1. Mengapa didapatkan pemeriksaan fisik dan gambaran foto thorax empysemathous pada skenario?
BARREL CHEST, SELA IGA MELEBAR, DAN DIAFRAGMA MENDATAR
Pada dada dengan bentuk normal, rasio antara diameter anteroposterior dengan diameter laterolateral adalah
1:2. Pada penderita barrel chest diameter anteroposterior meningkat secara abnormal sehingga
perbandingannya dengan diameter laterolateral menjadi 1:1
Gambar di atas menunjukkan perbandingan bentuk dada normal dengan bentuk dada barrel chest. Peningkatan
abnormal diameter anteroposterior dan pendorongan tulang sternum ke depan menyebabkan dada terlihat
seperti tabung
Barrel chest merupakan salah satu temuan klinis yang bisa ditemukan pada penderita PPOK. PPOK adalah
penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif
nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Barrel chest disebabkan oleh PPOK tipe emfisema, pada emfisema terjadi kelainan anatomis paru yang
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli yang
menyebabkan terhambatnya aliran udara. Hal ini menyebabkan terjadinya hiperinflasi di paru yang secara
bertahap akan menambah volume paru, sehingga diafragma akan terdesak ke bawah, tulang sternum
terdesak ke anterior, dan tulang iga menjadi mendatar, secara perlahan dada normal berubah bentuk menjadi
bentuk barrel chest.
2. Apa hubungan pasien dengan kebiasaan merokok dan bekerja di pabrik kramik?
Merokok menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru. Kebiasaan merokok
akan mempercepat penurunan faal paru. Asap rokok dan zat iritan lain akan mengaktifkan mikrofag dan sel
epitel disaluran pernapasan yang melepaskan neutrofil dan faktor kemotaktik termasuk interleukin-8 dan
leukotrien B4. Neutrofil dan makrofag kemudian melepaskan enzim protease yang menghancurkan jaringan
ikat di parenkim paru sehingga mengakibatkan terjadinya emfisema dan juga merangsang hipersekresi mukus
yang menyebabkan terjadinya obstruksi saluran pernapasan.
Sumber : Hubungan merokok dengan obstruksi jalan napas. Saminan. Bagian Ilmu Fisiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Syiah Kuala Banda Aceh. JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 13 Nomor 1 April 2013
Komponen-komponen asap rokok ini merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus
bronkus dan silia. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia.
Perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus dan sel-sel silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan
menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan mengaktifkan reseptor batuk untuk menghasilkan
refleks batuk untuk memebantu pengeluaran mukus, sehingga batuknya kental.
Riyanto BS, Hisyam B. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi 4. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen IPD FKUI, 2006. p. 984-5.
Respons epitel jalan napas terhadap pajanan gas atau asap rokok berupa peningkatan jumlah kemokin seperti
IL-8, macrophage inflamatory protein-1 α (MIP1-α) dan monocyte chemoattractant protein-1 (MCP-1).
