Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit batu saluran kemih sudah dikenal sejak zaman Babilonia dan

zaman Mesir kuno. Sebagai salah satu buktinya adalah diketemukan batu pada

kandung kemih seorang mumi. Penyakit ini dapat menyerang penduduk di seluruh

dunia dan tidak terkecuali penduduk di Indonesia. Angka kejadian penyakit ini

tidak sama di berbagai belahan bumi. Di negara-negara berkembang, banyak

dijumpai pasien batu buli-buli sedangkan di negara maju lebih banyak dijumpai

penyakit batu saluran kemih bagian atas. Hal ini karena adanya pengaruh status

gizi dan aktivitas pasien sehari-hari (Haryono, 2013).

Menurut URDS (United Renal Data System) menyebutkan bahwa

prevalensi batu saluran kemih ditandai meningkat dari 4 % menjadi 4,7 % dari

tahun 2010 sampai tahun 2013. Kejadian batu saluran kemih tidak sama di

belahan bumi, bervariasi menurut suku, bangsa dan geografis (URDS, 2013). Pada

data European Assocation of Urology (EAU) sepanjang hidup tingkat resiko batu

saluran kemih sekitar 5-10% dengan laki-laki lebih yang sering dibandingkan

perempuan 3:1 serta puncak insidensi di dekade keempat dan kelima

(Prawira 2015).

Laporan dari Riset Kesehatan Dasar (RIKESDAS) tahun 2013

menyebutkan prevalensi batu saluran kemih berdasarkan kategori yang pernah

didiagnosis di Indonesia sebesar 0,6% dari Penyakit Tidak Menular (PTM) dan

1
merupakan penyakit peringkat terbanyak kedua di bidan urologi. Prevalensi

tertinggi di DI Yogyakarta (1,2%), diikuti aceh (0.9%), Jawa Barat, Jawa Tengah

dan Sulawesi Tengah masig-masing sebesar 0,8%. (Depkes RI, 2013). Sedangkan

di Maluku menurut RIKESDAS tahun 2013 tentang prevalensi batu saluran kemih

≥ 15 tahun berdasarkan dokter, angka kejadian batu saluran kemih di Maluku

mencapai 0,4% (Depkes RI, 2013).

Akibat pengumpulan batu saluran kemih yang dapat membentuk batu

staghorn maka keluhan yang sering dirasakan penderita adalah nyeri pinggang.

Nyeri ini mungkin bisa berupa nyeri kolik maupun nyeri non kolik. Kolik renal

merupakan suatu keadaan emergensi yang sering dan penting pada praktek kesehatan.

Sekitar 5-12% populasi akan menderita batu saluran kemih selama hidup. Gejala

klasik dari kolik renal akut yaitu: nyeri yang menjalar dari pinggang ke paha dan

disertai hematuria mikroskopis (85%), warna urin tidak jernih, mual dan muntah.

Nyeri kolik terjadi karena aktivitas peristaltic otot polos sistem kalises meningkat

dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. Kolik Renal tidak

selalu bertambah dan berkurang atau datang dalam bentuk gelombang tapi juga

dapat bersifat relative constant. Gejala pada kolik renal yang akut tergantung pada

lokasi dan tempat obstruksinya (Haryono, 2013).

Kolik renal dapat menunjukkan adanya obstruksi organ berongga (lumen).

Kolik merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga dan

biasanya disebabkan oleh hambatan pasase dalam saluran kemih dan timbul

karena hipoksia yang dialami oleh jaringan dinding saluran yang dirasakan saat

nyeri kolik sendiri adalah nyeri mendadak yang bersifat tajam, terasa melilit,

2
hilang timbul, tidak berkurang dengan perubahan posisi, penderita dapat gelisah

sampai berguling-guling di tempat tidur (Moore C, 2013).

Managemen nyeri atau pain management adalah salah satu bagian dari

disiplin ilmu medis yang berkaitan dengan upaya-upaya menghilangkan nyeri atau

pain relief. Management nyeri ini menggunakan pendekatan multidisiplin yang

didalamnya termasuk pendekatan farmakologikal (termasuk pain modifiers), non

farmakologikal dan psikologikal. managemen nyeri non farmakologikal

merupakan upaya-upaya mengatasi atau menghilangkan nyeri dengan

menggunakan pendekatan non farmakologi (Syamsiah, 2013).

Salah satu tindakan keperawatan untuk mengurangi rasa nyeri dengan

menggunakan teknik nonfarmakologis adalah relaksasi nafas dalam. Teknik

relaksasi nafas dalam merupakan suatu metode yang efektif untuk mengurangi

nyeri terutama yang sifatnya kronis. Rileks sempurna yang dapat mengurangi

ketegangan otot, rasa jenuh, sehingga mencegah hebatnya stimulasi nyeri.

Prosedur nafas dalam yaitu anjurkan klien untuk tarik nafas dalam dengan pelan,

tahan beberapa detik kemudian lepaskan melalui mulut dan saat menghembuskan

udara, anjurkan klien untuk merasakan relaksasi (Suzanne, 2013).

Teknik relaksasi nafas dalam adalah teknik penyembuhan yang alami dan

merupakan bagian dari strategi holistic self care untuk mengatasi berbagai

keluhan seperti kelelahan, nyeri, gangguan tidur, stress dan kecemasan. Secara

fisiologis latihan nafas dalam akan menstimulasi sistem saraf parasimpatik

sehingga meningkatkan produksi endorphin, menurunkan heart rate,

meningkatkan ekspansi paru sehingga dapat berkembang maksimal dan otot-otot

3
menjadi rileks. Saat kita melakukan latihan nafas dalam, oksigen mengalir ke

dalam pembuluh darah dan seluruh jaringan tubuh, membuang racun dan sisa

metabolisme yang tidak terpakai, meningkatkan metabolisme dan memproduksi

energi. (Sayed, 2014).

Wardani (2015) menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara

rata-rata skala nyeri sebelum (27,92) dan setelah (21,14) diberikan teknik

relaksasi nafas dalam pada pasien kolik renal dengan p value= 0,000. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa teknik relaksasi nafas dalam dapat

menurunkan nyeri pada pasien kolik renal di RSUP DR. M. Djamil Padang.

Hasil wawancara dengan salah satu pasien kolik renal di RSUD dr. M.

Haulussy menjelaskan bahwa nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk dan jika nyeri

mencul pasien sering mengatur posisi tidur melipat kaki serta menahan nafas agar

rasa nyeri sedikit berkurang. Pasien mengatakan nyeri muncul di malam hari pada

saat sedang tidur.

Berdasarkan data dari RSUD dr. M. Haulussy Ambon, jumlah penderita

kolik renal tahun 2014 sebanyak 125 orang, dan 2 orang meninggal, tahun 2015

sebanyak 37 orang, sedangkan pada tahun 2016 berjumlah 18 orang. Dari data

observasi di Ruang Interen Laki RSUD dr. M. Haulussy terdapat lima macam obat

yang digunakan untuk mengobati rasa sakit yang terkait dengan akut kolik renal,

yaitu, obat anti-inflamasi atau NonSteroidal Anti Inflammatory Drugs (NSAID),

analgesik narkotika, calium channel blockers, kortikosteroid, dan α1 blockers.

NSAID dan analgesik narkotika, yang paling sering digunakan. Hasil observasi

yang dilakukan di ruang intern laki, teknik yang biasanya digunakan untuk

4
mengurangi rasa nyeri adalah teknik farmakologis, dibandingkan dengan teknik

nonfarmakologis.

