Anda di halaman 1dari 126

ABSTRAK

Panduan Teknis
Pengendalian
Pencemaran Udara untuk
Sumber Tidak bergerak
merupakan suatu
kumpulan aturan dasar
! yang dapat digunakan
oleh Regulator maupun
Pelaku Usaha serta
Panduan Teknis Stakeholder lain dalam
Pengendalian
Pencemaran Udara.
Pengendalian Panduan ini merupakan
revisi dari Kepka Bapedal
No.205 tahun 1996

Pencemaran Udara
untuk Sumber Tidak
Bergerak
Daftar Isi

Bagian I---------------------------------------------------------------------------------------------- 3
Dasar-dasar Pemantauan Kualitas Udara .................................................... 3
Bagian II ---------------------------------------------------------------------------------------------6
Jenis Industri dan Penetapan Parameter Pengukuran .....................................6
Bagian III --------------------------------------------------------------------------------------------8
Tata Cara Pemantauan Udara Emisi untuk Sumber Tidak Bergerak ..................... 8
Bagian IIIA -------------------------------------------------------------------------------------------9
Penentuan Titik Pantau Emisi untuk Sumber Tidak Bergerak.............................9
Bagian IIIB -----------------------------------------------------------------------------------------17
Metode-Metode Uji Sampling Emisi ......................................................... 17
Bagian IIIC -----------------------------------------------------------------------------------------98
Pemantauan Emisi Menggunakan Sistem Menerus (CEMS) dan Prediktif (PEMS) ..... 98
Bagian IIID---------------------------------------------------------------------------------------- 101
Penyajian Laporan Hasil Uji Pemantauan Emisi ......................................... 101
Bagian IV ----------------------------------------------------------------------------------------- 104
Tata Cara Pemantauan Udara Ambien .....................................................104
Bagian IVA ---------------------------------------------------------------------------------------- 104
Penentuan Titik Pantau Udara Ambien ....................................................104
Bagian IVB ---------------------------------------------------------------------------------------- 106
Penentuan Parameter Ukur untuk Pemantauan Udara Ambien Khusus............... 106
Bagian IVC---------------------------------------------------------------------------------------- 107
Pemantauan Udara Ambien Menggunakan Sistem Menerus (AQMS)...................107
Bagian IVD---------------------------------------------------------------------------------------- 108
Penyajian Laporan Hasil Uji Pemantauan Udara Ambien............................... 108
Bagian V ------------------------------------------------------------------------------------------ 109
Jenis-jenis Alat Pengendali Pencemaran Udara .........................................109
Teknologi Pengendalian Gas (BS EN 15259) ..............................................110
Teknologi Pengendalian Partikulat (BS EN 15259) ....................................... 117
Bagian VI ----------------------------------------------------------------------------------------- 126
Tata Cara Pemodelan Sebaran Emisi ......................................................126

Halaman 2 dari 126


Bagian I
Dasar-dasar Pemantauan Kualitas Udara

1. Definisi

Pemantauan Kualitas Udara adalah serangkaian kegiatan atau prosedur yang ditujukan
untuk mengambil sampel udara emisi dan ambien sesuai dengan suatu kaidah teknis ter-
tentu untuk mendapatkan data yang handal.

2. Rangkaian Kegiatan

i. Observasi pendahuluan
ii. Kaji ulang permintaan

iii. Penetapan standar prosedur pelaksanaan pemantauan kualitas udara

iv. Penetapan standar QA/QC (Quality Assurance/Quality Control) pelaksanaan pe-


mantauan kualitas udara

v. Pelaksanaan pemantauan kualitas udara


vi. Pelaporan hasil uji pemantauan kualitas udara

3. Observasi Pendahuluan
Mekanisme observasi pendahuluan meliputi:
a) Perencanaan
Dalam merencanakan observasi pendahuluan, terdapat beberapa informasi yang harus
diperoleh sebagai berikut.

1. Perjanjian dengan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat;


2. Perizinan untuk memasuki wilayah usaha dan/atau kegiatan;
3. Jenis dan proses industri;
4. Lokasi pengambilan contoh uji;
5. Jumlah dan keahlian petugas pemantauan kualtas udara
6. Jadwal kerja.
7. Standar pelaksanaan pengambilan sampel di lokasi
8. Standar QA/QC

b) Evaluasi Pendahuluan
Ketika melaksanakan observasi pendahuluan, diperlukan evaluasi yang meliputi beber-
apa poin sebagai berikut.

1. Parameter pengukuran kualitas udara, untuk menyiapkan peralatan pengambilan


contoh uji yang sesuai;
2. Kondisi lubang pengambilan contoh uji, untuk menyesuaikan dengan diameter per-
alatan pengambilan contoh uji;
3. Kondisi landasan kerja (platform) untuk memastikan keamanan dan efisiensi dalam
melakukan pekerjaan;

Halaman 3 dari 126


4. Kondisi sumber listrik, untuk dapat megoperasikan peralatan pengambilan contoh
uji;
5. Ketersediaan alat bantu dan transportasi yang diperlukan untuk memudahkan pros-
es pengambilan sampel
6. Ketersediaan sumber daya manusia yang melakukan supervisi serta pelaksana
pengambilan sampel yang dianggap perlu.

4. Kaji Ulang Permintaan

Kaji ulang permintaan merupakan suatu prosedur yang dilakukan oleh pelaku usaha un-
tuk melakukan permintaan kepada pihak pengambil sampel kualitas udara. Dimana pada
tahap ini pihak pelaku usaha sudah melakukan penetapan terhadap jumlah dan jenis
titik baik emisi maupun ambien berikut dengan prosedur pekasanaan, QA/QC serta in-
formasi tentang fasilitas pendukungnya. Pihak pengambil sampel kualitas udara dapat
memberikan pertimbangan tentang kesediaan dihubungkan dengan prosedur yang telah
ditetapkan di masing-masing laboratorium untuk setiap komponen yang akan diukur.
Bentuk kesepakatan ini dituangkan dalam suatu kontrak atau nota kesepahaman yang
bersifat mengikat.

5. Penetapan Standar Prosedur Pelaksanaan Pemantauan Kualitas Udara

Pihak pelaku usaha wajib untuk menetapkan Prosedur Pelaksanaan Pemantauan Kualitas
Udara yang berlaku secara lokal sebagai acuan bagi pihak pengambil sampel kualitas
udara. Ketentuan tentang Prosedur Prosedur Pelaksanaan Pemantauan Kualitas Udara
disesuaikan dengan kriteria teknis yang berlaku spesifik sesuai jenis sumber emisi dan
titik ambien, standar pengukuran parameter yang dipantau serta kriteria penaatan yang
diacu.

6. Penetapan Standar QA/QC Pelaksanaan Pemantauan Kualitas Udara

Pihak pelaku usaha wajib untuk menetapkan Standar QA/QC Pelaksanaan Pemantauan
Kualitas Udara yang berlaku secara local sebagai acuan bagi pihak pengambil sampel
kualitas udara. Ketentuan tentang tata cara penerapan QA/QC tersebut disesuaikan
dengan kriteria teknis yang berlaku spesifik ataupun umum sesuai jenis sumber emisi
dan titik ambien, standar pengukuran parameter yang dipantau serta kriteria kepatuhan
yang diacu.

7. Pelaksanaan Pemantauan Kualitas Udara

Pelaksanaan Pemantauan Kualitas Udara dilakukan sesuai dengan hasil kaji ulang per-
mintaan, standar prosedur dan implementasi QA/QC yang telah disepakati.

Frekuensi pengambilan contoh uji yang ideal dapat diklasifikasikan berdasarkan tipe
proses usaha dan/atau kegiatan sebagai berikut.

1) Tipe proses kontinu


Industri dengan proses produksi kontinu ditandai dengan penggunaan dan jenis ba-
han baku dan bahan bakar, serta mode pengoperasian yang relatif konstan pada pe-
riode waktu yang lama. Oleh karena itu, karakteristik emisi dari proses dengan kon-

Halaman 4 dari 126


disi tersebut dianggap tidak berubah terhadap waktu. Dengan demikian, pengukuran
emisi dapat dilakukan kapan saja. Beberapa contoh pelaku usaha dan/atau kegiatan
dengan tipe proses kontinu antara lain:

▪ industri pembakaran;
▪ industri pengeringan;
▪ industri pengecatan;
▪ tanur putar (rotary kiln); dan
▪ penghancuran dan pemisahan (crushing and classification).
2) Tipe proses kontinu dengan variasi dari waktu ke waktu
Pelaku usaha dan/atau kegiatan dengan tipe proses kontinu dengan variasi dari wak-
tu ke waktu ditandai dengan jenis bahan baku yang konstan, namun prosesnya
bergantung terhadap waktu sehingga mempengaruhi karakteristik emisinya. Dengan
demikian, pemilihan waktu pengukuran harus memperhitungkan perubahan terse-
but. Beberapa contoh pelaku usaha dan/atau kegiatan yang memiliki tipe proses
kontinu dengan variasi dari waktu ke waktu antara lain:

▪ proses pembakaran pada industri pembuatan batu bata;


▪ proses manufaktur kaca yang menggunakan tungku pembakaran.
3) Tipe proses batch
Pelaku usaha dan/atau kegiatan dengan tipe proses batch terutama dintandai den-
gan karakteristik emisi yang terkendali, atau dapat dikendalikan, dengan men-
jalankan proses produksi sebagai fungsi dari bahan baku dan/atau waktu. Dengan
demikian, pemilihan waktu pengukuran emisi harus mempertimbangkan kondisi
tersebut, terutama untuk kasus emisi singkat. Oleh karena itu, harus dilakukan pe-
meriksaan apakah beberapa peristiwa emisi singkat yang serupa dapat memu-
ngkinkan untuk diukur secara seri, untuk keperluan evaluasi kondisi operasional.
Beberapa contoh pelaku usaha dan/atau kegiatan yang memiliki tipe proses batch
antara lain:

▪ proses batch pada industri kimia;


▪ industri peleburan logam non-besi;
▪ produksi baja
▪ tungku periuk pada produksi kaca.

8. Pelaporan Hasil Uji Pemantauan Kualitas Udara

Pihak pelaku usaha wajib melakukan pelaporan pemantauan kualitas udara sesuai den-
gan peraturan yang ditetapkan secara terpisah dari panduan ini. Bila belum ada keten-
tuan yang mengatur secara khusus maka setiap pelaku usaha dan/atau kegiatan wajib
melakukan pelaporan rutin menggunakan peralatan manual setiap 6 bulan sekali setiap
periodenya. Periode I adalah bulan Januari sampai dengan Juni, sedangkan bulan Juli
hingga Desember adalah Periode II. Selain itu, untuk pelaku usaha dan/atau kegiatan
yang diharuskan memiliki peralatan pemantauan secara terus-menerus (CEM), maka
hasil pemantauan CEM perlu dilaporkan setiap 3 bulan sekali setiap periode, meliputi:
1) Periode I adalah Januari - Maret
2) Periode II adalah April - Juni
3) Periode III adalah Juli - September
4) Periode IV adalah Oktober - Desember

Halaman 5 dari 126


Bagian II
Jenis Industri dan Penetapan Parameter Pengukuran

1. Penerapan

Setiap jenis industri memiliki karakteristik dan konfigurasi sistem pengendalian udara
yang berbeda sehingga memiliki potensi parameter pantau tertentu. Perbedaan karak-
teristik termasuk diantaranya penggunaan bahan dan material proses, sistem pem-
bangkitan energi, pengaturan level termal dan aspek lainnya. Sehingga perlu ditetapkan
lebih lanjut tentang standar (baku mutu) spesifik yang relevan dengan karakteristik je-
nis industri sebagai acuan penaatan dan penetapan parameter pengukuran.

2. Jenis/Klasifikasi Industri

Standar klasifikasi mengikuti pedoman yang digunakan oleh Biro Pusat Statistik.

3. Baku Mutu Udara Spesifik


Baku mutu udara spesifik ditetapkan dengan peraturan terpisah setingkat peraturan
menteri yang mencakup baku mutu emisi spesifik dan baku mutu udara ambien. Pada
industri yang belum memiliki baku mutu emisi spesifik diatur menggunakan keputusan/
peraturan menteri yang masih berlaku untuk kategori lain-lain.

Studi penetapan parameter dominan dan kritis dapat dilakukan untuk pengurangan atau
penambahan parameter emisi sumber tidak bergerak yang belum mengatur secara spe-
sifik baku mutu emisinya. Penentuan parameter dominan dan kritis ini dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan hal - hal berikut:
a. Data pemantauan emisi yang telah dilakukan selama 5 (lima) tahun yang pe-
mantauannya dilakukan secara periodik untuk parameter seperti tertera pada
Kepmen LH No. 13 tahun 1995 atau sudah melakukan pengukuran di luar jadwal
sebanyak 10 kali;
b. Data MSDS (Material Safety Data Sheet) terkait dengan komposisi kandung ba-
han, identifikasi bahaya bahan, dan spesifikasi bahan terkait dengan komposisi
fisika dan kimia yang terkait dengan proses produksi;
c. Bahan bakar dan baku yang digunakan;
d. Proses produksi yang diterapkan sesuai kualitas produk yang diharapkan;
e. Identifikasi senyawa yang dihasilkan, baik sebagai product maupun by product;
f. Jenis dan Kapasitas Alat pengendali emisi yang digunakan serta utilitas yang
digunakan;
g. Identifikasi kelengkapan lubang pengambilan sample beserta sarana/
prasarananya;
h. Kesesuaian syarat dan prosedur pengambilan data emisi

4. Penetapan Parameter Pengukuran dan Sumber Emisi Wajib Ukur

Pemerintah menetapkan secara bertahap baku mutu udara yang sesuai dengan karak-
teristik industri berikut dengan tipe-tipe pembuangan dan parameter yang diukur.
Dalam tahap harmonisasi, maka kontribusi dari industri melalui asosiasi masing-masing
untuk mengajukan naskah akademis yang relevan sangat dibutuhkan di kemudian hari.
Sedangkan untuk baku mutu udara ambien akan dilakukan kajian secara berkala oleh
pemerintah berdasarkan perkembangan dan kemajuan teknologi adaptasi serta miti-
gasi untuk pengendalian pencemaran udara.

Halaman 6 dari 126


5. Listing dan Delisting Parameter

Proses pengembangan terhadap sumber-sumber yang belum ditetapkan secara spesifik,


maka diperlukan upaya agar terdapat keseimbangan dan asas keadilan bagi kelompok sum-
ber emisi yang belum memilikinya selain menggunakan ketentuan Sumber lain-lain. Untuk
itu pada ketentuan ini, diberikan klausul untuk melakukan listing/delisting parameter wajib
ukur yang diberlakukan bagi sumber emisi yang belum secara spesifik diatur. Adapun keten-
tuan umumnya sebagai berikut:

1. Kategori Delisting (Mengurangi list parameter ukur di Kepmen LH No.13 tahun 1995):
a. Rata - rata hasil pemantauan emisi yang dihasilkan < 75% dari baku mutu
emisi.
b. Evaluasi MSDS atau mass balance material/sub-product/byproduct terkait
dengan bahan kimia utama dalam proses yang digunakan, tidak memiliki
potensi emisi sesuai parameter terkait.
c. Adanya perubahan proses yang secara signifikan mengubah filosofi keselu-
ruhan aktivitas usaha/kegiatan.
2. Kategori Listing (Menambah list parameter ukur di Kepmen LH No.13 tahun 1995):
a. Adanya perubahan material secara periodik maupun jangka panjang dalam
proses usha/kegiatan
b. Adanya perubahan proses yang secara signifikan mengubah filosofi keselu-
ruhan aktivitas usaha/kegiatan.
c. Adanya rekomendasi dari hasil evaluasi alat pengendali pencemaran udara
terkait parameter ukur yang masih penetrasi ke cerobong.

Halaman 7 dari 126


Bagian III
Tata Cara Pemantauan Udara Emisi untuk Sumber Tidak Bergerak

1. Pendahuluan

Tata Cara Pemantauan udara emisi untuk sumber tidak bergerak mengikuti suatu prose-
dur yang secara normatif ditetapkan oleh Pemerintah melalui Standar Nasional Indone-
sia (SNI). Adapun SNI yang diperlukan meliputi Pemilihan/Penentuan Titik Sampling,
Pemilihan/Penentuan Parameter Pengujian, Tata cara Pengambilan Sampling dan Tata
Pelaporan Hasil Uji.

2. Maksud dan Tujuan Pemantauan Udara Emisi

a. Untuk memenuhi peraturan baku mutu emisi.


b. Untuk menentukan laju emisi (emission rate - banyaknya emisi yang
dikeluarkan persatuan waktu).
c. Untuk evaluasi program pengendalian dan peralatan pengendalian pencemar
yang telah diterapkan.
d. Data hasil pengukuran emisi diperlukan untuk evaluasi biaya yang hilang aki-
bat kehilangan material atau produk melalui emisi
3. Lingkup Penerapan Pemantauan
Pengaturan hanya diterapkan pada sumber tidak bergerak, dimana ketentuan pengam-
bilan samplingnya sudah diputuskan ada dalam dokumen AMDAL/RKL-RPL atau dalam
rangka mendapatkan/memperpanjang Izin Lingkungan. Berdasarkan kriteria yang sudah
ditetapkan oleh Pemerintah dan standar metode pengambilan sampling udara sumber
tidak bergerak, maka penaatan sumber emisi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Sumber Emisi yang sudah dioperasikan namun belum direncanakan posisi titik
pengambilan samplingnya

i. Untuk ukuran diameter (aktual dan atau efektif) < = 10 inch


ii. Untuk ukuran diameter (aktual dan atau efektif) > 10 inch
b. Sumber Emisi yang sudah direncanakan memiliki posisi titik pengambilan sampling
namun belum dioperasikan

i. Untuk ukuran diameter (aktual dan atau efektif) < = 10 inch


ii. Untuk ukuran diameter (aktual dan atau efektif) > 10 inch
Standar waktu pengoperasian sumber emisi tidak bergerak didasarkan pada standar
normal yang berlaku di industri terkait. Sedangkan ketentuan tentang klasifikasi di atas
diatur lebih lanjut dalam pembahasan di bagian berikut ini.

Halaman 8 dari 126


Bagian IIIA
Penentuan Titik Pantau Emisi untuk Sumber Tidak Bergerak

1. Pendahuluan

Pemilihan lokasi sampling yang tepat sangat penting untuk memastikan pengukuran
emisi polutan yang representatif dan laju alir volumetrik yang akurat dari sumber sta-
sioner diperoleh. Keselamatan dan aksesibilitas merupakan pertimbangan penting
pemilihan lokasi. Ketepatan posisi peralatan sampling, akses terhadap tenaga listrik,
paparan personil terhadap cuaca, temperatur kerja, dan keberadaan gas berbahaya
juga harus dipertimbangkan dalam pembangunan fasilitas pengambilan sampel emisi di
cerobong.

2. Persyaratan Umum Cerobong


Cerobong udara harus dibuat dengan mempertimbangkan aspek pengendalian pence-
maran udara yang didasarkan pada lokasi dan tinggi cerobong. Pertimbangan kondisi me-
teorologis dan tata guna lahan merupakan salah satu pertimbangan untuk mendapatkan
lokasi dan tinggi cerobong yang tepat, dimana dengan perhitungan modelling pence-
maran udara akan dapat ditentukan dispersi udara dari cerobong terhadap kondisi
udara sekitarnya. Dari dispersi udara dapat ditentukan konsentrasi udara di atas per-
mukaan tanah yang sesuai dengan standar kualitas udara ambien. Rancang bangun atau
desain cerobong disesuaikan kondisi pabrik dengan pertimbangan emisi yang akan dikelu-
arkan tidak melebihi baku mutu emisi udara diatas permukaan tanah yang sesuai den-
gan standar kualitas udara ambien.

Beberapa persyaratan perencanaan cerobong secara umum dapat diuraikan sebagai


berikut:
1. Tinggi cerobong sebaiknya 2 – 2,5 kali tinggi bangunan sekitarnya sehingga lingkun-
gan sekitarnya tidak terkena turbulensi.
2. Kecepatan aliran gas dari cerobong sebaiknya lebih besar dari 20 m/detik sehing-
ga gas-gas yang keluar dari cerobong akan terhindar dari turbulensi.
3. Gas-gas dari cerobong dengan diameter lebih kecil dari 5 feet dan tinggi kurang
dari 200 feet akan mengakibatkan konsentrasi di bagian bawah akan menjadi
tinggi.
4. Konsentrasi maksimum bagian permukaan tanah dari cerobong gas-gas (agar ter-
jadi difusi) biasanya terjadi pada jarak 5 - 10 kali tinggi cerobong downwind.
5. Konsentrasi maksimum zat pencemar berkisar antara 0,001 - 1 % dari konsen-
trasi zat pencemar dalam cerobong.
6. Konsentrasi di permukaan dapat dikurangi dengan menggunakan cerobong yang
tinggi. Variasi konsentrasi pencemar pada permukaan akan berbanding terbalik
dengan kwadrat tinggi cerobong efektif.
7. Warna cerobong harus mencolok sehingga mudah terlihat.
8. Cerobong dilengkapi dengan pelat penahan angin yang melingkari cerobong secara
memanjang ke arah ujung atas.

Halaman 9 dari 126


9. Puncak cerobong sebaiknya terbuka, jika pihak industri menganggap perlu untuk
memberi penutup (biasanya cerobong kecil/rendah) maka penutup berbentuk
segitiga terbalik (terbuka keatas).
10. Setiap cerobong diberi nomor dan dicantumkan dalam denah industri.

Apabila cerobong tidak sesuai dengan ketentuan di atas, maka perlu dilakukan modifikasi
perlakuan gas buang. Hal tersebut dilakukan dengan mengubah kecepatan serta temper-
atur gas, sehingga akan diperoleh tinggi cerobong efektif yang lebih tinggi.

3. Ketentuan Umum Persyaratan Fasilitas Titik Sampling

Ketentuan ini berlaku wajib untuk cerobong yang belum beroperasi. Bagi cerobong yang
sudah beroperasi maka perubahan dilakukan secara bertahap melalui dokumen iziTitik
Pantau Cerobong ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:

a. Aliran : Lokasi sampel yang ideal akan memiliki karakteristik aliran


sedemikian rupa sehingga gas mengalir dalam pola linier sejajar dengan
sumbu cerobong atau duct, memiliki profil kecepatan yang seragam dan
tidak mengalir dalam pola siklon atau berputar. Ketentuan tentang penen-
tuan posisi ini diatur secara umum dengan SNI atau berbasis hasil studi
yang komprehensif yang disetujui.

b. Posisi Titik Sampling: Dalam kondisi ideal, titik sampling terletak pada 8
kali Diameter Dalam (8D) dari gangguan terakhir Hulu dan 2D dari gang-
guan terakhir Hilir aliran. Yang dimaksud dengan gangguan adalah berupa
belokan, cabang, kontraksi maupun ekspansi saluran/duct. Penentuan
titik sampling selain ketentuan ideal ini dapat dihasilkan dari ketentuan
umum pada bagian berikut atau dari studi komprehensif yang disetujui

c. Diameter cerobong/duct: Diameter yang dimaksud adalah diameter


dalam. Dalam hal penampangnya selain lingkaran atau memiliki ukuran
penampang yang berbeda antara bagian Hulu dan Hilir Cerobong atau
Ducting, maka dapat dihitung sebagai diameter efektif.

d. Ukuran Lubang Sampling: Lubang sampling memiliki ukuran minimum


sebesar 3,5 inch (10-11 cm) - penampang lingkaran - yang didasarkan
pada ukuran probe alat sampling pengukuran total partikulat. Pada pen-
gukuran PM10 dan PM2,5 diperlukan ukuran lubang sampling 6 inch (18-19
cm) - penampang lingkaran. Ketentuan mengenai ukuran lubang sampling
pada dimensi cerobong < 10 cm akan diatur berdasarkan penetapan krite-
ria parameter yang wajib ukur, khususnya Total Partikulat.
e. Jumlah Lubang Sampling: Lubang sampling dipasang minimal satu untuk
penampang lingkaran dengan diameter hingga 60 cm, dua untuk diameter
60 - 100 cm, dan empat untuk diameter lebih dari 100 cm. Pada penam-
pang persegi panjang mengikuti ketentuan khusus pada bagian berikut.

f. Traverse Point: Traverse Point merupakan pendekatan penetapan jumlah


titik sampling untuk menentukan representasi laju alir udara/gas di dalam
cerobong/duct. Dalam sampling emisi, hasil penetapan laju alir menggu-
nakan Traverse point digunakan sebagai dasar untuk dalam mengukur iso-
kineticity, yaitu kesamaan profil aliran antara di dalam cerobong/stack
dengan probe alat sampling. Selain itu traverse point juga digunakan un-

Halaman 10 dari 126


tuk melakukan meningkatkan akurasi pengukuran pada kondisi posisi titik
sampling yang tidak ideal. Ketentuan mengenai skema traverse point da-
pat dilihat pada bagian berikut.

g. Material Lubang Sampling: Lubang sampling dipasang menggunakan ek-


stensi yang dilengkapi dengan Flange. Lubang sampling ini juga dipasang
Railing System untuk menempatkan alat ukur seperti tertera pada skema
di bagian berikut.

h. Kelengkapan Fasilitas Titik Sampling: Titik sampling harus memiliki fasili-


tas berupa akses petugas sampling dan alatnya, listrik, dan platform yang
dilengkapi dinding pengaman untuk kapasitas hingga beban 500 kg. Keten-
tuan mengenai fasilitas ini dapat berupa instalasi permanen yang menyatu
dengan struktur cerobong atau terpisah sesuai dengan hasil studi terkait
standar keamanan kerja yang disetujui.

4. Skema Dasar Penentuan Titik Cerobong (Kondisi Tidak Ideal)

Skema berikut merupakan panduan umum pendekatan yang dapat dilakukan untuk
menetapkan titik sampling pada kondisi tidak ideal, dimana tidak memungkinkan
memenuhi persyaratan 8D dari arah Hulu dan 2D dari arah hilir.

Gambar 1 Panduan penentuan titik sampling pada kondisi tidak ideal

Halaman 11 dari 126


5. Perhitungan Diameter Cerobong

Apabila cerobong memiliki penampang berupa persegi panjang, maka besaran diame-
ter dapat ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut.

2LW
De =
(L + W )
dimana:
De = diameter ekuivalen (m);
L = panjang penampang cerobong (m);
W = lebar penampang cerobong (m).

Selain itu, apabila cerobong berpenampang lingkaran memiliki diameter dalam cer-
obong bagian atas (hilir) lebih kecil dari diameter dalam bagian bawah (hulu), maka
besaran diameter perlu ditentukan melalui perhitungan sebagai berikut.

2d D
De =
(D + d )
dimana:
De = diameter ekuivalen (m);
D = diameter dalam cerobong bagian bawah/hulu (m);
d = diameter dalam cerobong bagian atas/hilir (m).

6. Traverse Point

Untuk menentukan jumlah titik-titik lintas, maka dapat menggunakan ketentuan seba-
gai berikut:
1) Untuk cerobong yang memiliki lokasi pengambilan contoh uji yang ideal
(memenuhi kriteria 8D dan 2D), maka jumlah minimum titik-titik lintas adalah se-
bagai berikut.
a. 2 – 4 buah untuk cerobong berpenampang lingkaran maupun persegi panjang
dengan diameter atau diameter ekuivalen kurang dari 0,3 meter;
b. 8 buah untuk cerobong berpenampang lingkaran dengan diameter 0,30 – 0,61
meter;
c. 9 buah untuk cerobong berpenampang persegi panjang dengan diameter eki-
valen 0,30 – 0,61 meter;
d. 12 buah untuk cerobong berpenampang lingkaran maupun persegi panjang
dengan diameter atau diameter ekuivalen lebih dari 0,61 meter.
2) Untuk cerobong dengan lokasi pengambilan contoh uji alternatif pada jarak kurang
dari 8 kali diameter cerobong dari sumber emisi (hulu) dan/atau kurang dari 2 kali
diameter cerobong dari bagian atas (hilir), maka jumlah minimum titik-titik lintas
adalah sebagai berikut.
a. 2 – 4 buah untuk cerobong berpenampang lingkaran maupun persegi panjang
dengan diameter atau diameter ekivalen kurang dari 0,3 meter;

Halaman 12 dari 126


b. 10 buah untuk cerobong berpenampang lingkaran dengan diameter 0,30 –
0,61 meter, jumlahnya dapat lebih banyak unto cerobong berpenampang
persegi panjang atau untuk keperluan pengukuran partikulat;
c. 16 buah untuk cerobong berpenampang lingkaran dengan diameter lebih dari
0,61 meter, jumlahnya dapat lebih banyak untuk cerobong berpenampang
persegi panjang atau untuk keperluan pengukuran partikulat.

Gambar 2 Diagram penentuan jumlah minimum titik lintas untuk pengukuran partikulat

Gambar 3 Diagram penentuan jumlah minimum untuk pengukuran non-partikulat

Halaman 13 dari 126


Adapun ketentuan lain untuk titik-titik lintas pada cerobong dapat dilihat pada Gambar 4,
Tabel 1, Gambar 5, dan Tabel 2.

Gambar 4 Contoh letak titik-titik lintas pada cerobong berpenampang lingkaran dengan 12 buah titik lintas

Tabel 1 Ketentuan titik-titik lintas pada cerobong yang memiliki penampang berbentuk lingkaran

Halaman 14 dari 126


Gambar 5 Contoh letak titik-titik lintas pada cerobong berpenampang persegi panjang dengan 12 buah titik-
titik lintas

Tabel 2 Ketentuan titik-titik lintas pada cerobong yang memiliki penampang berbentuk persegi panjang

Halaman 15 dari 126


7. Skema Dasar Kelengkapan Titik Sampling di Cerobong

Gambar 6 Tipikal fasilitas pengambilan contoh uji pada cerobong


(Source: Minetoba Department of Environment, 1998)

8. Isokineticity

Isokineticity merupakan suatu kriteria yang digunakan untuk menentukan kesamaan


profil aliran antara di dalam cerobong/duct dengan probe alat sampling. Berdasarkan
beberapa standar, keberterimaan isokineticity antara 0,9 - 1,1 (artinya ada pada
rentang simpangan 10% dari laju aliran udara/gas di cerobong). Tata cara penentuan
isokineticity ditetapkan menggunakan SNI atau standar metode lain yang disetujui un-
tuk digunakan.

9. Daftar Referensi Metode untuk Penetapan Titik Sampling selain SNI

9.1.Method 1 US EPA : Traverse Point

9.2.Method 1A US EPA : Small Duct

9.3.Method 2 US EPA : Velocity

Halaman 16 dari 126


Bagian IIIB
Metode-Metode Uji Sampling Emisi

2. Metoda penentuan kecepatan aliran gas dalam emisi sumber tidak


bergerak

Acuan Normatif
US EPA Method 2 – Determination of Stack Gas Velocity and Volumetric Flow Rate
(Type S Pitot Tube)

Ruang Lingkup
1) Pengukuran tekanan dinamik dari aliran emisi gas buang sumber tidak berg-
erak
2) Pengukuran tekanan statis dari aliran emisi gas buang sumber tidak bergerak
3) Penentuan berat per satuan volume emisi gas buang sumber tidak bergerak
4) Penentuan kecepatan alir emisi gas buang sumber tidak bergerak
5) Pelaporan

Pengukuran Tekanan Dinamik


Pengukuran tekanan dinamik dari aliran emisi gas buang sumber tidak bergerak di-
lakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Merangkai peralatan inclined manometer seperti pada Gambar 3.2.1 untuk
pengukuran tekanan dinamik dan tekanan statik.
2) Melakukan uji kebocoran aliran gas terhadap sambungan pipa/selang dengan
cara meniup lubang pengukuran tekanan total (selang H) sehingga cairan
yang ada dalam inclined manometer bergeser, Setelah itu, tutup dengan ibu
jari dan dililhat apakah terjadi penurunan permukaan cairan pada inclined
manometer.

CATATAN Pastikan tidak terjadi penurunan cairan pada inclined manometer.

