KAJIAN TEORITIS
4
5
dengan standar DOH untuk mengetahui keterkaitannya. Pada tahap ini digunakan
program statistik untuk menentukan hubungan dan parameter statistik. Oleh karena
itu, desain ini menghasilkan pengurangan biaya konstruksi dan biaya pemeliharaan.
Fernando (2018) melakukan penelitian yang bertujuan untuk merencanakan
ketebalan lapisan tambah dengan menggunakan metode PD-T-05-2005-D dan
metode AASHTO 1993 serta menghitung ketebalan perkerasan yang efisien untuk
Jalan Sp. Pelita Jaya – Piru. Dengan metode PD-T-05-2005-D diperoleh ketebalan
berukuran 8 cm dengan tipe perkerasan Asphalt Cement, 10 cm dengan perkerasan
Hot Rolled Sheet dan 7 cm dengan tipe perkerasan aspal modifikasi, sedangkan
metode AASHTO 1993 di dapat ketebalan lapis tambah sebesar 18,75 cm dengan
tipe perkerasan aspal padat gradasi panas campuran, sehingga metode PD-T-05-
2005-D merupakan metode paling efisien diterapkan.
Mehta (2018) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menentukan jenis
penanganan kerusakan jalan berdasarkan hasil evaluasi struktural dan fungsional
suatu perkerasan lentur yang dalam hal ini mengalami kerusakan yang bersifat
seasonal atau berulang. Data yang digunakan, yaitu data subgrade tanah, data lalu
lintas, pengujian laboratorium, dan data uji lendutan balik alat benkelman beam.
Hasil dari penelitian ini ditentukan jenis penanganan yang dilakukan adalah
overlay.
Pratamani (2018) melakukan penelitian yang bertujuan untuk melihat
parameter-parameter yang apa saja yang menyebabkan perbedaan hasil tebal
overlay. Dua metode digunakan untuk perhitungan tebal lapis tambah (overlay),
yaitu metode Manual Desain Perkerasan Jalan 2017 dan metode Asphalt Institute.
Hasilnya terdapat parameter–parameter yang harus diperhatikan dalam mendesain
tebal overlay untuk kondisi di Indonesia, yaitu parameter Temperature Adjustment
Factor (TAF) dan parameter periode waktu pengujian (critical period). Periode
waktu pengujian yang ditetapkan pada metode Manual Desain Perkerasan Jalan
2017 hanya dua periode waktu saja, yaitu musim kemarau dan musim hujan,
sedangkan periode waktu pengujian yang ditetapkan pada metode Asphalt Institute
ada empat periode waktu sesuai dengan jumlah empat musim di negara tersebut.
Untuk penetapan nilai kritikal period pada metode Asphalt Institute kurang akurat
6
dengan kondisi musim yang ada di Indonesia. Penetapan nilai TAF pada metode
Manual Desain Perkerasan Jalan 2017 berdasarkan temperatur tahunan rata-rata
Indonesia yaitu 41°C. Berdasarkan hasil analisis sensitivitas parameter TAF yang
telah dilakukan dengan asumsi temperatur tahunan rata-rata di tiga daerah dengan
temperatur rendah (daerah pegunungan), sedang (temperatur rata-rata tahunan
Indonesia secara keseluruhan) dan tinggi (daerah pesisir pantai) bahwa tebal
overlay yang didapatkan sangat bervariasi dan ikut mempengaruhi beberapa
parameter-parameter lain dalam perhitungan analisis sesuai dengan variasi
temperatur tahunan rata-rata.
Sumarsono (2017) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
penyebab kerusakan perkerasan jalan tersebut yaitu survey traffic counting dan
pengujian lendutan dengan alat falling weight deflectometer yang dalam
perencanaan perhitungan tebal perkerasan akan dibandingkan menggunakan
metode Manual Desain Perkerasan Jalan 2017 dan AASHTO 1993. Data sekunder
yang diperlukan adalah data daya dukung tanah dasar, sedangkan data primer yang
diperoleh yaitu volume lalu lintas dan pengujian lendutan. Hasil perhitungan
modulus tanah dasar 34,34 MPa dan modulus perkerasan 1.806,80 MPa, sedangkan
hasil perhitungan tebal perkerasan dengan CESA metode Manual Desain Perkerasan
Jalan 2017 sebesar 47,42 cm dan CESAL AASHTO 1993 sebesar 38,74 cm.