Berdasarkan latar belakang di atas maka saya merasa tertarik untuk menliti

tentang Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Nyeri Pada

Pasien Kolik Renal di RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “apakah teknik relaksasi nafas dalam berpengaruh terhadap

penurunan nyeri pada pasien kolik renal di RSUD dr. M. Haulussy Ambon ?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap

Penurunan Nyeri Pada Pasien Kolik Renal di RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui tingkat nyeri sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam

pada pasien kolik renal di RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

b. Mengetahui tingkat nyeri sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam

pada pasien kolik renal di RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

c. Mengetahui Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan

Nyeri Pada Pasien Kolik Renal di RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

5
D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Teoritis

Sebagai kontribusi pemikiran terhadap pihak-pihak yang ingin melakukan

penelitian dan pengembangan ilmu kesehatan khususnya di bidang

keperawatan.

2. Praktis

a. Bagi Institusi

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dan pertimbangan untuk

diterapkan pada pasien kolik renal di RSUD dr. M. Haulussy

b. Bagi Peneliti

Untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang pengaruh teknik

relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien kolik renal di

RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

c. Bagi Responden

Penelitian ini bermanfaat bagi responden untuk mengetahui cara

meminimalisir nyeri yang dirasakan dengan cara melakukan teknik relaksasi

nafas dalam.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Kolik Renal

1. Definisi Kolik Renal

Kolik didefinisikan sebagai nyeri tajam yang disebabkan oleh

sumbatan, spasme otot polos, atau terputarnya organ berongga. Kolik Renal

berarti sumbatan atau spasme otot pada saluran ginjal atau saluran kencing

(Haryono, 2013).

Kolik renal berasal dari dua kata yaitu “kolik” dan “renal”. Kolik adalah

merupakan nyeri viseral akibat spasme otot polos organ berongga yang umumnya

disebabkan karena hambatan pasase dalam rongga tersebut. Nyeri ini timbul oleh

karena hipoksia, dirasakan hilang timbul, dapat disertai mual dan muntah.

Sedangkan renal adalah ginjal. Kolik renal adalah suatu nyeri hebat pada pinggang

yang disebabkan oleh karena batu di ureter atau di Pelvic Ureter Junction (PUJ)

(urolithiasis) (Tilyard M, 2014).

2. Gejala Kolik Renal

Kolik Renal dirasakan pasien sebagai nyeri yang timbul tiba-tiba dan

memburuk seiring waktu. Penyebaran nyeri ini bergantung pada letak

sumbatan pada saluran kemih dan derajat sumbatan. Sumbatan pada saluran

kencing (ureter) bagian atas menyebabkan nyeri yang menyebar ke pinggang

dan tubuh bagian samping. Sumbatan ureter bagian tengah menyebabkan nyeri

pinggang dan tubuh bagian samping. Sumbatan ureter baagian tengah

7
menyebabkan nyeri pinggang yang menyebar ke perut bagian bawah.

Sumbatan ureter bagian bawah menyebabkan nyeri pinggang yang menyebar

ke selangkangan dan bagian kelamin (testis pada pria dan libia mayor pada

wanita. Sumbatan yang terjadi pada saluran kencing dan kantung kencing

seringkali terjadi menimbulkan gejala nyeri saat berkemih. Penderita kolik

renal umumnya gelisah dan selalu menganti-ganti posisi tubuh untuk mencari

posis yang nyaman. Kolik renal sering diikuti oleh gejala lai seperti mual,

muntah, air seni berwarna cokelat kemerahan, sering merasa buang air kecil,

dan tidak dapat menahan buang air kecil (Haryono, 2013).

3. Penyebab Kolik Renal

Kolik renal paling sering disebabkan oleh sumbatan akibat batu ginjal

(Nefrolitiasis) atau batu ureter namun juga disebabkan oleh sumbatan bekuan

darah. Mekanisme nyeri yang berasal dari ginjal terdiri dari dua tipe yaitu kolik

renal dan non kolik renal. Kolik renal terjadi oleh karena peningkatan tekanan

dinding dan peregangan dari sistem genitourinary. Secara klinis sulit untuk

membedakan kedua tipe ini Peningkatan tekanan pelvis renal oleh karena

obstruksi berupa batu akan menstimulasi sintesis dan pelepasan prostaglandin

yang secara langsung menyebabkan spasme otot ureter (Haryono, 2013).

Serta kontraksi otot polos ureter ini akan menyebabkan gangguan

peristaltik dan pembentukan laktat lokal. Akumulasi dari laktat ini akan

menyebabkan iritasi serabut syaraf tipe A dan C pada dinding ureter. Serabut

syaraf ini akan mengirimkan sinyal ke dorsal root ganglia T11 –L1 dari spinal

cord dan akan diinterprestasikan sebagai nyeri pada korteks serebri. Kolik renal

8
terjadi karena obstruksi dari urinary flow oleh karena BSK, dan diikuti dengan

peningkatan tekanan dinding saluran kemih (ureter dan pelvik), spasme otot

polos ureter, edema dan inflamasi daerah dekat BSK, meningkatnya peristaltik

serta peningkatan tekanan BSK di daerah proksimal (Haryono, 2013).

Peningkatan tekanan di saluran kemih ini serta peningkatan tekanan

aliran darah dan kontraksi otot polos uretra merupakan mekanisme utama

timbulnya nyeri atau kolik ini. Selain itu juga karena terjadinya peningkatan

sensitifitas terhadap nyeri. Peningkatan tekanan di pelvik renal akan

menstimulasi sintesis dan pelepasan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi

dan diuresis di mana hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan intrarenal.

Prostaglandin berperan langsung pada ureter untuk spasme otot polos ureteral.

Permanen obstruksi saluran kemih oleh karena BSK, menyebabkan lepasnya

prostaglandin sebagai respon terhadap inflamasi. Beberapa waktu pertama

obstruksi ini perbedaan tekanan antara glomerulus dan pelvik menjadi sama

sehingga berakibat GFR (Glomerular Filtration Rate) dan aliran darah ginjal

menurun. Jika obstruksi ini tidak diatasi maka dapat terjadi gagal ginjal akut

(acute renal failure) (Golzari S.E, 2014).

4. Fase Kolik Renal

Kolik renal memiliki fase serangan. Fase serangan pertama adalah

fase akut, dimana nyeri umumnya dimulai pada pagi atau malam hari yang

membangunkan penderita pada saat tidur. Jika nyeri terjadi pada siang hari,

nyeri umumnya mulai perlahan. Nyeri pada kolik renal umumnya semakin

9
memburuk seiring waktu, terus menerus dan dapat di sertai dengan nyeri yang

sangat hebat (Haryono, 2013).

Nyeri dapat mencapai intensitas maksimum dalam 3 menit sampai 6

jam setelah timbul pertama kali (rata-rata 1-2 jam). Pada fase kedua adalah fase

konstan, dimana nyeri menetap sampai nyeri diobati atau hilang dengan

sendirinya. Fase ini umumnya berlangsung 1-4 jam atau lebih lama. Fase

ketiga adalah fase akhir yang umumnya berlangsung selama 1-3 jam, dimana

nyeri menghilang dengan cepat (Rahmat, 2015).

B. Konsep Nyeri

1. Definisi Nyeri

Secara umum nyeri adalah suatu hal yang ekstensial (ada) namun

tidak mempunyai substansi (zat pembentuk). Dengan kata lain, nyeri adalah

suatu hal yang dirasakan ada tetapi tidak memiliki bentuk atau abstrak

(Rachmat, 2015).

Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri

sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman perasaan emosional yang tidak

menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau

menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan.

2. Proses Terjadinya Nyeri

Patofisiologi nyeri ini dapat digambarkan sebagai berikut :Reseptor

nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor mencakup ujung-ujung saraf bebas yang

berespon terhadap berbagai rangsangan termasuk tekanan mekanis, deformasi,

suhu yang ekstrim, dan berbagai bahan kimia. Pada rangsangan yang intensif,

10
reseptor-reseptor lain misalnya badan Pacini dan Meissner juga mengirim

informasi yang dipersepsikan sebagai nyeri (Rachmat, 2015).