3) Menentukan tekanan dinamik pada kondisi atmosfer (pipa pitot berada di


luar cerobong) dengan membaca permukaan cairan dalam manometer seba-
gai ho (mm) pada skala etanol.
4) Memasukkan pipa pitot sesuai titik-titik lintas pengukuran yang telah diten-
tukan.
5) Mencatat tekanan dinamik dengan membaca permukaan cairan dalam in-
clined manometer sebagai h1, h2, ..., hn (mm).
6) Mencatat besaran skala perbesaran inclined manometer serta mengukur
temperatur cairan inclined manometer yang digunakan.
7) Menghitung tekanan dinamik aktual menggunakan rumus sebagai berikut,

hn − ho
hi = ×ρ
β
dimana:
hi = tekanan dinamik pada setiap titik lintas (mmH2O);
β = nilai pada skala inclined manometer;

Halaman 17 dari 126


ρ = berat jenis cairan dalam inclined manometer (lihat tabel tekanan
uap
jenuh, dan sesuaikan dengan temperatur inclined manometer
tercatat);
hn = tinggi cairan inclined manometer pada titik lintas n (mm);
ho = tinggi cairan inclined manometer pada titik nol (mm).

Gambar 3.2.1 Rangkaian alat ukur kecepatan alir dalam gas buang

Pengukuran Tekanan Statis


Untuk pengukuran tekanan statis dari aliran emisi gas buang sumber tidak bergerak
dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1) Melepaskan selang pada posisi total sehingga selang yang terpasang hanya
yang menghubungkan pipa pitot pada posisi statik.
2) Mencatat tekanan statis awal yaitu pada posisi tabung pitot berada di luar
cerobong sebagai hsn.
3) Memasukkan pipa pitot sesuai titik-titik lintas pengukuran yang telah diten-
tukan.
4) Mencatat tekanan statis pada setiap titik-titik lintas pengukuran dengan
membaca permukaan cairan pada manometer (hs1, hs2, ... ,hsn).
5) Menghitung tekanan statis pada setiap titik lintas menggunakan rumus seba-
gai berikut.
hsn − hso ρ
ΔPs = ×
β ρHg
dimana:
ΔPs = tekanan statis (mmHg);
β = nilai pada skala inclined manometer;

Halaman 18 dari 126


ρ = berat jenis cairan dalam inclined manometer (lihat tabel tekanan
uap
jenuh, dan sesuaikan dengan temperatur inclined manometer ter-
catat);
ρHg = berat jenis Hg = 13,6 g/cm3;
hsn = tinggi cairan tekanan statis pada setiap titik pengukuran (mm);
hso = tinggi cairan tekanan statis awal (mm).

Penentuan Berat per Satuan Volume


Berat per satuan volume gas buang merupakan parameter yang ditentukan oleh
komposisi gas buang atau berat jenis gas buang dengan perhitungan sebagai
berikut.

(M1X1 + M2 X2 + Mn Xn)(1 −
24,45 × 100 [ 100 ) ]
1 Xw
γo = + 18Xw
298 Pa + Ps
γ = γo
273 + ts 760
dimana:
γ = berat per satuan volume gas buang dalam cerobong (kgf/m3);
γo = berat per satuan volume gas buang basah pada kondisi normal 25oC
dan 760
mmHg (kgf/m3);
Pa = tekanan atmosfer (mmHg);
Ps = nilai rata-rata tekanan statis gas buang pada setiap titik lintas
(mmHg);
(ΔPs1 + ΔPs2 + … + ΔPsn)
=
n
ts = temperatur rata-rata gas buang (oC);
M 1, M 2, M n = berat molekul masing-masing komponen gas buang (kg/kmol);
X1, X2, Xn = konsentrasi masing-masing komponen gas buang (%);
Xw = persen volume uap air dalam gas buang (%).

CATATAN 1 Apabila bahan bakar yang digunakan berupa padatan atau cairan dan
dibakar dengan udara, maka nilai γo mendekati 1,3.

CATATAN 2 Nilai Xw diperoleh dari cara uji kadar uap air dalam emisi gas buang
sumber tidak bergerak secara gravimetri.

CATATAN 3 Nilai M1, M2, Mn diperoleh dari cara uji konsentrasi CO, CO2, dan O2
dalam emisi gas buang sumber tidak bergerak dengan peralatan otomatik.

Penentuan Kecepatan Alir


Kecepatan aliran gas dalam cerobong ditentukan dari hasil pengukuran tekanan di-
namik, tekanan static, komposisi gas buang, dan berat per satuan volume gas buang
dengan perhitungan sebagai berikut.

Halaman 19 dari 126


2ghi
vi = c
γ
dimana:
vi = kecepatan aliran gas buang pada setiap titik lintas (m/det);
c = koefisien tabung pitot;
hi = tekanan dinamik pada setiap titik lintas (mmH2O);
γ = berat per satuan volume gas buang dalam cerobong (kg/m3);
g = percepatan gravitasi = 9,81 m/detik2.

Pelaporan (Lihat pada bagian Sebelumnya)


Untuk pelaporan penentuan kecepatan alir, setidaknya perlu dicantumkan informasi
sebagai berikut.
1) Parameter yang diukur;
2) Nama petugas;
3) Tanggal dan waktu pengukuran;
4) Nomor laboratorium;
5) Nomor contoh uji;
6) Lokasi pengambilan contoh uji;
7) Data kegiatan proses;
8) Nama pengawas/ahli dan penanggung jawab pekerjaan;
9) Hasil pengukuran contoh uji.

Halaman 20 dari 126


3. Metoda penentuan kandungan uap air gas buang dalam cerobong
dari emisi sumber tidak bergerak

Acuan Normatif
US EPA Method 3 – Gas Analysis for the Determination of Dry Molecular Weight

Ruang Lingkup
Metoda ini meliputi penentuan komposisi gas karbon monoksida (CO), karbon diok-
sida (CO2), dan oksigen (O2) dari emisi gas buang sumber tidak bergerak menggu-
nakan peralatan analisis otomatis portabel.

Penentuan komposisi gas buang


Penentuan komposisi CO, CO2, dan O2 dari emisi gas buang dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut.
1) Memasukkan pipa pengambil contoh uji gas ke dalam lubang pengambilan
contoh uji seperti pada Gambar 3.3.1.
2) Memanaskan pipa pengambil contoh uji hingga temperatur 120oC.
3) Memasang bola hisap yang telah dirangkai dengan kantong pengambil contoh
uji lainnya.
4) Melakukan pencucian bagian dalam kantong sebanyak 2 kali, dengan cara
mengisi kantong pengambil contoh uji sampai kantong terisi penuh,
kemudian isinya dikeluarkan. Pengisian kantong pengambil contoh uji
dilakukan dengan cara memompa bola hisap.
5) Mengisi kantong pengambil contoh uji sampai kantong terisi penuh, lalu
kantong ditutup.
6) Menyalakan alat ukur komposisi gas otomatis sampai pembacaan stabil
7) Setelah stabil, hubungkan alat dengan kantong pengambil contoh uji seperti
pada Gambar 3.3.2, lalu gas dialirkan ke dalam alat ukur.
8) Mencatat nilai konsentrasi CO (ppm), CO2 (%), dan O2 (%) yang terbaca.

Gambar 3.3.2 Susunan alat pengambil contoh uji komposisi gas buang

Halaman 21 dari 126


Gambar 3.3.3 Susunan alat pengukuran komposisi gas buang

Halaman 22 dari 126


4. Metoda penentuan kandungan uap air gas buang dalam cerobong
dari emisi sumber tidak bergerak

Acuan Normatif
US EPA Method 4 – Determination of Moisture Content in Stack Gases

Ruang Lingkup
1) Penentuan kadar air dalam gas buang secara gravimetri
2) Penentuan kadar air dalam gas buang menggunakan Wet Gas Meter dan Dry
Gas Meter

Penentuan Kadar Air Secara Gravimetri


1) Mengisi botol penjerap uap air dengan butiran CaCl2 sampai hampir penuh,
kemudian sumbat bagian atas dengan glasswool.
2) Menimbang bobot awal, W1 (g).

CATATAN 1 Gunakan sarung tangan karet dan pinset pada saat menggunakan
glasswool.
CATATAN 2 Apabila menggunakan penjerap yang pernah dipakai saat
pengambilan contoh uji sebelumnya, botol penjerap harus di-
panaskan terlebih dahulu dalam oven pada temperatur 105oC
sampai uap air kering, kemudian didinginkan pada temperatur
ruangan.

3) Menyusun rangkaian alat ukur kadar uap air seperti pada Gambar 3.4.1.
4) Menentukan titik pengukuran sesuai dengan posisi pipa pengambilan contoh
uji.
5) Memasukkan pipa pengambil contoh uap air pada titik pengukuran.
6) Mencatat volume awal yang terbaca pada alat gas meter, V1 (liter).
7) Menghidupkan pompa penghisap, kemudian mengatur kecepatan alir antara 1
– 2 liter per menit (lpm).
8) Mencatat tekanan pada gas meter (mmHg).
9) Mematikan pompa penghisap setelah pengambilan contoh uji sebanyak
kurang lebih 10 liter.
10)Mencatat kembali volume akhir pada gas meter, V2 (liter).
11)Mencatat temperatur pada gas meter, tm (oC).
12)Menimbang bobot akhir botol penjerap uap air, W2 (g).

CATATAN Penimbangan berat akhir botol dilakukan setelah botol mencapai


temperatur awal. Aliran gas buang dengan temperatur tinggi
akan meningkatkan temperatur penjerap CaCl2.

13)Menghitung kadar uap air dalam emisi gas buang sumber tidak bergerak
menggunakan rumus sebagai berikut.
24,45
18
×m
Xw = Pa + Pm − Pv
× 100
298 24,45
Vm × 273 + tm
× 760
+ 18
×m

Halaman 23 dari 126


dimana:
Xw = kadar uap air dalam gas buang (%volume);
m = bobot uap air yang diserap (g);
= W2 – W1
Vm = volume gas yang diserap (liter);
= V2 –V1
tm = temperatur gas yang terbaca pada gas meter (oC);
Pa = tekanan atmosfer (mmHg);
Pm = tekanan yang terbaca pada gas meter (mmHg);
Pv = tekanan uap air jenuh pada temperature tm (mmHg); dapat diper-
oleh dari Tabel 3.4.1

CATATAN Kadar uap air ini dikoreksi pada kondisi normal (25oC, 760 mmHg)

Gambar 3.4.1 Rangkaian alat ukur kadar uap air

Halaman 24 dari 126


Tabel 3.4.1 Tekanan uap air jenuh

Selain secara gravimetri, penentuan kadar air dalam gas buang juga dapat menggu-
nakan Wet Gas Meter dan Dry Gas Meter.

Halaman 25 dari 126


5. Metoda pengujian kadar partikulat dalam emisi sumber tidak berg-
erak secara isokinetis

Acuan Normatif
US EPA Method 5 – Determination of Particulate Matter Emissions from Stationary
Sources

Catatan: Untuk pengukuran partikulat pada cerobong dengan diameter kecil (kurang
dari 0,30 meter dan lebih dari 0,10 meter) maka pengukuran kecepatan pada
pengambilan contoh uji partikulat harus menggunakan pitot standar, sebab penggu-
naan pitot S dapat menghalangi sebagian penampang cerobong yang dapat mengak-
ibatkan ketidakakuratan pengukuran.

Persiapan
1) Menentukan lokasi pengambilan contoh uji dan titik lintasnya sesuai den-
gan Lampiran III.1
2) Menentukan kecepatan linier gas buang sesuai dengan Lampiran III.2
3) Menentukan berat molekul gas buang sesuai dengan Lampiran III.3
4) Menentukan kadar air gas buang sesuai dengan Lampiran III.4
5) Melakukan pengecekan filter secara visual untuk memastikan tidak ada
cacat
6) Melakukan pemanasan filter pada temperatur sekitar 105 °C selama 2 – 3
jam, kemudian dimasukkan ke dalam desikator selama ± 2 jam. Selanjut-
nya filter ditimbang dengan timbangan analitik dan dicatat berat awalnya
7) Menentukan faktor kalibrasi orifice (ΔH@) sesuai dengan hasil kalibrasi
(lihat lampiran A SNI 19-7117.17:2009)
8) Menentukan ukuran nozzle berdasarkan kisaran kecepatan linier gas
buang menggunakan persamaan berikut:
K5Qm Pm Ts Ms
Dn(estimation) =
TmCp(1 − Bws) Ps ∆ pavg
dimana:
Dn(estimation) = perkiraan diameter nozzle
K5 = nilai ketetapan untuk metrik = 0,6071;
Qm = laju aliran massa dalam cerobong (m3/m);
Pm = tekanan absolut (tekanan barometer pada dry gas meter)
(mmHg);
Tm = temperatur pada dry gas meter (K);
Cp = koefisien pitot atau faktor koreksi pitot tube;
Bws = kadar uap air (volume) dalam aliran gas;
Ts = temperatur gas buang (K);
Ms = berat molekul gas pada cerobong dalam kondisi basah (gr/gr-
mol)
Ps = tekanan absolut pada cerobong (mmHg);
Δpavg = nilai rata-rata dari tekanan pitot tube (mmH2O);

Halaman 26 dari 126


9) Memilih panjang batang probe yang sesuai dengan jarak terjauh titik lin-
tas dan kemudian diberi tanda sesuai dengan titik lintas
10)Menentukan lamanya waktu pengambilan contoh uji dengan mempertim-
bangkan kondisi gas buang secara visual
11)Menyiapkan rangkaian penjerap sebagai berikut:
a. memasukkan masing-masing 100 mL air suling ke dalam botol pen-
jerap 1 dan 2, kemudian menimbang dan mencatat berat awalnya;
b. membiarkan botol penjerap ke tiga kosong; 


c. memasukkan 200 – 300 g silika gel ke dalam botol penjerap ke em-


pat;
d. menimbang masing-masing botol penjerap dan mencatat berat
awalnya; 


e. memasangkan filter yang telah ditimbang pada filter holder dan


memastikan bahwa posisi filter tepat di tengah; 


f. merangkaikan nozzle dengan probe liner; 


g. merangkai peralatan seperti pada Gambar 3.5.1.

Pengambilan contoh uji partikulat


Pengambilan contoh uji partikulat dari emisi sumber tidak bergerak secara
isokinetis dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.
1) Merangkai peralatan pengambilan contoh uji partikulat seperti pada Gambar
3.5.1
2) Melakukan pengujian kebocoran di lapangan (lihat SNI 19-7117.17:2009)
3) Menyalakan pemanas filter dan probe pada temperatur 120 °C ± 14 °C
4) Menempatkan ujung nozzle di titik lintas pertama, dengan posisi masukan
berhadapan dengan aliran gas (lihat Gambar 3.5.1). Kemudian nyalakan
pompa dengan kecepatan hisap sesuai kecepatan isokinetiknya;

CATATAN 1 Selama pengambilan contoh uji, tutup lubang pengambilan contoh uji
(flange)

CATATAN 2 Selama pengambilan contoh uji, pertahankan temperatur udara pada


keluaran botol penjerap ke-4 di bawah 20 °C

5) Mempertahankan laju persentasi isokinetik pada 100 % ± 10 % dengan men-


gatur beda tekanan pada katup laju pompa hisap (dH) sesuai rasio K terhadap
beda tekanan tabung pitot (dp), dan pertahankan juga temperatur filter
pada 120°C ± 14°C selama pengambilan contoh uji
∆H 2M T P
K= = K6 Dn4 ∆ H@Cp2(1 − Bws) d m s
∆p MsTs Pm
dimana:
K = rasio isokinetik;
ΔH = perbedaan tekanan rata-rata dari orifice meter (mmH2O);

Halaman 27 dari 126


Δp = perbedaan tekanan rata-rata dari 2 pitot tube (mmH2O);
K6 = nilai ketetapan untuk metrik = 0,0000804;
Dn4 = diameter bagian dalam nozzle (mm);
ΔH@ = faktor kalibrasi orifice;
C p2 = koefisien pitot atau faktor koreksi pitot tube;
Bws = kadar uap air (volume) dalam aliran gas;
Md = berat molekul gas pada cerobong dalam kondisi kering (gr/gr-mol);
Tm = temperatur pada dry gas meter (K);
Ps = tekanan absolut pada cerobong (mmHg);
Ms = berat molekul gas pada cerobong dalam kondisi basah (gr/gr-mol);
Ts = temperatur gas buang (K);
Pm = tekanan absolut (tekanan barometer pada dry gas meter) (mmHg);

6) Mencatat semua data dalam tabel (lihat Lampiran B SNI 19-7117.17:2009)


7) Setelah pengambilan contoh uji di titik lintas pertama selesai, pindahkan
nozzle ke titik lintas ke dua hingga titik lintas terakhir dan lakukan seperti
langkah 5) dan 6);
8) Setelah pengambilan contoh uji selesai, pompa hisap dimatikan dan me-
mindahkan probe dan nozzle dari lubang pengambilan contoh uji;
9) Melakukan perhitungan isokinetik. Apabila nilainya tidak masuk ke dalam
batas isokinetis (100 % ± 10 %) pengambilan contoh uji harus diulangi.

CATATAN Jika pressure drop pada filter menjadi sangat tinggi (tekanan vakum ting-
gi) akibat banyaknya partikulat atau kadar air, yang mengakibatkan pengaturan
isokinetik menjadi sulit, filter perlu diganti pada pertengahan pengambilan contoh
uji melalui langkah-langkah sebagai berikut:
▪ Mematikan pompa vakum, pemanas filter, dan probe;
▪ Mencatat posisi titik lintas terakhir dan nilai dry gas meter akhir;
▪ Melakukan uji kebocoran sebelum membuka filter holder;
▪ Mengganti filter dan memasang kembali ke filter holder;
▪ Menyalakan pemanas filter dan probe;
▪ Menempatkan nozzle pada posisi titik lintas terakhir dan nyalakan pompa
vakum untuk melanjutkan pengambilan contoh uji.
▪ Mengkalkulasi berat total partikulat dari seluruh filter yang digunakan

Halaman 28 dari 126


1 2 3 4

Gambar 3.5.1 Rangkaian alat pengambilan contoh uji partikulat

Penentuan kadar partikulat dalam gas buang


1) Melakukan perolehan kembali (recovery) contoh uji sebagai berikut:
▪ memindahkan probe, filter, dan botol penjerap pada tempat yang bersih
agar tidak terjadi kontaminasi pada contoh uji; 


▪ memasukkan 200 mL aseton ke dalam botol contoh uji sebagai blanko la-
pangan;


▪ mengambil filter dari filter holder secara hati-hati dengan menggunakan


pinset dan memasukkan ke dalam cawan petri, kemudian diberi label se-
bagai penampung 1; 


▪ membersihkan partikulat pada probe liner, nozzle, filter fitting, dan fil-
ter holder dengan menggunakan sikat dan aseton, kemudian mema-
sukkan hasil pembersihan tersebut ke dalam botol contoh uji dan diberi
label sebagai penampung 2;
▪ menimbang masing-masing botol penjerap dengan timbangan (ketelitian
0,1 g), kemudian mencatat berat akhirnya.
2) Untuk Kontainer No. 1: mengeringkan filter di dalam oven pada temperatur
105 °C selama 2 jam – 3 jam, kemudian didinginkan dalam desikator. Sete-
lah itu, menimbang berat filter tersebut dengan menggunakan timbangan
analitik.
3) Untuk Kontainer No. 2: Memindahkan isi penampung ke dalam gelas piala 250
mL. Setelah itu, menguapkan aseton dari gelas piala hingga kering, kemudian

Halaman 29 dari 126


masukkan ke dalam desikator selama ± 24 jam, dan menimbang berat par-
tikulatnya.
4) Untuk blanko lapangan: Memindahkan isi penampung ke dalam gelas piala
250 mL. Setelah itu, menguapkan aseton dari gelas piala hingga kering, ke-
mudian masukkan ke dalam desikator selama ± 24 jam, dan menimbang berat
partikulatnya.
5) Menghitung temperatur rata-rata dry gas meter dan rata-rata pressure drop
pada orifice (lihat Lampiran B SNI 19-7117.17:2009)
6) Menghitung volume dry gas meter kemudian mengkoreksi volume dry gas me-
ter yang terukur pada kondisi standar (25 °C, 760 mmHg) dengan menggu-
nakan rumus sebagai berikut:
∆H
Pbar + 13,6
( Tm )
Tstd
Vm(std) = Vm . Y
Pstd
dimana:
Vm(std) = volume gas kering yang terukur pada meter gas yang dikoreksi
3
ke kondisi standar (m );
3
Vm = volume gas kering yang terukur pada meter gas (m );
Y = faktor kalibrasi meter gas;
o
Tstd = temperatur standar = 298 K;
Tm = temperatur pada dry gas meter (K );
Pbar = tekanan barometer pada dry gas meter (mmHg);
ΔH = perbedaan tekanan rata-rata dari orifice meter (mmH2O);
Pstd = tekanan absolut standar = 760 mmHg.

7) Menghitung volume uap air dengan menggunakan rumus sebagai berikut:


Vlc . ρw . R . Tstd
Vw(std) =
Mw . Pstd
dimana:
Vwe(std) = volume uap air yang terkondensasi, dikoreksi pada kondisi
3
standar (m );
Vwsg(std) = volume uap air yang terkumpul di silika gel, dikoreksi pada kondisi
3
standar (m );
Vlc = total volume cairan dalam penjerap dan silika gel (mL);
ρw = densitas air = 0,9982 g/mL;
3
R = konstanta gas ideal = 0.06236 (mm Hg)(m /g-mol)(K);
o
Tstd = temperatur standar = 298 K;
Mw = berat molekul air = 18 g/g-mol
Pstd = tekanan absolut standar = 760 mmHg.
8) Menghitung kadar uap air dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
Vw(std)
Bws =
Vm(std) + Vw(std)
dimana:
Bws = kadar uap air (volume) dalam aliran gas;

Halaman 30 dari 126


Vwe(std) = volume uap air yang terkondensasi, dikoreksi pada kondisi
3
standar (m );
Vwsg(std) = volume uap air yang terkumpul di silika gel, dikoreksi pada kondisi
3
standar (m );
Vm(std) = volume gas kering yang terukur pada meter gas yang dikoreksi
3
pada kondisi standar (m ).
9) Menghitung berat total partikulat, dengan cara menjumlahkan partikulat
yang terdapat pada penampung 1 dan 2, kemudian dikurangi dengan partiku-
lat yang terdapat pada blanko aseton.
10)Menghitung konsentrasi partikulat dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
mn
cs =
Vm(std)
dimana:
cs = konsentrasi partikulat didalam gas cerobong, basis kering,
dikoreksi pada kondisi standar (mg/m3);
mn = jumlah total partikulat yang dikumpulkan (mg);
Vm(std) = volume gas kering yang terukur pada meter gas yang dikoreksi
3
pada kondisi standar (m ).
11)Menghitung batas nilai isokinetis dengan menggunakan rumus sebagai
berikut:
Batas nilai isokinetis yang dapat diterima adalah 90 ≤ I ≤ 110%

[ )]
100Ts K3 . Vic + ( )(
Vm . Y Pbar + ∆ H
Tm 13,6
I=
60.θ . vs . Ps . An
atau
100Ts . Vm(std) . Pstd
I=
60Tstd . vs . θ . An . Ps(1 − Bws)
dimana:
I = nilai isokinetik pengambilan contoh uji (%);
Ts = temperatur gas buang (K);
K3 = 0,003454 (nilai ketetapan untuk satuan metrik);
Vlc = total volume cairan dalam penjerap dan silika gel (mL);
3
Vm = volume gas kering yang terukur pada meter gas (m );
Y = faktor kalibrasi meter gas;
Tm = temperatur pada dry gas meter (K );
Pbar = tekanan barometer pada dry gas meter (mmHg);
ΔH = perbedaan tekanan rata-rata dari orifice meter (mmH2O);
θ = waktu sampling total (menit);
vs = kecepatan gas cerobong (m/detik);
Ps = tekanan absolut pada cerobong (mmHg);
An = luas penampang nozzle (m2);
Pstd = tekanan absolut standar = 760 mmHg;

Halaman 31 dari 126


o
Tstd = temperatur standar = 298 K;
Bws = kadar uap air (volume) dalam aliran gas.


Halaman 32 dari 126


6. Metoda pengujian opasitas dalam emisi sumber tidak bergerak

Acuan Normatif
US EPA Method 9 – Visual Determination of the Opacity of Emissions from Stationary
Sources

US EPA Method 22 – Visual determination of fugitive emissions from material


sources and smoke emissions from flares

Ruang lingkup
Metoda ini mencakup pemeriksaan asap dari emisi sumber tidak bergerak yang
meliputi:
1) Pengujian opasitas untuk asap hitam yang berasal dari sumber tidak bergerak
2) Penentuan emisi fugitif dan asap dari cerobong flaring

Pengujian opasitas secara visual


Pengujian opasitas dari emisi sumber tidak bergerak dapat dilakukan melalui dua
cara sebagai berikut.
1) Menggunakan skala Ringlemann secara visual
2) Menggunakan smoke meter
Pengujian opasitas dilakukan untuk asap hitam yang berasal dari sumber tidak berg-
erak (cerobong). Pengujian opasitas secara visual menggunakan Skala Ringlemann
sebagai alat ukur.

Untuk memperoleh hasil pengukuran yang akurat, maka terdapat beberapa per-
syaratan pembacaan opasitas yang harus dipenuhi sebagai berikut.
1) Posisi matahari harus terletak di belakang pengamat (dalam daerah 140o)
seperti pada Gambar 3.6.1.
2) Saat melakukan pengamatan, sebaiknya menjadikan langit biru sebagai latar
belakang. Apabila kondisi ini tidak tercapai maka perlu diberi keterangan
pada formulir kerja.
3) Arah angin berada pada sudut 90o terhadap pengamat.
4) Jarak pengamat berada pada posisi tiga kali ketinggian cerobong, seperti
pada Gambar 3.6.2.
5) Tidak ada halangan yang mempengaruhi pengamatan

Halaman 33 dari 126


Gambar 3.6.1 Posisi pengamat terhadap matahari (tampak atas)

Gambar 3.6.2 Posisi pengamat terhadap cerobong

Apabila persyaratan pembacaan opasitas dapat terpenuhi, maka pelaksanaan pem-


bacaan opasitas dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut.
1) Mengamati asap pada titik keluarnya di ujung cerobong setiap kelipatan detik
ke-15, kemudian membandingkan dengan skala Ringlemann (lihat Gambar
3.6.3) yang paling mendekati dan mencatatnya pada formulir kerja.
2) Pengamatan dilakukan minimal 6 menit untuk 24 pembacaan untuk asap yang
konstan, dan 6 – 60 menit untuk asap yang tidak konstan atau untuk pengka-
jian kinerja proses.
3) Mencatat hasil pengamatan kemudian menghitung rata-ratanya. Rata-rata
dari seluruh data pengamatan kemudian dibulatkan pada angka skala
Ringlemann yang paling mendekati.
4) Mencatat posisi dan kondisi saat pembacaan opasitas.

Halaman 34 dari 126


Keterangan:
0 = kerapatan 0% dimana latar belakang dapat terlihat dengan jelas sebanding den-
gan 100%;
1 = kerapatan 20% dimana latar belakang dapat terlihat 80%;
2 = kerapatan 40% dimana latar belakang dapat terlihat 60%;
3 = kerapatan 60% dimana latar belakang dapat terlihat 40%;
4 = kerapatan 80% dimana latar belakang dapat terlihat 20%;
5 = kerapatan 100% dimana latar belakang tidak dapat terlihat sama sekali.

Gambar 3.6.3 Bagan kepekatan asap skala Ringlemann

Penentuan emisi fugitif dan asap dari cerobong flaring


Emisi fugitif merupakan emisi yang dihasilkan oleh fasilitas tambahan yang tidak
tertangkap oleh sistem pengendalian pencemaran udara sehingga dilepaskan ke at-
mosfer. Emisi fugitif meliputi:
a) Emisi yang terlepas dari sistem penyaluran gas buang;
b) Emisi yang terlepas selama transfer material;
c) Emisi yang dihasilkan dari peralatan pemrosesan material bangunan;
d) Emisi yang dihasilkan secara langsung dari peralatan proses/manufaktur.

Adapun asap dari cerobong flaring didefinisikan sebagai polutan yang dihasilkan dari
proses pembakaran pada suar/flaring yang terbentuk diantara nyala api. Asap yang
terbentuk di bagian hulu nyala api tidak dikategorikan sebagai asap dari cerobong
flaring.

Penentuan emisi fugitif dan asap dari cerobong flaring dapat dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut.
1) Menentukan lokasi pengamatan. Lokasi pengamatan sebaiknya terletak pada
posisi antara 4,6 hingga 400 meter dari sumber emisi.
2) Menentukan durasi periode pengamatan (to). Durasi pengamatan dapat
bervariasi terrgantung pada ketentuan yang harus dipenuhi.

Halaman 35 dari 126


3) Mencatat durasi emisi (te), yaitu total waktu dimana emisi atau asap dapat
terlihat selama periode pengamatan.
4) Mencatat hasil-hasil pengamatan pada formulir kerja.
5) Menghitung laju emisi sebagai frekuensi emisi menggunakan rumus sebagai
berikut.
te
Ef = × 100
to
dimana:
Ef = frekuensi emisi (%);
te = durasi emisi (detik);
to = durasi periode pengamatan (detik);

Halaman 36 dari 126


7. Metoda pengujian kadar Sulfur Dioksida (SO2) dalam emisi sumber
tidak bergerak menggunakan spektrofotometer

Acuan Normatif
US EPA Method 6 – Determination of Sulfur Dioxide Emissions from Stationary
Sources

Ruang Lingkup
Metoda ini meliputi cara pengujian kadar Sulfur Dioksida (SO2) dalam gas buang dari
sumber tidak bergerak yang memiliki konsentrasi 5 – 300 ppm (14 mg/Nm3 – 860
mg/Nm3)

Persiapan
1) Menyiapkan larutan penjerap
2) Menyiapkan larutan klorida (NaCl)
3) Menyiapkan larutan gliserol
4) Menyiapkan serbuk barium klorida (BaCl2)
5) Menyiapkan larutan induk asam sulfat (H2SO4) 0,1 N
6) Menyiapkan larutan kerja asam sulfat (H2SO4) 0,004 N
7) Menyiapkan larutan natirum tetrabonat (boraks, Na2B4O7.10H2O) 0,1 N
8) Menyiapkan larutan kerja boraks (Na2B4O7.10H2O) 0,004 N
9) Menyiapkan indikator SM (sindur metil) atau MO (methyl orange)
Keseluruhan detail langkah kerja untuk mempersiapkan setiap larutan di atas dapat
dilihat pada SNI 19-7117.3.1-2005.

