Anda di halaman 1dari 19

MENELADANI PERAN ULAMA PENYEBAR

AGAMA ISLAM DI INDONESIA

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Pendidikan Agama Islam (PAI)

Disusun oleh :

Kelompok 4

SMA Negeri 2 Majalaya

Kabupaten Bandung

2022
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah atas segala limpahan karunia Allah Subhanahu Wa Ta’ala berkat
Ridho-Nya kami mampu merampungkan makalah ini dengan tepat waktu. Tidak lupa juga
kami haturkan shalawat serta salam kepada junjungan Nabi Muhammad Shallallahu `alaihi
Wa Sallam, beserta keluarganya, para sahabatnya dan semua ummatnya yang selalu
istiqomah sampai akhir zaman.
Penulisan makalah ini memiliki tujuan untuk memenuhi tugas kelompok mata pelajaran
Pendidikan Agama Islam dengan tema Meneladani Peran Ulama Penyebar Agama Islam
di Indonesia. Yang mana di dalam makalah ini kami menjelaskan mengenai bagaimana
islam masuk ke Indonesia dan bagaimana peranan dan nilai para ulama dalam penyebaran
agama islam di Indonesia.
Namun, kami sadar bahwa. Oleh karena itu, dengan lapang dada kami membuka
selebar-lebarnya pintu bagi para pembaca yang ingin memberi saran maupun kritik demi
memperbaiki makalah ini.

Penulis,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i


DAFTAR ISI...................................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................................. 1
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 5
B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 6
C. Tujuan Masalah…………………………………………………………………….
BAB 2 PEMBAHASAN ……………………………………………………………….
A. Masuknya Agama Islam ke Indonesia………………………………………..
B. Perkembangan Kesultanan di Indonesia………………………………………
C. Tokoh Penyebar Agama Islam di Indonesia………..
D. Nilai Keteladanan Para Ulama Penyebar Agama Islam di Indonesia
BAB 3 PENUTUP………………………………………………………………….
A. Kesimpulan…………………………………………………………………….
Daftar Pustaka…………………………………………………………………………
BAB 1

A. Latar Belakang

Ulama merupakan figur sentral di tengah-tengah masyarakat, hal ini karena peranan
ulama adalah sebagai pewaris Nabi yang mempunyai tugas untuk menjadi tauladan dan
pembimbing bagi manusia sebagai umat-Nya untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat,
istilah ulama berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk jamak dari kata “alim” dan
artinya adalah orang yang menguasai Ilmu secara mendalam. Peranan ulama bukan hanya
menjawab masalah-masalah spiritual masyarakat saja, akan tetapi ulama juga menjadi
tumpunan harapan masyarakat untuk menjawab semua tantangan zaman yang muncul
dalam arus globalisasi sekarang ini. Hal ini dilakukan untuk memelihara nilai-nilai Islam
menuju kehidupan yang sejahtera baik di dunia maupun akhirat.

Dalam usaha memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi oleh masyarakat,


maka pemecahannya harus dengan melihat perkembangan yang terjadi di dalam
masyarakat dan pemaparan serta penyajiannya harus sesuai dengan keadaan waktu dan
ruang yang ada, sehingga sesuai dengan apa yang diharapkan baik ulama sebagai
pembimbing atau masyakarat sebagai orang yang dibimbing oleh ulama, maka hal ini akan
memuaskan dari kedua belah pihak. Setelah diketahui peranan ulama, maka seorang ulama
harus mempunyai kriteria.

Kriteria khusus agar mereka bisa disebut sebagai ulama yang baik serta akan menjadi
contoh bagi umatnya. Dapat dipahami bahwasannya para ulama sebagai pewaris dari para
Nabi melalui pemahan, pemaparan serta pengalaman al-qur’an yang betugas memberikan
petunjuk dan bimbingan guna mengatasi permasalahan sosial yang berkembang di dalam
masyarakat. Seorang ulama harus memberikan contoh tauladan yang baik bagi keluarga
dan masyarakat sekitar pada umumnya. Hal ini dikarenakan hubungan keluarga dan
lingkungan sekitar menjadi sangat penting terutama keluarga, karena tingkah laku ulama
dalam keluarga merupakan cerminan bagi seluruh keluarga dan masyarakat sekitar.

Dalam segi keilmuan, seorang ulama harus memiliki kesiapan ilmu sebelum beramal,
karena dengan adanya ilmu maka ulama akan mengetahui bagaimana berbuat untuk
mencapai tujuan yang dimaksud dalam memberikan pemaparan, pemahaman ataupun
pengalaman terhadap masyarakat harus sesuai dengan keadaan kondisi dan situasi
masyarakat yang dihadapi oleh masyarakat.

Kewajiban seorang ulama yang sangat mulia adalah menunaikan amar ma’ruf nahi
munkar, seorang ulama harus aktif dalam menegakkan kalimat tauhid dan mengajarkan
ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Seorang ulama harus mampu mengemban misi para
Nabi kepada seluruh masyarakat dalam keadaan sesulit apapun. Amanat untuk menegakkan
agama Islam pada setiap sisi kehidupan menuntut peran aktif ulama dengan perjuangan,
kesabaran, keikhlasan, dan sikap tawakalnya seorang ulama harus menjadi pemimpin umat
yang mempelopori amar ma’ruf nahi munkar.
Berdasarlan latar belakang masalah tersebut, untuk meneliti nilai nilai keteladanan dari
para ulama. Maka kami mengambil topik makalah tugas PAI dengan judul “Meneladani
Peran Ulama Penyebar Agama Islam di Indonesia”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, agar penelitian ini dapat terarah, maka

penulis membuat batasan-batasan penelitian dengan membuat rumusan masalah.

Sebagaimana rumusan masalah di bawah ini diantaranya :

1. Bagaimana Islam masuk ke Indonesia?

2. Siapa tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam berkembangnya agama islam di Indonesia?

3. Nilai-nilai keteladanan apa saja yang dapat kita ambil dari para tokoh tersebut?

C. Tujuan Masalah

Adapun penelitian ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya :

1. Untuk mengetahui bagaimana Islam masuk ke Indonesia

2. Untuk mengetahui bagaimana peran para Ulama dalam penyebaran agama islam

3. Untuk mengetahui nilai nilai yang dapat kita teladani dari para tokoh ulama tersebut
BAB 2

A. Masuknya Agama Islam ke Indonesia

Indonesia merupakan Negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia, karena
hampir 87 persen penduduk Indonesia adalah pemeluk agama Islam. Hal ini dikarenakan
penyebaran agama Islam di nusantara yang cukup aktif adalah dari pulau Sumatera hingga
ke Sulawesi dan Maluku. Hal tersebut terjadi sejak ratusan tahun yang lalu dan puncak
penyebaran agama Islam terjadi pada masa walisongo.

