Anda di halaman 1dari 19

TUGAS

MATA KULIAH

GEOGRAFI SUMBER DAYA LAHAN

“Esai ancaman alih fungsi lahan”

OLEH

BAKRI

A1P1 17 032

JURUSAN PENDIDIKAN GEOGRAFI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2020
ANCAMAN ALIH FUNGSI LAHAN

PENDAHULUAN

Laju pertumbuhan penduduk yang diasumsikan 1,3-1,5 persen per tahun


tentulah harus diimbangi dengan pemenuhan kebutuhan pangan. Angka
pertumbuhan produksi pangan seharusnya di atas atau setidak-tidaknya sama
dengan angka laju pertumbuhan penduduk tersebut. Upaya pemenuhan kebutuhan
pangan dimaksud dapat terwujud dengan adanya dukungan ketersediaan lahan
pertanian dan optimalisasi pemanfaatan bahan pangan lokal. Menurut Badan
Ketahanan Pangan Nasional sepanjang tahun 2009 telah terjadi alih fungsi lahan
pertanian hingga mencapai 110 ribu hektar (ha). Angka ini tentu sangatlah besar
mengingat kemampuan pemerintah untuk mencetak lahan pertanian baru per
tahunnya hanya kurang lebih 50 ribu hektar.

Menurut UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian


Pangan Berkelanjutan disebutkan bahwa dalam hal untuk kepentingan umum,
maka lahan pertanian dapat dialihfungsikan. Namun perlu dikaji lebih jauh lagi
mengenai bentuk kepentingan umum yang dimaksud dalam pasal tersebut.

Selain ancaman terhadap penumnan jumlah produksi pertanian/pangan,


alih fungsi lahan pertanian juga berdampak pada hilangnya investasi yang telah
dilakukan untuk membangun irigasi dan prasarana lainnya. Biaya yang telah
dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur lahan pertanian cukup besar dan
kemgian yang ditimbulkan akibat alih fungsi lahan tersebut juga cukup besar.
Sebagaimana diketahui bahwa sektor pertanian, terutama padi, merupakan sektor
yang paling banyak menyediakan lapangan kerja. Untuk itulah diperlukan
komitmen yang kuat untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian,
yang diwujudkan pada visi baru dalam kebijakan yang dilaksanakan.
Keberpihakan pada kesejahteraan petani, kepentingan menjaga ketahanan pangan
nasional, serta menjaga kelestarian lingkungan perlu dinyatakan dengan jelas.

Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman
yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Apabila swasembada pangan
tidak dapat tercapai, dapat dipastikan ketahanan pangan kita terancam. Salah satu
kendala penting dalam mencapai swasembada pangan adalah adanya alih fungsi
lahan. Intensitas alih fungsi lahan masih sukar dikendalikan, dan sebagian besar lahan
sawah yang beralihfungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori
tinggi hingga sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis
atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi
dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju. Berbagai
upaya untuk mengendalikan alih fungsi lahan sawah telah banyak dilakukan. Alih
fungsi lahan sangat erat hubungannya dengan produktivitas tanaman. Sehebat apapun
teknologi yang diterapkan, dengan luas lahan yang semakin sempit, swasembada
pangan sukar untuk dicapai.

Kebijakan ketahananan pangan merupakan keadaan di mana semua rumah


tangga baik fisik maupun ekonomi mempunyai kemampuan mencukupi kebutuhan
pangan untuk seluruh rumah tangganya, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata,
dan terjangkau. Banyak cara yang dapat ditempuh melalui program swasembada dan
diversifikasi konsumsi pangan yang dilaksanakan secara merata.

Meningkatnya jumlah rumah tangga pertanian dengan kepemilikan lahan yang


sempit, mengindikasikan tingkat produksi pangan melemah. Hal ini dibuktikan
dengan fakta yang menunjukkan bahwa untuk memenuhi bahan pangan (beras)
masyarakat, Indonesia masih harus mengimpor beras dari luar negeri sebesar....% dari
total kebutuhan beras nasional. Kondisi tersebut meninjukkan bahwa negara kita
masih tergantung dengan pihak luar untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional
nasional, dalam hal ini beras. Penyebab lain yang berpengaruh pada lemahnya tingkat
produksi pangan adalah adanya konfersi lahan untuk pengembangan industri, fasilitas
umum, dan pemukiman. Dalam tulisan ini penulis mencoba menguraikan pengaruh
alih fungsi lahan yang dipertalikan dengan ketahanan pangan yang saat ini menjadi
isu hangat.

