Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH ISLAM DAN MODERASI BERAGAMA

Sejarah Walisongo dan Model Moderasi Beragama: Sunan Gresik, Sunan Ampel,
Sunan Bonang

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Islam dan Moderasi Beragama
Dosen Pengampu: Dr. H. Ismail, M. Ag.

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 4 BIO 6C

1. NOVITA IKA FITRIYANI (2108016093)


2. NUR FAIQOH (2108016094)

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2024

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, karunia, serta
hidayahNya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah Islam dan Moderasi Beragama, dengan judul “Sejarah Walisongo dan
Model Moderasi Beragama: Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Bonang”
Tidak lupa juga kami sampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Ismail, M.Ag.
Sebagai dosen pengampu mata kuliah Islam dan Moderasi Beragama yang telah membimbing
serta memberikan pemahaman kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan tugas
makalah ini dengan tepat waktu.
Kami menyadari jika dalam penulisan serta penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena terbatasnya pengalaman serta pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena
itu, kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari pembaca untuk bisa
perbaikan lagi kedepannya. Dan kami berharap semoga makalah ini bisa memberikan ilmu
dan manfaat bagi para pembaca.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Semarang, 4 Maret 2024

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2

DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 6

C. Tujuan .............................................................................................................................. 7

D. Manfaat ............................................................................................................................ 7

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 8

A. Sunan Gresik ................................................................................................................. 8

B. Sunan Ampel ............................................................................................................... 16

C. Sunan Bonang.............................................................................................................. 23

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 29

A. Kesimpulan .................................................................................................................... 29

B. Saran ............................................................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 31

3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan perjalanan waktu, ketahanan dan kelangsungan hidup suatu
komunitas dipengaruhi oleh sejauh mana mereka mampu mengintegrasikan nilai-nilai
keberagaman dan mengelola perbedaan. Dalam konteks Indonesia, peran Walisongo
sebagai tokoh-tokoh penyebar agama Islam memiliki dampak yang signifikan tidak
hanya pada perkembangan kehidupan beragama, tetapi juga pada tatanan sosial dan
budaya. Pada titik pertemuan antara sejarah dan moderasi beragama, eksplorasi
mendalam terhadap perjalanan Walisongo menawarkan wawasan yang berharga
tentang bagaimana model moderasi beragama dapat berkembang dalam konteks
pluralitas agama dan budaya di Nusantara.
Sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. Yunus: 62-64:

“Artinya”: Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka
dan mereka tidak bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa
bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat.
Tidak ada perubahan bagi janji-janji Allah. Demikian itulah kemenangan yang
agung. (Q.S. Yunus: 62-64),
Menurut Tafsir Fi Zilalil Qur’an Jilid 6 dalam ayat ini dijelaskan bahwa Wali
adalah orang yang menyampaikan kebenaran dari Allah dimana dalam menyampaikan
kebenaran itu tiada rasa khawatir dan sedih. Keistimewaan ini pada dasarnya hampir
sama dengan para rasul, namun yang membedakan terletak pada ada atau tidaknya
wahyu yang diterima. Wali tidak menerima wahyu, dan juga tidak akan pernah
menjadi Nabi atau rasul, tetapi wali mendapat karomah yaitu suatu kemampuan diluar
adat kebiasaan manusia. Dalam diri seorang Wali terdapat keimanan serta ketakwaan
kepada Allah. Keimanan disini berupa keyakinan dalam hati yang dibuktikan dengan

4
amal perbuatan, selalu melaksanakan sesuatu yang telah diperintahkan oleh Allah
serta menjauhi segala larangan-Nya.
Pentingnya eksplorasi sejarah Walisongo dalam konteks model moderasi
beragama menjadi sebuah kajian yang mendalam dalam upaya memahami dan
meresapi nilai-nilai Islam Nusantara. Eksplorasi sejarah dimulai dengan memahami
asal usul dan identitas para tokoh yang dikenal sebagai Walisongo. Dengan
mendalaminya, dapat melacak akar pemikiran dan pandangan hidup yang membentuk
landasan bagi pengembangan model moderasi beragama. Walisongo berasal dari
berbagai latar belakang etnis dan budaya, mereka menciptakan gambaran kaya akan
keberagaman yang menjadi dasar untuk pembentukan model moderasi beragama di
masyarakat Nusantara (Jati, 2022).
Walisongo dikenal sebagai penyebar agama islam di tanah Jawa pada abad ke
15 M. Walisongo menyebarkan agama islam di tiga wilayah penting pantai utara
Pulau Jawa, yaitu Surabaya – Gresik – Lamongan – Tuban di Jawa Timur, Demak –
Kudus – Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Walisongo yang
berjumlah sembilan orang, yakni mereka yang bergelar Sunan Gresik (Maulana Malik
Ibrahim), Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Bonang (Maulana Makdum Ibrahim),
Sunan Drajat (Raden Qasim), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Kalijaga (Raden
Syahid), Sunan Kudus (Ja’far Shadiq), Sunan Muria (Raden Umar Said), dan Sunan
Gunung Jati (Syarif Hidayatullah).
Penting untuk menggali pemahaman Walisongo terhadap Islam Nusantara,
sebuah perspektif Islam yang tidak hanya mengadaptasi ajaran agama, tetapi juga
merangkul kearifan lokal dan budaya. Walisongo memahami bahwa Islam bukanlah
entitas yang terpisah dari budaya setempat, melainkan sebuah ajaran yang dapat
diselaraskan dengan tradisi dan kebiasaan lokal. Pemahaman ini menjadi fondasi bagi
model moderasi beragama yang bersifat inklusif dan dapat mengakomodasi
keragaman agama di tengah masyarakat Nusantara yang beraneka ragam. Para Wali
membawa Islam sebagai ajaran yang tidak memandang asal-usul atau latar belakang
etnis, tetapi sebagai jalan yang terbuka untuk semua.
Melalui pemahaman sejarah Walisongo, dapat mengidentifikasi nilai-nilai
moderasi beragama yang mereka terapkan. Sudut pandang Walisongo terhadap
moderasi beragama, khususnya dalam konteks pluralitas agama, dapat menjadi
inspirasi untuk membangun model moderasi beragama yang relevan dengan realitas
sosial dan budaya saat ini. Para Wali menanamkan nilai-nilai toleransi, dialog
5
antaragama, dan kerukunan dalam menyebarkan ajaran Islam. Contoh nyata dari
model moderasi ini adalah praktik dialog antaragama yang mereka gencarkan untuk
membangun pemahaman dan menghormati perbedaan antarumat beragama.
Walisongo tidak hanya menyampaikan pesan agama, tetapi juga memberikan
contoh hidup sebagai manusia yang moderat dan inklusif (Muhajarah, 2021).
Walisongo tidak mengedepankan fanatisme atau intoleransi, melainkan berusaha
menjalin hubungan yang harmonis dengan masyarakat sekitar. Model moderasi
beragama yang mereka anut melibatkan pengakuan dan penghormatan terhadap
keberagaman, serta kemampuan untuk hidup berdampingan dengan penuh rasa saling
menghargai.
Makalah ini bertujuan untuk mendalami sejarah Walisongo dalam konteks
model moderasi beragama dengan fokus pada asal usul dan identitas mereka,
pemahaman terhadap Islam Nusantara, serta model moderasi beragama yang diusung
oleh Walisongo. Tujuan utama makalah ini adalah merinci kontribusi mereka dalam
membentuk kerangka pemikiran moderasi beragama dan mengidentifikasi
relevansinya dengan tantangan keberagaman zaman sekarang. Dengan menggali lebih
dalam pengetahuan tentang pemikiran dan tindakan Walisongo, diharapkan kita dapat
mengekstraksi nilai-nilai moderasi beragama yang dapat diaplikasikan secara
konstruktif dalam masyarakat kontemporer.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana asal-usul dan nasab dari Walisongo: Sunan Gresik, Sunan Ampel
dan Sunan Bonang?
2. Bagaimana Pendidikan dan pengembangan keilmuan yang dilakukan oleh
Walisongo: Sunan Gresik, Sunan Ampel dan Sunan Bonang?
3. Bagaimana pendekatan dan strategi dakwah Islam yang digunakan oleh
Walisongo: Sunan Gresik, Sunan Ampel dan Sunan Bonang?
4. Apa saja nilai-nilai moderasi yang disebarkan oleh Walisongo: Sunan Gresik,
Sunan Ampel dan Sunan Bonang?

