Anda di halaman 1dari 35

STEP 7

1. Mengapa ditemui dada tong dan sela iga melebar, pekak jantung menyempit, hipersonor,
hiperluscent?
BARREL CHEST, SELA IGA MELEBAR, DAN DIAFRAGMA MENDATAR

Pada dada dengan bentuk normal,


rasio antara diameter anteroposterior dengan diameter laterolateral adalah 1:2. Pada
penderita barrel chest diameter anteroposterior meningkat secara abnormal sehingga
perbandingannya dengan diameter laterolateral menjadi 1:1

Gambar di atas menunjukkan perbandingan bentuk dada normal dengan bentuk


dada barrel chest. Peningkatan abnormal diameter anteroposterior dan
pendorongan tulang sternum ke depan menyebabkan dada terlihat seperti tabung
Barrel chest merupakan salah satu temuan klinis yang bisa ditemukan pada penderita PPOK.
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas
yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis
kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Barrel chest disebabkan oleh PPOK tipe
emfisema, pada emfisema terjadi kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran
rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli yang
menyebabkan terhambatnya aliran udara. Hal ini menyebabkan terjadinya hiperinflasi di
paru yang secara bertahap akan menambah volume paru, sehingga diafragma akan
terdesak ke bawah, tulang sternum terdesak ke anterior, dan tulang iga menjadi
mendatar, secara perlahan dada normal berubah bentuk menjadi bentuk barrel chest.

STEM FREMITUS MENURUN


Fremitus adalah pemeriksaan untuk mengetahui getaran suara dari saluran napas. Untuk
mengetahuinya dapat dilakukan dengan cara palpasi taktil atau dengan stetoskop.
Pemeriksaan fremitus (resonansi vocal) terjadi sebagai akibat getaran fonasi yang berjalan
sepanjang cabang trakeobronkial melalui parenkim paru. Secara fisiologis paru normal yang
terisi udara akan meneruskan bunyi dengan frekuensi rendah dan menyaring bunyi
dengan frekuensi tinggi. Namun pada resonansi vocal menurun dikarenakan berkurangnya
densitas (karena bunyi akan lebih tersaring) seperti pada keadaan asma, emfisema,
pneumothorax atau efusi pleura.

2. Mengapa napas terasa berat saat aktivitas berat?


3. Mengapa stem fremitus menurun pada pemeriksaan fisik paru?
4. Mengapa dilakukan pemeriksaan spirometri? Dan bagaimana interpretasinya?
5. Bagaimana alfa-1 antitripsin mempengaruhi saluran pernapasan?
6. Apa hubungan riwayat merokok dan bekerja di pabrik keramik dengan keluhan pasien?

Merokok menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran pernapasan dan jaringan


paru. Kebiasaan merokok akan mempercepat penurunan faal paru. Asap rokok dan
zat iritan lain akan mengaktifkan mikrofag dan sel epitel disaluran pernapasan yang
melepaskan neutrofil dan faktor kemotaktik termasuk interleukin-8 dan leukotrien
B4. Neutrofil dan makrofag kemudian melepaskan enzim protease yang
menghancurkan jaringan ikat di parenkim paru sehingga mengakibatkan terjadinya
emfisema dan juga merangsang hipersekresi mukus yang menyebabkan terjadinya
obstruksi saluran pernapasan.

Sumber : Hubungan merokok dengan obstruksi jalan napas. Saminan. Bagian Ilmu
Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. JURNAL
KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 13 Nomor 1 April 2013

7. Apa diagnosis dan diagnosis banding?


Dx
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat.
Pada PF tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi
paru. Dx PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala yang secara rinci diterangkan
pada table berikut :

Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometry, jika salah satu indicator ini ada pada
individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan diagnostic pasti, tetapi
keberadaan beberapa indicator kunci meningkatkan kemungkinan dx PPOK. Spirometri
diperlukan untuk memastikan dx PPOK.