PEMBAHASAN
Sebelum membahas mengenai ancaman alih fungsi lahan terlebih dahulu kita pahami
pengertian alih fungsi lahan dan dasar hukumnya

1. Pengertian Alih Fungsi Lahan Pertanian

Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi sangat luas dalam
memenuhi berbagai kebutuhan manusia dari sisi ekonomi lahan merupakan input
tetap yang utama bagi berbagai kegiatan produksi komoditas pertanian dan non-
pertanian. Banyaknya lahan yang digunakan untuk setiap kegiatan produksi tersebut
secara umum merupakan permintaan turunan dari kebutuhan dan permintaan
komoditas yang dihasilkan. Oleh karena itu perkembagan kebutuhan lahan untuk
setiap jenis kegiatan produksi akan ditentukan oleh perkembagan jumlah permintaan
setiap komoditas. Pada umumnya komoditas pangan kurang elastis terhadap
pendapatan dibandingkan permintaan komoditas nonpertanian, konsekuensinya
adalah pembangunan ekonomi yang membawa kepada peningkatan pendapatan
cenderung menyebabkan naiknya permintaan lahan untuk kegiatan di luar
pertanian dengan laju lebih cepat dibandingkan kenaikan permintaan lahan untuk
kegiatan pertanian

Alih Fungsi Lahan adalah suatu proses perubahan penggunaan lahan dari
bentuk penggunaan tertentu menjadi penggunaan lain misalnya ke-
nonpertanian. Dan biasanya dalam pengalih fungsiannya mengarah ke hal yang
bersifat negatif bagi ekosistem lingkungan alam sawah itu sendiri.

Menurut Lestari, mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya disebut


sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagain atau seluruh kawasan lahan
dari fungsi semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi
dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Dampak
alih fungsi lahan juga mempengaruhi struktur sosial masyarakat, terutama dalam
struktur mata pencaharian.

menurut Malthus dalam bukunya yang Berjudul principles of population


menyebutkan bahwa perkembagan manusia lebih cepat di bandingkan dengan
produksi hasil-hasil pertanian untuk memenuhi kebutuhan manusia. Malthus salah
satu orang yang pesimis terhadap masa depan manusia. Hal itu didasari dari
kenyatanaan bahwa lahan pertaian sebagai salah satu faktor produksi utama
jumlahnya tetap. Kendati pemakaiannya untuk produksi pertanian bisa ditingkatkan,
peningkatannya tidak akan seberapa. Di lain pihak justru lahan pertanian akan
semakin berkurang keberadaanya karena digunakan untuk membangun
perumahan, pabrik-pabrik serta infrastruktur yang lainnya.

Karena perkembangan yang jauh lebih cepat dari pada pertumbuhan hasil produksi
pertanian, maka Malthus meramal akan terjadi malapetaka terhadap kehidupan
manusia. Malapetaka tersebut timbul karena adanya tekanan penduduk tersebut.
Sementara keberadaan lahan semakin berkurang karena pembangunan berbagai
infrastruktur. Akibatnya akan terjadi bahaya pangan bagi manusia.

Salah satu saran Malthus agar manusia terhindar dari malapetaka karena adanya
kekurangn bahan makanan adalah dengan kontrol atau pengawasan atas pertumbuha
penduduk. Pengawasan tersebut bisa dilakukan oleh pemerintah yang berwenang
dengan berbagai kebijakan misalnya saja dengan program keluarga berencana.
Dengan adanya pengawasan tersebut diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan
penduduk, sehingga bahaya kerawanan pangan dapat teratasi. Kebijakan lain yang
dapat diterapkan adalah dengan menunda usia kawin sehingga dapat mengurangi
jumlah anak

Malthus berpendapat bahwa pada umumnya penduduk suatu negara mempunya


kecenderungan untuk bertambah menurut suatu deret ukur yang akan berliapat ganda
tiap 30-40 tahun. Pada saat yang sama karena adanya ketentuan pertambahan hasil
yang semakin berkurang (deminishing return) dari suatu faktor produksi yang
jumlahnya tetap maka persediaan pangan hanya akan meningkat menurut deret
hitung. Hal ini karena setiap anggota masyarakat akan memiliki lahan pertanian
yang semakin sempit, maka kontribusi marjinalnya atas produksi pangan akan
semakin menurun.

Dapat dijelaskan bahwa pada awalnya peningkatan jumlah penduduk yang


semakin tinggi, dapat diimbangi oleh peningkatan pertumbuhan pendapatan
masyarakat. Tapi karena adanya hukum yang semakin berkurang sementara jumlah
populasi terus berkembang, maka peningkatan jumlah penduduk lebih tinggi dari
pada tingkat pertumbuhan pendapatan, ini yang menjadi dasar pesimisme Malthus
akan kehidupan manusia di masa mendatang.

