Alhamdulillah, kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah swt Yang Maha Pengasih
lagi Maha Penyayang. Berkat rahmat, hidayah, dan inayah Allah swt, saya dapat
menyelesikan makalah “Semangat Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia” ini
sebagaimana tugas yang telah diberikan.
Makalah ini disusun berdasarkan standart Buku Sejarah dan sumber-sumber terpercaya
(Internet)
Pada kesempatan ini tidak lupa kami sampaikan ucapan terima kasih kepada bapak
DRS.Pangkat Mulia selaku guru mata pelajaran sejarah, yang senantiasa membimbing saya
dan teman teman.
Penyusun juga menyadari bahwa masih banyak kekurangan, kekeliruan, dan masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran atas
penulisan makalah ini selanjutnya.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………...
C. TUJUAN ……………………………………………………………………………………………
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia telah mencapai puncaknya dengan
proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Waktu itu Jepang
mengalami kekalahan dengan sekutu, sehingga keadaan ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh
bangsa Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Dengan proklamasi inilah
Negara Indonesia terlahir.
Sebagai Negara yang baru saja terbentu, tentunya Indonesia masih rentan dengan
penjajahan bangsa asing maupun pemberontakan bangsa sendiri. Kemerdekaan bangsa
Indonesia yang baru sebentar ini mendapatkan gangguan dari Belanda. Awalnya bangsa
Indonesia menyabut baik kedatangan Belanda, namum setelah mengetahui Belanda
diboncengi Sekutu, rakyat Indonesia merasa terganggu. Dari situlah mulai terjadi perlawanan
diberbagai daerah di Indonesia. Perlawanan bangsa Indonesia ini dikalukan secara fisik
maupun secara diplomasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang melatarbelakangi perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaannya?
2. Bagaimana upaya bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya?
C. Tujuan
1. Mengetahui hal yang melatarbelakangi perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan
kemerdekaannya?
2. Mengetahui upaya bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya
BAB II
PEMBAHASAN
2
Di bawah pimpinan Letnan Jendral Sir Philip Chirstison. Adapun tugas AFNEI :
Dalam menjalankan misiya di Indonesia, AFNEI hanya berkonsentrasi tugas di Jawa dan
Sumatera. Terbagi dalam 3 divisi,yaitu :
1) 23 tahun Indian Division dibawah komando Mayor Jendral D.C Hawthorn (divisi ini
berlokasi di Jawa Barat).
2) 5 tahun Indian Division,di bawah komando Mayor Jendral E.C Mansergh (divisi ini berlokasi
di Jawa Timur).
3) 26 tahun Indian Division,di bawah komando Mayor Jendral H.M Chambers (divisi ini
berlokasi di Sumatera).
Pada tanggal 25 Oktober 1945 Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A W.S.
Mallaby mendarat di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Brigadir ini merupakan bagian dari
Divisi India ke-23, dibawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas
melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan tawanan Sekutu. Pasukan ini berkekuatan 6000
personil di mana perwira-perwiranya kebanyakan orang-orang Inggris dan prajuritnya orang-
orang Gurkha dari Nepal yang telah berpengalaman perang. Rakyat dan pemerintah Jawa
Timur di bawah pimpinan Gubernur R.M.T.A Suryo semula enggan menerima kedatangan
Sekutu.
3
Kemudian antara wakil-wakil pemerintah RI dan Birgjen AW.S. Mallaby mengadakan
pertemuan yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
Para pemuda dengan perjuangan yang gigih dapat melumpuhkan tank-tank Sekutu dan
berhasil menguasai objek-objek vital. Strategi yang digunakan rakyat Surabaya adalah
dengan mengepung dan menghancurkan pemusatan-pemusatan tentara Inggris kemudian
melumpuhkan hubungan logistiknya. Serangan tersebut mencapai kemenangan yang
gemilang walaupun di pihak kita banyak jatuh korban. Pada tanggal 29 Oktober 1945 Bung
Karno beserta Jenderal D.C. Hawthorn tiba di Surabaya.
4
b. Perang Aceh
Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah
melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan,
di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang
berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya
Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh,
Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang
juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.
Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten.
Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat
pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa
seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26
Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan
di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana
pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala
Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.
Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi
sabilillah. Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam
perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan.
Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh,
Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi
komandan perang gerilya.
Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan
perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat
pemerintahan Kesultanan.
Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr.
Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk
meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan
judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk
menaklukkan Aceh.
Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van
Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala)
dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus
kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan
pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan
cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan
sosial rakyat Aceh.
5
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur
militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai
penasihatnya.
6
c. Perang Ambarawa
Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat
di Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di
Jawa Tengah. Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya
disambut baik, bahkan Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro menyepakati akan
menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang
Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.
Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk
membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan tersebut malah dipersenjatai
sehingga menimbulkan kemarahan pihak Indonesia. Insiden bersenjata timbul di kota
Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara Sekutu bertindak sebagai
penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat kekacauan. TKR
Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan
mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran
berkat campur tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian
pasukan Sekutu secara diam-diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng
Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M.
Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka. Gerakan mundur tentara Sekutu
tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di bawah pimpinan
Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan
Surakarta.
Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno di Ngipik. Pada saat
pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan
Indonesia di bawah pimpinan Letkol. Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut,
tetapi ia gugur terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V
Banyumas, Kol. Soedirman merasa kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung
turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran. Kehadiran Kol. Soedirman memberikan
napas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di antara komando-komando
sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan adalah
serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta,
Surakarta, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.
Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak
dengan pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo
Agoeng. Pasukan Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon.
Soegeng. Tentara Sekutu mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya,
menyusup ke tempat kedudukan Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia
pindah ke Bedono.
Saat itu, seorang penghuni merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang dipakai
pemuda Indonesia. Hal ini mengundang kemarahan pemuda Indonesia. Pada tanggal 13
Oktober 1945, barisan pemuda dan TKR bertempur melawan Sekutu dan NICA dalam upaya
merebut dan mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dari tangan Jepang.
Inggris mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia agar menyerahkan senjata kepada
Sekutu. Ultimatum ini tidak pernah dihiraukan. Pada tanggal 1 Desember 1945, Sekutu
memasang papan yang tertuliskan "Fixed Boundaries Medan Area" (batas resmi wilayah
Medan) di berbagai pinggiran kota Medan. Tindakan Sekutu itu merupakan tantangan bagi
para pemuda.
Pada tanggal 10 Desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran
terhadap Kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Pada
bulan April 1946, Sekutu berhasil menduduki Kota Medan. Untuk sementara waktu pusat
perjuangan rakyat Medan kemudian dipindahkan ke Siantar, sementara itu perlawanan para
laskar pemuda dipindahkan keluar Kota Medan. Perlawanan terhadap sekutu semakin sengit
pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebing Tinggi.
Di dalam Barisan Laskar Rakyat ini semua potensi pimpinan pemuda dengan berisan-barisan
perjuangannya dirangkul dan digabung ke dalam Barisan Pemuda Indonesia termasuk bekas
Gyugun atau Heiho seperti: Djamin Ginting, Nelang Sembiring, Bom Ginting. Sedangkan
yang berasal dari Talapeta: Payung Bangun, Gandil Bangun, Meriam Ginting, Tampe Malem
Sinulingga. Sedangkan yang berasal dari N.V. Mas Persada: Koran Karo-karo. Yang berasal
dari Pusera Medan: Selamat Ginting, Rakutta Sembiring dan Tampak Sebayang. Demikian
pula dari potensi-potensi pemuda lain seperti: Tama Ginting, Matang Sitepu.
Dalam proses sejarah selanjutnya, Komando Laskar Rakyat kemudian berubah menjadi BKR
(Badan Keamanan Rakyat) yang merupakan tentara resmi pemerintah, di mana Djamin
Ginting ditetapkan sebagai Komandan Pasukan Teras bersama-sama Nelang Sembiring dan
Bom Ginting dan anggota lain seperti: Selamat Ginting, Nahud Bangun, Rimrim Ginting,
Kapiten Purba, Tampak Sebayang dan lain-lain.
Pada umumnya, yang menjadi anggota BKR ini adalah para bekas anggota Gyugun atau
Heiho dan berisan-barisan bentukan Jepang. Djamin Ginting merupakan bekas komandan
pleton Gyugun yang ditunjuk menjadi Komandan Batalyon BKR Tanah Karo. Untuk
melanjutkan perjuangan di Medan, maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando
Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komando resimen ini terus mengadakan serangan
terhadap Sekutu di wilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah Sumatra terjadi perlawanan
rakyat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Pertempuran itu terjadi di daerah lain juga,
antara lain di Berastagi, Padang, Bukit Tinggi dan Aceh.
Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober
1945. Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut
agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR (Tentara Keamanan
Rakyat), diserahkan kepada mereka. Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp
tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai mengganggu keamanan. Akibatnya,
bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) tidak dapat
dihindari. Malam tanggal 21 November 1945, TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dan badan-
badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-kedudukan Inggris di bagian
utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan sebagai markas.
Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat
agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.
Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada
saat itu) meninggalkan Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumi-hangus".