Untuk menegakkan diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai berikut :


GAMBARAN KLINIS
ANAMNESIS
1) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
4) Terdapat factor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
5) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
6) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

PEMERIKSAAN FISIK

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

 INSPEKSI
1) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik
2) Barrel chest (diameter AP dan transversal sebanding)
3) Penggunaan otot bantu napas
4) Hipertropi otot bantu napas
5) Pelebaran sela iga
6) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai
7) Penampilan pink puffer atau blue bloater
 Pink Puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernapasan pursed-lips breathing

 Blue Bloater
Gambaran khas pada bronchitis kronis, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer

 PALPASI
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

 PERKUSI
Pada emfisema :
1) Hipersonor
2) Batas jantung mengecil
3) Letak diafragma rendah
4) Hepar terdorong ke bawah

 AUSKULTASI
1) Suara napas vesikuler normal, melemah
2) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
3) Ekspirasi memanjang
4) Bunyi jantung terdengar jauh

DD
1) ASMA
2) SOPT (sindroma obstruksi pasca TB)  penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan
pada penderita pasca TB dengan lesi paru yang minimal
3) Pneumothorax
4) Gagal jantung kronik
5) Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis dan destroyed
lung

Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di
Indonesia, karena itu diagnose yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan
prognosisnya berbeda.

PERBEDAAN ANTARA INFLAMASI PPOK DAN ASMA

Meskipun PPOK dan asma berhubungan dengan inflamasi kronis saluran napas
namun terdapat perbedaan dalam hal sel inflamasi dan mediator yang terlibat di
dalamnya, yang akan menyebabkan perbedaan efek faal, gejala, dan respon
terhadap terapi. Terdapat kemiripan inflamasi antara asma berat dan PPOK.
Beberapa pasien PPOK memiliki gambaran seperti asma dan mungkin memiliki pola
inflamasi yang ditandai dengan peningkatan eosinophil. Sebaliknya pasien asma yang
merokok memiliki gambaran patologis mirip dengan PPOK
Sumber : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan.
Edisi Buku Lengkap, JULI 2011. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia halaman 24-26
dan 31-34

8. Apa etiologi dan faktor resiko dari skenario?


Identifikasi factor resiko merupakan langkah penting dalam pencegahan dan
penatalaksanaan PPOK. Meskipun saat ini pemahaman factor resiko PPOK dalam banyak hal
masih belum lengkap, diperlukan pemahaman interaksi dan hubungan antara factor-faktor
resiko sehingga memerlukan investigasi lebih lanjut.

Beberapa studi longitudinal telah mengikuti populasi hingga 20 tahun, termasuk periode
pra-dan perinatal yang penting dalam membentuk masa depan individu yang beresiko PPOK.
Pada dasarnya semua resiko PPOK merupakan hasil dari interaksi lingkungan dan gen.
Misalnya, dua orang dengan riwayat merokok yang sama, hanya satu yang berkembang
menjadi PPOK, karena perbedaan dalam predisposisi genetic untuk penyakit ini, atau dalam
berapa lama mereka hidup.

Status social ekonomi dapat dihubungkan dengan BB lahir anak yang berdampak pada
pertumbuhan dan pengembangan paru. Dengan demikian beberapa hal yang berkaitan
dengan resiko timbulnya PPOK sampai saat ini dapat disimpulkan pada table dibawah ini :

PENJELASAN
1. ASAP ROKOK
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari factor penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi
sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian
dilaporkan bahwa terdapat rerata penurunan VEP1 .

Angka kematian pada perokok mempunyai nilai yang bermakna dibandingkan dengan
bukan perokok. Perokok dengan pipa dan cerutu mempunyai morbidity dan mortality
lebih tinggi dibandingkan bukan perokok, tetapi masih lebih rendah jika dibandingkan
perokok cigarette. Tipe lain dari jenis rokok yang popular di berbagai negara tidak
dilaporkan.

Resiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai
merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (indeks brinkman)
Tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh
factor resiko genetic setiap individu. Perokok pasif (atau dikenal sebagai environmental
tobacco smoke-ETS) dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan
PPOK, dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas. Merokok
selama kehamilan dapat beresiko terhadap janin, mempengaruhi tumbuh kembang paru
di uterus dan dapat menurunkan system imun awal.

Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :


 Riwayat merokok
a. Perokok aktif
b. Perokok pasif
c. Bekas perokok

 Derajat berat merokok dengan indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-
rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : >600

Asap rokok merupakan penyebab terpenting, jauh lebih penting dari factor
penyebab lainnya

Identifikasi merokok sebagai factor resiko yang paling biasa ditemui untuk PPOK
telah menyebabkan penggabungan program berhenti merokok sebagai elemen kunci
dari pencegahan PPOK, serta intervensi penting bagi pasien yang sudah memiliki
penyakit.

