol, ”A Critical Review of Barrington Moore’s Social Origins of Dictatorship
and Democracy”, Politics and Society, Fall 1973: 1- 34, http://journals.sagepub.com/
doi/pdf/10.1177/003232927300400101 (diunduh 20 Nopember 2016).
679
Theda Skocpol, ”Review Article What Makes Peasants Revolutionary?”,
Comparative Politics, Vol. 14, No. 3. (Apr., 1982): 351-375. https://www.
unc.edu/courses/2007fall/geog/ 804/001/ Skocpol%201979% 20What%20
Makes% 20Peasant% 20Revolutionary.pdf (diunduh 20 Nopember 2016).
681
Bdk. Iik Arifin Mansurnoor, ”Response of Southeast Asian Muslims to the
Increasingly Globalized World: Discourse and Action”, dalam HAOL, Núm. 5
(Otoño, 2004), 103–111.
682
Andre Gunder Frank, Capitalism and Underdevelopment in Latin America (New
York, 1969); Samir Anim, Le développement inégal (Unequal Development)
(Paris, 1973); Immanuel Wallerstein, ”Capitalist Agriculture and the Origins of the
European Economy in the Sixteenth Century”dalam The Modern World System,
Vol. I. (New York and London, 1974). (Edmund Burke, III, ”Conclusion: Islamic
History as World History”, 313).
A. Buku:
Abdullah, Taufik. Islam dan Masyarakat. Pantulan Sejarah Indonesia.
Jakarta: LP3ES, 1987.
Al-Khathib, Muhammad ’Ajaj. Ushul Al-Hadits. Pokok-Pokok Ilmu
Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.
Al-Ṭabarī. History of Al-Ṭabarī. ”Vol. 17 The First Civil War: From
the Battle of Siffin to the Death of Ali, A. D. 656-661-A. H.
36-40”. (translated by G.R. Hawting)”. New York: State
University of New York Press, 1989. https://kalamullah.com/
Books/The%20History %20Of%20Tabari/ Tabari_Volume_17.pdf.
diunduh 16 Desember 2016.
-----------. History of Al-Ṭabarī. ”Vol. 38 The Return of the Caliphate
to Baghdad: The Caliphate of al-Mu’tadid, al-Muktafi & al-
Muqtadir, A.D. 892-915”. (translated and annotated by Franz
Rosenthal) New York: State University of New York Press,
1989. https://kalamullah.com/ Books/The%20History %20Of%20
Tabari/ Tabari_Volume_38.pdf diunduh 16 Desember 2016.
-----------. History of Al-Ṭabarī. ”Vol. 39 Biographies of the Prophet’s
Companions & Their Successors: al-Tabari’s Supplement to His
History” (Translated by Ella Landau-Tasseron). New York: State
University of New York Press, 1989. https://kalamullah.com/
Books/The%20History %20Of%20Tabari/ Tabari_Volume_39.pdf
diunduh 16 Desember 2016.
Azra, Azyumardi. ”Revisionisme Historis Sejarah Umat Islam”. Dalam
Historiografi Islam Kontemporer. Wacana, Aktualitas dan Aktor
Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, 59–64.
----------. ”Peranan Hadîts dalam Perkembangan Historiografi
Awal Islam”. Dalam Azyumardi Azra, Historiografi Islam
Kontemporer. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, 19–45.
309
(Tulisan ini semula merupakan Orasi Ilmiah yang disampaikan
dalam Dies Natalis ke-36 IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada
31 Juli 1993.)
-----------. ”Sejarah Sosial Dialogis”. Dalam Historiografi Islam
Kontemporer. Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, 65–67.
-----------. ”Sejarah Islam Totalitas”. Dalam Historiografi Islam
Kontemporer. Wacana, Aktualitas dan Aktor Sejarah. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, 68–70.
