Dibuat Oleh :
Muhammad Hafid
4122.3.19.13.0041
TEKNIK GEODESI
FAKULTAS TEKNIK, PERENCANAAN DAN ARSITEKTUR
UNIVERSITAS WINAYA MUKTI
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI........................................................................................................................ i
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................................... ii
1. PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
2. PEMBAHASAN ......................................................................................................... 4
2.1. Pengertian Geospasial ......................................................................................... 4
2.2. Perkembangan Keilmuan dan Teknologi di Bidang Informasi Geospasial ........ 6
2.3. Peran Informasi Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia ... 7
2.4. Perkembangan Teknologi Pemetaan ................................................................... 8
2.5. Kelebihan Teknologi Baru ................................................................................ 11
2.6. Keterbatasan Teknologi Baru............................................................................ 14
2.7. Kualitas Pemakai Teknologi ............................................................................. 15
2.8. Pendidikan untuk Mengantisipasi Perkembangan Teknologi ........................... 16
3. PENUTUP................................................................................................................. 19
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 20
i|Page
DAFTAR GAMBAR
ii | P a g e
1. PENDAHULUAN
Kegiatan pemetaan di Indonesia dimulai sejak 8 Abad yang lalu yaitu saat
pemerintahan Kerajaan Majapahit sekitar tahun 1292 M. Ditemukan bukti
adanya peta administratif pada masa pemerintahan Raden Wijaya. Dalam artikel
tulisan C.J Zandvliet pada Holland Horizon Volume 6 Nomor 1 Tahun 1944,
yang isinya “Pada catatan sejarah Cina yang disusun pada tahun 1369 M dan
1370 M ditulis bahwa pada penyerbuan tentara Yuan ke Jawa tahun 1292-1293
M, Raden Wijaya menyerahkan peta administratif Kerajaan Kediri kepada
penyerbu sebagai tanda menyerah”.
Setelah pembuatan peta navigasi pertama oleh Laksamana Cheng Ho, pada abad
15 bersamaan saat Portugis melakukan ekspedisi mencari rempah-rempah ke
Pulau Jawa dan Kepulauan Maluku, seorang kartografer yang ikut ekspedisi
yaitu Francisco Rodrigues membuat peta perairan dan kepulauan yang
dikunjungi.
Pada tahun 1540 tercatat dua bangsa Jerman yaitu Sebastian Münster (1488-
1550) seorang kosmografer dan pembuat karya geografi ilustrasi paling popular
abad 16 bersama pelukis dan pembuat cetakan yaitu Hans Holbein the Younger
(1497-1543) mempublikasikan pertama kali Peta Sumatera (Taprobana)
termasuk didalamnya Java Minor sebagai Borneo yang terletak di utara Jawa (
Java Mayor).
Selanjutnya, pada tahun 1548, bangsa Italia yaitu Cornelio Castaldi dan
Girolamo Ramusio juga mempublikasikan peta Borneo yang posisinya lebih
mendekati kebenaran dibandingkan peta Java Minor yang dibuat oleh Münster.
Pada tahun 1561 terbit peta Pulau Jawa yang dikenal Java Insula buah karya
Johannes Honter asal Hongaria dan Kronstad asal Norwegia.
Cikal bakal survei dan pemetaan di Indonesia yaitu diawali oleh kedatangan
Belanda di Nusantara yang tak lama kemudian Belanda mendirikan kongsi
dagang VOC, disinilah kegiatan survei dan pemetaan dilakukan secara intensif.
Untuk mendukung kegiatannya memperoleh rempah-rempah, VOC mendirikan
1|Page
sebuah kantor pemetaan yang ditempatkan di galangan kapal di Batavia. Mulai
abad 17, peta perairan Indonesia buatan Belanda menjadi rujukan bangsa lain,
mulai saat itu Belanda berpikir untuk membuat peta topografi militer dan sipil
demi mempertahankan dan memperluas pengawasan di seluruh daerah
kekuasaan.
Dalam usaha meningkatkan SDM, pada tahun 1782 didirikan sekolah untuk
mendidik tenaga teknik, antara lain surveyor pemetaan yang berlokasi di
Semarang, Jawa Tengah. Tenaga dibidang survei dan pemetaan semakin
produktif menghasilkan produk-produk peta kala itu. Belanda mendirikan Depo
Peta Laut yang kemudian berkembang menjadi Bureau Hidrographic
Departement van Marine. Bureau ini menerbitkan Bericht aan Zee verenden
(B.A.Z) yang kini menjadi “Berita Pelaut Indonesia” (BPI).
