Anda di halaman 1dari 5

Nama : Luthfi Adam Hanafi

NRP : 232019039
Kelas : A
TUGAS PERTANAHAN MINGGU KE-1
1. Mengapa pertanahan dipelajari di bidang ilmu Geodesi?
Geodesi atau 'Geodesy' secara umum didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang
pengukuran dan pemetaan pada permukaan bumi. Lalu mengapa pertanahan dipelajari
oleh ilmu geodesi? Seperti yang telah kita ketahui bahwasannya geodesi itu adalah ilmu
yang mengukur dan memetakan permukaan bumi, apa saja yang ada pada permukaan
bumi. Salah satu diantaranya adalah tanah. Pertanahan sendiri kaitannya sangat kuat
dengan geodesi, karena untuk melakukan pengukuran sistematis lengkap contohnya, agar
tanah dan bidang masyarakat tersebut terdaftar pada negara itu haruslah di lakukan
pengukuran dahulu. Pengukuran tersebut dipelajari oleh ilmu geodesi, itulah mengapa
pertanahan dipelajari dan bahkan menjadi bab kurikulum pada ilmu geodesi. Karena
sejatinya berjalan lurus antara pertanahan dan ilmu geodesi.

2. Bagaimana sejarah geodesi dan pertanahan di Indonesia?


Pada abad 18 pengetahuan tentang pendalaman pulau jawa sangat kurang, terlebih daerah
diluar Jawa. Pada saat pemerintahan Gouverneur General Daendels, diletakan dasar untuk
pengukuran di pulau jawa. Pada tahun 1809 diangkat juru-juru ukur yang diambil sumpah
untuk mengisi personil dalam organisasi “Biro Zeni” dalam gerakan-gerakan militer.
Semua pejabat militer dan sipil mendapat instruksi untuk mengadakan pengukuran dan
pemetaan, terutama kepada para perwira Zeni diberi tugas pengukuran dan waterpassing
dengan menggunakan peta-peta laut sebagai dasar pembuatan peta. Setelah selesai
peperangan di Jawa (Perang diponegoro tahun 1825-1830) timbul kebutuhan yang
meningkat akan kebutuhan data geografi dan peta topografi yang lebih lengkap dari
wilayah Hindia Belanda terutama ditujukan untuk pembuatan peta pertahanan Pulau
Jawa. Pada awal abad ke-19 di Eropa terdapat anggapan bahwa pekerjaan pengukuran
triangulasi harus dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan pekerjaan pemetaan.
Anggapan ini baru dianut di Indonesia pada akhir abad ke-19, walaupun antara tahun
1839 hingga tahun 1848 Junghuhn telah membuat triangulasi pertama di Indonesia yang
dijadikan dasar untuk pengukuran dan pemetaan di Pulau Jawa. Dari hasil pengukuran
yang dilakukan dapat dihasilkan tiga peta dengan skala peta yang bervariasi. Peta-peta
buatan Junghuhn tersebut tidak pernah dicetak, sebab disusul oleh pembuatan peta
dengan skala 1 : 70 000 oleh Vander Welde tahun 1845, dan peta buatan Leclerq pada
tahun 1850 dengan skala peta 1 : 100 000.

Pada tahun 1864 dibentuk Topografisch Bureau en der Militaire Verkeuningen di bawah
kesatuan Zeni dengan tugas pengukuran topografi di Pulau Jawa. Pada tahun 1874
Bureau ini dialihkan menjadi Topografische Dients (Dinas Topografi) di bawah staf
umum angkatan darat, pada tahun 1907 dipisahkan lagi dari staf umum untuk menjadi
bagian yang berdiri sendiri yang dikenal dengan nama “IXde Afdeeling van let
Department van Oorlog” (Afdeeling ke-9 dari departemen peperangan) atau lazim disebut
dinas topografi militer.

Pada tahun 1857, Dr. Oudemans (Guru besar Astronomi pada universitas Utrecth) datang
ke Indonesia dan meyakinkan perlunya triangulasi yang teratur untuk pemetaan topografi
yang sekaligus dapat dimanfaatkan untuk keperluan ilmiah didalam menentukan dimensi
bumi. Pada tahun 1862 triangulasi pulau jawa dimulai dibawah pimpinan Dr. Oudemans
sendiri dan selesai pada tahun 1880, sesudah dinas geografi dibubarkan. Pekerjaan
triangulasi ini dikerjakan setelah pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk memulai
pemetaan sistematik di Indonesia yang dimulai dari pulau Jawa dan Madura, serta
dilakukan oleh pemerintah sendiri (Governments Besluit No 10 tanggal 25 Desember
1853). Pada tahun 1883 dibentuk brigade triangulasi sebagai bagian dari dinas topografi
militer untuk meneruskan pekerjaan triangulasi di pulau Sumatera dan pulau-pulau
lainnya. Pada tanggal 28 September 1945 setelah Indonesia memproklamirkan
kemerdekaannya, Sokuryo Kyoku direbut dari tangan Jepang, dan diubah namanya
menjadi Jawatan Topografi Republik Indonesia dipimpin oleh Ir. Soetomo Wongsotjitro
(kemudian dikenal sebagai Guru Besar pada bagian geodesi, Fak. Teknik Universitas
Indonesia) yang bernaung dibawah Kementrian Pertahanan. Hal ini ditetapkan dengan
ketetapan pemerintah Republik Indonesia No. 46 tanggal 26 April 1946, kedudukan
Jawatan ini bermula ada di Malang kemudian pindah ke Solo pada tahun 1947, dan
akhirnya pindah ke Yogyakarta pada tahun 1949. Berdasrkan surat keputusan KASAD
No. Skep/691/VII/1986, tanggal 26 April 1946 ditetapkan sebagai hari lahir Corp
Topografi TNI-AD.