Zat-zat kimia yang memperparah nyeri antara lain adalah histamin,

bradikini, serotonin, beberapa prostaglandin, ion kalium, dan ion hydrogen.

Masing-masing zat tersebut tertimbun di tempat cedera, hipoksia, atau

kematian sel. Nyeri cepat (fast pain) disalurkan ke korda spinalis oleh serat A

delta, nyeri lambat (slow pain) disalurkan ke korda spinalis oleh serat C

lambat. Serat-serat C tampak mengeluarkan neurotransmitter substansi P

sewaktu bersinaps di korda spinalis. Setelah di korda spinalis, sebagian besar

serat nyeri bersinaps di neuron-neuron tanduk dorsal dari segmen

(Sulistyo, 2013).

Setelah mengaktifkan sel-sel di korda spinalis, informasi mengenai

rangsangan nyeri dikirim oleh satu dari dua jaras ke otak - traktus

neospinotalamikus atau traktus paleospinotalamikus. Informasi yang di bawa

ke korda spinalis dalam serat-serat A delta di salurkan ke otak melalui serat-

serat traktus neospinotalamikus. Sebagian dari serat tersebut berakhir di

reticular activating system dan menyiagakan individu terhadap adanya nyeri,

tetapi sebagian besar berjalan ke thalamus (Sulistyo, 2013).

Dari thalamus, sinyal-sinyal dikirim ke korteks sensorik somatik

tempat lokasi nyeri ditentukan dengan pasti. 24 Informasi yang dibawa ke

korda spinalis oleh serat-serat C, dan sebagian oleh serat A delta, disalurkan ke

otak melalui serat-serat traktus paleospinotalamikus. Serat-serat ini berjalan ke

11
daerah reticular dibatang otak, dan ke daerah di mesensefalon yang disebut

daerah grisea periakuaduktus (Rachmat, 2015).

Serat- serat paleospinotalamikus yang berjalan melalui daerah

reticular berlanjut untuk mengaktifkan hipotalamus dan system limbik. Nyeri

yang di bawa dalam traktus memiliki lokalisasi difus dan menyebabkan distress

emosi berkaitan dengan nyeri (Sulistyo, 2013).

3. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri

a. Usia

Usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri terutama pada anak,

remaja dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara

kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak, remaja dan orang

dewasa bereaksi terhadap nyeri (Zakiyah,2015).

Anak-anak lebih kesulitan untuk memahami nyeri sedangkan orang dewasa

kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan

fungsi (Sulistyo, 2013).

b. Jenis Kelamin

Nyeri bagi seseorang memiliki banyak perbedaan dan hampir sebagian

mengartikan nyeri merupakan hal yang negatif, seperti membahayakan,

merusak dan lain-lain. Keadaan ini lebih sering dipengaruhi oleh jenis

kelamin (Zakiyah, 2015).

Kebutuhan narkotik post operasi pada wanita lebih banyak dibandingkan

dengan pria. Ini menunjukkan bahwa individu berjenis kelamin perempuan

lebih mengartikan negatif terhadap nyeri (Siamiuhidaiat dan DeJong, 2012).

12
c. Kebudayaan

Orang akan belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon

terhadap nyeri. (Siamiuhidaiat dan DeJong, 2012).

d. Pengalaman Masa Lalu Dengan Nyeri

Bagi beberapa orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak

terselesaikan, seperti pada nyeri berkepanjangan atau kronis dan persistem

(Suzanne, 2013).

e. Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan mempunyai hubungan negatif dengan persepsi nyeri,

semakin rendah pendidikan menyebabkan peningkatan intensitas nyeri dan

disabilitas akibat nyeri. Hal tersebut berhubungan dengan strategi coping,

yaitu konsekuensi masing-masing individu untuk menilai suatu keadaan

(Siamiuhidaiat dan DeJong, 2012).

4. Klasifikasi Nyeri

a. Nyeri Akut dan Nyeri Kronik

Nyeri dapat dikelompokkan menjadi nyeri akut dan nyeri kronis.

Nyeri akut biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cedera

spesifik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan penyembuhan. Nyeri

akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga

enam bulan (Siamiuhidaiat dan De Jong, 2012).

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi dalam kurun waktu yang

singkat, biasanya kurang dari 6 bulan. Nyeri akut yang tidak diatasi secara

adekuat mempunyai efek yang membahayakan di luar ketidaknyamanan

13
yang disebabkannya karena dapat mempengaruhi sistem kardiovaskuler,

gastrointestinal, endokrin, dan imonulogik (Andarmoyo, 2013).

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang

satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang

ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak

memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada

penyebabnya (Siamiuhidaiat dan De Jong, 2012).

Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung selama lebih dari 6

bulan. Nyeri kronik berlangsung di luar waktu penyembuhan yang

diperkirakan, karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap

pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Jadi nyeri ini biasanya

dikaitkan dengan kerusakan jaringan (Andarmoyo, 2013).

b. Nyeri Organik

Nyeri organik bisa dibagi menjadi nosiseptif dan nyeri neuropatik.

Nyeri nosiseptif adalah nyeri inflamasi yang dihasilkan oleh rangsangan

kimia, mekanik dan suhu yang menyebabkan aktifasi maupun sensitisasi

pada nosiseptor perifer (saraf yang bertanggung jawab terhadap rangsang

nyeri). Nyeri nosiseptif biasanya memberikan respon terhadap analgesik

opioid atau non opioid, sedangkan nyeri neuropatik merupakan nyeri yang

ditimbulkan akibat kerusakan neural pada saraf perifer maupun pada sistem

saraf pusat yang meliputi jalur saraf aferen sentral dan perifer, biasanya

digambarkan dengan rasa terbakar dan menusuk. Pasien yang mengalami

14
nyeri neuropatik sering memberi respon yang kurang baik terhadap

analgesik opioid (Meghana, 2012).

c. Nyeri Viseral

Nyeri viseral biasanya menjalar dan mengarah ke daerah permukaan

tubuh jauh dari tempat nyeri namun berasal dari dermatom yang sama

dengan asal nyeri. Sering kali, nyeri viseral terjadi seperti kontraksi ritmis

otot polos. Nyeri viseral seperti keram sering bersamaan dengan

gastroenteritis, penyakit kantung empedu, obstruksi ureteral, menstruasi,

dan distensi uterus pada tahap pertama persalinan. Nyeri viseral, seperti

nyeri somatik dalam, mencetuskan refleks kontraksi otot-otot lurik sekitar,

yang membuat dinding perut tegang ketika proses inflamasi terjadi pada

peritoneum (Meghana, 2102).

Nyeri viseral karena invasi malignan dari organ lunak dan keras

sering digambarkan dengan nyeri difus, menggrogoti, atau keram jika

organ lunak terkena dan nyeri tajam bila organ padat terkena Penyebab

nyeri viseral termasuk iskemia, peregangan ligamen, spasme otot polos,

distensi struktur lunak seperti kantung empedu, saluran empedu, atau ureter

(Meghana, 2102).

Distensi pada organ lunak terjadi nyeri karena peregangan jaringan

dan mungkin iskemia karena kompresi pembuluh darah sehingga

menyebabkan distensi berlebih dari jaringan. Rangsang nyeri yang berasal

dari sebagian besar abdomen dan toraks menjalar melalui serat aferen yang

berjalan bersamaan dengan sistem saraf simpatis, dimana rangsang dari

15
esofagus, trakea dan faring melalui aferen vagus dan glossopharyngeal,

impuls dari struktur yang lebih dalam pada pelvis dihantar melalui nervus

parasimpatis di sacral (Meghana, 2102).