Sebagai Negara muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki sejarah panjang tentang
bagaimana agama Islam masuk ke Indonesia. Mulai dari awal mula sejarah masuknya Islam
ke Indonesia hingga menjadi agama dengan pemeluk terbesar di nusantara tidak memakan
waktu yang singkat melainkan sudah terjadi sejak zaman kerajaan. Ada banyak teori yang
menyebutkan bagaimana awal mula sejarah masuknya agama Islam ke Indonesia dan
akhirnya menjadi agama yang banyak dianut oleh sebagian besar masyarakat di nusantara
pada kala itu. Teori-teori tersebut juga memiliki bukti sehingga dipercaya sejarah
masuknya agama Islam ke Indonesia sesuai dengan teori-teori yang ada.

Untuk itu, berikut beberapa teori yang mengenalkan bagaimana awal mula sejarah
masuknya agama islam ke Indonesia:

1. Teori India (Gujarat)

Teori ini dicetuskan oleh GWJ. Drewes dan di kembangkan oleh Snouck Hurgronje dan
kawan-kawan, selain itu teori india atau teori Gujarat ini juga di yakini oleh sejarawan
Indonesia Sucipto Wirjosuprato yang meyakini awal mula sejarah masuknya islam di
Indonesia adalah melalu india (Gujarat).

Teori india atau teori Gujarat adalah teori yang menyebutkan bahwa agama islam masuk
ke Indonesia melalui para pedagang dari india muslim (Gujarat) yang berdagang di
nusantara pada abad ke-13. Para saudagar dari Gujarat yang datang dari Malaka kemudian
menjalin relasi dengan orang-orang di wilayah barat di Indonesia kemudian setelah itu
terbentuklah sebuah kerajaan Islam yang bernama kerajaan Samudra Pasai.

Banyak bukti yang menguatkan teori Gujarat ini, salah satunya adalah makam Malik
As-Saleh yang merupakan salah satu pendiri kerajaan Samudra Pasai. Corak dari batu nisan
Malik As-Saleh sangat mirip dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Bahkan makam salah
satu walisongo yakni makam Maulana Malik Ibrahim juga memiliki batu nisan khas

2. Teori Arab (Mekah)

Teori Arab (Mekah) merupakan teori Islam yang menyebutkan bahwa Islam masuk ke
Indonesia langsung dari Arab (Mekah) pada masa kekhalifahan. Teori ini didukung oleh
J.C. van Leur hingga Buya Hamka atau Abdul Malik Karim Amrullah.
Pada bukunya yang berjudul sejarah umat islam yang terbit pada tahun 1997, Buya
Hamka menjelaskan bukti-bukti masuknya agama Islam di Indonesia. Bukti yang dimaksud
Buya Hamka ini adalah berupa sumber dari naskah kuno Cina yang menyebutkan bahwa
sekelompok Bangsa Arab yang bermukim di pesisir barat Pulau Sumatera pada tahun 625
Masehi. Selain itu, di kawasan tersebut yang pada saat itu merupakan kekuasaan Kerajaan
Sriwijaya juga ditemukan batu nisan yang bertuliskan nama Syekh Rukunuddin yang wafat
pada tahun 672 Masehi. Teori ini juga didukung oleh TW. Arnold yang menyatakan bahwa
pada masa itu Bangsa Arab merupakan bangsa yang dominan dalam perdagangan di
nusantara. Kemudian mereka menikah dengan warga pribumi dan berdakwah di nusantara.

3. Teori Persia (iran)

Teori yang menyatakan bahwa asal mula sejarah masuknya agama islam ke Indonesia
dari Negara Persia (yang sekarang bernama Negara Iran) adalah teori yang didukung oleh
Husen Djadjadiningrat dan Umar Amir Husen. Djajadiningrat berpendapat jika teori Persia
ini selaras dengan asal mula masuknya Islam ke Indonesia. hal ini dikarenakan menurut
Djajadiningrat kebudayaan Islam di nusantara memiliki banyak kesamaan dengan
kebudayaan Islam di Persia.

Salah satu contoh kebudayaan Islam di nusantara yang mirip dengan kebudayaan Islam
di Persia adalah kaligrafi-kaligrafi yang ada di makam batu nisan di nusantara. Ada pula
beberapa ritual keagamaan seperti tabot di daerah Bengkulu dan Tabuik di daerah Sumatera
Barat yang hampir sama persis dengan ritual keagamaan di Persia yang diadakan setiap
tanggal 10 bulan Muharam.

Akan tetapi seperti yang kita ketahui, aliran Islam di Persia merupakan aliran Islam
Syiah sedangkan aliran Islam yang berkembang di Indonesia adalah aliran Sunni. Sehingga
teori Persia ini di anggap kurang relevan dengan fakta yang ada.Gujarat seperti makam
Malik As-Saleh.

4. Teori Cina

Teori cina merupakan teori yang menyebutkan bahwa asal mula sejarah masuknya
agama islam ke Indonesia berasal dari Cina, agama Islam sendiri berkembang di Cina pada
masa Dinasti Tang (618-905 Masehi). Islam masuk ke Cina sendiri dibawa oleh panglima
Muslim yang bernama Saad bin Waqash yang berasal dari Madinah pada masa
kekhalifahan Utsman bin Affan. Bahkan salah satu kota di Cina pada masa itu yakni kota
Kanton pernah menjadi pusat dakwah muslim di Cina.

Dalam buku Islam in Cina yang ditulis oleh Jean A. Berlie (2004) menyebutkan bahwa
relasi antara orang-orang Islam dari Arab dengan orang-orang di Cina terjadi pada tahun
713 Masehi. Masuknya Islam ke nusantara juga diyakini bersamaan dengan banyaknya
migrasi orang-orang Cina muslim ke Asia Tenggara terutama wilayah nusantara yang
kebanyakan memasuki wilayah Sumatera bagian selatan pada tahun 879 Masehi atau abad
ke-9 Masehi.