Rizaldi (2018) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menemukan
pelapisan tebal perkerasan jalan dengan menggunakan alat pengukur berat jatuh
falling weight deflectometer dan alat benkelman beam. Desain ketebalan overlay
adalah berdasarkan desain overlay tebal perkerasan fleksibel berdasarkan defleksi
metode (Pd T-05-2005-B). Segmen penelitian ini berada di Jalan Lambaro-Tol
Batas Pidie. Data yang diambil sama titiknya antara falling weight deflectometer
dan benkelman beam dari STA 14 + 250 ke STA 16 + 300. Investigasi
membutuhkan hasil pengujian defleksi falling weight deflectometer dan benkelman
beam secara berurutan untuk mendesain ketebalan overlay. Setelah mendapatkan
nilai defleksi yang dikoreksi, proses selanjutnya adalah menghitung faktor
keseragaman (FK) representatif defleksi (Dsbl ov), defleksi desain (Dstl ov), tebal
7
overlay (Ho), faktor ketebalan lapisan (Fo), dan ketebalan lapisan penutup yang
dikoreksi (HT).
Hasil dari penelitian ini adalah tebal overlay dari falling weight deflectometer
adalah sebesar 7 cm dan untuk benkelman beam sebesar 9 cm. Hasil studi tersebut
dapat disimpulkan bahwa FK nilainya di bawah 30% dan perkerasan overlay yang
digunakan adalah lapisan aspal beton dengan Modulus Tangguh 2,000 MPa dan
stabilitas minimum Marshall nilainya sebesar 800 kg.
Analisis volume lalu lintas didasarkan pada survei yang diperoleh dari:
1. Survei lalu lintas, dengan durasi minimal 7 × 24 jam. Survei dapat dilakukan
secara manual mengacu pada Pedoman Survei Pencacahan Lalu Lintas (Pd
T-19-2004-B) atau menggunakan peralatan dengan pendekatan yang sama.
2. Hasil-hasil survei lalu lintas sebelumnya
Dalam analisis lalu lintas, penentuan volume lalu lintas pada jam sibuk dan
lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHRT) mengacu pada Manual Kapasitas Jalan
Indonesia (MKJI). Penentuan nilai LHRT didasarkan pada data survei volume lalu
lintas dengan mempertimbangkan faktor k.
Perkiraan volume lalu lintas harus dilaksanakan secara realistis. Rekayasa
data lalu lintas untuk meningkatkan justifikasi ekonomi tidak boleh dilakukan untuk
kepentingan apapun. Jika terdapat keraguan terhadap data lalu lintas, maka
perencana harus membuat survei cepat secara independen untuk memverifikasi data
tersebut.
dengan:
R : faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif,
i : laju pertumbuhan lalu lintas tahunan (%),
UR: : umur rencana (tahun).
Apabila diperkirakan akan terjadi perbedaan laju pertumbuhan tahunan
sepanjang total umur rencana (UR), dengan i1 % selama periode awal (UR1 tahun)
dan i2 % selama sisa periode berikutnya (UR – UR1), faktor pengali pertumbuhan
lalu lintas kumulatif dapat dihitung dari Persamaan 2.2:
(1+00,1𝑖1 )𝑈𝑅1 −1 (1+0,01 𝑖2 )(𝑈𝑅 − UR1) −1
𝑅= + (1 + 0,01 𝑖1 )(𝑈𝑅1−1) (1 + 0,01 𝑖2 ){ } (2.2)
0,01 𝑖1 0,01 𝑖2
dengan:
R : faktor pengali pertumbuhan lalu lintas kumulatif,
i1 : laju pertumbuhan tahunan lalu lintas periode 1 (%),
i2 : laju pertumbuhan tahunan lalu lintas periode 2 (%),
UR : total umur rencana (tahun),
UR1 : umur rencana periode 1 (tahun).
equivalent single axle (ESA) dengan memperhitungkan faktor distribusi arah (DD)
dan faktor distribusi lajur kendaraan niaga (DL).