Pada saat yang sama pemerintah Belanda menduduki sebagaian daerah Republik
Indonesia membentuk kembali Topografische Dients KNIL (Tentara kerajaan Hindia
Belanda) dengan balai Geodesi di Bandung (1947), balai Geografi, dan balai
Fotogrametri di Jakarta (1947). Balai Geodesi ini melanjutkan pekerjaan-pekerjaan yang
telah dilakukan oleh Brigade Triangulasi. Pada tanggal 17 Juni 1950, Jawatan Topografi
Republik Indonesia mengambil alih Topografische Dients KNIL beserta semua lembaga-
lembaga yang ada, sehingga di Indonesia hanya ada satu lembaga pemetaan topografi
dibawah Kementrian Pertahanan yang berkedudukan di Jakarta (semula bernama
Direktorat Topografi Angkatan Darat kemudian diganti menjadi Jawatan Topografi
Angkatan Darat). Sejak tahun 1950 praktis tidak ada pemetaan baru. Pekerjaan dengan
anggaran yang sangat terbatas hanya meliputi revisi peta-peta lama serta kompilasi peta-
peta skala kecil (1:250 000 dan 1:1 000 000). Pekerjaan triangulasi adalah melanjutkan
triangulasi di Nusa Tenggara Timur dan beberapa pengukuran Laplace. Pada tanggal 31
Maret 1951 dengan peraturan pemerintah No. 23 Tahun 1951 tentang pejabat-pejabat
hidrografi pelayaran sipil, memutuskan bahwa di Indonesia terdapat dua pejabat
Hidrografi yaitu pejabat hidrografi sipil yang bernama :
- Bagian Hidrografi dan menjadi bagian dari Jawatan Pelayaran, Kementerian
Perhubungan.
- Bagian Hidrografi angkatan laut, yang menjadi bagian staf angkatan laut.

Selanjutnya melalui Kepres No. 164 Tahun 1960, bagian Hidrografi dari Jawatan
Pelayaran kementerian perhubungan digabungkan pada Jawatan Hidrografi Angkatan
Laut.

Pada tanggal 23 November 1951, dengan peraturan pemerintah No. 71 Tahun 1951
(Lembar Negara Nr. 116, 1951) membubarkan “Raad en Directorium loor het meet en
kaarteerwezen” ( dibentuk berdasarkan ”Gouvermentsbesluit” tanggal 17 Januari 1948),
dan menetapkan pembentukan ”Dewan Pengukuran dan Penggambaran Peta (Dewan
Atlas)” yang bertugas mengkoordinasi segala pekerjaan pengukuran dan penggambaran
peta diseluruh wilayah Negara Republik Indonesia (pasal 2 dan 3). Peraturan pemerintah
ini juga membentuk ”Direktorium Pengukuran dan Penggambaran Peta” yang bertugas
menyelenggarakan koordinasi dan menjalankan segala pekerjaan mengenai lapangan
ilmu geodesi dan yang bersangkutan dengan itu. Kepala staf angkatan perang dan para
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehakiman, Perekonomian, Pertanian, Pekerjaan Umum
dan Tenaga, atau wakil-wakilnya, karena jabatannya menjadi anggota Dewan. Kepala
Jawatan Topografi dan Kepala Pendaftaran Tanah karena jabatannya menjadi anggota
direktorium yang hadir dalam rapat dewan (pasal 6 dan 8). Sebagai ketua dewan adalah
kepala staf Angkatan Perang.

