Anda di halaman 1dari 13

 Masuk

 Register
 HOME
 PROFIL
 RENCANA STRATEGIS
 BERITA
 TAMAN TEKNOLOGI PERTANIAN
 HUBUNGI KAMI
 ARTIKEL
DINAS TAN DAN KP KAB TEGAL
alih fungsi lahan
Ditulis oleh Super User 

Kategori: Artikel

 
 
MENEKAN LAJU ALIH FUNGSI LAHAN SAWAH
Oleh: Rokhlani
PP Muda Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kab. Tegal
 ABSTRAK
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu
ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan.
Apabila swasembada pangan tidak dapat tercapai, dapat dipastikan
ketahanan pangan kita terancam. Salah satu kendala penting dalam
mencapai swasembada pangan adalah adanya alih fungsi lahan.
Intensitas alih fungsi lahan masih sukar dikendalikan, dan sebagian
besar lahan sawah yang beralihfungsi tersebut justru yang
produktivitasnya termasuk kategori tinggi hingga sangat tinggi. Lahan-
lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan
berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan
kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju.
Berbagai upaya untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah telah
banyak dilakukan. Alih fungsi lahan sangat erat hubungannya dengan
produktivitas tanaman. Sehebat apapun teknologi yang diterapkan,
dengan luas lahan yang semakin sempit, swasembada pangan sukar
untuk dicapai. Apa Solusinya……?
 
Pendahuluan
Kebijakan ketahananan pangan merupakan keadaan di mana semua
rumah tangga baik fisik maupun ekonomi mempunyai kemampuan
mencukupi kebutuhan pangan untuk seluruh rumah tangganya, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Banyak cara
yang dapat ditempuh melalui program swasembada dan diversifikasi
konsumsi pangan yang dilaksanakan secara merata.
Meningkatnya jumlah rumah tangga pertanian dengan kepemilikan
lahan yang sempit, mengindikasikan tingkat produksi pangan melemah.
Hal ini dibuktikan dengan fakta yang menunjukkan bahwa untuk
memenuhi bahan pangan (beras) masyarakat, Indonesia masih harus
mengimpor beras dari luar negeri sebesar....% dari total kebutuhan
beras nasional. Kondisi tersebut meninjukkan bahwa negara kita masih
tergantung dengan pihak luar untuk memenuhi kebutuhan pangan
nasional nasional, dalam hal ini beras. Penyebab lain yang berpengaruh
pada lemahnya tingkat produksi pangan adalah adanya konfersi lahan
untuk pengembangan industri, fasilitas umum, dan pemukiman. Dalam
tulisan ini penulis mencoba menguraikan pengaruh alih fungsi  lahan
yang dipertalikan dengan ketahanan pangan yang saat ini menjadi isu
hangat.
 
 

Mengapa Terjadi Alih Fungsi Lahan?


Perubahan penggunaan lahan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
regional tidak mungkin dapat dihindarkan. Apabila keadaan dilematis ini
tidak segera diatasi dengan pengembangan kebijakan pertanahan maka
kelangsungan sistem pertanian sukar dipertahankan, mengingat selama
tiga dekade terakhir belum ada sesuatu terobosan teknologi dan
kelembagaan yang mampu mengkompensasi penurunan produksi
pertanian akibat berkurangnya tanah-tanah pertanian (khususnya sawah
beririgasi teknis) yang dirubah kepenggunaan lain.
Permasalahan semakin rumit di lapangan karena arah kebijakan
nasional dalam hal pengendalian alih fungsi lahan pertanian sering
bertabrakan dengan kebijakan pemerintah daerah yang lebih
memprioritaskan kepentingan lokal dan kebijakan daerah. Walaupun
penerapan kebijakan pengendalian alih fungsi lahan masih dipandang
cukup efektif dalam membatasi penggunaan lahan sawah bagi kegiatan
nonpertanian (seperti mekanisme perijinan lokasi dan penerapan
Rencana Tata Ruang Wilayah), namun ternyata masih banyak
pelaku “spekulan tanah” yang tidak terjangkau oleh penerapan
kebijakan tersebut.
Banyak dijumpai kasus di mana para pemilik lahan pertanian secara
sengaja mengubah fungsi lahan agar lebih mudah untuk diperjualbelikan
tanpa melalui mekanisme perijinan atau pelanggaran Rencana Tata
Ruang Wilayah yang ada. Sebagai contoh beberapa lokasi, sawah
banyak yang dikavlingkan. Alasan utamanya adalah untung yang
berlipat ganda. Hal ini tentu menjadi daya tarik yang luar biasa bagi
pemilik sawah.
 
Perubahan Penggunaan Lahan Sawah
Terjadinya perubahan penggunaan lahan dapat disebabkan karena
adanya perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan
arah pembangunan dan karena mekanisme pasar. Pada masa lampau
yang terjadi adalah lebih banyak karena dua hal yang terakhir, karena
kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat pemerintah mengenai
tata ruang wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit
diwujudkan.
 
Sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada
aspek pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada
investor lokal maupun luar negeri dalam penyediaan tanahnya, maka
perubahan penggunaan tanah dari pertanian ke nonpertanian terjadi
secara meluas.  Tak dapat dipungkiri bahwa bertambahnya penduduk
dari tahun ke tahun menuntut juga disediakan fasilitas yang memadai
seperti transportasi, ekonomi, pemerintahan, sumber energi listrik, air,
serta pelayanan diberbagai bidang cukup tersedia, sehingga
pembangunan perumahan maupun industry terus digalakkan. Hal inilah
yang menjadi salah satu penyebab terjadinya perubahan alih fungsi
lahan.
Hingga saat ini, penulis belum mendapatkan data yang menyebutkan
berapa angka pastinya luas tanah sawah yang beralih fungsi.
 
Dampak Perubahan Pemanfaatan Lahan Sawah Menjadi Tak-
Sawah
 
Dengan adanya pembangunan perumahan, jalan, gedung-gedung
sekolah,  industri , dan fasilitas umum lain di Kabupaten Tegal, di satu
sisi menambah terbukanya lapangan kerja di sektor nonpertanian seperti
jasa konstruksi, dan industri, akan tetapi juga menimbulkan dampak
negatif yang kurang menguntungkan. Dampak negatif tersebut antara
lain :
1.     Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi
padi, yang mengganggu tercapainya swasembada pangan.
2.     Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya
lapangan kerja dari sektor pertanian ke nonpertanian, yang apabila
tenaga kerja lokal yang ada tidak terserap seluruhnya justru akan
meningkatkan angka pengangguran. Dampak sosial ini akan
berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat
setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi
meningkatkan konflik sosial.
3.     Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana
pengairan menjadi tidak optimal pemanfaatannya.
4.     Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan
maupun industri, sebagai dampak krisis ekonomi, atau karena
kesalahan perhitungan mengakibatkan tidak termanfaatkannya
tanah yang telah diperoleh, sehingga meningkatkan luas tanah tidur
yang pada gilirannya juga menimbulkan konflik sosial seperti
penjarahan tanah.
5.     Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau
Jawa yang konon terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun,
sedangkan pencetakan sawah baru yang sangat besar biayanya di
luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak memuas-kan
hasilnya.
 
 
Kebijakan Pertanahan : Instrumen Kebijakan Pembangunan
Dan Pengendali Alih Fungsi Tanah Pertanian
 
Pemerintah daerah dalam kaitannya dengan perubahan fungsi
tanah pertanian cdigadapkan pada pilihan yang sukar untuk dipilih. Di
satu sisi Pemda Tegal  harus memacu pertumbuhan ekonomi melalui
pengembangan sektor industri, jasa dan properti, namun disisi lain juga
harus mempertahankan keberadaan dan kelangsungan sektor pertanian
(pangan). Apalagi menteri pertanian kita adalah putra terbaik dari Tegal.
Beliau selalu mengkapanyekan swasembada beras, swasembada
pangan, dan swasembada daging. Sangatlah tidak elok, apabila pemda
tegal tidak mendukung upaya-upaya tersebut.
Menyadari permasalahan ini, pemerintah telah menetapkan
beberapa ketentuan di dalam kebijakan untuk membatasi dan/atau
mencegah konversi tanah pertanian yang subur menjadi penggunaan
nonpertanian seperti:
1.     Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri
dan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan
Tanah bagi Pembangunan Kawasan Industri telah melarang
pembangunan kawasan industri serta pencadangan atau pemberian
ijin lokasi dan pembebasan tanahnya pada areal tanah pertanian
subur.
2.     Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Bappenas Nomor 5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994
tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis
Untuk Penggunaan Tanah Nonpertanian.
3.     Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua
Bappenas kepada Menteri Dalam Negeri Nomor 5335/MK/9/1994
tanggal 29 September 1994 tentang Penyusunan RTRW Dati II.
4.     Dalam rangka pelaksanaan PAKTO-23 dikeluarkan Surat Menteri
Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi dan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota seluruh Indonesia Nomor 460-
3346 tanggal 31 Oktober 1994 tentang perubahan Penggunaan
Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah
Nonpertanian. Edaran ini melarang Aparat Pertanahan di daerah
untuk mengeluarkan izin lokasi untuk lahan sawah irigasi bagi
kepentingan nonpertanian, walaupun menurut Rencana Umum Tata
Ruang Wilayah diperuntukkan bagi kegiatan nonpertanian.
 
Aspek Pertanahan (Penatagunaan Tanah): Instrumen
Kebijakan Pertanahan Sebagai Pengendali Alih Fungsi Tanah
Secara fungsional pertimbangan aspek penatagunaan tanah ini
memiliki lima kegunaan sebagai berikut:
 
1.  Sarana pengendali dan pemantauan perubahan penggunaan tanah
yang dibuat dalam rangka pemberian ijin lokasi, pemberian hak atas
tanah, permohonan perubahan penggunaan tanah dan kegiatan
pembangunan lainnya yang berkaitan dengan penatagunaan tanah.
2. Sarana pengendali penggunaan tanah dalam rangka kegiatan
pembangunan agar tidak terjadi tumpang tindih ( over-lapping) lokasi
dengan arahan tata ruang wilayah dan ketentuan teknis lainnya yang
telah digariskan.
3. Bahan pertimbangan kepada pimpinan dalam pengambilan keputusan
yang sekaligus menjadi sarana koordinasi teknis antar sektor dalam
rangka mengarahkan lokasi pembangunan.
4. Bahan pertimbangan instansi dan dinas terkait dalam rangka
pemberian ijin pem-bangunan sesuai dengan kewenangannya
menurut ketentuan peraturan dan perundangan yang berlaku.
5. Bahan informasi dalam upaya pengembangan sistem informasi
pertanahan dalam rangka pengendalian dan evaluasi serta pemberian
bimbingan penggunaan tanah guna peningkatan pelayanan kepada
masyarakat. Penerapan ke lima fungsi pertimbangan aspek pertanahan
tersebut secara optimal oleh pemerintah daerah dapat menjadi sarana
yang efektif dalam menjabarkan kebijakan pertanahan untuk memantau
dan membatasi perubahan tanah pertanian (tanah sawah) ke
penggunaan tanah nonpertanian, yaitu adanya penilaian kondisi tanah
yang terbaru dan pertimbangan aspek-aspek pembangunan lainnya.
Adapun kewajiban pemohon adalah mem-berikan gambaran kondisi
tanah pada saat pengajuan permohonan ijin perubahannya meliputi:
1)Jenis penggunaan tanah.
2)Kesuburan dan produktivitas tanah.
3)Status penggunaan tanah.
4)Faktor-faktor lingkungan.
5)Rencana tata ruang wilayah maupun rencana pembangunan daerah.
6)Prasarana, sarana dan fasilitas lingkungan di lokasi kegiatan
sekitarnya yang akan ter-kena dampak kegiatan pemohon, dan
7)Faktor-faktor pendukung dan penghambat lainnya.
 
Sedangkan beberapa pertimbangan penting bagi pemerintah daerah
dalam meng-ambil keputusan untuk mengalihkan atau melarang alih
fungsi tanah pertanian setelah mengkaji kondisi tanah di atas ialah:
a.Pertimbangan kesesuaian rencana pemohon dengan rencana tata
ruang wilayah.
b.Pertimbangan kesesuaian rencana pemohon dengan rencana
pembangunan daerah.
c.Pertimbangan kewenangan menggunakan tanah sesuai dengan jenis
hak atas tanah.
d.Pertimbangan kewajiban mengusahakan tanah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
e.Pertimbangan terhadap peningkatan nilai, produksi dan kesuburan
tanah.
f.  Pertimbangan kelestarian lingkungan hidup dan pencegahan
kerusakan tanah.
g.Pertimbangan larangan menelantarkan tanah.
 
Dalam mempertimbangan aspek penatagunaan tanah ini,
pemerintah daerah memiliki sarana yang memadai untuk memonitor dan
membatasi upaya para pemilik tanah yang secara sengaja merubah
fungsi tanah pertanian yang mereka kuasai atau miliki, dengan cara:
1. Menutup saluran-saluran irigasi yang mengairi sawah beririgasi teknis
mereka.
2. Mengeringkan sawah beririgasi teknis miliknya dan menjadikannya
untuk penggunaan pertanian tanah kering.
3. Menimbun sawah beririgasi teknis miliknya untuk keperluan
bangunan.
4. Menjual tanah tegalan/tanah kering, hasil perubahan sah di atas
tanpa ijin dalam upaya menghindari larangan.
 
Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu
Pada Partisipasi Masyarakat
Menurut Iqbal dan Sumaryanto (2007) terdapat tiga langkah dalam
mewujudkan strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang
bertumpu pada masyarakat. Pertama, titik tumpu (entry point) strategi
pengendalian adalah melalui partisipasi segenap pemangku
kepentingan. Hal ini cukup mendasar, mengingat para pemangku
kepentingan adalah pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan
proses alih fungsi lahan pertanian. Kedua, fokus analisis strategi
pengendalian adalah sikap pandang pemangku kepentingan terhadap
eksistensi peraturan kebijakan seperti instrument hukum (peraturan
perundang-undangan), instrumen ekonomi (insentif, disinsentif,
kompensasi) dan zonasi (batasan-batasan alih fungsi lahan pertanian).
Esensinya, sikap pandang pemangku kepentingan seyogyanya
berlandaskan inisiatif masyarakat dalam bentuk partisipasi aksi kolektif
yang sinergis dengan peraturan kebijakan, sesuai dengan harapan dan
keinginan masyarakat. Ketiga, sasaran (goal) strategi pengendalian
adalah terwujudnya pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang
selaras dan berkelanjutan
 
Keragaan Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Kinerja
Pengendaliannya
Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur
perekonomian, kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung
terus meningkat. Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi
lahan pertanian sulit dihindari. Beberapa kasus menunjukkan jika di
suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka dalam waktu yang tidak lama
lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif. Menurut Irawan
(2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor.
Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau
industri di suatu lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi
tersebut menjadi semakin kondusif untuk pengembangan industri dan
pemukiman yang akhirnya mendorong meningkatnya permintaan lahan
oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga lahan di
sekitarnya meningkat.
Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang
petani lain di sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996)
menambahkan bahwa pelaku pembelian tanah biasanya bukan
penduduk setempat, sehingga mengakibatkan terbentuknya lahan-lahan
guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi lahan.
Secara empiris lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih
fungsi adalah sawah. Hal tersebut disebabkan oleh: (1) kepadatan
penduduk di pedesaan yang mempunyai agroekosistem dominan sawah
pada umumnya jauh lebih tinggi dibandingkan agroekosistem lahan
kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan juga lebih tinggi; (2)
daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan daerah
perkotaan; (3) akibat pola pembangunan di masa sebelumnya,
infrastruktur wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada
wilayah lahan kering; dan (4) pembangunan prasarana dan sarana
pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya cenderung berlangsung
cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah dengan
topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya
dominan areal persawahan.
 
Pemerintah bukannya tutup mata terhadap meluasnya alih fungsi lahan,
namun ada beberapa kendala yang dihadapi. Menurut Nasoetion (2003)
mengemukakan bahwa setidaknya terdapat tiga kendala mendasar yang
menjadi alasan mengapa peraturan pengendalian alih fungsi lahan sulit
terlaksana, yaitu :
1.   Kendala Koordinasi Kebijakan. Di satu sisi pemerintah berupaya
melarang terjadinya alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru
mendorong terjadinya alih fungsi lahan tersebut melalui kebijakan
pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian lainnya
yang dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian.
2.   Kendala Pelaksanaan Kebijakan. Peraturan-peraturan pengendaliah
alih fungsi lahan baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan
terhadap perusahaan-perusahaan atau badan hukum yang akan
menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan pertanian ke
nonpertanian. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan sawah
ke nonpertanian yang dilakukan secara individual/perorangan belum
tersentuh oleh peraturan-peraturan tersebut, dimana perubahan
lahan yang dilakukan secara individual diperkirakan sangat luas.
3.   Kendala Konsistensi Perencanaan. Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) yang kemudian dilanjutkan dengan mekanisme pemberian
izin lokasi, merupakan instrumen utama dalam pengendalian untuk
mencegah terjadinya alih fungsi lahan sawah beririgasi teknis. Namun
dalam kenyataannya, banyak RTRW yang justru merencanakan untuk
mengalih fungsikan lahan sawah beririgasi teknis menjadi
nonpertanian.
 
Sehubungan dengan tiga kendala di atas, tidak efektifnya peraturan
yang telah ada, juga dipengaruhi oleh : (1) lemahnya sistem
administrasi tanah; (2) kurang kuatnya koordinasi antar lembaga terkait;
dan (3) belum memasyarakatnya mekanisme implementasi tata ruang
wilayah. Di samping itu, persepsi pemerintah tentang kerugian akibat
alih fungsi lahan sawah cenderung bias ke bawah (under estimate),
sehingga dampak negatif alih fungsi lahan sawah tersebut kurang
dianggap sebagai persoalan yang perlu ditangani secara serius dan
konsisten.
 
Sementara itu, Simatupang dan Irawan (2002) menyimpulkan bahwa
dari beberapa peraturan perundang-undangan alih fungsi lahan
pertanian yang ada memiliki berbagai kelemahan. Kelemahankelemahan
tersebut antara lain :
1.Obyek lahan pertanian yang dilindungi dari proses alih fungsi
ditetapkan berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan
tersebut relative mudah direkayasa, sehingga alih fungsi lahan dapat
berlangsung tanpa melanggar peraturan yang berlaku.
2.Peraturan yang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi
sanksi yang jelas, baik yang menyangkut dimensi maupun pihak yang
dikenai sanksi.
3. Jika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan
peraturan yang berlaku, maka sulit ditelusuri pihak mana yang paling
bertanggungjawab, mengingat izin alih fungsi lahan merupakan
keputusan kolektif berbagai instansi.
4.Peraturan perundangan-undangan yang berlaku kadangkala bersifat
paradoksal dan dualistik. Di satu sisi bermaksud untuk melindungi alih
fungsi lahan sawah, namun di sisi lainnya pemerintah cenderung
mendorong pertumbuhan industri yang notabene basisnya
membutuhkan lahan. Di wilayah yang lahan keringnya terbatas,
seperti pantai utara Jawa, kebijakan tersebut jelas akan menekan
eksistensi lahan sawah yang ada.
 
