Anda di halaman 1dari 2

SEJARAH PERKEMBANGAN PETA DI INDONESIA

Leonardus Berlianto Setiawan


Program Studi Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung, Indonesia
lberlianto@students.itb.ac.id

Informasi mengenai keberadaan peta pertamakali di Indonesia tercatat pada catatan sejarah Cina yang disusun pada tahun
1369 dan 1370. Pada catatan tersebut tertulis bahwa pada tahun 1292-1293, Raden Wijaya (Raja kerajaan Kediri)
mempersembahkan sebuah peta administratif resmi kerajaan Kediri kepada para penyerbu sebagai tanda menyerah. Selain
catatan sejarah Cina, informasi keberadaan peta di Indonesia juga termuat pada makalah A Brief History on Cartography
in Indonesia (1977) oleh Rachmad Kusmiadi. Makalah tersebut menyebutkan bahwa di abad ke-15 sudah ada peta situasi
geografi daratan Sunda yang menggambarkan pemukiman di kampong Ciela dekat Bayongbong, daerah Garut Jawa
Barat.

Pada tahun 1511, seorang ahli kartografi Portugis bernama Francisco Rodrigues bersama sejumlah mualim pribumi
melakukan ekspedisi pembuatan peta kepulauan dan perairan yang dikunjungi sehingga diperolehlah beberapa salinan
peta yang kemudian salah satu salinannya dikirimkan oleh Alfonso d’ Albuquerque ke Portugis. Kemudian, sekitar tahun
1540, Munster/Holbein mempublikasikan untuk pertamakalinya peta Sumatera (Taprobana) termasuk Java Minor
(Borneo) yang terletak di sebelah utara Jawa (Java Mayor). Pada tahun 1548, Gastaldi dan Ramusio membuat peta Borneo
yang lebih baik daripada peta oleh Munster yang posisinya lebih mendekati kebenaran dan memuat Gunung Kinibalu.
Selain kedua peta di atas, dikenal juga Java Insula (peta Jawa) yang diterbitkan oleh J. Honter pada tahun 1561. Pada
tahun 1570, terbitlah Indiae Orientalis Insularumque Adiacentium Typus yang menjadi tonggak sejarah perkembangan
kartografi Asia Tenggara dan Kepulauan Indonesia. Peta ini dimuat dalam atlas geografi modern berjudul Theatrum Orbis
Terrarum yang disusun oleh Abraham Ortelius dan dibuat dalam lembar-lembar terpisah sebanyak 35 lembar teks dan 53
buah peta cetakan lempeng tembaga. Pada tahun 1685 terbitlah peta Danckerts yang sebagian isinya merupakan karya
para pembuat peta VOC di Batavia dan bila dibandingkan dengan Java Insula tahun 1561, peta Danckerts lebih tepat dan
rinci dalam menyajikan kepulauan Indonesia. Pada abad ke-18 atau lebih tepatnya tahun 1782, pihak militer mulai
berperan penting terhadap pembuatan peta Indonesia dimana hal ini ditunjukkan dengan dibukanya sekolah teknik di
Semarang yang VOC harapkan dapat menghasilkan perwira angkatan laut, surveyor dan sarjana teknik militer yang
mumpuni. Pada tahun 1794 dibuat chart dari pantai Utara Jawa mulai Banten ke Batavia oleh Laurie & Whittle yang
diturunkan dari peta manuskrip VOC.

Pada pertengahan abad ke-19 atau lebih tepatnya tahun 1850-an, orang Indonesia mulai berperan penting dalam
pembuatan peta dimana pemuda Jawa dari keluarga bangsawan mulai bekerja di Dinas Topografi. Pada tahun 1853, Franz
Wilheim Junghuhn (1804-1864) mempublikasikan Java, Zyne gedaante, zyne platentooi en inwendigebouw yang berisi
peta topografi, peta biologi serta peta geologi Jawa dengan skala 1:450.000 dan berwarna. Pada pertengahan pertama
abad ke XX, Dinas Topografi mempekerjakan lebih dari 500 orang untuk membuat peta topografi Indonesia. Sehingga
pada tahun 1938 terbitlah Atlas van Tropisch Nederland. Kemudian, memasuki periode 1950-1970 yang merupakan
periode Direktorat Jawatan Topografi Angkatan Darat, tercatat tidak banyak kemajuan yang terjadi akibat kurangnya
anggaran yang disediakan. Barulah pada tahun 1970/1971 dimulai Proyek Pemetaan Dasar Nasional oleh Bakosurtanal
dengan anggaran dari APBN. Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) adalah lembaga
pemerintah non departemen di bawah Presiden yang pembentukannya berdasarkan Keppres RI Nomor 83 tahun 1969
tanggal 17 Oktober 1969. Pada masa tahun 1970-1972, misi dari Pemerintah Belanda (Ir. Visser dan Ir. Van Zuylen) tiba
di Indonesia untuk bersama-sama Bakosurtanal menyusun rekomendasi perlunya Sekolah Operator Fotogrametri dan
Kartografi yang sangat diperlukan untuk mengembangkan kartografi modern dan tenaga operator fotogrametri yang
terdidik di Indonesia. Sebagai realisasi dari rekomendasi tersebut, dibukalah Pusat Pendidikan Fotogrametri dan
Kartografi (PPFK) di Indonesia pada tahun 1975 yang merupakan kerjasama antara pemerintah Belanda (diwakili ITC)
dan pemerintah Indonesia (Bakosurtanal).

Pada tahun 1985, pemerintah Indonesia menerima bantuan ketiga Bank Dunia untuk melengkapi program pemetaan dasar
nasional. Dalam pelaksanaan program tersebut, Bakosurtanal dan perusahaan swasta bidang pemetaan bekerjasama
dengan perusahaan asing dalam bentuk konsorsium untuk pembuatan peta RBI 1:50.000 daerah Sumatera, Sulawesi dan
Kalimantan. Pada tahun 1990, perusahaan swasta Indonesia yang bergerak di bidang survei dan pemetaan mulai diberi
kepercayaan penuh oleh Bakosurtanal untuk pembuatan peta RBI skala 1:25.000 daerah Pantai Utara Jawa, sebagian
Jawa, Bali, NTB, NTT dan Timor Timur. Memasuki abad ke-21 yakni pada tahun 2011, lembaga Bakosurtanal digantikan
oleh lembaga BIG untuk urusan pemetaan di Indonesia.

Referensi:
Soendjojo, H., & Riqqi, A. (2012). Kartografi. Bandung: Penerbit ITB.

Anda mungkin juga menyukai