2. POLUSI UDARA
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat menjadi
penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan memberikan efek
yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar lebih mudah
mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi :
 Polusi di dalam ruangan
a. Asap rokok
b. Asap kompor
 Polusi di luar ruangan
a. Gas buangan kendaraan bermotor
b. Debu jalanan
 Polusi tempat kerja
a. Bahan kimia
b. Zat iritasi
c. Gas beracun
POLUSI DI DALAM RUANGAN

Kayu, serbuk gergaji,batu bara dan minyak tanah yang merupakan bahan
bakar kompor menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam runagan. Kejadian
polusi di dalam ruangan dari asap kompor dan pemanas ruangan dengan
ventilasi kurang baik merupakan factor resiko terpenting timbulnya PPOK,
terutama pada perempuan di negara berkembang (Case Control studies).

Hampir 3 milyar penduduk dunia memakai biomassa dan batubara sebagai


sumber utama energi untuk memasak , pemanas ruangan dan keperluan
rumah tangga lainnya, sehingga populasi yang beresiko menjadi sangat
banyak.

Polusi di dalam ruangan memberikan resiko lebih besar terjadinya PPOK


dibandingkan dengan polusi sulfat atau gas buang kendaraan. Bahan bakar
biomassa yang digunakan perempuan untuk memasak sehingga
meningkatkan prevalensi PPOK pada perempuan bukan perokok di Asia dan
Afrika. Polusi di dalam ruangan diperkirakan akan membunuh 2 juta
perempuan dan anak-anak setiap tahunnya (GOLD,2010)

POLUSI DI LUAR RUANGAN

Tingginya polusi udara dapat menyebabkan gangguan jantung dan paru.


Mekanisme polusi di luar ruangan seperti polutan di atmosfer dalam waktu
lama sebagai penyebab PPOK belum jelas, tetapi lebih kecil prevalensinya
dibandingkan pajanan asap rokok. Efek relative jangka pendek, puncak
pajanan tertinggi dalam waktu lama dan pajanan tingkat rendah adalah
pertanyaan yang harus dicari solusinya.

3. STRES OKSIDATIF
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen timbul dari
sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari polutan dan asap rokok.
Oksidan intraselular (endogen) sepeti derivate electron mitokondria transport termasuk
dalam mekanisme seluler signalling pathway.

Sel paru dilindungi oleh oxidative challenge yang berkembang secara enzimatik atau non
enzimatik. Ketika keseimbangan antara oksidan dan antioksidan berubah bentuk,
misalnya ekses oksidan dana tau deplesi antioksidan akan menimbulkan stres oksidatif.
Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga
menimbulkan aktivitas molekuler sebagai awal inflamasi pari.

Jadi, ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan memegang peranan penting


pada pathogenesis PPOK
4. INFEKSI SALURAN NAPAS BAWAH BERULANG
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam pathogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi
bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara bermakna menimbulkan
eksaserbasi. Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi
paru dan meningkatkan gejala respirasi pada saat dewasa. Terdapat beberapa
kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaan ini, karena seringnya kejadian
infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan napas
yang merupakan factor resiko pada PPOK.
Pengaruh BBLR (berat badan lahir rendah) akan meningkatkan infeksi viral yang juga
merupakan factor resiko PPOK. Kebiasaan merokok berhubungan dengan kejadian
emfisema. Riwayat infeksi TB berhubungan dengan obstruksi jalan napas pada usia >40
tahun.

5. SOSIAL EKONOMI
Social ekonomi sebagai factor resiko terjadinya PPOK belum dapat dijelaskan secara
pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, permukiman yang padat, nutrisi yang
jelek dan factor lain yang berhubungan dengan status social ekonomi kemungkinan
dapat menjelaskan hal ini.

Peranan nutrisi sebagai sebagai factor resiko tersendiri penyebab berkembangnya PPOK
belum jelas. Malnutrisi dan penurunan BB dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan
otot respirasi, karena penurunan masa otot dan kekuatan serabut otot. Kelaparan dan
status anabolic/katabolic berkembang menjadi emfisema pada percobaan binatang. CT
scan paru perempuan dengan kekurangan nutrisi akibat anoreksia nervosa menunjukkan
seperti emfisema

6. TUMBUH KEMBANG PARU


Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahiran, dan
pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang adalah
resiko untuk terjadinya PPOK. Studi metaanalisis menyatakan bahwa berat badan
mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.

7. ASMA
Asma kemungkinan sebagai factor resiko terjadinya PPOK, walaupun belum dapat
disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological Study” didapatkan bahwa orang
dengan asma 12 kali lebih tinggi resiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun
telah berhenti merokok. Penelitian lain 20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK
dengan ditemukannya obstruksi jalan napas irreversible.