Dalam teorinya Malthus “Essay on population” berisi dua hukum alam dasar
yang dianggapnya sebagai “kebenaran yang tidak terbantahkan”: pertama populasi
cenderung bertambah menurut deret ukur (secara geometri (1,2,4,8,) ke dua,
produksi makanan (sumber daya alam cenderung bertambah menurut deret hitung
(secara aretmatika (1,2,3,4,5,) akibatnya adalah terjadi krisis “penderitaan dan
kejahatan” yang tak terelakan dimana suber daya alam bumi tidak bisa memenuhi
kebutuhan penduduknya yang terus bertambah.

Pada dasarnya pengalih fungsian lahan biasa terjadi dengan diawali penjualan
lahan, dan pendek cerita, mungkin uang hasil penjualan tersebut akan meningkatkan
kesejahteraan petani, tetapi karena umumnya sebagain besar uang hasil
penjualan tersebut dibelanjakan untuk aset nonproduktif seperti
membuat/rehabilitasi rumah dan pembelian kendaraan, maka laha pertanian sebagai
sumber mata pencaharian utama akan semakin sempit yang dalam jangka panjang
akan semakin menurunkan sekala usahanya. Peralihan lahan sawah bisa saja diiringi
oleh penurunan tingkat kesejahteraan petani, ini dapat diidentifikasi dari penurunan
luas lahan milik dan luas lahan garapan, yang secara keseluruhan bermuara kepada
penurunan pendaptan.

Perubahan penggunaan lahan akan mengarah kepada land rent yang lebih
tinggi, sehingga secara ekonomi demand lahan akan dideterminasi oleh surplusnya.
Ketika suatu lahan berubah fungsi, maka seharusnya secara agregat output
wilayahpun meningkat pula akibatnya adalah peningkatan produktifitas lahan.
Banyaknya lahan guntai disekitar lahan yang telah mengalami alih fungsi, dengan
motivi spekulasi lahan.Selain itu dengan nilai land rent kegiatan pertanian yang
rendah maka secara logis pertumbuhan ekonomi akan mendorong terjadinya alokasi
lahanyang bisa ke sektor ekonomi lain dan menimbulkan konversi lahan pertanian.

Konversi lahan pertanian tersebut cenderung terjadi pada lahan pertanian


berproduktivitas tinggi seperti lahan sawah beririgasi. Kecenderungan
demikian sangat tidak menguntungkan kerja di pedesaan namun terkesan sulit
dihindari. Dua faktor utama yang dapat menjadi penyebabnya adalah :

1) Ketersediaan infrastruktur ekonomi merupakan faktor positif dominan yang


berpengaruh terhadap preferensi investor dalam memilih lokasi lahan yang akan
dibangun untuk kegiatan di luar pertanian. Infrastruktur tersebut secara umum lebih
tersedia di daerah pertanian yang sudah berkembang akibat pembangunan masa lalu.
Konsekuensinya adalah permintaan lahan oleh investor cenderung lebih tinggi di
daerah pertanian yang sudah berkembang, utamanya yang mendekati sasaran
konsumennya seperti di daerah pinggiran kota.

2) Perlindungan pemerintah terhadap lahan pertanian produktif relatif lemah.


Kondisi demikian dapat terjadi akibat penilaian pasar terhadap lahan pertanian yang
cenderung under estimate karena lahan pertanian dianggap hanya menghasilkan
komoditas pertanian yang berharga murah dan bernilai tambah rendah. Persepsi
demikian melekat pada hampir seluruh lapisan masyarakat termasuk para ekonom
makropun berpersepsi demikian sangat dominan sehingga pertumbuhan ekonomi
Yang direfleksikan dalam pertumbuhan GDP (gross domestic product) hanya diukur
dari nilai produksi pertanian secara fisik, padahal lahan pertanian memiliki
multifungsi yang sangat luas secara lingkungan dan sosial. Persepsi demikian pula
yang menyebabkan konversi lahan pertanian seringkali berlangsung dengan
dukungan birokrasi daerah dengan alasan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi
daerah.

2. Dasar Hukum Alih Fungsi Lahan

Aturan dalam UU No. 24/1992 yang secar jelas berisi tentang pernyusunan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) seharusnya dilaksanakan secara baik oleh
berbagai pihak yakni mempertimbangkan budidaya tanaman pangan (sawah irigasi
teknis) agar tetap lestari dengan demikian pembangunan ekonomi juga sudah
seharusnya tetap mengikuti/mentaati Undang-undang RTRW untuk menjaga
ketahanan pangan. Adapu peraturan lain yang dikeluarkan pemerintah adalah

Undang-undang No 41 tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian


berkelanjutan, sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan, efisiesnsi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan
ekonomi nasional. Selain itu negara menjamin hak atas pangan sebagai hak asasi
setiap warga negara sehingga negara berkewajiban menjamin kemandirian,
ketahanan, dan kedaulatan pangan, serta mengantisipasi pertambahan jumlah
penduduk dan perkembagan ekonomi yang mengakibatkan terjadinya degradasi,
alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan yang telah mengancam daya
dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahan, dan
kedaulatan pangan. Penetapan kawasan pertanian pangan berkelanjutan
Kabupaten/Kota diatur dalam peraturan Daerah mengenai rencana tata ruang
wilayah Kabupaten/Kota