Bukti lain dari teori cina ini adalah banyaknya pendakwah yang berasal dari keturunan
Cina yang mempunyai pengaruh besar pada masa kerajaan Demak. Seperti kita ketahui,
kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Adapun buku sejarah
yang ditulis oleh Nana Supriatna yang menyebutkan bahwa kesultanan Demak didirikan
oleh Raden Patah yang merupakan putra dari Majapahit Islam ini.

5. Teori Maritim

Walaupun di Makkah dan Madinah terjadi perang selama kurun waktu sepuluh tahun
antara 1-11 H/622-623 M, namun tidak memutuskan jalur perdagangan laut yang sudah
menjadi tradisi sejak lama. Jalur perdagangan tersebut adalah jalur antara Timur Tengah,
India dan Cina. Hubungan perdagangan ini semakin lancar pada masa Khulafaur Rasyidin
(11-41 H/632-661 M). Banyak juga para sahabat Nabi Saw. yang berdakwah keluar
Madinah, bahkan di luar Jazirah Arab.

Menurut N.A. Baloch, hal itu terjadi karena umat Islam memiliki kemampuan dalam
penguasaan perniagaan melalui jalur maritim. Melalui jalur ini, yakni pada abad ke-1 H
atau abad ke-7 M, agama Islam dikenalkan di sepanjang jalur niaga di pantai-pantai tempat
persinggahannya.

Proses pengenalan ajaran Islam ini, berlangsung selama kurun waktu abad ke-1 sampai
abad ke-5 H/7-12 M. Fase berikutnya adalah pengembangan agama Islam, terjadi mulai
abad ke-6 H sampai ke pelosok Indonesia. Saudagar pribumi berperan penting dalam proses
pengembangan agama Islam di pedalaman-pedalaman. Dimulai dari Aceh pada abad ke-9
M dan diikuti tumbuh dan berkembangnya kerajaan Islam di berbagai wilayah.

B. Perkembangan Kesultanan di Indonesia

Masa perkembangan agama Islam adalah kurun waktu pada saat umat Islam telah
membangun kesultanan sebagai bentuk kekuasaan politik. Sebagai contoh, kesultanan
Samudra Pasai di Sumatera Utara pada abad ke-13 M, kesultanan Leran di Gresik Jawa
Timur pada abad ke-11 M. Perkembangan Islam di Indonesia semakin meluas seiring
dengan banyaknya raja-raja Hindu yang memeluk Islam. Dengan demikian, terbentuklah
kesultanan Islam di berbagai wilayah di Indonesia.

Istilah kerajaan berubah menjadi kesultanan, dan istilah raja berubah menjadi sultan.
Salah satu motif para raja memeluk Islam adalah untuk mempertahankan kekuasaannya,
karena mayoritas rakyatnya sudah memeluk Islam terlebih dahulu. Rakyat berbondong-
bondong masuk Islam karena syarat masuk Islam sangat mudah, lebih dari itu Islam tidak
mengenal sistem kasta. Islam dianggap sebagai agama pembebas bagi rakyat jelata.
Tumbuhnya kesultanan Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sebab timbulnya
politik di luar Indonesia.

Periode Khulafaur Rasyidin, Bani Umayah, Bani Abbassiyah, Fathimiyah hingga


Kesultanan Turki Ustmani. Kemudian diikuti dengan runtuhnya pengaruh Hindu Budha di
India, dan munculnya Kerajaan Moghul. Perkembangan Islam di Peking, Cina berpengaruh
terhadap pertumbuhan masjid, pesantren baik di dalam maupun di luar pulau Jawa. Untuk
mengetahui perkembangan Mazhab Syai’i yang dianut mayoritas oleh masyarakat
Indonesia termasuk di Kesultanan Samudra Pasai, dapat diketahui dari catatan Ibnu Batutah
(penjelajah muslim dari Maroko yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin
Abdullah al-Lawati at-Tanji bin Batutah) yang pernah berkunjung ke Kesultanan Samudra
Pasai pada tahun 745-746 H/1345 M.

Pada catatan tersebut dijelaskan bahwa di Gujarat berkembang Mazhab Syi’ah.


Sedangkan kesultanan Samudra Pasai adalah bermazhab Syai’i. Perbedaan mazhab antara
Gujarat dan Samudra Pasai inilah yang dijadikan alasan oleh Buya Hamka untuk menolak
teori Gujarat.

Jika benar bahwa agama Islam berasal dari Gujarat seperti pendapat Snouck Hurgronje
dan wilayah pertama penerima ajaran Islam adalah Samudra Pasai maka dapat dipastikan
bahwa Samudra Pasai akan bermazhab Syi’ah. Menurut Ibnu Batutah, kesultanan Samudra
Pasai bermazhab Syai’i, bukan mazhab Syi’ah. Oleh karena itu, Buya Hamka berkeyakinan
bahwa Islam dibawa langsung oleh Saudagar dari Makkah, bukan dari Gujarat.

Sejarawan Belanda pada masa kolonial membagi periodisasi sejarah Indonesia menjadi
Zaman Animisme dan Dinamisme, Zaman Hinduisme dan Buddhisme, Zaman Islamisme,
Zaman Katolikisme dan Protestanisme. Bertolak dari periodisasi ini, sejarah Islam
dituliskan setelah kerajaan Majapahit mengalami kemunduran pada abad ke-15 M, tidak
dijelaskan bahwa sejak abad ke-7 agama Islam sudah mulai didakwahkan di Indonesia.

Akibatnya, Islam dianggap baru masuk dan dikenal oleh masyarakat Indonesia pada
abad ke-15 M. Dibuktikan dengan berdirinya Kesultanan Demak, dan kiprah Wali Songo
dalam menyebarkan Islam pada abad ke-15. Padahal abad ke-15 M termasuk periode
perkembangan Islam di Indonesia, bukan periode masuknya agama Islam ke Indonesia
yang terjadi pada kurun waktu abad ke-7 M/1 H.

C. Tokoh Penyebar Agama Islam di Indonesia

1. Syekh Datuk Kahfi

Beliau lahir di Semenanjung Malaka pada abad ke-14. Dia merupakan putra dari
seorang ulama besar, yakni Syekh Datuk Ahmad. Syekh Datuk Kahfi pernah menuntur
ilmu di Mekkah, hingga setelah lulus ia melakukan perjalanan ke Baghdad, Irak.