Para pejuang pihak Republik Indonesia tidak rela bila Bandung dimanfaatkan oleh pihak
Sekutu dan NICA. Keputusan untuk membumi-hanguskan Bandung diambil melalui
musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan
perjuangan pihak Republik Indonesia, pada tanggal 23 Maret 1946. Kolonel Abdoel Haris
Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil musyawarah tersebut dan
memerintahkan evakuasi Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar penduduk Bandung
mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota berlangsung.
Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak
dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam
mengepul membubung tinggi di udara dan semua listrik mati. Tentara Inggris mulai
menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di
Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat gudang amunisi besar milik
Tentara Sekutu.
8
Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Muhammad Ramdan, dua anggota milisi BRI
(Barisan Rakjat Indonesia) terjun dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi tersebut.
Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang tersebut dengan
dinamit.Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di dalamnya.
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi
keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam rombongan yang
mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan telah
kosong dari penduduk dan TRI. Namun, api masih membubung membakar kota, sehingga
Bandung pun menjadi lautan api.
Pembumi-hangusan Bandung tersebut dianggap merupakan strategi yang tepat dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia karena kekuatan TRI dan milisi rakyat tidak sebanding dengan
kekuatan pihak Sekutu dan NICA yang berjumlah besar. Setelah peristiwa tersebut, TRI
bersama milisi rakyat melakukan perlawanan secara gerilya dari luar Bandung. Peristiwa ini
mengilhami lagu Halo, Halo Bandung yang nama penciptanya masih menjadi bahan
perdebatan.
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo, Halo Bandung" secara resmi ditulis, menjadi
kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami saat itu,
menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.
Kekalahan dari Jepang dalam Perang Asia Timur Raya menyebabkan Belanda harus
meninggalkan Indonesia pada tahun 1942. Setelah itu, Indonesia dijajah oleh Jepang hingga
pada tanggal 17 Agustus 1945 Indonesia menyatakan Kemerdekaannya. Pada tanggal 23
Agustus 1945, pasukan Sekutu dan NICA mendarat di Sabang, Aceh. Mereka tiba di Jakarta
pada 15 September 1945. Selain membantu Sekutu untuk melucuti tentara Jepang yang
tersisa, NICA di bawah pimpinan van Mook atas perintah Kerajaan Belanda membawa
kepentingan lain, yaitu menjalankan pidato Ratu Wilhelmina terkait konsepsi kenegaraan di
Indonesia. Pidato pada tanggal 6 Desember 1942 melalui siaran radio menyebutkan bahwa di
kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran antara Kerajaan Belanda dan Hindia
(Indonesia) di bawah naungan Kerajaan Belanda.
Perjanjian resmi pertama yang dilakukan Belanda dan Indonesia setelah kemerdekaan adalah
Perundingan Linggarjati. Van Mook bertindak langsung sebagai wakil Belanda, sedangkan
Indonesia mengutus Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani.
Inggris sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord Killearn. Namun, realisasi di lapangan
tidak sepenuhnya berjalan mulus hingga Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan
ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km dari garis demarkasi. Pimpinan
RI menolak permintaan Belanda tersebut. Pada tanggal 20 Juli 1947, Van Mook menyatakan
melalui siaran radio bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Linggarjati.
Kurang dari 24 jam setelah itu, Agresi Militer Belanda I pun dimulai.
9
Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan
daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk
dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan
menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Pada saat itu jumlah tentara Belanda
telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk
persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.
Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal Ilham Ard
mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama .
Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara
Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi
militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah
yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatra, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatra Timur, Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Di Sumatra Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa
Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah
wilayah yang terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu
Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan
Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST
(pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari Pembantaian Westerling di Sulawesi
Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim
juga ke Sumatra Barat.
Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang
sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat
yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak
jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus
Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I
Adisumarno Wiryokusumo.
Pemerintah Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer yang dilakukan oleh
Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian
Internasional, yaitu Persetujuan Linggarjati. Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi
keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian
secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer
yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB. PBB
langsung merespons dengan mengeluarkan resolusi tertanggal 1 Agustus 1947 yang isinya
menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan. PBB mengakui eksistensi RI dengan
menyebut nama “Indonesia”, bukan “Netherlands Indies” atau “Hindia Belanda” dalam
setiap keputusan resminya.
10
Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi
No. 30 dan 31 tanggal 25 Agustus 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta
resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik
antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question. Atas tekanan
Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya
menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima
Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947
Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara
Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices
for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga
Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh
Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral.
Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan
Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.
