Anda di halaman 1dari 8

KADASTER

SEJARAH PERKEMBANGAN KADASTER INDONESIA


Dosen :

Udiana Wahyu Deviantari, ST., MT.

Oleh :

RIAS GESANG KINANTHI

3515100020

Kelas B

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOMATIKA


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2016
Sejarah Kadaster Di Beberapa Negara

Mesir Kuno

Kadaster dibeberapa Negara telah dimulai sejak ratusan tahun yang lalu. Kadaster
yang dikenal didunia ini berasal dari Negara Mesir Kuno, ketika Raja Fir`aun saat itu
memerintahkan pegawai kerajaannya untuk mengembalikan patok-patok batas tanah
pertanian rakyat yang hilang akibat meluapnya air sungai Nil. Tanah-tanah pertanian tersebut
sangat subur dan mahal nilainya, para pemilik tanah menginginkan kembali tanah-tanah
tersebut dengan batas yang jelas seperti semula. Kemudian dilakukan berbagai usaha
pengukuran pemetaan tanda-tanda batas lama maupun gambaran situasi dan dilakukan
pencatatan dalam suatu daftar tertentu.

Romawi

Kadaster dimulai ketika bangsa Romawi menaklukkan Mesir, dan sejak saat itu
bangsa Romawi mengenal Kadaster melalui Ilmu Ukur Tanah. Batas-batas bidang tanah
merupakan hal yang suci dalam pandangan mereka, maka pendeta-pendeta yang melakukan
pekerjaan pengukuran untuk kepentingan pemerintah. Batas-batas dan tanda-tanda batas
tanah mereka harus dijaga aman, dengan para tetangga diadakan perjanjian damai mengenai
batas-batasnya. Setelah abad ke 3 sebelum masehi muncul pejabat-pejabat ahli ukur khusus
yang terdiri dari pejabat tinggi pemerintah.

Perancis

Kadaster dimulai abad pertengahan. Pada abad ke 14 telah terdapat daftar-daftar


tanah yang memuat catatan mengenai letak tanah, batas-batasnya serta pemiliknya. Pada
tahun 1800 didirikan kadaster untuk seluruh wilyah kerajaan untuk kegiatan perpajakan serta
kepastian hak atas tanah.

Jerman

Setelah tahun 1800 didirikan lembaga kadaster khusus untuk perpajakan.


Perkembangan teknologi pengukuran di Jerman jauh lebih maju dari beberapa negara
sekitarnya. Pada tahun 1900-an telah dilakukan pengukuran dengan berbagai alat ukur
modern saat itu, yaitu theodolite. Sejak itu, dimulailah pengukuran ketelitian yang tinggi
untuk penetapan batas-batas tanah. Mereka melakukan pengukuran setelah diadakan
contradictoire delemitatie, yaitu adanya suatu kesepakatan batas-batas tanah diantara pemilik
berbatasan.

Belanda

Dimulai pada abad pertengahan ke 15 dikenalkan kadaster untuk perpajakan


kepemilikan rumah, dan abad ke 16 mulai masuk perpajakan ke sector pertanian/ perkebunan,
dan sejak itu mulai pula dikenal istilah verponding. Kadster ini masih dikenal sebagai
kadaster pajak (fiscale kadster). Pada perkembangannya, karena kebutuhan kepastian letak
tanah, batas-batas bidang tanah, perubahan bentuk bidang tanah, perubahan-perubahan hak
dan peralihannya menjadi hal penting, maka dibentuklah Jawatan Pendaftaran yang
berhubungan dengan kegiatan Kadaster hak (Eigendom Kadaster).
Sejarah Perkembangan Kadaster di Indonesia
Masa Pra Kadaster (1626 1837)

Di Indonesia, tidak ditemukan dokumen yang menjelaskan telah


diselenggrakannya pendaftaran tanh sebelum zaman penjajahan. Hal ini
dimengerti karena hukum yang berlaku pada saat itu yang mengatur
mengenai tata kehidupan masyarakat termasuk dalam hal penugasan tanah adalah Hukum
Adat yang umumnya tidak tertulis. Dengan hak-hak atas tanah yang dipunyai oleh warga
masyarakat persekutuan hukum adat berdasarkan Hukum Adat baik dalam bentuk hak
bersama/komunal (Hak Ulayat) maupun hak perseorangan (hak milik adat).