Impuls nyeri dari jantung menjalar dari sistem saraf simpatis ke

bagian tengah ganglia cervical, ganglion stellate, dan bagian pertama dari

empat dan lima ganglion thorasik dari sistem simpatis. Impuls ini masuk ke

spinal cord melalui nervus torak ke 2, 3, 4 dan 5 Penyebab impuls nyeri

yang berasal dari jantung hampir semua berasal dari iskemia miokard.

Parenkim otak, hati, dan alveoli paru adalah tanpa reseptor. Adapun,

bronkus dan pleura parietal sangat sensitif pada nyeri (Meghana, 2102).

d. Nyeri Somatik

Nyeri somatik digambarkan dengan nyeri yang tajam, menusuk,

mudah dilokalisasi dan rasa terbakar yang biasanya berasal dari kulit,

jaringan subkutan, membran mukosa, otot skeletal, tendon, tulang dan

peritoneum. Nyeri insisi bedah, tahap kedua persalinan, atau iritasi

peritoneal adalah nyeri somatik. Penyakit yang menyebar pada dinding

parietal, yang menyebabkan rasa nyeri menusuk disampaikan oleh nervus

spinalis. Pada bagian ini dinding parietal menyerupai kulit dimana

dipersarafi secara luas oleh nervus spinalis (Muhtz, 2012).

Adapun, insisi pada peritoneum parietal sangatlah nyeri, dimana

insisi pada peritoneum viseralis tidak nyeri sama sekali. Berbeda dengan

nyeri viseral, nyeri parietal biasanya terlokalisasi langsung pada daerah

yang rusak. Munculnya jalur nyeri viseral dan parietal menghasilkan

16
lokalisasi dari nyeri dari viseral pada daerah permukaan tubuh pada waktu

yang sama (Muhtz, 2012).

Sebagai contoh, rangsang nyeri berasal dari apendiks yang inflamasi

melalui serat – serat nyeri pada sistem saraf simpatis ke rantai simpatis lalu

ke spinal cord pada T10 ke T11. Nyeri ini menjalar ke daerah umbilikus

dan nyeri menusuk dan kram sebagai karakternya. Sebagai tambahan,

rangsangan nyeri berasal dari peritoneum parietal dimana inflamasi

apendiks menyentuh dinding abdomen, rangsangan ini melewati nervus

spinalis masuk ke spinal cord pada L1 sampai L2. Nyeri menusuk berlokasi

langsung pada permukaan peritoneal yang teriritasi di kuadran kanan

bawah (Muhtz, 2012).

5. Pengkajian Keperawatan Tentang Nyeri

Pengkajian keperawatan tentang nyeri (Siamiuhidaiat dan De Jong, 2012).

a. Deskripsi Verbal Tentang Nyeri

Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya dan

karenanya harus diminta untuk menggambarkan dan membuat tingkatannya.

Informasi yang diperlukan harus menggambarkan nyeri individual dalam

beberapa cara:

b. Intensitas Nyeri

Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal

(misalnya tidak nyeri, sedikit nyeri, hebat atau sangat hebat, dengan skala

perbandingan 0 -10, dimana 0 = tidak nyeri, 10 = nyeri sangat hebat).

17
c. Karakteristik Nyeri

Termasuk letak , durasi (menit, jam, hari, bulan, tahun), irama (terus-

menerus, hilang timbul, periode bertambah dan berkurangnya intensitas atau

keberadaan nyeri), dan kualitas (misalnya : nyeri seperti ditusuk, seperti

terbakar).

d. Faktor- Faktor Yang Meredakan Nyeri (Memperingan)

Misalnya dengan gerakan, kurang bergerak, pengerahan tenaga, istirahat,

obat-obatan bebas) dan apa yang dipercaya oleh pasien dan keluarga dapat

mengatasi nyerinya.

e. Efek Terhadap Aktifitas Sehari – hari

Misalnya apakah sudah mengganggu istirahat tidur, nafsu makan,

konsentasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja, aktivitas-

aktivitas santai. Nyeri akut sering berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis

dengan depresi.

f. Kekhawatiran Individu Terhadap Intensitas Nyeri

Dapat meliputi bebagai masalah yang luas, seperti beban ekonomi,

prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri.

Beberapa skala yang dapat digunakan untuk mengukur intensitas nyeri,

menurut Smeltzer dan Suzanne, (2013) adalah sebagai berikut:

1) Skala Intensitas Nyeri Deskriptif

18
G

ambar 2.1 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif

2) Skala Intensitas Nyeri Numerik (NRS)

Ga

mbar 2.2 Skala Intensitas Nyeri Numerik

3) Visual Analog Scale (VAS)

Ga

mbar 2.3 Visual Analog Scale

6. Penatalaksanaan Nyeri Dengan Teknik Farmakologi

Penatalaksanaan nyeri secara farmakologi melibatkan penggunaan opiat

(narkotik), nonopiat/ obat AINS (anti inflamasi nonsteroid), obat-obat adjuvans

atau koanalgesik. Analgesik opiat mencakup derivat opium, seperti morfin dan

kodein. Narkotik meredakan nyeri dan memberikan perasaan euforia. Semua

opiat menimbulkan sedikit rasa kantuk pada awalnya ketika pertama kali

diberikan, tetapi dengan pemberian yang teratur, efek samping ini cenderung

menurun. Opiat juga menimbulkan mual, muntah, konstipasi, dan depresi

19
pernapasan serta harus digunakan secara hati-hati pada klien yang mengalami

gangguan pernapasan (Muhtz, 2012).

Nonopiat (analgesik non-narkotik) termasuk obat AINS seperti aspirin

dan ibuprofen. Nonopiat mengurangi nyeri dengan cara bekerja di ujung saraf

perifer pada daerah luka dan menurunkan tingkat mediator inflamasi yang

dihasilkan di daerah luka (Muhtz, 2012).

Analgesik adjuvans adalah obat yang dikembangkan untuk tujuan selain

penghilang nyeri tetapi obat ini dapat mengurangi nyeri kronis tipe tertentu

selain melakukan kerja primernya. Sedatif ringan atau obat penenang, sebagai

contoh, dapat membantu mengurangi spasme otot yang menyakitkan,

kecemasan, stres, dan ketegangan sehingga klien dapat tidur nyenyak.

Antidepresan digunakan untuk mengatasi depresi dan gangguan alam perasaan

yang mendasarinya, tetapi dapat juga menguatkan strategi nyeri lainnya

(Andarmoyo, 2013).

Dalam penatalaksanaan nyeri, diagnosis spesifik untuk menentukan tipe

nyeri akan sangat membantupemilihan analgesik atau terapi lain. Diagnosis

yang spesifik tersebut juga mengarahkan pengertian atas penyebab rasa nyeri.

Bila nyeri disebabkan oleh penyakit vaskuler perifer, misalnya, obat-obat untuk

memperbaiki sirkulasi, kompres hangat, perlindungan pada daerah ekstremitas,

dan pemberian perhatian yang lebih pada daerah kulit dan kuku, sedangkan

obat yang mengganggu sirkulasi jarus dihentikan (Rachmat, 2015).

Nyeri terus menerus yang membaik dengan obat lebih baik diberikan

dosis teratur dengan interval yang tepat untuk mendapatkan efek obat yang

20
menetap selama 24 jam. Menunggu sampai nyeri menjadi berat sebelum

diberikan obat akan menyebabkan waktu yang lebih lama untuk mengontrol

rasa nyeri dan seringkali membuat penderita akan sangat terfokus pada rasa

nyeri tersebut. Efek samping harus sudah diperkirakan dan sebaiknya diadakan

tindakan pencegahan. Konstipasi merupakan efek samping yang sering

(terutama dengan opiat), sedasi dan konfusio, dispepsia (obat AINS) (Sulistyo,

2013).