Peningkatan jumlah Limfosit T yang didominasi oleh CD8+ tidak hanya ditemukan pada jaringan paru tetapi
juga pada kelenjar limfe paratrakeal. Sel sitotoksik CD8+ menyebabkan destruksi parenkim paru dengan
melepaskan perforin dan granzymes. CD8+ pada pusat jalan napas merupakan sumber IL-4 dan IL-3 yang
menyebabkan hipersekresi mukus yang mengental.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)- Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) - Diagnosis &
Penatalaksanaan,2011
Asap rokok mengoksidasi Metionin menjadi Metionin sulfoksida. Sehingga pengikatan alpha-1-antitripsin
menjadi turun. Sehingga proteolisis paru semakin beresiko menjadi kerusakan paru
Alpha-1-antitripsin : suatu protein rantai tunggal dengan 394 asam amino yang mengandung tiga rantai
oligosakarida. Disintesis oleh hepatosit dan makrofag dan berfungsi menghambat tripsin, elastase, dan
protease lainnya
Mekanisme kerja :
Elastase aktif + penurunan atau tanpa alpha-1-AT elastase aktif proteolisis di paru kerusakan jaringan
(Biokimia Harper, Robert K. Murray)
sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik
SPIROMETRI Merupakan pemeriksaan faal paru yang terpenting untuk mendeteksi adanya obstruksi
jalan napas maupun derajat obstruksi. Hambatan aliran udara pernapasan pada ekspirasi secara
spirometri dinyatakan dengan perumusan nilai-nilai Volume Ekspirasi Paksa detik pertama. VEP1 /
FEV1 merupakan parameter yang paling banyak digunakan untuk menentukan obstruksi, derajat
obstruksi, bahkan dapat menilai prognosis (Hadiarto, 1998)
KADAR ENZIM ALFA ANTITRIPSIN kadar alfa-1 antitripsin rendah pada emfisema herediter (emfisema usia muda),
defisiensi alfa-1 antitripsin jarang ditemukan di Indonesia, Pemeriksaan Alpha 1 AntiTrypsin
Alpha 1antitrypsin (A1AT) adalah suatu protein yang memiliki fungsi sebagai antiprotease atau neutrophil elastase
inhibitor. Sebagian besar A1AT disintesis di sel hepatosit dan monosit yang kemudian akan didistribusikan secara difusi
melalui sirkulasi menuju paru, sementara sebagian kecil diproduksi oleh sel alveolar makrofag dan sel epitelial. Alpha 1-
antitrypsin juga secara luas dikenal sebagai Alpha-1 proteinase inhibitor (A1Pi) karena dapat menghambat berbagai jenis
protease. Umumnya, kadar A1AT yang berada di dalam darah adalah 1,5–2 gram/liter. Jika terjadi defisiensi A1AT, maka
neutrofil elastase akan langsung memecah elastin, protein yang menyokong jaringan paru dan akan menyebabkan
komplikasi pada saluran pernapasan seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Defisiensi A1AT merupakan salah
satu kelainan genetik yang terbilang langka karena di Indonesia angka kejadiannya masih sangat sedikit jika
dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika Serikat.
Alpha-1 antitrypsin memiliki lebih dari 90% aktivitas antiproteinase dalam serum manusia yang akan menjadi
pertahanan jika terjadi serangan elastolitik pada bagian distal alveolar akibat neutrophil elastase, sedangkan sisanya
dimiliki oleh 2 makroglobulin. Bahkan A1AT sudah terbukti sebagai anti proteinase spektrum luas karena memiliki efek
anti inflamasi dan pelindung jaringan. Alpha-1 antitrypsin akan menghambat aktivitas elastase yang berasal dari
neutrofil, pankreas ataupun bakteri dengan cara menetralisir proteinase-3, myeloperoxidase, cathepsin G, dan -
defensins yang berasal dari neutrofil; chymase dan tryptase yang berasal dari sel mast; granzymeB yang berasal dari
limfosit T; circulating kallikreins 7 dan 14; dan kaskade koagulasi serine proteinase yang berasal dari plasmin, trombin,
urokinase, dan faktor Xa.
(Alpha 1-antitrypsin Deficiency as the Risk Factor of Chronic Obstructive Pulmonary Disease- Majority | Volume 6
| Nomor 2 | Maret 2017)
Alpha-1-antitripsin : suatu protein rantai tunggal dengan 394 asam amino yang mengandung tiga rantai
oligosakarida. Disintesis oleh hepatosit dan makrofag dan berfungsi menghambat tripsin, elastase, dan
protease lainnya
Mekanisme kerja :
Elastase aktif + penurunan atau tanpa alpha-1-AT elastase aktif proteolisis di paru kerusakan jaringan
(Biokimia Harper, Robert K. Murray)
PEMERIKSAAN PENUNJANG LAINNYA
1) LABORATORIUM DARAH
Hemoglobin, Hematokrit, Leukosit, analisis gas darah pada pasien emfisema meningkat
2) RADIOLOGI
Foto thorax PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. Pada emfisema terlihat
gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop/eye drop appearance)
Sumber : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan. Edisi Buku Lengkap,