6
C. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Mengenal asal-usul dan nasab dari Walisongo: Sunan Gresik, Sunan Ampel
dan Sunan Bonang?
2. Mengetahui Pendidikan dan pengembangan keilmuan yang dilakukan oleh
Walisongo: Sunan Gresik, Sunan Ampel dan Sunan Bonang?
3. Mengetahui pendekatan dan strategi dakwah Islam yang digunakan oleh
Walisongo: Sunan Gresik, Sunan Ampel dan Sunan Bonang?
4. Mengetahui nilai-nilai moderasi yang disebarkan oleh Walisongo: Sunan
Gresik, Sunan Ampel dan Sunan Bonang?

D. Manfaat
Berdasarkan latar belakang diatas, maka manfaat dari makalah ini adalah sebagai
berikut:
1. Memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang asal-usul dan silsilah
keturunan Walisongo, yang dapat memperkaya pengetahuan sejarah
keberadaan tokoh-tokoh penting dalam sejarah Islam di Indonesia.
2. Memperlihatkan peran Walisongo dalam pengembangan pendidikan dan ilmu
pengetahuan pada masa itu, sehingga dapat dijadikan inspirasi dalam
mengembangkan pendidikan Islam saat ini.
3. Memberikan wawasan tentang pendekatan dan strategi dakwah Islam yang
digunakan oleh Walisongo, sehingga dapat menjadi bahan pembelajaran dalam
memahami cara efektif menyebarkan ajaran Islam.
4. Memperkenalkan nilai-nilai moderasi beragama yang ditekankan oleh
Walisongo, yang dapat menjadi landasan bagi pemahaman masyarakat tentang
pentingnya toleransi dan keberagaman dalam beragama.

7
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sunan Gresik
1. Visualisasi Sunan Gresik

(Gambar 1. Visualisasi Sunan Gresik. Sumber: Sidiq et al., 2020)


2. Asal-usul dan nasabnya
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy
diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14 dan
wafat pada tahun 1419 M. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya
Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy,
berubah menjadi Asmarakandi (Firdausy, 2016).
Sunan Gresik adalah orang pertama yang menyebarkan agama Islam di
pulau Jawa. Sunan Gresik yang memiliki nama asli Maulana Malik Ibrahim
mendapatkan gelar Walisongo pertama, atau bisa dikatakan wali senior
diantara Walisongo lainnya. Maulana Malik Ibrahim juga memiliki panggilan
lain seperti Syekh Maghribi, Kakek Bantal, Makhdum Ibrahim As-
Samarqandani, dan Syekh Ibrahim Asmarakandi (Abdulah, 2015).
Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Ia
bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus
ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari
seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di
Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari
Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw (Din, 2018)

8
Terdapat beberapa persepsi yang berbeda mengenai asal-usul Sunan
Gresik, berikut beberapa versi diantaranya.
a. Menurut Nama Asli Sunan
Pertama yaitu menurut nama asli Sunan Gresik sendiri,
masyarakat beranggapan bahwa Maulana Malik Ibrahim bukan
keturunan asli Jawa. Persepsi tersebut diperkuat dengan sebutan
atau nama lain dari Sunan Gresik yaitu Syeikh Maghribi.
Mereka beranggapan bahwa Sunan berasal dari daerah Arab
Maghrib atau yang saat ini yaitu daerah Afrika Barat, terdapat
sebagian lain yang memiliki anggapan bahwa beliau berasal dari
Maroko.
b. Menurut Keturunan Rasullah SAW
Ada juga yang beranggapan bahwa Maulana Malik Ibrahim
merupakan keturunanan dari Nabi Muhammad.
Maulana Malik Ibrahim masih memiliki garis keturunan
dengan Nabi Muhammad SAW. yakni keturunan ke-22 melalui
jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad
al-Baqir, Ja'far al-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib,
Isa al-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal,
Muhammad Sahibus Saumh, Alwi al-Tsani, Ali Khali' Qasam,
Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik
(Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal,
Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), Barakah Zainul
Alam dan Maulana Malik Ibrahim (Din, 2018). Alhasil bisa
disimpulkan bahsa Sunan Gresik berasal dari orang Hadrami.
c. Menurut Prasasti Gapura Wetan
Masyarakat juga memiliki persepsi bahwa Maulana Malik
Ibrahim berasal dari daerah Kashan atau yang saat ini bernama
Iran. Persepsi ini diperkuat dengan Prasasti Gapura Wetan yang
berhasil dibaca oleh J.P Moquette, ia membaca tulisan yang
terdapat di baris kelima pada prasasti tersebut. Dari hasil
pembacaan tersebut kemudian muncul persepsi masyarakat yang
menganggap bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Kashan.

9
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) merupakan wali
yang tertua dari Wali Songo. Dari beliau, lahir anak-cucu yang
diantaranya termasuk dalam Wali Songo. Adapun Wali Songo ini
tidak hidup bersamaan, akan tetapi di antara mereka terjalin
hubungan erat, yaitu ada yang memiliki hubungan darah (ayah-
anak-cucu), guru-murid, atau persahabatan. Urutan keterkaitan di
antara Wali Songo tersebut adalah. Sunan Gresik sebagai yang
tertua. Sunan Ampel adalah putra dari Sunan Gresik. Sunan Giri
adalah keponakan Sunan Gresik. Sunan Bonang dan Sunan
Drajat adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan
sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria merupakan
putra dari Sunan Kalijaga. Sunan Kudus merupakan murid Sunan
Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para sunan yang
telah disebut, kecuali Maulana Malik Ibrahim karena lebih dulu
meninggal. Sunan Gresik sebagai wali tertua tentu memiliki
pengaruh terhadap para wali setelahnya, terutama yang berkaitan
dengan metode dakwah (Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual,
2006).
3. Pendidikan dan pengembangan keilmuan
Sunan Gresik, yang juga dikenal dengan nama Syech Maulana Malik
Ibrahim, adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam di Jawa Timur pada
abad ke-15. Pendidikan dan pengembangan keilmuan yang diajarkan oleh
Sunan Gresik memiliki beberapa aspek penting:
a. Pendidikan Agama: Sunan Gresik mendirikan pesantren yang
menjadi pusat pendidikan agama Islam di Jawa Timur. Pesantren
yang didirikan oleh beliau menjadi tempat para santri
mempelajari ajaran Islam, seperti Al-Qur’an, hadis, tafsir, fiqh,
dan akhlak.
b. Kesalehan Sosial: Sunan Gresik juga mengajarkan nilai-nilai
kesalehan sosial kepada para pengikutnya. Beliau menekankan
pentingnya berbuat baik kepada sesama, memberi sedekah, dan
membantu orang yang membutuhkan.
c. Tasawuf: Seperti banyak ulama pada masanya, Sunan Gresik
juga mengajarkan ajaran tasawuf atau mistisisme Islam. Beliau
10
memandang bahwa pengenalan diri dan pencapaian spiritual yang
lebih tinggi dapat dicapai melalui jalan tasawuf.
d. Kemandirian Ekonomi: Sunan Gresik juga mengajarkan
pentingnya kemandirian ekonomi. Beliau mendorong umat Islam
untuk bekerja keras, berusaha mandiri dalam mencari nafkah,
serta mengelola ekonomi dengan bijaksana. Selain pendidikan,
Sunan Gresik juga memiliki peran dalam pengembangan
ekonomi maritim, melalui pembuatan kapal tradisional Jawa.
Keterampilannya dalam kerajinan ini membantu memperkuat
perdagangan, dan konektivitas dengan daerah lain.
e. Keberagaman dan Toleransi: Sunan Gresik juga dikenal
sebagai tokoh yang menghormati keberagaman dan nilai-nilai
toleransi. Beliau menjunjung tinggi sikap menghargai perbedaan
antarumat beragama, serta mendorong dialog dan kerukunan
antaragama.