PP No 12 Tahun 2012 tentang Insentif Perlindungan Lahan Pertanian Pangan


Berkelanjutan, peraturan pemerintah ini adalah untuk memberikan dukungan kepada
petani yang tidak mengalih fungsikan lahannya dengan memberikan insentif berupa
peningkatan infrastruktur,bantuan keringanan pajak, serta penyediaan sarana produksi
pertanian dan penghargaan bagi petani berprestasi tinggi

PP No. 1 Tahun 2012 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk
dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok
bagi kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional, hal ini dimaksudkan
untuk melindungi lahan potensial agar pemanfaatannya, kesesuaian dan
ketersediaannya tetap terkendali untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian pangan
berkelanjutan pada masa yang akan datang.

UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penata Ruangan bahwa ruang Wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara kepulauan berciri
Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara termasuk ruang di dalam bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu
ditingkatkan upaya pengelolaanmya secara bijaksana, berdaya guna dan berhasil guna
dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah
nasional dapat terjaga keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan
keadilan sosial sesuai dengan landasan Konstitusioan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1995

Mengapa Terjadi Alih Fungsi Lahan?

Perubahan penggunaan lahan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi regional


tidak mungkin dapat dihindarkan. Apabila keadaan dilematis ini tidak segera diatasi
dengan pengembangan kebijakan pertanahan maka kelangsungan sistem pertanian
sukar dipertahankan, mengingat selama tiga dekade terakhir belum ada sesuatu
terobosan teknologi dan kelembagaan yang mampu mengkompensasi penurunan
produksi pertanian akibat berkurangnya tanah-tanah pertanian (khususnya sawah
beririgasi teknis) yang dirubahkepenggunaan lain.

Permasalahan semakin rumit di lapangan karena arah kebijakan nasional dalam


hal pengendalian alih fungsi lahan pertanian sering bertabrakan dengan kebijakan
pemerintah daerah yang lebih memprioritaskan kepentingan lokal dan kebijakan
daerah. Walaupun penerapan kebijakan pengendalian alih fungsi lahan masih
dipandang cukup efektif dalam membatasi penggunaan lahan sawah bagi kegiatan
nonpertanian (seperti mekanisme perijinan lokasi dan penerapan Rencana Tata Ruang
Wilayah), namun ternyata masih banyak pelaku “spekulan tanah” yang tidak
terjangkau oleh penerapan kebijakan tersebut.

Banyak dijumpai kasus di mana para pemilik lahan pertanian secara sengaja
mengubah fungsi lahan agar lebih mudah untuk diperjualbelikan tanpa melalui
mekanisme perijinan atau pelanggaran Rencana Tata Ruang Wilayah yang ada.
Sebagai contoh beberapa lokasi, sawah banyak yang dikavlingkan. Alasan utamanya
adalah untung yang berlipat ganda. Hal ini tentu menjadi daya tarik yang luar biasa
bagi pemilik sawah.

Perubahan Penggunaan Lahan Sawah

Terjadinya perubahan penggunaan lahan dapat disebabkan karena adanya


perubahan rencana tata ruang wilayah, adanya kebijaksanaan arah pembangunan dan
karena mekanisme pasar. Pada masa lampau yang terjadi adalah lebih banyak karena
dua hal yang terakhir, karena kurangnya pengertian masyarakat maupun aparat
pemerintah mengenai tata ruang wilayah, atau rencana tata ruang wilayah yang sulit
diwujudkan.

Sejalan dengan kebijaksanaan pembangunan yang menekankan kepada aspek


pertumbuhan melalui kemudahan fasilitas investasi, baik kepada investor lokal
maupun luar negeri dalam penyediaan tanahnya, maka perubahan penggunaan tanah
dari pertanian ke nonpertanian terjadi secara meluas. Tak dapat dipungkiri bahwa
bertambahnya penduduk dari tahun ke tahun menuntut juga disediakan fasilitas yang
memadai seperti transportasi, ekonomi, pemerintahan, sumber energi listrik, air, serta
pelayanan diberbagai bidang cukup tersedia, sehingga pembangunan perumahan
maupun industry terus digalakkan. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab
terjadinya perubahan alih fungsi lahan.

Hingga saat ini, penulis belum mendapatkan data yang menyebutkan berapa
angka pastinya luas tanah sawah yang beralih fungsi.