-----------. ”Hamka: Rihlah Kehidupan dan Kelembagaan”. Dalam
Historiografi Islam Kontemporer. Wacana, Aktualitas dan Aktor
Sejarah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, 260–290.
-----------. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara
Abad XVII dan XVIII: Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta:
Kencana, 2013.
Buchori, Didin Saefuddin. Sejarah Politik Islam. Jakarta: Pustaka
Intermasa, 2009.
Burke, Edmund, III. ”Introduction: Marshall G.S. Hodgson and World
History”. Dalam Marshall G. S. Hodgson dan Edmund Burke,
Rethinking World History: Essays on Europe, Islam and World
History. Cambridge: Cambridge University Press. https://books.
google.co.id/books?id=3oJ_IzVSfpkC&pg=PA301&lpg=PA301&
dq=edmund+burke+ hodgson&source= bl&ots=Xm8p7GRRtj
&sig=USxFp9JT9gPciq Pn4RX SBFCAnhA&hl=en&sa=X&ei= T7
NuVdbGJtegugSyu4CYBw&ved=0CDgQ6AewBgoVChMIlqrH
vIbzxQIVV5COCh2yHQBz#v=onepage&q=edmund%20burke%
20hodgson&f= false (diunduh 20 Juni 2015).
-----------. ”Conclusion: Islamic History as World History: Marshall G.
S. Hodgson and The Venture of Islam”. Dalam Marshall G. S.
Hodgson dan Edmund Burke, Rethinking World History: Essays
on Europe, Islam and World History. Cambridge: Cambridge
University Press. https://books.google.co.id/books?id= 3oJ_IzV
SfpkC&pg=PA301&lpg=PA301&dq=edmund+burke+hodgson&
source=bl&ots=Xm8p7GRRtj&sig=USxFp9JT9gPciqPn4RXSB
B. Jurnal:
Ahmad, Zaid. ”Ibn Khaldun and The Greek Philosophy: Some notes
from the Muqaddima”. Historical Research Letter, Vol 2, 2012:
23–26. file:///C:/Users/gssoetomo/Downloads/2233-4238-1-
PB%20(2).pdf, (diunduh, 11 Juli 2016).
Ahmed, Akbar. ”Ibn Khaldun’s Understanding of Civilizations and
the Dilemmas of Islam and the West Today”. Middle East
Journal, Volume 56, No. 1 Winter 2002: 29–31 (20–45). (http://
www.mafhoum.com/ press4/114S23.pdf, diunduh 12 Mei 2016)
Al Amoudi, Ismaël. ”The Economy of Power. An Analytical Reading
of Michel Foucault”. Behaviour in Organisations. http://www.
csun.edu/ ~hfspc002/ foucault1.pdf (diunduh, 3 Agustus 2016).
Aljunied, Khairudin. ”Writing Reformist Histories: A Cleric as an
Outsider History-Maker”. The Public Historian, Vol. 37, No. 3:
C. Tesis/Disertasi:
Ahmad, Isham Pawan. ”Epistemology of Revelation and
Reason: The Views of Al-Fārābī and Al-Ghazālī”, PhD Thesis,
University of Edinburgh, 1998. (file:///C:/Users/gssoetomo/
Downloads/531006.pdf. (diunduh 29 Januari 2016).
Bauhng, Victor Jongjin. ”Early Sīra material and the Battle of Badr”.