Di sana, dia memperdalam keilmuannya. Setiba di Pulau Jawa, Syekh Datuk Kahfi
mulai mengenalkan agama Islam kepada masyarakat yang masih menganut ajaran Hindu-
Budha di Pulau Jawa. Sampai pada akhirnya, dia dikenal sebagai perintis penyebaran Islam
di barat Pulau Jawa.

2. Syekh Maulana Akbar


Ia merupakan adik dari Syekh Datuk Kahfi yang juga berkontribusi dalam penyebaran
Islam di barat Pulau Jawa. Dalam kehidupannya, rupanya dia lebih dulu mengenyam
pendidikan di Makkah sebelum kakaknya, Syekh Datuk Kahfi, tiba di sana untuk menimba
ilmu. Sosoknya berperan penting dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa, khususnya di
daerah Kuningan.
Di sana pun, ia mendirikan sebuah pondok di Desa Sidapurna. Sampai pada akhirnya,
dia menikah dengan cucu Raja Sunda Prabu Dewa Niskala di Kawali bernama Nyi
Wandasari dan memiliki seorang putra. Buah dari perkawinannya inilah yang nanti
menggantikan Syekh Maulana Akbar dalam penyebaran Islam di Kuningan.
3. Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil Qubro atau Syekh Jamaluddin al-Husain al-Akbar lahir di Samarkhand,
Uzbekistan pada pertengahan abad ke-14. Sejak kecil, dia telah mendapatkan pendidikan
Islam dari ayahnya, Sayyid Zainul Khusen. Ketika sudah beranjak dewasa, ia memutuskan
untuk belajar Tasawwuf dan ilmu agama lainnya di India.
Selain sebagai pendakwah, ia juga seorang saudagar terkenal. Dalam proses
menyebarkan agama Islam, dia berhasil menguasai wilayah yang sangat kuat dengan ajaran
Hindu-Budha di Champa. Syekh Jumadil Qubro dikenal sebagai guru para Wali di Tanah
Jawa. Bahkan, ada yang mengatakan kalau garis keturunannya ada yang masuk dalam
jajaran Wali Songo.
4. Syekh Quro
Orang terakhir yang dikenal banyak masyarakat mengenalkan ajaran Islam sebelum
Wali Songo adalah Syekh Quro. Dia berasal dari Champa dan putra seorang ulama besar
bernama Syekh Yusuf Siddik. Syekh Quro melakukan dakwah di Pulau Jawa usai sempat
menjadi guru keislaman di Kesultanan Malaka. Saat melakukan penyebaran agama Islam,
dia sempat membangun sebuah pondok yang digunakan sebagai tempatnya berdakwah dan
menyiarkan agama Islam.
5. Wali Songo
- Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) berperan penting dalam penyebaran Islam
di Jawa Barat, khususnya Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah pendiri dinasti kesultanan
Banten yang dimulai dengan putranya, Sultan Maulana Hasanudin. Pada tahun 1527, Sunan
Gunung Jati menyerang Sunda Kelapa di bawah pimpinan panglima perang Kesultanan
Demak, Fatahillah.
- Sunan Ampel memiliki nama asli Raden Rahmat. Ia memulai dakwahnya dari sebuah
pondok pesantren yang didirikan di Ampel Denta, Surabaya. Ia dikenal sebagai pembina
pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Sunan Ampel memiliki murid yang mengikuti
jejak dakwahnya, yaitu Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat.

- Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) dikenal dengan nama Maulana Maghribi
(Syekh Maghribi). Ia diduga berasal dari wilayah Magribi, Afrika Utara. Sunan Gresik
diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke 14. Ia merupakan guru para wali lainnya.
Sunan Gresik berasal dari keluarga muslim yang taat. Kendati ia belajar agama Islam sejak
kecil, namun tidak diketahui siapa saja gurunya hingga ia menjadi ulama.

- Sunan Bonang adalah salah satu Wali Songo yang menyebarkan ajaran agama Islam
di Tanah Jawa. Ia memiliki nama asli Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra dari Sunan
Ampel dan Dewi Condrowati (Nyai Ageng Manila). Namun, ada versi lain yang
mengatakan Dewi Condrowati adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan demikian, Sunan
Bonang adalah Pangeran Majapahit.
- Sunan Giri memiliki nama asli Raden Paku. Ia merupakan putra Maulana Ishak. Suatu
ketika, ia ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan ajaran agama Islam di
Blambangan. Semasa hidupnya.

- Sunan Drajat (Raden Qasim) merupakan putra Sunan Ampel. Sunan Drajat merupakan
seorang wali yang dikenal berjiwa sosial tinggi. Ia banyak menolong yatim piatu, fakir
miskin, dan orang sakit. Ia memiliki perhatian yang sangat besar terhadap masalah sosial.
Sunan Drajat menyebarkan agama Islam di Lamongan, Jawa Timur.

- Sunan Muria merupakan seorang Wali Songo yang sangat berjasa bagi penyebaran
agama Islam di nusantara, terutama di daerah pedesaan. Ia gemar bergaul dengan
masyarakat kalangan bawah. Hal itu membuat masyarakat mudah menerima ajaran yang
disampaikannya. Membaurnya Sunan Muria dengan masyarakat dikenal dengan istilah
“topo ngeli”. Artinya, menghanyutkan diri dalam masyarakat. Sunan Muria berdakwah
dengan metode tersebut hingga ke Gunung Muria.

- Sunan Kudus (Jafar Sadiq) diberi gelar oleh para wali dengan nama Wali Al-ilmi yang
memiliki arti orang yang berilmu luas. Sunan Kudus memiliki keahlian khusus dalam
bidang agama. Ia juga dipercaya untuk memegang pemerintahan di daerah Kudus. Sunan
Kudus merupakan salah satu Wali Songo penyebar agama Islam di Jawa, khususnya
wilayah Jawa Tengah.

- Sunan Kalijaga (Raden Sahid) merupakan anak dari adipati Tuban, Tumenggung
Wilatikta. Ia dikenal sebagai budayawan dan seniman seni suara, seni ukir hingga seni
busana. Ia juga menciptakan aneka cerita wayang yang bercorak keislaman.