Parasetamol dan aspirin merupakan analgesik sederhana, dimana aspirin

juga mempunyai efek anti-inflamasi. Dalam penatalaksanaan nyeri, aspirin

tidak lebih baik dari obat AINS lain dan penggunaannya tidak di

rekomendasikan untuk pemakaian rutin yang teratur. Parasetamol merupakan

analgesik yang paling sering digunakan, aman dan dapat diberikan secara

teratur. Metabolismenya melalui glukuronidasi yang pada usia lanjut tidak

berubah kapasitasnya. Hepatotoksisitas terjadi pada dosis yang lebih tinggi,

dan dosis 4 g/hari merupakan dosis maksimal harian. Kadang-kadang dosis

sampai 6 g/hari biisa diberikan, akan tetapi dosis tinggi seperti itu sebaiknya

tidak diberikan dalam jangka panjang. Apabila penekanan nyeri memerlukan

dosis sampai 6 g/hari, maka parasetamol dengan dosis yang lebih rendah yang

dikombinasi dengan fosfat kodein seringkali akan memberikan penyembuhan

nyeri yang lebih baik (Rachmat, 2015).

Obat AINS merupakan analgesik efektif dengan daya anti-inflamasi. Obat

ini sering digunakan pada artritis dan nyeri muskuloskeletal serta keluhan nyeri

lain yang berdasar atas peradangan. Untuk pemakaian pada usia lanjut, harus

21
diperhatikan bahwa ekskresi ginjal sudah menurun, oleh karena itu obat AINS

yang diekskresikan lewat ginjal (diflunisal, indometasin, naproksen, dan

ketoprofen) harus diberikan dengan agak hati-hati. Perlu diperhatikan pula efek

samping pada saluran cerna, yang seringkali meningkat dengan lunjutnya usia.

Efek samping lain yang dapat terjadi antara lain konfusio, tinnitus, agitasi dan

retensi cairan. Pada usia lanjut, harus diperhatikan bahwa terapi dengan obat

AINS tidak harus diberikan selamanya, dan secara periodik harus diadakan

reviu. Apabila inflamasi sudah terkontrol, fisioterapi mungkin dapat

mempertahankan fungsi tubuh dan analgesik sederhana sudah cukup untuk

mengobati nyeri ringan yang timbul (Rachmat, 2015).

C. Konsep Teknik Relaksasi Nafas Dalam

1. Definisi Teknik Relakasasi Nafas Dalam

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan

keperawatan, yang dalam hal ini perawat mengajarkan kepada klien bagaimana

cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara

maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat

menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas dalam juga dapat

meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi darah

(Siamiuhidaiat dan De Jong, 2012).

2. Manfaat dan Tujuan Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Tujuan dari teknik relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan

ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru,

meningkatkan efisiensi batuk mengurangi stress baik stress fisik maupun

22
emosional yaitu menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan.

Sedangkan manfaat yang dapat dirasakan oleh klien setelah melakukan teknik

relaksasi nafas dalam adalah dapat menghilangkan nyeri, ketenteraman hati,

dan berkurangnya rasa cemas (Siamiuhidaiat dan De Jong, 2012).

Tujuan nafas dalam adalah untuk mencapai ventilasi yang lebih

terkontrol dan efisien serta untuk mengurangi kerja bernafas, meningkatkan

inflasi aveolar maksimal, meningkatkan reaksi otot, menghilangkan ansietas

menyingkirkan pola aktivitas otot-otot pernafasan yang tidak berguna, tidak

terkoordinasi, melambatkan frekuensi pernafasan, mengurangi udara yang

terperangkap serta mengurangi kerja bernafas (Suzanne, 2013).

3. Prosedur Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Bentuk pernafasan yang digunakan pada prosedur ini adalah pernafasan

diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diafragma selama inspirasi

yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas sejalan dengan desakan

udara masuk selama inspirasi (Rahmat., 2015).

Rahmat (2015) menyatakan bahwa langkah-langkah teknik relaksasi nafas

dalam adalah sebagai berikut :

a. Usahakan rileks dan tenang.

Menarik nafas yang dalam melalui hidung dengan hitungan 1,2,3, kemudian

tahan sekitar 5-10 detik.

b. Hembuskan nafas melalui mulut secara perlahan-lahan.

c. Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskannya lagi melalui

mulut secara perlahan-lahan.

23
d. Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang.

e. Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali.

4. Faktor Yang Mempengaruhi Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap

Penurunan Nyeri

Teknik relaksasi nafas dalam dipercaya dapat menurunkan intensitas nyeri

melalui mekanisme yaitu (Rahmat, 2015) :

a. Dengan merelaksasikan otot-otot skeletal yang mengalami spasme yang

disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi

pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang

mengalami spasme dan iskemik.

b. Teknik relaksasi nafas dalam dipercayai mampu merangsang tubuh untuk

melepaskan opioid endogen yaitu endorphin dan enkefalin.

Pernyataan lain menyatakan bahwa penurunan nyeri oleh teknik relaksasi

nafas dalam disebabkan ketika melakukan relaksasi nafas dalam untuk

mengendalikan nyeri sehingga dapat meningkatkan konsentrasi membuat

klien merasa tenang untuk mengatur ritme pernafasan menjadi teratur.

Secara fisiologis latihan nafas dalam akan menstimulasi sistem syaraf

parasimpatik sehingga meningkatkan produksi endorphin, menurunkan heart rate,

meningkatkan ekspansi paru sehingga dapat berkembang maksimal dan otot-otot

menjadi rileks. Saat kita melakukan latihan nafas dalam, oksigen mengalir ke

dalam pembuluh darah dan seluruh jaringan tubuh, membuang racun dan sisa

metabolisme yang tidak terpakai, meningkatkan metabolism dan memproduksi

24
energi. Latihan nafas dalam akan memaksimalkan jumlah oksigen yang masuk

dan disuplai ke seluruh jaringan sehingga tubuh dapat memproduksi energi dan

menurunkan level kelelahan (Sayed, 2014).

D. Kerangka Konsep

Nyeri Nyeri
Teknik
Pre test Relaksasi Post test
Nafas Dalam

Gambar 2.4 Kerangka Konsep

Keterangan :

: Variabel Dependen

: Variabel Independen

E. Hipotesis Penelitian

H0 : Tidak ada pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan

Nyeri Pada Pasien Kolik Renal di RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

Ha : Ada Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Nyeri

Pada Pasien Kolik Renal di RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

25
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain Analitik Eksperimental (quasi

eksperimental). Rancangan yang digunakan adalah One Group design pretest –

posttest. Dengan demikian skala nyeri diukur sebelum dan sesudah pemberian

teknik relaksasi nafas dalam (Sugiyono, 2013).

Pre Test Intervensi Post Test

Kelompok T1 X T2

Gambar 3.1 Desain penelitian one group pretest-posttest

Keterangan :

T1 : Pengukuran pertama (Pre test)

X : Intervensi atau eksperimen

T2 : Pengukuran kedua (Post Test)

B. Waktu Dan Tempat Penelitian

1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September sampai bulan Oktober 2017.

2. Tempat Penelitian

26
Penelitian ini dilakukan di RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

C. Populasi Dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari subjek penelitian (Arikunto, 2013). Dengan

demikian populasi pada penelitian ini adalah semua pasien kolik renal di

RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi

tersebut bila populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua

yang dimiliki oleh populasi (Sugiyono, 2013).

a. Teknik Pengambilan Sampel

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Accidental

Sampling dimana pengambilan sampel dilakukan dengan mengambil kasus

atau responden yang kebetulan ada atau tersedia (Nursalam, 2013).

Dari data tentang Teknik pengambilan sampel di atas akan diseleksi kriteria

sampel yang terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria eksklusi. Sampel pada

penelitian ini ditentukan berdasarkan kriteria inklusi yaitu karakteristik

umum subyek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau oleh

peneliti. Pemilihan sampel berdasarkan kriteria yaitu :

1. Kriteria Inklusi

a) Pasien kolik renal yang pada saat itu belum diberi obat anti nyeri.

b) Pasien yang kooperatif.