Gencatan senjata akhirnya tercipta, akan tapi hanya untuk sementara. Belanda kembali
mengingkari janji dalam perjanjian yang disepakati berikutnya dengan menggencarkan
operasi militer yang lebih besar pada 19 Desember 1948. operasi militer tersebut dikenal
dengan Agresi Militer Belanda II.
g. Agresi Militer II
Pada 18 Desember 1948, Belanda di bawah pimpinan Dr. Bell mengumumkan bahwa
Belanda tidak terikat lagi oleh Persetujuan Renville. Pada 19 Desember 1948 Belanda
mengadakan Agresi Militer II ke ibu kota Yogyakarta. Dalam agresi itu Belanda dapat
menguasai Yogyakarta.
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan dan diasingkan ke Pulau
Bangka. Beliau lalu mengirimkan mandat lewat radio kepada Mr. Syaffruddin
Prawiranegara. Isinya agar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), di
Bukit Tinggi Sumatra Barat.
Pada 1 Maret 1949 Brigadir X mengadakan serangan umum ke Yogyakarta. Penyerangan ini
dipimpin Letkol. Soeharto. Serangan ini memakai sandi "Janur Kuning". Serangan ini
dikenal juga dengan "Serangan Umum 1 Maret". Dalam penyerangan ini Tentara Republik
Indonesia dalam serangan ini berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama 6 jam.
Latar belakang terjadinya Agresi Militer II adalah karena pihak bangsa Indonesia maupun
pihak Belanda sama-sama mengirimkan surat kepada pihak KTN. Surat tersebut sama-sama
berisi dugaan terhadap pihak indonesia maupun pihak belanda yang dianggap tidak
menghormati hasil perjanjian Renville.
11
L.J.M Beel sebagai Komisi Tinggi Kerajaan Belanda merupakan otak dari Agresi Militer
Belanda II mempunyai dua tujuan.
1. Pertama, Republik Indonesia sebagai suatu kesatuan ketatanegaraan harus dihancurkan
dan itu hanya dapat dilakukan dengan Agresi Militer.
2. Kedua, untuk membentuk Pemerintah Interim Federal yang didasarka atas Peraturan
Pemerintahan dalam Peralihan, di mana wakil-wakil dari daerah-daerah federal dan unsur-
unsur yang kooperatif dan moderat dari bekas Republik harus ikut ambil bagian dalam PIF
tanpa mewakili bekas Republik.
Sebelum macetnya perundingan Renville sudah ada tanda-tanda bahwa Belanda akan
melanggar persetujuan Renville. Pemerintah RI dan TNI membentuk Markas Besar
Komando Djawa (MBKD) yang dipimpin oleh A.H. Nasution dan Hidayat.
Dalam suasana genting, pemerintah RI mengadakan rapat kilat dan menghasilkan keputusan
darurat berikut.
Pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresinya yang kedua. Dengan taktik
perang kilat, Belanda melancarkan serangan di semua front RI. Serangan diawali dengan
penerjunan pasukan-pasukan payung di Pangkalan Udara Maguwo dan dengan cepat berhasil
menduduki ibu kota Yogyakarta.
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Hatta beserta sejumlah Menteri, Kepala Staf Angkatan
Udara Komodor Suryadarma dan lainnya ditawan tentara Belanda. Namun sebelumnya
Presiden Sukarno telah berhasil mengirimkan radiogram yang berisi mandat kepada Menteri
Kemakmuran Syafruddin Prawiranegara yang sedang melakukan kunjungan ke Sumatera
untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Perintah juga diberikan kepada Mr. A.A. Maramis yang sedang di India. Apabila Syafruddin
Prawiranegara ternyata gagal, maka Maramis diberi wewenang untuk membentuk
pernerintah pelarian (Exile Goverment) di luar negeri.
12
i. Reaksi Dunia Terhadap Agresi Militer Belanda II
A. Asia dan Afrika
Agresi militer yang dilakukan oleh Belanda, baik itu 1 dan 2 tentunya dilihat oleh mata dunia
internasional, dan hal itu membuat Belanda mendapat kecaman dari dunia internasional.
Bahkan dunia internasional pun mendukung perjuangan bangsa Indonesia untuk
mempertahankan kemerdekaannya. Negara-negara boneka bentukan Belanda, seperti Negara
Indonesia Timur dan Negara Pasundan juga ikut mengutuk tindakan agresi militer Belanda 2.
Pada tanggal 20 – 23 Januari 1949, atas usulan Burma (Myanmar) dan India, digelarlah
‘Konferensi Asia’ di New Delhi, India. Konferensi yang dihadiri oleh beberapa negara di
Asia, Afrika, dan Australia telah menghasilkan sebuah resolusi tentang permasalahan
Indonesia yang kemudian disampaikan kepada Dewan Keamanan PBB.