MPhil Thesis, SOAS (School of Oriental and African Studies),
A B
’Abduh, Muḥammad (1849–1905), Bacon, Francis (1561–1626), 153
196, 291, 329 Barthes, Roland (1915 - 1980), 47, 112,
al-Afghānī, Jamāl al-Dīn (1838 - 129, 137
1897), 82 Baudrillard, Jean (1929–2007), 113
al-Baṣrī, Ḥasan (w.728), 196, 291, Bayly, Christopher, 33
329
Buchori, Didin Saefuddin, 46, 57, 310
al-Biruni (973 –1048), 50
Bulliet, Richard (l. 1940), 301, 315
al-Dhahabī (673/1274–748/1347), 52,
53, 92, 93, Burke, Edmund, 3, 4, 7, 10, 34, 177,
183, 188
al-Dīn Tabīb, Rashīd (1247–1318), 73,
93, 106, 262, 329
C
al-Ghazālī, Muḥammad (1058–1111),
194, 196, 290, 291, 329 Cooper, Frederick, 64, 311
al-Ḥuṣrī, Sāṭiʽ (1882–1968), 55 Cook, Michael, 302
al-Masʿūdī (Abū al-Ḥasan ʿAlī ibn al- Crone, Patricia, 302, 303, 326
Ḥusayn al-Masʿūdī, w.956), 49,
88, 96, D
al-Ṭabarī (Abū Jaʿfar Muḥammad ibn Dabashi, Hamid, 51, 311
Jarīr al-Ṭabarī; 839 - 923), 49, 51,
Devji, Faisal, 33
67, 68, 87, 88, 91, 249, 309
Dekker, Eduard Douwes, 61
al-Wāqidī, 49, 53, 67
Derrida, Jacques (1930–2004), 114, 117
Ali, Imam (599-661 CE), 15, 140
Durkheim, Émile (1858–1917), 116
Amin, Qasim (1863 - 1908), 29, 227,
264, 308
Arkoun, Mohammed (1928–2010),
E
Esposito, John L. (1940 - ), 152
Armstrong, Karen (1944 - ),
Avicenna (Ibn Sīnā; 980–1037), 147,
196, 290 F
Azra, Azyumardi (l. 1955), xi, xv, 23, Frank, Andre Gunder, 29, 227, 228,
24, 25, 49, 51, 52, 53, 58, 59, 63, 264, 308
67, 71, 78, 80, 87, 88, 89, 249, Fukuyama, Fancis (l. 1952), 298, 299
279, 309, 329
329
G I
Geertz, Clifford (1926–2006), 79, Ibn ’Abd al-Barr (368/978–
167, 256, 263 463/1070), 52, 53
Gellner, Ernest (1925–1995), 159 Ibn al-Athīr (555/1160–630/1232), 52,
Gramsci, Antonio (1891–1937), 113, 53, 92
316 Ibn Baṭūṭah, (1304–1368/69), 29, 53
Grunebaum, Gustave von (1909– - 54, 74 - 75, 94
1972), 167 Ibn Ḥajar al-’Asqalānī (773/1371–
852/1448), 52, 53, 92
H Ibn Isḥāq, 49, 67
Hamka (Haji Abdul Malik Karim Ibn Khallikān (1211–1282), 51
Amrullah; 1908–1981), 57, 58, Ibn Sa’d (168/784–230/844), 52
63, 64, 99
Ibn al-Ṣalāh, 53
Hefner, Robert W., 82, 105
Hegel, GWF (1770–1831) (dan J
Hegelian), 296, 325
Jabali, Fu’ad, 52, 53, 69, 70, 71, 72,
Hobbes, Thomas (1588–1679), 15, 73, 88, 89, 90, 91, 92, 261
75, 140, 153
Jaspers, Karl (1883–1969), 11, 115, 211
Hobsbawm, Eric, 27, 168
Hodgson, Marshall G.S. (1922– K
1968), xxiv, 17, 22, 25, 31, 33, 42,
58, 64, 89 Kant, Immanuel (1724–1804), 114,
120, 152, 171, 297
Hourani, Albert (1915 – 1993), 7, 169,
189, 306 Khaldūn, Abū Zayd ʽAbd al-Raḥmān
ibn (1332–1406), 6, 17, 18, 25, 26,
Hoyland, Robert, 303, 318 54, 55, 57, 58, 73, 75, 76, 95, 97,
Hurgronje, Christiaan Snouck 98, 189, 249, 250, 280, 281