JULI 2011. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia halaman 26-30
6. Bagaimana etiologi?
Asap rokok, asap pabrik, polusi, asap pembakaran
7. Bagaimana patogenesis, dan patofisiologis dari skenario?
Perokok dan pekerja pabrik serta adanya defisiensi alfa1antitripsin, kerusakan sistem pernafasan
atasperubahan epitelsehingga tidak terjadi sekresi mukosaimflamasiaggregasi
sitokin(kemokin)kontraksi saluran pernafasan (bronkus) menyempit
Apabila asap masuk kebawahmengaktifkan sel dustmengirimsinyal ke limfonodiaggregasi sitokin
pengeluaran proteinase serinproteolisis pada alveolus kehilangan elastisitas alveolus
Alfa1antitripsin dihasilkan oleh hepatosit apabila defisiensi tidak akan ada sekresi alfa1antirtipsin tidak ada
yang menginhibitor dari proteinase serin
Aktifasi faktor nuklear betameningkatkan penghasilan mediator inflamasikerusakan alveolus semakin
parahdifusi tidak sempurna
PEMERIKSAAN FISIK
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
INSPEKSI
1) Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap
ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas
kronik
2) Barrel chest (diameter AP dan transversal sebanding)
3) Penggunaan otot bantu napas
4) Hipertropi otot bantu napas
5) Pelebaran sela iga
6) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai
7) Penampilan pink puffer atau blue bloater
Pink Puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan
pursed-lips breathing
Blue Bloater
Gambaran khas pada bronchitis kronis, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai
dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
PALPASI
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
PERKUSI
Pada emfisema :
1) Hipersonor
2) Batas jantung mengecil
3) Letak diafragma rendah
4) Hepar terdorong ke bawah
AUSKULTASI
1) Suara napas vesikuler normal, melemah
2) Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
3) Ekspirasi memanjang
4) Bunyi jantung terdengar jauh
DD
1) ASMA
2) SOPT (sindroma obstruksi pasca TB) penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
pasca TB dengan lesi paru yang minimal
3) Pneumothorax
4) Gagal jantung kronik
5) Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis dan destroyed lung
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di Indonesia, karena
itu diagnose yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.
PERBEDAAN ANTARA INFLAMASI PPOK DAN ASMA
Meskipun PPOK dan asma berhubungan dengan inflamasi kronis saluran napas namun terdapat
perbedaan dalam hal sel inflamasi dan mediator yang terlibat di dalamnya, yang akan menyebabkan
perbedaan efek faal, gejala, dan respon terhadap terapi. Terdapat kemiripan inflamasi antara asma
berat dan PPOK. Beberapa pasien PPOK memiliki gambaran seperti asma dan mungkin memiliki pola
inflamasi yang ditandai dengan peningkatan eosinophil. Sebaliknya pasien asma yang merokok
memiliki gambaran patologis mirip dengan PPOK
Sumber : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan. Edisi Buku Lengkap, JULI 2011.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia halaman 24-26 dan 31-34
10. Apa intervensi dari diagnosa?
11. Apa faktor risiko?
1) Asap rokok
Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat rerata penurunan VEP1. Risiko PPOK pada perokok
tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok.
2) Polusi udara
a. Polusi di dalam ruangan
- Asap rokok Mekanisme polusi di luar ruangan seperti polutan di atmosfer dalam waktu lama sebagai
penyebab PPOK belum jelas, tetapi lebih kecil prevalensinya jika dibandingkan dengan pajanan asap rokok
- Asap kompor Kayu, serbuk gergaji, batu bara dan minyak tanah yang merupakan bahan bakar kompor
menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan.
b. Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan
c. Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
3) Stres oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel
lainnya sedangkan oksidan eksogen dari polutan dan asap rokok. Oksidan intraseluler (endogen) seperti
derivat elektron mitokondria transpor termasuk dalam mekanisme seluler signaling pathway. Sel paru
dilindungi oleh oxydative chalenge yang berkembag secara sistem enzimatik atau non enzimatik. Ketika
keseimbangan antara oksidan dan antioksidan berubah bentuk, misalnya ekses oksidan dan atau deplesi
antioksidan akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada
paru tetapi juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai awal inflamasi paru.
4) Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri
menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran
napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi pada
saat dewasa. Pengaruh berat badan lahir rendah akan meningkatkan infeksi viral yang juga merupakan
faktor risiko PPOK. Kebiasaan merokok berhubungan dengan kejadian emfisema.
5) Peranan nutrisi
Peranan nutrisi sebagai faktor risiko tersendiri penyebab berkembangnya PPOK belum jelas. Malnutrisi dan
penurunan berat badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan masa
otot dan kekuatan serabut otot. Kelaparan dan status anabolik/katabolik berkembang menjadi empisema
pada percobaan binatang. CT scan paru perempuan dengan kekurangan nutrisi akibat anoreksia nervosa
menunjukkan seperti empisema.
6) Tumbuh kembang paru
Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahiran, dan pajanan waktu kecil.
Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi
metaanalias menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.
7) Asma
Pada laporan “The Tucson Epidemiological Study” didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi
risiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti merokok. Penelitian lain 20% dari asma
akan berkembang menjadi PPOK dengan ditemukannya obstruksi jalan napas ireversibel.
8) Gen
Gen PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-lingkungan. Faktor risiko genetik
yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat
resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu origin Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan
kelainan emphysema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan
perokok dengan kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat. Banyak variasi individu dalam hal beratnya
emfisema dan penurunan fungsi paru. Meskipun kekurangan -1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari
populasi di dunia, hal ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan pajanan lingkungan yang
menyebabkan PPOK. Gambaran di atas menjelaskan bagaimana faktor risiko genetik berkontribusi terhadap
timbulnya PPOK. Risiko obstruksi aliran udara yang di turunkan secara genetik telah diteliti pada perokok
yang mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Hasil penelitian menunjukkan keterkaitan bahwa faktor
genetik mempengaruhi kerentanan timbulnya PPOK. Telah diidentifikasi kromosom 2q7 terlibat dalam
patogenesis PPOK, termasuk TGF-1, mEPHX1dan TNF. Gen-gen di atas banyak yang belum pasti kecuali
kekurangan alpha- 1 antitrypsin.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)- Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) - Diagnosis &
Penatalaksanaan,2011
Macam-macam bronkodilator :
1) GOLONGAN ANTIKOLINERGIK
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi
sekresi lendir (max 4x perhari).
2) GOLONGAN AGONIS BETA-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai
monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang
berefek panjang. Bentuk nebulizer dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi berat.
3) KOMBINASI ANTIKOLINERGIK DAN AGONIS BETA-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana
dan mempermudah penderita.
4) GOLONGAN XANTHIN
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada
derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas),
bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang
diperlukan pemeriksaan kadar aminophiline darah.
ANTIINFLAMASI
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi IV, berfungsi menekan inflamasi
yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan
bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat
>20% dan minimal 250mg. Digunakan pada PPOK stabil mulai derajat III dalam bentuk glukokortikoid,
kombinasi LABACs dan PDE-4.
ANTIBIOTIK
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi.
ANTIOKSIDAN
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, digunakan N-asetilsistein. Dapat
diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
MUKOLITIK
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempervepat perbaikan eksaserbasi,
terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous (misalnya ambroxol dan erdostein).
Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin
ANTITUSIF
Diberikan dengan hati-hati
PHOSPODIESTERASE-4 INHIBITOR
Diberikan kepada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan memiliki riwayat eksaserbasi dan
bronkitis kronik. Phopodiesterase-4 inhibitor, roflumilast dapat mengurangi eksaserbasi diberikan secara
oral dengan glukokortikosteroid.
Roflumilast juga dapat mengurangi eksaserbasi jika dikombinasikan dengan LABA. Sejauh ini belum ada penelitian yang
membandingkan roflumilast dengan glukokortikosteroid inhalasi.
Sumber : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan. Edisi Buku Lengkap, JULI 2011.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia halaman 36-55
13. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi pada kasus tersebut?