8. GEN
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-lingkungan. Factor
resiko genetic yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-1 antitripsin sebagai
inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu
origin Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emfisema panlobular
dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok
dengan kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat. Banyak variasi individu dalam hal
beratnya emfisema dan penurunan fungsi paru.

Meskipun kekurangan alpha-1 antitripsin hanya sebagian kecil dari populasi di dunia, hal
ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan pajanan lingkungan yang
menyebabkan PPOK. Gambaran di atas menjelaskan bagaimana factor resiko genetic
berkontribusi terhadap timbulnya PPOK.

Resiko obstruksi aliran udara yang diturunkan secara genetic telah diteliti pada perokok
yang mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Hasil penelitian menunjukkan
keterkaitan bahwa factor genetic mempengaruhi kerentanan timbulnya PPOK. Telah
diidentifikasi kromosom 2q7 terlibat dalam pathogenesis PPOK, termasuk TGF-1,
mEPHX1, dan TNF. Gen-gen diatas banyak yang belum pasti kecuali kekurangan alpha-1
antitripsin.

Faktor resiko PPOK mungkin juga dihubungkan dengan cara yang lebih kompleks, karena
harapan hidup manusia yang menjadi lebih lama, memungkinkan terjadinya paparan
seumur hidup yang lebih besar terhadap berbagai factor resiko.

Sumber : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan.


Edisi Buku Lengkap, JULI 2011. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia halaman 9-14

9. Bagaimana patofisiologi dari skenario?

Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis yang mendasari PPOK
sampai terjadinya gejala yang karakteristik. Misalnya penurunan FEV1 yang terjadi
disebabkan peradangan dan penyempitan saluran napas perifer, sementara transfer gas
yang menurun disebabkan kerusakan parenkim yang terjadi pada emphysema.
KETERBATASAN ALIRAN UDARA DAN AIR TRAPPING
Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara kecil
berkorelasi dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC. Penurunan FEV1
merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan napas perifer ini
menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi.

Meskipun emfisema lebih dikaitkan dengan kelainan pertukaran gas dibandingkan


dengan FEV1 berkurang, hal ini berkontribusi juga pada udara yang terperangkap
yang terutama terjadi pada alveolar. Ataupun saluran napas kecil akan menjadi
hancur ketika penyakit menjadi lebih parah.

Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual


fungsional, khususnya selama latihan (bila kelainan ini dikenal sebagai hiperinflasi
dinamis), yang terlihat sebagai dyspnea dan keterbatasan kapasitas latihan.
Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme utama
timbulnya dyspnea pada aktivitas . bronkodilator yang bekerja pada salura napas
perifer mengurangi perangkap udara, sehingga mengurangi volume paru residu dan
gejala serta meningkatkan dan kapasitas berolahraga.

MEKANISME PERTUKARAN GAS


Ketidakseimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia dan hypercapnia
yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum, pertukaran gas akan memburuk
selama penyakit berlangsung. Tingjat keparahan emfisema berkorelasi dengan PO2 arteri
dan tanda lain dari ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA/Q).
Obstrruksi jalan napas perifer juga menghasilkan ketidakseimbangan VA/Q, dan
penggabungan dengan gangguan fungsi otot ventilasi pada penyakit yang sudah parah akan
mengurangi ventilasi, yang menyebabkan retensi CO2. Kelainan pada ventilasi alveolar dan
berkurangnya pembuluh darah paru akan lebih memperburuk kelainan VA/Q.

HIPERSEKRESI LENDIR
Hipersekresi lendir yang mengakibatkan batuk produktif kronis adalah gambaran dari
bronchitis kronis tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan aliran udara. Sebaliknya tidak
semua pasien dengan pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi lendir. Hal ini
disebabkan karena metaplasia mukosa yang meningkatkan jumlah sel goblet dan
membesarnya kelenjar submucosa sebagai respons terhadap iritasi kronis saluran napas
oleh asap rokok atau agen berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang
hipersekresi lendir melalui aktivasi reseptor factor EGFR.

HIPERTENSI PARU
Hipertensi paru ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK akibat proses
vasokontriksi yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada paru yang kemudian mengakibatkan
perubahan structural yang meliputi hyperplasia intimal dan kemudian hipertrofi otot
polos/hyperplasia.