Jalan dua arah faktor distribusi arahnya (DD) umumnya diambil 0,50 kecuali
pada lokasi–lokasi yang jumlah kendaraan niaga cenderung lebih tinggi pada satu
arah tertentu. Faktor distribusi lajur digunakan untuk menyesuaikan beban
kumulatif (ESA) pada jalan dengan dua lajur atau lebih dalam satu arah. Faktor
distribusi jalan ditunjukkan dalam Tabel 2.4.
akurat memerlukan perhitungan beban lalu lintas yang akurat pula. Studi atau survei
beban gandar yang dirancang dan dilaksanakan dengan baik merupakan dasar
perhitungan ESA yang andal. Ketentuan pengumpulan data beban gandar
ditunjukkan pada Tabel 2.5.
7B1 - - - -
7B2 - - - -
Rekonstruksi
Kumulatif ESA4 20 tahun (juta)***
Struktur Perkerasan
<0,1 0,1 - 4 4 - 10 >10 - 30 >30
Opsi utama
Opsi alternatif
Catatan:
1) 20 tahun digunakan untuk menyetarakan perbandingan, bukan sebagai umur rencana;
2) ESA5 digunakan untuk perhitungan overlay dengan campuran aspal;
3) ESA4 digunakan untuk menyetarakan perbandingan berbagai alternatif penanganan
konstruksi.
(Sumber: Direktorat Jenderal Bina Marga, 2017)
100.000 ESA4 atau nilai yang lebih tinggi. Bila perkerasan yang digunakan adalah
untuk lalu lintas rendah atau kurang dari 100.000 ESA4 dan juga perkerasan HRS,
maka tidak dilaksanakan pemeriksaan kinerja kelelahannya. Perhitungan overlay
menggunakan pendekatan berdasarkan lendutan maksimum (𝐷𝑜). Untuk
menghitung ketebalan overlay dilakukan berdasarkan nilai lengkung lendutan dan
rentang beban lalu lintas untuk kondisi iklim.
dengan:
D0 : lendutan maksimum pada suatu titik uji (mm),
D200 : lendutan yang terjadi pada titik yang berjarak 200 mm dari titik uji
tersebut (mm).
21
secara signifikan, lengkung lendutan yang diukur tidak mewakili respon perkerasan
terhadap pembebanan lalu lintas, sehingga diperlukan faktor koreksi temperatur.
Temperatur perkerasan harian pada suatu lokasi dipengaruhi oleh temperatur
perkerasan tahunan rata–rata (Weighted Mean Annual Pavement Temperature,
WAMPT). Temperatur perkerasan rata–rata tahunan dapat diperkirakan berdasarkan
temperatur rata–rata tahunan (Weighted Mean Annual Air Temperature, WMAAT).
Secara umum, temperatur perkerasan tahunan rata–rata di Indonesia adalah
42˚C pada daerah pesisir dan 38˚C pada daerah pegunungan. Temperatur
perkerasan rata–rata 41˚C digunakan sebagai acuan dalam manual ini. Faktor
koreksi temperatur untuk pengukuran lendutan dihitung mengikuti langkah–
langkah berikut:
Langkah 1 : tentukan temperatur perkerasan berdasarkan Persamaan 2.11:
TL = 1/3 (TP + TT + TB) (2.11)
dengan:
TL : temperatur lapis beraspal (˚C);
TP : temperatur permukaan lapis beraspal (˚C);
TT : temperatur tengah lapis beraspal (˚C);
TB : tempertaur bawah lapis beraspal (˚C).
Langkah 2 : tentukan faktor koreksi temperatur berdasarkan Persamaan 2.12:
𝑀𝐴𝑃𝑇
𝑓𝑇 = (2.12)
𝑇𝑒𝑚𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑢𝑟 𝑝𝑒𝑟𝑘𝑒𝑟𝑎𝑠𝑎𝑛 𝑠𝑎𝑎𝑡 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑙𝑒𝑛𝑑𝑢𝑡𝑎𝑛
dengan:
MAPT : temperatur pengujian tahunan rata-rata (˚C)
Langkah 3 : tentukan faktor koreksi temperatur menggunakan Tabel 2.9 dan
Tabel 2.10
24