Pada abad ke 19, orang-orang pribumi mulai aktif bekerja di Dinas Topografi
hingga pada abad ke 20 Dinas Topografi mempekerjakan sekitar 500 orang yang
sebagian besar adalah bangsa Indonesia. Sebuah pencapaian yang baik, pada
tahun 1938 Dinas Topografi menerbitkan sebuah karya besar yaitu Atlas van
Tropisch Netherland , yang merupakan peta Indonesia yang rinci yang menjadi
dasar untuk pembuatan dan penerbitan atlas sekolah.
Hingga tahun 1969, peta Indonesia yang digunakan merupakan produk pada
masa pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu informasi tentang pengetahuan
geospasial, termasuk sumber daya alam dan lingkungan wilayah tanah air masih
sangat terbatas. Saat itu baru sekitar 15% dari wilayah daratan Indonesia yang
dicakup oleh peta topografi skala 1:50.000 yang terkontrol secara geodetik dan
hanya 26% peta kompilasi skala 1:100.000 dan skala 1:500.000, sisanya berupa
peta-peta skets.
2|Page
pemerintah yang berkedudukan langsung dibawah presiden dan bertanggung
jawab kepada presiden RI. Salah satu produk unggulan BAKOSURTANAL
yaitu peta rupabumi (RBI). Badan Informasi Geospasial (BIG) lahir untuk
menggantikan BAKOSURTANAL yang berkantor di Kompleks Cibinong
Science Center. Lahirnya BIG ditandai dengan ditandatanganinya Peraturan
Presiden Nomor 94 tahun 2011 mengenai Badan Informasi Geospasial pada
tanggal 27 Desember 2011. Hampir seluruh wilayah Indonesia telah dipetakan
oleh BAKOSURTANAL dengan menggunakan skala yang berbeda-beda. Untuk
Wilayah Indonesia Barat telah dibuat peta dengan skala 1:25.000 sedangkan
Wilayah Timur Indonesia bervariasi dari skala 1:100.000 sampai dengan skala
1:250.000.
3|Page
2. PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Geospasial
Geopasial dan Informasinya diatur dengan UU 4 tahun 2011 tentang Informasi
Geospasial. Informasi Geospasial (IG) adalah DG yang sudah diolah sehingga
dapat digunakan sebagai alat bantu dalam perumusan kebijakan, pengambilan
keputusan, dan/atau pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang
kebumian.
4|Page
a) Informasi Geospasial Dasar (IGD) adalah IG yang berisi tentang objek
yang dapat dilihat secara langsung atau diukur dari kenampakan fisik di
muka bumi dan yang tidak berubah dalam waktu yang relatif lama.
b) Informasi Geospasial Tematik (IGT) adalah IG yang menggambarkan satu
atau lebih tema tertentu yang dibuat mengacu pada IGD.
5|Page
2.2. Perkembangan Keilmuan dan Teknologi di Bidang Informasi
Geospasial
Saat ini keberadaan data menjadi sangat penting. Data merupakan jenis
kekayaan baru bangsa yang lebih berharga dari minyak dan gas bumi. Dengan
berbagai data yang dimiliki maka Indonesia dapat membangun serta
mengembangkan potensi sumberdaya yang telah tersedia. Data yang telah
diperoleh kemudian diolah menjadi sebuah informasi. Informasi kemudian
dikembangkan menjadi pengetahuan. Pengetahuan digunakan sebagai dasar
pengambilan kebijakan bagi pembangunan bangsa.
Ada banyak sekali cara dalam memperoleh data yang berkualitas seperti
metode GIS/spatial analytics, GNSS dan positioning, pengamatan bumi seperti
penginderaan jauh, hingga scaning dengan salah satu contohnya survei
hidrografi.
Dalam era revolusi industri 4.0, data dan informasi geospasial mempunyai 4
karakteristik dari big data. Volume berbicara mengenai besaran data yang
dihasilkan setiap harinya. Variety berhubungan dengan banyakya jenis dari
sumber data. Velocity merupakan kecepatan dari setiap data dan terakhir yaitu
veracity berupa ketelitian dari data yang dihasilkan.
Selama 3 tahun terakhir telah terjadi perkembangan yang cukup signifikan
dalam teknologi geospatial. Adanya kolaborasi antara Building Information
Modelling (BIM) dengan GIS, geospatial AI, smart cities, ketersediaan data
6|Page
tanpa henti, penggunaan drone yang kian meluas, serta pemetaan yang
dianggap sebagai sebuah pelayanan.