Dampak Perubahan Pemanfaatan Lahan Sawah Menjadi Tak-Sawah


Dengan adanya pembangunan perumahan, jalan, gedung-gedung sekolah,
industri , dan fasilitas umum lain di Kabupaten Tegal, di satu sisi menambah
terbukanya lapangan kerja di sektor nonpertanian seperti jasa konstruksi, dan industri,
akan tetapi juga menimbulkan dampak negatif yang kurang menguntungkan. Dampak
negatif tersebut antara lain :

1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang


mengganggu tercapainya swasembada pangan.

2. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari


sektor pertanian ke nonpertanian, yang apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak
terserap seluruhnya justru akan meningkatkan angka pengangguran. Dampak sosial
ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial masyarakat setempat
terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan konflik sosial.

3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pengairan menjadi


tidak optimal pemanfaatannya.

4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun


industri, sebagai dampak krisis ekonomi, atau karena kesalahan perhitungan
mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh, sehingga
meningkatkan luas tanah tidur yang pada gilirannya juga menimbulkan konflik sosial
seperti penjarahan tanah.

5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang
konon terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru
yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti di Kalimantan Tengah, tidak
memuas-kan hasilnya.

Kebijakan Pertanahan : Instrumen Kebijakan Pembangunan Dan Pengendali


Alih Fungsi Tanah Pertanian

Pemerintah daerah dalam kaitannya dengan perubahan fungsi tanah pertanian


cdigadapkan pada pilihan yang sukar untuk dipilih. Di satu sisi Pemda Tegal harus
memacu pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan sektor industri, jasa dan
properti, namun disisi lain juga harus mempertahankan keberadaan dan kelangsungan
sektor pertanian (pangan). Apalagi menteri pertanian kita adalah putra terbaik dari
Tegal. Beliau selalu mengkapanyekan swasembada beras, swasembada pangan, dan
swasembada daging. Sangatlah tidak elok, apabila pemda tegal tidak mendukung
upaya-upaya tersebut.

Menyadari permasalahan ini, pemerintah telah menetapkan beberapa ketentuan di


dalam kebijakan untuk membatasi dan/atau mencegah konversi tanah pertanian yang
subur menjadi penggunaan nonpertanian seperti:

1. Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan Industri dan


Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 tentang Penggunaan Tanah bagi
Pembangunan Kawasan Industri telah melarang pembangunan kawasan industri serta
pencadangan atau pemberian ijin lokasi dan pembebasan tanahnya pada areal tanah
pertanian subur.

2. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas


Nomor 5334/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994 tentang Perubahan Penggunaan
Tanah Sawah Beririgasi Teknis Untuk Penggunaan Tanah Nonpertanian.

3. Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas


kepada Menteri Dalam Negeri Nomor 5335/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994
tentang Penyusunan RTRW Dati II.

4. Dalam rangka pelaksanaan PAKTO-23 dikeluarkan Surat Menteri Negara


Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional kepada Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Propinsi dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota seluruh
Indonesia Nomor 460-3346 tanggal 31 Oktober 1994 tentang perubahan Penggunaan
Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah Nonpertanian. Edaran ini
melarang Aparat Pertanahan di daerah untuk mengeluarkan izin lokasi untuk lahan
sawah irigasi bagi kepentingan nonpertanian, walaupun menurut Rencana Umum
Tata Ruang Wilayah diperuntukkan bagi kegiatan nonpertanian.

Aspek Pertanahan (Penatagunaan Tanah): Instrumen Kebijakan Pertanahan


Sebagai Pengendali Alih Fungsi Tanah

Secara fungsional pertimbangan aspek penatagunaan tanah ini memiliki lima


kegunaan sebagai berikut:

1. Sarana pengendali dan pemantauan perubahan penggunaan tanah yang dibuat


dalam rangka pemberian ijin lokasi, pemberian hak atas tanah, permohonan
perubahan penggunaan tanah dan kegiatan pembangunan lainnya yang berkaitan
dengan penatagunaan tanah.

2. Sarana pengendali penggunaan tanah dalam rangka kegiatan pembangunan agar


tidak terjadi tumpang tindih (over-lapping) lokasi dengan arahan tata ruang wilayah
dan ketentuan teknis lainnya yang telah digariskan.

3. Bahan pertimbangan kepada pimpinan dalam pengambilan keputusan yang


sekaligus menjadi sarana koordinasi teknis antar sektor dalam rangka mengarahkan
lokasi pembangunan.

4. Bahan pertimbangan instansi dan dinas terkait dalam rangka pemberian ijin pem-
bangunan sesuai dengan kewenangannya menurut ketentuan peraturan dan
perundangan yang berlaku.