6. Sultan Malik al-Saleh (1267 – 1297 M)

Meurah Silu atau Sultan Malik al-Saleh merupakan pendiri dan raja pertama Samudra
Pasai (berdiri pada tahun 1267 M). Meurah Silu memeluk Islam berkat pertemuannya
dengan Syekh Ismail dari Mekah. Setelah masuk Islam, Meurah Silu bergelar Sultan Malik
al-Saleh, dan berkuasa selama 29 tahun. Kesultanan Samudra Pasai merupakan gabungan
dari Kerajaan Peurlak dan Kerajaan Pase. Sultan Malik al-Saleh merupakan tokoh penyebar
Islam di Nusantara dan Asia Tenggara. Hal ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh
kekuasaan Samudra Pasai di bawah kepemimpinan Sultan Malik al-Saleh.

Semasa berkuasa, sempat menerima kunjungan dari Marco Polo. Dan menurut catatan
Marco Polo, Sultan Malik al-Saleh merupakan raja yang kaya dan kuat pengaruhnya.
Beliau wafat pada tahun 1297 M, dan kepemimpinan Samudra Pasai digantikan oleh Sultan
Muhammad Malik al-Zahir (1297-1326 M).

Sultan Malik al-Saleh dimakamkan di desa Beuringin Kecamatan Samudra, kira-kira


17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di nisan Sultan Malik al-Saleh tertulis aksara Arab,
yang terjemahnya “ini adalah makam almarhum yang diampuni, yang kuat dalam
beribadah, sang penakluk yang bergelar Sultan Malik al-Saleh”.

7. Sultan Ahmad (1326 – 1348 M)

Beliau merupakan sultan Samudera Pasai yang ketiga, bergelar Sultan Malik al-hahir II.
Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Samudra Pasai dikunjungi oleh seorang
penjelajah dari Maroko, yaitu Ibnu Batutah. Menurut catatan Ibnu Batutah, Sultan Ahmad
sangat memperhatikan perkembangan dan kemajuan agama Islam. Beliau berusaha keras
untuk menyebarkan ajaran Islam ke berbagai wilayah di sekitar Samudra Pasai.

8. Sultan Alaudin Riayat Syah (1538 – 1571 M)

Beliau merupakan sultan Aceh ketiga, terkenal sebagai peletak dasar-dasar kejayaan
Kesultanan Aceh. Hubungan baik dengan Kesultanan Turki Utsmani dan kerajaan-kerajaan
Islam lainnya menjadikan pemerintahannya semakin kuat. Bahkan militer Kesultanan Aceh
terkenal handal karena mendapat bantuan dari Kesultanan Turki Utsmani.

Sultan Alaudin Riayat Syah berperan dan berjasa dalam penyebaran Islam di wilayah
Aceh. Beliau mendatangkan ulama-ulama dari Persia dan India untuk mengajarkan agama
Islam di Kesultanan Aceh. Setelah terbentuk kader-kader pendakwah, selanjutnya dikirim
ke daerah pedalaman Sumatera untuk menyampaikan ajaran Islam. Bahkan pada masa
kepemimpinannya, ajaran Islam sampai ke Minangkabau dan Indrapura.

9. Sultan Alauddin

Sultan Alauddin, nama aslinya adalah I Manga’rangi Daeng Manrabbia, dinobatkan


sebagai raja Gowa pada usia tujuh tahun. Beliau termasuk tokoh yang berjasa besar pada
penyebaran Islam di Sulawesi Selatan. Beliau merupakan raja Gowa pertama yang masuk
Islam bersama raja Tallo. Oleh karenanya, rakyat Gowa-Tallo secara bertahap memeluk
agama Islam. Penyebaran agama Islam pada masa pemerintahan Sultan Alauddin mencapai
daerah Buton dan Dompu (Sumbawa). Termasuk berhasil mengislamkan kerajaan
Soppeng, Wajo, dan Bone. Penyebaran agama Islam di Gowa juga atas perjuangan dakwah
dari Datuk Ri Bandang (Abdul Makmur Khatib Tunggal), seorang ulama dari
Minangkabau.

10. Datuk Tunggang Parangan

Datuk Tunggang Parangan atau Habib Hasyim bin Musyayakh bin Abdullah bin Yahya
merupakan seorang ulama Minangkabau yang berdakwah di Kutai Kartanegara. Beliau
berdakwah bersama sahabatnya, Datuk Ri Bandang pada masa pemerintahan Raja Aji
Mahkota (1525 – 1589). Berkat dakwah Datuk Tunggang Parangan, akhirnya Raja Aji
Mahkota memeluk Islam dan diikuti oleh keluarga kerajaan serta rakyat Kutai Kartanegara.

Kerajaan Kutai Kartanegara berubah nama menjadi Kesultanan Kutai Kartanegara.


Agama Islam berkembang pesat pada masa ini, bahkan undang-undang negara
berlandaskan pada ajaran Islam. Datuk Tunggang Parangan berdakwah di Kutai hingga
akhir hayatnya. Setelah wafat, beliau dimakamkan di Kutai Lama, Kecamatan Anggana,
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

11. Sultan Zainal Abidin

Beliau memerintah Kesultanan Ternate pada kurun waktu 1486-1500 M. Sejak usia
belia, beliau mendapatkan pendidikan agama dari ayahnya, dan dari seorang ulama
bernama Datuk Maulana Hussein. Setelah dinobatkan menjadidiikuti raja, beliau
menjadikan Islam sebagai landasan resmi bernegara, hingga kerajaan Ternate berubah
nama menjadi Kesultanan Ternate. Sultan Zainal Abidin berangkat ke Pulau Jawa pada
tahun 1494 M untuk memperdalam ilmu agama di Pesantren Sunan Giri, Jawa Timur.
Sekembalinya dari Jawa, beliau mengajak ulama-ulama terkemuka , di antaranya
Tuhubahanul untuk membantu dakwah di seluruh Maluku. Salah satu peran terpenting
Sultan Zainal Abidin dalam penyebaran agama Islam adalah mendirikan pesantren-
pesantren dengan pengajar yang didatangkan langsung dari Jawa. Selain itu, beliau juga
mendirikan Jolebeatau Bobato Akhirat yang bertugas membantu Sultan dalam mengawasi
pelaksanaan syariat Islam di Kesultanan Ternate.