14. Apa edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga?
15. Apakah dibutuhkan pemberian sturasi oksigen, jika iya, berapa dosisnya?
1. REHABILITASI PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi letihan dan memperbaiki kualitas hidup penderita
PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan
pengobatan optimal yang disertai :
Simptom pernapasan berat
Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
Kualitas hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun di luar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin
yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitasi terdiri
dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
LATIHAN FISIS
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik
akan menghasilkan :
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik
- Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery
Di rumah
* Latihan dinamik
* Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, jogging, sepeda
Rumah sakit
Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe latihan diubah
setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif dicatat. Pernyataan
keberhasilan latihan oleh penderita lebih penting dari pada hasil pemeriksaaan subyektif atau
obyektif.
Pemeriksaan ulang setelah 6-8 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang
objektif tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.
Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah adalah ergometri
dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walking-jogging. Begitu jenis latihan sudah
ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar
40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantng 60%-70%
maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa
minggu latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminngi. Denyut nadi
maksimal adalah 220 – umur dalam tahun.
Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk menderita dapat diperkecil.
Walaupun demikian latihan jasmani secara potensial akan dapat berakibat kelainal fatal, dalam
bentuk aritmia atau iskemi jantung.
PSIKOSOSIAL:
Status psikologi penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat diberikan
obat
LATIHAN PERNAPASAN:
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mongontrol sesak napas. Teknik latihan
meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips breathing guna memperbaiki ventilasi dan
mensinkronkan kerja otot abdomen dan toraks.
2. TERAPI OKSIGEN
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.
Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler
dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Manfaat oksigen:
Mengurangi sesak
Memperbaiki aktiviti
Mengurangi hipertensi pulmonal
Mengurangi vasokonstriksi
Mengurangi hematokrit
Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
Meningkatkan kualiti hidup
Indikasi:
1) PaO2 < 60 mmHg atau Sat O2 < 90 %
2) PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Korpulmonal, perubahan P pulmonal, Ht
> 55 % dan tanda- tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah
diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di
rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK aksesarbasi akut di unit gawat darurat, ruang rawat
ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidar
atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1-2
L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila
penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan
kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri.
Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
1) Nasal kanul
2) Sungkup venturi
3) Sungkup rebreathing
4) Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu harus dilakukan secara hati-hati, disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen
dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut. Pemberian okisgen yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan peningkatan kadar CO2. Bila terdapat kenaikan PCO2 dipilih sungkup
nonrebreathing.
3. VENTILASI MEKANIK
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada
gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT/Long Term Oxygen
Therapy) akan memberikan perbaikan yang signifikasi pada :
1) Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan abdominal paradoksal
2) Asidosis sedang sampai berat pH < 7.30 – 7.35
3) Frekuensi napas > 25 kali per menit
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping harus
menggunakan peerlengkapan yang tidak sederhana.
Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila di
temukan keadaan sebagai berikut :
1) Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan abdominal
paradoksal
2) Frekuensi napas > 35 permenit
3) Hipoksemia yang mengancam jiwa (PaO2 < 40 mmHG)
4) Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (PCO2 > 60 mmHg)
5) Henti nafas
6) Somnolen, gangguan kesadaran
7) Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
8) Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru, barotrauma, efusi pleura
masif)
9) Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai berikut :
4. NUTRISI
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja
muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi
hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkorelasi dengan derajat
penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Gizi penting sebagai penentu gejala, cacat dan prognosis dalam PPOK, baik kelebihan berat badan
dan kurus bisa menjadi masalah. Khusus rekomendasi gizi untuk pasien dengan PPOK didasarkan
pada pendapat ahli. Kira-kira 25% dari pasien dengan PPOK derajat II sampai derajat IV
menunjukkan penurunan baik indeks massa tubuh dan massa lemak bebas. Pengurangan indeks
massa tubuh merupakan faktor risiko independen untuk mortalitas PPOK (Bukti A).
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus
respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah :
1) Hipophospatemi
2) Hiperkalemi
3) Hipokalsemi
4) Hipomagnasemi
Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi
seimbang, yaitu porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.
Sumber : PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) Diagnosis dan Penatalaksanaan. Edisi Buku Lengkap,
JULI 2011. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia halaman 36-55
Klasifikasi emfisema