Agresi Militer Belanda yang Kedua mengundang reaksi dunia internasional. Reaksi tersebut
sedemikian hebat mengingat Indonesia adalah negara yang berdaulat dan diakui oleh
sejumlah negara Asia. Eksistensi Indonesia juga diperkuat dengan diadakannya Perjanjian
Linggarjati dan Renville yang diadakan dengan Belanda.
Negara-negara sahabat Indonesia seperti India, Australia, dan sejumlah negara Arab
mengecam tindakan Belanda tersebut. Mereka menganggap tindakan Belanda telah
menyalahi tata karma politik internasional. Belanda dianggap telah melanggar kedaulatan
Indonesia yang telah diakui secara internasional.Reaksi terhadap agresi Belanda tersebut juga
datang dari Amerika Serikat.
Kepentingan Amerika dalam konflik antara Indonesia dan Belanda antara lain sebagai
berikut:
Puncak penyebaran komunis di Asia Tenggara terjadi pada tahun 1975 ketika kelompok
komunis berhasil menguasai pemerintahan di ketiga negara tersebut. Di tahun 1975 Vietmih
dengan dukungan Vietcong berhasil merebut Kota Saigo, Ibukota Vietnam Selatan dan
kemudian menggabungkan negara tersebut menjadi Negara Sosialis Vietnam yang berhaluan
komunis.Sedangkan di tahun yang sama, kelompok ultra radikal, Khmer Merah pimpinan Pol
Pot berhasil merebut kekuasaan dari tangan Marsekal Lon Nol yang pro Amerika Serikat.
13
Kondisi di Asia Tenggara terus diamati oleh Amerika Serikat. Amerika kemudian khawatir
komunisme akan meluas ke wilayah Aisa Tenggara lainnya termasuk Indonesia. Indonesia di
mata Amerika merupakan daerah strategis baik secara geopolitik maupun secara ekonomi.
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang sangat besar dan ketika itu
diperkirakan memiliki kandungan kekayaan alam yang berlimpah.Selama ini satu-satunya
informasi mengenai keadaan politik di Indonesia didapatkan Amerika dari Belanda. Tentu
saja Belanda memberikan informasi yang salah mengenai Indonesia kepada Amerika.
Belanda menganggap bahwa Indonesia adalah negara yang dipimpin oleh orang-orang
komunis atau simpati terhadap komunisme.
Amerika dengan keterbatasan informasi yang diterima tentu saja mempercayai informasi dari
Belanda tersebut, sehingga Amerika memberikan dukungan kepada Belanda ketika Belanda
melancarkan agresinya yang pertama di bulan Juli 1947.Akan tetapi setelah Amerika
mendapatkan informasi yang berimbang dari pihak Indonesia, mulailah Amerika
mengkoreksi politiknya selama ini.
Selain masalah politik dan ideologi, kepentingan Amerika di Indonesia juga menyangkut
persoalan ekonomi dan perdagangan. Pasca Perang Dunia Kedua Amerika dengan gencar
melakukan ekspansi ekonomi ke seluruh dunia.
Amerika berupaya membuka daerah-daerah yang selama ini dikuasai oleh kolonialis Eropa
seperti Inggris, Prancis, dan Belanda untuk perluasan pasar serta akses kepada bahan baku
dan sumber energinya.
14
Dalam rangka itulah maka Amerika Serikat berupaya menjajaki kemungkinan menjalin
hubungan ekonomi dan perdagangan dengan Indonesia.
Menjelang Agresi Militer Belanda yang Kedua, Indonesia kedatangan senator Amerika
Serikat, Malone yang berkunjung ke Indonesia untuk melihat pendirian RI dan Belanda.
Selain itu kunjungan senator Amerika Serikat tersebut bertujuan unutuk melihat potensi
perdagangan dengan pemerintah Indonesia. Senator Amerika tersebut kemudian mengadakan
serangkaian pertemuan dengan Presiden Sukarno dan pejabat Indonesia lainnya.
C. PBB
Aksi militer Belanda II menarik perhatian PBB, karena Belanda secara terang-terangan tidak
mengikuti lagi Persetujuan Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan oleh PBB.
Konferensi yang dihadiri oleh beberapa negara di Asia, Afrika, dan Australia telah
menghasilkan sebuah resolusi tentang permasalahan Indonesia yang kemudian disampaikan
kepada Dewan Keamanan PBB.