Akhirnya, gerakan islamisasi yang dilakukan oleh Sultan Zainal Abidin ini diikuti dan
ditiru oleh raja-raja lain di Maluku. Selain tokoh-tokoh di atas, masih banyak ulama yang
berjasa menyebarkan agama Islam di Indonesia sejak abad ke-18 sampai masa
kontemporer. Di antaranya adalah Abdul Sayyid Abdul Rahman Abdul Shamad al-
Palimbani (berasal dari Palembang, Sumatera Selatan), Syaikh Mahfudz al-Termasi
(berasal dari Termas, Jawa Timur), Syaikh Nawawi al-Bantani (berasal dari Banten), dan
Syaikh Muhammad Yasin bin Isa al-Padani (berasal dari Padang, Sumatera Barat).

Ada juga ulama Indonesia yang bermukim di Makkah, yakni Syaikh Ismail al-
Minangkabawi dan Syaikh Ahmad Khatib Sambas. Keduanya memiliki jasa besar terhadap
penyebaran Islam di Nusantara melalui para muridnya. Murid-murid tersebut adalah (1)
Berasal dari Banten; Nawawi, Abdul Karim, Marzuqi, Ismail, Arsyad bin As’ad dan Arsyad
bin Alwan. (2) Berasal dari Priangan; Mahmud dan Hasan Mustafa, (3) Berasal dari
Batavia; Mujitaba, ‘Aydarus, dan Junayd. (4) Berasal dari Sumbawa; Umar dan Zainudin.
Ketiga belas ulama tersebut ada yang kembali ke Nusantara, adapula yang menetap
(mukimin) di Haramain. Meskipun menjadi mukimin di sana, mereka tetap ikut andil dalam
menyebarkan Islam di Indonesia.
D. Nilai Keteladanan Para Ulama Penyebar Agama Islam di Indonesia

Banyak nilai-nilai keteladanan dari para tokoh penyebar Islam di Indonesia.

Di antara nilai keteladanan tersebut adalah

a. Hidup sederhana

Para ulama penyebar Islam di Indonesia hidup secara sederhana dan bersahaja,
meskipun hartanya melimpah. Mereka menyedekahkan semua harta, dengan terlebih
dahulu mengambil secukupnya untuk kebutuhan pokok. Allah Swt. memerintahkan orang-
orang beriman agar menyedekahkan hartanya sebagaimana tercantum dalam Q.S. al-
Baqarah/2: 267 berikut ini.

‫ست ُ َْم‬ ََ ‫ضَۗ َو ََْل تَيَ َّم ُموا ا ْل َخ ِبي‬


ْ َ‫ْث مِ ْن َهُ ت ُ ْن ِفقُ ْونََ َول‬ َ ِ ‫اْل ْر‬َ ْ ََ‫س ْبت ُ َْم َومِ َّمَا ٰٓ ا َ ْخ َرجْ نََا لَ ُك َْم ِمن‬
َ ‫ت َما َك‬ َ َْ‫يٰٓاَيُّهَا الَّ ِذيْنََ ا َمنُ ْٰٓوَا ا َ ْن ِفقُ ْوَا مِ ن‬
َِ ‫ط ِيب‬
َ
‫ّللا غنِيَ حَمِ ي َْد‬ َ ْ
ََٰ ََّ‫بِاخِ ِذ ْي َِه ا َّ ِْٰٓل اَنَْ تُغمِ ض ُْوا فِ ْي َِهَۗ َوا ْعل ُم ْٰٓوَا اَن‬

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang
baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu. Janganlah kamu
memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau
mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan
ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji”. (Q.S. al-Baqarah/2:267).

Perintah Allah Swt. di atas sudah dilakukan oleh para sahabat Nabi Saw., seperti Abu
Bakar r.a., Ustman bin Afan r.a., Umar bin Khattab r.a., Ali bin Abi halib r.a. dan sahabat
lainnya. Mereka gemar bersedekah, dan menjalani hidup secara sederhana.

b. Gigih dalam berjuang

Untuk meraih keberhasilan dalam menyebarkan Islam di Indonesia diperlukan


kegigihan dan tekad kuat. Ulama penyebar Islam di Indonesia telah menunjukkan sikap
bersemangat pantang menyerah, gigih dalam memperjuangan ajaran Islam. Tak dapat
dipungkiri, untuk meraih suatu cita-cita dibutuhkan pengorbanan dan perjuangan panjang.
Hambatan dan tantangan bukan untuk ditakuti, tapi diselesaikan dengan cara yang tepat.
Allah Swt. tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka sendiri yang
mengubahnya. Hal ini sesuai irman Allah Swt. dalam Q.S. ar-Ra’d/13:11 berikut ini

ََ َ‫س ْۤ ْو ًءا ف‬
َ‫ل َم َر ََّد لَهََ َو َما لَ ُه َْم ِمنَْ د ُْونِهَ مِ نَْ َّوال‬ َٰ ‫س ِه ۗ َْم َواِذََآٰ ا َ َرا ََد‬
ُ َ‫ّللاُ بِقَ ْوم‬ ِ ُ‫يُغَيِ ُر ْوا َما بِا َ ْنف‬

Artinya: “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran,


dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah
tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada
yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Q.S. ar-
Ra’d/13:11)

Para ulama lebih mengutamakan kelancaran dakwah daripada kepentingan pribadi dan
keluarganya. Kesenangan duniawi diabaikan demi keberhasilan dakwah. Medan dakwah
yang berat berupa lautan, hutan belatara, dan ancaman musuh tidak menyurutkan tekad
perjuangan dakwah. Mereka optimis mampu melaksanakan tugas dakwah dengan baik.
Kegigihan dalam berjuang harus diikuti dengan sifat optimis dan tawakal kepada Allah
Swt. Semua keberhasilan merupakan karunia Allah Swt. yang harus disyukuri, sedangkan
kegagalan harus diatasi dengan tawakal kepada-Nya. Semua kesulitan dakwah pasti ada
jalan keluarnya. Allah Swt. akan membimbing hamba-Nya yang bersungguh-sungguh
berjalan di atas kebenaran

c. Menguasai ilmu agama secara luas dan mendalam

Menyampaikan ajaran Islam kepada masyarakat yang sudah beragama bukanlah


persoalan mudah. Adat dan budaya lokal sudah mentradisi begitu kental di masyarakat.
Para ulama melakukan penyesuaian ajaran Islam dengan tradisi lokal tersebut, tanpa
menghilangkan adat yang sudah berlaku di masyarakat. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh
ulama dengan penguasaan ilmu agama yang mumpuni, luas dan mendalam. Semua itu
diperoleh karena ketekunan belajar ilmu agama kepada ahlinya.