27
c) Bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.

2. Kriteria Ekslusi

a) Pasien kolik renal yang pada saat itu sudah diberikan obat anti nyeri

b) Pasien yang tidak kooperatif.

D. Variabel Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu satu variabel Independen dan satu

variabel Dependen:

1. Variabel Independen

Variable Independen pada penilitian ini adalah Teknik Relaksasi Nafas Dalam.

2. Variabel Dependen

Variable Dependen pada penelitian ini adalah Penurunan Nyeri.

E. Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional

No. Variabel Defenisi Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Operasional

1. Teknik Suatu bentuk tidakan, SOP Teknik relaksasi -


Relaksasi mengajarkan kepada Teknik nafas dalam
Nafas Dalam responden cara Relaksasi dilakukan dengan
melakukan nafas Nafas Dalam benar
dalam, nafas lambat
dan hembuskan nafas
secara perlahan.

28
2. Nyeri Pengalaman sensasi Numeral Hasil ukur skala nyeri Rasio
maupun emosional Rating Scale dari 0-10, sebelum
yang dirasakan oleh dan Wong dan sesudah
responden tidak Breaker. diberikan teknik
menyenangkan akibat relaksasi nafas dalam.
kerusakan jaringan
aktual atau potensial.

Sumber : Data Primer, 2018

F. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dalam penelitian adalah mendapatkan data

(Sugiyono, 2013). Prosedur penelitian meliputi tiga tahap yaitu tahap persiapan,

tahap pelaksanaan, dan tahap evaluasi atau tahap akhir :

a. Tahap persiapan

Sebelum peneliti terjun ke tempaat penelitian, peneliti melakukan persiapan

seperti di bawah ini :

1) Peneliti meminta surat keterangan dari Program Studi Ilmu Keperawatan

untuk melakukan studi pendahuluan di RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

2) Setelah mendapat ijin dari RSUD dr. M. Haulussy Ambon, peneliti

melakukan studi pendahuluan.

3) Selanjutnya peneliti menyusun proposal hingga seminar proposal

4) Peneliti meminta surat ijin dari program studi Ilmu Keperawatan untuk

diserahkan ke Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi

Maluku dan tembusan ke RSUD dr. M. Haulussy Ambon.

5) Peneliti bekerja sama dengan perawat dan para pasien kolik renal di

RSUD dr. M. Haulussy Ambon dalam penelitian guna mengumpulkan

29
data tentang pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap perubahan

nyeri.

b. Tahap pelaksanaan

1) Peneliti menemui calon responden dan menjelaskan tentang tujuan dan

manfaat penelitian sekaligus meminta responden untuk menandatangani

lembar informed consent.

2) Jika calon responden menyetujui untuk menjadi responden dalam

penelitian, peneliti meminta responden untuk menandatangani lembar

informed consent.

3) Peneliti melakukan pengukuran skala nyeri sebelum melakukan intervensi

teknik relaksasi nafas dalam, setelah itu peneliti memberikan intervensi

teknik relaksasi nafas dalam kepada responden kemudian melakukan

pengukuran skala nyeri setelah intervensi teknik relaksasi nafas dalam.

c. Tahap akhir

1) Setelah semua data dikumpulkan, peneliti melakukan analisis dan

pembahasan dari hasil yang dilakukan.

2) Selanjutnya dilakukan pengolahan data.

3) Setelah pengolahan data, peneliti bisa menarik kesimpulan dari data

tersebut.

G. Instrumen Penelitian

30
Intrumen penelitian merupakan alat-alat yang digunakan dalam

pengumpulan data. Alat-alat pengumpulan penelitian dapat berupa koesioner

(daftar pertanyaan), formulir observasi, dan formulir-formulir lain yang berkaitan

dengan pencatatan data. Instrumen penelitian yang digunakan peneliti dalam

penelitian ini adalah :

1. Kuesioner

Kuesioner penelitian ini meliputi identitas responden, anamnesis, dan

pemeriksaan umum yang mampu menggambarkan karakteristik dari responden.

Responden mengisi kuesioner penjaringan sampel dengan cara melingkar atau

memberi cek list (√).

2. Lembar Observasi

Lembar Observasi diisi oleh peneliti dengan menuliskan pelaksanaan terapi

teknik relaksasi nafas dalam dan hasil pengukuran skala nyeri sebelum dan

sesudah diberikannya teknik relaksasi nafas dalam.

H. Pengolahan Data

Pengolahan data menurut (Notoatmodjo, 2012) antara lain :

1. Editing

Editing data utuk memastikan bahawa data yang diperoleh sudah terisi

lengkap, tulisan cukup jelas terbaca, jawaban relevan dengan pertanyaan, dan

konsisten. Dilakukan dengan cara mengoreksi data yang telah diperoleh.

2. Coding

Coding merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data

31
berbentuk angka atau bilangan. Setiap data diberikan kode-kode tertentu agar

memudahkan pengolahan data.

3. Entry data

Entry data merupakan suatu proses memasukan data ke computer untuk

selanjutnya dilakukan analisis data dengan menggunakan program computer.

4. Cleaning

Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan kembali data

yang sudah dientry apakah ada kesalahan atau tidak.

I. Analisis Data

Data yang sudah diolah kemudian dianalis meliputi :

1. Analisis Univariat

Tujuan Analisis Univariat dalah untuk mendeskripsikan distribusi dari

masing-masing variabel yang diteliti. Pada penelitian ini variabel yang

dideskripsikan melalui analisis univariat adalah variable dependen, yaitu :

perubahan nyeri dan variabel independen, yaitu : pengaruh teknik relaksasi

nafas dalam. Data yang diperoleh kemudian dihitung jumlah dan presentase

masing-masing kelompok dan disajikan dengan menggunakan tabel serta

diinterprestasikan (Notoatmodjo, 2012).

2. Analisis Bivariat

Analisis Bivariat dilakukan dengan uji T test berpasangan dengan

membandingkan rata-rata dua variable antara lain variable bebas teknik

relaksasi nafas dalam dan variable terikat nyeri, untuk suatu grup sampel

32
tunggal. Uji ini bertujuan menguji tiap kasus dan menguji apakah selisih rata-

rata tersebut bernilai 0. Kriteria data untuk uji sampel T berpasangan :

a. Data untuk tiap pasang yang diuji dalam skala interval atau rasio.

b. Data berdistribusi normal.

c. Nilai variannya dapat sama ataupun tidak.

Uji seperti ini dilakukan pada subjek untuk situasi sebelum dan sesudah (pre

test dan post test). Dengan demikian skala nyeri diukur sebelum dan sesudah

diberikan tindakan teknik relaksasi nafas dalam (Notoatmodjo, 2012).

J. Etika Penelitian

Menurut Soekidjo (2012) dalam melakukan penelitian, peneliti perlu

membawa rekomendasi dari institusi untuk pihak lain dengan cara mengajukan

permohonan izin kepada institusi lembaga tempat penelitian yang diajukan oleh

peneliti. Setelah mendapat persetujuan, barulah peneliti dapat melakukan

penelitian dengan mengedepankan masalah etika yang meliputi :

1. Persetujan (Informed Consent)

Informend Consent merupakan persetujuan antara peneliti dan responden

penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Sebelum melakukan

penelitian, peneliti memberikan penjelasan kepada responden dan meminta

persetujuan responden terlebih dahulu.

2. Tanpa Nama (Anomity)

Setiap responden akan dijaga kerahasiaan atas informasi yang diberikan.

Peneliti tidak akan mencantumkan nama responden tetapi pada lembar tersebut

diberi kode.