Pada masa ini hanya dokumen yang tercatat dalam buku pendaftaran, dan belum
didukung dengan peta kadaster. VOC yang didirikan oleh pemerintah Belanda pada tahun
1602, mendapat hak untuk melakukan perdagangan, hak-hak tersebut membuat VOC
menganggap dirinya memiliki hak atas tanah-tanah yang berada dalam kekuasaannya.
Mengenai pendaftaran hak khususnya pendaftaran peralihan hak, sejak jaman VOC telah
diatur yang pada mulanya hanya merupakan suatu administrasi intern dan peralihan-peralihan
hak atas tanah.

Pada tanggal 18 Agustus 1620, VOC mengeluarkan suatu plakat atau maklumat
yang merupakan dasar pelaksanaan kadaster pertama dalam pelaksanaan pendaftaran tanah di
Hindia Belanda. Pendaftaran tanah yang dilakukan tersebut meliputi pendaftaran segala
pekarangan dan pepohonan yang telah diberikan oleh VOC serta pencatatan nama-nama
pemiliknya. Penentuan luas dan batas tanah dilakukan melalui tata cara pengukuran secara
sederhana menurut Hukum Adat yaitu menggunakan ukuran depa, hasta atau kaki dengan
batas-batas tanah yang dikaitkan pada tanaman hidup atau tanda-tanda alam seperti sungai,
gunung/bukit, jalan dan lain-lain.

Batas-batas hak tanah tidak menggunakan sebuah `titik ikatan`. Jika terjadi
kesulitan atau hilangnya bukti-bukti hak tanah yang bersangkutan, maka akan ditelusuri
kembali ukuran dan lokasi bidang tanah yang di miliki masyarakat dengan melakukan
penelusuran yang didasarkan pada ingatan Kepala Desa setempat dan dibantu oleh
sepengetahuan orang-orang tua atau pihak-pihak yang berbatasan.

Pada masa ini pelaksanaan kadaster dilakukan oleh baljuw dan 2 orang sheepen.
Baljuw adalah pegawai pengadilan dan sheepen adalah hakim atau dewan pemerintah kota.
Surat keterangan yang dikeluarkan oleh ahli ukur disebut land meter kennis yang merupakan
syarat pendaftaran oleh baljuw dan sheepen jika aka nada perolehan hak. Pada masa ini juga
Dewan Heemraden mengeluarkan heemraden kennis atau heemraden briefje sebagai syarat
pendaftaran oleh baljuw dan sheepen jika ada peralihan hak. Kadaster dilakukan tidak
didasarkan pada peta karena bertujuan semata-mata untuk kepentingan penarikanj pajak.
Masa Kebangkitan Kadaster (1837 1875)

Pada masa ini pengukuran kadaster dilaksakan oleh juru ukur berlisensi. Masa
Kadaster Lama atau disebut juga periode ahli ukur pemerintah adalah masa kegiatan kadastral
yang dilakukan oleh ahli ukur pemerintah (Gouverneur Landmeter = GL) yang ditunjuk
langsung oleh Gouverneur Generaal (GG). Periode Ahli Ukur Pemerintah (Periode van de
Gouverments-landsmeter), yakni tata cara penyelenggaraan kadaster masih diatur secara
sederhana sekali (cara pengukuran dan pembuatan peta-peta belum diatur).

Dari tugas-tugas atau instruksi yang diberikan kepada para ahli ukur pemerintah, telah
mengatur penyelenggaraan kadaster secara terperinci, sesuai dengan pokok-pokok
penyelenggaraan suatu kadaster dalam arti
yang modern, antara lain :
a) Menyimpan dan memelihara peta tanah (blik-kaarten); yang telah dibuat oleh ahli ukur
tanah sebelumnya dan membuat peta tanah dari blok-blok yang belum diukur dan dipetakan.
b) Menyelenggarakan daftar-daftar berupa : Daftar Tanah (blok-register); Daftar Peta; Daftar
peralihan hak atas benda tetap; Daftar pengukuran dan penaksiran yang dilakukan.
c) Memelihara daftar-daftar pervonding (suatu pajak yang dikenakan atas tanah-tanah dengan
hak-hak Eropa)
d) Memberikan landmeters-kennis sebagai salah satu syarat pendaftaran hak atau alat bagi
ahli ukur untuk memelihara peta dan daftar tanah diselenggarakannya agar tetap sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya.

Mengenai keberadaan ahli ukur tersebut, diijelaskan bahwa para ahli ukur Pemerintah
diangkat oleh Gubernur Jenderal dan berada di bawah pengawasan langsung dari Residen
yang bersangkutan dan tidak menerima gaji dari Pemerintah. Sebelum memangku jabatan,
para ahli ukur harus mengangkat sumpah terlebih dahulu, karena itu ahli ukur pemerintah
disebut juga ahli ukur yang disumpah.

Dengan makin berkembangnya tehnik penyelenggaraan kadaster, maka pada tahun


1913 Pemerintah mendirikan kursus ahli ukur pada kadaster di Bandung; lamanya 2 (dua)
tahun. Kemudian pada tahun 1919 dibuka kursus ahli ukur pada Fakultas Pertanian di
Wageningan dan Kursus di Bandung dihapuskan. Kursus di Wagenigen lamanya 3 (tiga
setengah) tahun dan kepada lulusannya diberikan Diploma Ahli Ukur. Pada tahun 1936
kursus di Wageningan dipindahkan ke Fakultas Tekhnik di Delft, kepada lulusannya
diberikan Diploma civiellandmeters. Pada tahun 1949 kursus tersebut dijadikan untuk
geodeicchingngeiur. Di Indonesi pendidikan ukur untuk ahli Geodesi dibuka pada tahun
1950 di Fakultas Teknik di Bandung.

Masa Kadaster Baru (1875 1961)

Periode ini oleh CG. Van Huls disebut periode Jawatan


pendaftaran tanah (Periode Van den Kadastrale Dienst), yakni tata cara
penyelenggaraan kadaster diatur itu secara terperinci. Bahwa pada tahun
1870 merupakan tonggak penting sejarah keagrariaan di Indonesia
sehubungan diberlakukannya Agrarische-Wet. Khusus dalam hal
pendaftaran tanah, maka pada tahun 1871 Pemerintah membentuk komisi
yang bertugas mempelajari perlu tidaknya kadaster direorganisir. Komisi
itu diketahui oleh Motke, Direktur Jenderal Keuangan. Oleh komisi tersebut
diusulkan agar kadaster diorganisir secara radikal dan disusun kembali
sesuai dengan kadaster yang diselenggarakan di Negeri Belanda.
Reorganisir itu harus dimulai dari Jakarta dan berdasarkan pengalaman
yang akan diperoleh di daerah tersebut barulah reorganisir itu
diselenggarakan di daerah-daerah lain.

Penyelenggaraan kadaster baru itu telah membawa keuntungan-


keuntungan, yaitu :

1. Timbulnya kesadaran pada para ahli ukur tanah bahwa kadaster


harus diselenggarakan dengan pembuatan peta-peta secara teliti;

2. Penyelenggaraan tata usaha kadaster meskipun dilakukan


menyimpang dari peraturan-peraturan yang telah ditetapkan,
namun tetap dilakukan secara seksama;

3. Tenaga-tenaga pelaksananya memperoleh pendidikan yang cukup


baik.

Pada zaman penduduk tentara Jepang, secara prinsip pengaturan soal pertanahan
termasuk dalam pendaftaran tanah tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan Kolonial
Belanda artinya pendaftaran tanah pada era pendudukan Jepang tetap diselenggarakan seperti
pada zaman penjajahan Belanda, misalnya Jawatan Kadaster Dienst, masih tetap di bawah
Departemen Kehakiman hanya namanya diganti menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah dan
kantornya diberikan nama Kantor Pendaftaran Tanah.

Bedanya dengan pada masa penjajahan Kolonial Belanda, pada saat


pemerintahan penjajahan Jepang dikeluarkan peraturan pelarangan pemindahan hak atas
benda tetap/tanah (Osamu Serei Nomor 2 Tahun 1942), atau Nomor 2 tanggal 30 bulan 1
tahun Syoowa 18 (2063), juga penguasaan atas tanah-tanah partikelir oleh Pemerintah Dai
Nippon juga dinyatakan hapus. Dengan terjemahan Kadaster Dienst menjadi Kantor
Pendaftaran Tanah, maka sejak saat itu pendaftaran tanah dan kadaster dipakai secara silih
berganti.

Masa Pendaftaran Tanah (1961 1997)

Masa ini dimulai dengan berlakunya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961
yaitu masa pendaftaran tanah berbasis kadaster. Oleh karena itu masa ini kemudian dikenal
pula sebagai masa peralihan dari masa kadaster menuju masa pendaftaran tanah berbasis
kadaster. Pada masa ini pula sekitar tahun 1990 an mulai sikenalkan serta dimanfaatkannya
teknologi computer dalam pengukuran, pemetaan dan pendaftaran tanah yang melibatkan
kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan manajemen data mulai mengenalkan dan
menggunakan teknologi komputer.