(1857–1936), 61 Kuhn, Thomas (1922–1996), 13, 121
Huntington, Samuel (1927–2008),
300
L
Hutchins, Robert (1929–1945),
Lakatos, Imre (1922–1974), 13, 123, 319
Husserl, Edmund (1859–1938), 114
Lapidus, Ira (l. 1937), 23, 24, 57, 62,
Hyppolite, Jean (1907–1968), 112, 114, 147 78, 99
Lawrence, Bruce B., 163, 175, 327
Lewis, Bernard (l. 1916), 218, 300,
306
Mūsā b. ʿUqba, 49
T
Tamari, Steve, 7, 26, 172, 189
N
Toynbee, Arnold, 176
Nasution, Harun, 46, 314
Nef, John U. 165, 321
Y
Nicholson, Reynold A. (1868–1945), 51
Yatim, Badri, 46
Nietzsche, Friedrich (1844–1900),
115, 128
V
Voll, John Obert (l. 1936), 28, 232
P
Plato (427–347 BCE), 33, 152, 299, 331
W
Penn, Michael, 303
Waldman, Marilyn, (w. 1996), 174,
175, 224, 308, 328
Q Wallerstein, Immanuel, 29, 228,
Quṭb, Sayyid (1906–1966), 264, 308
Weber, Max (1864 –1920), 171, 209, 273
R Wolf, Eric, 27, 168, 218
Raffles, Stamford, 60
Rahman, Fazlur (1919–1988), xxii, 69
B F
”Before the Deluge: The Eighteenth Filsafat (sejarah), 15, 28, 57, 77, 86,
Century”, 221, 276 110, 198, 252
Fenomenologi, 114
C Fiqh, .
”Conservation and Courtliness in ”The Formation of the International
the Intellectual Traditions, c. Political Order, 945-1118”, 185,
1258-1503”, 213, 223, 277 197, 243, 256
”Crisis and Renewal: The Age of
Mongol Prestige”, 8, 195, 197, G
215
Genealogi, 123, 161, 163
”Cultural Patterning in Islamdom
”General Prologue: The Islamic
and the Occident”, 10, 178, 193,
Vision in Religion and in
206, 212, 258, 265
Civilization”, 9, 191, 198, 223,
234, 252, 278
D Great Books, 165
Dekonstruksionisme, 208
The Great Western Transmutation,
”Gunpowder Empires and Modern
E Times”, 11, 174, 214, 220, 228,
Ekumene, 206, 225, 259, 271 270, 288
332
H Irano-Semitic, 3, 185, 187, 188, 205,
Ḥadīth (muḥaddith), 48, 49, 50, 51, 243, 243, 245, 257
53, 65, 67, 69, 71, 72, 87 88, 89, Irak, 67, 74, 87, 88, 94, 100
90, 106, 182, 240, 261, 279, 315
”Hemispheric Interregional History J
as an Approach to World
Judaisme (Yahudi), 32, 188, 145
History”, 3, 204
I K
Kapitalisme, xvii
Ideal, Tipe, 209, 273, 290
Kekuasaan (dalam bahasa), x, xvii,
”The Impact of the Great Western
8, 15, 39, 41, 39, 41, 42, 43, 46,
Transmutation: The Generation
65, 66, 107, 138, 140, 141, 143,
of 1789”, 9 168, 178, 189, 199,
152, 162, 199, 203, 215, 232, 251,
201, 203, 225, 226, 227, 229, 238,
253, 257, 259, 261, 262, 285
253, 254, 267, 271, 272, 289, 305,
307 Kristen (Kristianitas), xviii, xx, xxi,
xxiii,xxiv, 62, 182, 191, 234, 239,
”The Indian Timuri Empire:
303, 304
Coexistence of Muslims and
Hindus, 1526–1707”, 187, 223, Konstruksionisme, 145, 264, 286,
254, 278, 286 287
”Introduction to the Study of Kontinuitas-Diskontinuitas, 146
