Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

KEJANG DEMAM

I. Konsep Penyakit Kejang Demam


1.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu
tubuh mencapai >380 C. Kejang demam dapat terjadi karena proses
intrakranial maupun ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2-4%
populasi anak berumur 6 bulan sampai dengan 5 tahun (Amid dan Hardhi,
NANDA NIC-NOC, 2013).

Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang


suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memory yang bersifat
sementara (Hudak and gallo, 1996).

Kejang demam merupakan gangguan transien pada anak yang terjadi


bersamaan dengan demam. Keadaan ini merupakan salah satu gangguan
neurologik yang paling sering dijumpai pada anak-anak dan menyerang
sekitar 4% anak. Kebanyakan serangan kejang terjadi setelah usia 6 bulan
dan biasanya sebelum usia 3 tahun dengan peningkatan frekuensi serangan
pada anak-anak yang berusia kurang dari 18 bulan. Kejang demam jarang
terjadi setelah usia 5 tahun. (Dona L.Wong, 2009)

Jadi dapat disimpulkan kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang
menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial listrik
serebral yang berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang.

1.2 Etiologi
1. Faktor-faktor prenatal
2. Malformasi otak congenital
3. Faktor genetika
4. Penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis)
5. Demam
6. Gangguan metabolisme
7. Trauma

1
8. Neoplasma, toksin
9. Gangguan sirkulasi
10. Penyakit degeneratif susunan saraf.
11. Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal

1.3 Anatomi Fisiologi


System saraf terdiri dari system saraf pusat (sentral nervous system) yang
terdiridari cerebellum, medulla oblongata dan pons (batang otak)
sertamedulla spinalis (sumsum tulang belakang), system saraf tepi (peripheral
nervous system) yang terdiri dari nervus cranialis (saraf-saraf kepala) dan
semua cabang dari medulla spinalis, system saraf gaib(autonomic nervous
system) yang terdiri dari sympatis (sistem saraf simpatis) dan
parasymphatis(sistem saraf parasimpatis). Otak berada di dalam rongga
tengkorak (cavum cranium) dan dibungkus oleh selaput otak yang disebut
meningen yang berfungsi untuk melindungi struktur saraf terutama terhadap
resikobenturan atau guncangan. Meningen terdiri dari 3 lapisan yaitu
duramater, arachnoid dan piamater. Sistem saraf pusat (Central Nervous
System) terdiri dari:
a. Cerebrum (otak besar)
Merupakan bagian terbesar yang mengisi daerah anterior dan
superior rongga tengkorak di mana cerebrum ini mengisi cavum
cranialis anterior dan cavum cranial. Cerebrum terdiri dari dua
lapisan yaitu : Corteks cerebri dan medulla cerebri. Fungsi dari
cerebrum ialah pusat motorik, pusat bicara, pusat sensorik, pusat
pendengaran / auditorik, pusat penglihatan / visual, pusat pengecap
dan pembau serta pusat pemikiran. Sebagian kecil substansia gressia
masuk ke dalam daerah substansia alba sehingga tidak berada di
corteks cerebri lagi tepi sudah berada di dalam daerah medulla
cerebri. Pada setiap hemisfer cerebri inilah yang disebut sebagai
ganglia basalis termasuk termasuk padaganglia basalis ini adalah :
1) Thalamus
Menerima semua impuls sensorik dari seluruh tubuh, kecuali
impuls pembau yang langsung sampai ke kortex cerebri.Fungsi
thalamus terutama penting untuk integrasi semua impuls
sensorik.Thalamus juga merupakan pusat panas dan rasa nyeri.