Pendidikan dan pengembangan keilmuan yang diajarkan oleh Sunan


Gresik bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang berakhlak mulia,
berilmu, berdaya ekonomi, serta menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan
kerukunan. Pendidikan agama, nilai kesalehan sosial, ajaran tasawuf,
kemandirian ekonomi, serta sikap toleransi dan keberagaman merupakan inti
dari ajaran Sunan Gresik, yang menjadi landasan dalam membentuk karakter
umat Islam yang berdaya, berkepribadian, dan bermanfaat bagi masyarakat.
4. Pendekatan dan strategi dakwah Islamnya
Maulana Malik Ibrahim, dikenal pula dengan sebutan Syekh Maghribi
atau juga Sunan Gresik. Meskipun beliau bukan asli orang Jawa, namun beliau
berjasa kepada masyarakat. Karena beliaulah yang pertama kali menyebarkan
Islam di tanah Jawa. Sehingga berkat usaha dan jasanya, penduduk pulau Jawa
yang kebanyakan masih beragama Hindu dan Buddha di kala itu akhirnya
mulai banyak yang memeluk Islam.
Metode dakwah yang dilakukan Syekh Maulana Malik Ibrahim dalam
proses Islamisasi pada abad ke-14 M tercatat dalam Babad Gresik I meliputi
delapan metode, antara lain:

11
a. Mempelajari Adat Istiadat Setempat
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati
masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah
senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia
tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari
penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan
kebaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-
tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam
agama Islam (Solichin, 1960).
Awalnya, siapa saja yang datang ke tempat baru, akan
merasakan kesulitan untuk menyampaikan sesuatu yang
diinginkan. Hal ini terjadi lantaran adanya kekhawatiran akan
salah tingkah ataupun sesuatu yang dilakukan tidak sesuai dengan
adat istiadat masyarakat di wilayah yang baru ditempati.
Demikian pula halnya yang terjadi pada Sunan Gresik. Karena
beliau bukan merupakan orang Jawa, tentu harus mengadakan
adaptasi terlebih dahulu dengan masyarakat setempat sebelum
mengawali dakwahnya. Sebab beliau paham betul bahwa setiap
negara memiliki aturan tersendiri dengan negara lain. Bahkan,
setiap desa di suatu negara memiliki adat istiadat yang berbeda
dengan desa yang lain. Untuk itu, Sunan Gresik mempelajari
bahasa Jawa, mengenali adat istiadat tempat beliau tinggal, serta
mempelajari kehidupan masyarakat, baik dari segi mata
pencahariannya, pandangan hidupnya, dsb. dengan harapan
bahwa hal tersebut akan membuatnya lebih berhati-hati dan tidak
terjerumus dalam kesalahan yang dapat membuat masyarakat
membencinya.
b. Membuka Warung/Berdagang
Setelah berhasil memikat hati masyarakat sekitar, aktivitas
selanjutnya yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah
berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang
sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar. Di wilayah yang baru
ditempati, mula-mula Sunan Gresik membuka warung untuk