Halaman 37 dari 126


Pengambilan contoh uji
1) Menyusun peralatan pengambilan contoh uji seperti pada Gambar 3.7.1.
2) Memasukkan 50 ml larutan penjerap gas ke dalam masing-masing botol pen-
jerap serta memasukkan 50 ml larutan penjerap gas ke dalam botol pencuci
3) Memasukkan pipa pengambilan contoh uji ke dalam cerobong, kemudian di-
panaskan hingga temperaturnya mencapai 120oC. Temperatur pipa ini harus
dipertahankan selama pengambilan contoh uji
4) Mengarahkan aliran gas buang ke posisi pencucian sehingga aliran akan
melalui botol pencuci
5) Menghidupkan pompa penghisap udara dan mengatur laju aliran antara 1 – 2
lpm, kemudian matikan pompa setelah 5 menit
6) Mengarahkan aliran gas buang ke posisi pengambilan contoh uji sehingga ali-
ran akan melalui botol penjerap
7) Membaca penunjukkan awal pada gas meter sebagai V1 (liter)
8) Menghidupkan pompa dan melakukan pengambilan contoh uji sampai volume
total 20 liter dengan mengatur laju aliran gas meter antara 1 – 2 lpm
9) Mencatat temperature dan tekanan pada gas meter saat pengambilan contoh
uji
10)Mematikan pompa, menutup aliran gas dan membaca penunjukkan akhir
pada gas meter sebagai V2 (liter)

Gambar 3.7.1 Rangkaian peralatan pengambil contoh uji SOx

Halaman 38 dari 126


Analisis
1) Standardisasi larutan kerja asam sulfat (H2SO4) 0,004 N
2) Membuat kurva kalibrasi
3) Mempersiapkan contoh uji
4) Mengukur konsentrasi ion sulfat menggunakan spektrofotometer
5) Menghitung volume contoh uji gas menggunakan persamaan berikut:
298 (Pa + Pm − Pv)
Vs = V × ×
273 + t 760
dimana:
Vs = volume contoh uji gas yang diambil yang dikoreksi pada kondisi
normal 25oC, 760 mmHg (liter);
V = volume dari pembacaan gas meter (liter);
= V 2 – V1
Pa = tekanan udara atmosfer (mmHg);
Pm = tekanan manometer yang dibaca pada gas meter (mmHg);
Pv = tekanan uap air jenuh pada temperatur toC (mmHg), nilainya
dapat dilihat pada Lampiran A SNI 19-7117.3.1-2005;
t = temperatur gas yang dibaca pada gas meter (oC).
6) Menghitung konsentrasi SOx sebagai SO2 menggunakan persamaan berikut:
64 (A − B) × fp
C= × × 1000
96 Vs
dimana:
C = konsentrasi SOx (mg/Nm3);
A = jumlah ion sulfat pada contoh uji (mg), diperoleh dari kurva
kalibrasi;
B = jumlah ion sulfat pada larutan blanko (mg), diperoleh dari kurva
kalibrasi;
fp = faktor pengenceran = 250/50;
Vs = volume contoh uji gas yang dikoreksi pada kondisi normal 25oC,
760 mmHg (liter)
Keseluruhan detail langkah kerja untuk menganalisis konsentrasi SO2 dalam emisi
sumber tidak bergerak dengan menggunakan pektrofotometer seperti di atas dapat
dilihat pada SNI 19-7117.3.1-2005.

Halaman 39 dari 126


8. Metoda pengujian kadar Sulfur Dioksida (SO2) dalam emisi sumber
tidak bergerak secara Titimetri

Acuan Normatif
SNI 19-7117.3.2-2005 Emisi gas buang - Sumber tidak bergerak - Bagian 3: Oksida-
oksida sulfur (SOx) - Sub-Bagian 2: Cara uji dengan metode netralisasi titrimetri

Ruang Lingkup
Metoda ini meliputi cara pengujian kadar Sulfur Dioksida (SO2) dalam gas buang dari
sumber tidak bergerak yang memiliki konsentrasi 70 – 2800 ppm (200 mg/Nm3 –
8000 mg/Nm3)

Persiapan
1) Menyiapkan larutan penjerap
2) Menyiapkan larutan natrium hidroksida (NaOH) 0,05 M
3) Menyiapkan hablur asam sulfanat (amido sulphuric acid), HOSO2.NH2
4) Menyiapkan campuran indicator metil merah dan metil biru
Keseluruhan detail langkah kerja untuk mempersiapkan setiap larutan di atas dapat
dilihat pada SNI 19-7117.3.2-2005.

Pengambilan contoh uji


1) Menyusun peralatan pengambilan contoh uji seperti pada Gambar 3.7.1.
2) Memasukkan 50 ml larutan penjerap gas ke dalam masing-masing botol pen-
jerap serta memasukkan 50 ml larutan penjerap gas ke dalam botol pencuci
3) Memasukkan pipa pengambil contoh uji ke dalam cerobong, kemudian di-
panaskan hingga temperaturnya mencapai 120oC. Temperatur pipa ini harus
dipertahankan selama pengambilan contoh uji
4) Mengarahkan aliran gas buang ke posisi pencucian sehingga aliran akan
melalui botol pencuci
5) Menghidupkan pompa penghisap udara dan mengatur laju aliran antara 1 – 2
lpm, kemudian matikan pompa setelah 5 menit
6) Mengarahkan aliran gas buang ke posisi pengambilan contoh uji sehingga ali-
ran akan melalui botol penjerap
7) Membaca penunjukkan awal pada gas meter sebagai V1 (liter)
8) Menghidupkan pompa dan melakukan pengambilan contoh uji sampai volume
total 20 liter dengan mengatur laju aliran gas meter antara 1 – 2 lpm
9) Mencatat temperature dan tekanan pada gas meter saat pengambilan contoh
uji
10)Mematikan pompa, menutup aliran gas dan membaca penunjukkan akhir
pada gas meter sebagai V2 (liter)

Analisis
1) Melakukan standardisasi NaOH 0,05 M
2) Melakukan persiapan contoh uji
3) Melakukan titrasi
4) Menghitung volume contoh uji gas menggunakan persamaan berikut
298 (Pa + Pm − Pv)
Vs = V × ×
273 + t 760

Halaman 40 dari 126


dimana:
Vs = volume contoh uji gas yang diambil yang dikoreksi pada kondisi normal
25oC, 760 mmHg (liter);
V = volume dari pembacaan gas meter (liter);
= V 2 – V1
Pa = tekanan udara atmosfer (mmHg);
Pm = tekanan manometer yang dibaca pada gas meter (mmHg);
Pv = tekanan uap air jenuh pada temperatur toC (mmHg), nilainya dapat
dilihat pada Lampiran A SNI 19-7117.3.1-2005;
t = temperatur gas yang dibaca pada gas meter (oC).
5) Menghitung konsentrasi SOx dalam emisi gas buang sumber tidak bergerak
menggunakan persamaan berikut:
0,560 × (a − b) × f ×
250
v
C1 = × 1000
Vs
dimana:
C1 = konsentrasi volumetrik oksida-oksida sulfur (ppm);
a = volume larutan NaOH 0,05 M hasil titrasi yang digunakan untuk
titrasi larutan contoh uji (ml);
b = volume larutan NaOH 0,05 M hasil titrasi yang digunakan untuk
titrasi larutan blanko (ml);
f = faktor larutan NaOH 0,05 M (perhitungan dapat dilihat pada
SNI 19-7117.3.1-2005);
v = volume larutan contoh uji yang digunakan untuk analisis (ml);
Vs = volume contoh uji gas yang dikoreksi pada kondisi normal 25oC,
760 mmHg (liter);
6) Menghitung konsentrasi SO2 dalam emisi gas buang sumber tidak bergerak
menggunakan persamaan berikut:
1,60 × (a − b) × f × 250
v
C2 = × 1000
Vs
dimana:
C2 = konsentrasi berat oksida-oksida sulphur dalam contoh uji gas
yang dikonversi dalam SO2 (mg/Nm3);
a = volume larutan NaOH 0,05 M hasil titrasi yang digunakan untuk
titrasi larutan contoh uji (ml);
b = volume larutan NaOH 0,05 M hasil titrasi yang digunakan untuk
titrasi larutan blanko (ml);
f = faktor larutan NaOH 0,05 M (perhitungan dapat dilihat pada
SNI 19-7117.3.1-2005);
v = volume larutan contoh uji yang digunakan untuk analisis (ml);
Vs = volume contoh uji gas yang dikoreksi pada kondisi normal 25oC,
760 mmHg (liter);

Keseluruhan detail langkah kerja untuk menganalisis konsentrasi SO2 dalam emisi
sumber tidak bergerak dengan metode titimetri seperti di atas dapat dilihat pada
SNI 19-7117.3.2-2005.

Halaman 41 dari 126


9. Metoda pengujian kadar Nitrogen Oksida (NOx) dalam emisi sum-
ber tidak bergerak menggunakan phenol disulphonic acid (PDS)

Acuan Normatif
US EPA Method 7 – Determination of Nitrogen Oxide Emissions from Stationary
Sources

Ruang Lingkup
Metoda ini meliputi cara pengujian kadar oksida-oksida nitrogen (NOx) dalam gas
buang dari sumber tidak bergerak yang memiliki konsentrasi 10 – 300 ppm (18 mg/
Nm3 – 540 mg/Nm3) dengan jumlah volume contoh uji sebanyak 800 – 1000 mL

Persiapan
1) Menyiapkan larutan penjerap
2) Menyiapkan larutan Phenol Disulphonic Acid (PDS)
3) Menyiapkan larutan induk nitrat (NO3-) 100 µL
4) Menyiapkan larutan standar nitrat (NO3-) 10 µL
5) Menyiapkan larutan natrium hidroksida (NaOH) 25% (b/v)
6) Menyiapkan larutan kalium hidroksida (KOH) 5,6% (b/v)
7) Menyiapkan kertas lakmus
8) Menyiapkan larutan asam sulfat (H2SO4) 95 – 97%

Keseluruhan detail langkah kerja untuk mempersiapkan setiap larutan di atas dapat
dilihat pada SNI 19-7117.5-2005.

Pengambilan contoh uji


1) Merangkai peralatan pengambil contoh uji seperti pada Gambar 3.9.1.
2) Mengisi larutan penjerap
3) Mengurangi tekanan dalam labu
4) Membilas rangkaian peralatan pengambilan contoh uji gas
5) Mengukur tekanan dan temperatur sebelum pengambilan gas buang
6) Mengambil contoh uji gas
7) Mengukur tekanan dan temperature sesudah pengambilan contoh uji gas

Halaman 42 dari 126


Gambar 3.9.1 Rangkaian peralatan pengambil contoh uji NOx

Analisis
1) Membuat kurva kalibrasi
2) Melakukan pengukuran konsentrasi NOx dalam contoh uji
3) Melakukan koreksi terhadap volume contoh uji gas yang diambil menggu-
nakan persamaan berikut:
Pf − Pnf Pi − Pni
760 ( 273 + tf 273 + ti )
298
Vs = (V − 20) × × −

dimana:
Vs = volume contoh uji gas yang diambil yang dikoreksi pada kondisi
normal 25oC, 760 mmHg (ml);
V = volume labu vakum atau labu E (ml), lihat SNI 19-7117.5-2005;
Pf = tekanan dalam labu sesudah pengambilan contoh (mmHg);
Pnf = tekanan uap jenuh diukur pada tfoC (mmHg), lihat Lampiran A
SNI 19-7117.5-2005;
Pi = tekanan vakum dalam botol sebelum pengambilan contoh uji
(mmHg);
Pni = tekanan uap jenuh pada tioC (mmHg);
ti = temperatur ketika Pi diukur sebelum pengambilan contoh uji (oC);
tf = temperatur ketika Pf diukur sebelum pengambilan contoh uji (oC).
4) Menghitung konsentrasi oksida-oksidan nitrogen (NOx) menggunakan per-
samaan berikut:
V
C= × 1000
Vs

Halaman 43 dari 126


dimana:
C = konsentrasi oksida-oksida nitrogen (ppm);
V = jumlah NO2 yang diperoleh dari kurva kalibrasi (µL);
Vs = volume contoh uji gas yang diambil yang dikoreksi pada kondisi
normal 25oC, 760 mmHg.
5) Mengkonversi konsentrasi oksida-oksida nitrogen (NOx) sebagai NO2 dalam
emisi gas buang sumber tidak bergerak menggunakan persamaan berikut:
46
CN = C ×
24,45
dimana:
CN = konsentrasi NO2 (mg/Nm3);
C = konsentrasi NO2 (ppm).

Keseluruhan detail langkah kerja untuk menganalisis konsentrasi NOx dalam emisi
sumber tidak bergerak seperti di atas dapat dilihat pada SNI 19-7117.5-2005.

Halaman 44 dari 126


10.Metoda pengujian kadar Total Sulfur Tereduksi (TSR) dalam emisi
sumber tidak bergerak secara Oksida Termal

Acuan Normatif
US EPA Method 15A – Determination of Total Reduced Sulfur Emissions From Sulfur
Recovery Plants in Petroleum Refineries

US EPA Method 6 – Determination of Sulfur Dioxide Emissions from Stationary


Sources

Ruang Lingkup
Metoda ini digunakan untuk mengukur konsentrasi Total Sulfur Tereduksi (TSR),
meliputi karbon disulfida (CS2), karbonil sulfida (COS), hydrogen sulfida (H2S), yang
secara termal teroksidasi menjadi sulfur dioksida (SO2)

Persiapan
1) Menyiapkan larutan hidrogen peroksida 3% v/v
2) Menyiapkan gas untuk pemeriksaan perolehan kembali (recovery) contoh uji
3) Menyiapkan gas pembakaran
4) Menyiapkan larutan isopropanol 80% v/v
5) Menyiapkan larutan isopropanol 100%
6) Menyiapkan indikator thorin
7) Menyiapkan larutan standar barium 0,100 N
8) Menyiapkan larutan standar asam sulfat 0,0100 N

Keseluruhan detail langkah kerja untuk mempersiapkan setiap larutan di atas dapat
dilihat pada US EPA Method 15A dan Method 6.

Pengambilan contoh uji


1) Merangkai peralatan pengambilan contoh uji (TSR) seperti pada Gambar
3.10.1
2) Memasukkan masing-masing 20 ml H2O2 3% ke dalam impinger pertama dan
kedua, dan biarkan impinger ketiga kosong. Kemudian, mengisi impinger
keempat (dapat diganti dengan drying tube) dengan silika gel. Setelah itu,
seluruh impinger ditempatkan di dalam ice water bath (campuran serpihan
es dan air)
3) Menjaga tungku oksidasi pada temperatur 1100±50oC untuk memastikan COS
teroksidasi seluruhnya
4) Menjaga temperatur probe dan filter sehingga tidak terlihat adanya proses
kondensasi
5) Melakukan pengambilan contoh uji melalui langkah-langkah sebagai berikut:
▪ Mengatur tekanan pada regulator kedua slinder udara pembakaran
menjadi 10 psig;
▪ Mengatur laju aliran udara menjadi 0,5±0,05 lpm (1,1±0,1 ft3/jam)
sebelum melakukan injeksi udara pembakaran pada rangkaian perala-
tan pengambil contoh uji;
▪ Menginjeksikan udara pembakaran pada rangkaian peralatan pengam-
bil contoh uji, menyalakan pompa pengambilan contoh uji, kemudian

Halaman 45 dari 126


membuka valve contoh uji emisi cerobong. Proses ini dilakukan selama
15 – 30 detik untuk menghidari kelebihan tekanan dalam rangkaian
peralatan pengambilan contoh uji;
▪ Mengatur laju aliran udara menjadi 2,0±0,2 lpm (4,2±0,4 ft3/jam).
Pada tingkat laju aliran udara ini, dihasilkan O2 dengan konsentrasi 5%
pada gas cerobong yang harus dipertahankan agar terjadi proses oksi-
dasi senyawa sulfur tereduksi menjadi SO2;
▪ Mengawasi dan mencatat pembacaan manometer untuk udara pem-
bakaran dengan interval tertentu selama proses pengambilan contoh
uji. Proses pengambilan contoh uji dapat berlangsung selama 1 – 3
jam;
▪ Pada akhir proses pengambilan contoh uji, mematikan pompa
pengambilan contoh uji dan aliran udara pembakaran secara berturut-
turut (dalam jarak 30 detik);
6) Melakukan perolehan kembali contoh uji melalui langkah-langkah sebagai
berikut:
▪ melepaskan rangkaian impinger;
▪ membuang cairan yang terdapat pada midget bubbler;
▪ menuang cairan yang terdapat di dalam midget impinger ke dalam
botol polietilen untuk dianalisis di laboratorium;
▪ membilas ketiga midget impinger serta peralatan penghubung im-
pinger menggunakan air, kemudian air bilasan ini juga dimasukkan ke
dalam botol polietilen berisi contoh uji;
▪ menandai tinggi cairan di dalam botol, kemudian menyegel dan mem-
beri label pada botol.
7) Melakukan pemeriksaan kebocoran setelah pengambilan contoh uji (wajib)
terhadap rangkaian peralatan pengambil contoh uji. Pemeriksaan kebocoran
juga dapat dilakukan sebelum pengambilan contoh uji, namun tidak wajib.
Pemeriksaan kebocoran meliputi sistem penyaluran udara pembakaran yang
dimulai dari needle valve. Adapun langkah-langkah pemeriksaan kebocoran
adalah sebagai berikut:
▪ Memasang rotameter (0 – 40 ml/min) pada outlet dry gas meter dan
menempatkan vacuum gauge pada inlet probe;
▪ Menyumbat inlet probe, kemudian menyalakan vacuum gauge pada
tekanan sedikitnya 250 mmHg (10 in.Hg);
▪ Mencatat laju alir yang ditunjukkan oleh rotameter;
▪ Tingkat kebocoran yang diperbolehkan adalah maksimum 2%.
8) Melakukan pemeriksaan kebocoran terhadap pompa (disarankan, namun
tidak wajib). Pemeriksaan kebocoran pompa dapat dilakukan sebelum atau
sesudah pengambilan contoh uji. Apabila dilakukan sebelum pengambilan
contoh uji, maka pemeriksaan pompa dilakukan sebelum pemeriksaan kebo-
coran rangkaian peralatan, namun apabila dilakukan setelah pengambilan
contoh uji, pemeriksaan pompa dilakukan setelah pemeriksaan kebocoran
rangkaian peralatan. Pemeriksaan kebocoran pompa dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
▪ Memisahkan rangkaian drying tube dari probe-impinger;
▪ Menempatkan vacuum gauge pada inlet drying tube atau inlet pompa;
▪ Menyalakan vacuum gauge pada tekanan 250 mmHg (10 in.Hg),
menyumbat outlet flow meter, kemudian mematikan pompa;

Halaman 46 dari 126


▪ Vacuum gauge harus berada pada kondisi stabil selama sedikitnya 30
detik.
9) Melakukan prosedur pemeriksaan kinerja sistem. Pemeriksaan ini wajib di-
lakukan setelah proses pengambilan contoh uji untuk memastikan validitas
proses pengambilan contoh uji. Pemeriksaan kinerja sistem juga dapat di-
lakukan sebelum pengambilan contoh uji untuk memastikan validitas kompo-
nen rangkaian pengambilan contoh uji serta prosedurnya, namun tidak di-
haruskan. Prinsip kerja pemeriksaan kinerja sistem ini adalah dengan
mengambil contoh uji COS dengan konsentrasi yang telah diketahui kemudian
membandingkannya dengan konsentrasi COS hasil analisis. Adapun langkah-
langkah pemeriksaan kinerja sistem adalah sebagai berikut:
▪ mencampur recovery gas dengan N2 seperti diperlihatkan pada Gam-
bar 3.10.2 apabila diperlukan pengenceran;
▪ mengatur laju alir untuk menghasilkan konsentrasi COS dalam rentang
yang terkandung dalam emisi dari cerobogn atau dalam rentang 20%
dari standar yang berlaku pada laju alir total sedikitnya 2,5 lpm (5,3
ft3/jam);
▪ menghitung konsentrasi recovery gas yang dihasilkan menggunakan
persamaan berikut:
(CCOS)(QCOS)
CRG =
QCOS + QN2
dimana:
CRG = konsentrasi recovery check gas (ppm);
CCOS = konsentrasi COS recovery gas (ppm);
QCOS = laju alir COS recovery gas (lpm);
QN2 = laju alir N2 (lpm).
▪ mengkalibrasi laju alir dari keuda sumber menggunakan bubble meter
untuk memastikan keakuratan konsentrasi COS yang diencerkan;
▪ melakukan pengambilan contoh uji selama 30 menit kemudian men-
ganalisis contoh uji sesuai dengan prosedur analisis contoh uji;
▪ proses pengambilan contoh uji melalui probe sebaiknya menggunakan
manifold atau peralatan lain yang sesuai untuk mendapatkan contoh
uji yang representatif.
10)Selain melakukan prosedur pemeriksaan kinerja sistem, disarankan juga un-
tuk membilas dan menyikat probe serta mengganti filter sebelum melakukan
pengukuran selanjutnya. Pemeriksaan kinerja sistem, pembersihan probe dan
penggantian filter dilakukan apabila telah melakukan pengukuran sebagai
berikut:
▪ 3 buah contoh uji dengan durasi pengambilan contoh uji selama 1 jam;
atau
▪ 1 buah contoh uji dengan durasi pengambilan contoh uji selama 3 jam.
11)Apabila hendak melakukan penggantian filter dan pembersihan probe, maka
perlu dilakukan prosedur recovery check. Recovery harus mencapai 100±20%
untuk data dianggap valid dan harus dilaporkan bersamaan dengan data
emisi, namun tidak digunakan untuk mengkoreksi data. Efisiensi recovery
check dapat dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
CRG(m)
R= × 100
CRG(act)

Halaman 47 dari 126


dimana:
R = efisiensi recovery untuk pemeriksaan kinerja sistem (%);
CRG(m) = konsentrasi terukur recovery check gas yang dihasilkan (ppm);
CRG(act) = konsentrasi actual recovery check gas (setelah pengenceran)
(ppm).
Detail spesifikasi peralatan dapat dilihat pada US EPA Method 15A.

Gambar 3.10.1 Rangkaian peralatan pengujian kadar Total Sulfur Tereduksi (TSR)

Gambar 3.10.2 Sistem penghasil recovery gas

Halaman 48 dari 126


Analisis
1) Memindahkan contoh uji ke dalam labu volumetrik 100 ml, kemudian
melakukan pengenceran menggunakan air hingga volumenya tepat 100 ml
dan dikocok agar larutan homogen
2) Memindahkan 20 ml contoh uji yang telah diencerkan menggunakan pipet ke
dalam labu Erlenmeyer 250 ml, kemudian menambahkan 80 ml isopropanol
100% dan 2 – 4 tetes indikator thorin. Mengaduk larutan menggunakan stir-
rer, kemudian bersamaan dengan proses pengadukan, melakukan titrasi
menggunakan larutan barium standar 0,0100 N hingga mencapai titik akhir
berwarna pink
3) Mengulangi langkah nomor 2) di atas, kemudian menghitung rata-rata volume
titrasi. Untuk setiap serangkaian contoh uji, harus ditambahkan blanko. Vol-
ume titrasi replikat harus berada dalam rentang 1% atau 0,2 ml
4) Menghitung volume gas contoh uji, basis kering, yang dikoreksi pada kondisi
standar, menggunakan rumus sebagai berikut:
Tstd . Pbar V .P
Vm(std) = Vms . Y . = K1 . Y . m bar
Tm . Pstd Tm
dimana:
Vm(std) = volume gas kering yang terukur oleh dry gas meter yang dikoreksi
pada
kondisi standar (liter);
Vms = volume gas kering yang terukur oleh dry gas meter (liter);
Y = faktor kalibrasi untuk dry gas meter;
Tstd = temperatur absolut standar = 293 K
Pbar = tekanan barometrik pada lubang keluar dry gas meter (mmHg);
Tm = temperatur absolut rata-rata dry gas meter (K);
Pstd = tekanan absolut standar = 760 mmHg;
K1 = 0,3855 K/mmHg;

5) Menghitung volume gas udara pembakaran yang dikoreksi pada kondisi stan-
dar menggunakan rumus sebagai berikut:
(Vmc)(Pbar)
Vmc(std) = K1 . Yc .
Tm
dimana:
Vmc(std) = volume gas kering yang terukur oleh dry gas meter udara
pembakaran yang dikoreksi pada kondisi standar (liter);
K1 = 0,3855 oK/mmHg;
Yc = faktor kalibrasi untuk dry gas meter udara pembakaran;
Vmc = volume gas yang terukur oleh dry gas meter udara pembakaran
(liter);
Pbar = tekanan barometrik pada lubang keluar dry gas meter (mmHg);
Tm = temperatur absolut rata-rata dry gas meter (K).
6) Menghitung konsentrasi senyawa sulfur tereduksi sebagai SO2 menggunakan
rumus sebagai berikut:
(Vt − Vtb)( )
Vsoln
Va
CRS = K2 . N .
Vms(std) − Vmc(std)
dimana:

Halaman 49 dari 126


CRS = konsentrasi senyawa sulfur tereduksi sebagai SO2, basis kering,
yang dikoreksi pada kondisi standar (ppm);
N = normalitas barium perklorat (meq/ml);
Vt = volume barium perklorat yang digunakan untuk titrasi (rata-rata
dari replikat titrasi) (ml);
Vtb = volume barium perklorat yang digunakan untuk titrasi blanko
(ml);
Vsoln = volume total larutan yang digunakan untuk menganalisis
kandungan SO2
= 100 ml
Va = volume contoh uji yang digunakan untuk titrasi (ml);
Vms(std) = volume gas kering yang terukur oleh dry gas meter yang dikoreksi
pada kondisi standar (liter);
Vmc(std) = volume gas kering yang terukur oleh dry gas meter udara
pembakaran yang dikoreksi pada kondisi standar (liter);
mg 24,05l l . mole 1g 103ml 103μl
K2 = 32,03 . . . . .
meq mole 64,06g 103mg l 1ml
12025ml
=
meq

Halaman 50 dari 126


11.Metoda pengujian kadar Klorin dan Klor Dioksida (Cl2 dan ClO2)
dalam emisi sumber tidak bergerak secara Titimetri

Acuan Normatif
US EPA Method 26 – Determination of Hydrogen Halide and Halogen Emissions from
Stationary Sources Non-Isokinetic Method

US EPA Method 26A – Determination of Hydrogen Halide and Halogen Emissions from
Stationary Sources Isokinetic Method

Ruang Lingkup
1) Penentuan konsentrasi Cl2 dan ClO2 dari sumber tidak bergerak metode non-
isokinetik
2) Penentuan konsentrasi Cl2 dan ClO2 dari sumber tidak bergerak metode
isokinetik

Metode non-isokinetik
Persiapan
1) Menyiapkan larutan absorben H2SO4 0,1 N
2) Menyiapkan larutan absorben NaOH 0,1 N
3) Menyiapkan larutan standar stok garam halida
4) Menyiapkan eluen ion kromatografi

Keseluruhan detail langkah kerja untuk mempersiapkan setiap larutan di atas dapat
dilihat pada US EPA Method 26.

Pengambilan contoh uji


1) Menyusun rangkaian peralatan pengambilan contoh uji seperti pada Gambar
3.11.1
2) Menuangkan larutan absorben H2SO4 0,1 N pada 2 buah impinger pertama
masing-masing sebanyak 15 ml, kemudian menuangkan larutan absorben
NaOH 0,1 N pada 2 buah impinger kedua sebanyak masing-masing 15 ml (lihat
Gambar 3.11.1)
3) Membuat rangkaian impinger secara seri. Rangkaian dimulai dari impinger
kosong, kemudian diikuti 2 buah impinger berisi larutan absorben H2SO4 0,1
N, 2 buah impinger berisi larutan absorben NaOH 0,1 N, dan terakhir im-
pinger kosong atau drying tube yang diisi dengan silika gel (lihat Gambar
Gambar 3.11.1)
4) Memanaskan probe hingga temperaturnya mencapai 120oC untuk mencegah
terjadinya kondensasi air. Temperatur probe harus dijaga antara 120o –
134oC.
5) Melakukan pemeriksaan kebocoran terhadap pompa (disarankan, namun
tidak wajib). Pemeriksaan kebocoran pompa dapat dilakukan sebelum atau
sesudah pengambilan contoh uji. Apabila dilakukan sebelum pengambilan
contoh uji, maka pemeriksaan pompa dilakukan sebelum pemeriksaan kebo-
coran rangkaian peralatan, namun apabila dilakukan setelah pengambilan
contoh uji, pemeriksaan pompa dilakukan setelah pemeriksaan kebocoran

Halaman 51 dari 126


rangkaian peralatan. Pemeriksaan kebocoran pompa dilakukan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
▪ Memisahkan rangkaian drying tube dari probe-impinger;
▪ Menempatkan vacuum gauge pada inlet drying tube atau inlet pompa;
▪ Menyalakan vacuum gauge pada tekanan 250 mmHg (10 in.Hg),
menyumbat outlet flow meter, kemudian mematikan pompa;
▪ Vacuum gauge harus berada pada kondisi stabil selama sedikitnya 30
detik.
6) Melakukan pemeriksaan kebocoran terhadap rangkaian peralatan pengambil
contoh uji sebelum pengambilan contoh uji (tidak wajib)
7) Melakukan prosedur pembersihan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
▪ Sesaat sebelum pengambilan contoh uji, menghubungkan saluran
pembersihan pada stopcock, kemudian putar stopcock sehingga pompa
pembersihan terhubung dengan probe;
▪ Menyalakan pompa pembersihan dan mengatur laju pembersihan pada
2 lpm;
▪ Proses pembersihan dilakukan paling sedikit selama 5 menit.
8) Melakukan pengambilan contoh uji dengan prosedur sebagai berikut:
▪ Menyalakan pompa pengambilan contoh uji, mengatur vacuum gauge
pada tekanan 25 mmHg (1 in.Hg), kemudian memutar stopcock agar
aliran gas dalam cerobong terhubung dengan rangkaian peralatan
pengambilan contoh uji;
▪ Mengatur laju alir pengambilan contoh uji pada 2 lpm (ditunjukkan
oleh rotameter). Kecepatan ini harus dipertahankan selama pengambi-
lan contoh uji (toleransi kecepatan ±10%);
▪ Melakukan pencatatan volume dan temperatur pada dry gas meter,
rotameter, dan vacuum gauge setiap 5 menit selama pengambilan con-
toh uji;
▪ Durasi pengambilan contoh uji yang disarankan adalah selama 1 jam.
Durasi pengambilan contoh uji yang lebih singkat dapat menyebabkan
bias pada konsentrasi HCl;
9) Melakukan pemeriksaan kebocoran setelah pengambilan contoh uji (wajib)
terhadap rangkaian peralatan pengambil contoh uji melalui langkah-langkah
sebagai berikut:
▪ Memasang rotameter yang sesuai (sebagai contoh 0 – 40 cc/menit atau
0 2,4 in3/menit) pada outlet dry gas meter, kemudian menempatkan
vacuum gauge pada inlet probe;
▪ Menyumbat inlet probe, kemudian menyalakan vacuum gauge pada
tekanan paling sedikit 250 mmHg (10 in.Hg);
▪ Mencatat laju alir yang ditunjukkan pada rotameter;
▪ Tingkat kebocoran yang diperbolehkan adalah maksimum 2%.