7|Page
2.4. Perkembangan Teknologi Pemetaan
Pergeseran sistem peralatan terjadi di semua sektor pemetaan. Terjadi
perubahan dari pengukuran yang mengandalkan mata dan telinga manusia (ear
and eye observation) beralih ke sensor elektronik (digital data observation)
(Sinaga,1991:3). Untuk pengukuran jarak, berbagai pabrik alat ukur di
berbagai negara, seperti Jepang, Swiss, Jerman dan Swedia telah menawarkan
berbagai merk dan tipe alatukur jarak elektronis atau EDM (Electronic
Distance Measurement).
adalah gabungan dari alat ukur jarak (EDM) dan alat ukur sudut (teodolit).
Dengan ETS ini dapat pula diukur beda tinggl antara dua tempat dengan hasil
yang diteliti.
Dengan bergesernya alatukur optis ke elektronis ini target ukur yang digunakan
pun berubah dari mistar atau rambu ukur yang dibaca secara manual ke prisma
reflektor yang memantulkan gelombang elektromagnetik yang diolah secara
digital.
8|Page
hanya kesalahan mencatat saja tetapi juga kesalahan membaca sudut dan jarak
dapat dihindari karena data ukur langsung direkam, yang selanjutnya data
tersebut dapat diproses dengan komputer.
9|Page
satelit atau Georeceiver yang ditempatkan di titik yang akan ditentukan
posisinya. Penentuan posisi ini menggunakan prinsip pengikatan ke belakang
yang biasa dipakai pada pengukuran terestris (Sinaga, 1991:10) yang skemanya
dapat dilihat pada Gambar 4.
10 | P a g e
Gambar 2. 5 Skema penentuan posisi dengan GPS
R = Jarak ke satelit.
11 | P a g e
Gambar 2. 6 Electronic Total Station
Teknologi penentuan posisi titik kontrol dengan sistem Doppler dan GPS telah
menggantikan pekerjaan triangulasi terestris. Akibatnya teori jaring triangulasi
serta pelaksanaan pengukurannya dengan memasang titik-titik kontrol di
puncak-puncak bukit atau pendirian menara pengamatan supaya dapat
mengukur sudut antar titik-titik yang berjarak jauh tinggal menjadi catatan
dalam sejarah pemetaan saja.
Begitu pula kehadiran foto udata dan citra satelit telah mengubah prosedur
pemetaan skala menengah dan kecil. Peta-peta dengan skala tersebut tidak lagi
12 | P a g e
diturunkan dengan cara generalisasi kartografis dari peta-peta skala besar,
tetapi langsung digambar dari hasil interpretasi foto udara atau citra satelit.
13 | P a g e
2.6. Keterbatasan Teknologi Baru
Di balik keberhasilan dalam hal ketelitian, kecepatan dan efisiensi yang
ditunjukkan dengan gemilang oleh penampilan teknologi pemetaan modern,
ternyata masih ada beberapa keterbatasan.
Kehadiran teknologi penginderaan jauh belum dapat menggantikan peran
survei terestris untuk pemetaan skala sangat besar, misalnya untuk
perancangan bangunan dan pengukuran batas persil tanah (Brinker dkk,
1986:7).
Foto udara tidak mampu menghasilan peta dengan skala yang lebih besar dari
1 : 5000 karena pesawat terbang tidak mampu terbang lebih rendah lagi
(Aryono Prihandito, 1991 :7). Skala peta terbesar yang dihasilkan dari citra
satelit bahkan hanya 1 : 250.000 (Aryono Prihandito, 1991:5). Dengan
demikian, peranan pengukuran terestris belum dapat digantikan, terutama pada
pemetaan dengan skala yang lebih besar dari 1 : 5000.
Penginderaan jauh dengan pesawat terbang maupun satelit masih menemui
hambatan yang besar untuk daerah tropis basah seperti Indonesia. Hambatan
ini timbul karena seringnya terdapat awan yang tidak tertembus oleh
penginderaan yang menggunakan gelombang natural. Penghalang awan ini
sangat terasa terutama untuk wilayah Kalimantan dan Irian Jaya (Gastellu-
Etchegorry, 1988:19). Hambatan ini dapat diatasi dengan mengganti sensor
gelombang natural dengan gelombang artifisial misalnya LASER atau
RADAR pada kamera yang dioperasikan dengan pesawat terbang.
Gelombang artifisial ini mampu menembus awan dan pohon yang lebat. Akan
tetapi hambatan baru timbul, yaitu biaya operasinya sangat mahal dan
ketergantungan terhadap teknologi beserta tenaga ahli luar negeri sangat besar
(Aryono Prihandito,1991:6).