12
berjualan makanan dan barang yang menjadi kebutuhan
masyarakat sehari-hari (Moh. Hasyim, 1995).
Berjualan menjadi salah satu sarana yang digunakan oleh
Sunan Gresik dalam misi dakwahnya. Sebagai pendatang, tentu
tidak mudah bagi beliau untuk langsung menjalankan misi
dakwah. Oleh karena itu, diperlukan keakraban terlebih dahulu
dengan masyarakat setempat. Bagi Sunan Gresik, berjualan
merupakan cara yang cukup efektif dalam upaya mengakrabkan
diri dengan masyarakat setempat. Diawali dengan strategi
berdagang, Sunan Gresik dapat membangun relasi yang baik
dengan masyarakat serta dapat mempelajari segala hal pada
masyarakat yang menjadi konsumennya, yakni mulai dari nama
orang-orang, keluarganya, kondisi kehidupannya termasuk situasi
sosial-ekonominya, dan wataknya. Motif dalam pendirian warung
tersebut bukanlah untuk mencari keuntungan tetapi sebagai
sarana dalam menyiarkan agama Islam sehingga apapun yang
beliau perdagangkan, dijual dengan harga yang murah. Hal inilah
yang menimbulkan ketertarikan masyarakat setempat.
c. Membuka Lahan Pertanian
Sunan Gresik adalah orang yang ahli dalam pertanian. Beliau
mampu memanfaatkan tanah di Jawa yang subur untuk menanam
tanaman kebutuhan sehari-hari, seperti padi, umbi-umbian, dsb.
Bahkan beliau merupakan orang pertama yang memiliki gagasan
untuk mengalirkan air dari gunung untuk menunjang irigasi lahan
pertanian penduduk. Kehadiran Sunan Gresik di tanah Jawa
benar-benar menjadi berkah dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Hasil pertanian menjadi semakin meningkat, sehingga banyak
orang yang menaruh perhatian dan ingin belajar kepada beliau.
d. Menjadi Tabib
Selain handal dalam perdagangan dan pertanian, Sunan
Gresik juga cukup piawai dalam menangani masalah kesehatan.
Dengan racikan obat yang dibuat beliau, hampir seluruh orang
yang berobat mendapatkan kesembuhan. Dalam menjalankan
praktik pengobatan, beliau tidak memungut biaya. Oleh karena
13
keikhlasan pelayanan inilah yang semakin menempatkan posisi
Sunan Gresik menjadi orang yang disegani dan terkenal dalam
masyarakat. Kharisma beliau semakin kuat seiring dengan
keberhasilan dalam mengobati berbagai penyakit dan menjadikan
Sunan Gresik sebagai sandaran hidup masyarakat.
e. Hidup dengan Sederhana
Hidup dengan sederhana bukan berarti tidak memiliki apa-
apa. Hidup sederhana menandakan bahwa orang itu tidak
tergantung terhadap materi. Orang yang mampu melepaskan diri
dari ketergantungan terhadap materi akan mencapai kebahagiaan
sejati. Sebab, selama manusia masih tergantung pada materi,
hidupnya tidak akan pernah puas. Selain itu, dengan hidup
sederhana, seseorang dapat membuka pergaulan seluas-luasnya.
Sebaliknya, hidup yang terbelenggu dalam kemewahan identik
dengan kehidupan para elite sehingga masyarakat kelas bawah
enggan untuk bergaul dengan para elite. Sunan Gresik sebagai
ulama yang akan menjadi panutan seluruh elemen masyarakat
tentu bukan kebetulan memilih hidup sederhana. Beliau
mengetahui bahwa dengan hidup sederhana, dapat membangun
relasi dengan siapa saja, baik di tingkat elite maupun tingkat
bawah. Masyarakat menjadi tidak segan untuk bergaul dengan
beliau, karena masyarakat memiliki pandangan bahwa beliau
adalah sederajat dengannya dalam ranah sosial.
f. Menghapus Perbedaan Kelas (Kasta)
Dalam kehidupan masyarakat di wilayah Sunan Gresik
tinggal, terdapat kepercayaan masyarakat terhadap perbedaan
kelas sosial. Ada masyarakat yang diposisikan kelas sosialnya
sebagai masyarakat rendah, tengah, dan tinggi. Masyarakat
rendah memiliki nasib yang malang karena tidak dapat
menikmati hak-hak asasi manusia. Mereka dianggap tidak
berguna oleh masyarakat pada kelas yang lebih tinggi lantaran
kelas sosialnya yang rendah. Umumnya, masyarakat yang
menempati kelas sosial rendah adalah para budak dan petani.
Sebagai orang Islam, tentu Sunan Gresik tidak setuju dengan
14
situasi tersebut. Di dalam agama Islam, tidak ada perbedaan
kelas, yang membedakan seseorang dengan orang lain adalah
dalam hal ketakwaannya. Oleh karena itu, Sunan Gresik yang
jika dilihat dari kepercayaan masyarakat setempat, sebagai orang
yang memiliki kelas sosial tinggi karena beliau tergolong kaya
dan menantu raja, tetapi memposisikan diri sebagai orang yang
sederajat dengan siapapun, termasuk dengan masyarakat yang
dianggap memiliki kelas sosial rendah. Kemudian, beliau
mengajarkan ajaran Islam kepada masyarakat bahwa dalam Islam
derajat setiap manusia adalah sama, karena hal tersebut semakin
banyak orang yang tertarik untuk masuk Islam. Dalam hal ini,
Sunan Gresik telah membantu masyarakat kelas tinggi keluar dari
kezaliman karena merendahkan masyarakat pada kelas sosial
yang lebih rendah, dan mengangkat derajat masyarakat yang
dianggap pada kelas sosial rendah pada posisi yang sama dalam
status hubungan sosial
g. Membangun Masjid dan Pesantren
Setelah para pengikut Islam semakin banyak, Sunan Gresik
mendirikan sebuah masjid sebagai tempat ibadah, sarana
berdakwah, dan mengajarkan agama Islam kepada masyarakat.
Pada waktu itu, masyarakat Jawa sudah terbiasa menetap di
tempat Sunan Gresik yang mengajarkan ilmu dan menyediakan
tempat-tempat khusus untuk menampung murid yang ingin
belajar kepadanya.
h. Mengajarkan Islam dengan Mudah
Dalam mengajarkan Islam kepada masyarakat awam, Sunan
Gresik memiliki prinsip mengajarkan ilmu dengan mudah
dipahami oleh masyarakat. Beliau tidak mengajarkan Islam
secara rumit dan teoretis. Artinya, beliau mengajarkan agama
Islam dengan disertai contoh praktis yang mudah dipahami dan
dimengerti. Dalam mengajarkan Islam, beliau juga tidak
menakut-nakuti masyarakat dengan dosa dan ancaman,
melainkan disampaikan dengan gembira sebagaimana pesan
Rasulullah Saw. Misalnya, sebagaimana yang dijelaskan oleh
15
Stamford Raffles dalam bukunya History of Java, yang dikutip
Arman Arroisi, ketika Sunan Gresik ditanya siapakah Allah itu?
Beliau tidak menjawab bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha
Besar, yang akan menyiksa orang-orang yang membangkang dan
memberikan pahala kepada orang-orang yang berbakti.
Melainkan, beliau menjawab secara sederhana, “Allah adalah
Dzat yang diperlukan ada-Nya.”
5. Nilai-nilai moderasi yang disebarkan
Sunan Gresik, atau dikenal juga sebagai Syech Maulana Malik Ibrahim,
merupakan salah satu tokoh yang menyebarkan nilai-nilai moderasi dalam
ajaran Islam. Nilai-niai moerasi beragama yang disebarkan oleh Sunan Gresik
diantaranya yaitu sikap ulet dan gigih dalam berdakwah, hal ini dibuktikan
dengan usahanya untuk menyebarkan agama islam dari tanah kelahiranya di
Persia sampai ke tanah Jawa. Lebih mengedepankan silaturahim dan toleransi,
Sunan Maulana Malik Ibrahim tidak serta merta mengedepankan berdakwah
namun berbaur dengan masyarakat sekitar dengan berdagang dan menghargai
masyarakat walaupun berbeda agama (Tatang, 2001).
B. Sunan Ampel
1. Visualisasi Sunan Ampel

(Gambar 2. Visualisasi Sunan Ampel. Sumber: Sidiq et al., 2020)


2. Asal-usul dan nasabnya
Nama asli Sunan Ampel adalah Raden Rahmat atau Raden Ali
Rahmatullah, Beliau lahir di Campa sekitar tahun 1401 M dan diperkirakan
meninggal pada 1467 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat masjid

16
Ampel Surabaya (Mastuki, 2003). Ayahnya bernama Syekh lbrahim
Asmaraqandi dan ibunya bernama Dewi Candrawulan putri Raja Campa.
Raden Rahmat mempunyai saudara bernama Sayyid Ali Murtholo sebagai
kakak kandung, dengan panggilan akrabnya Raden Santri. Sedang
Candrawulan (ibunya) adalah saudara perempuan Dewi Anarawati yang
diperistrikan oleh Prabu Brawijaya.
Jika ditinjau dari urutan nasabnya maka Raden Rahmat adalah keturunan
dari seorang ulama dari Samarqand, sebuah kota dekat Bukhara. Di mana sejak
dulu Samarqand dan Bukhara dikenal banyak ulamanya, peduduknya hampir
seratus persen beragama islam. Hal ini dibuktikan dengan adanya makam salah
seorang periwayat hadits nomor satu bernama lmam Bukhori. Salah seorang
ulama' ahli hadits yang terkenal di seluruh dunia.
Adapun silsilah sunan ampel dan ayahnya yang bernama Syekh Ibrahim
yang merupakan keturunan nabi Muhammad Saw dapat dilihat pada mata
rantai sebagai berikut:

Gambar 3. Silsilah Sunan Ampel. Sumber: muttaqin.id)


Berdasarkan silsilah tersebut terlihat bahwa Sunan Ampel (Ali
Rahmatullah) merupakan keturunan generasi ke 8 (delapan) dari nabi
Muhammad SAW.
Kemudian masa kecil hingga remaja Ali Rahmatullah menghabiskan
waktu di Campa, tempat kelahirannya. Kemudian tidak hanya itu, melainkan

17
Ali Rahmatullah juga menimba ilmu agama di Pasai (Lhokseumawe, Aceh).
Setelah itu, saat usianya genap 20 tahun, Ali Rahmatullah bersama Ali
Murtadho dan Abu Hurairah (adik sepupu Sunan Ampel), diajak oleh sang
ayah untuk berkelana ke tanah Jawa untuk berdakwah sekaligus menengok
Dewi Andrawati (Wahyudi, 2012).
Sunan Ampel memiliki 2 orang istri, yakni istri pertama bernama Dewi
Condrowati atau Nyai Ageng Manila dan istri kedua bernama Dewi Karimah.
Dari istri pertama yakni Dewi Condrowati, Sunan Ampel dikaruniai 5 orang
anak, diantaranya:
 Maulana Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang)
 Syarifuddin (Sunan Drajat)
 Siti Syarifah (Istri Sunan Kudus)
 Siti Muthmainnah
 Siti Hafsah
Sedangkan istri kedua yakni Dewi Karimah, Sunan Ampel dikaruniai 6
orang anak, diantaranya:
 Dewi Murtasiyah
 Dewi Murtasimah
 Raden Husamuddin
 Raden Zainal Abidin
 Pangeran Tumapel
 Raden Faqih
Beliau juga merupakan salah satu tokoh yang cerdas dalam bidang
pendakwahan salah satu contoh beliau mempunyai taktik sederhana dalam
menyebarkan agama Islam, sepertihalnya dalam mengerakkan kader-kader
pendakwah yang dididik di pesantren Ampeldenta untuk menikahi putri-putri
penguasa bawahan Majapahit, yang bertujuan untuk menciptakan keluarga-
keluarga Muslim (Sunyoto, 2012). Beliau sendiri juga menikahi putri Arya
Teja, Bupati Tuban, yang juga cucu Arya Lembu Sura Raja Surabaya yang
Muslim. Jejak dakwah Sunan Ampel tidak hanya di Surabaya dan ibukota
Majapahit, melainkan meluas ke daerah Sukadana di Kalimantan.