Halaman 52 dari 126


Gambar 3.11.1 Rangkaian alat pengambilan contoh uji klorin untuk kondisi non-isokinetik

Halaman 53 dari 126


Analisis
1) Melakukan perolehan kembali (recovery) contoh uji melalui langkah-langkah
sebagai berikut:
▪ Melepaskan rangkaian impinger, kemudian memindahkan larutan ab-
sorben dari impinger H2SO4 dan impinger kosong (bila digunakan) ke
dalam botol contoh uji 1. Menambahkan air pada setiap botol im-
pinger tersebut dan peralatan penghubung impinger sebagai pembilas.
Setelah itu, air bilasan dimasukkan ke dalam botol contoh uji 1;
▪ Mengulangi prosedur di atas untuk impinger berisi NaOH, kemudian
larutan absorben dan air bilasannya dimasukkan ke dalam botol contoh
uji 2. Menambahkan 25 mg natrium tiosulfat per ppm halogen dalam
emisi gas buang dikalikan dengan volume contoh uji gas yang diambil
(dscm) (0,7 mg per ppm-dscf);
▪ Menyiapkan blanko larutan absorben (H2SO4 0,1 N dan NaOH 0,1 N) se-
jumlah volume yang digunakan dalam botol impinger (botol 3 dan
botol 4), kemudian encerkan masing-masing blanko dengan air sejum-
lah volume yang digunakan untuk membilas botol impinger dan perala-
tan penghubungnya. Menambahkan natrium tiosulfat ke dalam larutan
absoren NaOH (botol 4) dengan jumlah yang sama yang ditambahkan
ke dalam botol contoh uji 2;
▪ Mengisi botol 5 dan botol 6 dengan air sejumlah volume air yang digu-
nakan untuk membilas botol impinger berisi H2SO4 dan NaOH serta
peralatan penghubungnya;
▪ Seluruh botol contoh uji harus disegel, dikocok sehingga homogen, dan
diberi label. Selain itu, diberi tanda untuk tinggi cairan di dalam
botol.
2) Menyiapkan contoh uji untuk analisis dengan cara memindahkan larutan con-
toh uji sebanyak 100 ml ke dalam labu volumetrik, kemudian dienceran den-
gan 100 ml air
3) Melakukan kalibrasi terhadap Ion Kromatografi (lihat US EPA Method 26)
4) Melakukan pengukuran kandungan ion Cl- dalam contoh uji menggunakan Ion
Kromatografi (lihat US EPA Method 26)
5) Melakukan perhitungan konsentrasi klorin menggunakan rumus sebagai
berikut:
35,453
Cl−blanko = NaCl × 103 ×
58,44
dimana:
Cl-blanko = konsentrasi Cl- pada larutan standar (µg), tidak boleh melebihi 1
µg/ml
(batas deteksi limit 0,1 µg/ml);
NaCl = massa NaCl kering yang digunakan (g)
6) Menghitung total HCl dalam contoh uji menggunakan persamaan berikut:
mHCl = KHCl . Vs(Cl−sampel − Cl−blanko)
dimana:
mHCl = massa HCl dalam contoh uji (µg);
KHCl = 1,028 (µg HCl/µg-mol)/(µg Cl-/µg-mol);
Vs = volume contoh uji yang diencerkan dan disaring (ml);
Cl-sampel = konsentrasi Cl- pada contoh uji (µg Cl-/ml);

Halaman 54 dari 126


Cl-blanko = konsentrasi Cl- pada pada larutan standar (µg).
7) Menghitung konsentrasi klorin (Cl2) dalam contoh uji menggunakan per-
samaan berikut:
MCl2 = Vs(Cl−sampel − Cl−blanko)
dimana:
MCl 2 = massa Cl2 dalam contoh uji (µg);
Vs = volume contoh uji yang diencerkan dan disaring (ml);
Cl-sampel = konsentrasi Cl- pada contoh uji (µg Cl-/ml);
Cl-blanko = konsentrasi Cl- pada pada larutan standar (µg).
8) Menghitung konsentrasi HCl dalam emisi sumber tidak bergerak menggunakan
persamaan berikut:
K . mHCl
CHCl =
Vm(std)
dimana:
CHCl = konsentrasi HCl dalam emisi sumber tidak bergerak, basis kering
(mg/dscm);
K = 10-3 mg/µg;
mHCl = massa HCl dalam contoh uji (µg);
Vm(std) = volume gas kering yang terukur dry gas meter, dikoreksi pada kondisi
standar
(dscm);
9) Menghitung konsentrasi Cl2 dalam emisi sumber tidak bergerak menggunakan
persamaan berikut:
K . MCl2
CCl2 =
Vm(std)
dimana:
CCl
2 = konsentrasi Cl2 dalam emisi sumber tidak bergerak, basis kering (mg/
dscm);
K = 10-3 mg/µg;
MCl 2 = massa Cl2 dalam contoh uji (µg);
Vm(std) = volume gas kering yang terukur dry gas meter, dikoreksi pada kondisi
standar
(dscm);

Metode isokinetik
Persiapan
1) Menyiapkan blanko larutan absorben
2) Menyiapkan larutan standar stok garam halida
3) Menyiapkan eluen untuk ion kromatografi
4) Menyiapkan air
5) Menyiapkan aseton
Keseluruhan detail langkah kerja untuk mempersiapkan setiap larutan di atas dapat
dilihat pada US EPA Method 26A.

Halaman 55 dari 126


Pengambilan contoh uji
1) Melakukan persiapan pra-uji dengan langkah-langkah sebagai berikut:
▪ Menempatkan silika gel pada beberapa wadah kedap udara (setiap
wadah berisi 200- 300 gram silika gel);
▪ Menimbang setiap wadah (termasuk silika gel di dalamnya) dengan
toleransi 0,5 gram, kemudian mencatat berat masing-masing wadah.
Sebagai alternatif, silika gel tidak perlu ditimbang terlebih dahulu,
tetapi ditimbang bersamaan dengan impinger sesaat sebelum
merangkai peralatan pengambilan contoh uji.
2) Melakukan penentuan pendahuluan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
▪ Menentukan lokasi pengambilan contoh uji dan jumlah minimum titik
pengambilan contoh uji sesuai dengan Lampiran III.1;
▪ Menentukan tekanan dalam cerobong, temperatur, dan rentang head
kecepatan sesuai dengan Lampiran III.4. Selain itu, disarankan untuk
melakukan pemeriksaan kebocoran terhadap pitot lines;
▪ Menentukan kadar air dalam cerobong seperti pada Lampiran III.3 un-
tuk keperluan pengaturan pengambilan contoh uji secara isokinetik;
▪ Menentukan berat molekul kering gas dalam cerobong seperti pada
Lampiran II.2;
▪ Menentukan ukuran nozzle berdasarkan rentang head kecepatan se-
hingga tidak perlu mengubah ukuran nozzle untuk mempertahankan
laju alir pada kondisi isokinetik. Perubahan ukuran nozzle tidak diper-
bolehkan selama pengambilan contoh uji berlangsung. Selain itu, pen-
gukur tekanan perbedaan kecepatan yang digunakan harus sesuai un-
tuk rentang head kecepatan yang diperlukan;
▪ Menentukan probe liner dan panjang probe yang sesuai sehingga
memungkinkan pengambilan contoh uji pada seluruh titik lintas. Untuk
cerobong berukuran besar, perlu dipertimbangkan pengambilan contoh
uji dari sisi yang berlawanan untuk mengurangi panjang probe yang
dibutuhkan;
▪ Menentukan durasi pengambilan contoh uji. Durasi total pengambilan
contoh uji harus lebih dari atau sama dengan durasi minimum
pengambilan contoh uji sesuai dengan prosedur spesifik untuk setiap
jenis industri. Durasi pengambilan contoh uji tidak boleh kurang dari 2
menit untuk setiap titik lintas dan volume contoh uji (yang dikoreksi
pada kondisi standar) harus lebih dari volume minimum contoh uji gas
yang dibutuhkan;
▪ Durasi pengambilan contoh uji untuk setiap titik lintas harus sama.
Durasi pengambilan contoh uji (menit) pada setiap titik lintas dis-
arankan berupa bilangan bulat atau bilangan bulat ditambah dengan
1,5 menit, untuk menghindari kesalahan perhitungan waktu;
3) Melakukan persiapan rangkaian peralatan pengambilan contoh uji dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
▪ Menutup seluruh bukaan/lubang yang dapat menyebabkan kontaminasi
selama persiapan dan perangkaian peralatan pengambilan contoh uji,
hingga sesaat sebelum perangkaian peralatan atau proses pengambilan
contoh uji;
▪ Menempatkan 50 ml H2SO4 0,1 N pada impinger kondensat (apabila di-
gunakan), kemudian menempatkan masing-masing 100 ml H2SO4 0,1 N

Halaman 56 dari 126


pada impinger kedua dan ketiga. Menempatkan masing-masing 100 ml
NaOH 0,1 N pada impinger ketiga dan keempat. Setelah itu, me-
mindahkkan 200 – 300 gram silika gel dari wadah yang telah ditimbang
sebelumnya pada impinger terakhir;
▪ Merangkai peralatan pengambilan contoh uji seperti pada Gambar
3.11.2. Apabila menggunakan cyclone, maka cyclone ditempatkan di-
antara probe liner dan filter holder yang berada di dalam kotak yang
dipanaskan;
4) Melakukan prosedur pemeriksaan kebocoran sebelum proses pengambilan
contoh uji (tidak wajib tetapi direkomendasikan) dengan penjelasan sebagai
berikut:
▪ Setelah peralatan pengambilan contoh uji selesai dirangkai, sumber
listrik dinyalakan kemudian mengatur filter dan sistem pemanas probe
pada temperature yang diperlukan, kemudian diberi waktu beberapa
saat hingga temperatur stabil;
▪ Apabila menggunakan ‘Viton A O-ring’ atau sambungan bebas keboco-
ran lainnya untuk merangkai probe nozzle dan probe liner, pemerik-
saan kebocoran terhadap rangkaian peralatan harus dilakukan pada
lokasi pengambilan contoh uji dengan cara menyumbat nozzle kemu-
dian menariknya dengan tekanan vakum sebesar 380 mm (15 in.) Hg;
▪ Apabila menggunakan sambungan tahan panas, tidak diperkenankan
untuk menghubungkan probe pada rangkaian peralatan pengambil con-
toh uji selama pemeriksaan kebocoran. Pemeriksaan kebocoran di-
lakukan dengan menyumbat inlet pada filter holder (cyclone, bila di-
gunakan) dan kemudian menariknya dengan tekanan vakum sebesar
380 mm (15 in.) Hg. Setelah itu, probe dapat dihubungkan ke rangka-
ian peralatan pengambil contoh uji dan kemudian melakukan pemerik-
saan kebocoran terhadap probe dengan tekanan vakum kurang lebih
25 mm (1 in.) Hg. Sebagai alternatif, pemeriksaan kebocoran terhadap
probe juga dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan kebocoran
rangkaian peralatan pengambilan contoh uji, yaitu dengan meman-
faatkan tekanan sisa dalam rangkaian peralatan pengambilan contoh
uji, yang diatur pada 380 mm (15 in.) Hg seperti telah diuraikan se-
belumnya. Tingkat kebocoran dapat ditoleransi apabila melebihi 4%
dari laju rata-rata pengambilan contoh uji atau 0,00057 m3/menit
(0,020 cfm), tergantung nilai yang lebih kecil;
▪ Pemeriksaan kebocoran untuk rangkaian peralatan pengambilan con-
toh uji dapat mengikuti langkah-langkah berikut: menyalakan pompa
dengan katup ‘bypass’ terbuka penuh dan katup pengaturan kasar ter-
tutup benar-benar tertutup. Kemudian, membuka katup pengaturan
kasar tertutup secara bertahap dan menutup katup ‘bypass’ secara
perlahan hingga mencapai tingkat vakum yang dibutuhkan. Tidak
diperkenankan untuk memutar balik arah katup ‘bypass’ karena dapat
menyebabkan air tergenang di dalam filter holder. Apabila pengaturan
katup melebihi tingkat vakum yang dibutuhkan, maka pemeriksaan
kebocoran dapat dilanjutkan pada tingkat vakum tersebut yang lebih
tinggi dari tingkat vakum yang dibutuhkan, atau menghentikan pe-
meriksaan kebocoran kemudian mengulanginya kembali.

Halaman 57 dari 126


▪ Apabila pemeriksaan kebocoran telah selesai, maka hal yang peratama
dilakukan adalah melepaskan sumbat dari inlet yang menuju probe,
filter holder, atau cyclone (bila digunakan), dan kemudian segera
mematikan pompa vakum. Prosedur ini mencegah air yang berada
dalam impinger terdorong ke belakang menuju filter holder dan silica
gel dan bukannya terperangkap di dalam impinger ketiga.
5) Melakukan pengambilan contoh uji dengan ketentuan sebagai berikut:
▪ Mempertahankan laju isokinetik selama proses pengambilan contoh uji
(dalam toleransi 10% dari nilai isokinetik sesungguhnya) dan menjaga
temperatur gas contoh uji yang melalui filter pada 120 ± 14 oC (248 ±
25 oF) atau pada rentang temperatur lain yang disebutkan dalam per-
aturan ini;
▪ Mencatat data-data yang dibutuhkan untuk setiap satu rangkaian pros-
es pengambilan contoh uji dalam Form 3.11.1. Mencatat pembacaan
DGM pada awal dan setiap akhir penambahan waktu pengambilan con-
toh uji, ketika terjadi perubahan laju alir, sebelum dan sesudah pe-
meriksaan kebocoran, dan ketika pengambilan contoh uji dihentikan.
Selain itu, perlu dilakukan pembacaan lainnya seprti tercantum dalam
Form 3.11.1 minimal satu kali pada setiap titik pengambilan contoh
uji selama setiap penambahan waktu dan melakukan pembacaan tam-
bahan ketika terdapat perubahan yang signifikan (pembacaan ketika
terjadi variasi head kecepatan sebesar 20%) sehingga memerkukan
pengaturan tambahan untuk laju alir Selama pengambilan contoh uji
pada setiap titik lintas, manometer perlu diatur ke titik nol secara
berkala sebab terdapat kemungkinan batas pembacaan manometer
menyimpang karena getaran dan perubahan temperatur;

▪ Membersihkan lubang pengambilan contoh uji sebelum melakukan


proses pengambilan contoh uji untuk meminimalisasi pengumpulan
partikulat yang terendapkan. Untuk memulai pengambilan contoh uji,
perlu dipastikan bahwa filter dan sistem pemanas probe telah menca-
pai temperatur yang dibutuhkan, setelah itu tutup nozzle dapat
dilepaskan dan kemudian memastikan pitot tube dan probe berada
pada posisi yang benar. Meletakkan nozzle pada titik lintas pertama
dengan ujung probe mengarah langsung pada aliran gas. Kemudian,
segera menyalakan pompa dan mengatur laju aliran pada kondisi
isokinetik. Untuk dapat melakukan pengaturan dengan cepat pada
kondisi laju alir isokinetik, maka dapat digunakan ‘Nomographs’ yang
dapat membantu pengaturan cepat tanpa membutuhkan perhitungan
yang rumit. ‘Nomographs’ dirancang untuk digunakan ketika koefisien
Pitot S (Cp) sebesar 0,85 ± 0,02, dan densitas ekivalen gas dalam cer-
obong (berat molekul kering, Md) sama dengan 29 ± 4. Apabila Cp dan
Md di memiliki nilai diluar rentang tersebut, maka tidak disarankan
menggunakan ‘Nomographs’ (lihat US EPA Method 5 untuk keterangan
lebih lanjut)
▪ Apabila temperatur berada dalam kondisi tekanan negatif, perlu
diperhatikan ketika menutup katup pengaturan kasar tertutup se-
belum memasukkan probe ke dalam cerobong untuk mencegah air ma-

Halaman 58 dari 126


suk ke dalam filter holder. Apabila diperlukan, pompa dapat
dinyalakan dengan posisi katup pengaturan kasar tertutup;
▪ Saat probe sudah berada dalam posisi yang benar, seluruh bukaan seki-
tar probe dan lubang pengambilan contoh uji harus ditutup untuk
mencegah pengenceran aliran gas dalam cerobong;
▪ Melakukan pengambilan contoh uji untuk seluruh titik lintas. Perlu
diperhatikan bahwa probe nozzle tidak boleh mengenai dinding cer-
obong terutama ketika mengambil contoh uji pada titik lintas yang
dekat dengan dinding atau ketika memindahkan atau memasukkan
probe melalui lubang pengambilan contoh uji. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisasi kemungkinan ekstraksi partikulat yang terdeposit pada
probe;
▪ Selama pengambilan contoh uji, diperlukan pengaturan secara berkala
untuk menjaga temperatur di sekitar filter holder berada pada
rentang yang disarankan untuk menjaga temperatur gas yang keluar
dari filter. Pengaturan dapat dilakukan dengan menambahkan es, dan
garam apabila diperlukan untuk menjaga temperatur kondensator atau
outlet silica gel kurang dari 20 oC (68 oF). Selain itu, perlu dilakukan
juga pemeriksaan berkala terhadap manometer;
▪ Apabila kehilangan tekan yang melalui filter terlalu tinggi sehingga
kondisi isokinetic sulit untuk dipertahankan, maka filter dapat diganti
saat pengambilan contoh uji masih berlangsung. Penggantian filter
disarankan dilakukan untuk rangkaian filter lengkap, tidak hanya
mengganti filternya saja. Sebelum melakukan pemasangan rangkaian
filter baru, perlu dilakukan pemeriksaan kebocoran seperti pada poin
6). Berat total partikulat merupakan penjumlahan dari seluruh rangka-
ian filter yang digunakan;
▪ Sebaiknya, menggunakan rangkaian peralatan pengambilan contoh uji
tunggal ketika melakukan pengukuran untuk satu saluran atau cer-
obong, kecuali untuk kasus ketika diperlukan pengambilan contoh uji
secara simultan dalam dua atau lebih cerobong atau saluran yang ter-
pisah, atau untuk kasus ketika rangkaian peralatan pengambilan con-
toh uji mengalami kegagalan yang menyebabkan pelrunya penggantian
rangkaian alat. Selain pada kedua situasi tersebut, penggunaan dua
atau lebih rangkaian peralatan pengambilan contoh uji bergantung
pada persetujuan administrator (lihat US EPA Method 5 untuk keteran-
gan lebih lanjut);
▪ Pada akhir proses pengambilan contoh uji, menutup katup pengaturan
kasar, mengeluarkan probe dan nozzle dari cerobong, mematikan
pompa, mencatat pembacaan DGM akhir, dan melakukan pemeriksaan
kebocoran setelah pengambilan contoh uji seperti dijelaskan pada
poin 7). Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan kebocoran terhadap
pitot lines (lihat US EPA Method 2). Prosedur pemeriksaan kebocoran
pitot lines harus dipenuhi untuk validasi data head kecepatan;
▪ Temperatur di sekitar probe, filter (dan cyclone, apabila digunakan)
perlu dipertahankan antara 120 – 134 oC (248 – 273 oF) karena sangat
sulit untuk membersihkan gas asam dari komponen-komponen terse-
but. Substansi yang terdapat pada komponen-komponen tersebut tidak
akan diperoleh kembali sehingga pengumpulan gas asam dari kompo-

Halaman 59 dari 126


nen tersebut berpotensi tidak terangkum dalam pelaporan emisi. Un-
tuk setiap pelaksanaan pengambilan contoh uji, data-data perlu di-
catat dalam Form 11-1. Apabila kondensat dalam impinger terlalu
penuh, maka dapat dikosongkan, dan kemudian diisi kembali dengan
50 ml H2SO4 0,1 N selama pengambilan contoh uji berlangsung. Kon-
densat yang dikeluarkan dari impinger harus disimpan untuk keperluan
analisis dan volumenya dimasukkan ke dalam perhitungan volume uap
air. Selain itu, penambahan 50 ml reagen absorben harus diikutser-
takan dalam perhitungan kadar uap air. Dengan adanya penggantian
impinger, maka diperlukan pemeriksaan kebocoran seperti tercantum
pada poin 6) berikut;
6) Melakukan prosedur pemeriksaan kebocoran selama proses pengambilan con-
toh uji dengan ketentuan sebagai berikut: Apabila selama pengambilan con-
toh uji berlangsung, terdapat suatu komponen (sebagai contoh rangkaian fil-
ter atau impinger) yang berubah signifikan, maka pemeriksaan kebocoran
perlu dilakukan segera sebelum perubahan komponen (tidak wajib). Pemerik-
saan kebocoran harus dilakukan dengan prosedur seperti yang telah dije-
laskan pada poin 4) di atas. Namun, untuk pemeriksaan kebocoran selama
pengambilan contoh uji, pemeriksaan dilakukan pada tingkat vakum sama
dengan atau lebih besar dari nilai maksimum yang tercatat selama pemerik-
saan kebocoran. Apabila tingkat kebocoran tidak melebihi 0,00057 m3/menit
(0,020 cfm) atau 4% dari laju rata-rata pengambilan contoh uji (tergantung
nilai yang lebih kecil), maka kebocoran dapat ditoleransi dan tidak diper-
lukan koreksi terhadap total volume gas kering yang tercatat. Namun, apabi-
la diperoleh tingkat kebocoran lebih tinggi dari nilai yang ditoleransi, volume
contoh uji perlu dikoreksi dengan nilai kebocoran, atau alternatif lainnya
adalah tidak menggunakan contoh uji pada tingkat kebocoran yang melebihi
toleransi;
7) Melakukan prosedur pemeriksaan kebocoran setelah proses pengambilan con-
toh uji (wajib) dengan ketentuan sebagai berikut: pemeriksaan kebocoran
dilakukan seperti prosedur pada poin 4) di atas. Namun, untuk pemeriksaan
kebocoran setelah pengambilan contoh uji, pemeriksaan dilakukan pada
tingkat vakum sama dengan atau lebih besar dari nilai maksimum yang ter-
catat selama pemeriksaan kebocoran. Apabila tingkat kebocoran tidak
melebihi 0,00057 m3/menit (0,020 cfm) atau 4% dari laju rata-rata pengam-
bilan contoh uji (tergantung nilai yang lebih kecil), maka kebocoran dapat
ditoleransi dan tidak diperlukan koreksi terhadap total volume gas kering
yang tercatat. Namun, apabila diperoleh tingkat kebocoran lebih tinggi dari
nilai yang ditoleransi, volume contoh uji perlu dikoreksi dengan nilai keboco-
ran, atau alternatif lainnya adalah tidak menggunakan contoh uji pada
tingkat kebocoran yang melebihi toleransi;
8) Melakukan penghilangan kadar air pasca pengambilan contoh uji (tidak wa-
jib) dengan ketentuan sebagai berikut: ketika cyclone digunakan dalam
rangkaian peralatan pengambilan contoh uji atau ketika terlihat terdapat
cairan pada filter di akhir proses pengambilan contoh uji (meskipun tanpa
cyclone), maka dapat dilakukan prosedur penghilangan kadar air. Setelah
menyelesaikan proses pengambilan contoh uji, menghubungkan tabung air
conditioning ambien pada inlet probe, dan kemudian mengoperasikan
rangkaian peralatan pengambilan contoh uji dengan menggunakan sistem

Halaman 60 dari 126


pemanas filter pada temperatur 120 – 134 oC (248 – 275 oF) pada laju alir
rendah (sebagai contoh ΔH = 1 in. H2O) untuk menguapkan segala jenis cairan
dan hidrogen halida pada cyclone atau pada filter dan menariknya melalui
rangkaian alat menuju impinger. Setelah 30 menit, laju aliran udara dihen-
tikan, kemudian tabung conditioning dilepaskan, dan memeriksa cyclone dan
filter apakah sudah terbebas dari cairan. Apabila masih terlihat terdapat
cairan, maka prosedur ini dapat diulangi selama 15 menit untuk kemudian
diperiksa kembali. Prosedur harus terus diulangi hingga cyclone benar-benar
kering;
9) Melakukan perolehan kembali (recovery) contoh uji dengan prosedur sebagai
berikut:
▪ Setelah proses pengambilan contoh selesai, probe harus didinginkan
terlebih dahulu sebelum memulai proses perolehan kembali contoh
uji. Setelah itu, menyeka seluruh permukaan bagian luar dari ujung
nozzle probe kemudian menempatkan tutup yang longgar pada ujung
nozzle untuk mencegah penambahan atau kehilangan partikulat. Tidak
diperkenankan untuk menempatkan tutup yang terlalu rapat pada
ujung nozzle ketika rangkaian alat pengambil contoh uji masih dalam
proses pendinginan karena dapat menciptakan ruang hampa di dalam
filter holder, sehingga menarik air dari impinger menuju filter holder.
Sebelum memindahkan rangkaian alat ke lokasi pembersihan, probe
harus dilepaskan dari rangkaian peralatan pengambilan contoh uji,
kemudian menyeka sisa silicone grease, dan menutup bukaan outlet
rangkaian impinger. Perlu diperhatikan agar tidak ada kondensat yang
hilang. Selanjutnya, menyeka seluruh sisa silicone grease dan menutup
inlet filter atau cyclone. Setelah itu, melepaskan sambungan dari im-
pinger terakhir dan menempatkan tutup pada impinger tersebut. Apa-
bila menggunakan sambungan elastis antara impinger pertama dan fil-
ter holder, maka sambungan tersebut harus dilepaskan dari filter
holder dan membiarkan kondensat mengalir menuju impinger perta-
ma. Menyeka seluruh silicone grease dan menutup outlet filter holder
serta inlet impinger. Untuk menyumbat seluruh bukaan, dapat digu-
nakan stopper kaca, tutup plastik, tutup serum, selotip Teflon,
Parafilm, atau aluminium foil. Kemudian, memindahkan probe dan fil-
ter/rangkaian impinger ke lokasi pembersihan. Lokasi pembersihan
harus bersih dan terlindung dari cuaca untuk meminimalisasi kontami-
nasi atau kehilangan contoh uji. Rangkaian alat harus diperiksa se-
belum dan selama pembongkaran dan mencatat bila terdapat kondisi
abnormal.
▪ Selanjutnya, untuk Kontainer No. 1, contoh uji diperoleh kembali den-
gan prosedur sebagai berikut: Melepaskan filter dari filter holder den-
gan hati-hati, dan menempatkan filter di dalam cawan petri yang
telah diberi label. Ketika memindahkan filter, harus menggunakan
penjepit dan/atau sarung tangan steril yang bersih. Apabila filter
harus dilipat, maka permukaan yang terdapat partikulat harus berada
di dalam lipatan. Dengan menggunakan sikat bulu nilon kering dan/
atau sisi pisau yang tajam, sisa partikulat dan/atau serat filter yang
menempel pada gasket filter holder dipindahkan ke dalam cawan
petri. Setelah itu, cawan petri disegel.

Halaman 61 dari 126


▪ Untuk Kontainer No. 2, contoh uji diperoleh kembali dengan prosedur
sebagai berikut: Memastikan debu yang menempel di bagian luar
probe atau permukaan luar lainnya tidak mengkontaminasi contoh uji.
Setelah itu, melakukan pemulihan (recovery) contoh uji partkulat
maupun kondensat dari nozzle probe, sambungan probe, probe liner,
dan filter holder dari bagian tengah ke depan secara kuantitatif den-
gan mencuci komponen-komponen tersebut dengan aseton, lalu men-
empatkan larutan bilasannya di dalam wadah kaca. Air suling deion-
isasi dapat digunakan sebagai pengganti aseton ketika disetujui oleh
Administrator dan harus digunakan ketika ditentukan oleh Administra-
tor. Apabila menggunakan air suling deionisasi, maka blanko air harus
disimpan dan mengikuti arahan Administrator untuk analisis. Adapun
prosedur pembilasan aseton adalah sebagai berikut: 1) melepaskan
nozzle probe dengan hati-hati, kemudian membersihkan bagian dalam
permukan nozzle dengan membilasnya menggunakan aseton dari botol
pencuci dan menyikatnya menggunakan sikat bulu nilon. Nozzle disikat
hingga tidak terlihat adanya partikulat di dalam bilasan akhir dengan
aseton; 2) menyikat dan membilas dengan aseton bagian dalam sam-
bungan probe seperti prosedur pada nomor 1) hingga tidak terlihat
adanya partikulat dalam bilasan terakhir; 3) membilas probe liner
menggunakan aseton dengan memiringkan dan memutar probe semen-
tara menyemprotkan aseton ke ujung atasnya sehingga semua per-
mukaan bagian dalam basah oleh aseton. Selanjutnya, biarkan seton
mengalir dari ujung bawah menuju kontainer. Untuk membantu me-
mindahkan larutan bilasan ke kontainer, dapat menggunakan corong
yang terbuat dari kaca atau polietilen. Setelah selesai membilas den-
gan aseton, dilanjutkan dengan menyikat probe liner. Probe dipegang
dalam posisi miring, kemudian menyemprotkan aseton ke ujung atas
bersamaan dengan mendorong dan memutar sikat ke dalam probe.
Menyiapkan kontainer di bagian ujung bawah probe untuk menampung
aseton dan partikulat dari probe. Proses menyikat probe dilakukan da-
pat 3 kali atau lebih hingga tidak terlihat adanya partikulat yang ter-
bawa dalam aseton. Apabila menggunakan probe dari bahan stainless
steel atau logam lainnya, proses penyikatan seperti prosedur di atas
dilakukan setidaknya 6 kali karena probe yang terbuat logam memiliki
celah-celah kecil yang dapat memerangkap partikulat. Selanjutnya,
membilas sikat menggunakan aseton, dan larutan bilasannya
dikumpulkan di dalam kontainer contoh uji secara kuantitatif. Setelah
proses penyikatan selesai, melakukan pembilasan terakhir terhadap
probe menggunakan aseton. Proses pembersihan probe disarankan di-
lakukan oleh dua orang untuk meminimalisasi kehilangan contoh uji.
Diantara jeda proses pengambilan contoh uji, sikat harus dijaga tetap
bersih dan terlindung dari kontaminasi; 4) setelah memastikan seluruh
sambungan dibersihkan dari silicone grease, permukaan dalam filter
holder dari bagian tengah ke depan dibersihkan dengan menggosok
permukaan menggunakan sikat bulu nilon dan membilasnya dengan
aseton. Setiap permukaan dibilas dengan aseton sebanyak 3 kali atau
lebih bila diperlukan untuk membersihkan partikulat yang terlihat. Se-
lanjutnya, melakukan pembilasan terakhir untuk sikat dan filter hold-
er. Membilas cyclone kaca secara hati-hati (apabila digunakan). Sete-

Halaman 62 dari 126


lah seluruh larutan bilasan dan partikulat terkumpul di dalam kontain-
er, kencangkan penutup kontainer agar aseton tidak bocor selama
proses transportasi. Memberi label dan menandai tinggi cairan di
dalam kontainer untuk memastikan apakah terjadi kebocoran atau
tidak selama proses transportasi.
▪ Untuk Kontainer No. 3 (perolehan contoh uji dari impinger berisi asam
untuk analisis kadar air dan hidrogen halida), contoh uji diperoleh
kembali dengan prosedur sebagai berikut: Pertama-tama, melepaskan
rangkaian impinger, kemudian mengukur cairan asam menggunakan
tabung ukur dengan ketelitian ±1 ml atau dengan menimbangnya
menggunakan neraca analitik dengan ketelitian ±0,5 gram. Mencatat
volume atau berat cairan yang terdapat di dalam impinger. Data ini
dibutuhkan untuk menghitung kadar uap air dalam gas efluen. Selan-
jutnya, memindahkan cairan ini ke kontainer yang bebas kebocoran.
Membilas impinger beserta sambungannya termasuk bagian belakang
filter holder (juga sambungan elastis, bila digunakan) dengan air dan
kemudian memasukkan air bilasan ini ke dalam kontainer. Menyegel
kontainer, mengocoknya agar homogen, dan kemudian memberi label
atau keterangan. Tinggi cairan di dalam kontainer harus diberi tanda
sehingga apabila terjadi kebocoran selama transportasi contoh uji,
maka kehilangan contoh uji dapat dikoreksi secara proporsional;
▪ Untuk Kontainer No. 4 (perolehan contoh uji dari impinger berisi basa
untuk analisis kadar air dan halogen), contoh uji diperoleh kembali
dengan prosedur sebagai berikut: Mengukur dan mencatat jumlah
cairan yang terdapat di dalam impinger berisi basa menggunakan
tabung ukur dengan ketelitian ±1 ml atau dengan menimbangnya
menggunakan neraca analitik dengan ketelitian ±0,5 gram. Selanjut-
nya, memindahkan contoh uji ke kontainer bebas kebocoran. Membilas
kedua impinger berisi basa beserta sambungannya dengan air dan
memasukkan air bilasan ini ke dalam kontainer. Kemudian, menam-
bahkan 25 mg Natrium Tiosulfat per ppm halogen yang diperkirakan
terkandung di dalam aliran gas dikalikan dengan volume (dscm) contoh
uji gas (0,7 mg/ppm-dscf). Menyegel kontainer, mengocoknya agar
homogen, memberi label atau keterangan, dan memberi tanda tinggi
cairan dalam kontainer. Blanko larutan penjerap alkali juga perlu di-
transportasikan bersamaan dengan contoh uji untuk keperluan anali-
sis.
Catatan: 25 mg per Natrium Tiosulfat per ppm halogen yang diperki-
rakan terkandung di dalam aliran gas harus memperhitungkan safety
factor sebesar kurang lebih 5 untuk memastikan reaksi berlangsung
sempurna yang ditandai dengan asam hypohalous membentuk ion Cl-
kedua di dalam larutan alkali
▪ Kontainer No. 5 (untuk analisis kadar air pada silica gel), contoh uji
diperoleh kembali dengan prosedur sebagai berikut: mengamati warna
silica gel untuk menentukan apakah silica gel telah jenuh atau tidak.
Kemudian memindahkan silica gel dari impinger keempat ke kontainer
asalnya, dan menyegelnya. Untuk memindahkan silica gel, dapat
menggunakan corong agar lebih mudah tanpa menumpahkannya. Se-
lain itu, dapat juga menggunakan spatula karet untuk membantu

Halaman 63 dari 126


membersihkan silica gel dari impinger. Apabila terlihat adanya debu
atau partikulat yang menempel pada dinding impinger, maka dapat
dibersihkan tanpa menggunakan cairan, atau apabila sulit untuk diber-
sihkan maka tidak diharuskan membersihkan sebagian kecil partikulat
yang menempel. Tidak diperkenankan menggunakan cairan apapun un-
tuk membantu memindahkan silica gel dari impinger ke kontainer se-
bab dapat mengganggu perhitungan kandungan kadar air. Apabila ter-
dapat neraca analitik di lapangan, maka dapat mengikuti prosedur
analisis seperti tercantum dalam US EPA Method 5 Bagian 11.2.3.
▪ Kontainer No. 6 hingga 9 (blanko reagen), diperlakukan dengan prose-
dur sebagai berikut: Menyisihkan larutan penjerap (H2SO4 0,1 N dan
NaOH 0,1 N) sejumlah volume yang digunakan dalam rangkaian perala-
tan pengambilan contoh uji, kemudian diencerkan dengan menggu-
nakan air bilasan dari kontainer yang digunakan untuk contoh uji hing-
ga memiliki volume yang kurang lebih sama dengan contoh uji.
Menambahkan larutan Natrium Tiosulfat yang digunakan untuk Kon-
tainer No. 4 dengan perbandingan yang sama untuk blanko larutan
penjerap NaOH 0,1 N. Selain itu, menyisihkan sejumlah air bilasan dan
sejumlah aseton secara terpisah setara dengan jumlah yang digunakan
untuk membilas rangkaian alat dari bagian tengah ke depan. Mema-
sukkan masing-masing larutan ke dalam wadah terpisah, kemudian
diberi label atau keterangan.
▪ Sebelum melakukan pengiriman, seluruh kontainer harus diperiksa
kembali untuk memastikan seluruh penutupnya terkunci dengan baik.
Selanjutnya, menyegel sekeliling penutup kontainer menggunakan
selotip Teflon. Selama proses pengiriman, kontainer contoh uji harus
dalam keadaan tegak dan seluruh permukaan filter yang mengandung
partikulat harus menghadap ke atas.