Respon inflamasi dalam pembuluh darah sama dengan yang terlihat di saluran udara dengan
bukti terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler paru pada emfisema juga dapat
menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirukulasi paru sehingga terjadi pulmonary
hypertension yang bersifat progresif dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kanan dan
akhirnya gagal jantung kanan (cor pulmonale).

GAMBARAN DAMPAK SISTEMIK


Dari beberapa laporan penelitian, ternyata pasien PPOK memberikan pula beberapa
gambaran dampak sistemik, khususnya pada pasien dengan penyakit berat, hal ini
berdampak besar terhadap kualitas hidup dan penyakit penyerta.

Kakeksia umumnya terlihat pada pasien PPOK berat disebabkan karena hilangnya massa otot
rangka dan kelemahan sebagai akibat dari apoptosis yang meningkat dan/ atau tidak
digunakannya otot-otot tersebut. Pasien dengan PPOK juga mengalami peningkatan proses
osteoporosis, depresi dan anemia kronis.

Peningkatan konsentrasi mediator inflamasi, termasuk TNF-alfa, IL-6 dan radikal bebas
oksigen dengan keturunannya, dapat beberapa efek sistemik. Peningkatan resiko penyakit
kardiovaskuler, berkorelasi dengan peningkatan Protein C-Reaktif (PCR). Berikut ini adalah
gambar tentang PPOK dengan berbagai penyakit yang dapat berkorelasi :
EKSASERBASI
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi dalam saluran napas
pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau oleh polusi lingkungan.
Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK, masih banyak yang belum
diketahui dalam eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan neutrophil, beberapa
studi lainnya juga menemukan eosinophil dalam dahak dan dinding saluran napas. Hal ini
berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-alfa, LTB4, dan
IL-8 serta peningkatan biomarker stres oksidatif.

Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu penelitian
menunjukkan peningkatan neutrophil pada dinding saluran napas dan peningkatan ekspresi
kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara,
dengan aliran ekspirasi berkurang, sehingga terjadi sesak napas meningkat. Terdapat juga
memburuknya abnormalitas VA/Q yang mengakibatkan hipoksemia berat.

Sumber : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan.


Edisi Buku Lengkap, JULI 2011. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia halaman 20-23

10. Bagaimana tanda dan gejala pada skenario?

GAMBARAN KLINIS
ANAMNESIS
1) Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2) Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3) Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
4) Terdapat factor predisposisi pada masa bayi/anak, misalnya berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
5) Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
6) Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi

PEMERIKSAAN FISIK

PPOK dini umumnya tidak ada kelainan

 INSPEKSI
1) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi
yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik

2) Barrel chest (diameter AP dan transversal sebanding)


3) Penggunaan otot bantu napas
4) Hipertropi otot bantu napas
5) Pelebaran sela iga
6) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan
edema tungkai
7) Penampilan pink puffer atau blue bloater
 Pink Puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernapasan pursed-lips breathing

 Blue Bloater
Gambaran khas pada bronchitis kronis, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral
dan perifer

 PALPASI
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

 PERKUSI
Pada emfisema :
1) Hipersonor
2) Batas jantung mengecil
3) Letak diafragma rendah
4) Hepar terdorong ke bawah

 AUSKULTASI
5) Suara napas vesikuler normal, melemah
1) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
2) Ekspirasi memanjang
3) Bunyi jantung terdengar jauh

Sumber : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan.


Edisi Buku Lengkap, JULI 2011. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia halaman 25-26

11. Apa saja pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan?

SPIROMETRI  Merupakan pemeriksaan faal paru yang terpenting untuk


mendeteksi adanya obstruksi jalan napas maupun derajat obstruksi. Hambatan aliran
udara pernapasan pada ekspirasi secara spirometri dinyatakan dengan perumusan
nilai-nilai Volume Ekspirasi Paksa detik pertama. VEP1 / FEV1 merupakan parameter
yang paling banyak digunakan untuk menentukan obstruksi, derajat obstruksi,
bahkan dapat menilai prognosis (Hadiarto, 1998)

KADAR ENZIM ALFA ANTITRIPSIN  kadar alfa-1 antitripsin rendah pada emfisema
herediter (emfisema usia muda), defisiensi alfa-1 antitripsin jarang ditemukan di Indonesia

PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA


1) LABORATORIUM DARAH
Hemoglobin, Hematokrit, Leukosit, analisis gas darah pada pasien emfisema meningkat