Mereka berguru kepada para ulama yang jalur keilmuannya bersambung sampai kepada
Rasulullah Saw. Belajarnya juga tidak instan, namun terprogram melalui tahapan-tahapan
yang jelas. Dari ilmu-ilmu dasar hingga mencapai ilmu yang tinggi. Ditempuh dalam kurun
waktu yang cukup lama. Hal ini penting untuk ditiru oleh seseorang yang ingin belajar ilmu
agama. Harus ada di antara kaum muslimin yang menekuni ilmu agama (tafaqquh iddin).
Hal ini sesuai irman Allah Swt. dalam Q.S. at-Taubah/9:122 berikut ini

‫ْن َو ِليُ ْن ِذ ُر ْوا قَ ْو َم ُه َْم اِذَا َر َجعُ ْٰٓوا‬


َِ ‫الدي‬ َ ‫ن ِليَ ْن ِف ُر ْوا ك َْۤافَّ َۗةً فَلَ ْو ََْل َن َف ََر مِ نَْ ك َُِل ف ِْرقَةَ ِم ْن ُه َْم‬
ِ ‫ط ْۤا ِٕى َفةَ ِليَت َ َف َّق ُه ْوا فِى‬ ََ ‫َو َما كَانََ ا ْل ُمؤْ مِ نُ ْو‬
ََ ‫اِلَ ْي ِه َْم لَ َعلَّ ُه َْم يَحْ ذَ ُر ْو‬
‫ن‬

Artinya: “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan
perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk
memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya
apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya”. (Q.S at-Taubah/9:122)

Belajar ilmu agama harus melalui seorang guru yang jalur keilmuannya bersambung
sampai Rasulullah Saw. Harus dihindari belajar ilmu agama secara otodidak atau melalui
media internet tanpa mengkonirmasi kebenaran dan keshahihan isinya kepada para alim
ulama, kyai atau ustadz. Jika ini dilakukan maka akan berpotensi tersesat dan menyesatkan.

d. Produktif berkarya

Para ulama sangat produktif berkarya lewat ilmu pengetahuan dan amal saleh. Banyak
kitab dan tulisan karya mereka yang terus menerus dipelajari oleh santri hingga saat ini.
Karya-karya tersebut merupakan wujud kepedulian para ulama dalam menyelamatkan
generasi penerus agar terjaga akidahnya dari pengaruh ajaran sesat. Para ulama berusaha
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mendokumentasikan pemikirannya melalui
sebuah kitab.

Hal ini merupakan bentuk amal jariyah yang akan terus dikenang sepanjang hayat oleh
generasi setelahnya. Nilai manfaat dari karya tersebut dapat diperoleh dengan cara
membaca dan mempelajarinya, sehingga menambah wawasan dan khazanah keagamaan.
Dalam hal ini, budaya literasi yang dipraktikkan oleh para ulama harus dijadikan inspirasi
oleh umat Islam. Membaca dan menulis merupakan dua aktivitas dasar dalam menerapkan
budaya literasi.
e. Sabar

Ujian dan cobaan yang dialami oleh para ulama penyebar Islam di Indonesia berhasil
dilalui dengan kesabaran. Salah satu hikmah adanya ujian tersebut adalah dapat diketahui
tingkat keimanan seseorang. Allah Swt. hendak menguji siapakah di antara hamba-Nya
yang terbaik amal-amalnya.Seorang pendakwah harus memiliki tingkat kesabaran tinggi
karena menghadapi umat yang memiliki keragaman budaya, etnis, tingkat pendidikan, dan
kepribadian.

Seseorang akan diuji oleh Allah Swt. sesuai dengan tingkat keimanannya. Semakin
tinggi keimanan, maka semakin berat ujian dari Allah Swt. Keimanan dan kesabaran adalah
dua sisi yang menyatu, tidak dapat dipisahkan satu sama lain, diibaratkan seperti kepala
dan badan. Manusia yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian para wali dan
seterusnya sampai pada derajat orang awam.

Pahala sifat sabar sangatlah besar, dan hanya Allah Swt. yang mengetahuinya. Hal ini
seperti irman Allah Swt. dalam Q.S. az-Zumar/39:10 berikut ini

ََ‫ص ِب ُر ْون‬ َ َّ‫سعَةََۗاِنَّ َما يُ َوف‬


ٰ ‫ى ال‬ ِ ‫ّللا َوا‬ َ ‫ِي ه ِذ َِه ال ُّد ْنيَا َح‬
َِٰ َُ‫سنَةََۗ َوا َ ْرض‬ َ ْ‫قُ َْل ي ِعبَا َِد الَّ ِذيْنََ ا َمنُوا اتَّقُ ْوا َربَّ ُك َْمَۗ ِللَّ ِذيْنََ اَح‬
َْ ‫سنُ ْوا ف‬
‫اب‬
َ ‫س‬ َ ِ‫اَجْ َرهُ َْم بِغَي َِْر ح‬
Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang beriman!
Bertakwalah kepada Tuhanmu.” Bagi orang-orang yang berbuat baik di dunia ini akan
memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu luas. Hanya orang-orang yang bersabarlah yang
disempurnakan pahalanya tanpa batas”. (Q.S. Az-Zumar/39:10)

Kesabaran para ulama tampak jelas saat berdakwah kepada masyarakat awam. Mereka
mengajarkan ilmu agama dengan cara dan metode sederhana tapi mudah dipahami. Bukan
sebatas teori, dengan amat ringan dapat langsung dipraktikkan dalam kehidupan sehari-
hari.

f. Menghargai perbedaan

Islam secara tegas menyatakan tidak ada paksaan dalam beragama. Semua orang
dipersilahkan memilih agama dan kepercayaan masing-masing. Umat beragama saling
menghargai dan menghormati perbedaan agama, suku, ras, dan golongan. Tidak
merendahkan dan meremehkan agama dan kepercayaan orang lain. Adanya sifat merasa
paling hebat merupakan sumber kericuhan dalam kehidupan beragama.

