3.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan
sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38oC, dengan metode
pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial. Kejang terjadi
karena kenaikan suhu tubuh, bukan karena gangguan elektrolit atau metabolik lainnya. Bila
ada riwayat kejang tanpa demam sebelumnya maka tidak disebut sebagai kejang demam.
Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali.
National Institute of Health (1980) menggunakan batasan lebih dari 3 bulan, sedangkan
Nelson dan Ellenberg (1978), serta ILAE (1993) menggunakan batasan usia lebih dari 1
bulan. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan
kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat. Bayi berusia kurang dari 1 bulan
tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus.1
3.2 Etiologi
Peranan infeksi pada sebagian besar kejang demam adalah tidak spesifik dan
timbulnya serangan terutama didasarkan atas reaksi demamnya yang terjadi. Bangkitan
kejang pada bayi dan anak disebabkan oleh kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang
disebabkan oleh infeksi diluar susunan syaraf pusat misalnya tonsilitis, ostitis media akut,
bronchitis. Kondisi yang dapat menyebabkan kejang demam antara lain infeksi yang
mengenai jaringan ekstrakranial sperti tonsilitis, otitis media akut, bronchitis.2
Kejang demam yang menetap lebih lama dari 15 menit menunjukan penyebab organik
seperti proses infeksi atau toksik dan memerlukan pengamatan menyeluruh. Tanggung jawab
dokter yang paling penting adalah menentukan penyebab demam dan mengesampingkan
meningitis. Infeksi saluran pernapasan atas, dan otitis media akut adalah penyebab kejang
demam yang paling sering.2
3.3 Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2–5% populasi anak. Tidak ada batasan usia yang
spesifik, sering terjadi pada usia 6 bulan–3 tahun dengan puncak usia 18 bulan. Kejang
demam jarang terjadi pada usia <1 bulan dan >7 tahun. Sebagian besar kejang demam
merupakan kejang demam sederhana Kejang demam kompleks hanya berkisar 35%. Lama
kejang yang berlangsung >15 menit hanya ditemukan pada 9% kasus, terjadinya status
epileptikus hanya 5%. Kejang demam berulang dalam 24 jam terjadi pada 16% kasus .3
3.4 Patofisiologi
Kejang merupakan manifestasi klinik akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut baik berupa
fisiologi, biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya,
mempunyai potensial membran. Potensial membran yaitu selisih potensial antara intrasel dan
ekstrasel. Potensial intrasel lebih negatif dibandingkan dengan ekstrasel. Dalam
keadaan istirahat potensial membran berkisar antara 30-100 mV, selisih potensial membrane
ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial membran ini terjadi
akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion natrium (Na+) , kalium (K +)
dan kalsium (Ca++). Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah
oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,
kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya kosentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi
Na+ menjadi rendah sedangkan di luar sel neuron terjadi keadaan sebaliknya. Karena
perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan
potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan
petensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat
pada permukaan sel. Bila sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik
akan mengakibatkan menurunnya potensial membran.4,5
Penurunan potensial membran ini akan menyebabkan permeabilitas membran
terhadap ion Na+ akan meningkat, sehingga Na+ akan lebih banyak masuk ke dalam sel.
Selama serangan ini lemah, perubahan potensial membran masih dapat dikompensasi oleh
transport aktif ion Na+ dan ion K +, sehingga selisih potensial kembali ke keadaan
istirahat. Perubahan potensial yang demikian sifatnya tidak menjalar, yang disebut
respon lokal. Bila rangsangan cukup kuat perubahan potensial dapat mencapai ambang tetap
( firing level ), maka permiabilitas membran terhadap Na+ akan meningkat secara besar-
besaran pula, sehingga timbul spike potensial atau potensial aksi. Potensial aksi ini akan
dihantarkan ke sel syaraf berikutnya melalui sinap dengan perantara zat kimia yang dikenal
dengan neurotransmiter. Bila perangsangan telah selesai, maka permiabilitas membran
kembali ke keadaan istiahat, dengan cara Na+ akan kembali ke luar sel dan K+ masuk ke
dalam sel melalui mekanisme pompa Na-K yang membutuhkan ATP dari sintesa glukosa
dan oksigen. Ini akan tetap sama selama sel tidak mendapatkan rangsangan. Potensial
membran ini terjadi akibat perbedaan letak dan jumlah ion-ion terutama ion
Na+, K + dan Ca++. Bila sel syaraf mengalami stimulasi, misalnya stimulasi listrik
akan mengakibatkan menurunnya potensial membran.4,5
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya
pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri
dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia
dan hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan
menimbulkan kejang.
