MATA KULIAH
OLEH
BAKRI
A1P1 17 032
KENDARI
2020
ANCAMAN ALIH FUNGSI LAHAN
PENDAHULUAN
Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman
yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Apabila swasembada pangan
tidak dapat tercapai, dapat dipastikan ketahanan pangan kita terancam. Salah satu
kendala penting dalam mencapai swasembada pangan adalah adanya alih fungsi
lahan. Intensitas alih fungsi lahan masih sukar dikendalikan, dan sebagian besar lahan
sawah yang beralihfungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori
tinggi hingga sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis
atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi
dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju. Berbagai
upaya untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah telah banyak dilakukan. Alih
fungsi lahan sangat erat hubungannya dengan produktivitas tanaman. Sehebat apapun
teknologi yang diterapkan, dengan luas lahan yang semakin sempit, swasembada
pangan sukar untuk dicapai.
PEMBAHASAN
Sebelum membahas mengenai ancaman alih fungsi lahan terlebih dahulu kita pahami
pengertian alih fungsi lahan dan dasar hukumnya
Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat luas dalam
memenuhi berbagai kebutuhan manusia dari sisi ekonomi lahan merupakan input
tetap yang utama bagi berbagai kegiatan produksi komoditas pertanian dan non-
pertanian. Banyaknya lahan yang digunakan untuk setiap kegiatan produksi tersebut
secara umum merupakan permintaan turunan dari kebutuhan dan permintaan
komoditas yang dihasilkan. Oleh karena itu perkembagan kebutuhan lahan untuk
setiap jenis kegiatan produksi akan ditentukan oleh perkembagan jumlah permintaan
setiap komoditas. Pada umumnya komoditas pangan kurang elastis terhadap
pendapatan dibandingkan permintaan komoditas nonpertanian, konsekuensinya
adalah pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan pendapatan
cenderung menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar
pertanian dengan laju lebih cepat dibandingkan kenaikan permintaan lahan untuk
kegiatan pertanian
Alih Fungsi Lahan adalah suatu proses perubahan penggunaan lahan dari
bentuk penggunaan tertentu menjadi penggunaan lain misalnya ke-
nonpertanian. Dan biasanya dalam pengalih fungsiannya mengarah ke hal yang
bersifat negatif bagi ekosistem lingkungan alam sawah itu sendiri.
Karena perkembangan yang jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan hasil produksi
pertanian, maka Malthus meramal akan terjadi malapetaka terhadap kehidupan
manusia. Malapetaka tersebut timbul karena adanya tekanan penduduk tersebut.
Sementara keberadaan lahan semakin berkurang karena pembangunan berbagai
infrastruktur. Akibatnya akan terjadi bahaya pangan bagi manusia.
Salah satu saran Malthus agar manusia terhindar dari malapetaka karena adanya
kekurangn bahan makanan adalah dengan kontrol atau pengawasan atas pertumbuha
penduduk. Pengawasan tersebut bisa dilakukan oleh pemerintah yang berwenang
dengan berbagai kebijakan misalnya saja dengan program keluarga berencana.
Dengan adanya pengawasan tersebut diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan
penduduk, sehingga bahaya kerawanan pangan dapat teratasi. Kebijakan lain yang
dapat diterapkan adalah dengan menunda usia kawin sehingga dapat mengurangi
jumlah anak
Dalam teorinya Malthus “Essay on population” berisi dua hukum alam dasar
yang dianggapnya sebagai “kebenaran yang tidak terbantahkan”: pertama populasi
cenderung bertambah menurut deret ukur (secara geometri (1,2,4,8,) ke dua,
produksi makanan (sumber daya alam cenderung bertambah menurut deret hitung
(secara aretmatika (1,2,3,4,5,) akibatnya adalah terjadi krisis “penderitaan dan
kejahatan” yang tak terelakan dimana suber daya alam bumi tidak bisa memenuhi
kebutuhan penduduknya yang terus bertambah.