Gambar 3.11.2 Rangkaian peralatan pengambilan contoh uji klorin untuk kondisi isokinetik

Halaman 64 dari 126


Analisis
1) Memeriksa tinggi cairan di dalam kontainer dan memastikan apakah terjadi
kebocoran atau tidak selama proses transportasi. Apabila terjadi kebocoran,
contoh uji dapat diabaikan atau dilanjutkan pada tahapan analisis dengan
koreksi untuk hasil akhir analisis, tergantung pada kebijakan Administrator.
2) Melakukan analisis kandungan klorin pada contoh uji menggunakan ion kro-
matografi. Sebelum melakukan analisa kandungan klorin, perlu dilakukan
kalibrasi terhadap ion kromatografi. Prosedur lengkap kalibrasi ion kro-
matografi dapat dilihat pada US EPA Method 26A.
3) Melakukan perhitungan konsentrasi klorin pada larutan standar stok garam
halida menggunakan persamaan berikut:
μg Cl− 35,453
= g NaCl  × 103 ×
ml 58,44
dimana:
NaCl =
4) Menghitung rerata temperatur Dry Gas Meter dan rerata penurunan tekanan
orifice (lihat Form xx)
5) Menghitung volume dry gas yang dikoreksi pada kondisi standar (Vm(std))
menggunakan persamaan berikut:
Tstd(Pbar + 13,6 )
Pbar + ( 13,6 )
ΔH ∆H

Vm(std) = VmY = K1VmY


Tm Pstd Tm
dimana:
K1 = 0,3858 oK/mmHg

Apabila tingkat kebocoran berdasarkan pemeriksaan kebocoran wajib setelah


pengambilan contoh uji atau pemeriksaan kebocoran sebelum perubahan
komponen rangkaian alat melebihi nilai La (Lp atau Li melebihi La), maka per-
samaan di atas harus dimodifikasi sebagai berikut.
▪ Apabila kebocoran terjadi tanpa ada penggantian/perubahan kompo-
nen rangkaian alat selama proses pengambilan contoh uji berlangsung,
maka Vm diganti dengan:

( m ( p )
V − L − La)θ
▪ Apabila terdapat penggantian/perubahan komponen rangkaian alat
selama pengambilan contoh uji berlangsung, maka Vm diganti dengan:
n

[ ]
Vm − (L1 − La)θ1 − L − La)θi − (Lp − La)θp
∑( 1
i=2
6) Menghitung volume uap air (Vw(std)) dan kadar air (Bws) menggunakan per-
samaan berikut:
Volume uap air terkondensasi:
ρw RTstd
Vw(std) = Vlc = K2Vlc
Mw Pstd
dimana:
K2 = 0,001333 m3/ml

Halaman 65 dari 126


Kadar air:
Vw(std)
Bws =
Vm(std) + Vw(std)

Catatan: pada kondisi jenuh atau aliran gas mengandung banyak butiran air,
perlu dilakukan dua jenis perhitungan untuk kadar uap air dalam gas buang,
perhitungan pertama berdasarkan analisis dari impinge dan perhitungan ked-
ua dari asumsi kondisi jenuh. Nilai yang lebih rendah untuk kadar air (Bws)
diantara hasil kedua perhitungan tersebut dianggap benar. Prosedur penentu-
an kadar air berdasarkan asumsi kondisi jenuh dapat dilihat pada US EPA
Method 4 Bagian 4. Untuk kepentingan analisis kadar klorin dalam gas buang,
rerata temperatur gas buang dari Form xx dapat digunakan untuk menen-
tukan kadar uap air, dengan catatan tingkat akurasi sensor temperature
dalam gas sebesar ±1 oC (2 oF).
7) Menghitung variasi isokinetik yang dapat dilakukan berdasarkan jenis datanya
sebagai berikut:
▪ Perhitungan dari data mentah:

[ 13,6 )]
(VmY)
Tm ( bar
∆H
100T5 K4Vlc + P +
I=
60Θv5P5 An
dimana:
K4 = 0,003454 ((mmHg(m3))/((ml)(oK))
▪ Perhitungan dari nilai menengah:
T5Vm(std) Pstd100
I=
Tstd v5θAn P560(1 − Bws)
T5Vm(std)
= K5
P5v5 Anθ(1 − Bws)
dimana:
K5 = 4,320 (untuk satuan metrik),

Nilai I yang dapat diterma adalah 90% ≤ I ≤ 110%. Apabila hasil partikulat re-
latif rendah dibandingkan dengan standar, dan nilai I lebih dari 110% atau ku-
rang dari 90%, maka Administrator dapat mempertimbangkan untuk meneri-
ma hasil analisis. Apabila nilai I tidak dapat diterima, maka hasil analisis di-
tolak dan perlu mengulangi proses pengambilan contoh uji.
8) Menghitung total HCl pada setiap contoh uji menggunakan persamaan
berikut:
mHCl = KHClVs(SCl − − BCl −)
9) Menghitung total klorin (Cl2) pada setiap contoh uji menggunakan persamaan
berikut:
mCl2 = Vs(SCl − − BCl −)
10)Menghitung konsentrasi Cl2 dalam emisi sumber tidak bergerak menggunakan
persamaan berikut:

Halaman 66 dari 126


mHCl,Cl2
C=K
Vm(std)
11)Menghitung rerata kecepatan gas dalam cerobong dan rerata laju alir vol-
umetrik menggunakan persamaan berikut:
Lihat Bagian 12.3 dan Bagian 12.4 US EPA Method 2

Halaman 67 dari 126


12.Metoda pengujian kadar Hidrogen Klorida (HCl) dalam emisi sum-
ber tidak bergerak menggunakan Merkuri Tiosianat

Acuan Normatif
US EPA Method 26 – Determination of Hydrogen Halide and Halogen Emissions from
Statonary Sources Non-Isokinetic Method

Ruang Lingkup
Metoda ini meliputi cara pengujian kadar Hidrogen Klorida (HCl) dalam gas buang
dari sumber tidak bergerak yang memiliki konsentrasi 2 – 80 ppm (3 mg/Nm3 – 130
mg/Nm3)

Persiapan
1) Menyiapkan larutan penjerap natrium hidroksida (NaOH) 0,1 M
2) Menyiapkan larutan pencuci NaOH 4% (b/v)
3) Menyiapkan larutan merkuri (II) tiosianat – methanol (Hg(CNS)2 – CH3OH)
4) Menyiapkan larutan asam perklorat (HClO4) (1+2)
5) Menyiapkan larutan ammonium besi (III) sulfat (FeNH4(SO4)2)
6) Menyiapkan larutan induk klorida (Cl-)
7) Menyiapkan larutan standar klorida (Cl-)
Keseluruhan detail langkah kerja untuk mempersiapkan setiap larutan di atas dapat
dilihat pada SNI 19-7117.8-2005.

Pengambilan contoh uji


1) Menyusun peralatan pengambilan contoh uji seperti pada Gambar 3.12.1
2) Memasukkan 50 ml larutan penjerap ke dalam masing-masing botol penjerap
serta memasukkan 50 ml larutan pencuci ke dalam botol pencuci
3) Memasukkan pipa pengambil contoh uji ke dalam cerobong, kemudian di-
panaskan hingga temperaturnya mencapai 120oC. Temperatur pipa ini harus
dipertahankan selama pengambilan contoh uji
4) Mengarahkan aliran gas buang ke posisi pencucian sehingga aliran akan
melalui botol pencuci
5) Menghidupkan pompa penghisap udara dan mengatur laju aliran antara 1 – 2
lpm, kemudian matikan pompa setelah 5 menit
6) Mengarahkan aliran gas buang ke posisi pengambilan contoh uji sehingga ali-
ran akan melalui botol penjerap
7) Membaca penunjukkan awal pada gas meter sebagai V1 (liter)
8) Menghidupkan pompa dan melakukan pengambilan contoh uji sampai volume
total 40 liter dengan mengatur laju aliran gas meter antara 1 – 2 lpm
9) Mencatat temperatur dan tekanan pada gas meter saat pengambilan contoh
uji dengan menggunakan termometer dan manometer pada gas meter
10)Mematikan pompa, menutup aliran gas dan membaca penunjukkan akhir
pada gas meter sebagai V2 (liter)

Halaman 68 dari 126


Gambar 3.12.1 Rangkaian peralatan pengambilan contoh uji HCl

Analisis
1) Membuat kurva kalibrasi
2) Menyiapkan contoh uji
3) Mengukur konsentrasi klorida (Cl-) pada contoh uji menggunakan spektrofo-
tometer
4) Melakukan perhitungan volume contoh uji gas yang diambil menggunakan
persamaan berikut:
298 (Pa + Pm − Pv)
Vs = V × ×
273 + t 760
dimana:
Vs = volume contoh uji gas yang diambil yang dikoreksi pada kondisi normal
25oC,
760 mmHg (liter);
V = volume dari pembacaan gas meter (liter);
= V 2 – V1
Pa = tekanan udara atmosfer (mmHg);
Pm = tekanan manometer yang dibaca pada gas meter (mmHg);
Pv = tekanan uap air jenuh pada temperatur toC (mmHg), nilainya dapat dilihat
pada Lampiran A SNI 19-7117.8-2005;
t = temperatur gas yang dibaca pada gas meter (oC).
5) Menghitung konsentrasi HCl dalam emisi gas buang sumber tidak bergerak
menggunakan persamaan berikut:
(a − b) × fp ×
36,5
35,5
C= × 1000
Vs

Halaman 69 dari 126


dimana:
C = konsentrasi hydrogen klorida (mg/Nm3);
a = jumlah ion klorida dalam contoh uji (mg), diperoleh dari kurva kali-
brasi;
b = jumlah ion klorida dalam larutan blanko (mg);
Vs = volume contoh gas uji pada kondisi normal 25oC, 760 mmHg (liter);
fp = faktor pengenceran = 250/5
Keseluruhan detail langkah kerja untuk menganalisis konsentrasi HCl dalam emisi
sumber tidak bergerak seperti di atas dapat dilihat pada SNI 19-7117.8-2005.

Selain pengukuran secara manual, pengujian kadar hidrogen klorida (HCl) juga dap-
at dilakukan melalui pengukuran secara langsung dengan metode konduktivitas
(Daya Hantar Listrik)

Halaman 70 dari 126


13.Metoda pengujian kadar logam dalam emisi sumber tidak bergerak

Acuan Normatif
US EPA Method 29 – Determination of Metals Emissions from Stationary Sources

Ruang Lingkup
Metode ini dapat digunakan untuk menguji kadar logam dari emisi sumber tidak
bergerak. Selain itu, metode ini juga dapat digunakan untuk menentukan kadar par-
tikulat dalam emisi sumber tidak bergerak apabila mengikuti prosedur dan ketentu-
an yang telah ditetapkan.

Prinsip
Contoh uji emisi diambil secara isokinetik dari dari cerobong, emisi berupa partiku-
lat dikumpulkan di dalam probe dan filter yang dipanaskan, serta emisi berupa gas
dikumpulkan menggunakan larutan penjerap asam Hidrogen Peroksida (untuk men-
ganalisa seluruh logam termasuk Hg) dan larutan penjerap asam Kalium perman-
ganat (khusus untuk menganalisa Hg). Hasil perolehan contoh uji kemudian diek-
straksi dan dianalisa sesuai dengan fraksinya. Cold Vapor Atomic Absorption Spec-
troscopy (CVAAS) digunakan untuk menganalisa kandungan Hg, sedangkan untuk
logam Sb, As, Ba, Be, Cd, Cr, Co, Cu, Pb, Mn, Ni, P, Se, Ag, Tl, dan Zn dianalisa
menggunakan Inductively Coupled Argon Plasma Emission Spectroscopy (ICAP) atau
Atomic Absorption Spectroscopy (AAS). Selain itu, untuk menganalisa kandungan Sb,
As, Cd, Co, Pb, Se, dan Tl dengan tingkat ketelitian yang lebih tinggi dari ICAP, dap-
at digunakan Graphite Furnace Atomic Absorption Spectroscopy (GFAAS). Secara
umum, AAS dapat digunakan untuk menganalisaseluruh logam seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, apabila batas deteksi alat dapat memenuhi kebutuhan
pengujian. Selain AAS, Inductively Coupled Plasma-Mass Spectroscopy (ICP-MS) juga
dapat digunakan untuk menganalisa Sb, As, Ba, Be, Cd, Cr, Co, Cu, Pb, Mn, Ni, Ag,
Tl, dan Zn.

Persiapan
1) Menyiapkan filter
Filter yang digunakan untuk pengambilan contoh uji tidak boleh mengandung
senyawa pengikat berbahan organik dan kandungan setiap logam yang akan
diuji pada filter harus kurang dari 1,3 µg/in2. Hasil analisa berupa keteran-
gan dari pemroduksi yang menyatakan kandungan logam dalam filter dapat
dijadikan diterima sebagai data. Namun apabila informasi kandungan logam
pada filter tidak tersedia, maka diperlukan analisa kandungan logam ter-
hadap blanko filter untuk setiap logam yang akan diuji, sebelum melakukan
pengukuran emisi. Apabila dapat memenuhi ketentuan yang berlaku, dis-
arankan menggunakan filter jenis quartz fiber. Namun apabila tidak terse-
dia, maka dapat menggunakan filter jenis glass fiber, selama dapat
memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan.
2) Menyiapkan air yang sesuai dengan spesifikasi pada ASTM D1193-77 atau 91,
tipe II. Apabila diperlukan, air yang digunakan dapat dianalisa terlebih dahu-
lu kandungan logam yang akan menjadi target uji sebelum digunakan. Kon-
sentrasi seluruh logam yang menjadi target uji harus kurang dari 1 ng/ml.

Halaman 71 dari 126


3) Menyiapkan larutan HNO3 terkonsentrasi dengan kualitas analisis Baker Instra
atau sejenisnya.
4) Menyiapkan larutan HCl terkonsentrasi dengan kualitas analisis Baker-Instra
atau sejenisnya.
5) Menyiapkan larutan H2O2 30% (v/v)
6) Menyiapkan larutan KMnO4
7) Menyiapkan larutan H2SO4 terkonsentrasi
8) Menyiapkan silica gel dan potongan es

Keseluruhan detail langkah kerja untuk mempersiapkan bahan-bahan di atas da-


pat dilihat pada US EPA Method 29.

Pengambilan Contoh Uji


1) Melakukan persiapan pra-pengujian dengan langkah-langkah sebagai berikut:
▪ Apabila tidak dilakukan analisa terhadap kandungan partikulat, maka
filter tidak perlu dimasukkan ke dalam desikator dan ditimbang ter-
lebih dahulu sebelum proses pengambilan contoh uji;
▪ Membilas seluruh peralatan rangkaian pengambilan contoh uji yang
terbuat dari kaca menggunakan air keran panas dan kemudian men-
cucinya dalam air panas yang mengandung sabun;
▪ Selanjutnya, membilas peralatan tersebut menggunakan air keran se-
banyak tiga kali, yang diikuti dengan pembilasan tambahan sebanyak
tiga kali menggunakan air;
▪ Merendam seluruh peralatan tersebut dalam larutan asam nitrat 10%
(v/v) selama minimum 4 jam, kemudian membilas menggunakan air
sebanyak tiga kali, yang kemudian diakhiri dengan membilasnya den-
gan aseton, dan membiarkanya mengering;
▪ Menutup seluruh bukaan/celah pada peralatan yang memungkinkan
masuknya kontaminan hingga peralatan dirangkai untuk pengambilan
contoh uji.

2) Melakukan penentuan pra-pengujian dengan ketentuan sebagai berikut:


▪ Menentukan lokasi pengambilan contoh uji dan jumlah minimum titik
pengambilan contoh uji sesuai dengan Lampiran III.1;
▪ Menentukan tekanan dalam cerobong, temperatur, dan rentang head
kecepatan sesuai dengan Lampiran III.4. Selain itu, disarankan untuk
melakukan pemeriksaan kebocoran terhadap pitot lines;
▪ Menentukan kadar air dalam cerobong seperti pada Lampiran III.3 un-
tuk keperluan pengaturan pengambilan contoh uji secara isokinetik;
▪ Menentukan berat molekul kering gas dalam cerobong seperti pada
Lampiran II.2;
▪ Menentukan ukuran nozzle berdasarkan rentang head kecepatan se-
hingga tidak perlu mengubah ukuran nozzle untuk mempertahankan
laju alir pada kondisi isokinetik. Perubahan ukuran nozzle tidak diper-
bolehkan selama pengambilan contoh uji berlangsung. Selain itu, pen-
gukur tekanan perbedaan kecepatan yang digunakan harus sesuai un-
tuk rentang head kecepatan yang diperlukan;
▪ Menentukan probe liner dan panjang probe yang sesuai sehingga
memungkinkan pengambilan contoh uji pada seluruh titik lintas. Untuk

Halaman 72 dari 126


cerobong berukuran besar, perlu dipertimbangkan pengambilan contoh
uji dari sisi yang berlawanan untuk mengurangi panjang probe yang
dibutuhkan;
▪ Menentukan durasi pengambilan contoh uji. Durasi total pengambilan
contoh uji harus lebih dari atau sama dengan durasi minimum
pengambilan contoh uji sesuai dengan prosedur spesifik untuk setiap
jenis industri. Durasi pengambilan contoh uji tidak boleh kurang dari 2
menit untuk setiap titik lintas dan volume contoh uji (yang dikoreksi
pada kondisi standar) harus lebih dari volume minimum contoh uji gas
yang dibutuhkan;
▪ Durasi pengambilan contoh uji untuk setiap titik lintas harus sama.
Durasi pengambilan contoh uji (menit) pada setiap titik lintas dis-
arankan berupa bilangan bulat atau bilangan bulat ditambah dengan
1,5 menit, untuk menghindari kesalahan perhitungan waktu;
▪ Untuk beberapa kasus, seperti siklus batch, pengambilan contoh uji
mungkin membutuhkan durasi yang lebih singkat pada titik lintas dan
membutuhkan volume contoh uji yang lebih sedikit. Pada kasus khusus
seperti ini, diperlukan persetujuan Administrator terlebih dahulu se-
belum membuat keputusan di lapangan.
3) Menyiapkan rangkaian pengambilan contoh uji dengan ketentuan sebagai
berikut:
▪ Menyusun rangkaian peralatan pengambilan contoh uji seperti pada
Gambar 3.13.1;
▪ Menempatkan 100 ml larutan HNO3/H2O2 pada masing-masing impinger
kedua dan ketiga seperti ditunjukkan pada Gambar 3.13.1;
▪ Menempatkan 100 ml larutan penjerap asam KMnO4 pada masing-mas-
ing impinger kelima dan keenam seperti ditunjukkan pada Gambar
3.13.1;
▪ Memindahkan 200 – 300 gram silica gel yang telah ditimbang dari kon-
tainernya ke impinger terakhir. Sebagai alternatif, silica gel juga da-
pat ditimbang langsung setelah berada di dalam impinger sesaat se-
belum perangkaian alat pengambilan contoh uji;
▪ Penggunaan impinger kosong sebagai impinger pertama dapat dia-
baikan apabila tingkat kelembaban yang akan terkumpul di dalam im-
pinger kurang dari 100 ml;
▪ Apabila tidak akan melakukan analisa Hg, penggunaan impinger keem-
pat, kelima, dan keenam tidak diperlukan;
▪ Untuk memastikan tidak ada kebocoran pada sambungan rangkaian
peralatan pengambilan contoh uji serta mencegah kemungkinan ter-
jadinya kontaminasi contoh uji, sebaiknya tidak menggunakan silicone
grease pada sambungan melainkan menggunakan selotip Teflon atau
material lain yang tidak mengkontaminasi contoh uji;
▪ Diperlukan kehati-hatian ekstra untuk mencegah kontaminasi di dalam
rangkaian peralatan pengambilan contoh uji. Larutan asam KMnO4
tidak boleh kontak dengan bagian apapun dari rangkaian peralatan
yang mengandung contoh uji untuk analisa Mn. Selain itu, tidak boleh
terjadi pencampuran antara larutan asam H2O2 dengan larutan asam
KMnO4.

Halaman 73 dari 126


4) Melakukan prosedur pemeriksaan kebocoran sebelum pengambilan contoh
uji. Pemeriksaan kebocoran sebelum pengambilan contoh uji tidak wajib,
tetapi direkomendasikan. Apabila pemeriksaan kebocoran sebelum pengam-
bilan contoh uji dilaksanakan, maka dapat mengikuti prosedur sebagai
berikut:
▪ Setelah peralatan pengambilan contoh uji selesai dirangkai, sumber
listrik dinyalakan kemudian mengatur filter dan sistem pemanas probe
pada temperature yang diperlukan, kemudian diberi waktu beberapa
saat hingga temperatur stabil;
▪ Apabila menggunakan ‘Viton A O-ring’ atau sambungan bebas keboco-
ran lainnya untuk merangkai probe nozzle dan probe liner, pemerik-
saan kebocoran terhadap rangkaian peralatan harus dilakukan pada
lokasi pengambilan contoh uji dengan cara menyumbat nozzle kemu-
dian menariknya dengan tekanan vakum sebesar 380 mm (15 in.) Hg;
▪ Apabila menggunakan sambungan tahan panas, tidak diperkenankan
untuk menghubungkan probe pada rangkaian peralatan pengambil con-
toh uji selama pemeriksaan kebocoran. Pemeriksaan kebocoran di-
lakukan dengan menyumbat inlet pada filter holder (cyclone, bila di-
gunakan) dan kemudian menariknya dengan tekanan vakum sebesar
380 mm (15 in.) Hg. Setelah itu, probe dapat dihubungkan ke rangka-
ian peralatan pengambil contoh uji dan kemudian melakukan pemerik-
saan kebocoran terhadap probe dengan tekanan vakum kurang lebih
25 mm (1 in.) Hg. Sebagai alternatif, pemeriksaan kebocoran terhadap
probe juga dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan kebocoran
rangkaian peralatan pengambilan contoh uji, yaitu dengan meman-
faatkan tekanan sisa dalam rangkaian peralatan pengambilan contoh
uji, yang diatur pada 380 mm (15 in.) Hg seperti telah diuraikan se-
belumnya. Tingkat kebocoran dapat ditoleransi apabila melebihi 4%
dari laju rata-rata pengambilan contoh uji atau 0,00057 m3/menit
(0,020 cfm), tergantung nilai yang lebih kecil;
▪ Pemeriksaan kebocoran untuk rangkaian peralatan pengambilan con-
toh uji dapat mengikuti langkah-langkah berikut: menyalakan pompa
dengan katup ‘bypass’ terbuka penuh dan katup pengaturan kasar ter-
tutup benar-benar tertutup. Kemudian, membuka katup pengaturan
kasar tertutup secara bertahap dan menutup katup ‘bypass’ secara
perlahan hingga mencapai tingkat vakum yang dibutuhkan. Tidak
diperkenankan untuk memutar balik arah katup ‘bypass’ karena dapat
menyebabkan air tergenang di dalam filter holder. Apabila pengaturan
katup melebihi tingkat vakum yang dibutuhkan, maka pemeriksaan
kebocoran dapat dilanjutkan pada tingkat vakum tersebut yang lebih
tinggi dari tingkat vakum yang dibutuhkan, atau menghentikan pe-
meriksaan kebocoran kemudian mengulanginya kembali.
▪ Apabila pemeriksaan kebocoran telah selesai, maka hal yang peratama
dilakukan adalah melepaskan sumbat dari inlet yang menuju probe,
filter holder, atau cyclone (bila digunakan), dan kemudian segera
mematikan pompa vakum. Prosedur ini mencegah air yang berada
dalam impinger terdorong ke belakang menuju filter holder dan silica
gel dan bukannya terperangkap di dalam impinger ketiga.

Halaman 74 dari 126


5) Melakukan prosedur pemeriksaan kebocoran selama pengambilan contoh uji
dengan ketentuan sebagai berikut: Apabila selama pengambilan contoh uji
berlangsung, terdapat suatu komponen (sebagai contoh rangkaian filter atau
impinger) yang berubah signifikan, maka pemeriksaan kebocoran perlu di-
lakukan segera sebelum perubahan komponen (tidak wajib). Pemeriksaan ke-
bocoran harus dilakukan dengan prosedur seperti yang telah dijelaskan pada
poin 4) di atas. Namun, untuk pemeriksaan kebocoran selama pengambilan
contoh uji, pemeriksaan dilakukan pada tingkat vakum sama dengan atau
lebih besar dari nilai maksimum yang tercatat selama pemeriksaan keboco-
ran. Apabila tingkat kebocoran tidak melebihi 0,00057 m3/menit (0,020 cfm)
atau 4% dari laju rata-rata pengambilan contoh uji (tergantung nilai yang
lebih kecil), maka kebocoran dapat ditoleransi dan tidak diperlukan koreksi
terhadap total volume gas kering yang tercatat. Namun, apabila diperoleh
tingkat kebocoran lebih tinggi dari nilai yang ditoleransi, volume contoh uji
perlu dikoreksi dengan nilai kebocoran, atau alternatif lainnya adalah tidak
menggunakan contoh uji pada tingkat kebocoran yang melebihi toleransi.
6) Melakukan prosedur pemeriksaan kebocoran setelah pengambilan contoh uji
(wajib dilakukan) dengan ketentuan sebagai berikut: pemeriksaan kebocoran
dilakukan seperti prosedur pada poin 4) di atas. Namun, untuk pemeriksaan
kebocoran setelah pengambilan contoh uji, pemeriksaan dilakukan pada
tingkat vakum sama dengan atau lebih besar dari nilai maksimum yang ter-
catat selama pemeriksaan kebocoran. Apabila tingkat kebocoran tidak
melebihi 0,00057 m3/menit (0,020 cfm) atau 4% dari laju rata-rata pengam-
bilan contoh uji (tergantung nilai yang lebih kecil), maka kebocoran dapat
ditoleransi dan tidak diperlukan koreksi terhadap total volume gas kering
yang tercatat. Namun, apabila diperoleh tingkat kebocoran lebih tinggi dari
nilai yang ditoleransi, volume contoh uji perlu dikoreksi dengan nilai keboco-
ran, atau alternatif lainnya adalah tidak menggunakan contoh uji pada
tingkat kebocoran yang melebihi toleransi.
7) Melakukan pengambilan contoh uji dengan ketentuan sebagai berikut:
▪ Mempertahankan laju isokinetik selama proses pengambilan contoh
uji (dalam toleransi 10% dari nilai isokinetik sesungguhnya) dan men-
jaga temperatur gas contoh uji yang melalui filter pada 120 ± 14 oC
(248 ± 25 oF) atau pada rentang temperatur lain yang disebutkan
dalam peraturan ini;
▪ Mencatat data-data yang dibutuhkan untuk setiap satu rangkaian
proses pengambilan contoh uji dalam Form 3.13.1 Mencatat pemba-
caan DGM pada awal dan setiap akhir penambahan waktu pengambi-
lan contoh uji, ketika terjadi perubahan laju alir, sebelum dan sesu-
dah pemeriksaan kebocoran, dan ketika pengambilan contoh uji di-
hentikan. Selain itu, perlu dilakukan pembacaan lainnya seprti ter-
cantum dalam Form 3.13.1, minimal satu kali pada setiap titik
pengambilan contoh uji selama setiap penambahan waktu dan
melakukan pembacaan tambahan ketika terdapat perubahan yang
signifikan (pembacaan ketika terjadi variasi head kecepatan sebesar
20%) sehingga memerkukan pengaturan tambahan untuk laju alir Se-
lama pengambilan contoh uji pada setiap titik lintas, manometer per-
lu diatur ke titik nol secara berkala sebab terdapat kemungkinan

Halaman 75 dari 126


batas pembacaan manometer menyimpang karena getaran dan pe-
rubahan temperatur;
▪ Membersihkan lubang pengambilan contoh uji sebelum melakukan
proses pengambilan contoh uji untuk meminimalisasi pengumpulan
partikulat yang terendapkan. Untuk memulai pengambilan contoh
uji, perlu dipastikan bahwa filter dan sistem pemanas probe telah
mencapai temperatur yang dibutuhkan, setelah itu tutup nozzle dap-
at dilepaskan dan kemudian memastikan pitot tube dan probe berada
pada posisi yang benar. Meletakkan nozzle pada titik lintas pertama
dengan ujung probe mengarah langsung pada aliran gas. Kemudian,
segera menyalakan pompa dan mengatur laju aliran pada kondisi
isokinetik. Untuk dapat melakukan pengaturan dengan cepat pada
kondisi laju alir isokinetik, maka dapat digunakan ‘Nomographs’ yang
dapat membantu pengaturan cepat tanpa membutuhkan perhitungan
yang rumit. ‘Nomographs’ dirancang untuk digunakan ketika koefisien
Pitot S (Cp) sebesar 0,85 ± 0,02, dan densitas ekivalen gas dalam cer-
obong (berat molekul kering, Md) sama dengan 29 ± 4. Apabila Cp dan
Md di memiliki nilai diluar rentang tersebut, maka tidak disarankan
menggunakan ‘Nomographs’ (lihat US EPA Method 5 untuk keterangan
lebih lanjut)
▪ Apabila temperatur berada dalam kondisi tekanan negatif, perlu
diperhatikan ketika menutup katup pengaturan kasar tertutup se-
belum memasukkan probe ke dalam cerobong untuk mencegah air
masuk ke dalam filter holder. Apabila diperlukan, pompa dapat
dinyalakan dengan posisi katup pengaturan kasar tertutup;
▪ Saat probe sudah berada dalam posisi yang benar, seluruh bukaan
sekitar probe dan lubang pengambilan contoh uji harus ditutup untuk
mencegah pengenceran aliran gas dalam cerobong;
▪ Melakukan pengambilan contoh uji untuk seluruh titik lintas. Perlu
diperhatikan bahwa probe nozzle tidak boleh mengenai dinding cer-
obong terutama ketika mengambil contoh uji pada titik lintas yang
dekat dengan dinding atau ketika memindahkan atau memasukkan
probe melalui lubang pengambilan contoh uji. Hal ini dilakukan untuk
meminimalisasi kemungkinan ekstraksi partikulat yang terdeposit
pada probe;
▪ Selama pengambilan contoh uji, diperlukan pengaturan secara
berkala untuk menjaga temperatur di sekitar filter holder berada
pada rentang yang disarankan untuk menjaga temperatur gas yang
keluar dari filter. Pengaturan dapat dilakukan dengan menambahkan
es, dan garam apabila diperlukan untuk menjaga temperatur konden-
sator atau outlet silica gel kurang dari 20 oC (68 oF). Selain itu, perlu
dilakukan juga pemeriksaan berkala terhadap manometer;
▪ Apabila kehilangan tekan yang melalui filter terlalu tinggi sehingga
kondisi isokinetic sulit untuk dipertahankan, maka filter dapat diganti
saat pengambilan contoh uji masih berlangsung. Penggantian filter
disarankan dilakukan untuk rangkaian filter lengkap, tidak hanya
mengganti filternya saja. Sebelum melakukan pemasangan rangkaian
filter baru, perlu dilakukan pemeriksaan kebocoran seperti pada poin

Halaman 76 dari 126


5). Berat total partikulat merupakan penjumlahan dari seluruh
rangkaian filter yang digunakan;
▪ Sebaiknya, menggunakan rangkaian peralatan pengambilan contoh uji
tunggal ketika melakukan pengukuran untuk satu saluran atau cer-
obong, kecuali untuk kasus ketika diperlukan pengambilan contoh uji
secara simultan dalam dua atau lebih cerobong atau saluran yang
terpisah, atau untuk kasus ketika rangkaian peralatan pengambilan
contoh uji mengalami kegagalan yang menyebabkan pelrunya peng-
gantian rangkaian alat. Selain pada kedua situasi tersebut, penggu-
naan dua atau lebih rangkaian peralatan pengambilan contoh uji
bergantung pada persetujuan administrator (lihat US EPA Method 5
untuk keterangan lebih lanjut);
▪ Pada akhir proses pengambilan contoh uji, menutup katup pengatu-
ran kasar, mengeluarkan probe dan nozzle dari cerobong, mematikan
pompa, mencatat pembacaan DGM akhir, dan melakukan pemeriksaan
kebocoran setelah pengambilan contoh uji seperti dijelaskan pada
poin 6). Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan kebocoran terhadap
pitot lines (lihat US EPA Method 2). Prosedur pemeriksaan kebocoran
pitot lines harus dipenuhi untuk validasi data head kecepatan;
▪ Temperatur di sekitar probe, filter (dan cyclone, apabila digunakan)
perlu dipertahankan antara 120 – 134 oC (248 – 273 oF) karena sangat
sulit untuk membersihkan gas asam dari komponen-komponen terse-
but. Substansi yang terdapat pada komponen-komponen tersebut
tidak akan diperoleh kembali sehingga pengumpulan gas asam dari
komponen tersebut berpotensi tidak terangkum dalam pelaporan
emisi. Untuk setiap pelaksanaan pengambilan contoh uji, data-data
perlu dicatat dalam Form 13-1 Apabila kondensat dalam impinger
terlalu penuh, maka dapat dikosongkan, dan kemudian diisi kembali
dengan 50 ml H2SO4 0,1 N selama pengambilan contoh uji berlang-
sung. Kondensat yang dikeluarkan dari impinger harus disimpan untuk
keperluan analisis dan volumenya dimasukkan ke dalam perhitungan
volume uap air. Selain itu, penambahan 50 ml reagen absorben harus
diikutsertakan dalam perhitungan kadar uap air. Dengan adanya
penggantian impinger, maka diperlukan pemeriksaan kebocoran
seperti tercantum pada poin 5) berikut;
8) Menghitung persen isokinetik menggunakan rumus berikut:
▪ Perhitungan dari data mentah:

[ 13,6 )]
(VmY)
Tm ( bar
∆H
100T5 K4Vlc + P +
I=
60Θv5P5 An
dimana:
K4 = 0,003454 ((mmHg(m3))/((ml)(oK))
▪ Perhitungan dari nilai menengah:
T5Vm(std) Pstd100
I=
Tstd v5θAn P560(1 − Bws)
T5Vm(std)
= K5
P5v5 Anθ(1 − Bws)

Halaman 77 dari 126


dimana:
K5 = 4,320 (untuk satuan metrik),

Nilai I yang dapat diterma adalah 90% ≤ I ≤ 110%. Apabila hasil partikulat re-
latif rendah dibandingkan dengan standar, dan nilai I lebih dari 110% atau ku-
rang dari 90%, maka Administrator dapat mempertimbangkan untuk meneri-
ma hasil analisis. Apabila nilai I tidak dapat diterima, maka hasil analisis di-
tolak dan perlu mengulangi proses pengambilan contoh uji.