PBB pun mengutuk agresi militer Belanda 2 sebab menurut pandangan PBB, Belanda sudah
secara terang-terangan menginjak-injak kesepakatan dalam ‘Perjanjian Renville’ yang saat itu
ditandatangai di depan KTN dan wakil dari PBB. Pada 4 Januari 1949, Dewan Keamanan
PBB pun mengeluarkan resolusi supaya Indonesia dan Belanda segera menghentikan
permusuhan dan kembali ke meja perundingan. Setelah itu ada 3 perundingan penting yang
dijalankan oleh kedua negara, yaitu:
1. Roem-Royen
2. Konferensi Inter-Indonesia
3. Konferensi Meja Bundar
Pada tanggal 24 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB membuat resolusi atas peperangan
yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda, Dewan Keamanan PBB akhirnya
mengeluarkan resolusi pada 28 Januari 1949, yang isinya:
1. Penghentian semua operasi militer dengan segera oleh Belanda dan penghentian
semua aktivitas gerilya oleh RI
2. Pembebasan dengan segera dan dengan tidak bersyarat atas semua tahanan politik
3. Belanda harus memberikan kesempatan kepada pejabat pemerintah RI untuk kembali
ke Yogyakarta
4. Perundingan-perundingan akan dilakukan dalam waktu yang secepat-cepatnya dengan
dasar Persetujuan Linggarjati dan Renville
5. Komisi Jasa Baik (Komisi Tiga Negara) diganti namanya menjadi Komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kegagalan Belanda di medan pertempuran serta tekanan dari AS yang mengancam akan
memutuskan bantuan ekonomi dan keuangan, memaksa Belanda untuk kembali ke meja
perundingan
15
D. Palang Merah Internasional
Komite Internasional Palang Merah (International Comittee of the Red Cross, ICRC) adalah
lembaga kemanusiaan swasta yang berbasis di Jenewa, Swiss. Negara-negara peserta
(penanda tangan) keempat Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977 dan 2005,
telah memberi ICRC mandat untuk melindungi korban konflik bersenjata internasional dan
non-internasional. Termasuk di dalamnya adalah korban luka dalam perang, tawanan,
pengungsi, warga sipil, dan non-kombatan lainnya.
ICRC adalah salah satu dari tiga komponen, sekaligus cikal bakal, Gerakan Palang Merah
dan Bulan Sabit Merah Internasional. Selain ICRC, komponen Gerakan antara lain Federasi
Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) dan 186
Perhimpunan Nasional. Perhimpunan Nasional di Indonesia bernama Palang Merah Indonesia
(PMI).Palang Merah Internasional didirikan pada 05 Mei 1919. ICRC adalah organisasi
tertua dan dihormati dalam Gerakan, dan merupakan salah satu organisasi yang paling
banyak diakui di seluruh dunia. Salah satu contoh pengakuan dunia, ICRC telah tiga kali
menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1917, 1944, dan 1963.
Pernyataan misi resmi ICRC berbunyi: Komite Internasional Palang Merah (ICRC) adalah
organisasi yang tidak memihak, netral, dan mandiri, yang misinya semata-mata bersifat
kemanusiaan, yaitu untuk melindungi kehidupan dan martabat para korban konflik bersenjata
dan situasi-situasi kekerasan lain dan memberi mereka bantuan. ICRC mengarahkan dan
mengkoordinasi kegiatan bantuan kemanusiaan dan berupaya mempromosikan dan
memperkuat hukum humaniter dan prinsip-prinsip kemanusiaan universal. Tugas utama
ICRC bersumber pada Konvensi Jenewa dan Statuta Gerakan, di mana dikatakan bahwa
tugas ICRC antara lain:
a. Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati dilakukan pada tanggal 10-15 November 1946 di Linggarjati, dekat
Cirebon. Dalam Perjanjian ini, Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Sutan Syahrir dan
tiga anngota lainnya yaitu, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprodjo, dan AK GANI ,
sedangkan Belanda diwakili oleh Prof.
17
Scermerhorn yang beranggotakan Max Van Poll, Fde Boer, dan H.J.Van Mook. Perjanjian
tersebut dipimpin oleh Lord Killearn, seorang diplomat Inggris. Pada tanggal 7 Oktober 1946
Lord Killearn berhasil mempertemukan wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke
meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta.
Dalam perundingan ini masalah gencatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan akhirnya
dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn.
b. Perjanjian Renvile
Atas usul KTN maka pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan Perjanjian antara
Indonesia dan Belanda di atas kapal Renville milik AS yang sedang berlabuh di Jakarta.
Setelah melalui perdebatan dan permusyawaratan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai 17
Juni 1948 maka diperoleh persetujuan Renville. Isi perjanjian Renville, antara lain sebagai
berikut.
1) Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai dengan terbentuknya
Republik Indonesia Serikat (RIS).
2) Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada
pemerintah federal.
3) RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Negara Belanda dalam Uni Indonesia-
Belanda.
4) Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS.
18
Kerugian-kerugian yang diderita Indonesia dari perjanjian Renville adalah :
1) Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya Negara Indonesia serikat melalui masa
peralihan.