Keterbatasan yang sangat besar pengaruhnya tetapi sering tidak disadari oleh
masyarakat awam tentang teknologi satelitpenginderaan jauh adalah masih
rendahnya claya pisah atau resolusi spasialnya. Resolusi spasial tertinggi dari
teknologi yang sudah dipasarkan untuk keperluan sipil adalah citra satelit
14 | P a g e
SPOT yang mempunyai kemampuan resolusi spasial 10 meter (Gastellu-
Etchegorry, 1988:7).
Ini berarti benda berukuran 10m x 10m di permukaan bumi merupakan satuan
terkecil dari objek yang akan direkam sebagai satu titik yang di bidang
penginderaan jauh disebut satu pixel. Dengan demikian, objek yang lebih kecil
dibanding ukuran tersebut tidak akan terdeteksi.
Foto udara walaupun telah mampu menghasilkan peta dengan skala hingga 1 :
5000, dalam kenyataannya tidak akan efisien untuk pemetaan area yang tidak
begitu luas. Oleh karena itu, pemetaan terestris tetap akan berperan pada
pemetaan lokal dengan lokasi kecil, misalnya pemetaan untuk perencanaan
bangunan seperti jembatan, gedung, dan bendungan berukuran kecil.
Pemahaman tentang keterbatasan suatu teknologi baru bukan berarti mencari
alasan untuk menolaknya, melainkan untuk menerima sebagaimana mestinya
dengan menempatkan pada posisinya secara proporsional, sehingga dapat
membangkitkan rasa percaya diri untuk mengikuti perkembangan teknologi
selanjutnya.
2.7. Kualitas Pemakai Teknologi
Suatu hal penting yang masih kurang disadari mahasiswa adalah meskipun
peralatan, mutakhir cenderung lebih mudah pengoperasiannya, tetapi alat
tersebut menuntut kualitas pemakai yang lebih tinggi. Kualitas di sini
mencakup antara lain kecermatan dan kreativitas dalam bekerja dengan alat
pemetaan. Tanpa kualitas pemakai yang memadai, peralatan yang betapapun
canggihnya tidak akan dapat dimanfaatkan secara optimal.
15 | P a g e
Sebagai contoh sederhana tentang pentingnya kreativitas adalah pemakaian
kalkulator program seperti Casio FX 3600P dan Casio FX 3800P yang banyak
dimiliki oleh mahasiswa. Dari pengamatan penulis, hampir tidak ada
mahasiswa peserta kuliah Ilmu Ukur Tanah yang penulis asuh yang mampu
menggunakan program untuk mempercepat proses hitungan yang rnelibatkan
banyak data tetapi dengan rumus atau persamaan yang sarna. Hitungan
semacam itu misalnya dalam menghitung jarak optis dan heda tinggi secara
takimetri dari data pembacaan sudut vertikal dan benang silang pada rambu
ukur. Bahkan pada hitungan, sederhana berupa konversi dari koordinat kutub
ke koordinat siku-siku atau sebaliknya pun jarang yang mampu memanfaatkan
tombol yang dapat mempercepat proses hitungan.
16 | P a g e
dengan pekerjaan di lapangan dan mempunyai kemampuan untuk
mengembangkan keterampilannya sesuai dengan perkembangan yang ada.
Di bidang pendidikan tinggi, Sjamsir Mira (1988:1) menyatakan bahwa
perguruan tinggi harus bisa melihat kecenderungan (trend), arah serta
perkembangan ilmu dan teknologi. Agar para lulusannya mampu berkembang
dan mengembangkan ilmunya, metode pendidikan yang dipakai harus sesuai
derigan hakikat pendidikan tinggi . Untuk mencapai maksud tersebut, Sjamsir
Mira berpendapat bahwa pendidikan tinggi harus lebih banyak memberikan
perhatian pada pengetahuan dasar, seperti Matematika, Fisika dan Komputer
sehingga para lulusannya dapat berkembang dengan mudah serta dapat
menghadapi perubahan serta perkembangan yang pesat di bidang ilmu dan
teknologi.