Gambar 3-13
1 Rangkaian
peralatan
pengambilan
contoh uji
pengukuran
logam

Analisis

1) Melakukan perolehan kembali contoh uji dengan prosedur sebagai berikut:


▪ Melakukan prosedur pembersihan segera setelah probe dilepaskan dari
cerobong pada akhir periode pengambilan contoh uji. Setelah proses
pengambilan contoh uji selesai, probe harus didinginkan terlebih dahulu
sebelum memulai proses perolehan kembali contoh uji. Setelah itu,
menyeka seluruh permukaan bagian luar dari ujung nozzle probe kemudi-
an menempatkan tutup yang longgar pada ujung nozzle untuk mencegah
penambahan atau kehilangan partikulat. Tidak diperkenankan untuk men-
empatkan tutup yang terlalu rapat pada ujung nozzle ketika rangkaian
alat pengambil contoh uji masih dalam proses pendinginan karena dapat
menciptakan ruang hampa di dalam filter holder, sehingga menarik air
dari impinger menuju filter holder.
▪ Sebelum memindahkan rangkaian alat ke lokasi pembersihan, probe harus
dilepaskan dari rangkaian peralatan pengambilan contoh uji, kemudian
menyeka sisa silicone grease, dan menutup bukaan outlet rangkaian im-
pinger. Perlu diperhatikan agar tidak ada kondensat yang hilang. Selan-
jutnya, menyeka seluruh sisa silicone grease dan menutup inlet filter atau
cyclone. Setelah itu, melepaskan sambungan dari impinger terakhir dan
menempatkan tutup pada impinger tersebut. Apabila menggunakan sam-
bungan elastis antara impinger pertama dan filter holder, maka sambun-
gan tersebut harus dilepaskan dari filter holder dan membiarkan konden-

Halaman 78 dari 126


sat mengalir menuju impinger pertama. Menyeka seluruh silicone grease
dan menutup outlet filter holder serta inlet impinger. Untuk menyumbat
seluruh bukaan, dapat digunakan penutup yang tidak mengkontaminasi
seperti stopper kaca, tutup plastik, tutup serum, selotip Teflon, Parafilm,
atau aluminium foil.
▪ Sebagai alternatif, prosedur perolehan kembali contoh uji juga dapat di-
lakukan dengan melepaskan (membongkar) rangkaian peralatan pengam-
bilan contoh uji sebelum probe dan filter holder benar-benar dingin. Per-
tama-tama, melepaskan sambungan antara filter holder dengan inlet im-
pinger dan melonggarkan penutup bagian ujungnya. Selanjutnya, menu-
utp ujung probe dan melepaskan sambungan yang tersisa.
▪ Memindahkan probe dan rangkaian impinger – filter ke lokasi pembersi-
han. Lokasi pembersihan harus bersih dan terlindung dari cuaca untuk
meminimalisasi kontaminasi atau kehilangan contoh uji. Rangkaian alat
harus diperiksa sebelum dan selama pembongkaran dan mencatat bila
terdapat kondisi abnormal.
▪ Selanjutnya, untuk Kontainer No. 1 (filter contoh uji), contoh uji diper-
oleh kembali dengan prosedur sebagai berikut: Melepaskan filter dari fil-
ter holder dengan hati-hati, dan menempatkan filter di dalam cawan
petri yang telah diberi label. Ketika memindahkan filter, harus menggu-
nakan penjepit dan/atau sarung tangan steril yang bersih. Apabila filter
harus dilipat, maka permukaan yang terdapat partikulat harus berada di
dalam lipatan. Dengan menggunakan sikat bulu nilon kering dan/atau sisi
pisau yang tajam, sisa partikulat dan/atau serat filter yang menempel
pada gasket filter holder dipindahkan ke dalam cawan petri. Setelah itu,
cawan petri disegels
▪ Untuk Kontainer No. 2 (bilasan aseton), prosedur ini digunakan apabila
dilakukan analisa untuk emisi partikulat. Perolehan kembali contoh uji
dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: melakukan pemulihan
(recovery) contoh uji partkulat maupun kondensat dari nozzle probe,
sambungan probe, probe liner, dan filter holder dari bagian tengah ke
depan secara kuantitatif dengan mencuci komponen-komponen tersebut
dengan aseton, lalu menempatkan larutan bilasannya di dalam wadah
kaca. Air suling deionisasi dapat digunakan sebagai pengganti aseton keti-
ka disetujui oleh Administrator dan harus digunakan ketika ditentukan
oleh Administrator. Apabila menggunakan air suling deionisasi, maka
blanko air harus disimpan dan mengikuti arahan Administrator untuk anal-
isis.
▪ Melepaskan nozzle probe dengan hati-hati, kemudian membersihkan
bagian dalam permukan nozzle dengan membilasnya menggunakan aseton
dari botol pencuci dan menyikatnya menggunakan sikat bulu nilon. Nozzle
disikat hingga tidak terlihat adanya partikulat di dalam bilasan akhir den-
gan aseton
▪ Menyikat dan membilas dengan aseton bagian dalam sambungan probe
hingga tidak terlihat adanya partikulat dalam bilasan terakhir. Membilas
probe liner menggunakan aseton dengan memiringkan dan memutar
probe sementara menyemprotkan aseton ke ujung atasnya sehingga se-
mua permukaan bagian dalam basah oleh aseton. Selanjutnya, biarkan
seton mengalir dari ujung bawah menuju kontainer. Untuk membantu
memindahkan larutan bilasan ke kontainer, dapat menggunakan corong

Halaman 79 dari 126


yang terbuat dari kaca atau polietilen. Setelah selesai membilas dengan
aseton, dilanjutkan dengan menyikat probe liner. Probe dipegang dalam
posisi miring, kemudian menyemprotkan aseton ke ujung atas bersamaan
dengan mendorong dan memutar sikat ke dalam probe. Menyiapkan kon-
tainer di bagian ujung bawah probe untuk menampung aseton dan par-
tikulat dari probe. Proses menyikat probe dilakukan dapat 3 kali atau
lebih hingga tidak terlihat adanya partikulat yang terbawa dalam aseton.
Apabila menggunakan probe dari bahan stainless steel atau logam lain-
nya, proses penyikatan seperti prosedur di atas dilakukan setidaknya 6
kali karena probe yang terbuat logam memiliki celah-celah kecil yang da-
pat memerangkap partikulat. Selanjutnya, membilas sikat menggunakan
aseton, dan larutan bilasannya dikumpulkan di dalam kontainer contoh uji
secara kuantitatif. Setelah proses penyikatan selesai, melakukan pembi-
lasan terakhir terhadap probe menggunakan aseton.
▪ Proses pembersihan probe disarankan dilakukan oleh dua orang untuk
meminimalisasi kehilangan contoh uji. Diantara jeda proses pengambilan
contoh uji, sikat harus dijaga tetap bersih dan terlindung dari kontami-
nasi. Setelah memastikan seluruh sambungan dibersihkan dari silicone
grease, permukaan dalam filter holder dari bagian tengah ke depan
dibersihkan dengan menggosok permukaan menggunakan sikat bulu nilon
dan membilasnya dengan aseton. Setiap permukaan dibilas dengan aseton
sebanyak 3 kali atau lebih bila diperlukan untuk membersihkan partikulat
yang terlihat. Selanjutnya, melakukan pembilasan terakhir untuk sikat
dan filter holder. Membilas cyclone kaca secara hati-hati (apabila digu-
nakan). Setelah seluruh larutan bilasan dan partikulat terkumpul di dalam
kontainer, kencangkan penutup kontainer agar aseton tidak bocor selama
proses transportasi. Memberi label dan menandai tinggi cairan di dalam
kontainer untuk memastikan apakah terjadi kebocoran atau tidak selama
proses transportasi.
▪ Untuk Kontainer No. 3 (bilasan probe), contoh uji diperoleh kembali den-
gan prosedur sebagai berikut: Pertama-tama, menjaga rangkaian probe
tetap bersih dan terbebas dari kontaminasi selama proses pembilasan
probe. Membilas nozzle probe dan sambungannya, probe liner, serta
bagian tengah ke depan filter holder dengan larutan HNO3 0,1 N sebanyak
100 ml kemudian menempatkan larutan bilasan tersebut di dalam kon-
tainer penyimpanan contoh uji. Mencatat volume air yang digunakan un-
tuk membilas probe. Memberi tanda tinggi cairan di dalam container un-
tuk memastikan apakah terjadi kebocoran atau tidak selama proses
transportasi. Setelah itu, menyegel container dan memberi label/
keterangan pada container. Untuk terakhir kalinya, membilas nozzle,
probe liner, dan bagian tengah ke depan filter holder dengan air dan di-
ikuti dengan aseton, kemudian membuang larutan hasil bilasan tersebut.
Catatan: untuk prosedur koreksi blanko selanjutnya, maka dibutuhkan
penggunaan total volume larutan pembilas tepat 100 ml
▪ Untuk Kontainer No. 4 (perolehan contoh uji dari impinger 1 – 3), contoh
uji diperoleh kembali dengan prosedur sebagai berikut: larutan yang be-
rasal dari impinger 1 – 3 boleh ditempatkan pada lebih dari 1 kontainer
apabila diperlukan, karena terdapat kemungkinan bahwa jumlah larutan
tersebut cukup banyak. Mengukur volume larutan yang terdapat dalam

Halaman 80 dari 126


impinger 1 – 3 menggunakan gelas ukur, kemudian mencatat volumenya.
Informasi ini dibutuhkan untuk menghitung kadar air dalam emisi gas
buang. Membersihkan ketiga impinger tersebut, filter support, dan
bagian tengah ke belakang filter housing, serta sambungan peralatan
kaca, dengan membilasnya menggunakan larutan HNO3 0,1 N sebanyak
100 ml.
Catatan: untuk prosedur koreksi blanko selanjutnya, maka dibutuhkan
penggunaan total volume larutan pembilas HNO3 0,1 N tepat 100 ml.
Dengan demikian, larutan di dalam impinger dan larutan yang digunakan
untuk membilas digabungkan, kemudian mengukur dan mencatat volume
total larutan HNO3 0,1 N yang digunakan. Setelah itu, menandai tinggi
cairan di dalam container, menyegel container, dan memberi label pada
container.
▪ Kontainer No. 5A (HNO3 0,1 N): ketika dilakukan analisa untuk Hg, seluruh
cairan dari impinger (biasanya impinger No. 4) yang mendahului 2 buah
impinger berisi permanganat, dituangkan ke dalam gelas ukur dan kemu-
dian dicatat volumenya hingga ketelitian 0,5 ml. informasi ini diperlukan
untuk menghitung kadar air di dalam emisi gas buang. Setelah itu, laru-
tan tersebut ditempatkan di dalam Kontainer No. 5A. Membilas impinger
menggunakan larutan HNO3 0,1 N dengan volume tepat 100 ml dan ke-
mudian menempatkan larutan bilasan tersebut di dalam Kontainer No.
5A.
▪ Kontainer No. 5B (KMnO4/larutan penjerap H2SO4): Menuangkan seluruh
larutan yang terdapat di dalam 2 buah impinger berisi permanganat ke
dalam gelas ukur kemudian mencatat volumenya hingga ketelitian 0,5
ml. informasi ini diperlukan untuk menghitung kadar air di dalam emisi
gas buang. Setelah itu, menempatkan larutan asam KMnO4 ke dalam Kon-
tainer No. 5B. Membilas kedua impinger berisi permanganat serta sam-
bungannya dengan menggunakan larutan KMnO4 baru dengan total vol-
ume 100 ml sebanyak minimum 3 kali, sehingga kurang lebih dibutuhkan
33 ml KMnO4 untuk setiap proses pembilasan. Selanjutnya, menampung
larutan bilasan tersebut di dalam Kontainer No. 5B, juga perlu dipastikan
dengan teliti ketika memindahkan endapan dari kedua impinger terse-
but. Sama seperti sebelumnnya, membilas impinger permanganat serta
sambungannya menggunakan 100 ml air sebanyak minimum tiga kali, dan
menampung air bilasan tersebut di dalam Kontainer No. 5B, dan perlu
juga diperhatikan perpindahan endapan dari impinger ke kontainer. Se-
lanjutnya, memberi tanda tinggi cairan di dalam kontainer dan memberi
label pada kontainer.
Catatan: karena adanya potensi reaksi antara KMnO4 dengan asam, maka
akumulasi tekanan dapat terjadi di dalam botol penyimpanan. Dengan
demikian, tidak diperkenankan untuk mengisi botol penyimpanan hingga
benar-benar penuh dan melakukan tindakan pencegahan untuk mengu-
rangi tekanan berlebih di dalam botol. Salah satu cara yang dapat men-
gurangi tekanan tersebut adalah dengan melubangi (70 – 72) tutup kon-
tainer atau menggunakan Tefllon liner.
▪ Container No. 5C (larutan pembilas dan pengenceran HCl 8 N): Apabila
tidak terlihat adanya deposit setelah pembilasan menggunakan air, maka
tidak diperlukan pembilasan lebih lanjut. Namun demikian, apabila masih

Halaman 81 dari 126


terlihat adanya deposit pada permukaan impinger, maka impinger dibilas
menggunakan larutan HCl 8N sebanyak 25 ml, dan menempatkan larutan
hasil bilasan tersebut pada Kontainer No. 5C yang berisi 200 ml air. Per-
tama-tama, menempatkan 200 ml air ke dalam Kontainer No. 5C. Kemu-
dian, membilas dinding dan batang impinger menggunakan HCl dengan
memutar impinger pada sisinya sehingga seluruh permukaan bagian
dalam impinger berkontak dengan HCl. Membilas kedua impinger per-
manganat dengan menggunakan larutan HCl 8 N sebanyak 25 ml. membi-
las impinger permanganat pertama, kemudian menuangkan larutan hasil
bilasan tersebut ke impinger permanganat kedua untuk digunakan mem-
bilas impinger kedua. Terakhir, menuangkan 25 ml HCl 8 N larutan hasil
bilasan ke dalam Kontainer No. 5C. Memberi tanda tinggi cairan di dalam
kontainer untuk memperkirakan ada atau tidaknya kebocoran selama
transportasi.
▪ Kontainer No. 6 (silica gel): mengamati warna silica gel untuk menen-
tukan apakah silica gel telah jenuh atau tidak. Kemudian memindahkan
silica gel dari impinger keempat ke kontainer asalnya, dan menyegelnya.
Untuk memindahkan silica gel, dapat menggunakan corong agar lebih
mudah tanpa menumpahkannya. Selain itu, dapat juga menggunakan
spatula karet untuk membantu membersihkan silica gel dari impinger.
Apabila terlihat adanya debu atau partikulat yang menempel pada dind-
ing impinger, maka dapat dibersihkan tanpa menggunakan cairan, atau
apabila sulit untuk dibersihkan maka tidak diharuskan membersihkan se-
bagian kecil partikulat yang menempel. Tidak diperkenankan menggu-
nakan cairan apapun untuk membantu memindahkan silica gel dari im-
pinger ke kontainer sebab dapat mengganggu perhitungan kandungan
kadar air. Apabila terdapat neraca analitik di lapangan, maka berat silica
gel (atau silica gel dengan impinger) ditimbang dengan ketelitian hingga
0,5 gram.
▪ Kontainer No. 7 (blanko aseton): apabila dilakukan analisa terhadap emisi
partikulat, maka setidaknya satu kali setiap pengambilan contoh uji di
lapangan, perlu menempatkan 100 ml aseton yang digunakan dalam pros-
es perolehan kembali (recovery) contoh uji di dalam Kontainer dengan
label No. 7. Setelah itu, menyegel kontainer tersebut.
▪ Kontainer No. 8A (blanko larutan HNO3 0,1 N): menempatkan 300 ml laru-
tan HNO3 0,1 N yang digunakan dalam proses perolehan kembali (recov-
ery) contoh uji ke dalam Kontainer dengan label No. 8A, setidaknya satu
kali setiap pengambilan contoh uji di lapangan, kemudian menyegel kon-
tainer tersebut.
▪ Kontainer No. 8B (blanko air): kontainer No. 8B berisi 100 ml air yang di-
gunakan dalam proses perolehan kembali (recovery) contoh uji. Hal ini
dilakukan setidaknya satu kali setiap pengambilan contoh uji di lapangan.
Setelah itu, menyegel kontainer tersebut.
▪ Kontainer No. 9 (blanko larutan HNO3 5% atau blanko larutan H2O2 10%):
kontainer No. 9 ini berisi 200 ml blanko larutan HNO3 5% atau blanko
larutan H2O2 10% yang digunakan sebagai reagen dalam impinger asam
nitrat. Hal ini dilakukan setidaknya satu kali setiap pengambilan contoh
uji di lapangan. Setelah itu, menyegel kontainer tersebut.

Halaman 82 dari 126


▪ Kontainer No. 10 (blanko larutan asam KMnO4): menempatkan 100 ml
blanko larutan asam KMnO4 yang digunakan sebagai reagen dalam im-
pinger serta dalam proses perolehan contoh uji, kemudian diberi label
Kontainer No. 10. Hal ini dilakukan setidaknya satu kali setiap pengambi-
lan contoh uji di lapangan. Setelah itu, menyegel kontainer tersebut.
Catatan: untuk mencegah dekomposisi autokatalitik dari larutan perman-
ganat, maka larutan perlu disaring menggunakan kertas saring Whatman
541. Selain itu, karena adanya potensi reaksi antara KMnO4 dengan asam,
maka akumulasi tekanan dapat terjadi di dalam botol penyimpanan. Den-
gan demikian, tidak diperkenankan untuk mengisi botol penyimpanan
hingga benar-benar penuh dan melakukan tindakan pencegahan untuk
mengurangi tekanan berlebih di dalam botol. Salah satu cara yang dapat
mengurangi tekanan tersebut adalah dengan melubangi (70 – 72) tutup
kontainer atau menggunakan Tefllon liner.
▪ Kontainer No. 11 (blanko larutan HCl 8 N): menempatkan 200 ml air ke
dalam Kontainer dengan label No. 11. Kemudian, menambahkan 25 ml
larutan HCl 8 N sambil mengaduk dengan hati-hati agar tercampur sem-
purna. Hal ini dilakukan setidaknya satu kali setiap pengambilan contoh
uji di lapangan. Setelah itu, menyegel kontainer tersebut.
▪ Kontainer No. 12 (blanko filter contoh uji): menempatkan 3 buah filter
kosong yang tidak terpakai (dari tempat yang sama) ke dalam cawan
petri yang diberi label Kontainer No. 12. Hal ini dilakukan setidaknya satu
kali setiap pengambilan contoh uji di lapangan. Setelah itu, menyegel
kontainer tersebut.
2) Melakukan penyiapan contoh uji untuk analisa dengan langkah-langkah seba-
gai berikut:

3) Menghitung volume gas kering


Mengoreksi volume contoh uji yang terukur oleh dry gas meter pada kondisi
standar (20oC, 760 mmHg) menggunakan persamaan berikut:
∆H ∆H
Tstd (Pbar + 13,6
) Pbar + ( 13,6 )
Vm(std) = VmY = K1VmY
Tm × Pstd Tm
dimana:
K1 = 0,3858 oK/mmHg

Bila koreksi kebocoran terhadap volume sampel diperlukan dan telah disetujui oleh
penyelenggara pengujian, maka prosedur berikut dapat dilakukan. Persamaan di atas
dapat digunakan apabila laju kebocoran yang terjadi (Ll) tidak melebihi laju kebocoran
maksimum (La). Jika Lp atau Ll lebih besar dari La, persamaannya menjadi :
(a) Kasus I. Jika tidak ada penggantian komponen, ubah Vm menjadi :

[! Vm − (Lp − La ) ∙ ]
(b) Kasus II. Jika ada penggantian komponen, maka Vm berubah menjadi :
n

[ ]
! Vm − (Li − La) ∙l −
∑( i
L − La) ∙i − (Lp − La ) ∙p
i=2
Substitusi hanya jika Li atau Lp lebih besar dari La.

Halaman 83 dari 126


4) Menghitung volume kandungan uap air dan kadar air
Dengan menggunkan volume total kondensat yang terkumpul selama
pengambilan contoh uji, maka volume uap air (Vw(std)) dan kadar air dalam
cerobong (Bws) dapat dihitung menggunakan persamaan berikut:
∙w R Tstd
V
! w(std ) = Vlc = K2Vlc
Mw Pstd
dimana:
K2 = 0.001333 m3/ml
Vw(std)
Bws =
Vm(std) + Vw(std)
5) Menghitung kecepatan gas dalam cerobong
Menghitung kecepatan rata-rata gas dalam cerobong dengan menggunakan
persamaan berikut:
n
∑i=1 ∆ pi Ts(abavg)
vs = KpCp
n Ps Ms
dimana:

6) Menghitung batas deteksi dalam cerobong


Durasi pengambilan contoh uji selama satu jam akan menghasilkan volume
contoh gas dalam cerobogn sebanyak kurang lebih 1,25 m3. Apabila durasi
pengambilan contoh uji ditingkatkan menjadi 4 jam sehingga diperoleh vol-
ume contoh uji sebanyak 5 m3, maka batas deteksi metode dalam cerobong
akan meningkat sebanyak 4 kali lipat dibandingkan nilai-nilai yang ditun-
jukkan pada Tabel 3.13.1.

Halaman 84 dari 126


Tabel 3.13 1 Batas deteksi metode dalam cerobong (µg/m3) untuk bagian tengah-depan, belakang-depan, dan
keseluruhan rangkaian peralatan pengambilan contoh uji yang dianalisa menggunakan ICAP, GFAAS, dan CVAAS

Halaman 85 dari 126


14.Metoda Pengujian Kadar Dioxin – Furan dalam Emisi Sumber
Tidak Bergerak Menggunakan Gas Kromatografi – Spektrofotome-
ter (GC/MS)

Acuan Normatif
US EPA Method 23 – Determination of Polychlorinated Dibenzo-p-dioxins and Poly-
chlorinated Dibenzofurans from Municipal Waste Combustors

Ruang Lingkup
Metode ini dapat digunakan untuk menentukan emisi dioksin dan furan (PCDD dan
PCDF) dari sumber tidak bergerak

Persiapan
1) Menyiapkan filter yang terbuat dari bahan fiber glass tanpa pengikat organik,
yang memiliki efisiensi setidaknya 99,95% (penetrasi kurang dari 0,05%) un-
tuk partikel asap dioctyl phthalate berukuran 0,3 mikron
2) Menyiapkan resin adsorben jenis Amberlite XAD-2
Adsorbent trap harus dimuat pada daerah yang bersih untuk menghindari
kontaminasi. Adsorbent trap tidak boleh dimuat di lapangan. Adsorbent trap
diisi dengan 20 hingga 40 gr XAD-2. Setelah XAD-2 dimasukkan, masukkan
glass wool dan tutup erat pada kedua ujung trap. Tambahkan 100:1 larutan
surrogate standar pada setiap trap.
3) Menyiapkan silica gel
Silica gel disiapkan dengan menimbang beberapa bagian seberat 0,5 gr dari
200 hingga 300 gr silica gel di dalam wadah kedap udara. Kemudian untuk
setiap wadah, dicatat berat total silica gel dan wadah. Sebagai alternatif,
silica gel dapat ditimbang langsung di dalam impinger atau sampling holder
sesaat sebelum pengambilan contoh uji.
4) Menyiapkan aseton (kualitas pestisida)
5) Menyiapkan larutan metilen klorida (kualitas pestisida)
6) Menyiapkan larutan toluen (kualitas pestisida)

Keseluruhan detail langkah kerja untuk mempersiapkan bahan-bahan di atas da-


pat dilihat pada US EPA Method 23.

Halaman 86 dari 126


Gambar 3.14.1 Konfigurasi rangkaian peralatan pengambilan contoh uji dioksin & furan

Gambar 3.14.1 menunjukkan skema rangkaian peralatan sampling untuk penguku-


ran PCDD dan PCDF dari sumber tidak bergerak. Dalam merangkai peralatan sam-
pling, tidak diperkenankan untuk menggunakan pelumas (grease) untuk menyegel
sambungan pada rangkaian. Rangkaian peralatan sampling identik dengan Bagian
2.1 pada Method 5 dengan beberapa tambahan sebagai berikut.
▪ Nozzle: Nozzle yang digunakan harus terbuat dari nickel, nickel yang dilapisi
dengan stainless steel, quartz atau borosilicate glass.
▪ Sample Transfer Lines: Sample transfer lines, bila diperlukan, harus dapat
mempertahankan panas, terbuat dari dinding TFE yang kuat (½ in. OD den-
gan dinding 1/8 in.), dengan sambungan yang tidak menimbulkan kebocoran,
serta sambungan diperkuat dengan cara divakum tanpa mempergunakan
pelumas (grease) pada setiap sambungan. Sample transfer lines diusahakan
sependek mungkin dan suhu dipertahankan pada 120°C.
▪ Filter Support: Filter support harus terbuat dari bahan Teflon atau kawat
yang dilapisi Teflon.
▪ Condenser: Condenser harus terbuat dari kaca jenis coil dengan sambungan
yang kompatibel. Diagram skematik untuk condenser dapat dilihat pada
Gambar 3-14-2.
▪ Water Bath: Water bath dikontrol panasnya untuk mempertahankan temper-
atur gas yang keluar dari condenser sebesar 20oC (68oF).

Halaman 87 dari 126


▪ Adsorbent Module: Adsorbent module merupakan wadah yang terbuat dari
kaca yang berisi padatan adorben. Diagram skematik untuk adsorbent module
juga dapat dilihat pada Gambar 2. Konfigurasi fisik lain dari rangkaian resin
trap/condenser juga diperbolehkan. Sambungan harus bebas dari kebocoran
dan disegel dengan cara divacuum. Tidak diperbolehkan menggunakan
pelumas (grease) untuk menyegel sambungan pada rangkaian peralatan sam-
pling. Sorbent trap yang terbuat dari glass frit atau Teflon juga dipasangkan
untuk menahan adsorben.

Gambar 3.14.2 Konfigurasi kondensor dan modul sorben untuk pengambilan contoh uji dioksin & furan.