18
3. Pendidikan dan pengembangan keilmuan
Sunan Ampel adalah salah satu tokoh penyebar agama Islam di
Indonesia pada abad ke-15. Pendidikan dan pengembangan keilmuan yang
diajarkan oleh Sunan Ampel memiliki beberapa karakteristik yang khas:
a. Pendidikan Agama: Sunan Ampel songot vokal dalam
menyebarkan agama Islam di Jawa. Ia mendirikan pesantren-
pesantren sebagai pusat pendidikan agama Islam. Pesantren-
pesantren ini menjadi tempat para santri belajar tentang ajaran
Islam, seperti Al-Qur'an, hadis, fiqh, dan akhlak.
b. Keilmuan Islam Tradisional: Pengajaran Sunan Ampel
mencakup berbagai disiplin ilmu Islam tradisional, termasuk
tafsir, fiqh, tasawuf, dan lain-lain. Ia juga mengajarkan tentang
pentingnya memahami dan mengamalkan ajaran Islam dalam
kehidupan sehari-hari.
c. Sufisme: Sunan Ampel dikenal sebagai seorang tokoh sufi yang
mengajarkan ajaran tasawuf atau mistisisme Islam. Konsep
kesederhanaan, cinta kepada Allah, dan pengendalian diri
menjadi inti ajaran tasawuf yang diajarkan olehnya.
d. Keberagaman dan Toleransi: Sunan Ampel mengajarkan nilai-
nilai toleransi dan kerukunan antarumat beragama. Ia mendukung
dialog antaragama dan menjunjung tinggi keberagaman dalam
masyarakat.
e. Kemandirian Ekonomi: Selain pendidikan agama, Sunan
Ampel juga mengajarkan tentang pentingnya kemandirian
ekonomi. Ia mendorong umat Islam untuk bekerja keras dan
berusaha mandiri dalam mencari nafkah, sehingga bisa menjadi
mandiri dan tidak bergantung pada orang lain.
4. Pendekatan dan strategi dakwah Islamnya
Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Ampel menggunakan cara
pendekatan kultur kebudayaan karena masih banyak masyarakat yang
menganut kuat kepercayaan lama. Sehingga mengunakan budaya yang sudah
dikenal masyarakat dan mengisinya dengan ajaran Islam. Cara pendekatan
dakwah Sunan Ampel di Jawa dengan cara menyesuaikan diri, menyerap,
bersikap pragmatis dan menempuh cara yang berangsur-angsur (Nurhayati,
19
2007). Adapun cara Sunan Ampel untuk mengajak rakyat masuk Islam, berikut
beberapa kontribusi Sunan Ampel dalam menggelorakan dakwah Islam:
a. Membangun Masjid sebagai Pusat Kekuatan Umat.
Babad Ngampel denta menuturkan bahwa pengangkatan
resmi Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya dengan Gelar
Sunan dan kedudukan wali di Ngampel denta dilakukan oleh
Raja Majapahit. Penempatan Raden Rahmat di Surabaya, selain
dilakukan secara resmi oleh Pecat Tandha di Terung juga disertai
oleh keluarga-keluarga yang dipercayakan Kerajaan Majapahit
untuk dipimpinnya. Menurut lembaga Riset Islam pesantren
Luhur Sunan Giri Malang (1975), karena hubungan baik dengan
Raja Majapahit, Raden Rahmat diberi izin tinggal di Ampel
disertai keluarga-keluarga yang diserahkan oleh Raja Majapahit.
Pembangunan masjid ini adalah sarana dakwah Sunan Ampel
yang sama seperti ketika Rasulullah dan para sahabat hijrah ke
Madinah, salah satu program pertama yang beliau lakukan adalah
pembangunan sebuah masjid. Selain itu, Sunan Ampel
membangun masjid sebagai pusat kekuatan umat, sehingga
pendirian masjid sebagai sarana dakwah.
b. Seruan Dakwah Islam Kepada Penguasa Majapahit
Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat
berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan isterinya pun
berasal dari kalangan istana. Dekatnya Sunan Ampel dengan
kalangan istana membuat penyebaran Islam di daerah kekuasaan
Majapahit, khususnya di pantai utara Pulau Jawa tidak mendapat
hambatan yang berarti, bahkan mendapat restu dari penguasa
kerajaan. Sunan Ampel tercatat sebagai perancang kerajaan Islam
pertama di Pulau Jawa dengan ibukota di Bintoro, Demak. Dialah
yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak,
yang dipandang mempunyai jasa paling besar dalam meletakkan
peran politik umat Islam di Nusantara (Rachmad, 2015).
c. Mendirikan Pesantren
Sebagai Pusat Kaderisasi. Sunan Ampel adalah penerus cita-
cita dan perjuangan Maulana Malik Ibrahim. Ia memulai
20
aktivitasnya dengan mendirikan pondok pesantren di Ampel
Denta, dekat Surabaya yang sekaligus menjadi pusat penyebaran
Islam yang pertama di Jawa. Di tempat inilah dididik pemuda-
pemudi Islam sebagai kader yang terdidik, untuk kemudian
disebarkan ke berbagai tempat di seluruh pulau Jawa. Muridnya
antara lain Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan
Sunan Giri, Raden Patah yang kemudian menjadi sultan Sebagai
Pusat Kaderisasi. Sunan Ampel adalah penerus cita-cita dan
perjuangan Maulana Malik Ibrahim. Ia memulai aktivitasnya
dengan mendirikan pondok pesantren di Ampel Denta, dekat
Surabaya yang sekaligus menjadi pusat penyebaran Islam yang
pertama di Jawa. Di tempat inilah dididik pemuda-pemudi Islam
sebagai kader yang terdidik, untuk kemudian disebarkan ke
berbagai tempat di seluruh pulauJawa. Muridnya antara lain
Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri,
Raden Patah yang kemudian menjadi sultan Pertama dari
kerajaan Islam di Bintoro Demak, Raden Makdum Ibrahim yang
dikenal dengan Sunan Bonang, Raden Kosim Syarifuddin yang
dikenal dengan Sunan Drajat, Maulana Ishak yang pernah diutus
ke daerah Blambangan untuk mengislamkan rakyat disana, dan
banyak lagi mubalig yang mempunyai andil besar dalam
islamisasi Pulau Jawa (Tarwilah, 2006).
d. Penyampaian Dakwah Melalui Huruf Pegon
Sunan Ampel juga yang pertama kali menciptakan Huruf
Pegon atau tulisan Arab berbunyi bahasa Jawa. Dengan huruf
pegon ini, beliau dapat menyampaikan ajaran-ajaran Islam
kepada para muridnya. Tujuan penciptaan tulisan Pegon semula
dimaksudkan untuk penyebaran ajaran agama Islam, agar orang
Jawa yang tidak pandai bahasa Arab dapat mengerti dan
memahami maksud ajaran itu dengan baik. Tetapi, seiring dengan
bergulirnya waktu, tulisan Pegon kemudian juga difungsikan
sebagai sarana untuk menuliskan bermacam-macam maksud dan
kepentingan oleh orang Jawa. Sedangkan sekarang huruf pegon

21
tetap dipakai sebagai bahan pelajaran agama Islam di kalangan
pesantren (Nasrudin, 2015).