5. Bahan informasi dalam upaya pengembangan sistem informasi pertanahan dalam


rangka pengendalian dan evaluasi serta pemberian bimbingan penggunaan tanah guna
peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Penerapan ke lima fungsi pertimbangan
aspek pertanahan tersebut secara optimal oleh pemerintah daerah dapat menjadi
sarana yang efektif dalam menjabarkan kebijakan pertanahan untuk memantau dan
membatasi perubahan tanah pertanian (tanah sawah) ke penggunaan tanah
nonpertanian, yaitu adanya penilaian kondisi tanah yang terbaru dan pertimbangan
aspek-aspek pembangunan lainnya. Adapun kewajiban pemohon adalah mem-berikan
gambaran kondisi tanah pada saat pengajuan permohonan ijin perubahannya meliputi:

1)Jenis penggunaan tanah.

2)Kesuburan dan produktivitas tanah.

3)Status penggunaan tanah.

4)Faktor-faktor lingkungan.

5)Rencana tata ruang wilayah maupun rencana pembangunan daerah.

6)Prasarana, sarana dan fasilitas lingkungan di lokasi kegiatan sekitarnya yang


akan ter-kena dampak kegiatan pemohon, dan

7)Faktor-faktor pendukung dan penghambat lainnya.


Sedangkan beberapa pertimbangan penting bagi pemerintah daerah dalam meng-
ambil keputusan untuk mengalihkan atau melarang alih fungsi tanah pertanian setelah
mengkaji kondisi tanah di atas ialah:

a.Pertimbangan kesesuaian rencana pemohon dengan rencana tata ruang wilayah.

b.Pertimbangan kesesuaian rencana pemohon dengan rencana pembangunan daerah.

c.Pertimbangan kewenangan menggunakan tanah sesuai dengan jenis hak atas tanah.

d.Pertimbangan kewajiban mengusahakan tanah sesuai dengan ketentuan yang


berlaku.

e.Pertimbangan terhadap peningkatan nilai, produksi dan kesuburan tanah.

f. Pertimbangan kelestarian lingkungan hidup dan pencegahan kerusakan tanah.

g.Pertimbangan larangan menelantarkan tanah.

Dalam mempertimbangan aspek penatagunaan tanah ini, pemerintah daerah


memiliki sarana yang memadai untuk memonitor dan membatasi upaya para pemilik
tanah yang secara sengaja merubah fungsi tanah pertanian yang mereka kuasai atau
miliki, dengan cara:

1. Menutup saluran-saluran irigasi yang mengairi sawah beririgasi teknis


mereka.

2. Mengeringkan sawah beririgasi teknis miliknya dan menjadikannya untuk


penggunaan pertanian tanah kering.

3. Menimbun sawah beririgasi teknis miliknya untuk keperluan bangunan.

4. Menjual tanah tegalan/tanah kering, hasil perubahan sah di atas tanpa ijin
dalam upaya menghindari larangan.

Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian Bertumpu Pada Partisipasi


Masyarakat

Menurut Iqbal dan Sumaryanto (2007) terdapat tiga langkah dalam mewujudkan
strategi pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang bertumpu pada masyarakat.
Pertama, titik tumpu (entrypoint) strategi pengendalian adalah melalui partisipasi
segenap pemangku kepentingan. Hal ini cukup mendasar, mengingat para pemangku
kepentingan adalah pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan proses alih fungsi
lahan pertanian. Kedua, fokus analisis strategi pengendalian adalah sikap pandang
pemangku kepentingan terhadap eksistensi peraturan kebijakan seperti instrument
hukum (peraturan perundang-undangan), instrumen ekonomi (insentif, disinsentif,
kompensasi) dan zonasi (batasan-batasan alih fungsi lahan pertanian). Esensinya,
sikap pandang pemangku kepentingan seyogyanya berlandaskan inisiatif masyarakat
dalam bentuk partisipasi aksi kolektif yang sinergis dengan peraturan kebijakan,
sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat. Ketiga, sasaran (goal) strategi
pengendalian adalah terwujudnya pengendalian alih fungsi lahan pertanian yang
selaras dan berkelanjutan

Keragaan Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Kinerja Pengendaliannya

Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan struktur perekonomian,


kebutuhan lahan untuk kegiatan nonpertanian cenderung terus meningkat.
Kecenderungan tersebut menyebabkan alih fungsi lahan pertanian sulit dihindari.
Beberapa kasus menunjukkan jika di suatu lokasi terjadi alih fungsi lahan, maka
dalam waktu yang tidak lama lahan di sekitarnya juga beralih fungsi secara progresif.
Menurut Irawan (2005), hal tersebut disebabkan oleh dua faktor.

Pertama, sejalan dengan pembangunan kawasan perumahan atau industri di suatu


lokasi alih fungsi lahan, maka aksesibilitas di lokasi tersebut menjadi semakin
kondusif untuk pengembangan industri dan pemukiman yang akhirnya mendorong
meningkatnya permintaan lahan oleh investor lain atau spekulan tanah sehingga harga
lahan di sekitarnya meningkat.