2) Indonesia kehilangan sebagian daerahnya karena garis Van Mook terpaksa harus diakui
sebagai daerah kekuasaan Belanda.
3) Pihak republik harus menarik seluruh pasukannya yang ada di daerah kekuasaan
Belanda dan dari kantong-kantong gerilya masuk daerah RI.
4) Wilayah RI menjadi semakin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan
Belanda.
5) Terjadi Hijrah TNI ke pusat pemerintahan di Yogyakarta.
6) Terjadinya pemberontakan DI/TII.
7) Terjadinya pemberontakan PKI di Madiun 1948.
8) Jatuhnya kabinet Amir Syarifudin diganti dengan Moh.Hatta
Perjanjian ini merupakan perjanjian pendahuluan sebelum KMB. Salah satu kesepakatan
yang dicapai adalah Indonesia bersedia menghadiri KMB yang akan dilaksanakan di Den
Haag negeri Belanda. Untuk menghadapi KMB dilaksanakan konferensi inter Indonesia
yang bertujuan untuk mengadakan pembicaraan antara badan permusyawaratan
federal(BFO/Bijenkomst Voor Federal Overleg) dengan RI agar tercapai kesepakatan
mendasar dalam menghadapi KMB. Komisi PBB yang menangani Indonesia digantikan
UNCI. UNCI berhasil membawa Indonesia-Belanda ke meja Perjanjian pada tanggal 7
Mei 1949 yang dikenal dengan persetujuan Belanda dari Indonesia :
1) Menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.
2) Menghentikan gerakan militer dan membebaskan para tahanan republik.
3) Menyetujui kedaulatan RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
4) Menyelenggarakan KMB segera sesudah pemerintahan RI kembali ke
Yogyakarta.
19
d. Statement Delegasi Belanda (DR. Van Royen )
Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan tindak lanjut dari Perundingan Roem-Royen.
Sebelum KMB dilaksanakan, RI mengadakan pertemuan dengan BFO (Badan
Permusyawaratan Federal). Pertemuan ini dikenal dengan dengan Konferensi Inter-Indonesia
(KII) Tujuannya untuk menyamakan langkah dan sikap sesama bangsa Indonesia dalam
menghadapi KMB
Konferensi Inter-Indonesia diadakan pada tanggal 19 - 22 Juli 1949 di Yogyakarta dan
tanggal 31 Juli sampai 2 Agustus 1949 di Jakarta. Pembicaraan difokuskan pada
pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Keputusan yang cukup penting adalah akan
dilakukan pengakuan kedaulatan tanpa ikatan politik dan ekonomi.
KMB merupakan langkah nyata dalam diplomasi untuk mencari penyelesaian sengketa
Indonesia – Belanda. Kegiatan KMB dilaksanakan di Den Haag, Belanda tanggal 23 Agustus
sampai 2 November 1949. Dalam KMB tersebut dihadiri delegasi Indonesia, BFO, Belanda,
dan perwakilan UNCI. Berikut ini para delegasi yang hadir dalam KMB:
1) Indonesia terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof.Dr. Mr. Soepomo
2) BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.
3) Belanda diwakili Mr. van Maarseveen.
4) UNCI diwakili oleh Chritchley.
KMB pun dimulai pada 23 Agustus 1949 di Gedung Ridderzal, Den Haag. Pada 1 November
1949 dihasilkan kesepakatan yang berisi 3 poin, yaitu: Piagam penyerahan kedaulatan dari
Belanda kepada Indonesia Peraturan dasar Uni Indonesia-Belanda Lampiran status Uni
Indonesia-Belanda Tanggal 21 Desember 1949, Presiden Sukarno membentuk dua delegasi
untuk menerima penyerahan kedaulatan dan satu delegasi menerima penggabungan RI ke
Republik Indonesia Serikat (RIS).
20
Mohammad Hatta ditunjuk sebagai delegasi untuk menerima penyerahan kedaulatan di
Belanda, Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai delegasi menerima penyerahan
kedaulatan di Jakarta, dan Dr. Abu Hanifah sebagai delegasi menerima penggabungan RI ke
RIS. Akhirnya kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda pada 27 Desember 1949 di Istana,
Dam, Amsterdam. Dalam penyerahan kedaulatan ini dilakukan penandatangan 3 dokumen
yang telah disepakati pada 1 November 1949.
Dengan penandatanganan tersebut, maka secara resmi Indonesia telah diakui oleh Belanda
sebagai negara merdeka dan berdaulat penuh serta menjadi bagian dari tatanan dunia
internasional.
Pasca disetujuinya Perjanjian Roem Royen pada tanggal 29 Juni 1949, pasukan
Belanda ditarik mundur ke luar Yogyakarta. Setelah itu TNI masuk ke Yogyakarta.