5. Nilai-nilai moderasi yang disebarkan


Sunan Ampel Menyebarkan ajaran islam dengan cara yang halus tanpa
mengkafirkan atau menyalahkan adat dan kebiasaan masyarakat yang ada.
Beliau membangun dan mengembangkan pondok pesantren dan beliau juga
mengenalkan istilah “Moh Limo” (moh ngombe, moh main, moh maling, moh
madat, moh madon) yaitu seruan untuk tidak minum minumak keras, tidak
berjudi, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotika, dan tidak berzina
(Rachmad, 2015).
Metode dakwah yang dimiliki oleh Sunan Ampel mungkin berbeda
dengan metode dakwah yang dilakukan oleh walisongo yang lain. Sunan
Ampel menggunakan metode pembaruan dan pendekatan intelektual dan
menggunakan metode budaya dan metode seni untuk menyebarkan agama
Islam. Sunan Ampel adalah salah satu tokoh yang mengajarkan nilai-nilai
moderasi dalam ajaran Islam. Nilai-nilai moderasi yang disebarkan oleh Sunan
Ampel dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Metode Al-Hikmah
Kata “hikmah” dalam bahasa Indonesia yaitu bijaksana yang
berarti selalu menggunakan akal budina (pengalaman
pengetahuan) dan tajam pemikirannya. Dengan metode ini, untuk
menyampaikan ajaran Islam dengan membawa kebenaran dengan
kemampuan untuk penerima dakwah.
b. Metode Ummah
Metode ini dilakukan sebagai proses klasifikasi yang sesuai
dengan tahap pendidikan masyarakat.

22
C. Sunan Bonang
1. Visualisasi Sunan Bonang

(Gambar 4. Visualisasi Sunan Bonang. Sumber: Sidiq et al., 2020)


2. Asal-usul dan nasabnya
Sunan Bonang memiliki nama asli Raden Makdum Ibrahim. Beliau lahir
pada tahun 1465 M di Surabaya dan wafat pada tahun 1525 M. Beliau tumbuh
dalam asuhan keluarga ningrat yang agamis. Sunan Bonang merupakan putra
keempat dari Sunan Ampel (Raden Rahmat) dengan pernikahannya dengan
Nyi Ageng Manila Adipati Tuban yang kemudian Sunan Ampel memiliki dua
putera, yaitu Sunan Drajat dan Sunan Bonang. Secara silsilah, Sunan Bonang
masih memiliki garis keturunan dengan Nabi Muhammad SAW. yakni
keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad melalui Siti Fatimah dan Ali bin Abi
Thalib. Oleh sebab itu dalam serat Darmogandul (karya sastra tentang
runtuhnya Majapahit) beliau disebut dengan julukan Sayyid Kramat dan
dikatakan sebagai orang Arab keturunan Nabi Muhammad dari jalur ayah
(Achmad, 2015).
Urutan silsilah Sunan Bonang dari jalur ayah adalah sebagai berikut:

23
(Gambar 5. Silsilah Sunan Bonang. Sumber: Atlas Walisongo (2017))
Sunan Bonang adalah putra keempat Sunan Ampel dari perkawinan
dengan Nyai Ageng Manila putri Arya Teja, Bupati Tuban. Menurut Babad
Risaking Majapahit dan Babad Cerbon, kakak-kakak Sunan Bonang adalah
Nyai Patimah bergelar Nyai Gedeng Panyuran, Nyai Wilis alias Nyai Pengulu,
dan Nyai Taluki bergelar Nyai Gedeng Maloka. Adik Sunan Bonang adalah
Raden Qasim yang kelak menjadi anggota Wali Songo dan dikenal dengan
sebutan Sunan Drajat. Sunan Bonang lahir dengan nama kecil Mahdum
Ibrahim.
Selain memiliki empat saudari seibu, Sunan Bonang juga memiliki
beberapa orang saudari dari lain ibu. Di antaranya adalah Dewi Murtosiyah
yang diperistri Sunan Giri dan Dewi Murtosimah yang diperisteri Raden Patah.
Babad Cerbon masih menyebut bahwa dari istri ayahnya yang lain, Sunan
Bonang memiliki saudara Seh Mahmud, Seh Saban alias Ki Rancah, Nyai
Mandura, dan Nyai Piah. Keterangan tentang saudara-saudari Sunan Bonang
dalam Babad Cerbon itu dikemukakan juga dalam Babad ing Gresik yang
menyebut nama sembilan orang putra Sunan Ampel: (1) Nyai Ageng
Manyuran, (2) Nyai Ageng Manila, (3) Nyai Ageng Wilis, (4) Sunan Bonang,