Teknologi konvensional yang sederhana, yang pada umumnya masih tetap
mendominasi peralatan praktik di dunia pendidikan akan tetap berguna untuk
dikuasai. Teknologi yang ada tersebut harus dimanfaatkan sebaik-baiknya
sebagai dasar untuk menguasai teknologi yang lebih canggih. Prinsip kerja
teknologi baru biasanya merupakan pengembangan atau penyempurnaan
teknologi sebelumnya. Oleh karena itu, dengan bekal pengetahuan dasar yang
kuat, prinsip kerja teknologi
baru dapat dipahami dengan lebih mudah. Sebagai contoh adalah adanya
kesamaan prinsip dasar antara teknologi fotogrametri dengan teknologi
terestris. Keduanya menggunakan prinsip transformasi matematis dari satu
bidang (permukaan bumi) ke bidang lain (peta) (Sinaga, 1991:4-6). Bahkan
lebih jauh Sinaga mengatakan bahwa penentuan posisi titik dengan teknologi
satelit GPS, pada prinsipnya juga menggunakan cara pengikatan ke belakang,
seperti yang biasa dipakai pada teknik pemetaan terestris.
Kekaguman terhadap kehadiran teknologi baru yang ditunjukkan dengan sikap
negatif yaitu merasa rendah diri karena perasaan pesimis tidak akan mampu
mengikutinya, harus diubah menjadi sikap positif yang selalu ingin mengetahui
alat pemetaan baru. Untuk menghadapi tantangan perkembangan teknologi,
17 | P a g e
rasa ingin tahu, kreatif, berpikir logis, sistematis dan analitis harus
ditumbuhkan dan ditingkatkan pada mahasiswa (Soeprapto, 1991 :9).
18 | P a g e
3. PENUTUP
Perkembangan teknologi pemetaan yang akan datang makin pesat, apalagi
dengan dialihkannya teknologi militer untuk keperluan sipil setelah era pasca
perang dingin. Makin berperannya teknologi elektronika dan informatika
daJam pemetaan telah menggeser cara kerja manual ke digital. Kehadiran
teknologi pemetaan baru telah menggeser pran beberapa teknologi lama.
Perkembangan tersebut merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh para
ahli dunia pendidikan teknologi pemetaan.
Di balik kecanggihan yang telah ditunjukkan, teknologi pemetaan baru masih
mengandung keterbatasan pula, sehingga tidak seluruh teknologi lama dapat
digantikan. Di samping itu, teknologi canggih menuntut kualitas yang lebih
tinggi pada pemakainya. Oleh karena itu, teknologi baru harus dipahami
dengan benar agar dapat ditempatkan sesuai dengan proporsinya dan agar dapat
dimanfaatkan secara optimal.
Pendidikan teknologi pemetaan harus mampu mengantisipasi perkembangan
teknologi, misalnya dengan memberikan bekal kemampuan untuk
mengembangkan diri kepada peserta didik. Kemampuan tersebut antara lain
berupa penguasaan pengetahuan dasar, seperti Matematika, Fisika dan
Komputer, serta pemahaman terhadap prinsip dasar teknologi yang ada.
Teknologi yang ada dapat dimanfaatkan sebagai bekal untuk menguasai
teknologi baru karena adanya kesamaan prinsip dasar yang digunakan.
Langkah tersebut diperlukan agar pendidikan teknologi tidak kehilangan
relevansi akibat perkembangan tersebut.
19 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
Agus Budiman. 1989. "Relevansi Kurikulum STM Otomotif dengan Kebutuhan
Kemampuan Tenaga Kerja Industri Otomotif dengan Kebutuhan
Kemampuan Tenaga Kerja Industri Otomotif” dalam Jurnal Kependidikan
No.2/XIX/Agustus 1989. Yogyakarta: IKIP YOGYAKARTA.
Brinker, Russel C., Wolf, Paul R. dan Djoko Walijatun. 1986. Dasar-dasar
Pengukuran Tanah (Surveying) Jilid 1. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Sjamsir Mira. 1988. Pengadaan Tenaga survey dan Pemetaan di Indonesia dalam
menghadapi Masa Depan. Makalah Simposium Nasional Geodesi "Survei
dan Pemetaan di Indonesia pada Abad ke-21: Harapan dan Tantangan", Dies
20 | P a g e
Natalis ke-36 Ikatan Mahasiswa Geodesi ITB, Bandung 13-15 Oktobtr
1988.
Soeban, L.C. 1988. Perekam Data Elektronis SDR 2 sebagai Pengganti Buku
Ukur Lapangan. Makalah Simposium Nasional Geodesi "Survei dan
pemetaan di Indonesia pada Abad ke-21: Harapan dan Tantangan", Dies
Natalis ke-36 Ikatan Mahasiswa Geodesi ITB, Bandung 13-15 Oktober
1988.
Trux, John. 1991. "Desert Storm: A Space-age War New Scientist 27 July 1991
pages 26- 30. London.
21 | P a g e