Kedua, peningkatan harga lahan selanjutnya dapat merangsang petani lain di


sekitarnya untuk menjual lahan. Wibowo (1996) menambahkan bahwa pelaku
pembelian tanah biasanya bukan penduduk setempat, sehingga mengakibatkan
terbentuknya lahan-lahan guntai yang secara umum rentan terhadap proses alih fungsi
lahan.

Secara empiris lahan pertanian yang paling rentan terhadap alih fungsi adalah
sawah. Hal tersebut disebabkan oleh: (1) kepadatan penduduk di pedesaan yang
mempunyai agroekosistem dominan sawah pada umumnya jauh lebih tinggi
dibandingkan agroekosistem lahan kering, sehingga tekanan penduduk atas lahan
juga lebih tinggi; (2) daerah pesawahan banyak yang lokasinya berdekatan dengan
daerah perkotaan; (3) akibat pola pembangunan di masa sebelumnya, infrastruktur
wilayah pesawahan pada umumnya lebih baik dari pada wilayah lahan kering; dan (4)
pembangunan prasarana dan sarana pemukiman, kawasan industri, dan sebagainya
cenderung berlangsung cepat di wilayah bertopografi datar, dimana pada wilayah
dengan topografi seperti itu (terutama di Pulau Jawa) ekosistem pertaniannya
dominan areal persawahan.

Pemerintah bukannya tutup mata terhadap meluasnya alih fungsi lahan, namun ada
beberapa kendala yang dihadapi. Menurut Nasoetion (2003) mengemukakan bahwa
setidaknya terdapat tiga kendala mendasar yang menjadi alasan mengapa peraturan
pengendalian alih fungsi lahan sulit terlaksana, yaitu :

1. Kendala Koordinasi Kebijakan. Di satu sisi pemerintah berupaya melarang


terjadinya alih fungsi lahan, tetapi di sisi lain justru mendorong terjadinya alih fungsi
lahan tersebut melalui kebijakan pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor
nonpertanian lainnya yang dalam kenyataannya menggunakan tanah pertanian.

2. Kendala Pelaksanaan Kebijakan. Peraturan-peraturan pengendaliah alih fungsi


lahan baru menyebutkan ketentuan yang dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan
atau badan hukum yang akan menggunakan lahan dan atau akan merubah lahan
pertanian ke nonpertanian. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan sawah ke
nonpertanian yang dilakukan secara individual/perorangan belum tersentuh oleh
peraturan-peraturan tersebut, dimana perubahan lahan yang dilakukan secara
individual diperkirakan sangat luas.

3. Kendala Konsistensi Perencanaan. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang


kemudian dilanjutkan dengan mekanisme pemberian izin lokasi, merupakan
instrumen utama dalam pengendalian untuk mencegah terjadinya alih fungsi lahan
sawah beririgasi teknis. Namun dalam kenyataannya, banyak RTRW yang justru
merencanakan untuk mengalih fungsikan lahan sawah beririgasi teknis menjadi
nonpertanian.

Sehubungan dengan tiga kendala di atas, tidak efektifnya peraturan yang telah
ada, juga dipengaruhi oleh : (1) lemahnya sistem administrasi tanah; (2) kurang
kuatnya koordinasi antar lembaga terkait; dan (3) belum memasyarakatnya
mekanisme implementasi tata ruang wilayah. Di samping itu, persepsi pemerintah
tentang kerugian akibat alih fungsi lahan sawah cenderung bias ke bawah
(underestimate), sehingga dampak negatif alih fungsi lahan sawah tersebut kurang
dianggap sebagai persoalan yang perlu ditangani secara serius dan konsisten.

Sementara itu, Simatupang dan Irawan (2002) menyimpulkan bahwa dari


beberapa peraturan perundang-undangan alih fungsi lahan pertanian yang ada
memiliki berbagai kelemahan. Kelemahankelemahan tersebut antara lain :

1.Obyek lahan pertanian yang dilindungi dari proses alih fungsi ditetapkan
berdasarkan kondisi fisik lahan, padahal kondisi fisik lahan tersebut relative mudah
direkayasa, sehingga alih fungsi lahan dapat berlangsung tanpa melanggar peraturan
yang berlaku.

2.Peraturan yang ada cenderung bersifat himbauan dan tidak dilengkapi sanksi yang
jelas, baik yang menyangkut dimensi maupun pihak yang dikenai sanksi.

3. Jika terjadi alih fungsi lahan pertanian yang tidak sesuai dengan peraturan yang
berlaku, maka sulit ditelusuri pihak mana yang paling bertanggungjawab, mengingat
izin alih fungsi lahan merupakan keputusan kolektif berbagai instansi.