Patofisiologi kejang demam secara pasti belum diketahui,
dimperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Dengan
demikian reaksi-reaksi oksidasi terjadi lebih cepat dan akibatnya oksigen akan lebih cepat
habis, terjadilah keadaan hipoksia. Transport aktif yang memerlukan ATP terganggu,
sehingga Na intrasel dan K ekstrasel meningkat yang akan menyebabkan potensial membran
cenderung turun atau kepekaan sel saraf meningkat. 4,5
Pada saat kejang demam akan timbul kenaikan konsumsi energi di
otak, jantung, otot, dan terjadi gangguan pusat pengatur suhu. Demam akan menyebabkan
kejang bertambah lama, sehingga kerusakan otak makin bertambah. Pada kejang yang lama
akan terjadi perubahan sistemik berupa hipotensi arterial, hiperpireksia sekunder akibat
aktifitas motorik dan hiperglikemia. Semua hal ini akan mengakibatkan iskemi neuron karena
kegagalan metabolisme di otak.4,5
Demam dapat menimbulkan kejang melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Demam dapat menurunkan nilai ambang kejang pada sel-sel yang
belum matang/immatur.
b. Timbul dehidrasi sehingga terjadi gangguan elektrolit yang
menyebabkan gangguan permiabilitas membran sel.
c. Metabolisme basal meningkat, sehingga terjadi timbunan asam laktat dan CO2
yang akan merusak neuron.
d. Demam meningkatkan Cerebral Blood Flow (CBF ) serta
meningkatkan kebutuhan oksigen dan glukosa, sehingga menyebabkan
gangguan pengaliran ion-ion keluar masuk sel.
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak akan meninggalkan
gejala sisa. Pada kejang demam yang lama (lebih dari 15 menit) biasanya diikuti dengan
apneu, hipoksemia, (disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan oksigen dan energy untuk
kontraksi otot skelet), asidosis laktat (disebabkan oleh metabolisme anaerobik), hiperkapnea,
hipoksi arterial, dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat. Rangkaian
kejadian di atas menyebabkan gangguan peredaran darah di otak, sehingga terjadi
hipoksemia dan edema otak, pada akhirnya terjadi kerusakan sel neuron.4
3.6 Klasifikasi1
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure)
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
Faktor Risiko :6
a. Demam yang berperan pada kejang demam, akibat:
Infeksi saluran pernafasan
Infeksi saluran pencernaan
Infeksi THT
Infeksi saluran kencing
Roseola infantum/infeksi virus akut lain.
Paska imunisasi
b. Derajat demam:
75% dari anak dengan demam > 390C
25% dari anak dengan demam > 400C
c. Usia
Umumnya terjadi pada usia 6 bulan–6tahun
Puncak tertinggi pada usia 17–23 bulan
Kejang demam sebelum usia 5–6 bulan mungkin disebabkan oleh infeksi SSP
Kejang demam diatas umur 6 tahun, perlu dipertimbangkan febrile seizure plus (FS+).
d. Gen
Risiko meningkat 2–3x bila saudara sekandung mengalami kejang demam
Risiko meningkat 5% bila orang tua mengalami kejang demam
b. Pungsi lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat ini pemeriksaan pungsi
lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan yang mengalami kejang
demam sederhana dengan keadaan umum baik.1
Indikasi pungsi lumbal :1
1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan
klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan
gejala meningitis.
c. Elektroensefalogra (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, kecuali apabila bangkitan
bersifat fokal. EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya fokus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.1
a. Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan pada
anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi,
seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau paresis nervus
kranialis.1
Diagnosis Banding7
1. Meningitis
Merupakan peradangan selaput otak (meningens) yang disebabkan oleh bakteri,
ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan serebrospinal
dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan serebrospinal (CSS).