Pada dasarnya pengalih fungsian lahan biasa terjadi dengan diawali penjualan
lahan, dan pendek cerita, mungkin uang hasil penjualan tersebut akan meningkatkan
kesejahteraan petani, tetapi karena umumnya sebagain besar uang hasil
penjualan tersebut dibelanjakan untuk aset nonproduktif seperti
membuat/rehabilitasi rumah dan pembelian kendaraan, maka laha pertanian sebagai
sumber mata pencaharian utama akan semakin sempit yang dalam jangka panjang
akan semakin menurunkan sekala usahanya. Peralihan lahan sawah bisa saja diiringi
oleh penurunan tingkat kesejahteraan petani, ini dapat diidentifikasi dari penurunan
luas lahan milik dan luas lahan garapan, yang secara keseluruhan bermuara kepada
penurunan pendaptan.
Perubahan penggunaan lahan akan mengarah kepada land rent yang lebih
tinggi, sehingga secara ekonomi demand lahan akan dideterminasi oleh surplusnya.
Ketika suatu lahan berubah fungsi, maka seharusnya secara agregat output
wilayahpun meningkat pula akibatnya adalah peningkatan produktifitas lahan.
Banyaknya lahan guntai disekitar lahan yang telah mengalami alih fungsi, dengan
motivi spekulasi lahan.Selain itu dengan nilai land rent kegiatan pertanian yang
rendah maka secara logis pertumbuhan ekonomi akan mendorong terjadinya alokasi
lahanyang bisa ke sektor ekonomi lain dan menimbulkan konversi lahan pertanian.
Aturan dalam UU No. 24/1992 yang secar jelas berisi tentang pernyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seharusnya dilaksanakan secara baik oleh
berbagai pihak yakni mempertimbangkan budidaya tanaman pangan (sawah irigasi
teknis) agar tetap lestari dengan demikian pembangunan ekonomi juga sudah
seharusnya tetap mengikuti/mentaati Undang-undang RTRW untuk menjaga
ketahanan pangan. Adapu peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah adalah
PP No. 1 Tahun 2012 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk
dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok
bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional, hal ini dimaksudkan
untuk melindungi lahan potensial agar pemanfaatannya, kesesuaian dan
ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan
berkelanjutan pada masa yang akan datang.
UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penata Ruangan bahwa ruang Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri
Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu
ditingkatkan upaya pengelolaanmya secara bijaksana, berdaya guna dan berhasil guna
dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah
nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan
keadilan sosial sesuai dengan landasan Konstitusioan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1995
Banyak dijumpai kasus di mana para pemilik lahan pertanian secara sengaja
mengubah fungsi lahan agar lebih mudah untuk diperjualbelikan tanpa melalui
mekanisme perijinan atau pelanggaran Rencana Tata Ruang Wilayah yang ada.
Sebagai contoh beberapa lokasi, sawah banyak yang dikavlingkan. Alasan utamanya
adalah untung yang berlipat ganda. Hal ini tentu menjadi daya tarik yang luar biasa
bagi pemilik sawah.
Hingga saat ini, penulis belum mendapatkan data yang menyebutkan berapa
angka pastinya luas tanah sawah yang beralih fungsi.
5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang
konon terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru
yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak
memuas-kan hasilnya.
4. Bahan pertimbangan instansi dan dinas terkait dalam rangka pemberian ijin pem-
bangunan sesuai dengan kewenangannya menurut ketentuan peraturan dan
perundangan yang berlaku.
4)Faktor-faktor lingkungan.
c.Pertimbangan kewenangan menggunakan tanah sesuai dengan jenis hak atas tanah.
4. Menjual tanah tegalan/tanah kering, hasil perubahan sah di atas tanpa ijin
dalam upaya menghindari larangan.
Menurut Iqbal dan Sumaryanto (2007) terdapat tiga langkah dalam mewujudkan
strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada masyarakat.