Penutup
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis sampaikan beberapa point
penting terkait dengan alihfungsi lahan dipertalikan dengan ketahanan
pangan.
1.  Pemerintah harus memberikan perhatian terhadap upaya
mempertahankan/menjaga keberadaan lahan-lahan pertanian untuk
kelestarian produksi pertanian. Tanpa adanya upaya mengatasi
dilema tersebut melalui perbaikan peraturan/kebijakan pertanahan,
sangat kecil kemungkinan bagi sistem usaha tani untuk berlanjut
seperti ditunjukkan oleh konversi lahan sawah pada tiga dekade
terakhir. Belum terlihat adanya terobosan teknologi atau upaya
pemerintah sebagai kompensasi turunnya produksi pertanian yang
diakibatkan oleh kehilangan lahan khususnya lahan-lahan yang
beririgasi.
2.  Mewaspadai era globalisasi dan pasar bebas sejalan dengan
meningkatnya arus investasi ke Indonesia, intensitas konflik
pemanfaatan tanah pertanian akan semakin dilematis mengingat
peluang perluasan lahan pertanian sudah sangat terbatas.
Sementara, tuntutan terhadap kebutuhan lahan untuk perkembangan
sektor industri, jasa, dan properti semakin meningkat dan tidak
mungkin terhindarkan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
regional. Bila keadaan dilematis ini tidak segera diatasi dengan
mengembang-kan kebijakan pertanahan maka kelangsungan sistem
pertanian akan terganggu.
3.  Secara nasioanl, luas tanah sawah adalah kurang lebih 7,8 juta ha,
dimana 4,2 juta ha berupa sawah irigasi dan sisanya 3,6 juta ha
berupa sawah nonirigasi. Selama Pelita VI tidak kurang dari 61.000
ha lahan sawah telah berubah menjadi penggunaan lahan
nonpertanian. dari luas lahan sawah ini telah beralih fungsi menjadi
perumahan (30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi
penggunaan tanah lain.
4.  Menyadari permasalahan tersebut, pemerintah telah menetapkan
beberapa ketentuan di dalam kebijakan untuk membatasi dan atau
mencegah konversi lahan pertanian yang subur menjadi penggunaan
lahan nonpertanian, salah satunya adalah kebijakan pertanahan yang
menggunakan instrumen pertimbangan aspek penatagunaan tanah.
5.  Pertimbangan aspek penatagunaan tanah ini dapat membantu
pemerintah daerah untuk lebih rasional dalam mengambil keputusan
untuk mengalihkan atau melarang alih fungsi lahan pertanian.
6.  Konflik kepentingan yang cukup dilematis dihadapi pemerintah dalam
kaitannya dengan alihfungsi lahan pertanian. Di satu pihak,
pemerintah daerah berkewajiban untuk mempercepat laju
pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan sektor-sektor industri,
jasa, dan properti. Namun di lain pihak, pemerintah juga harus
memberikan perhatian terhadap upaya mempertahankan/menjaga
keberadaan lahan-lahan pertanian untuk kelestarian produksi
pertanian. Tanpa adanya upaya mengatasi dilema tersebut melalui
perbaikan peraturan/kebijakan pertanahan, sangat kecil kemungkinan
bagi sistem usaha tani untuk berlanjut seperti ditunjukkan oleh
konversi lahan sawah pada tiga dekade terakhir. Belum terlihat
adanya terobosan teknologi atau upaya pemerintah sebagai
kompensasi turunnya produksi pertanian yang diakibatkan oleh
kehilangan lahan khususnya lahan-lahan yang beririgasi. Sehubungan
dengan masalah-masalah yang telah dikemukakan sebelumnya,
pemerintah telah mengusulkan beberapa alternatif kebijakan untuk
membatasi atau mencegah terjadinya alihfungsi lahan-lahan subur
menjadi lahan-lahan nonpertanian seperti kebijakan lahan yang
mempertimbangkan aspek alokasi penggunaan lahan.
 
Referensi
Iqbal, M dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi
Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Analisis
Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 2, Juni 2007 : 167-182.
Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola
Pemanfaatannya, dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro
Ekonomi Volume 23, Nomor 1, Juni 2005. Pusat Analisis Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor
Nasoetion, L.I. 2003. Konversi Lahan Pertanian : Aspek Hukum dan
Implementasinya. Dalam Kurnia et al.. (eds). Makalah Seminar
Nasional “Multifungsi Lahan Sawah dan Konversi Lahan Pertanian”.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor
Wibowo, S.C. 1996. Analisis Pola Konversi Sawah Serta Dampaknya
Terhadap Produksi  Beras : Studi Kasus di Jawa Timur. Jurusan
Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor
.
 
 
 
 
 
 
 
 
  © 2016 Tanbunhut Kabupaten Tegal
All Rights Reserved. Designed by Widhi Kurniawan & T3

Anda mungkin juga menyukai