Pengambilan Contoh Uji


Tahapan pengambilan contoh uji untuk penentuan dioksin – furan dari emisi sumber
tidak bergerak adalah sebagai berikut.
1. Melakukan penentuan parameter pra-pengambilan contoh uji sebagai
berikut.
a) mengatur kecepatan sampling isokinetik dengan tahapan sebagai
berikut:
▪ menentukan titik pengambilan contoh uji (Lampiran II)
▪ menentukan tekanan statis, temperatur, dan rentang tekanan ke-
cepatan (ΔPs) cerobong (Lampiran III.1)
▪ menentukan kadar air gas pada cerobong (Lampiran III.3)
▪ menentukan konsentrasi gas O2 dan CO2 pada cerobong (Lampiran
III.2)

Halaman 88 dari 126


▪ menentukan berat molekul kering
b) menentukan ukuran nozzle berdasarkan rentang tekanan kecepatan
c) menentukan durasi pengambilan contoh uji dengan ketentuan sebagai
berikut:
▪ Mencari volume minimum contoh uji gas yang dibutuhkan
▪ Membandingkan laju pengambilan contoh uji rata-rata yang diperki-
rakan dengan volume yang diperlukan
▪ Durasi pengambilan contoh uji yang diperlukan harus sama pada se-
tiap titik lintas
▪ Nilai durasi berupa bilangan bulat atau bilangan bulat + 1,5 menit

▪ Total waktu sampling ≥ minimum total waktu sampling untuk men-


capai DL
▪ Waktu sampling tiap titik > 2 menit (tergantung lembaga)
▪ Volume sampe yang dikoreksi thd kondisi standar > volume sampel
total gas minimum yang diperlukan

2. Merangkai peralatan pengambilan contoh uji seperti pada Gambar 3-14-1.


Selama persiapan dan pemasangan rangkaian alat sampling, biarkan mulut
atau lubang pada alat terbuka sehingga kontaminan dapat masuk. Rangkaian
alat sampling disegel jika sampling hampir dimulai.
3. Menempatkan kurang lebih 100 mL air pada impinger kedua dan ketiga,
membiarkan impinger pertama dan keempat kosong, dan memindahkan ku-
rang lebih 200 hingga 300 gr silica gel yang telah ditimbang dari wadah ke
dalam impinger ke-5. Kontainer silica gel harus ditempatkan di tempat yang
bersih untuk digunakan pada saat perolehan contoh uji. Sebagai alternatif,
berat silica gel ditambah dengan impinger ke-5 dapat diperkirakan
mendekati 0,5 gr dan dicatat.
4. Menyalakan adsorbent module dan pompa resirkulasi condenser coil dan mu-
lai melakukan pemantauan temperatur gas yang masuk ke adsorbent module.
Memastikan temperatur gas yang masuk ke sorbent sudah sesuai sebelum
tindakan lain dan proses pengambilan contoh uji dimulai. Temperatur adsor-
bent resin XAD-2 tidak boleh melebihi 50oC karena dapat menyebabkan
dekomposisi termal. Selama pemeriksaan, temperatur XAD-2 tidak boleh
lebih dari 20oC untuk mempertahankan efisiensi penangkapan PCDD dan
PCDF.
5. Melakukan pemeriksaan kebocoran dengan tahapan sebagai berikut: menutup
katup utama pada kotak meteran, memasukkan satu-lubang karet stopper
dengan pipa karet yang terpasang ke lubang knalpot pipa. Melepaskan venti-
lasi sisi rendah lubang manometer dan menutup keran sisi lubang rendah.
Memberi tekanan pada sistem sebesar 13 – 18 cm (5 – 7 inci) kolom air den-
gan meniup ke dalam pipa karet. Memaatikan sistem tabung dan mengamati
manometer selama satu menit. Sebuah kehilangan tekanan pada manometer
menunjukkan kebocoran dalam kotak meteran dan jika ada kebocoran harus
dikoreksi.

Halaman 89 dari 126


6. Melakukan pengambilan contoh uji. Selama melakukan pengambilan contoh
uji, laju isokinetik harus dijaga berada dalam toleransi 10 persen dari
isokinetik sebenarnya (kecuali ditentukan oleh Administrator) dan suhu di
sekitar filter harus dijaga 120 ± 14 0C (248 ± 25  0  F), atau suhu lain seperti
ditentukan oleh sub bagian peraturan ini atau disetujui oleh Administrator.
7. Melakukan prosedur perolehan kembali (recovery) contoh uji dengan tahapan
sebagai berikut:
▪ Prosedur pembersihan yang tepat dimulai sesegera mungkin saat probe
dilepaskan dari cerobong saat periode pengambilan contoh uji berakhir.
Ujung nozzle dari sampling probe kemudian diesgel menggunakan
selotip Teflon atau alumunium foil.
▪ Ketika probe telah didinginkan, menyeka seluruh partikulat yang berada
di bagian luar dekat ujung probe. Melepaskan probe dari rangkaian alat
dan tutup kedua ujung probe dengan alumunium foil. Selanjutnya,
menyegel inlet yang menuju ke rangkaian alat dengan selotip Teflon,
tutup kaca, atau alumunium foil.
▪ Setelah itu, memindahkan probe dan rangkaian impinger ke daerah
pembersihan. Daerah ini harus bersih dan tertutup sehingga kemungki-
nan sampel hilang atau terkontaminasi dapat diminimalisasi. Pengas-
apan tidak diperbolehkan di dalam daerah pembersihan karena dapat
mengkontaminasi sampel.
▪ Sebelum dan selama pembongkaran, rangkaian alat perlu diperiksa dan
dicatat apabila terdapat kondisi abnormal seperti kerusakan filter, war-
na cairan dalam impinger, dan sebagainya.
▪ Untuk kontainer No.1 yang berisi filter dari filter holder: filter harus
dikeluarkan dengan hati-hati. Gunakan pinset dan/atau sarung tangan
untuk memindahkan filter. Jika filter harus dilipat, bagian yang ditem-
peli partikulat harus berada di dalam lipatan. Gunakan sikat untuk me-
mindahkan partikulat dari yang tercecer dari filter ke cawan petri. Ke-
mudian tutup kontainer.
▪ Untuk adsorben module: melepaskan module dari rangkaian alat
pengambilan contoh uji, menutup rapat pada kedua ujungnya, memberi
keterangan, dan menyimpan di dalam es selama perjalanan ke laborato-
rium.
▪ Untuk kontainer No. 2: partikulat yang mengendap di dalam nozzle,
probe transfer lines, front half filter holder, dan cyclone (jika digu-
nakan) akan ikut dianalisa sebagai sampel. Partikulat tersebut diambil
dengan cara dibersihkan dengan kuas kemudian dicuci dengan aseton
sebanyak 3 kali dan dilanjutkan dengan mencuci dengan metilen klorida
sebanyak 3 kali. Seluruh bilasan kemudian dikumpulkan di dalam Kon-
tainer No. 2.
▪ Mencuci back half dari filter holder dengan aseton. Line penghubung
antara filter dan kondensor juga dicuci dengan aseton sebanyak 3 kali.
Merendam line penghubung dalam 3 bagian larutan metilen klorida se-
lama 5 menit untuk masing-masing bagian. Jika menggunakan kondensor
terpisah dan adsorbent trap, kondensor dicuci dengan prosedur seperti
pencucian line penghubung. Mengumpulkan seluruh bilasan di dalam
kontainer No. 2 dan mencatat volume cairan di dalam kontainer.

Halaman 90 dari 126


▪ Untuk kontainer No. 3: mengulangi pencucian menggunakan metilen
klorida dan menggunakan toluen sebagai pelarut untuk mencuci. Sete-
lah itu, mengumpulkan bilasan di dalam kontainer No. 3 dan mencatat
volume cairan di dalam kontainer.
▪ Mengukur cairan di dalam keempat impinger pertama ke dalam 1 mL
dengan menggunakan gelas ukur atau dengan menimbang ke dalam 0,5
gr menggunakan neraca. Mencatat volume atau berat cairan yang baru.
Informasi ini dibutuhkan untuk menghitung kadar air dari gas efluen.
Membuang cairan setelah diukur dan mencatat volume atau beratnya.
▪ Mencatat warna dari silica gel untuk mendapatkan gambaran kondisi
silica gel dan menentukan apakah silica gel telah benar-benar jenuh
atau tidak. Memindahkan silica gel dari impinger ke-5 ke dalam kon-
tainer awal dan menyegelnya.
Analisis
Tahapan analisa untuk menentukan kadar dioksin dan furan dalam emisi sumber
tidak bergerak dapat dilakukan sebagai berikut:
1) Untuk sistem ekstraksi: menempatkan 1 gr silica gel di dalam extraction
thimble dan menyumbatnya dengan glass wool ke dalam Soxhlet, menam-
bahkan toluen dan mereflux selama minimum 3 jam. Setelah itu, meny-
isihkan toluen dan membuangnya, namun tetap menyisakan silica gel. Meny-
isihkan extraction thimble dari sistem esktraksi dan menempatkan extrac-
tion thimble di dalam beaker glass untuk menampung bilasan pelarut.
2) Untuk container No. 1: memindahkan isi kontainer (fiiter) secara langsung ke
glass thimble dari sistem ekstraksi dan mengekstraksinya secara simultan
dengan resin XAD-2.
3) Untuk adsorbent cartridge: menyiimpan adsorbent module secara langsung
di atas extraction thimble di dalam beaker. Glass frit dari module harus be-
rada di posisi bagian atas. Dengan menggunakan botol squeeze Teflon yang
berisi toluen, membilas XAD-2 ke dalam thimble di atas bed silica gel yang
telah dibersihkan. Bilas glass module secara seksama kemudian bilasan dita-
mpung di dalam beaker glass yang berisi thimble. Jika resin dalam keadaan
basah, ekstraksi yang efektif dapat dilakukan dengan melonggarkan kemasan
resin di dalam thimble. Setelah itu, menambahkan sumbat XAD-2 glass wool
pada thimble.
4) Untuk kontainer No. 2 (berisi aseton and metilen klorida): pekatkan sampel
hingga volumenya menjadi sekitar 1 – 2 mL dengan menggunakan peralatan
rotary evaporator pada temperatur kurang dari 37oC. Bilas wadah sampel se-
banyak 3 kali menggunakan sedikit metilen klorida dan menambahkan bilasan
ini ke dalam larutan konsentrat dan pekatkan lebih lanjut hingga hampir
mengering. Residu ini mengandung partikulat yang berasal dari bilasan sam-
pling train probe dan nozzle. Menambahkan konsentrat ini pada filter dan
resin XAD-2 di dalam soxhlet.
5) Proses ekstraksi: menambahkan larutan standar internal sebanyak 100:1 ke
dalam extraction thimble yang mengandung isi dari adsorbent cartridge, isi
dari Kontainer No. 1, dan konsentrat dari Bagian 5.1.4. Menutup isi dari ex-
traction thimble dengan sumbat glass wool yang telah dibersihkan untuk
mencegah resin XAD-2 mengambang di dalam penampung pelarut dari ek-
straktor. Menempatkan thimble di dalam ekstraktor, kemudian tambahkan
toluen yang terdapat di dalam beaker glass pada penampung pelarut. Men-

Halaman 91 dari 126


uang toluen tambahan untuk memenuhi penampung sampai kurang lebih 2/3
terisi. Menambahkan Teflon boiling chips dan rangkai peralatan. Mengatur
umber panas agar ekstraktor berputar sebanyak 3 kali per jam. Kemudian ek-
straksi selama 16 jam. Setelah ekstraksi, biarkan soxhlet menjadi dingin.
Pindahkan ekstrak toluen dan 3 x 10 mL bilasan pada rotary evaporator.
Pekatkan ekstrak hingga volumenya kurang lebih menjadi 10 mL. Dalam hal
ini, analis berhak memilih untuk membagi sampel menjadi 2 bagian atau
tidak. Jika dibagi menjadi 2 bagian, 1 bagian disimpan untuk digunakan ke-
mudian, dan analisa dilakukan untuk 1 bagian yang lain. Dalam kasus lain,
dapat digunakan nitrogen evaporative concentrator untuk mereduksi volume
sampel yang dianalisa hingga hampir mongering. Setelah itu, residu di-
larutkan di dalam 5 mL heksana.
6) Untuk kontainer No. 3 (Toluene Rinse): menambahkan larutan standar inter-
nal sebanyak 100:1 ke dalam isi kontainer. Pekatkan sampel hingga volu-
menya menjadi sekitar 1-5 mL menggunakan menggunakan peralatan rotary
evaporator pada temperatur kurang dari 37oC. Bilas wadah sampel sebanyak
3 kali menggunakan sedikit toluene dan tambahkan bilasan ini ke dalam laru-
tan konsentrat dan pekatkan lebih lanjut hingga hampir mengering. Analisa
ekstrak secara terpisah, namun proses pemekatan larutan sebaiknya di-
lakukan menggunakan rotary evaporator dibandingkan nitrogen evaporative
concentrator.
7) Sampel dianalisa menggunakan gas kromatografi yang dirangkai dengan spec-
trometer massa (GC/MS) yang sesuai dengan spesifikasi peralatan pada US
EPA Method 23 Bagian 5.3.1 dan Bagian 5.3.2. Segera sebelum analisis, tam-
bahkan larutan standar recovery sesuai petunjuk US EPA Method 23 Bagian
Table 1 untuk setiap sampel dengan perbandingan 20:1. Ekstrak dengan per-
bandingan 2:1 diinjeksikan ke dalam GC. Ekstrak sampel dianalisa terlebih
dahulu menggunakan DB-5 capillary column untuk menentukan konsentrasi
setiap isomer PCDD dan PCDF (tetra- hingga octa-). Bila tetra-chlorinated
dibenzofurans terdeteksi pada analisa ini, perlu dikakukan analisa lain pada
sampel secara terpisah dengan menggunakan DB-225 column untuk mengukur
isomer 2,3,7,8 tetra-chloro dibenzofuran. Sistem kolom lain yang dapat dise-
diakan oleh pengguna dapat digunakan asal melalui kalibrasi dan pemerik-
saan kinerja sehingga sistem kolom dapat memenuhi spesifikasi seperti yang
tercantum pada US EPA Method 23 Bagian 6.1.2.2.
8) Daerah puncak dari 2 ion yang dimonitor untuk setiap analit dijumlahkan un-
tuk menghasilkan total respons untuk setiap analit. Setiap standar internal
digunakan untuk mengkuantifikasi sumber PCDD atau PCDF dalam rangkauan
homolognya. Sebagai contoh, 13C12-2,3,7,8-tetra chlorinated dibenzodioxin
digunakan untuk menghitung konsentrasi dari seluruh isomer tetra chlorinat-
ed. Recovery dari standar internal tetra- dan penta- dihitung menggunakan
13C12-1,2,3,4-TCDD. Recovery dari standar internal hexa- hingga octa- dihi-

tung menggunakan 13C12-1,2,3,7,8,9-HxCDD. Recovery dari standar surrogate


dihitung menggunakan homolog yang sesuai dari standar internal.
9) Massa setiap isomer dijumlahkan mulai dari fraksi rangkaian bagian depan
hingga fraksi rangkaian bagian belakang untuk memperoleh massa pada total
rangkaian sebelum perhitungan lebih lanjut. Jika massa isomer yang terdapat
pada suatu fraksi dapat terukur, sedangkan massa isomer pada fraksi berikut-
nya di bawah batas deteksi, strategi berikut dapat direkomendasikan, namun

Halaman 92 dari 126


hal ini bergantung pada peraturan yang dikeluarkan pihak yang berwenang.
Massa isomer yang tidak terdeteksi dihitung sebagai nol jika batas deteksi
kurang dari 10% dari total massa isomer yang terdeteksi dari fraksi lain. Bila
batas deteksi pada fraksi kedua lebih besar dari 10% dari massa isomer yang
terdeteksi pada fraksi pertama, massa isomer total kemudian dilaporkan
lebih besar dibandingkan massa isomer yang terdeteksi tetapi kurang dari
massa isomer yang terdeteksi ditambah dengan batas deteksi fraksi kedua.
10)Bagian berikut menjelaskan perhitungan yang digunakan untuk menentukan
konsentrasi gas dan emisi isomer PCDD dan PCDF. Perhitungan toxic equiva-
lent tidak termasuk di dalam metode ini. Setiap rangkaian perhitungan harus
diulang atau diperiksa pada setiap titik, sebagai bagian dari quality control.
Perhitungan harus dilakukan untuk setidaknya 1 tambahan desimal dari data
yang diperoleh dan harus dibukatkan setelah perhitungan akhir menjadi 2
digit signifikan untuk setiap running atau sampel. Seluruh pembulatan angka
harus dilakukan sesuai prosedur ASTM 380-76.
11)Menghitung volume gas kering.
Volume sampel yang diukur dikorekso menggunakan dry gas meter (DGM) un-
tuk kondisi standar (20oC dan 760 mmHg) menggunakan persamaan berikut.
∙H ∙H
Tstd (Pbar + 13.6
) Pbar + ( 13.6 )
Vm(std) = VmY = K1VmY
Tm × Pstd Tm
dimana:
K1 = 0.3858 oK/mmHg
Bila koreksi kebocoran terhadap volume sampel diperlukan dan telah disetujui
oleh penyelenggara pengujian, maka prosedur berikut dapat dilakukan. Per-
samaan di atas dapat digunakan apabila laju kebocoran yang terjadi (Ll) tidak
melebihi laju kebocoran maksimum (La). Jika Lp atau Ll lebih besar dari La, per-
samaannya menjadi :
(c) Kasus I. Jika tidak ada penggantian komponen, ubah Vm menjadi :

[! Vm − (Lp − La ) ∙ ]
(d) Kasus II. Jika ada penggantian komponen, maka Vm berubah menjadi :
n

[ ]
! Vm − (Li − La) ∙l −
∑( i
L − La) ∙i − (Lp − La ) ∙p
i=2
Substitusi hanya jika Li atau Lp lebih besar dari La.

12)Menghitung volume uap air


∙w R Tstd
! w(std ) = Vlc
V = K2Vlc
Mw Pstd
dimana:
K2 = 0.001333 m3/ml

13) Menghitung kadar air dalam cerobong


Vw(std )
! ws =
B
Vm(std) + Vw(std )

Halaman 93 dari 126


Untuk kondisi gas jenuh atau yang mengandung butiran air, perlu dilakukan dua kali
perhitungan moisture content untuk gas pada cerobong, perhitungan satu berasal dari
analisis impinger, dan perhitungan kedua berasal dari asumsi pada kondisi jenuh. Nilai
yang dianggap benar adalah nilai Bws terendah. Prosedur penentuan moisture content
untuk asumsi pada kondisi jenuh tercantum pada “Catatan” di dalam Method 4 Section
1. Untuk tujuan pada metode ini, digunakan temperatur gas rata-rata pada cerobong,
asalkan akurasi sensor temperatur dalam cerobong ± 2oC.
14)Menghitung tekanan gas absolut pada cerobong
Pstatis
Ps = Pbar +
13,6
15)Menghitung berat molekul rata-rata dari gas kering pada cerobong
Kering:

( )
Md =  (0,32  ×  %O2)  ×  (0,44  ×  %CO2) +   0,28  ×  (100 −  (%O2  + %CO1))
Basah:
Ms = Md  ×  (1 − Bws) +  (Bws  ×  Mw)
16)Menghitung kecepatan gas dalam cerobong pada kondisi cerobong
Ts +  Tstd
vs = Kp  ×  Cp  ×   ∆ P  ×  
Ps  ×  Ms
17)Menghitung laju aliran gas rata-rata pada cerobong (konsisi standar, kering)
Tstd  ×  Ps 60 detik
Qsd = vs  ×  As (1 − Bws)  ×    × 
Ts  ×  Pstd 1 menit
18)Menghitung konsentrasi polutan
Mi
Ci =
Vm (std)
19)Menghitung emisi polutan
Ci  ×  Qsd
Ei =
(60 menit )(1  ×  10   )
detik μg
6
6
20)Menghitung tingkat isokinetik sampel
1039,5746  ×  vm (std)  ×  (Ts + 460)
%I =
vs  ×  θ  ×  Ps  ×  (1 − Bws)  ×  (Dn)
2

21)Menghitung rerata Faktor Respons Relatif


1 n Acij  ×  m*ci
n∑
R RFi =
A*   ×  mci
i=1 cij
22)Menghitung konsentrasi PCDD dan PCDF
m*
i   ×  Ai
Ci =
A*
i   ×  R RFi  ×  Vm (std)
23)Menghitung faktor Respons Standar Recovery
A*
ci  ×  mrs
R RFrs =
Ars  ×  m*
ci

Halaman 94 dari 126


24)Menghitung Recovery Standar Internal (R*)
A*
i   ×  mrs
R* =   ×  100%
Ars  ×  RFrs  ×  m*
i
25)Menghitung faktor Respons Senyawa Surrogate
A*
ci  ×  msi
R RFs =
Acsi  ×  m*
ci
26)Menghitung recovery Senyawa Surrogate (Rs)
Asi  ×  m*
i
Rs =
A*
i   ×  R RFs  ×  ms

27)Menghitung Batas Minimum Deteksi (Detection Limit, DL)


Asi  ×  m*
i
Rs =   ×  100%
A*
i   ×  R RFs  ×  ms

Dimana:
An = luas daerah cross-section nozzle m2 (ft2).
As = luas daerah cross-section cerobong m2 (ft2).
Bws = kandungan uap air dalam aliran gas, fraksi volume.
Ci = konsentrasi polutan i di dalam sampel, pg/m3, µg/dscm (lb/dscf).
Ei = laju emisi polutan i, gr/detik (lb/jam).
DN = diameter nozzle, mm (in.).
I = persentase isokinetic sampling.
Mw = berat molekul air, 18,0 gr/gr-mol (18,0 lb/lb-mol).
Md = berat molekul gas pada cerobong dalam kondisi kering, gr/gr-mol (lb/
lb-mol).
Ms = berat molekul gas pada cerobong dalam kondisi basah, gr/gr-mol (lb/
lb-mol).
mi = massa polutan i yang dikumpulkan oleh sampling train, µg (lb).
Pbar = tekanan barometrik pada lokasi sampling, mmHg (in.Hg).
Pstatic = tekanan statis gas pada cerobong, mmH2O (in.H2O).
Ps = tekanan absolut gas pada cerobong, mmHg (in.Hg).
Pstd = tekanan absolut standar, 760 mmHg (29,92 in.Hg).
Qsd = laju volumetrik rata-rata gas pada cerobong, kondisi standar, kering,
dscmm (dscfm).
R = tetapan gas ideal, 0,062636 [(mmHg) (m3)] / [(oK) (gr-mol)] {21,85
[(in.Hg) (ft3)] / [(oR) (lb-mol)]}.
Tm = temperature absolut rata-rata DGM, oK (oR).
Ts = temperature absolut rata-rata gas pada cerobong, oK (oR).
Tstd = temperature absolut standar, 293oK (528oR).
Vlc = total volume cairan yang dikumpulkan dari impingers dan silica gel
(mL).
Vm = volume sampel gas yang terukur DGM, dcm (dcf).

Halaman 95 dari 126


Vm (std) = volume sampem gas yang terukur DGM, dengan koreksi terhadap kon-
disi standar, dscm (dscf).
Vw (std) = volume uap air dalam sampel gas, dikoreksi terhadap kondisi standar
(mL).
vs = keceptan gas dalam cerobong, dihitung menggunakan Method 2 Per-
samaan 2.9 dengan menggunakan data yang diperoleh dari Method 5,
m/detik (ft/detik).
Y = factor kalibrasi DGM.
ΔP = perbedaan tekanan rata-rata dari 2 pitot tube, mmH2O (in. H2O).
ΔH = perbedaan tekanan rata-rata dari orifice meter, mmH2O (in. H2O).
ρW = densitas air, 0,9982 gr/mL (0,002201 lb/ml).
θ = total waktu sampling, menit.
Kp =
13,6 = specific gravity untuk merkuri.
Aai = arus ion terintegrasi dari suara pada waktu retensi analit.
A* = arus ion terintegrasi dari karakteristik 2 ion pada standar internal i
ci
pada standar kalibrasi.
Acij = arus ion terintegrasi dari karakteristik 2 ion pada senyawa i pada stan-
dar kalibrasi ke-j.
A*cij = arus ion terintegrasi dari karakteristik 2 ion pada standar internal i
pada standar kalibrasi ke-j.
Acsi = arus ion terintegrasi dari karakteristik 2 ion pada senyawa surrogate i
pada standar kalibrasi.
Ai = arus ion terintegrasi dari karakteristik 2 ion pada senyawa i pada sam-
pel.
A*i = arus ion terintegrasi dari karakteristik 2 ion pada standar internal I
pada sampel.
Ars = arus ion terintegrasi dari karakteristik 2 ion pada standar recovery.
Asi = arus ion terintegrasi dari karakteristik 2 ion dari senyawa surrogate i
pada sampel.
CT = jumlah konsentrasi dari PCDD atau PCDF di dalam sampel (pg/m3).
mci = massa senyawa I di dalam standar kalibrasi yang diinjeksikan pada ana-
lyzer (pg).
m* = massa senyawa yang sudah diketahui i di dalam standar kalibrasi yang
ci
diinjeksikan pada analyzer (pg).
m*i = massa standar internal i yang ditambahkan pada sampel (pg).
mrs = massa standar recovery di dalam standar kalibrasi yang diinjeksikan
pada analyzer (pg).
ms = massa senyawa surrogate di dalam sampel yang akan dianalisa (pg).
msi = massa senyawa surrogate i di dalam standar kalibrasi (pg).
RRFi = faktor respons relatif untuk senyawa i.
RRFrs = faktor respons standar untuk recovery.
RRFs = faktor respons untuk senyawa surrogate.
Vm(std) = Volume dari sampel yang diperiksa (dry standard cubic meter, dscm).

Halaman 96 dari 126


Halaman 97 dari 126
Bagian IIIC
Pemantauan Emisi Menggunakan Sistem Menerus (CEMS) dan Prediktif
(PEMS)

Acuan Normatif
BS EN 15259:2007 - Requirements for measurement sections and sites and for the
measurement objective plan and report
EN 15267 - Certification of automated measurement systems
EN 14181 - Quality assurance of automated measuring systems

Pengukuran secara terus menerus merupakan sistem pemantauan kontinu yang me-
manfaatkan sensor sebagai alat pengukuran. Dalam banyak aplikasi, hasil penguku-
ran dengan metode ini perlu dibandingkan dengan hasil pemantauan berkala meng-
gunakan metode referensi standar. Metode pengukuran secara terus menerus bias
menggunakan dua pendekatan, yaitu:
1) CEMS (Continuous Emission Monitoring System) : Sistem pemantauan kontinu
pada lokasi cerobong sebagai pengganti system pemantauan emisi secara
manual
2) PEMS (Predictive Emission Monitoring System) : Sistem pemantauan kontinu
pada lokasi engine atau unit proses tertentu yang kemudian menggunakan
skema perhitungan atau model tertentu untuk memperkirakan besarnya emisi
dari engine atau proses yang tersebut.

CEMS maupun PEMS yang dipasang secara permanen biasanya dibatasi hanya untuk
mengambil contoh uji dari satu titik atau sepanjang garis tunggal pandangan mata.
Titik-titik pengambilan contoh uji ini harus diposisikan sehingga diperoleh contoh
uji yang representative terhadap keseluruhan kinerja proses atau titik pantau
emisi. Prosedur lengkap penentuan titik pengambilan contoh uji yang representatif
dapat dilihat pada BS EN 15259 Bagian 8 dan EA MID untuk EN 15259.

Di Indonesia, terdapat beberapa jenis industri yang wajib memiliki dan melakukan
pemantauan kualitas udara secara kontinu dengan metode CEMS namun belum
diatur secara khusus untuk PEMS, diantaranya adalah sebagai berikut.
1) Industri Pertambangan
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2015, Indus-
tri Pertambangan yang memiliki kapasitas pembangkit listrik lebih besar atau
sama dengan 25 MW atau memiliki kandungan sulfur lebih besar atau sama
dengan 2% serta beroperasi terus menerus, wajib melakukan pemantauan
kualitas udara secara kontinu
2) Industri Besi-Baja, Industri Semen, Industri Pulp-Paper, Industri Pembangkit
Listrik Tenaga Uap (PLTU)
Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 1995
3) Industri Pembangkit Listrik Termal
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 21 Tahun 2008
4) Industri Minyak dan Gas Bumi
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2009

Halaman 98 dari 126


Contoh Tabulasi Data Pemantauan CEMS Per Jam
Sumber Emisi :
Parameter :
Bulan :

N a m a :
Perusahaan

A l a m a t :
Kegiatan
Kabupaten/ :
Kota

Provinsi :
No. Telp/Fax :

Email :
C o n t a c t :
Person

% CEMS
beroperasi
sebulan

Tanggal Ket
Jam
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 … 31

00.00-01.00                                    

01.00-02.00                                    
02.00-03.00                                    

03.00-04.00                                    
04.00-05.00                                    

05.00-06.00                                    
06.00-07.00                                    

07.00-08.00                                    
08.00-09.00                                    

09.00-10.00                                    
10.00-11.00                                    

11.00-12.00                                    
12.00-13.00                                    

13.00-14.00                                    
14.00-15.00                                    

15.00-16.00                                    

Halaman 99 dari 126


Tanggal Ket
Jam
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 … 31

16.00-17.00                                    

17.00-18.00                                    
18.00-19.00                                    

19.00-20.00                                    
20.00-21.00                                    

21.00-22.00                                    
22.00-23.00                                    

23.00-24.00                                    
Total

Konsentrasi
Rata-Rata
(mg/Nm3)
Max

Min
W a k t u
C E M S
beroperasi
(jam)

.................................... 20 ...
Penanggung Jawab Kegiatan,

( ............................................. )

Halaman 100 dari 126


Bagian IIID
Penyajian Laporan Hasil Uji Pemantauan Emisi

Acuan Normatif
BS EN 15259:2007 - Requirements for measurement sections and sites and for the mea-
surement objective plan and report

Ketentuan laporan pemantauan


Laporan pemantauan emisi setidaknya harus mencakup hal-hal sebagai berikut.
1) Executive summary yang memberikan gambaran umum proses dan hasil pengukuran
yang meliputi:
▪ Nama petugas/operator
▪ Alamat pelaku usaha dan/atau kegiatan
▪ Tujuan pengukuran
▪ Jenis polutan yang diukur
▪ Waktu sampling (tanggal, bulan, dan tahun)
▪ Ketidakpastian pengukuran
▪ Metode pengukuran yang digunakan
▪ Deviasi dari rencana pengukuran
▪ Hasil pengukuran yang dinyatakan dalam satuan SI pada kondisi yang diten-
tukan
2) Definisi pekerjaan dengan menguraikan spesifikasi tujuan pengukuran
3) Deskripsi industri dan bahan baku yang digunakan
4) Identifikasi lokasi pengukuran
5) Identifikasi metode dan peralatan pengukuran berdasarkan standar/peraturan yang
berlaku
6) Kondisi operasional mesin selama pengukuran, termasuk alat pengendalian pence-
maran udara
7) Referensi untuk mengakses data orisinal untuk keperluan verifikasi
8) Hasil pengukuran dan data lain yang terkait untuk kepentingan interpretasi hasil
pengukuran
9) Prosedur perhitungan
10) Penyajian hasil pengukuran
11) Sertifikat spesifikasi teknis alat yang digunakan dan kalibrasi alat tersebut.

Halaman 101 dari 126


Contoh Format Laporan Pengukuran Emisi
Contoh format ini bersifat informatif dan terdiri atas poin-poin yang dapat digunakan untuk
mempersiapkan laporan pengukuran emisi. Teks dalam huruf miring dalam contoh format
laporan pengukuran emisi hanya digunakan sebagai penjelasan dan tidak perlu dicantumka
dalam laporan pengukuran emisi.

Laporan Pengukuran Emisi


Nama laboratorium penguji : ………………………………………………………………………………
No. Laporan : ……………… Tanggal: …………………………………………………
Nama Perusahaan : ………………………………………………………………………………
Lokasi : ………………………………………………………………………………
Jenis Pengukuran : ………………………………………………………………………………
No. Pemesanan : ………………………………………………………………………………
Tanggal Pemesanan : ………………………………………………………………………………
Hari Pengukuran : ………………………………………………………………………………
Isi laporan : ……………… halaman
……………… lampiran
Tujuan : ………………………………………………………………………………

Executive Summary
Plant : ………………………………………………………………………………
Durasi pengoperasian : ………………………………………………………………………………
Sumber Emisi yang diukur : ………………………………………………………………………………
Kapasitas Sumber Emisi : ………………………………………………satuan meyesuaikan)
Parameter yang diukur : ………………………………………………………………………………
Debit Aliran (m3/jam) : ………………………………………………………………………………
Elevasi output cerobong (m) : ………………………………………………………………………………
Elevasi titik sampling (m) : ………………………………………………………………………………
Diameter efektif cerobong (m): ………………………………………………………………………………

Halaman 102 dari 126


Tabulasi Hasil Pengukuran

Nama Perusahaan :

Alamat Kegiatan :

Kabupaten/ Kota :

Provinsi :

No. Telp/Fax :

Email :

Contact Person :

IDENTITAS SUMBER EMISI

Nama Sumber Emisi Kapasitas Produksi (ton/hari)

Produksi yang dihasilkan (ton)

Nama/Kode Cerobong Waktu operasional (Jam)

Temperatur Flow rate gas (m3/det)

Dimensi Cerobong (m) Sarana Pengambilan Contoh


Diameter : a. Tangga ( )
Panjang : b. Lubang sampling ( )
Lebar : c. Pagar Pengaman ( )
Tinggi : d. Platform/ Lantai Kerja ( )
Posisi lubang contoh (m) e. Sumber Listrik ( )

Tanggal Sampling : Laboratorium Penguji:

HASIL PEMANTAUAN

Konsentrasi Laju Alir Beban


Metoda Baku
No Parameter Gas (m3/ Emisi (kg/
Terukur *1 Terkoreksi *2 Analisis Mutu
det) ton)

1. Partikulat

2. SO2

3. NOX

Note Tambahan Faktor Oksidasi

Halaman 103 dari 126


Bagian IV
Tata Cara Pemantauan Udara Ambien

Bagian IVA
Penentuan Titik Pantau Udara Ambien
1. Acuan Normatif
SNI 19-7119.6-2005 Udara ambien – Bagian 6: Penentuan lokasi pengambilan contoh uji
pemantauan kualitas udara ambien
2. Ruang Lingkup

1) Pemilihan lokasi pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara ambien


2) Penempatan peralatan pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara ambien
periodik dan kontinu
3) Pemantauan kondisi meteorologis
3. Pemilihan lokasi
Lokasi pemantauan kualitas udara ambien ditetapkan dengan mempertimbangkan:
a) Faktor meteorologi (arah dan kecepatan angin);
b) Faktor geografi (topografi); dan
c) Tata guna lahan.