Peristiwa keluarnya tentara Belanda dan masuknya TNI ke Yogyakarta dikenal
dengan Peristiwa Yogya Kembali. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta
ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949.
Sejak awal 1949, ada tiga kelompok pimpinan RI yang ditunggu untuk kembali ke
Yogyakarta. kelompok pertama adalah Kelompok Bangka. Kedua adalah kelompok
PDRI dibawah pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara. Kelompok ketiga adalah
angkatan perang dibawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Rombongan PDRI mendarat di Maguwo pada 10 Juli 1949. Mereka disambut oleh
Sultan Hamangkubuwono IX, Moh. Hatta, Mr.Roem, Ki Hajar Dewantara, Mr.
Tadjuddin serta pembesar RI lainnya. Pada tanggal itu pula rombongan Panglima
Besar Jenderal Sudirman memasuki Desa Wonosari.
Konferensi Inter Indonesia merupakan suatu konferensi yang dilakukan antara Negara
Indonesia dan BFO (Negara bentukan Belanda) atau Negara boneka Belanda yang
dikala itu Indonesia menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat).
Awalnya, pembentukan negara BFO ini bertujuan untuk dapat menguasai kembali
Indonesia sehabis merdeka. Negara cuilan yang terbentuk dikala itu berjumlah 16
negara yang dibagi menjadi tiga kawasan kekuasaan. Daerah kekuasaan pertama yaitu
mencakup negara cuilan Pasundan, Indonesia, Jawa Timur, Negara Indonesia Timur,
Madura, Sumatera Selatan, Sumatera Timur.
Daerah kekuasaan kedua yaitu mencangkup Riau, Jawa Tengah, Dayak Besar,
Bangka, Belitung, Kaltim, Kalbar, Kalteng, Banjarmasin. Daerah kekuasaan ketiga
yang terdiri dari wilayah Indonesia yang tidak masuk kedalam negara bagian.
1. Pertahanan negara ialah suatu hak dari pemerintah RIS (Republik Indonesia
Serikat).
2. Angkatan perang RIS yaitu angkatan perang nasional.
3. RIS ini akan mendapatkan kedaulatan dari pemerintah kerajaan Belanda dan
Republik Indonesia.
4. RIS dipimpin atau diketuai oleh Presiden yang dipilih oleh negara cuilan Republik
Indonesia dan Badan Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst Voor Federaal
Overlag).
5. Nama negara federal adalah Republik Indonesia Serikat (RIS).
6. Hasil Konferensi Inter Indonesia Kedua
22
Setelah penetapan negara federal Republik Indonesia Serikat (RIS), lalu dapat
diputuskan untuk mengadakan konferensi inter Indonesia kedua.
Berlangsung pada tanggal 30 Juli 1949, bertujuan untuk dapat membentuk atribut
Negara dan panitia yang akan ikut dalam perjanjian KMB di Den Haag, Belanda.
Konferensi Meja Bundar dilakukan di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus sampai 2
November 1949. Kegiatan tersebut merupakan lanjutan dari perundingan Roem-
Royen yang dilakukan pada 14 April 1949.
Adapun, latar belakang konferensi ini untuk memperoleh kemerdekaan secara absolut
dari Belanda. Sebab, kala itu pihak Belanda sempat membentuk Negara Indonesia
Serikat (NIS) dan memperkecil daerah kekuasaan Indonesia.
Ada beberapa tokoh yang terlibat dalam konferensi ini, baik dari pihak Belanda
maupun Indonesia. Delegasi Belanda sendiri dipimpin oleh Maarseveen dan Indonesia
oleh Moh Hatta. Ada juga perwakilan dari organisasi negara-negara bagian (BFO)
yang dipimpin oleh Sultan Hamid II.
23
Sementara itu, pelaksanaan perjanjian Konferensi Meja Bundar menetapkan Ir
Sukarno sebagai presiden terpilih RIS dan dilantik pada 17 Desember 1949.
Kemudian, di tanggal 20 Desember Presiden Sukarno membentuk kabinet RIS dengan
Mohammad Hatta sebagai menterinya.
Salah satu keputusan terpenting KMB bahwa Belanda akan menyerahkan kedaulatan
kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir Desember 1949. Akhirnya, di ruang
istana Kerajaan Belanda, Ketua Delegasi RIS Drs. Moh. Hatta menandatangani
naskah ”penyerahan” kedaulatan bersama dengan Ratu Juliana, Perdana Menteri Dr.
Willem Drees, dan Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen pada tanggal 27
Desember 1949.
22
BAB III
KESIMPULAN
25