2
2) Hypothalamus
Terletak di inferior thalamus, di dasar ventrikel III
hypothalamus terdiri dari beberapa nukleus yang masingmasing
mempunyai kegiatan fisiologi yang berbeda. Hypothalamus
merupakan daerah penting untuk mengatur fungsi alat demam
seperti mengatur metabolisme, alat genital, tidur dan bangun,
suhu tubuh, rasa lapar dan haus, saraf otonom dan sebagainya.
Bila terjadi gangguan pada tubuh, maka akan terjadi perubahan-
perubahan. Seperti pada kasus kejang demam, hypothalamus
berperan penting dalam proses tersebut karena fungsinya yang
mengatur keseimbangan suhu tubuh terganggu akibat adanya
proses proses patologik ekstrakranium.

3) Formation Riticularis
Terletak di inferior dari hypothalamus sampai daerah batang
otak (superior dan pons varoli) ia berperan untuk mempengaruhi
aktifitas cortex cerebri di mana pada daerah formatio reticularis
ini terjadi stimulasi / rangsangan dan penekanan impuls yang
akan dikirimke cortex cerebri.

4) Serebellum
Merupakan bagian terbesar dari otak belakang yang menempati
fossa cranial posterior. Terletak di superior dan inferior dari
cerebrum yang berfungsi sebagai pusat koordinasi kontraksi otot
rangka. System saraf tepi (nervus cranialis) adalah saraf yang
langsung keluar dari otak atau batang otak dan mensarafi organ
tertentu. Nervus cranialis ada 12 pasang :
1) N. I : Nervus Olfaktorius
2) N. II : Nervus Optikus
3) N. III : Nervus Okulamotorius
4) N. IV : Nervus Troklearis
5) N. V : Nervus Trigeminus
6) N. VI : Nervus Abducen
7) N. VII : Nervus Fasialis

3
8) N. VIII : Nervus Akustikus
9) N. IX : Nervus Glossofaringeus
10) N. X : Nervus Vagus
11) N. XI : Nervus Accesorius
12) N. XII : Nervus Hipoglosus.

System saraf otonom ini tergantung dari system sistema saraf


pusat dan system saraf otonom dihubungkan dengan urat-urat
saraf aferent dan efferent. Menurut fungsinya system saraf
otonom ada 2 di mana keduanya mempunyai serat pre dan post
ganglionik. Yang termasuk 13 dalam system saraf simpatis
adalah :
1) Pusat saraf di medulla servikalis, torakalis, lumbal dan
seterusnya.
2) Ganglion simpatis dan serabut-serabutnya yang disebut
trunkus symphatis.
3) Pleksus pre vertebral : Post ganglionik yg dicabangkan dari
ganglion kolateral.

System saraf parasimpatis ada 2 bagian yaitu :


1) Serabut saraf yang dicabagkan dari medulla spinalis
2) Serabut saraf yang dicabangkan dari otak atau batang otak
(Polignano, 2019)

1.4 Tanda gejala


Ada 2 bentuk kejang demam (menurut Lwingstone), yaitu:
1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri
gejala klinis sebagai berikut :
a. Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
b. Kejang umum tonik dan atau klonik
Kejang umum tonik biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan
berat badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu
dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini
yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik

4
umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai
deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan
bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi
harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh
rangsang meningkat karena infeksi selaput otak.

Kejang klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan


pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis
kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik,
tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati
metabolic
c. Umumnya berhenti sendiri
d. Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
2. Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri
gejala klinis sebagai berikut :
a. Kejang lama > 15 menit
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
Kejang parsial (fokal, lokal), Kejang berasal dari satu fokus neuron.
Sesekali fokus terdapat pada lokasi kerusakan otak sebelumnya.
1) Kejang fokal sederhana (mengenai satu anggota tubuh tertentu saja
dan kesadaran tidak terganggu)
2) Kejang parsial kompleks (mengenai satu atau lebih anggota tubuh
dan kesadaran terganggu)
3) Kejang parsial yang menjadi umum (dari complex partial seizures
lalu berkembang menjadi kejang pada seluruh tubuh dan
kesadaran terganggu)
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

Berikut beberapa gejala kejang demam, antara lain :


1) Suhu tubuh lebih dari 38 derajat ( bila diukur lewat ketiak, tambah
0.7 derajat )
2) Kehilangan kesadaran atau pingsan