4.Peraturan perundangan-undangan yang berlaku kadangkala bersifat paradoksal dan


dualistik. Di satu sisi bermaksud untuk melindungi alih fungsi lahan sawah, namun di
sisi lainnya pemerintah cenderung mendorong pertumbuhan industri yang notabene
basisnya membutuhkan lahan. Di wilayah yang lahan keringnya terbatas, seperti
pantai utara Jawa, kebijakan tersebut jelas akan menekan eksistensi lahan sawah yang
ada.
PENUTUP

Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis sampaikan beberapa point penting terkait
dengan alihfungsi lahan dipertalikan dengan ketahanan pangan.

1. Pemerintah harus memberikan perhatian terhadap upaya mempertahankan/menjaga


keberadaan lahan-lahan pertanian untuk kelestarian produksi pertanian. Tanpa adanya
upaya mengatasi dilema tersebut melalui perbaikan peraturan/kebijakan pertanahan,
sangat kecil kemungkinan bagi sistem usaha tani untuk berlanjut seperti ditunjukkan
oleh konversi lahan sawah pada tiga dekade terakhir. Belum terlihat adanya terobosan
teknologi atau upaya pemerintah sebagai kompensasi turunnya produksi pertanian
yang diakibatkan oleh kehilangan lahan khususnya lahan-lahan yang beririgasi.

2. Mewaspadai era globalisasi dan pasar bebas sejalan dengan meningkatnya arus
investasi ke Indonesia, intensitas konflik pemanfaatan tanah pertanian akan semakin
dilematis mengingat peluang perluasan lahan pertanian sudah sangat terbatas.
Sementara, tuntutan terhadap kebutuhan lahan untuk perkembangan sektor industri,
jasa, dan properti semakin meningkat dan tidak mungkin terhindarkan sejalan dengan
pertumbuhan ekonomi regional. Bila keadaan dilematis ini tidak segera diatasi
dengan mengembang-kan kebijakan pertanahan maka kelangsungan sistem pertanian
akan terganggu.

3. Secara nasioanl, luas tanah sawah adalah kurang lebih 7,8 juta ha, dimana 4,2 juta
ha berupa sawah irigasi dan sisanya 3,6 juta ha berupa sawah nonirigasi. Selama
Pelita VI tidak kurang dari 61.000 ha lahan sawah telah berubah menjadi penggunaan
lahan nonpertanian. dari luas lahan sawah ini telah beralih fungsi menjadi perumahan
(30%), industri (65%), dan sisanya (5%) beralih fungsi penggunaan tanah lain.

4.Menyadari permasalahan tersebut, pemerintah telah menetapkan beberapa


ketentuan di dalam kebijakan untuk membatasi dan atau mencegah konversi lahan
pertanian yang subur menjadi penggunaan lahan nonpertanian, salah satunya adalah
kebijakan pertanahan yang menggunakan instrumen pertimbangan aspek
penatagunaan tanah.

5. Pertimbangan aspek penatagunaan tanah ini dapat membantu pemerintah daerah


untuk lebih rasional dalam mengambil keputusan untuk mengalihkan atau melarang
alih fungsi lahan pertanian.
Referensi

Iqbal, M dan Sumaryanto. 2007. Strategi Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian
Bertumpu Pada Partisipasi Masyarakat. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No.
2, Juni 2007 : 167-182.

Irawan, B. 2005. Konversi Lahan Sawah : Potensi Dampak, Pola Pemanfaatannya,


dan Faktor Determinan. Forum Penelitian Agro Ekonomi Volume 23, Nomor 1, Juni
2005. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor

Nasoetion, L.I. 2003. Konversi Lahan Pertanian : Aspek Hukum dan


Implementasinya. Dalam Kurnia etal.. (eds). Makalah Seminar Nasional
“Multifungsi Lahan Sawah dan Konversi Lahan Pertanian”. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Bogor

Wibowo, S.C. 1996. Analisis Pola Konversi Sawah Serta Dampaknya Terhadap
Produksi Beras : Studi Kasus di Jawa Timur. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor. Bogor

Mansur. 2004. Alih Fungsi Lahan di Pantura. Bogor.

Perserikatan Ahli Agronomi Indonesia di Convensional Center di Jakarta. Rustiadi


dan Waqda. 2007. Pergeseran Penggunaan Lahan. Jakarta.

Sitorus. 2004. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Jurnal Ilmiah IPB, Bogor.

Sutopo. 2010. Komunikasi Sosial dan Perubahan Sosial. Surakarta: UNS Press.

Suswono. 2012. Bahaya Konservasi Lahan Sawah, paper di depan PERAGI.

Tineke Mandong. 2012. Kesadaran Petani Pengelola Lahan, Jurnal IP, Jakarta
Undang- Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Lahan Pertanian Berkelanjutan, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai