Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obstructive sleep apnea (OSA)


2.1.1 Definisi
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah keadaan apnea (penghentian aliran udara
selama 10 detik atau lebih sehingga menyebabkan 2-4% penurunan saturasi oksigen) dan
hipopnea (pengurangan aliran udara >30% untuk minimal 10 detik dengan desaturasi
oksihemoglobin >4% atau pengurangan dalam aliran udara >50% untuk 10 detik dengan
desaturasi oksihemoglobin >3%) akibat adanya sumbatan total (apnea) atau sebagian
(hipopnea) jalan napas atas yang terjadi secara berulang pada saat tidur selama fase non-REM
atau REM sehingga menyebabkan aliran udara ke paru menjadi terhambat.1,4
OSA merupakan bagian dari sindrom henti napas yang dialami oleh 10,9% pria dan
6,3% wanita.4 Sindrom henti napas saat tidur dibagi menjadi 3 tipe yaitu tipe sentral, tipe
obstruksi dan tipe campuran. Pada tipe sentral terjadi aliran udara ini disebabkan berhentinya
upaya bernapas selama beberapa saat akibat otak gagal mengirimkan sinyal ke diafragma dan
otot dada untuk mempertahankan siklus pernapasan. Sedangkan pada tipe obstruksi terjadi
hambatan aliran udara ke paru-paru.4,5,6

2.1.2 Epidemiologi
OSA pertama kali dipublikasikan pada tahun 1956 oleh Sidney Burwell. Prevalensi
OSA di negara-negara maju diperkirakan mencapai 2-4% pada pria dan 1-2% pada wanita.
Prevalensi OSA pada pria 2-3 kali lebih tinggi dari wanita. Belum diketahui mengapa OSA
lebih jarang ditemukan pada wanita.1,4
Prevalensi OSA pada anak-anak sekitar 3% dengan frekuensi tertinggi pada usia 2-5
tahun. Penyebab utama OSA pada anak-anak adalah hipertrofi tonsil dan adenoid, tetapi
dapat juga akibat kelainan struktur kraniofasial seperti pada sindroma Pierre Robin dan
Down. Secara umum frekuensi OSA meningkat secara progresif sesuai dengan penambahan
usia. 1,4

2.1.3 Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi OSA adalah keadaan kompleks yang saling mempengaruhi berupa neural,
hormonal, muskular dan struktur anatomi yang menyebabkan kolapsnya saluran nafas atas,
contohnya : kegemukan terutama pada tubuh bagian atas dipertimbangkan sebagai risiko
utama untuk terjadinya OSA. Angka prevalensi OSA pada orang yang sangat gemuk adalah
42-48% pada laki-laki dan 8-38% pada perempuan. Penambahan berat badan akan
meningkatkan gejala-gejala OSA. 7

Faktor-faktor risiko yang berperan pada OSA


Umum  Obesitas (IMT >30 kg/m2)
 Gender (pria> wanita)
 Riwayat OSA pada keluarga
 Pasca-menopause
Genetik atau Kongenital  sindrom Down
 sindrom Pierre-Robin
 sindrom Marfan
Abnormalitas  Rinitis
hidung/faring  Polip nasi
 Hipertrofi tonsil dan adenoid
 Deviasi septum nasi
Penyakit lain  Akromegali
 Hipotiroidisme
Kelainan struktur saluran  Lingkar leher >40cm
napas atas  Abnormalitas sendi temporomandibula
 Mikrognatia
 Retrognatia
 Makroglosia
 Abnormalitas palatum
 Kraniosinostosis
Tabel 1. Faktor risiko OSA8

2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi


Obstruksi pada OSA adalah akibat dari gangguan aliran udara yang disebabkan oleh
dinding faring yang kolaps sewaktu tidur. Etiologi dan mekanisme kolaps multifaktorial.
Obesitas, hipertrofi jaringan lunak, kelainan kraniofasial seperti retrognathia menambah
kecenderungan kolapsnya dinding faring saat tidur. 1,4
Pada waktu tidur aktivitas otot dilator faring relatif tertekan (relaksasi) sehingga ada
kecenderungan lumen faring menyempit pada saat inspirasi. Mengapa hal ini terjadi hanya
pada sebagian orang, terutama berhubungan dengan ukuran faring dan faktor-faktor yang
mengurangi dimensi statik lumen sehingga menjadi lebih sempit atau menutup pada waktu
tidur. Selain itu obstruksi nasal menyebabkan peningkatan resistensi aliran udara dan
perburukan OSA. Obstrusi nasal mengakibatkan usaha pernapasan melalui mulut semasa
tidur sehingga terjadi relaksasi otot genioglosus yang mengakibatkan lidah tergeser ke
belakang.4
Suara mendengkur timbul akibat turbulensi aliran udara pada saluran napas atas
akibat sumbatan. Tempat terjadinya sumbatan biasanya di basis lidah atau palatum. Sumbatan
terjadi akibat kegagalan otot-otot dilator saluran napas atas menstabilkan jalan napas pada
waktu tidur di mana otot-otot faring berelaksasi, lidah dan palatum jatuh ke belakang
sehingga terjadi obstruksi. 4

Gambar 1. Perbandingan Saluran Napas Normal dan Penderita Snoring2

Trauma pada jaringan di saluran napas atas pada waktu mendengkur mengakibatkan
kerusakan pada serat-serat otot dan serabut-serabut saraf perifer. Akibatnya kemampuan otot
untuk menstabilkan saluran napas terganggu dan meningkatkan kecenderungan saluran napas
untuk mengalami obstruksi. Obstruksi yang diperberat oleh edema karena vibrasi yang terjadi
pada waktu mendengkur dapat berperan pada progresivitas mendengkur menjadi sleep apnea
pada individu tertentu.4
Prinsip utama pada OSA yaitu terdorongnya lidah dan palatum ke belakang hingga
menempel pada dinding faring posterior menyebabkan oklusi nasofaring dan orofaring. Tidur
berbaring (supine) dapat menyebabkan kolapsnya saluran napas akibat pergerakan
mandibula, palatum mole dan lidah ke arah belakang. Sistem saraf pusat berperan penting
dalam OSA kombinasi aktivitas otot saluran napas atas yang menurun pada saat tidur.
Aktivasi kemoreseptor oleh hipoksemia dan hiperkapnia selama apnea mengakibatkan
hiperventilasi disertai proses terbangun mendadak yang tidak disadari.1
Pada pasien obesitas terjadi peningkatan deposit lemak disekeliling leher dan ruang
parafaring menyebabkan penyempitan dan kompresi salur napas atas dan mengganggu otot
dilator yang mempertahankan patensi salur napas atas. Obesitas bisa mengurangi volume
paru yang menyebabkan pengurangan functional residual capacity. Perubahan dalam volume
paru secara signifikan menurunkan ukuran faring salur napas atas melalui efek mekanikal
traksi trakea dan toraks yang dikenal tracheal tug meningkatkan resiko kolaps. 9

2.1.5 Gejala Klinik


Gejala yang dapat ditemukan pada penderita OSA adalah mendengkur, mengantuk
yang berlebihan pada siang hari, rasa tercekik pada waktu tidur, apnea, nokturia, sakit kepala
pada pagi hari, penurunan libido sampai impotensi dan enuresis, mudah tersinggung, depresi,
kelelahan yang luar biasa dan insomnia. Kebanyakan penderita mengeluhkan kantuk yang
sangat mengganggu pada siang hari sehingga menimbulkan masalah pada pergaulan,
pekerjaan dan meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas. 1,4
Penderita OSA seringkali juga menderita obesitas. Kesadaran tentang adanya
hubungan antara OSA dan obesitas yang sangat tinggi dapat mengurangi kesadaran akan
kemungkinan adanya OSA pada orang yang tidak gemuk (non-obese). Hanya sekitar 50%
penderita yang didiagnosis OSA juga menderita obesitas. 10
Gejala Tanda
Mendengkur Obesitas
Mengantuk yang berlebihan pada siang hari Mandibula/maksila hipoplasia
Tersedak Penyempitan orofaring
Tidur tidak nyeyak Pembesaran tonsil atau lidah
Letih dan lesu sepanjang hari Obstruksi nasal dan nasofaringeal
Penurunan konsentrasi
Riwayat OSA dalam keluarga
Tabel 2. Gejala dan Tanda OSA. 10
2.1.6 Diagnosis
Banyak penderita OSA tidak merasa mempunyai masalah dengan tidurnya dan datang
ke dokter hanya karena partner tidur mengeluhkan suara mendengkur yang keras (fase pre-
obstruktif) diselingi oleh keadaan senyap yang lamanya bervariasi (fase apnea obstruktif).1,4,11
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hidung, orofaring, hipofaring, laring, leher untuk
menentukan adanya obstruksi pada bagian tersebut: 9
i. Hidung : deviasi septum, hipertrofi adenoid, tumor atau polip nasal, hipertrofi konka
ii. Orofaring : palatum molle yang besar, hipertrofi tonsil palatine, makroglosia,
penebalan (banding) dinding posterior faring
iii. Hipofaring : Kolaps dinding faring lateral, tumor hipofaring, hipertrofi tonsil lingual,
retrognathia dan micrognathia
iv. Laring : paralisis pita suara, tumor laring
v. Leher : ukur lilit leher
Diagnosis pasti penderita OSA dengan pemeriksaan polisomnografi. Polisomnografi
adalah pemeriksaan gold standard untuk diagnosa OSA. Pada OSA untuk melihat episode
berhentinya aliran udara yang berulang diikuti dengan upaya respirasi kontinyu sedangkan
pada CSA untuk melihat episode apnea berulang diikuti dengan hilangnya upaya ventilasi,
gerakan napas terhenti karena hilangnya pergerakan iga dan abdomen juga aktivitas
elektromiografi diafragma. Polisomnografi merupakan alat uji diagnostik menevaluasi
gangguan tidur, dilakukan pada saat malam hari di laboratorium tidur. Pemeriksaan terdiri
dari elektroensefalogram (EEG), elektromyogram (EMG), elektrookulogram (EOG),
parameter respirasi, electrocardiogram (ECG), saturasi oksigen dan mikrofon untuk merekam
dengkuran. Penderita dimonitor selama 6 jam 10 menit. 2
Gambar 2. Gambaran Polisomnogram. 9

2.1.7 Penatalaksanaan
A. Penatalaksanaan Non-Bedah
Terapi OSA mengalami perubahan yang revolusioner ketika Sullivan et al.
memperkenalkan nasal Continuous Positive Airway Pressure (nCPAP). Prinsip nCPAP
sangat sederhana yaitu dengan pemberian tekanan positif melalui hidung, maka setiap
kecenderungan jalan napas untuk menyempit dan menutup dapat diatasi dan dinding jalan
napas dapat distabilkan, sehingga menekan suara dengkur, menormalkan kualitas tidur dan
menghilangkan gejala pada siang hari. Keuntungan metode ini adalah menurunkan kerja
pernapasan (work of breathing). 11
CPAP adalah teknik yang sering digunakan dalam tatalaksana non surgical OSA dan
merupakan tatalaksana terapi pertama OSA. CPAP mengurangi dengkur dan apnea dan
membaiki gejala ketiduran pada siang. CPAP 90-95% effective dalam eliminasi OSA dan
keefektifannya tergantung pada compliance dan keteraturan penggunaan pasien. 1
Pada penderita OSA yang mengalami obesitas dianjurkan penurunan berat badan.
Perlu dilakukan perubahan gaya hidup termasuk diet, olah raga dan medikamentosa.
Berdasarkan penelitian, penurunan berat badan 10% - 15% dikaitkan dengan penurunan 50%
kejadian apnea dan perbaikan keadaan klinis. Beberapa laporan kasus menunjukkan gejala
OSA dapat diatasi dengan mengurangi berat badan. Posisi tidur dapat membantu
menghilangkan gejala OSA. Beberapa pasien mengalami perbaikan setelah tidur dengan
posisi miring atau telungkup (pronasi). 2
Salah satu pendekatan terapi terbaru adalah penggunaan alat mandibular
advancement dengan beberapa variasinya. Alat ini dipasang pada gigi dan menahan
mandibula dan lidah ke depan (protrusi parsial dari rahang bawah) sehingga dapat
memaksimalkan diameter faring dan mengurangi kemungkinan kolaps pada waktu tidur. Alat
ini hanya digunakan pada penderita OSA yang tidak dapat menjalani operasi dan penderita
OSA yang ringan sampai sedang khususnya yang tidak gemuk atau pada penderita yang
intoleran terhadap CPAP. Tetapi perlu diingat alat ini dapat mempengaruhi oklusi dan sendi
temporomandibula sehingga pemakaiannya diperlukan seorang ortodontic karena
pembuatannya tergantung individu. 4