5
3) Tubuh (kaki dan tangan) kaku
4) Kepala menjadi terkulai disertai rasa seperti orang terkejut
5) Kulit berubah pucat bahkan menjadi biru
6) Bola mata terbalik keatas
7) Bibir terkatup kadang disertai muntah

1.5 Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah
menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari
permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam
keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na+) dan elektrolit
lainnya, kecuali ion klorida (Cl– ). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat
keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan
di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut
potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial
membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang
terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat
diubah oleh :
a. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
b. Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya
c. Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan

Pada keadaan demam kenaikan suhu 1o C akan mengakibatkan kenaikan


metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.
Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh
dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu
kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel
neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun
ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke
membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi

6
kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk
kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis
laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai
denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang
disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan
metabolisme otak meningkat.

1.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Elektro encephalograft (EEG)
Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik. EEG
abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya
epilepsi atau kejang demam yang berulang dikemudian hari. Saat ini
pemeriksaan EEG tidak lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang
sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi.
2. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya meningitis,
terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi yang masih
kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga harus dilakukan
lumbal pungsi pada bayi yang berumur kurang dari 6 bulan dan
dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan.
3. Darah
a. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N <
200 mq/dl)
b. BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
4. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda
infeksi, pendarahan penyebab kejang.
5. Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan
adanya lesi

7
6. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB
masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus
untuk transiluminasi kepala.

1.7 Komplikasi
Komplikasi kejang demam meliputi:
a. Kejang Demam Berulang
Faktor risiko terjadinya kejang demam berulang adalah:
1) Riwayat keluarga dengan kejang demam (derajat pertama)
2) Durasi yang terjadi antara demam dan kejang kurang dari 1
jam
3) Usia < 18 bulan
4) Temperatur yang rendah yang membangkitkan bangkitan
kejang
b. Epilepsi
Faktor risiko kejang demam yang berkembang menjadi epilepsi
adalah:
1) Kejang demam kompleks 18
2) Riwayat keluarga dengan epilepsi
3) Durasi demam kurang dari 1 jam sebelum terjadinya
bangkitan kejang
4) Gangguan pertumbuhan neurologis (contoh: cerebral palsy,
hidrosefalus)
c. Paralisis Todd
Paralisis Todd adalah hemiparesis sementara setelah terjadinya
kejang demam. Jarang terjadi dan perlu dikonsultasikan ke bagian
neurologi. Epilepsi Parsial Kompleks Dan Mesial Temporal
Sclerosis (MTS). Pada pasien epilepsi parsial kompleks yang
berhubungan dengan MTS ditemukan adanya riwayat kejang
demam berkepanjangan.
d. Gangguan Tingkah Laku Dan Kognitif
Meskipun gangguan kognitif, motorik dan adaptif pada bulan
pertama dan tahun pertama setelah kejang demam ditemukan tidak
bermakna, tetapi banyak faktor independen yang berpengaruh
seperti status sosial-ekonomi yang buruk, kebiasaan menonton

8
televisi, kurangnya asupan ASI dan kejang demam kompleks
(Alomedika, 2018).

Menurut Ngastiyah (2005) risiko terjadi bahaya / komplikasi yang dapat


terjadi pada pasien kejang demam antara lain:
1) Dapat terjadi perlukaan misalnya lidah tergigit atau akibat gesekan
dengan gigi.
2) Dapat terjadi perlukaan akibat terkena benda tajam atau keras yang
ada di sekitar anak.
3) Dapat terjadi perlukaan akibat terjatuh.

Selain bahaya akibat kejang, risiko komplikasi dapat terjadi akibat


pemberian obat antikonvulsan yang dapat terjadi di rumah sakit. Misalnya:
1) Karena kejang tidak segera berhenti padahal telah mendapat fenobarbital
kemudian di berikan diazepam maka dapat berakibat apnea.
2) Jika memberikan diazepam secara intravena terlalu cepat juga dapat
menyebabkan depresi pusat pernapasan.