Untuk menjamin kepastian hukum atas hak tanah dalam pendaftaran tanah, maka
ada beberapa prinsip yang harus menjadi acuan pelaksanaannya yaitu adanya peta kadaster,
daftar-daftar umum yang mempunyai kekuatan bukti tentang pemegang hak sebenarnya yang
terdaftar serta sah menurut hukum, serta daftar umum untuk setiap peralihan dan
pembebanannya. Penyelenggaraan kadaster diantaranya dalah pertanggung jawaban
pelaksana pengukuran/ juru ukur pemerintah serta pemilik tanah/penunjuk batas tanah dengan
membubuhkan tanda tangan sebagai bukti kebenaran atas pengukuran yang dilakukan. Selain
itu juga dilakukan penandatanganan batas pemilik yang bersebelahan (azas contradictoire
delimitatie) yang semuanya itu dilakukan pada veldwerk(gambar ukur) sehingga peta-peta
kadaster yang dihasilkan memiliki kekuatan bukti.

Masa Informasi Pertanahan (1997 sekarang)

Masa ini ditandai dengan pemanfaatan teknologi informasi dan pemanfaatan citra
satelit; hamper semua kegiatan dalam pengukuran, pemetaan dan pendaftaran tanah yang
melibatkan kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan manajemen data menggunakan teknologi
informasi. Dalam Peraturan pemerintah No. 10 Tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah No. 24
tahun tentang Pendaftaran Tanah dapat disimpulkan bahwa pendaftaran tanah di Indonesia
secara tradisional dapat dikatakan merupakan perwujudan dari prinsip-prinsip kadaster lama
yang menekankan proses pendaftaran tanah dalam ruang lingkup satuan bidang tanah.

Terbentuknya kabinet Presiden Abdurachman Wahid pada tahun 1999, secara


serta merta Menteri Negara Agraria dihapus, dan BPN dipimpin oleh seorang Kepala BPN
yang dirangkap Menteri Dalam Negeri. Di era cabinet Presiden Megawati pada 2001, kepala
BPN dijabat oleh seseorang yang diangkat tersendiri, tidak dirangkap oleh Menteri Dalam
Negeri yang kaitannya dengan BPN hanya menteri yang mengkoordinasi BPN saja (Haidar
Ali).

Kegiatan pendaftaran tanah dan pengukuran kadaster berbasis bidang tanahberada


di bawah Kedeputian Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah; sementara itu pengukuran
dan pemetaan kadaster berbasis kewilyahan dan pengembangan keilmuan, yaitu pengukuran
dasar, pemetaan dasar, pemetaan tematik dan survey potensi tanah berada dibawah
Kedeputian Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan.

Kadaster Di Masa Mendatang

Perkembangan kadaster di masa mendatang, tidak akan lepas dari berbagai


permasalahan pertanahan yang jauh lebih kompleks dan banyak tantangan dibandingkan
kondisi saat ini. Perkembangan teknologi dan pengembangan tata ruang dengan sendirinya
berimbas pada penyelenggaraan pertanahan disaat ini dan saat mendatang. Banyak pemikiran
yang berkembang dari periode tahun 1960 sampai tahun 2000-an. Pemikiran kadaster yang
tidak hanya untuk keperluan perpajakan dan pendaftaran tanah semata, konsep kadaster
multiguna, pengelolaan informasi pertanahan berbasis kadaster.

Teknologi pengukuran dan pemetaan dimulai dari pengukuran teritris, foto udara
sampai kepada citra satelit resolusi tinggi yang didukung dengan berbagai teknologi peralatan
pendukungnya (theodolite, Total Station, GPS) terus berkembang dengan pesat.

DAFTAR PUSTAKA

Wenny, Hadwi, dkk. 2012. Kadaster : Masa Lalu dan Masa Mendatang di
Indonesia.Bandung:ITB

Yuni Ikawati, Dwi Ratih Setiawati.2009.Survei Dan Pemetaan Nusantara.Jakarta: Badan


Koordinasi Survei dan Pemetaan Nusantara (BAKOSURTANAL)

Adam, Ridho, dkk. 2016. Kadaster, (Online), (https://www.academia.edu/6397071/Kadaster.


diakses 20 September 2016).

Anda mungkin juga menyukai