33
3. Kerahasiaan (Confidentiality)

Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok

data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

RSUD dr. M. Haulussy Ambon memiliki dua jenis jasa pelayanan meliputi

instalasi rawat jalan dan instalasi rawat inap. Penelitian ini dilakukan terhadap

penderita kolik renal di instalasi rawat inap antara lain ruang interen laki, interen

wanita, bedah laki, dan bedah wanita. Berdasarkan hasil penelitian sampel yang

diperoleh sebanyak 12 responden.

B. Hasil Penelitian

1. Analisis Univariat

a. Karakteristik Responden

1) Umur

Karakteristik responden berasarkan umur dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Umur di RSUD dr. M.


Haulussy Ambon Tahun 2017

Karaktersitik Mean Median Minimal Maximal

Umur 40.33 42.00 21 50


Sumber : Data Primer, 2018

34
Berdasarkan tabel 4.1 menunjukan bahwa nilai rata-rata umur adalah

40.33. Umur terendah adalah 21 tahun dan tertinggi adalah 50 tahun. Anak-

anak lebih kesulitan untuk memahami nyeri kolik renal sedangkan orang

dewasa kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami

kerusakan fungsi (Sulistyo, 2013).

2) Jenis Kelamin

Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada

tabel 4.2

Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di


RSUD dr. M. Haulussy Ambon Tahun 2017
Jenis Kelamin n %

Laki-laki 8 66.7
Perempuan 4 33.3
Total 12 100.0
Sumber : Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa sebagian besar

responden berjenis kelamin laki-laki yaitu 8 orang (66.7%). Laki-laki

lebih beresiko mengalami kolik renal. Laki-laki lebih banyak bekerja di

luar ruangan dan mungkin ditambah kebiasaan minum air yang kurang

(Hadiansyah, 2013).

3) Pendidikan

Karakteristik responden berdasarkan pendidikan dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di RSUD


dr. M. Haulussy Ambon Tahun 2017

35
Pendidikan n %

SD 2 16.7

SMP 3 25.0

SMA 4 33.3

PT 3 25.0

Total 12 100.0
Sumber : Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.3. menunjukkan bahwa distribusi responden

berdasarkan pendidikan terbanyak pada SMA sebanyak 4 orang (33.3%).

Menurut Hadiansyah (2013), semakin tinggi pendidikan seseorang akan

memberikan kemampuan dalam menerima dan menerapkan informasi

khususnya pencegahan dan penatalaksanaan kolik renal. Walaupun latar

belakang pendidikannya cukup tinggi tetapi informasi dan pengetahuan

pasien masih kurang tentang penyakit kolik renal sehingga kurang

memahami dalam mencegah maupun mengobati penyakit kolik renal.

b. Variabel Penelitian

1) Pengukuran skala sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam

Data hasil pengukuran skala nyeri sebelum dilakukan teknik

relaksasi nafas dalam di tempat penelitian dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4.4. Distribusi Skala Nyeri Sebelum Dilakukan Teknik


Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien Kolik Renal di
RSUD dr. M. Haulussy Ambon Tahun 2017

36
Skala Nyeri n %

Nyeri Sedang 5 41.7


Nyeri Berat 7 58.3

Total 12 100.0

Sumber : Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.4 menunjukan bahwa distribusi skala nyeri

sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam terbanyak pada kategori

nyeri berat sebanyak 7 orang (58.3%) dan sebagian kecil pada kategori

nyeri sedang sebanyak 5 orang (47.7%).

2) Pengukuran skala nyeri sesudah dilakukan teknik relaksasi dalam

Data hasil pengukuran skala nyeri sesudah dilakukan teknik

relaksasi nafas dalam di tempat penelitian dapat dilihat pada tabel 4.5.

Tabel 4.5. Distribusi Skala Nyeri Sesudah Dilakukan Teknik


Relaksasi Nafas Dalam Pada Pasien Kolik Renal di RSUD
dr. M. Haulussy Ambon Tahun 2017
Skala Nyeri n %

Nyeri Ringan 5 41.7


Nyeri Sedang 7 58.3

Total 12 100.0

Sumber : Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.5 menunjukan bahwa distribusi skala nyeri

sesudah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam terbanyak pada kategori

37
nyeri sedang sebanyak 7 orang (58.3%) dan sebagian kecil pada kategori

nyeri ringan sebanyak 5 orang (47.7%).

3) Uji normalitas data

Data hasil uji normalitas pengaruh teknik relaksasi nafas dalam

terhadap penurunan nyeri pada pasien kolik renal di RSUD dr. M.

Haulussy Ambon tahun 2017.

Tabel 4.6. Uji Normalitas Data Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas


Dalam Terhadap Penurunan Nyeri Pada Pasien Kolik
Renal di RSUD dr. M. Haulussy Ambon Tahun 2017

Uji Normalitas Data


Variabel Shapiro Wilk Keterangan
Skala Nyeri Pretest 0.123 Normal
Skala Nyeri Posttest 0.433 Normal
Sumber : Data Primer, 2018

Dari hasil tabel 4.6 menunjukan bahwa hasil uji normalitas yang

diperoleh, skala nyeri pretest dan posttest semuanya lebih dari (0.05),

dengan hasil skala nyeri pretest (0.123) dan nyeri posttest (0.433).

sehingga dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal dan uji yang

digunakan adalah Uji T-Test.

2. Analisis Uji T-test

Analisis uji T-Test digunakan untuk mengetahui pengaruh teknik

relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien kolik renal.

Tabel 4.7. Hasil Uji T-Tes Skala Nyeri Responden Sebelum dan
Sesudah di Lakukan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Pada
Pasien Kolik Renal 2017

38
n Mean SD t p-value

Skala nyeri pretest- 12 6.67 1.073


9.869 0.000
skala nyeri posttest 12 3.92 1.165
Sumber : Data Primer, 2018

Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa rata-rata nilai mean

pada skala nyeri sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam adalah

6.67 dengan standar deviasi yaitu 1.073. Rata-rata nilai mean pada skala

nyeri sesudah dilakukan teknik relaksasi adalah 3.92 dengan standar

deviasi 1.165. Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.6 diketahui bahwa

nilai p = 0,000 < α = 0,05 yang berarti bahwa ada pengaruh teknik

relaksasi nafas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien kolik renal di

RSUD dr. M. Haulussy Ambon Tahun 2017.

C. Pembahasan

1. Skala Nyeri Sebelum Diberikan Teknik Relaksasi Nafas Dalam

Hasil pengukuran skala nyeri pada tabel 4.7 dapat diketahui skala nyeri

Pretest yaitu 6.67. Berdasarkan nilai rata-rata skala nyeri pretest, maka tingkat

nyeri responden sebelum penerapan teknik relaksasi nafas dalam pada

penelitian ini yaitu nyeri berat. Dalam penelitian ini, responden terbanyak yang

mengalami kolik renal yaitu reponden dengan kelompok umur 30-40 tahun.

Anak-anak lebih kesulitan untuk memahami nyeri sedangkan orang dewasa

kadang melaporkan nyeri jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi

(Sulistyo, 2013).

39
Penelitian Widiati (2013) tentang pengaruh teknik relaksasi nafas dalam

terhadap penerunan intensitas nyeri pada pasien batu saluran kemih di Rumah

Sakit UNIPDU Medika Jombang, penelitian dilakukan terhadap 10 responden

menunjukan sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam, sebagian besar

responden mengalami nyeri berat sebanyak 6 orang (60%) sedangkan setelah

melakukan teknik relaksasi nafas dalam sebagian besar responden mengalami

nyeri sedang berjumlah 7 orang (70%). Hasil uji Wilcoxon dengan tingkat

signifikasi α= 0.05 hasil yang diperoleh adalah 0.03 < 0.05 yang berarti ada

pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan intensitas nyeri

pada pasien batu saluran kemih di Rumah Sakit UNIPDU Medika Jombang.

