Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1292 M. Ditemukan bukti adanya peta administratif pada masa
pemerintahan Raden Wijaya. Dalam artikel tulisan C.J Zandvliet pada Holland Horizon Volume
6 Nomor 1 Tahun 1944, yang isinya “Pada catatan sejarah Cina yang disusun pada tahun 1369 M
dan 1370 M ditulis bahwa pada penyerbuan tentara Yuan ke Jawa tahun 1292-1293 M,
Raden Wijaya menyerahkan peta administratif Kerajaan Kediri kepada penyerbu sebagai tanda
menyerah”.
Setelah pembuatan peta navigasi pertama oleh Laksamana Cheng Ho, pada abad 15 bersamaan
saat Portugis melakukan ekspedisi mencari rempah-rempah ke Pulau Jawa dan Kepulauan
Maluku, seorang kartografer yang ikut ekspedisi yaitu Francisco Rodrigues membuat peta
perairan dan kepulauan yang dikunjungi.
Pada tahun 1540 tercatat dua bangsa Jerman yaitu Sebastian Münster (1488-1550) seorang
kosmografer dan pembuat karya geografi ilustrasi paling popular abad 16 bersama pelukis dan
pembuat cetakan yaitu Hans Holbein the Younger (1497-1543) mempublikasikan pertama kali
Peta Sumatera (Taprobana) termasuk didalamnya Java Minor sebagai Borneo yang terletak di
utara Jawa ( Java Mayor).
Selanjutnya, pada tahun 1548, bangsa Italia yaitu Cornelio Castaldi dan Girolamo Ramusio juga
mempublikasikan peta Borneo yang posisinya lebih mendekati kebenaran dibandingkan peta
Java Minor yang dibuat oleh Münster. Pada tahun 1561 terbit peta Pulau Jawa yang
dikenal Java Insula buah karya Johannes Honter asal Hongaria dan Kronstad asal Norwegia.
Cikal bakal survei dan pemetaan di Indonesia yaitu diawali oleh kedatangan Belanda di
Nusantara yang tak lama kemudian Belanda mendirikan kongsi dagang VOC, disinilah kegiatan
survei dan pemetaan dilakukan secara intensif. Untuk mendukung kegiatannya memperoleh
rempah-rempah, VOC mendirikan sebuah kantor pemetaan yang ditempatkan di galangan kapal
di Batavia. Mulai abad 17, peta perairan Indonesia buatan Belanda menjadi rujukan bangsa lain,
mulai saat itu Belanda berpikir untuk membuat peta topografi militer dan sipil demi
mempertahankan dan memperluas pengawasan di seluruh daerah kekuasaan.
Dalam usaha meningkatkan SDM, pada tahun 1782 didirikan sekolah untuk mendidik tenaga
teknik, antara lain surveyor pemetaan yang berlokasi di Semarang, Jawa Tengah. Tenaga
dibidang survei dan pemetaan semakin produktif menghasilkan produk-produk peta kala itu.
Belanda mendirikan Depo Peta Laut yang kemudian berkembang menjadi Bureau Hidrographic
Departement van Marine. Bureau ini menerbitkan Bericht aan Zee verenden (B.A.Z) yang kini
menjadi “Berita Pelaut Indonesia” (BPI).
Pada abad ke 19, orang-orang pribumi mulai aktif bekerja di Dinas Topografi hingga pada abad
ke 20 Dinas Topografi mempekerjakan sekitar 500 orang yang sebagian besar adalah bangsa
Indonesia. Sebuah pencapaian yang baik, pada tahun 1938 Dinas Topografi menerbitkan sebuah
karya besar yaitu Atlas van Tropisch Netherland , yang merupakan peta Indonesia yang rinci
yang menjadi dasar untuk pembuatan dan penerbitan atlas sekolah.
Hingga tahun 1969, peta Indonesia yang digunakan merupakan produk pada masa pemerintahan
Hindia Belanda. Selain itu informasi tentang pengetahuan geospasial, termasuk sumber daya
alam dan lingkungan wilayah tanah air masih sangat terbatas. Saat itu baru sekitar 15% dari
wilayah daratan Indonesia yang dicakup oleh peta topografi skala 1:50.000 yang terkontrol
secara geodetik dan hanya 26% peta kompilasi skala 1:100.000 dan skala 1:500.000, sisanya
berupa peta-peta skets.
Setelah terbentuk pemerintahan baru, pada tahun 1969 diterbitkan Keputusan Presiden no.83
tanggal 17 Oktober 1969 tentang pembentukan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional
(BAKOSURTANAL) yang menetapkan badan koordinasi ini sebagai aparatur pembantu
pimpinan pemerintah yang berkedudukan langsung dibawah presiden dan bertanggung jawab
kepada presiden RI. Salah satu produk unggulan BAKOSURTANAL yaitu peta rupabumi (RBI).
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Peta Nusantara Ada sejak Zaman
Majapahit", https://sains.kompas.com/read/2010/05/20/1701401/Peta.Nusantara.Ada.sejak.Zaman.
Majapahit.