2) RADIOLOGI
Foto thorax PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada
emfisema terlihat gambaran :
 Hiperinflasi
 Hiperlusen
 Ruang retrosternal melebar
 Diafragma mendatar
 Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop appearance)

PEMERIKSAAN PENUNJANG LANJUTAN

1) FAAL PARU LENGKAP


Volume residu, kapasitas residu fungsional, kapasitas paru total, meningkat

2) UJI LATIH KARDIOPULMONER


 Sepeda statis (ergocycle)
 Jentera (treadmill)
 Jalan 6 menit  lebih rendah dari orang normal

3) UJI PROVOKASI BRONKUS


Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktivitas bronkus derajat ringan

4) ANALISIS GAS DARAH


Terutama untuk menilai :
 Gagal napas kronik stabil
 Gagal napas akut pada gagal napas kronik

5) RADIOLOGI
 CT scan resolusi tinggi
 Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula
yang tidak terdeteksi oleh foto thorax polos
 Scan ventilasi perfusi  mengetahui fungsi respirasi paru

6) ELEKTROKARDIOGRAFI (EKG)
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan

7) ECHOKARDIOGRAFI
Menilai fungsi jantung kanan

8) BAKTERIOLOGI
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotic yang tepat. Infeksi saluran
napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di
Indonesia.

Sumber : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan.


Edisi Buku Lengkap, JULI 2011. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia halaman 26-30

12. Apakah komplikasi dan edukasinya?

Prodi keperawatan

1. Bagaimana konsep keperawatan menurut skenario?


2. Apakah pengertian pursed lips breathing?
3. Bagaimana cara melakukan teknik pursed lips breathing?
4. Apa tujuan dan manfaat teknik pursed lips breathing?
5. Apakah diagnosa keperawatan lainnya yang mungkin muncul dari kasus tersebut?

Prodi farmasi

1. Apa saja terapi farmakologi dan non farmakologi, tujuan terapi, serta monitoring?

Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu:


1) Mengurangi gejala
2) Mencegah progresifitas penyakit
3) Meningkatkan toleransi latihan
4) Meningkatkan status kesehatan
5) Mencegah dan menangani komplikasi
6) Mencegah dan menangani eksaserbasi
7) Menurunkan kematian
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :

1) Edukasi
2) Berhenti merokok
3) Obat-obatan
4) Rehabilitasi
5) Terapi O2
6) Ventilasi mekanik
7) Nutrisi

1. EDUKASI
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka Panjang pada PPOK stabil.
Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi asma. Karena PPOK adalah penyakit
kronik yang irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda
dengan asma yang masih bersifat reversible menghindari pencetus dan memperbaiki
derajat penyakit adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

1) Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan


2) Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3) Mencapai aktivitas optimal
4) Meningkatkan kualitas hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang
pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun keluarganya. Edukasi
dapat diberikan di poloklonik, ruang gawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di
ICCU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik
konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga.
Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK,
memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian
aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan
derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan social, kultural dan kondisi
ekonomi penderita.

Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :

1) Pengetahuan dasar tentang PPOK


2) Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
3) Cara pencegahan perburukan penyakit
4) Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5) Penyesuaian aktivitas

Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala
prioritas bahan edukasi sebagai berikut :

1) Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
2) Penggunaan obat-obatan
 Macam obat dan jenisnya
 Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebulizer)
 Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selang waktu tertentu atau kalau perlu
saja)
 Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3) Penggunaan O2
 Kapan O2 harus digunakan
 Berapa dosisnya
 Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4) Mengenal dan mengatasi ESO atau terapi O2
5) Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya
Tanda eksaserbasi :
 Batuk atau dan sesak bertambah
 Sputum bertambah
 Sputum berubah warna
6) Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7) Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas

Edukasi diberikan dengan Bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke
pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya
diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali
pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka Panjang pada
PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang irreversible.

PEMBERIAN EDUKASI BERDASAR DERAJAT PENYAKIT

2. BERHENTI MEROKOK
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam mengurangi
resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit.

3. OBAT-OBATAN
 BRONKODILATOR
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebulizer tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau
obat berefek panjang (long acting).

Macam-macam bronkodilator :

1) GOLONGAN ANTIKOLINERGIK
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator
juga mengurangi sekresi lendir (max 4x perhari).

2) GOLONGAN AGONIS BETA-2


Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebulizer dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat.