24
(5) Sunan Drajat, (6) Ki Mamat, (7) Seh Amat, (8) Nyai Ageng Medarum, dan
(9) Nyai Ageng Supiyah.
Oleh karena ibu kandungnya berasal dari Tuban dan adik kandung ibunya,
Arya Wilatikta, menjadi Adipati Tuban, Sunan Bonang sejak kecil memiliki
hubungan khusus dengan keluarga Bupati Tuban, yang sampai wafat pun ia
dimakamkan di Tuban. Kisah hubungan dekatnya dengan Sunan Kalijaga yang
dalam legenda dikisahkan sebagai hubungan guru-murid, hendaknya dilihat
dalam konteks kekeluargaan. Arya Wilatikta Adipati Tuban yang merupakan
paman Sunan Bonang adalah ayah dari Sunan Kalijaga.
3. Pendidikan dan pengembangan keilmuan
Dalam hal pendidikan dan keilmuan, Sunan Bonang belajar pengetahuan
dan ilmu agama dari ayahnya yaitu Sunan Ampel. Ia belajar bersama santri
Sunan Ampel seperti Sunan Giri, Raden Patah, dan Raden Kusen. Pendidikan
yang ketat dan disiplin banyak didapatkan olehnya, sehingga kemudian Sunan
Bonang benar-benar menjadi cendekiawan, ulama serta wali yang disegani dan
dihormati (Masykur, 2016).
Sunan Bonang juga menuntut ilmu kepada Syaikh Maulana Ishak,
sewaktu bersama dengan Sunan Giri ke Malaka dalam perjalanan haji.
Keduanya sama-sama belajar di Malaka dan Pasai, kemudian menunaikan
ibadah haji di Mekah. Sunan Bonang dikenal sebagai seorang penyebar agama
Islam yang menguasai ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur,
ilmu kesaktian dan kedigdayaan (hikmah) yang menakjubkan. Bahkan
masyarakat mengenal Sunan Bonang sebagai seseorang yang songot pandai
mencari sumber air di tempat-tempat yang sulit air. Dalam Babad Daha-Kediri
menggambarkan bagaimana Sunan Bonang dengan pengetahuannya yang luar
biasa mengubah aliran Sungai Brantas, sehingga menjadikan daerah yang
enggan menerima Islam di sepanjang aliran sungai menjadi kekurangan air,
bahkan sebagian yang lain mengalami kebanjiran (Agus, 2011)
Sepulang dari menuntut ilmu di Pasai, Sunan Bonang menyebarkan
Islam di wilayah Jawa Timur termasuk Tuban, Pati, Pulau Madura, dan Pulau
Bawean di utara Pulau Jawa. Ia juga pernah memberikan pendidikan agama
Islam kepada Raden Patah, putra Raja Brawijaya V dari Majapahit. Dalam
menyiarkan agama Islam ia menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan
dengan budaya yang berkembang di masyarakat pada masa sebelum Islam
25
masuk, seperti mengubah dan mengganti beberapa nama dan istilah Hindu
dengan nama baru yang bersifat Islami atau berasal dari nama para nabi
(Sunyoto, 2017).
4. Pendekatan dan strategi dakwah Islamnya
Menurut Babad Daha-Kediri, usaha dakwah awal yang dilakukan
Pangeran Mahdum Ibrahim (Sunan Bonang) di pedalaman Kediri adalah
dengan pendekatan yang cenderung bersifat kekerasan. Putra Sunan Ampel itu
tidak sekadar dikisahkan merusak arca yang dipuja penduduk, melainkan telah
pula mengubah aliran air Sungai Brantas dan mengutuk penduduk suatu desa
gara-gara kesalahan satu orang warga. Untuk menjalankan dakwah Islam di
pedalaman, Sunan Bonang dikisahkan mendirikan langgar (mushala) pertama
di tepi barat Sungai Brantas, tepatnya di desa Singkal (sekarang masuk
wilayah Kabupaten Nganjuk—pen). Sebagai akibat pendekatan dakwahnya
yang keras itu, dalam Babad Daha-Kediri dikisahkan bagaimana Sunan
Bonang menghadapi resistensi dari penduduk Kediri berupa konflik—dalam
bentuk perdebatan maupun pertarungan fisik—dengan Ki Buto Locaya dan
Nyai Plencing. Setelah kegagalan dalam berdakwah di Kediri, Sunan Bonang
mulai merenungkan dam akhirnya mulai menemukan metode dakwah yang
cocok yaitu dengan memanfaatkan kesenian dan kebudayaan (Sunyoto, 2017).
Dalam berdakwah Sunan Bonang menjalankan pendekatan yang lebih
mengarah kepada hal-hal bersifat seni dan budaya, sebagaimana hal serupa
dilakukan Sunan Kalijaga, muridnya. Selain dikenal sering berdakwah dengan
menjadi dalang yang memainkan wayang, Sunan Bonang juga piawai
menggubah tembang-tembang macapat. Hal ini dilatarbelakangi dari pihak
keluarga ibunya yang merupakan bangsawan di Tuban. Sunan Bonang banyak
belajar mengenai kesenian dan budaya Jawa yang membuatnya memahami dan
menguasai seluk-beluk yang berkaitan dengan kesusastraan Jawa terutama
tentang tembang-tembang jenis macapat yang songot populer saat itu (Ridin,
2004).
Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam
selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang
songot menggemari wayang serta musik gamelan. Pada saat itu, Sunan Bonang
memanfaatkan pertunjukan tradisional sebagai media dakwah Islam dengan
menyisipkan napas Islam ke dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali
26
tersebut berisi pesan tauhid sikap menyembah Allah SWT., tidak
menyekutukan-Nya dan setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan
dua kalimat syahadat). Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang dikenal
dengan tembang Durma, sejenis macapat yang melukiskan suasana tegang,
bengis, dan penuh amarah (Ridin, 2004).
Dalam berdakwah, Raden Mahdum Ibrahim dikenal sering menggunakan
wahana kesenian dan kebudayaan untuk menarik simpati masyarakat. Salah
satunya dengan perangkat gamelan Jawa yang disebut bonang. Menurut R.
Poedjosoebroto dalam Wayang Lambang Ajaran lslam (1978), kata “bonang”
berasal dari suku kata bon+nang = babon+menang = baboning kemenangan =
induk kemenangan. Bonang sendiri adalah sejenis alat musik dari bahan
kuningan berbentuk bulat dengan tonjolan di bagian tengah, mirip gong ukuran
kecil. Pada masa lampau, alat musik ini selain digunakan untuk gamelan
pengiring pertunjukan wayang, juga digunakan oleh aparat desa untuk
mengumpulkan warga dalam rangka penyampaian wara-wara dari pemerintah
kepada penduduk.
Sunan Bonang dikenal sebagai penggubah tembang-tembang Jawa dan
membuat berbagai jenis gending untuk berdakwah. Bahkan, ia dianggap
sebagai salah seorang penemu alat musik gamelan Jawa yang disebut bonang,
yaitu nama gamelan yang diambil dari nama tempat yang menjadi kediaman
Sunan Bonang, yaitu Desa Bonang di daerah Lasem.
Selain dikenal pandai menggubah tembang-tembang Jawa, Sunan
Bonang juga dikenal sebagai guru tasawuf yang diyakini memiliki kekuatan
keramat sebagaimana lazimnya seorang wali. Sebuah naskah primbon asal
Tuban, yang menurut B.J.O. Schrieke dalam Het Boek van Bonang (1916)
adalah tulisan Sunan Bonang karena pada bagian akhir terdapat sebaris kalimat
berisi pernyataan penyusun, yaitu “tammat carita cinitra kang pakerti Pangeran
ing Bonang” (Sultoni, 2016).
5. Nilai-nilai moderasi yang disebarkan
Sunan Bonang adalah seorang ulama yang memiliki peran penting dalam
penyebaran agama Islam di Jawa, khususnya di wilayah Jawa Tengah. Dalam
berdakwah Sunan Bonang sering mempergunakan kesenian rakyat untuk
menarik simpati mereka yaitu dengan menggunakan gamelan yang disebut
bonang dan melalui tembang, tembang yang diajarkan berisikan ajaran agama
27
Islam. Setelah rakyat berhasil direbut simpatinya baru mengisikan ajaran
agama islam sehingga tidak terasa masyarakat telah mempelajari ajaran Islam
dengan senang hati bukan karena paksaan. Nilai-nilai moderasi yang
disebarkan oleh Sunan Bonang dapat dipahami dari karakteristik dan ciri khas
dakwahnya, yang mencakup:
a. Kerukunan Antarumat Beragama: Salah satu ciri khas dakwah
Sunan Bonang adalah upaya untuk memperkuat kerukunan
antarumat beragama. Beliau dikenal sebagai tokoh yang
mendorong dialog antaragama dan menciptakan lingkungan yang
harmonis di antara umat beragama.
b. Toleransi: Sunan Bonang menekankan nilai toleransi sebagai
pondasi dalam beragama dan berkehidupan. Beliau mengajarkan
umat Islam untuk menghormati perbedaan keyakinan dan budaya,
serta berinteraksi dengan penuh rasa hormat terhadap umat
beragama lain.
c. Pendidikan Agama dan Budaya: Sunan Bonang mendirikan
pesantren sebagai pusat pendidikan agama Islam. Namun, selain
ilmu agama, beliau juga mengajarkan tentang kebudayaan lokal,
seperti seni tari dan musik, dengan tujuan untuk menyebarkan
Islam secara damai dan merangkul budaya lokal.
Dari karakteristik dakwah Sunan Bonang tersebut, nilai-nilai moderasi
yang disebarkan dapat menjadi landasan dalam membentuk karakter umat
Islam yang harmonis, toleran, adil, dan terbuka terhadap kemajuan dan
perubahan zaman