Para ulama penyebar agama Islam di Indonesia sangat toleran terdapat budaya lokal.
Masyarakat pribumi yang memeluk agama Islam tetap diperbolehkan melakukan tradisi-
tradisi lokal yang sudah diselaraskan dengan ajaran Islam. Dengan demikian tidak
ditemukan adanya benturan antara ajaran Islam dengan budaya lokal. Justru sebaliknya,
antara ajaran Islam dengan budaya lokal mampu berjalan beriringan.

Sikap toleran akan menumbuhkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Sebagai
makhluk individu sekaligus makhluk sosial, manusia harus mampu menjalin hubungan
yang harmonis antar sesama warga. Sifat saling menghargai perbedaan dapat ditumbuhkan
dengan saling mengenal antar umat beragama, ras, suku, dan golongan. Allah Swt.
memerintahkan umat-Nya untuk saling mengenal, sebagaimana irman Allah Swt. dalam
Q.S. al-Hujurat/49: 13 berikut ini.

‫ع ِليْمَ َخبِي َْر‬ ََٰ ََّ‫ّللا اَتْقى ُك َْمَۗاِن‬


َ ‫ّللا‬ َ َ‫شعُ ْوبًا َّوقَبَ ْۤا ِٕى ََل ِلتَع‬
َِٰ ‫ارفُ ْواَ اِنََّ اَك َْر َم ُك َْم ِع ْن ََد‬ ُ ‫اس اِنَّا َخلَ ْقن ُك َْم ِمنَْ ذَكَرَ َّوا ُ ْنثى َو َجعَ ْلن ُك َْم‬
َُ َّ‫يٰٓاَيُّهَا الن‬

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-
suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi
Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti”.
(Q.S. al-Hujurat/49:13)

g. Berdakwah secara damai

Islam merupakan agama yang mengajarkan kedamaian, kasih sayang dan toleransi.
Dakwah Islam juga harus dilakukan secara damai dan bermartabat. Bukan hanya hasilnya,
dakwah Islam juga sangat memperhatikan prosesnya. Proses dakwah harus dilakukan
dengan mengedepankan dakwah secara damai, bukan dengan kekerasan dan memaksakan
kehendak. Para ulama penyebar Islam di Indonesia menyampaikan ajaran Islam dengan
penuh hikmah dan bijaksana. Hal ini sesuai dengan Q.S. an-Nahl/16: 125 berikut ini

َ‫سبِ ْيلِهَ َوه َُو‬


َ َْ‫ض ََّل عَن‬ َُ ۗ ‫س‬
َ َْ‫ن اِنََّ َربَّكََ ه ََُو ا َ ْعلَ َُم بِ َمن‬ َ ْ‫ِي اَح‬ َْ ‫سنَ َِة َوجَا ِد ْل ُه َْم بِالَّت‬
ََ ‫ِي ه‬ َ ‫سبِ ْي َِل َربِكََ بِا ْلحِ ْك َم َِة َوا ْل َم ْو ِع‬
َ ‫ظ َِة ا ْل َح‬ َ ‫ا ُ ْدعَُ اِلى‬
َ ‫ا َ ْعلَ َُم بِا ْل ُم ْهت ِدي‬
َ‫ْن‬ َ

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang
baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu,
Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang mendapat petunjuk”. (Q.S an-Nahl/16:125)

Pada hakikatnya Islam menghendaki terciptanya kehidupan yang aman, tenteram dan
damai. Para ulama sudah mencontohkan hidup yang damai di tengah-tengah masyarakat.
Dakwah dilakukan secara damai, penuh rasa hormat terhadap perbedaan dan rasa
kemanusiaan. Kalau misalnya terjadi peperangan, semata-mata untuk membela dan
mempertahankan kehidupan umat Islam. Dari lisan para ulama, muncul perkataan sejuk
penuh hikmah dan doa. Bukan perkataan kasar yang bernada hinaan dan mengandung
ujaran kebencian.
BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejarah masuknya Islam ke Indonesia memiliki nilai nilai yang perlu kita teladani
dikehidupan sehari-hari. Nilai nilai tersebut kita dapatkan dari para tokoh-tokoh ulama
penyebar agama islam diantaranya Wali Songo, Syekh Datuk Kahfi, Syekh Maulana
Akbar, Syekh Jumadil Qubro, Syekh Quro, Sultan Alauddin, Datuk Tunggang Parangan.
Sultan Zainal Abidin, Sultan Alaudin Riayat Syah, Sultan Malik as Sholeh, Sultan Ahmad.
Dan kita perlu mengetahui bahwa ada beberapa teori mengenai tibanya islam di Indonesia,
antara lain, teori Gujarat, teori Makkah, teori China, teori Maritim, teori Persia, nilai-nilai
keteladanan yang kita ambil dari para tokoh tersebut adalah hidup sederhana di mana
terdapat pada Q,S Al-baqarah ayat 267, kemudian kita harus gigih dalam berjuang
sebagaimana bunyi Q.S ar-Ra’d ayat 11, dan kita juga harus menguasai ilmu agama secara
luas dan mendalam sesuai dengan forman Allah SWT. Q.S at-Taubah ayat 122, selain itu
kiya juga harus produktif dalam berkarya, sabar, mengahrgai perbedaan dan jika ingin
berdakwah, maka berdakwahlah secara damai.
DAFTAR PUSTAKA

Taufik, Ahmad. Setyowati, Narwastuti. 2021. Pendidikan dan Budi Pekerti SMA/SMK
Kelas X pdf. Jakarta Pusat : Kementerian Agama Republik Indonesia 2021 diakses
pada 18 Oktober 2022.

Nandy, 2021. Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. Jakarta : Gramedia.

https://www.gramedia.com/literasi/sejarah-masuknya-islam-ke-indonesia/ diakses pada 17


Oktober 2022.

Ahmad. 2022. Kisah Wali Songo dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa. Jakarta :
Gramedia.

https://www.gramedia.com/best-seller/kisah-wali-songo/ diakses pada 18 Oktober 2022.

Penulis Kumpara. 2020. Mengenai Penyiar Islam Seblum Wali Songo. Jakarta : Kumparan.

https://kumparan.com/hijab-lifestyle/mengenal-4-penyiar-islam-sebelum-wali-songo-
1tR9lRkRI7R diakses pada 18 Oktober 2022.

Anda mungkin juga menyukai