Umumnya didahului oleh demam bebrapa hari disertai infeksi saluran napas atas atau
saluran cerna, diikuti tanda infeksi SSP yang tidak spesifik seperti letargi dan
iritabilitas. Dapat juga ditemukan ubun-ubun yang menonjol, kaku kuduk atau tanda
rangsang meningeal lain, kejang dan defisit neurologis fokal. Ada pula gambaran
yang lebih berat, namun kurang umum terjadi, yaitu syok yang cepat dan progresif
disertai purpura, koagulasi intravaskular diseinata, hilang kesadaran, dan kematian
dalam 24 jam.
2. Ensefalitis
Ensefalitis ialah inflamasi pada jaringan parenkim otak yang disertai defisit
neurologis yang nyata. Manifestasi klinis tidak spesifik, yaitu pada fase prodromal
terjadi malaise dan demam selama 1-7 hari. Manifestasi ensefalitis dimulai dengan
sakit kepala, muntah, perubahan kepribadian dan gangguan daya ingat, kemudian
penderita akan terjadi kejang dan kesadaran yang menurun. Pada pemeriksaan
neurologis menunjukkan hemiparesis, afasia, ataksia, paresis saraf kranialis, kaku
kuduk, dan papilledema. Pada pemeriksaan cairan serebrospinal biasanya cairan
jernih, jumlah sel normal atau sedikit meningkat terutama limfosit, sedikit
peningkatan protein.
3.8 Penatalaksanaan
Tata laksana saat kejang1,6
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien
datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang
paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis diazepam
intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam
waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum, penatalaksanaan kejang akut
mengikuti algoritma kejang pada umumnya.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)adalah
diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12
kg. Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan
cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemberian
diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat
diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status
epileptikus. Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi
terapi antikonvulsan profilaksis. Jika dengan 2 kali pemberian diazepam rektal/intravena
masih terdapat kejang dapat diberikan fenitoin IV dengan dosis inisial 20 mg/kgBB,
diencerkan dalam NaCl 0,9% dengan pengenceran 10 mg fenitoin dalam 1 ml NaCl 0,9%,
dengan kecepatan pemberian 1mg/kgBB/menit, maksimum 50 mg/menit, dosis inisial
maksimum adalah 1000 mg. Jika dengan fenitoin masih terdapat kejang, dapat diberikan
fenobarbital IV dengan dosis inisial 20 mg/kgBB, tanpa pengenceran dengan kecepatan
pemberian 20 mg/menit. Jika kejang berhenti dengan fenitoin maka lanjutkan dengan
pemberian rumatan 12 jam kemudian dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis. Jika
kejang berhenti dengan fenobarbital, maka lanjutkan dengan pemberian rumatan 12 jam
kemudian denagn dosis 3-5 mg/kgBB/hari dalam 2 dosis.
Pemberian obat pada saat demam Antipiretik1
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya kejang
demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan. Dosis paracetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan
tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Vaksinasi 1
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak dengan
riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Suatu studi
kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang demam terkait vaksin (vaccine-associated
febrile seizure) dibandingkan dengan kejang demam tidak terkait vaksin (non vaccine-
associated febrile seizure) adalah 1,6 (IK95% 1,27 sampai 2,11). Angka kejadian kejang
demam pascavaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi, sedangkan
setelah vaksin MMR adalah 25-34 kasus per 100.000 anak. Pada keadaan tersebut, dianjurkan
pemberian diazepam intermiten dan parasetamol profilaksis.
3.9 komplikasi
Komplikasi kejang demam yaitu :
1. Pneumonia
2. Asfiksia
3. Retardasi mental
4. Cedera fisik, khususnya laterasi dahi dan dagu.
3.10 Prognosis
Prognosis Kecacatan atau kelainan neurologis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan neurologis dapat
terjadi pada kasus kejang lama atau kejang berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi
melaporkan terdapat gangguan recognition memory pada anak yang mengalami kejang lama.
Hal tersebut menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi
kejang lama.1
Kematian
Kematian langsung karena kejang demam tidak pernah dilaporkan. Angka kematian
pada kelompok anak yang mengalami kejang demam sederhana dengan perkembangan
normal dilaporkan sama dengan populasi umum.1