3) KOMBINASI ANTIKOLINERGIK DAN AGONIS BETA-2


Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

4) GOLONGAN XANTHIN
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan
pemeriksaan kadar aminophiline darah.
 ANTIINFLAMASI
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi IV, berfungsi
menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon. Bentuk inhalasi
sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat >20% dan minimal 250mg.
Digunakan pada PPOK stabil mulai derajat III dalam bentuk glukokortikoid,
kombinasi LABACs dan PDE-4.

 ANTIBIOTIK
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi.

 ANTIOKSIDAN
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

 MUKOLITIK
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempervepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous
(misalnya ambroxol dan erdostein). Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis
kronik tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin

 ANTITUSIF
Diberikan dengan hati-hati

 PHOSPODIESTERASE-4 INHIBITOR
Diberikan kepada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan memiliki riwayat
eksaserbasi dan bronkitis kronik. Phopodiesterase-4 inhibitor, roflumilast dapat
mengurangi eksaserbasi diberikan secara oral dengan glukokortikosteroid.

Roflumilast juga dapat mengurangi eksaserbasi jika dikombinasikan dengan LABA.


Sejauh ini belum ada penelitian yang membandingkan roflumilast dengan
glukokortikosteroid inhalasi.

Gambar dibawah ini memperlihatkan target terapi masa depan yang kemungkinan
ada
4. REHABILITASI PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi letihan dan memperbaiki
kualitas hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program
rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
 Simptom pernapasan berat
 Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
 Kualitas hidup yang menurun

Program dilaksanakan di dalam maupun di luar rumah sakit oleh suatu tim
multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan
latihan pernapasan.

 LATIHAN FISIS
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen.
Latihan fisis yang baik akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery

Latihan jasmani pada PPOK terdiri dari dua kelompok :


- Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
- Endurance exercise
LATIHAN UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN OTOT PERNAPASAN

Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan


otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan inspirasi
yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimal yang dibutuhkan. Latihan
khusus pada otot pernapasan akan mengakibatkan bertambahnya
kemampuan ventilasi maksimal, memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi
sesak napas.

Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot
pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila kedua bentuk latihan
tersebut bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh
karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat indivudual. Apabila
ditemukan kelelahan otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan
diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan
ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.

ENDURANCE EXERCISE

Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada pendrita PPOK.


Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak
sebesar pada orang sehat.

Latihan jasmani pada penderita PPOK berakibat meningkatnya toleransi


latihan karena meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya
konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari
efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dan toleransi terhadap asam
laktat.

Sesak napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOK


menghentikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan
otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan
faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya.

Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan


fungsi otot skeletal. Imobilisasi selama 4-6 minggu akan menyebabkan
penurunan kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan
aktiviti enzim metabolik. Berbaring di tempat tidur dalam jangka waktu yang
lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan kontrol kardiovaskuler.

Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :


 Di rumah

* Latihan dinamik
* Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan,

jogging, sepeda

 Rumah sakit

Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe
latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan
keluhan subyektif dicatat. Pernyataan keberhasilan latihan oleh penderita
lebih penting dari pada hasil pemeriksaaan subyektif atau obyektif.

Pemeriksaan ulang setelah 6-8 minggu di laboratorium dapat memberikan


informasi yang objektif tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.

Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah
adalah ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walking-
jogging. Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3
menit, yang cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal.
Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantng 60%-70%
maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat.
Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama
5 hari perminngi. Denyut nadi maksimal adalah 220 – umur dalam tahun.

Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk menderita dapat


diperkecil. Walaupun demikian latihan jasmani secara potensial akan dapat
berakibat kelainal fatal, dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.

Hal-hal yang perlu diperhatian sebelum latihan :


1) Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
2) Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latiham
3) Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan
koordinasi atau pusing latihan segera dihentikan
4) Pakaian longgar dan ringan

PSIKOSOSIAL:

Status psikologi penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila


diperlukan dapat diberikan obat

LATIHAN PERNAPASAN:
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mongontrol sesak napas.
Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips breathing guna
memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan toraks.

5. TERAPI OKSIGEN
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan
kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat
penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di
otot maupun organ-organ lainnya.