Islamic Civilization”, 2, 3, 4,
6, 18, 26, 29, 170, 172, 174, 180, L
181,182, 183, 184, 199, 204, 205,
206, 207, 213, 222, 235, 236, 238, Library Research, 39
239, 240, 242, 252, 277
Islamicate dan Islamdom, 2 M
”The Islamic Heritage and the Makkah, 30, 74, 79, 86, 94, 249, 263,
Modern Conscience”, 5, 173, 213 279
Isnād, (sanad ), 48, 279 Marxisme (Neo), 114, 145, 191, 235,
264, 114, 145, 191, 235
India, 4, 11, ,32, 50, 100, 183, 196, 198,
206, 211, 221, 222, 241, 252, 256, Meta-Research, 40
260, 275, 276, 282 Mesir, xxii, xxiii, xxiv, 67, 74, 88, 94,
Indonesia, xx, xxi, xxiv, 46, 57, 84, 96, 221, 275
103, 307, 314, 327 Mongol, 181, 220, 224, 241, 269
Inggris, 24, 33, 51, 87, 117, 226, 272 Mu’awiyah, 304
Iran, 65, 69, 124, 186, 221, 247, 275, 301 Mughal, 24, 101, 218, 220, 223, 224,
270, 278, 282, 286
V
”The Victory of the New Sunni
Internationalism, 1118-1258”,
185, 218, 243
W
”The World before Islam”, 3, 11,
188, 207, 209, 210, 222, 246, 260,
273, 274, 276, 290
Y
Yaman, 64
Yunani (Helenisitik),
Z
Zoroaster, 32, 62, 303
I. DATA PRIBADI
a) Nama: Greg Soetomo
b) Tempat/tgl lahir: Purwokerto, 27 Oktober 1964
c) Jenis kelamin: Laki-laki
d) Agama: Katolik (Roma)
e) Warga Negara: Indonesia
f) Alamat: Jalan Kramat VII/25, Jakarta Pusat, 10430 (tel: 021-
315-0516)
g) Alamat email dan HP: gsoetomo@hotmail.com; 0815-146-
27-907
h) Profesi: Imam Gereja Katolik (Ordo Serikat Jesus;Yesuit).
337
e) Publikasi Buku:
a Sains dan Problem Ketuhanan (1995); Ruang lingkup
kajian: Studi Filsafat Ketuhanan.
a Kekalahan Manusia Petani (1997); Ruang lingkup kajian:
Studi lintas disiplin Sosiologi Pertanian dan Filsafat
(Juergen Habermas).
a Revolusi Damai (1998); Ruang lingkup kajian: Studi
Teologi Pembebasan di Filipina.
a Ekaristi dan Pembebasan (2002); Ruang lingkup kajian:
Studi Teologi dan Pastoral Sakramen.
a Krisis Seni Krisis Kesadaran (2003); Ruang lingkup
kajian: Studi Filsafat Kebudayaan Neo-Marxis.
a Peter F. Drucker on Church (2007); Ruang lingkup kajian:
Penerapan Ilmu Manajemen modern ke dalam praksis
Gereja.
a Hermawan Kartajaya on Church (2007); Ruang lingkup
kajian: Penerapan Ilmu Marketing sekular ke dalam
praksis Gereja.
a Built to Last (2009); Ruang lingkup kajian: Pembahasan
sekolah dan pendidikan Katolik dengan menggunakan
prinsip manajemen bisnis.
a Semangat Lebih Yesuit (2009); Ruang lingkup kajian:
Kajian sejarah perkembangan sebuah Tarekat (Ordo
Yesuit) di dalam Gereja Katolik.
a Merevitalisasi Pemikiran Sosial Islam Hassan Hanafi
(2015); Berasal dari Tesis S-2 di SPs UIN Jakarta. Ruang
lingkup kajian: menguraikan pemikiran sosial dalam
Islam dalam menghadapi kebudayaan kapitalisme
kontemporer.