Berikut merupakan kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan lokasi pemantauan
kualitas udara ambien.
a) Area dengan konsentrasi pencemar tinggi. Daerah yang didahulukan untuk dipantau
hendaknya daerah-daerah dengan konsentrasi pencemar yang tinggi. Satu atau lebih
stasiun pemantau mungkin dibutuhkan di sekitar daerah yang emisinya besar.
b) Area dengan kepadatan penduduk tinggi. Daerah-daerah dengan kepadatan pen-
duduk yang tinggi, terutama ketika terjadi pencemaran yang berat.
c) Di daerah sekitar lokasi penelitian yang diperuntukkan untuk kawasan studi maka
stasiun pengambilan contoh uji perlu ditempatkan di sekeliling daerah/kawasan.
d) Di daerah proyeksi. Untuk menentukan efek akibat perkembangan mendatang dil-
ingkungannya, stasiun perlu juga ditempatkan di daerah-daerah yang diproyeksikan.
e) Mewakili seluruh wilayah studi. Informasi kualitas udara di seluruh wilayah studi
harus diperoleh agar kualitas udara diseluruh wilayah dapat dipantau (dievaluasi).

Adapun ketentuan dalam menentukan lokasi pengambilan contoh uji untuk kualitas
udara ambien antara lain sebagai berikut.
a) Menghindari tempat yang dapat merubah konsentrasi akibat adanya absorpsi, atau
adsorpsi (seperti dekat dengan gedung-gedung atau pohon-pohonan).
b) Menghindari tempat dimana pengganggu kimia terhadap bahan pencemar yang akan
diukur dapat terjadi: emisi dari kendaraan bermotor yang dapat mengotori pada
saat mengukur ozon, amoniak dari pabrik refrigerant yang dapat mengotori pada
saat mengukur gas- gas asam
c) Menghindari tempat dimana pengganggu fisika dapat menghasilkan suatu hasil yang
mengganggu pada saat mengukur debu (partikulat matter) tidak boleh dekat den-
gan incinerator baik domestik maupun komersial, gangguan listrik terhadap perala-
tan pengambilan contoh uji dari jaringan listrik tegangan tinggi
d) Meletakkan peralatan di daerah dengan gedung/bangunan yang rendah dan saling
berjauhan.
e) Apabila pemantauan bersifat kontinu, maka pemilihan lokasi harus mempertim-
bangkan perubahan kondisi peruntukan pada masa datang.

CATATAN: Perubahan tata guna lahan dapat menyebabkan lokasi pengambilan contoh uji
untuk kualitas udara ambien menjadi tidak representatif. Titik pengambilan contoh uji

Halaman 104 dari 126


kualitas udara ambien dapat dipindahkan dengan berdasarkan hasil studi/kajian. Pe-
rubahan titik pengambilan contoh uji untuk kualitas udara ambien selanjutnya harus
dicantumkan dalam RKL/RPL

Area Pemukiman

Industri

Lokasi Monitoring
1 Downwind (spesifik)

2 Upwind

Laut

CATATAN Pada arah angin dominan, lokasi pemantauan kualitas udara ambien minimum dua lokasi
(1 di lokasi upwind dan 1 di lokasi downwind) dengan mengutamakan daerah pemukiman atau tempat-
tempat spesifik. Sedangkan pada arah angin lainnya minimum satu titik dengan kriteria penetapan
lokasi seperti pada Gambar 1.1. Data arah angin dapat menggunakan data sekunder dari stasiun me-
teorologis terdekat atau data pengukuran langsung di lapangan. Sedangkan jarak lokasi pemantauan
dari industri ditentukan berdasarkan hasil model simulasi, pengamatan lapangan, pengukuran sesaat
dan membuat isopleth nya.

Gambar 1.1 Skema penentuan lokasi pemantauan kualitas udara ambien

Halaman 105 dari 126


Bagian IVB
Penentuan Parameter Ukur untuk Pemantauan Udara Ambien Khusus

Bagian ini belum diatur secara khusus namun masih akan mengacu pada PP 41 1999 yang
masih berlaku atau berdasarkan kriteria khusus yang ada dalam dokumen lingkungan yang
sudah ditetapkan. 


Halaman 106 dari 126


Bagian IVC
Pemantauan Udara Ambien Menggunakan Sistem Menerus (AQMS)

Kriteria ini sama aturannya dengan menggunakan acuan normatif pada bagian CEMS terma-
suk pada ketentuan validasi, kalibrasi, pelaporan dan QA/QC procedure.


Halaman 107 dari 126


Bagian IVD
Penyajian Laporan Hasil Uji Pemantauan Udara Ambien

Penyajian laporan udara ambien akan mengikuti kriteria Laboratorium Uji dan Laboratori-
um Lingkungan yang ditetapkan dalam SNI. Saat ini masih menggunakan SNI/ISO IEC 17025
tentang Laboratorium yang Terakreditasi.
Acuan Normatif
BS EN 15259:2007 - Requirements for measurement sections and sites and for the mea-
surement objective plan and report

Ketentuan laporan pemantauan


Laporan pemantauan emisi setidaknya harus mencakup hal-hal sebagai berikut.
1) Executive summary yang memberikan gambaran umum proses dan hasil pengukuran
yang meliputi:
▪ Nama petugas/operator
▪ Alamat pelaku usaha dan/atau kegiatan
▪ Tujuan pengukuran
▪ Jenis polutan yang diukur
▪ Waktu sampling (tanggal, bulan, dan tahun)
▪ Ketidakpastian pengukuran
▪ Metode pengukuran yang digunakan
▪ Deviasi dari rencana pengukuran
▪ Hasil pengukuran yang dinyatakan dalam satuan SI pada kondisi yang diten-
tukan
2) Definisi pekerjaan dengan menguraikan spesifikasi tujuan pengukuran
3) Deskripsi industri dan bahan baku yang digunakan
4) Identifikasi lokasi pengukuran
5) Identifikasi metode dan peralatan pengukuran berdasarkan standar/peraturan yang
berlaku
6) Kondisi operasional mesin selama pengukuran, termasuk alat pengendalian pence-
maran udara
7) Referensi untuk mengakses data orisinal untuk keperluan verifikasi
8) Hasil pengukuran dan data lain yang terkait untuk kepentingan interpretasi hasil
pengukuran
9) Prosedur perhitungan
10) Penyajian hasil pengukuran
11) Sertifikat spesifikasi teknis alat yang digunakan dan kalibrasi alat tersebut.

Halaman 108 dari 126


Bagian V
Jenis-jenis Alat Pengendali Pencemaran Udara

Prinsip kerja alat pengendali pencemaran meliputi:


a. Menyaring
b. Menghisap /Menangkap (Adsorbsi)
c. Menyerap ( Absorbsi)
d. Mengendapkan/Grafitasi
e. Merubah Ujud Dari Gas Ke Cairan
f. Membakar

Penerapan teknologi pengendalian yang tepat sebagai berikut:


a) Pengendali kering: settling chamber, cyclone, inertia separator, electrostatik dan fabric
filter
b) Pengendali basah: wet scrubber, spray tower, venturi scrubber, impingement plate
scrubber, dynamic centrifugal dan scrubber.
c) Sedangkan untuk pengendali gas dapat digunakan: alat pengendali berupa combustion
(pembakaran), absorpsi, adsorpsi serta kondensasi

Pengendalian pencemaran udara secara garis besar meliputi pengendalian partiku-


lat dan pengendalian gas. Terdapat beberapa peralatan yang secara spesifik dapat
mengurangi emisi dari partikulat dan gas, dimana mekanisme pengendaliannya untuk
partikulat secara umum dilakukan secara fisik (penyaringan, perbedaan medan mag-
net, penangkapan dan lain-lain) dan untuk gas secara umum dengan cara kimiawi
(pelarutan, penyerapan, dan lain-lain).

Pemilihan peralatan pengendalian pencemaran udara, ditentukan berdasarkan faktor -


faktor sebagai berikut:
• jenis proses produksi yang akan dikendalikan.
• beban dan konsentrasi outlet yang diprrlukan.
• kelembaban inflow
• temperatur inflow
• jenis partikel/debu yang akan dikumpulkan.
• konsentrasi debu pada inflow.
• Volume rate inflow.

Unit pengendalian pencemaran udara dari emisi cerobong dapat diklasifikasikan menjadi 2
jenis, yaitu unit pengendalian untuk gas dan unit pengendalian untuk partikulat. Di bawah
ini merupakan beberapa jenis teknologi pengendalian emisi. Untuk setiap jenis teknologi,
diperlukan informasi yang berbeda untuk keperluan interpretasi hasil pengukuran emisi se-
bagai berikut.

Halaman 109 dari 126


Teknologi Pengendalian Gas (BS EN 15259)
1) Adsorber
Kelebihan Kekurangan
Produk dapat di-recovery Recovery produk membutuhkan
peralatan distilasi yang mahal
Sistemnya dapat dijalankan secara Kapasitas adsorpsi yang terbatas
otomatis sehingga sering terjadi kerusakan
adsorben
Mampu menyisihkan zat pencemar Regenerasi adsorben memerlukan
konsentrasi rendah steam atau vacuum
Biaya investasi yang cukup tinggi

Pemasangan filter diperlukan untuk


menyisihkan partikulat sehingga tidak
terjadi penyumbatan pada adsorben
2)

Untuk keperluan interpretasi hasil pengukuran emisi dari cerobong yang menggu-
nakan adsorber sebagai alat pengendalian pencemaran udara, maka sebaiknya dapat
diperoleh informasi terkait adsorber sebagai berikut: Pemroduksi, tahun produksi,
penyalur/ukuran partikel/jenis adsorber, tinggi bed pada adsorber, bidang pada ad-
sorber, frekuensi desorpsi, jenis desorpsi, laju hisap kipas, perbedaan tekanan an-
tara gas masuk/gas keluar, periode perawatan, waktu perawatan terakhir

Gambar 4-1 Contoh Aplikasi adsorber

Halaman 110 dari 126


Halaman 111 dari 126
2) Absorber
Kelebihan Kekurangan
Efisiensi penyisihan yang tinggi Sulit untuk memperoleh gas murni
(biasanya lebih dari satu jenis gas akan
terserap pada waktu bersamaan)
Biaya pembangunan yang relatif rendah Menghasilkan limbah cair
Luas area yang dibutuhkan tidak besar Membutuhkan proses regenerasi untuk
memisahkan absorben dan absorbatnya
Kehilangan tekanan relatif kecil Biaya pemeliharaan relatif tinggi
3)

Counter Current Packed Tower Bubble Cap Tray Scrubber

Gambar 4- 2 Contoh peralatan pengendalian pencemaran udara dengan mekanisme absorpsi (Sumber: APTI 415,
1999)

Halaman 112 dari 126


3) Kondenser
Kelebihan Kekurangan
Dapat diperoleh produk recovery yang Efisiensi penyisihan gas pencemar
murni (kondenser permukaan) relatif rendah
Air yang digunakan sebagai pendingin Pendingin selain air dapat berharga
tidak dikontakkan langsung dengan gas sangat mahal
pencemar sehingga dapat digunakan
kembali (condenser permukaan)
Membutuhkan temperaturr rendah
sehingga satu tahap pendinginan tidak
mencukupi
Membutuhkan proses pencairan
(defrosting)
Biaya operasional relatif tinggi
4)

Spray Condenser Single Pass Condenser

Gambar 4- 3 Contoh kondenser: (a) yang kontak langsung dengan sumber dan (b) kondensser permukaan (Sum-
ber: APTI 415, 1999)

Halaman 113 dari 126


4) Thermal combustion units
Thermal combustion unit merujuk pada direct flame incinerator, thermal oxidizer,
atau afterburner, yang merupakan suatu unit pengendalian pencemaran udara den-
gan teknologi oksidasi termal. Teknologi ini umumnya dimanfaatkan untuk mende-
struksi senyawa organik volatil (VOC) yang terkandung di dalam gas buang. Bebera-
pa jenis partikulat (PM), terutama soot (partikulat yang terbentuk sebagai akibat
dari pembakaran tidak sempurna senyawa hidrokarbon, coke, atau residu karbon),
juga dapat terdestruksi pada tingkat tertentu menggunakan teknologi thermal oxi-
dation. Beberapa kelebihan dan kekurangan thermal combustion unit telah di-
rangkum sebagai berikut.

Kelebihan Kekurangan
Kemampuan untuk memusnahkan B i a y a o p e r a s i o n a l r e l a t i f t i n g g i
senyawa organik volatil (VOC) dalam (kebutuhan bahan bakar tambahan)
gas, dengan kemungkinan tingkat
efisiensi 99,9999%
Pilhan terbaik untuk kebutuhan Tidak cocok untuk aliran gas dengan
efisiensi yang tinggi dan emisi gas laju aliran yang tinggi
diatas 20% LEL
Ti d a k d i r e k o m e n d a s i k a n u n t u k
mengendalikan emisi gas yang
mengandung halogen atau sulfur

Untuk keperluan interpretasi hasil pengukuran emisi dari cerobong yang menggu-
nakan thermal combustion unit sebagai alat pengendalian pencemaran udara, baik
yang dilengkapi dengan heat exchanger ataupun tidak, maka sebaiknya dapat diper-
oleh informasi terkait alat tersebut sebagai berikut: pemroduksi unit afterburner,
tahun produksi, jenis pembakar, jenis bahan bakar tambahan, jumlah bahan bakar
yang melalui unit pembakaran, temperatur ruang pembakaran, waktu tinggal pada
ruang pembakaran, laju hisap kipas, periode perawatan, waktu perawatan terakhir.

Halaman 114 dari 126


Thermal Oxidizer Flare

Gambar 4- 4 Contoh thermal combustion unit (Sumber: APTI 415, 1999)

5) Catalytic combustion unit


Pemroduksi, tahun produksi, jenis pembakar, jenis bahan bakar, jumlah bahan bakar yang
melalui unit pembakaran, jenis katalis, waktu operasional katalis, temperatur ruang pem-
bakaran, waktu tinggal rata-rata, laju hisap kipas, periode perawatan, waktu perawatan
terakhir

Gambar 4- 5 Contoh catalytic combustion unit

Halaman 115 dari 126


Halaman 116 dari 126
Teknologi Pengendalian Partikulat (BS EN 15259)
1) Electrostatic Precipitator (ESP)
Electrostatic Precipitator (EP) merupakan peralatan pengendalian pencemaran
udara untuk partikel yang bekerja berdasarkan medan listrik yang terjadi sebagai
akibat dari perbedaan muatan listrik. Beberapa kelebihan dan kekurangan ESP
telah dirangkum sebagai berikut.

Kelebihan Kekurangan
Biaya operasional rendah (kecuali pada B i a y a m o d a l t i n g g i ( a l a t d a n
tingkat efisiensi sangat tinggi) pemasangan)
Efisiensi sangat tinggi, bahkan untuk Membutuhkan ruang yang luas
partikulat berukuran kecil (sub-micron)
Kemampuan untuk menangani laju alir Tidak dapat dipindahkan setelah
gas yang tinggi dengan kehilangan pemasangan
tekanan yang rendah
K e m a m p u a n u n t u k m e n a n g k a p Tidak dapat digunakan untuk partikulat
partikulat kering maupun basah dengan tahanan listrik (electrical
resistivity) yang tinggi
Dapat beradaptasi untuk suatu kondisi
yang ekstrim seperti temperatur yang
berfluktuasi secara ekstrim.
Perawatan yang relatif mudah, dimana
perawatan internal dapat dilakukan
pada saat pabrik sedang tidak
beroperasi (shut-down) sedangkan
perawatan eksternal dapat dilakukan
secara tidak teratur tetapi dalam
frekuensi yang relatif rendah.

Untuk keperluan interpretasi hasil pengukuran emisi dari cerobong yang menggu-
nakan ESP sebagai alat pengendalian pencemaran udara, maka sebaiknya dapat
diperoleh informasi terkait ESP sebagai berikut: pemroduksi; tahun produksi; jumlah
zona pengumpul; luas presipitasi efektif; waktu tinggal pada zona elektris; jenis
pembersih debu (basah/mekanis); pendingin di bagian hilir (ada/tidak ada); injeksi
air di bagian hilir presipitator; aliran melalui presipitator; laju hisap kipas; periode
perawatan; serta waktu perawatan terakhir.

Halaman 117 dari 126


!

Gambar 4-6 Contoh Electrostatic Precipitator (ESP)

2) Cyclone
Cyclone merupakan peralatan penangkap debu yang bekerja berdasarkan gaya sen-
trifugal dimana udara yang masuk secara tangensial, menyebabkan material diger-
akkan ke arah luar dari kerucut dan dikeluarkan melalui hopper, sedangkan udara
bersih akan dikeluarkan melalui bagian atas dari cyclone. Kadang-kadang cyclone
dipasang untuk pengendalian awal debu pada boiler penyimpan panas dan boiler
limbah kayu untuk mengurangi beban ke precipitator. Rata-rata efisiensi cyclone
adalah 65% untuk diameter partikel 40 micron. Beberapa kelebihan dan kekurangan
cyclone telah dirangkum sebagai berikut.

Kelebihan Kekurangan
Biaya pembelian alat dan pemasangan Efisiensi pengumpulan relatif rendah
relatif rendah (terutama untuk partikulat berukuran
kecil)
Kemampuan untuk beroperasi dalam Hanya dapat menangkap partikulat
temperatur tinggi kering (tidak dapat bekerja dengan baik
untuk mist)
Kebutuhan pemeliharaan rendah Biaya pemeliharaan relatif tinggi
(ketiadaan bagian peralatan yang dapat (disebabkan oleh kehilangan tekanan)
bergerak)

Untuk keperluan interpretasi hasil pengukuran emisi dari cerobong yang menggu-
nakan cyclone sebagai alat pengendalian pencemaran udara, maka sebaiknya dapat
diperoleh informasi terkait cyclone sebagai berikut: Pemroduksi, model, tahun pro-
duksi, jumlah cyclone tunggal, susunan cyclone (paralel/seri), diameter cyclone,
laju hisap kipas, perbedaan tekanan antara gas masuk/gas keluar, aliran volumetrik
gas, periode perawatan, waktu perawatan terakhir

Halaman 118 dari 126


Gambar 4- 7 Contoh multi-cyclone berdiameter kecil

Halaman 119 dari 126


3) Gravity settling chamber

Kelebihan Kekurangan
Desain alat sederhana Ukurannya besar, perlu lahan yang luas
Mudah untuk dibuat konstruksinya Harus dibersihkan secara manual dalam
interval waktu tertentu
Pemeliharaan yang mudah dan biaya Hanya dapat menyisihkan partikel
pemeliharaan sangat rendah berukuran besar

Gambar 4- 8 Contoh gravity settling chamber

Halaman 120 dari 126


4) Wet Scrubber

Kelebihan Kekurangan
Netralisasi partikel korosif dan yang Menimbulkan masalah pencemaran air
mudah terbakar
Dapat menurunkan emisi yang suhunya Produk dikumpulkan dalam kondisi
tinggi serta memungkinkan untuk basah
menggabungkan dengan penyisihan gas
Kebutuhan lahan relatif tidak luas Masalah korosi lebih sering timbul
daripada menggunakan sistem kering
Kehilagan tekanan dan energi yang
dibutuhkan tinggi
Kebutuhan biaya pemeliharaan relatif
tinggi

Untuk keperluan interpretasi hasil pengukuran emisi dari cerobong yang menggunakan cy-
clone sebagai alat pengendalian pencemaran udara, maka sebaiknya dapat diperoleh in-
formasi terkait cyclone sebagai berikut: jumlah cairan scrubbing baru yang ditambahkan;
frekuensi penggantian cairan scrubbing; pH; tahap 1; tahap 2; temperatur cairan scrubbing
pada reservoir; waktu penggantian terakhis cairan scrubbing pada tangki; jenis downstream
droplet precipitator; laju hisap kipas; periode perawatan; waktu perawatan terakhir.

Gambar 4- 9 Contoh Ventury Wet Scrubber


Halaman 121 dari 126


5) Fabric Filtration/Baghouse Filter
Fabric filtration merupakan teknologi yang diakui untuk memisahkan partikulat ker-
ing dari aliran gas, terutama dari udara atau gas pembakaran. Pada fabric filtra-
tion, aliran gas yang mengandung partikulat mengalir melewati sejumlah filter bags
yang disusun secara parallel, sehingga partikulat tertahan di dalam bags. Beberapa
kelebihan dan kekurangan baghouse filter telah dirangkum sebagai berikut.

Kelebihan Kekurangan
Memiliki efisiensi yang sangat tinggi, Membutuhkan ruang yang luas
bahkan untuk partikulat dengan ukuran
yang sangat kecil
Kemampuan beroperasi untuk berbagai Kemungkinan kerusakan akibat panas
jenis debu dari temperatur gas atau kandungan
substansi kimia korosif dalam gas
Kemampuan untuk beroperasi pada Tidak dapat dioperasikan pada kondisi
rentang laju alir volumetrik yang lingkungan yang lembab sebab dapat
sangat besar menyebabkan penyumbatan baghouse
Penurunan tekanan cukup rendah Memiliki potensi terjadinya kebakaran
atau ledakan
Biaya yang relatif tinggi dibandingkan
dengan alat pengendalian pencemaran
udara lainnya

Untuk keperluan interpretasi hasil pengukuran emisi dari cerobong yang menggu-
nakan fabric filter sebagai alat pengendalian pencemaran udara, maka sebaiknya
dapat diperoleh informasi terkait fabric filter sebagai berikut: pemroduksi, jenis,
tahun manufaktur, jumlah ruang filter, jumlah tube/kantong filter, luas filter, jum-
lah debu yang dapat melalui filter per satuan luas filter (bruto/neto), material fil-
ter, mekanisme pelepasan debu (mekanis/pneumatis), frekuensi pelepasan debut,
waktu penggantian kain filter terakhir, perbedaan tekanan antara gas input dan gas
output, laju hisap kipas, periode perawatan, waktu perawatan terakhir.

Halaman 122 dari 126


Gambar 4- 10 Contoh Fabric Filter

Setiap industri disarankan mempunyai sistem pemantauan peralatan pengendalian pence-


maran udara dengan pengecekan dan pengamatan sesuai dengan formulir yang ada (For-
m.PM 01-03) sesuai dengan peralatan yang digunakan. Periode waktu pengecekan data
pengamatan disesuaikan dengan jadwal rutin yang telah disusun oleh pihak industri.

6) Hood dan Sistem Ducting


Dalam upaya pengendalian emisi dari kegiatan proses perlu didukung adanya hood dan duct
serta air cleaner atau atau alat emisi. Apabila pada saat melakukan kegiatan proses pro-
duksi tidak dilengkapi dengan hood dan duck menyebabkan emisi akan tetap berada dalam
ruang kerja yang akan berdampak pada kesehatan pekerja.

Hood atau tudung/cerobong dipasang tepat diatas sumber emisi atau sangat dekat dengan
sumber emisi, sedangkan duct merupakan pipa-pipa yang dihubungkan dengan hood yang
pada akhirnya dihubungkan dengan air cleaner (pembersih udara) atau berupa alat pengen-
dali emisi sebelum dialirkan ke cerobong yang akhirnya bercampur dengan udara ambien.


Halaman 123 dari 126


Absorber Thermal Catalytic Electrostatic Cyclone Gravity Wet Scrubber Fabric Filter
(Packed-bed/ Combustion Combustion Precipitator Settling (Spray
Packed-tower Unit Unit (jenis kering, Chamber chamber/
wet wire-plate) spray tower)
scrubber)

Polutan yang Gas/uap/asap VOC, VOC, PM, PM10, PM, terutama PM, terutama PM, PM10, PM, PM10,
dapat anorganik; beberapa beberapa PM2,5, PMHAP untuk PM untuk PM PM2.5, PMHAP, PM2.5, PMHAP
disisihkan VOC; PM; jenis PM, soot jenis PM dengan dengan gas/uap/fume
PM10; PM2,5; diameter diameter anorganik,
PMHAP aerodinamik aerodinamik VOC.
>10µ >10µ

Limit Gas 98 – 99,99% VOC: 0 – Desain baru: PM: 70-90% Efektif untuk PM: 70 – 99% Desain baru:
efisiensi/ anorganik: 95 99,99% 99 – 99,9% PM10: 30–90% menyisihkan Gas 99 – 99,9%
reduksi – 99% PM10 : 25 – Desain lama: PM2,5: 0-40% partikulat anorganik: 95 Desain lama:
VOC: 70 – 99% 99% 90 – 99,9% berukuran – 99% 95 – 99,9%
PM: 50 – 95% besar dan VOC: 50 – 95%
padat. Untuk
PM10 efisiensi
<10%

Tipikal Industri Ventilasi Oven Industri Biasanya Industri Pengendalian Boiler (batu
aplikasi pada kimia, reactor; pemroses utilitas listrik; digunakan penyulingan emisi dari bara); boiler
industri alumunium, ventilasi kertas filter; industri pulp setelah proses logam; power tanki industri/
makanan dan distilasi; proses dan kertas; pengeringan plant. penyimpanan komersial/
pertanian, proses pengeringan industri spray pada benzene dan institusi (batu
electroplating pembuatan kayu lapis; semen dan industri light-oil; bara, kayu);
krom pelarut; dan stasiun mineral makanan dan sebagai proses
proses yang pemuatan lainnya; serta kimia; setelah bagian dari pengolahan
melibatkan bahan bakar; industry proses FGD untuk logam besi
oven, proses logam non- crushing, mengendalika dan baja;
pengering manufaktur besi. grinding dan n emisi dari industri
serta kiln karet dan calcining pada pembakaran semen; proses
polimer; resin industri batu bara dan pembuatan
polietilen, mineral dan minyak pada aspal; proses
polistiren dan kimia peralatan penggilingan
polyester; listrik dan biji-bijian.
ventilasi industry.
proses dari
industry kimia
organic
sintetis;

Aliran emisi

a. Laju 0,25 – 35 sm3/ 0,24 – 24 sm3/ 0,33 – 24 sm3/ 100 – 500 0,5 – 12 sm3/ 0,25 – 0,5 0,7 – 47 sm3/ <0,10 – 50
aliran det det det sm3/det det sm3/det per det sm3/det
udara m3 volume
chamber

b. Temper Tipikal 590 -650 oC 320 -430 oC Dapat Temperatur Dapat PM: 4 – 370oC Dapat
atur temperature untuk sebelum bed digoperasikan maksimum dioperasikan Gas: 4 – 38oC digoperasikan
inlet untuk: senyawa katalis dan untuk bergantung untuk untuk
PM: 4 – 370oC organik, 980 540 -675 oC temperatur pada material temperature temperatur
Gas: 4 – 38oC -1200oC untuk dari exhaust gas hingga cyclone, hingga 540oC gas hingga
senyawa B3 katalis 700oC dapat 260oC
mencapai
540oC

c. Pollutan 250 – 20.000 1500 – 3000 Efektif untuk Tipikal 2,3 – 230 20 – 4.500 250 – 10.000 1 – 23 gram
t ppmv ppmv konsentrasi konsentrasi gram per sm3 gram per sm3 ppmv per sm3
Loading ≤1 ppmv. pada inlet 2 –
Konsentrasi 110 gram/m3
maksimum
25% dari LEL

Halaman 124 dari 126


Absorber Thermal Catalytic Electrostatic Cyclone Gravity Wet Scrubber Fabric Filter
(Packed-bed/ Combustion Combustion Precipitator Settling (Spray
Packed-tower Unit Unit (jenis kering, Chamber chamber/
wet wire-plate) spray tower)
scrubber)

d. Pertimb Penyisihan Tidak Karakteristik ESP jenis Cyclone Diperlukan Penyisihan Perlu
angan HAP akan direkomendas aliran pada kering beroperasi adanya HAP akan mempertimba
lain lebih efektif ikan untuk gas inlet harus beroperasi lebih efisien pencegahan lebih efektif ngkan kadar
apabila yang dievaluasi paling efisien pada kondensasi apabila air dan
dikombinasika mengandung secara detail pada dikombinasika senyawa
n dengan APC halogen atau resistivitas n dengan APC korosif dalam
lain seperti sulfur debu 5x103 – lain seperti aliran gas
incinerator 2x1010 ohm- incinerator
atau adsorber cm atau adsorber
karbon karbon

Biaya
(berdasarkan
USD tahun
2002)

a. Modal $23.000 - $53.000 - $47.000 - $ $21.000 - $4.600 - $330 - $4.200 - $13.000 -


$117.000 per $190.000 per 191.000 per $70.000 per $7.400 per $10.900 per $13.000 per $55.000 per
sm3/det sm3/det sm3/det sm3/det sm3/det sm3/det sm3/det sm3/det

b. Operasi $32.000 - $11.000 - $8.500 - $6.400 - $1.500 - $13 - $470 per $3.200 - $11.000 - $
onal dan $104.000 per $160.000 per $53.000 per $74.000 per $18.000 per sm3/det $64.000 per 50.000 per
pemelih sm3/det sm3/det sm3/det sm3/det sm3/det sm3/det sm3/det
araan

c. Biaya $36.000 - $17.000 - $17.000 - $9.100 - $2.800 - $40 - $1.350 $5.300 - $13.000 -
tahunan $165.000 per $208.000 per $106.000 per $81.000 per $29.000 per per sm3/det $102.000 per $83.000 per
sm3/det sm3/det sm3/det sm3/det sm3/det sm3/det sm3/det

d. Analisis $110 - $550 $440 - $3.600 $105 - $5.500 $38 - $260 per $0,47 - $440 $0,01 - $3,90 $50 - $950 per $46 - $293 per
biaya/ per ton per ton per ton ton metrik per ton per ton ton metrik ton metrik
efektivit metrik metrik metrik metrik metrik
as

Keterangan:

sm3/det = standard meter cubic per detik; HAP = hazardous air pollutant; FGD = flue gas desulfurization; APC = air pollution control

Halaman 125 dari 126


Bagian VI
Tata Cara Pemodelan Sebaran Emisi

Pemodelan dispersi pencemaran udara merupakan metode pendukung yang dapat digunakan untuk
mengestimasikan perilaku emisi dan dampak sebarannya di Udara ambien.
Hal-hal yang diperlukan dalam Pemodelan Sebaran Emisi:
1. Data teknis pengoperasian dan dimensi cerobong termasuk koordinat setiap sumber emisi
2. Data Meteorologi (arah dan kecepatan angin, kelembaban, radiasi matahari, tutupan awan),
minimal selama 1 tahun dengan ukuran terkecil dalam jam.
3. Data tata guna lahan di sekitar sumber emisi untuk menentukan Surface Roughness Length yang
mempengaruhi profil kekasaran dan distribusi vertikal angin
4. Data aktivitas reseptor untuk menentukan magnitude yang diperkirakan dalam sebaran (kronis
atau akut) dalam orde sesaat, harian atau tahunan disesuaikan dengan baku mutu parameter
yang dimodelkan

Metode pemodelan dapat berbasiskan 2 prosedur:


1. Prosedur sendiri yang disetujui dalam bentuk naskah/kajian akademis
2. Prosedur yang terverifikasi dengan menggunakan model-model komersial yang berbasis propi-
etary.

Halaman 126 dari 126

Anda mungkin juga menyukai