Menurut Taslim S. Soetomenggolo dapat mengakibatkan :


1) Kerusakan sel otak
2) Penurunan IQ pada kejang demam yang berlangsung lama lebih dari 15
menit dan bersifat unilateral
3) Kelumpuhan (Lumbatobing,1989)
4) Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis
setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama.
5) Asfiksia
6) Aspirasi

Walaupun kejang demam menyebabkan rasa cemas yang amat sangat pada
orang tua, sebagian kejang demam tidak mempengaruhi kesehatan jangka
panjang, kejang demam tidak mengakibatkan kerusakan otak,
keterbelakangan mental atau kesulitan belajar / ataupun epiksi Epilepsy
pada anak di artikan sebagai kejang berulang tanpa adanya demam kecil
kemungkinan epilepsy timbul setelah kejng demam. Sekitar 2 – 4 anak
kejang demam dapat menimbulkan epilepsy, tetapi bukan karena kejang

9
demam itu sendiri kejang pertama kadang di alami oleh anak dengan
epilepsy pada saat mereka mengalami demam. Namun begitu antara 95 – 98
% anak yang mengalami kejang demam tidak menimbulkan epilepsy.

1.8 Penatalaksanaan
Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri
setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus di
perhatikan adalah sebagai berikut :
a. Anak harus di baringkan di tempat yang datar dengan posisi
menyamping, bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak.
b. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut sianak seperti sendok
atau penggaris, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan
nafas.
c. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang.
d. Sebagian besar kejang berlangsung singkat & dan tidak memerlukan
penanganan khusus.
e. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera di bawa
ke fasilitas kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk di
bawa ke fasilitas kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5 menit.
Ada pula sumber yang menyatakan bahwa penanganan lebih baik di
lakukan secepat mungkin tanpa menyatakan batasan menit.
f. Setelah kejang berakhir ( jika < 10 menit ), anak perlu di bawa menemui
dokter untuk meneliti sumber demam, terutama jika ada kakakuan leher,
muntah- muntah yang berat,atau anak terus tampak lemas.

Jika anak di bawa kefasilitas kesehatan , penanganan yang akan di lakukan


selain point-point di atas adalah sebagai berikut :
1. Memastikan jalan nafas anak tidak tersumbat
2. Pemberian oksigen melalui face mask
3. Pemberian diazepam 0.5 mg / kg berat badan per rectal (melalui) atau
jika terpasang selang infuse 0.2 mg / kg per infuse
4. Pengawasan tanda-tanda depresi pernafasan
1) Pengobatan
a. Pengobatan fase akut

10
Obat yang paling cepat menghentikan kejang demam adalah diazepam
yang diberikan melalui interavena atau indra vectal.
Dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis IV (perlahan- lahan).
Bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosis yang sama
setelah 20 menit.
b. Turunkan panas
Anti piretika : parasetamol / salisilat 10 mg/kg/dosis.
Kompres air PAM / Os
c. Mencari dan mengobati penyebab
Pemeriksaan cairan serebro spiral dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang
pertama, walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi
lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya
bila aga gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama.
d. Pengobatan profilaksis
Pengobatan ini ada dalam cara : profilaksis intermitten / saat demam
dan profilaksis terus menerus dengan antikanulsa setiap hari. Untuk
profilaksis intermitten diberikan diazepim secara oral dengan dosis 0,3
– 0,5 mg/hgBB/hari.
e. Penanganan sportif
1) Bebaskan jalan napas
2) Beri zat asam
3) Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit
4) Pertahankan tekanan darah
2) Pencegahan
a. Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana.
Beri diazepam dan antipiretika pada penyakit-penyakit yang disertai
demam.
b. Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata
Dapat digunakan :
 Fero : 5-7 mg/kg/24 jam dibagi 3 dosis
 Barbital : 2-8 mg/kg/24 jam dibagi 2-3 dosis
 FenitorriKlonazepam : (indikasi khusus)

11
1.9 Pathway

Resiko Jatuh

Spasme Bronkus

Kekakuan otot
pernafasan

Pola nafas tidak


efektif

(Sumber : Wong, Donna L. 2009)

12
II. Rencana Asuhan Klien Dengan Gangguan Kejang Demam
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
Data subyektif
1. Biodata/Identitas
Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin.
Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status
sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan,
pekerjaan, penghasilan, alamat.
2. Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000)
Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan:
 Apakah betul ada kejang?
Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar dianjurkan
menirukan gerakan kejang si anak
 Apakah disertai demam?
Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai
kejang, maka diketahui apakah infeksi memegang peranan
dalam terjadinya bangkitan kejang.
 Lama serangan
Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan
waktu berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat
mengetahui kemungkinan respon terhadap prognosa dan
pengobatan.
 Pola serangan
Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai
pola serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik?
Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang
kesadaran seperti epilepsi mioklonik?
Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai
gangguan kesadaran seperti epilepsi akinetik?
Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi
sementara tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme
infantile?
Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum.
 Frekuensi serangan

13
Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa
kejang terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang
per-tahun. Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul
pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering
timbul.
 Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan
Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau rangsangan
tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah,
muntah, sakit kepala dan lain-lain. Dimana kejang dimulai dan
bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu ditanyakan
apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun,
ada paralise, menangis dan sebagainya?
 Riwayat penyakit sekarang yang menyertai
Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya
pada penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF,
ISPA, OMA, Morbili dan lain-lain.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan
apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur
berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali?
Apakah ada riwayat trauma kepala, radang selaput otak, KP, OMA
dan lain-lain.
4. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah
mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma,
perdarahan per- vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan
maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah
sukar, spontan atau dengan tindakan (forcep/vakum), perdarahan
ante partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah
bayi panas, diare, muntah, tidak mau menetek, dan kejang-kejang.

5. Riwayat Imunisasi
Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan
serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada

14
umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya
adalah panas yang dapat menimbulkan kejang.
6. Riwayat Perkembangan
Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi :
Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial): berhubungan
dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi
dengan lingkungannya.
Gerakan motorik halus: berhubungan dengan kemampuan anak
untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan
bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan
memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar,
memegang suatu benda, dan lain-lain.
Gerakan motorik kasar: berhubungan dengan pergerakan dan sikap
tubuh.
Bahasa: kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti
perintah dan berbicara spontan.
7. Riwayat kesehatan keluarga.
Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+25 % penderita
kejang demam mempunyai faktor turunan). Adakah anggota
keluarga yang menderita penyakit syaraf atau lainnya? Adakah
anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau
penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya
kejang demam.
8. Riwayat sosial
Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu
dikaji siapakah yang mengasuh anak?
Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan teman
sebayanya?
9. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan
Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana?
 Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi :
Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat
Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan
tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap
perawatan dan tindakan medis?

15
Bagaimana pandangan terhadap penyakit yang diderita,
pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada
anggota keluarga yang sakit, penggunaan obat-obatan
pertolongan pertama.
 Pola nutrisi
Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak. Ditanyakan
bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi
oleh anak?
Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak? Bagaimana
selera makan anak? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per
hari?
 Pola Eliminasi
BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis
ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah?
Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing.
BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak?
Bagaimana konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir?
10. Pola aktivitas dan latihan
Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman
sebayanya? Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam?
Aktivitas apa yang disukai?
11. Pola tidur/istirahat
Berapa jam sehari tidur? Berangkat tidur jam berapa? Bangun tidur
jam berapa? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur
siang?
b. Pemeriksaan fisik
Data Obyektif
1. Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000)
Pertama kali perhatikan keadaan umum vital: tingkat kesadaran,
tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam
sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah
kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan
neurologi.
2. Pemeriksaan fisik
 Kepala

16
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi
bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial,
yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun
besar menutup atau belum?
 Rambut
Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut.
Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang
jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa
menyebabkan rasa sakit pada pasien.
 Muka/ Wajah.
Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis
tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik
ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ?
Apakah ada gangguan nervus cranial ?
 Mata
Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil
dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
 Telinga
Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya
infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga,
keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.
 Hidung
Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat
jalan napas? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya,
jumlahnya?

 Mulut
Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana
keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang
tumbuh? Apakah ada caries gigi?
 Tenggorokan
Adakah tanda-tanda peradangan tonsil? Adakah tanda-tanda infeksi
faring, cairan eksudat?
 Leher

17
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid?
Adakah pembesaran vena jugularis?
 Thorax
Pada inspeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak
pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi
Intercostale? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
 Jantung
Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya? Adakah
bunyi tambahan? Adakah bradicardi atau tachycardia?
Abdomen
Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen?
Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus? Adakah tanda
meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar?
 Kulit
Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya?
Apakah terdapat oedema, hemangioma? Bagaimana keadaan turgor
kulit?
 Ekstremitas
Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi
kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral?
 Genetalia
Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina,
tanda-tanda infeksi?

c. Pemeriksaan Penunjang
Tergantung sarana yang tersedia dimana pasien dirawat,
pemeriksaannya meliputi:
1. Darah
Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N<
200 mq/dl)
BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang

18
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
Natrium ( N 135 – 144 meq/dl )
2. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS
tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.
3. Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan
adanya lesi
4. Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB
masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu
khusus untuk transiluminasi kepala.
5. EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui
tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil
biasanya normal.
6. CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik hematoma,
cerebral oedem, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Hipertermia (00007)
2.2.1 Definisi: peningkatan suhu tubuh di atas rentang normal
2.2.2 Batasan karakteristik
Subjektif
Klien mengatakan badannya panas
Objektif
 Kulit merah
 Suhu tubuh meningkat diatas rentang normal
 Frakuansi napas meningkat
 Kejang atau konfulsi
 Kulit teraba hangat
 Takikardi
 Tachipnea
2.2.3 Faktor yang berhubungan
 Dehidrasi
 Penyakit atau trauma
 Ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk berkeringat
 Pakaian yang tidak tepat
 Peningkatan laju metabolism

19
 Obat atau anastesia
 Terpajan pada lingkungan yang panas
 Aktivitas yang berlebihan
 Proses penyakit
Diagnosa 2: Ketidakefektifan Pola Nafas (00032)
2.2.4 Definisi: Inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi
yang adekuat
2.2.5 Batasan karakteristik
Subjektif
 Dispnea
 Napas pendek
Objektif
 Perubahan ekskursi dada
 Mengambil posisi tiga titik tumpu
 Bradipnea
 Penurunan tekanan inspirasi-ekspirasi
 Penurunan vntilasi semenit
 Penurunan kapasitas vital
 Napas dalam
 Peningkatan diameter anterior-posterior
 Napas cuping hidung
 Ortopnea
 Fase ekspirasi memanjang
 Pernapasan binir mencucu
 Kecepatan respirasi
 Usia dewasa atau 14 tahun lebih ; ≤11 atau ≥24 x permenit
 Usia 5-14 tahun < 15 atau > 25
 Usia 1-4 tahun <20 atau >30
 Usia bayi <25 atau >60
 Takipnea
 Rasio waktu
 Pengunaan otot bantu asesoris untuk bernapas

2.2.6 Factor yang berubungan


 Ansietas

20
 Posisi tubuh
 Deformitas tulang
 Deformitas dinding dada
 Penurunan energy dan kelelahan
 Hiperventilasi
 Sindrom hipoventilasi
 Kerusakan musculoskeletal
 Imaturitas neurologis
 Disfungsi neuromuscular
 Obesitas
 Nyeri
 Kerusakan persepsi atau kognitif
 Kelelahan otot-otot pernapasan
 Cedera medulla spinalis
Diagnosa 3 : Resiko cedera (00035)
2.2.7 Definisi : Rentan mengalami cedera fisik akibat kondisi lingkungan
yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensif
individu, yang dapat mengganggu kesehatan.
2.2.8 Faktor yang berhubungan
Eksternal
 Agen nosocomial
 Gangguan fungsi kognitif
 Gangguan fungsi psikomotor
 Hambatan fisik
 Hambatan sumber nutrisi
 Moda transfortasi tidak aman
 Pajanan pada kimia toksik
 Pajanan pada patogen
 Tingkat imunisasi di komunitas
Internal
 Disfungsi biokimia
 Disfungsi efektor
 Disfungsi imun
 Disfungsi integrasi sensori

21
 Gangguan mekanisme pertahanan primer
 Gangguan orientasi afektif
 Gangguan sensasi
 Hipoksia jaringan
 Malnutrisi
 Profil darah yang abnormal
 Usia eksterm

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1: Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit.
TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI RASIONAL
HASIL
Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji dan catat suhu 1. Tindakan ini sebagai
keperawatan selama 3 x tubuh setiap 2 atau 4 dasar untuk
24jam pasien menunjukkan jam. menentukan
kestabilan suhu tubuh : intervensi.
NOC : 2. Observasi membrane 2. Untuk
Nilai suhu, denyut nadi, mukosa, pengisian mengidentifikasi
frekuensi pernapasan, TD kapiler, dan turgor tanda-tanda dehidrasi
dalam rentang normal. kulit. akibat panas.
3. Berikan minum 2-2,5 3. Kebutuhan cairan
liter sehari selama 24 dalam tubuh cukup
jam. mencegah terjadinya
panas.
4. Berikan kompres 4. Kompres hangat
hangat pada dahi, memberi efek
ketiak, dan lipat paha. vasodilatasi
pembuluh darah,
sehingga
mempercepat
penguapan tubuh.
5. Anjurkan pasien untuk
5. Menurunkan
tirah baring (bed rest)
kebutuhan
sebagai upaya
metabolisme tubuh
pembatasanaktivitas
sehingga turut

22
selama fase akut. menurunkan panas.
6. Anjurkan pasien untuk 6. Pakaian tipis
menggunakan pakaian memudahkan
yang tipis dan penguapan panas.
menyerap keringat. Saat suhu tubuh naik,
pasien akan banyak
mengeluarkan
keringat.
7. Berikan terapi obat 7. Untuk menurunkan
golongan antipiretik atau mengontrol
sesuai program medis panas badan.
evaluasi
efektivitasnya.
8. Pemberian antibiotik 8. Untuk mengatasi
sesuai program medis. infeksi dan mencegah
penyebaran infeksi.
9. Pemberian cairan 9. Penggantian cairan
parenteral sesuai akibat penguapan
program medis. panas tubuh.
10. Observasi hasil 10. Untuk mengetahui
pemeriksaan darah dan perkembangan
feses. penyakit tipes dan
efektivitas terapi.
11. Observasi adanya 11. Peningkatan suhu
peningkatan suhu secara terus -
secara terus - menerus, menerus setelah
distensi abdomen, dan pemberian antiseptik
nyeri abdomen. dan antibiotik,
kemungkinan
mengindikasikan
terjadinya komplikasi
perforasi usus.