28
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Sunan Gresik memiliki nama asli Syeikh Maulana Malik Ibrahim. beliau
merupakan putra dari Syekh Maulana Jumadil Kubro yang merupakan
ulama terkenal di Persia, Sunan Gresik merupakan keturunan Nabi
Muhammad SAW dari garis ayahnya yang merupakan turunan ke sepuluh
dari Sayyid Husain. Sunan Ampel memiliki nama asli Raden Rahmat.
Beliau lahir pada tahun 1401. Sunan ampel merupakan putra dari sunan
Gresik yang merupakan ulama yang menyebarkan Islam pertama kali di
Jawa. Sunan Bonang merupakan putra sulung dari Sunan Ampel dari
perkawinan dengan Adipati Tuban. Nama asli beliau adalah Raden
Makhdum Ibrahim lahir pada tahun 1465 M di Bonang. Beliau merupakan
keturunan ke- 23 Nabi Muhammad SAW.
2. Pendidikan dan pengembangan keilmuan yang diajarkan oleh Sunan Gresik
memiliki beberapa aspek penting antara lain Pendidikan agama, kesalehan
sosial, tasawuf, kemandirian ekonomi dan keberagaman dan toleransi.
Pendidikan dan pengembangan keilmuan yang diajarkan oleh Sunan Ampel
antara lain Pendidikan agama, keilmuan islam traisional, sufisme,
keberagaman dan toleransi dan kemandirian ekonomi. Pendidikan dan
pengembangan keilmuan yang diajarkan oleh Sunan Bonang antara lain
ilmu fikih, ushuluddin, tasawuf, seni, sastra, arsitektur dan ilmu kesaktian
dan kedigdayaan (hikmah) yang menakjubkan.
3. Strategi yang dilakukan oleh Sunan Gresik dalam menyebarkan Islam di
pulau Jawa adalah:
1) Mempelajari adat istiadat setempat
2) Membuka warung/berdagang
3) Membuka lahan pertanian
4) Menjadi tabib
5) Hidup dengan sederhana
6) Menghapus perbedaan kasta
7) Membangun masjid dan pesantren
8) Mengajarkan Islam dengan mudah

29
Berbagai cara Sunan Ampel mengajak masyarakat untuk masuk Islam
yaitu:

1) Membangun masjid sebagai pusat kekuatan umat


2) Seruan dakwah Islam kepada penguasa Majapahit
3) Mendirikan pesantren
4) Penyampaian dakwah melalui huruf Pegon
Dalam berdakwah Sunan Bonang menggunakan kesenian rakyat untuk
menarik masyarakat agar masuk Islam dengan senang hati tanpa paksaan
yaitu dengan menggunakan gamelan
4. Nilai nilai moderasi oleh Sunan Gresik diantaranya yaitu ulet dan gigih
dalam berdakwah serta mengedepankan silaturahim dan toleransi. Nilai
moderasi yang disebarkan oleh Sunan Ampel diantaranya adalah
menyebarkan Islam dengan cara halus tidak mengkafirkan dan
menyalahkan adat dan kebiasaan yang telah ada di masyarakat. Beliau juga
menggunakan metode pembaruan dan pendekatan intelektual dengan
metode budaya dan seni untuk menyebarkan Islam serta mengembangkan
pesantren dan istilah "Moh limo." Dalam menyebarkan Islam Sunan
Bonang menggunakan kesenian yaitu Bonang atau gamelan Jawa yang
digunakan dalam pertunjukan wayang. Selain itu, Sunan Bonang juga
mengubah tembang Jawa dan membuat Gending untuk berdakwah sehingga
masyarakat mempelajari Islam dengan senang hati bukan karena paksaan

B. Saran
Dengan disusunnya makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar
dapat memahami dan merealisasikan dari pentingnya moderasi beragama. Dalam hal
ini, perlu tindakan secara nyata tidak hanya secara teori, sejarah Walisongo
merupakan bagian penting dari sejarah Islam di Indonesia. Memahami peran dan
kontribusi para wali dalam penyebaran agama Islam di Indonesia dapat memberikan
penghormatan dan apresiasi terhadap warisan budaya dan spiritual yang mereka
tinggalkan. Oleh karena itu, menjaga dan mempelajari sejarah Walisongo dapat
membantu memahami akar budaya dan agama di Indonesia sehingga dapat
terciptanya harmonisasi dalam beragama.

30
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, R. 2015. Wali Songo Glora Dakwah Dan Jihad Ditanah Jawa (1404-1482 M).
Solo: Al-Wafi
Achmad, Syafrizal. “Sejarah Islam Nusantara,” Islamuna 2. No. 2 (2015): 247
Agus, Sunyoto. Wali Songo Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan. (Jakarta: Transpustaka,
2011), 131.
Bina Karya, 2009, Sejarah Kebudayaan Islam: MI kelas VI, Erlangga, Jakarta
Firdausy, S. W. El et al. (2019) ‘Kiprah Syaikh Maulana Malik Ibrahim pada Islamisasi
Gresik Abad ke-14 M dalam Babad Gresik I’, SULUK: Jurnal Bahasa, Sastra, dan
Budaya, 1(1), pp. 1–10. Doi: 10.15642/suluk.2019.1.1.1-10
Jati, W. R. (2022). Moderasi Beragama dalam Islam Nusantara: Menimba dari Wali Songo
Religius Moderation Within Islam of the Archipelago: Lesson Learnt from Nine
Islamic. An-Natiq: Jurnal Kajian Islam Interdisipliner, 24(3), 361–378.
https://doi.org/10.55981/jmb.1804
Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual, Penerbit Buku Kompas, Desember 2006.
Mastuki Hs & M. Ishom El-Saha (editor). (2003). Intelektualisme Pesantren: Protret Tokoh
dan Cakrawala Pemikiran di Era Pertumbuhan Pesantren, Vol.1, Jakarta: Diva Pustaka
Jakarta, Juni 2003.
Masykur Arif, Walisongo: Menguak Tabir Kisah Hingga Fakta Sejarah. (Yogyakarta:
Laksana, 2016), 113.
Moh. Hasyim Munif. Pioner & Pendekar Syiar Islam Tanah Jawa, (Gresik; Yayasan Abdi
Putra AlMunthasimi), Tahun 1995 h. 5-6
Muhajarah, K. & M. (2021). Islam Indonesia: Meneguhkan Spirit Moderasi Walisongo dalam
Bingkai Toleransi di Indonesia. Walisongo Press.
Muhammad Din Z, Sejarah Peradaban Islam. (Jawa Timur: Madani Media, 2018)
Nasrudin, Kritis Terhadap Peranan Ulam Dalam proses Akulturasi Islam Dan Budaya Lokal,
Jurnal Adabiyah Vol. XV Nomor I, 2015,46
Nurhayati, Feby, dkk., Wali Songo: Profil dan Warisannya, Yogyakarta: Pustaka Timur,
September 2007
Rachmad Abdullah, Walisongo, (Solo: Al-wafi, 2015) 179
Ridin, Sofwan. Islamisasi Islam di Jawa Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut
Penuturan Babad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). 65

31
Saputra, F. F. N. (2019) ‘Metode Dakwah Wali Songo dalam Penyebaran Islam di Jawa
dalam Buku Atlas Wali Songo Karya Agus Sunyoto dan Relevansinya dengan Materi
SKI Kelas IX’, p. 88.
Sayyid Quthb. Tafsir Fi Zhilalil Qur’an, terj. Jilid. 6 (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm.144.
Sidiq, Ricu. Najuah. Lukitoyo, Pristi Suhendro. 2020. Sejarah Indonesia Periode Islam.
Yayasan Kita Menulis Cetakan 1. 78 hlm. ISBN: 978-623-6761-12-0
Solichin Salam, Sekitar Walisanga, (Kudus; Menara Kudus), Tahun 1960 h. 24-25
Sunyoto, Agus. Atlas Wali Songo. (Depok: Pustaka Iman, 2017). 234.
Sultoni, “Nilai-Nilai Ajaran Tasawuf Walisongo, Dan Perkembangannya Di Nusantara,”
Kabilah 1. (2016): 363. dan badingkan dengan Zuhdi, “Dakwah Dan Dialektika
Akulturasi Budaya.” : 59
Tarwilah, Peranan Walisongo Dalam Pengembangan Islam, Ittihad Jurnal Kopertis Wilayah
XI Kalimantan, Volume 4 No.6 Oktober 2006, 85.
Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX Semester
1 dan 2. 33.
Wahyudi, Agus, Silsilah & Ajaran Makrifat Jawa, Yogyakarta: Diva Press, Maret 2012.

32

Anda mungkin juga menyukai