Peneliti berpendapat bahwa interaksi dari beberapa macam respon nyeri

diatas pada masing-masing individu mempengaruhi perbedaan nilai rata-rata

skala nyeri pasien kolik renal pada penelitian ini. Sehubungan dengan

observasi yang dilakukan oleh peneliti di tempat penelitian, bahwa ternyata

responden berdasarkan kelompok jenis kelamin yaitu laki-laki lebih banyak

menderita kolik renal dibandingkan dengan perempuan, hal ini juga didukung

oleh pendapat Hadiansyah (2013), yang menyatakan bahwa laki-laki memiliki

kebiasaan yang beresiko menyebabkan batu saluran kemih, hal ini dapat

menimbulkan nyeri berupa kolik renal. Laki-laki lebih banyak bekerja di luar

ruangan dan mungkin ditambah kebiasaan minum air yang kurang.

2. Skala Nyeri Sesudah Diberikan Teknik Relaksasi Nafas Dalam

40
Hasil pengukuran skala nyeri pada tabel 4.7 dapat diketahui skala nyeri

Posttest yaitu 3.92. Hasil ini menunjukkan bahwa terdapat penurunan skala

nyeri rata-rata setelah penerapan teknik relaksasi nafas dalam.

Teknik relaksasi nafas dalam dapat meningkatkan ventilasi paru dan

meningkatkan oksigenasi darah (Siamiuhidaiat dan De Jong, 2012). Beberapa

tujuan dan manfaat teknik relaksasi nafas dalam yang dikutip dari Suzanne

(2013), dengan relaksasi nafas dalam diharapkan ventilasi paru bertambah

baik, tubuh kaya akan oksigen, maka diharapkan metabolisme dapat berjalan

baik dan otak akan relaksasi, sehingga impuls nyeri yang diterima akan diolah

dengan baik dan diinterpretasikan sehingga nyeri berkurang atau hilang.

Penelitian Lukman (2013) tentang pengaruh teknik relaksasi nafas dalam

terhadap intensitas nyeri pada pasien nefrolitiasis di RSUD. Prof. Dr. Hi. Aloei

Saboe Kota Gorontalo. Penelitian yang dilakuan terhadap 39 responden

menunjukkan bahwa skala nyeri sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas

dalam, frekuensi terbanyak yakni pada skala nyeri 5 (Nyeri Hebat) dengan

frekuensi 29 responden atau presentase 74,36%, sedangkan skala nyeri setelah

dilakukan teknik relaksasi nafas dalam yang terbanyak yakni pada skala 2

(nyeri ringan) dengan presentase 61,54%, dengan total 24 responden, dan 2

responden menunjukkan skala nyeri 4 (nyeri sedang) dengan presentase 5,13%.

Hal ini menandakan bahwa terjadi penurunan skala intensitas nyeri pada setiap

pasien post operasi sectio caesaria. Uji statistik Wilcoxon Signed Rank Test

yang diperoleh besar nilai Z (bassed of posstive ranks) yakni -5.591a dengan

signifikan p value 0.000 < 0.05 dengan demikian terdapat pengaruh yang

41
signifikan antara teknik relaksasi nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada

pasien nefrolitiasis di RSUD. Prof. Dr. Hi. Aloei Saboe Kota Gorontalo.

Berdasarkan hasil analisis peneliti terhadap responden sesudah diberikan

teknik relaksasi nafas dalam, dapat disimpulkan bahwa responden yang

memiliki perubahan pada skala nyeri dikarenakan karena responden sudah

mengaplikasikan teknik relaksasi dan edukasi yang di sampaikan oleh peneliti

dengan baik, sehingga skala nyeri pada responden mengalami perubahan.

3. Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Perubahan Nyeri

Pada Pasien Kolik Renal Sebelum dan Sesudah Diberikan Teknik

Relaksasi Nafas Dalam

Perubahan skala nyeri pada penderita kolik renal di RSUD dr. M.

Haulussy Ambon ini disebabkan karena adanya teknik relaksasi yang

dilakukan oleh responden pada prinsipnya adalah pasien kolik renal dapat

memposisikan tubuh dalam kondisi tenang, sehingga akan mengalami

relaksasi dan pada akhirnya akan mengalami kondisi keseimbangan, dengan

demikian teknik relaksasi yang berintikan pada pernafasan akan

meningkatkan sirkulasi oksigen ke otot-otot, sehingga kebutuhan oksigen

kejaringan lebih baik dan skala nyeri berkurang.

Berdasarkan tabel 4.7 menunjukan bahwa pada rata-rata nilai mean pada

skala nyeri sebelum dilakukan teknik relaksasi nafas dalam adalah 6.67 dengan

standar deviasi yaitu 1.073, kemudian turun menjadi 3.92 dengan standar

deviasi 1.165 setelah dilakukan teknik relaksasi nafas dalam. Berdasarkan uji

T- Test, didapatkan nilai t hitung 9.869. Terlihat pada p-value (0,000) < α =

42
0,05 maka ada perubahan yang signifikan tentang skala nyeri sebelum dan

sesudah pemberian teknik relaksasi nafas dalam.

Dengan relaksasi nafas dalam diharapkan ventilasi paru bertambah baik,

tubuh kaya akan oksigen, maka diharapkan metabolisme dapat berjalan baik

dan otak akan relaksasi, sehingga impuls nyeri yang diterima akan diolah

dengan baik dan diinterpretasikan sehingga nyeri berkurang atau hilang

(Rachmat, 2015).

Peneitian ini sejalan dengan Wardani (2015), pengaruh teknik relaksasi

nafas dalam terhadap penurunan tekanan nyeri pada pasien kolik renal di

RSUP dr. M. Djamil Padang dengan nilai p = 0,000 < α = 0,05. Suzanne

(2013), menambahkan Relaksasi nafas dalam juga membantu mengurangi

cemas sehingga mencegah menghebatnya stimulus nyeri. Menurut peneliti,

penerapan teknik relaksasi nafas dalam secara rutin oleh responden merupakan

salah satu aspek aktivitas perawatan diri dalam mengontrol nyeri dan

mengurangi rasa nyeri.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Pengaruh Teknik Relaksasi Nafas

Dalam Terhadap Penurunan Nyeri Pada Pasien Kolik Renal di RSUD dr. M.

Haulussy Ambon Tahun 2017, maka diambil kesimpulan dan saran sebagai

berikut :

A. Kesimpulan

43
1. Tingkat nyeri sebelum dilakuan teknik relaksasi nafas dalam pada pasien kolik

renal di RSUD dr. M. Haulussy Ambon yang diperoleh dari 12 responden

adalah 5 orang nyeri sedang (41.7%) dan 7 orang nyeri berat (58.3%).

2. Tingkat nyeri sesudah dilakuan teknik relaksasi nafas dalam pada pasien kolik

renal di RSUD dr. M. Haulussy Ambon yang diperoleh dari 12 responden

adalah 5 orang nyeri ringan (41.7%) dan 7 orang nyeri sedang (58.3%).

3. Terdapat pengaruh yang bermakna secara statistik skala nyeri sebelum dan

sesudah (p-value=0,000), artinya terdapat pengaruh penerapan teknik relaksasi

nfas dalam terhadap penurunan nyeri pada pasien kolik renal di RSUD dr. M.

Haulussy Ambon 2017.

B. Saran

1. Bagi RSUD dr. M. Haulussy Ambon

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan dalam meningkatkan kualitas

pelayanan khususnya dalam menerapkan teknik non farmakologis yaitu

relaksasi nafas dalam, untuk mengurangi intensitas nyeri.

2. Bagi Penderita Kolik Renal

Pasien kolik renal harus bekerja sama secara kooperatif dengan tenaga medis

dalam melakukan tindakan relaksasi nafas dalam, untuk mengurangi intensitas

nyeri.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam melanjutkan penelitian

selanjutnya dengan menambah variabel yang berhubungan dengan cara

mengurangi intensitas nyeri.

44
45

Anda mungkin juga menyukai