B. Penatalaksanaan Bedah
Sebagian penderita tidak dapat menerima pengobatan dengan CPAP karena beberapa
sebab, di antaranya klaustrofobia, suara bising dari mesin dan karena timbulnya efek samping
seperti hidung tersumbat dan mukosa hidung serta mulut yang kering. Banyak pasien yang
tidak mau penggunakan alat CPAP karena tidak nyaman dan mengurangi nilai estetika,
sehingga diusahakan bentuk lain terapi OSA. 2,4
Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang menyebabkan
obstruksi saluran napas sesuai dengan hasil pemeriksaan sleep endoscopy. Beberapa prosedur
operasi dapat dilakukan:
1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil yang besar,
tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplet dan tidak memerlukan terapi
CPAP. 11
2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP). Metode ini uvula serta jaringan faring yang
berlebih diangkat sehingga ruang faring bertambah serta membuat kaku dinding
faring yang akan mencegah kolaps. Metode ini angka keberhasilannya 50% dalam
menyembuhkan OSA. Komplikasi metode ini adalah terjadinya regurgitasi nasofaring
saat minum namun hanya bersifat sementara karena akan berkurang dalm 3 bulan. 4
3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus endoskopik
fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila sumbatan terjadi di
hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita yang mengalami gejala hidung
pada pengobatan dengan CPAP.5
4. Laser-Assisted Uvulopalatoplasty. Teknik yang digunakan oleh sebagian
besar ahli bedah menghapus bagian segitiga jaringan berdekatan dengan
setiap sisi akar dari uvula diikuti dengan pengurangan 50% dari uvula distal sehingga
memperpendek dan meningkatkan ukuran dan posisi
uvulopalatal kompleks. 4,11
5. Maxillofacial (Skeletal) Surgery. Teknik ini meningkatkan ukuran saluran udara
bagian atas dengan menggerakkan pangkal lidah jauh dari hypopharyngeal posterior
dan dinding orofaringeal, penurunan kolaps jalan napas. Pasien ada yang dipilih
berdasarkan tingkat keparahan mereka apnea (sedang sampai berat), adanya kelainan
kraniofasial, seperti micrognathia atau retrognathia, atau kegagalan untuk menanggapi
terapi lain. 4,11
6. Radiofrequency Tissue Volume Reduction. Teknik ini dengan memasukkan elektroda
ke berbagai bagian langit-langit lunak
dan menerapkan energi panas, jaringan lunak akan mengalami
lesi termal akan timbul fibrosis jaringan. Prosedur ini dapat diulang beberapa kali dan
dalam beberapa sasaran situs dari saluran udara bagian atas, termasuk tonsil dan
pangkal lidah. 4,11
7. Pemasangan implan Pillar pada palatum. Implan Pillar atau implan palatal
merupakan teknik yang relatif baru, merupakan modalitas dengan invasi minimal.
Digunakan untuk penderita dengan habitual snoring dan OSA ringan sampai sedang.
Prosedur ini bertujuan untuk memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah batang
kecil diinsersikan ke palatum mole untuk membantu mengurangi getaran yang
menyebabkan snoring. 11
8. Trakeostomi, tatalaksana surgical yang gold standard dan terakhir apabila metode
lain tidak berhasil adalah trakeostomy. Trakeostomi dilakukan dengan by pass
obstruksi salur napas atas. Indikasi trakeostomi adalah pasien dengan cor pulmunale,
obesity hypoventilation syndrome, aritmia, pasien yang tidak toleransi CPAP dan
intervensi surgical lain gagal. 1

2.1.8 Prognosis dan Komplikasi


OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh manusia, di antaranya: 1-
5

1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi dan daya
ingat, sakit kepala, depresi.
2. Kardiovaskuler: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit
jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke.
3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.
4. Metabolik: diabetes, obesitas.
5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.
6. Hematologis: polisitemia.
Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan
hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit kardiovaskular pada
penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi simpatis yang berulang-ulang yang terjadi
pada setiap akhir fase obstruktif. Pada penderita OSA juga terjadi pelepasan faktor-faktor
protrombin dan proinflamasi yang berperan penting pada terjadinya aterosklerosis. 1
Terjadinya gangguan kardiovaskuler pada penderita OSA diperkirakan melalui dua
komponen: 1,4
1. Efek mekanis dari henti napas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi jantung.
2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan simpatis yang
berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.
Sekitar 40% penderita OSA mengalami hipertensi ketika bangun tidur. OSA dikenal
sebagai faktor risiko yang independen pada hipertensi. Bagaimana OSA menyebabkan
peningkatan tekanan darah belum sepenuhnya diketahui. Ada kemungkinan peranan
hiperaktivitas simpatis dalam peningkatan tekanan darah pada penderita OSA. Mekanisme
lain yang berpotensi meningkatkan tekanan darah pada penderita OSA adalah
hiperleptinemia, resistensi insulin, peningkatan kadar angiotensin II dan aldosteron, disfungsi
sel-sel endotel dan gangguan fungsi barorefleks.1
OSA diduga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya penyakit
aterosklerosis pada pembuluh darah arteri. Banyak peneliti mengemukakan beberapa
kemungkinan mekanisme efek aterosklerotik dari OSA, di antaranya:1
 Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis dan stres
oksidatif.
 Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-I dalam
plasma, penurunan produksi nitrit-oksida dan peningkatan respons peradangan
terbukti dengan meningkatnya kadar C-reactive protein dan interleukin-6.
Beberapa penelitian memperlihatkan kemungkinan adanya hubungan antara OSA dan
infark miokard. Mekanismenya mungkin melalui efek tidak langsung dari hipertensi,
aterosklerosis, desaturasi oksigen, hiperaktivitas sistem saraf simpatis, peningkatan
koagulopati dan respons inflamasi. 1,4

Anda mungkin juga menyukai