Pada tahun 1964 pemerintah Indonesia mengadakan pekerjaan survey dan pemetaan yang
berhubungan dengan wilayah kekuasaan negara, yaitu dalam penertiban tapal batas
internasional antara Irian Barat dengan Papua Nugini. Pada tahun 1966 dan 1967
dilaksanakan Expedisi Cendrawasih – II, yaitu pekerjaan mencari dan menandai meridian
seperti yang disebutkan dalam perjanjian tapal batas antara delegasi Indonesia dengan
Australia. Tim Indonesia terdiri atas unsur Dinas Geodesi dari Topografi AD yang
dipimpin oleh Kolonel CZI Ir Pranoto Asmoro, dan ITB dibawah pimpinan Dr –Ing, Ir. J.
Soenarjo. Batas wilayah Indonesia ini ditandai dengan 14 tugu perbatasan berupa
piramida terpancung tinggi 160 cm memanjang dari utara ke selatan sampai Fly River
pada meridian 1410 00’ 00” BT dab dari Fly River ke selatan pada posisi 1410 01’ 01”
BT.

Berdasarkan keputusan Presedium Kabinet Kerja Republik Indonesia No. Aa/D/37 1964
tanggal 28 April 1964, Pemerintah membubarkan panitia Atlas dengan membentuk
Badan Atlas Nasional (BATNAS). Pada tanggal 17 September 1965 dengan Keputusan
Presiden RI No 263 menetapkan Dewan Survey dan Pemetaan Nasional
(DESURTANAL) serta pembentukan Komando Survey dan Pemetaan Nasional
(KOSURTANAL) dengan tujuan agar diusahakan seminimum mungkin duplikasi usaha-
usaha, pemborosan keuangan dan personil, dan pemanfaatan sebaik mungkin data teknis
dan informasi yang dihimpun oleh berbagai instansi untuk kepentingan instansi yang
memerlukannya. Komando ini sedikit banyak telah memberikan pengertian kepada
pemerintah tentang artinya pemetaan nasional untuk kepentingan pembangunan dan
pertahanan.

Adanya BATNAS, DESURTANAL serta KOSURTANAL mencerminkan tidak adanya


efisiensi dan penghematan dalam pengeluaran keuangan negara. Oleh karena itu dalam
rangka penertiban aparatur pemerintahan, pemerintah memandang perlu untuk meninjau
kembali kedudukan tugas dan fungsi badan-badan yang melakukan kegiatan dibidang
survey dan pemetaan. Berdasarkan Keputusan Presiden No 83 tahun 1969 tanggal 17
Oktober 1969, maka dicabut Kepres RI No 263/1965 tentang pembentukan
DESURTANAL dan KOSURTANAL, serta Keputusan Presidium Kabinet Kerja RI No
Aa/D/37/1964 tentang pembentukan BATNAS, kemudian menetapkan pembentukan
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional yang disingkat BAKOSURTANAL
sebagai lembaga Non Departemen di bawah Presiden. Tugas BAKOSURTANAL adalah
meneruskan usaha-usaha koordinasi guna mencapai effisiensi dan pemanfaatan
semaksimum mungkin potensi nasional dalam bidang survey dan pemetaan disamping
sebagai badan yang merencanakan dan melaksanakan program survey dasar sumber alam
serta pemetaan nasional. Untuk pertama kalinya diangkat sebagai ketua
BAKOSURTANAL adalah Ir.Pranoto Asmoro (Mayor Jenderal Purnawirawan TNI-AD).

Kemudian untuk sejarah pertanahan di Indonesia secara singkat yaitu :


- UUPA 24 september 1960
- PP No.10 Pada tahun 1961 tentang pendaftaran tanah
- PP No.24 Pada tahun 1997 tentang sistem pendaftaran tanah di Indonesia
- Kemudian pada tahun 2016 adanya evaluasi tentang peta bidang tanah PTSL

3. Mata kuliah apa saja yang mendukung Pertanahan?


Mata kuliah yang mendukungnya Pertanahan ialah :
- Ilmu Ukur Tanah I ( Planimetris )
- Ilmu Ukur Tanah II ( Sipat Datar )
- Ilmu Ukur Tanah III ( Detail Situasi )
- Kerangka Kontrol Geodesi ( Horizontal dan Vertikal )

4. Konflik apa saja yang ada pada bidang Pertanahan?


Dalam melakukan pekerjaan pasti ada saja konflik atau masalah. Berikut adalah beberapa
contoh konflik yang ada pada pertanahan diantarannya adalah :
- Berebut hak air
- Pemekaran wilayah
- Konflik perbatasan
- Konflik masyarakat atas tanah adat, wakaf, pembagian waris
- Kesalahan pengukuran yang menjadikan tidak sesuainya terhadap apa yang ada di
lapangan
- SDA ( Gas Alam )
Kemudian untuk memecahkan masalahnya dapat dilalui dengan musyawarah mufakat,
meminta bantuan BPN sehingga memiliki legalitas, dan juga pengadilan. Yang paling
tidak direkomendasikan adalah pengadilan, karena takutnya hanya akan menyalahkan
satu sama lain dan masalah merembet kemana mana sehingga penyelesaian semakin lama
karena tidak mau mengalah.

Anda mungkin juga menyukai