23
Diagnosa 2 : Ketidakefektifan Pola Nafas berhubungan dengan kelelahan otot-otot
pernapasan.

TUJUAN DAN KRITERIA INTERVENSI RASIONAL


HASIL
Setelah dilakukan tindakan NIC Label : Airway NIC Label : Airway
keperawatan selama 3 x Management Management
24jam pasien menunjukkan
1. Posisikan pasien 1. Untuk
keefektifan pola
semi fowler memaksimalkan
nafas, dengan kriteria hasil:
2. Auskultasi suara potensial ventilasi
NOC Label : Respiratory nafas, catat hasil 2. Memonitor
Status: Airway patency penurunan daerah kepatenan jalan
ventilasi atau tidak napas
1. Frekuensi, irama,
adanya suara 3. Memonitor
kedalaman
adventif respirasi dan
pernapasan dalam
3. Monitor pernapasan keadekuatan
batas normal
dan status oksigen oksigen
2. Tidak menggunakan
yang sesuai
otot-otot bantu NIC Label : Oxygen
pernapasan NIC Label : Oxygen Therapy
Therapy
NOC Label : Vital Signs 1. Menjaga
1. Mempertahankan keadekuatan
Tanda Tanda vital dalam
jalan napas paten ventilasi
rentang normal (tekanan
2. Kolaborasi dalam 2. Meningkatkan
darah, nadi, pernafasan) (TD
pemberian oksigen ventilasi dan
120-90/90-60 mmHg, nadi
terapi asupan oksigen
80-100 x/menit, RR : 18-24
3. Monitor aliran 3. Menjaga aliran
x/menit, suhu 36,5 – 37,5 C)
oksigen oksigen mencukupi
kebutuhan pasien
NIC Label : Respiratory
Monitoring NIC Label : Respiratory
Monitoring
1. Monitor kecepatan,
ritme, kedalaman 1. Monitor
dan usaha pasien keadekuatan

24
saat bernafas pernapasan
2. Catat pergerakan 2. Melihat apakah ada
dada, simetris atau obstruksi di salah
tidak, menggunakan satu bronkus atau
otot bantu adanya gangguan
pernafasan pada ventilasi
3. Monitor suara nafas 3. Mengetahui adanya
seperti snoring sumbatan pada
4. Monitor pola nafas: jalan napas
bradypnea, 4. Memonitor keadaan
tachypnea, pernapasan klien
hiperventilasi,
respirasi kussmaul,
respirasi cheyne-
stokes dll.

Diagnosa 1: Resiko cedera berhubungan dengan aktifitas motorik yang


meningkat (kejang).
TUJUAN DAN
INTERVENSI RASIONAL
KRITERIA HASIL
Setelah dilakukan tindakan 1) Jelaskan pada keluarga 5) Penjelasan yang baik
keperawatan selama 1 x akibat-akibat yang terjadi dan tepat sangat
24jam pasien menunjukkan sat kejang berulang (lidah penting untuk
penurunan resiko cedera. tergigit). meningkatkan
Kriteria hasil : pengetahuan dalam
Lidah tidak tergigit dan mengatasi kejang
jatuh ke belakang. (lidah tergigit)
2) Sediakan spatel lidah 6) Spatel lidah digunakan
yang telah dibungkur untuk menahan lidah
gaas verban jika tergigi
3) Beri posisi miring 7) Mencegah aspirasi pada
kiri/kanan lambung
4) Kolaborasi dengan dokter 8) Obat anti konvulsan
dalam pemberian obat sebagai pengatur
anti konvulsan gerakan motorik dalam

25
hal ini anti konvulsan
menghentikan gerakan
motorik yang
berlebihan.

26
III. DAFTAR PUSTAKA

Nanda 2011-2012. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta :


Primamedika.

Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9.


Jakarta : EGC.

Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Edisi 6. Jakarta:


EGC

Vebriasa, A., Herini, E. S., & Triasih, R. (2016). Hubungan antara


Riwayat Kejang pada Keluarga dengan Tipe Kejang Demam dan
Usia Saat Kejang Demam Pertama. Sari Pediatri.
https://doi.org/10.14238/sp15.3.2013.137-40
Lestari, Titik. (2016). Asuhan keperawatan anak. Yogyakarta : Nuha
Medika
Ismet, I. (2017). Kejang Demam. Jurnal Kesehatan Melayu.
https://doi.org/10.26891/jkm.v1i1.2017.41-44
Labir, Ketut. (2009). Pertolongan Pertama dengan Kejadian Kejang
Demam pada Anak. L-Ketut-Labirdkk-pdf

Http://Askepkita.Com

Pelaihari, Maret 2017

Preseptor Akademik Preseptor Klinik

(………………………………………) (…………….………………………..)

27
28

Anda mungkin juga menyukai