Manfaat oksigen:

 Mengurangi sesak
 Memperbaiki aktiviti
 Mengurangi hipertensi pulmonal
 Mengurangi vasokonstriksi
 Mengurangi hematokrit
 Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
 Meningkatkan kualiti hidup

Indikasi:
1) PaO2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90 %
2) PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Korpulmonal,
perubahan P pulmonal, Ht > 55 % dan tanda- tanda gagal jantung kanan, sleep
apnea, penyakit paru lain

Macam terapi oksigen :


1) Pemberian oksigen jangka panjang
2) Pemberian oksigen pada waktu antiviti
3) Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
4) Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas

Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi


oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan
gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK
aksesarbasi akut di unit gawat darurat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian
oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :

1) Pemberian oksigen jangka panjang (Long Term Oxygen Therapy = LTOT)


2) Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
3) Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidar atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari,
pemberian oksigen dengan nasal kanul 1-2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu
tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.

Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen
di atas 90%.

Alat bantu pemberian oksigen :

1) Nasal kanul
2) Sungkup venturi
3) Sungkup rebreathing
4) Sungkup nonrebreathing

Pemilihan alat bantu harus dilakukan secara hati-hati, disesuaikan dengan tujuan
terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut. Pemberian
okisgen yang terlalu tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar CO2. Bila
terdapat kenaikan PCO2 dipilih sungkup nonrebreathing.

6. VENTILASI MEKANIK

Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut,
gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan
gagal napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau
di rumah.

Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :

1) Ventilasi mekanik tanpa intubasi


2) Ventilasi mekanik dengan intubasi

VENTILASI MEKANIK TANPA INTUBASI:


Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas
kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa
intubasi adalah noninvasive intermitten positif pressure (NIPPV) atau Negative
pressure Ventilation (NPV).

NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi :


- Volume control
- Pressure control
- Bilevel positive airway pressure (BiPAP)
- Continous positive airway pressure (CPAP)

NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus


(LTOT/Long Term Oxygen Therapy) akan memberikan perbaikan yang signifikasi
pada :

1) Analisis gas darah


2) Kualitas dan kuantitas tidur
3) Kualitas hidup
4) Analisis gas darah

Indikasi Penggunaan NIPPV :

1) Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan
abdominal paradoksal
2) Asidosis sedang sampai berat pH < 7.30 – 7.35
3) Frekuensi napas > 25 kali per menit

NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas,
disamping harus menggunakan peerlengkapan yang tidak sederhana.

VENTILASI MEKANIK DENGAN INTUBASI

Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah


sakit bila di temukan keadaan sebagai berikut :

1) Gagal napas yang pertama kali


2) Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat
diperbaiki, misalnya pneumonia
3) Aktiviti sebelumnya tidak terbatas

Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :

1) Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan


pergerakan abdominal paradoksal
2) Frekuensi napas > 35 permenit
3) Hipoksemia yang mengancam jiwa (PaO2 < 40 mmHG)
4) Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (PCO2 > 60 mmHg)
5) Henti nafas
6) Somnolen, gangguan kesadaran
7) Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
8) Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,
barotrauma, efusi pleura masif)
9) Telah gagal dalam penggunaan NIPPV

Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi
sebagai berikut :

1) PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya


2) Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
3) Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal

Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik :

1) Ventilator-acquired pneumonia (VAP)


2) Barotrauma
3) Kesukaran weaning

Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan

1) Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi


2) Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat
3) Nutrisi seimbang
4) Dibantu dengan NIPPV

7. NUTRISI
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan
energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan
hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah
mortaliti PPOK karena berkorelasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan
analisis gas darah.

Malnutrisi dapat dievaluasi dengan:

1) Penurunan berat badan


2) Kadar albumin darah
3) Antropometri
4) Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)

Gizi penting sebagai penentu gejala, cacat dan prognosis dalam PPOK, baik
kelebihan berat badan dan kurus bisa menjadi masalah. Khusus rekomendasi gizi
untuk pasien dengan PPOK didasarkan pada pendapat ahli. Kira-kira 25% dari
pasien dengan PPOK derajat II sampai derajat IV menunjukkan penurunan baik
indeks massa tubuh dan massa lemak bebas. Pengurangan indeks massa tubuh
merupakan faktor risiko independen untuk mortalitas PPOK (Bukti A).
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena
berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan
ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :

1) Hipophospatemi
2) Hiperkalemi
3) Hipokalsemi
4) Hipomagnasemi

Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi


dengan komposisi seimbang, yaitu porsi kecil dengan waktu pemberian yang
lebih sering.

Sumber : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan.


Edisi Buku Lengkap, JULI 2011. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia halaman 36-55

2. Bagaimana patofisiologi dari skenario?


3. Bagaimana drug releated problem pada kasus tersebut?
4. Bagaimana informasi obat yang disampaikan oleh apoteker?

Anda mungkin juga menyukai