Pertama, titik tumpu (entrypoint) strategi pengendalian adalah melalui partisipasi
segenap pemangku kepentingan. Hal ini cukup mendasar, mengingat para pemangku
kepentingan adalah pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan proses alih fungsi
lahan pertanian. Kedua, fokus analisis strategi pengendalian adalah sikap pandang
pemangku kepentingan terhadap eksistensi peraturan kebijakan seperti instrument
hukum (peraturan perundang-undangan), instrumen ekonomi (insentif, disinsentif,
kompensasi) dan zonasi (batasan-batasan alih fungsi lahan pertanian). Esensinya,
sikap pandang pemangku kepentingan seyogyanya berlandaskan inisiatif masyarakat
dalam bentuk partisipasi aksi kolektif yang sinergis dengan peraturan kebijakan,
sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat. Ketiga, sasaran (goal) strategi
pengendalian adalah terwujudnya pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang
selaras dan berkelanjutan
Secara empiris lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah
sawah. Hal tersebut disebabkan oleh: (1) kepadatan penduduk di pedesaan yang
mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi
dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan
juga lebih tinggi; (2) daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan
daerah perkotaan; (3) akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur
wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering; dan (4)
pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya
cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah
dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya
dominan areal persawahan.
Pemerintah bukannya tutup mata terhadap meluasnya alih fungsi lahan, namun ada
beberapa kendala yang dihadapi. Menurut Nasoetion (2003) mengemukakan bahwa
setidaknya terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan mengapa peraturan
pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu :
Sehubungan dengan tiga kendala di atas, tidak efektifnya peraturan yang telah
ada, juga dipengaruhi oleh : (1) lemahnya sistem administrasi tanah; (2) kurang
kuatnya koordinasi antar lembaga terkait; dan (3) belum memasyarakatnya
mekanisme implementasi tata ruang wilayah. Di samping itu, persepsi pemerintah
tentang kerugian akibat alih fungsi lahan sawah cenderung bias ke bawah
(underestimate), sehingga dampak negatif alih fungsi lahan sawah tersebut kurang
dianggap sebagai persoalan yang perlu ditangani secara serius dan konsisten.
1.Obyek lahan pertanian yang dilindungi dari proses alih fungsi ditetapkan
berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan tersebut relative mudah
direkayasa, sehingga alih fungsi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan
yang berlaku.
2.Peraturan yang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang
jelas, baik yang menyangkut dimensi maupun pihak yang dikenai sanksi.
3. Jika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang
berlaku, maka sulit ditelusuri pihak mana yang paling bertanggungjawab, mengingat
izin alih fungsi lahan merupakan keputusan kolektif berbagai instansi.
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis sampaikan beberapa point penting terkait
dengan alihfungsi lahan dipertalikan dengan ketahanan pangan.
2. Mewaspadai era globalisasi dan pasar bebas sejalan dengan meningkatnya arus
investasi ke Indonesia, intensitas konflik pemanfaatan tanah pertanian akan semakin
dilematis mengingat peluang perluasan lahan pertanian sudah sangat terbatas.
Sementara, tuntutan terhadap kebutuhan lahan untuk perkembangan sektor industri,
jasa, dan properti semakin meningkat dan tidak mungkin terhindarkan sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi regional. Bila keadaan dilematis ini tidak segera diatasi
dengan mengembang-kan kebijakan pertanahan maka kelangsungan sistem pertanian
akan terganggu.
3. Secara nasioanl, luas tanah sawah adalah kurang lebih 7,8 juta ha, dimana 4,2 juta
ha berupa sawah irigasi dan sisanya 3,6 juta ha berupa sawah nonirigasi. Selama
Pelita VI tidak kurang dari 61.000 ha lahan sawah telah berubah menjadi penggunaan
lahan nonpertanian. dari luas lahan sawah ini telah beralih fungsi menjadi perumahan
(30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan tanah lain.
Iqbal, M dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No.
2, Juni 2007 : 167-182.
Wibowo, S.C. 1996. Analisis Pola Konversi Sawah Serta Dampaknya Terhadap
Produksi Beras : Studi Kasus di Jawa Timur. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Sitorus. 2004. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Jurnal Ilmiah IPB, Bogor.
Sutopo. 2010. Komunikasi Sosial dan Perubahan Sosial. Surakarta: UNS Press.
Tineke Mandong. 2012. Kesadaran Petani Pengelola Lahan, Jurnal IP, Jakarta
Undang- Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Berkelanjutan, Jakarta.