i
Sanksi Pelanggaran Pasal 113
Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta
ii
PENGELOLAAN SUMBERDAYA
PERIKANAN TANGKAP
2021
iii
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP
Penulis:
Prof. Dr. Ir. Nuddin Harahab, MP.
ISBN:
Perancang Sampul:
Tim UB Press
Penata Letak:
Tim UB Press
Penerbit:
UB Press
Redaksi:
Jl. Veteran 10-11 Malang 65145 Indonesia
Gedung INBIS Lt.3
Telp: 0341-5081255, WA: 08113653899
e-mail: ubpress@gmail.com/ubpress@ub.ac.id
http://www.ubpress.ub.ac.id
iv
PENGANTAR PAKAR
(Opsional)
v
PRAKATA
(Harus ada)
vii
DAFTAR ISI
PENGANTAR PAKAR........................................................................................... v
PRAKATA .............................................................................................................. vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................................xi
DAFTAR TABEL................................................................................................. xiii
BAB 5 KESIMPULAN.........................................................................................82
5.1 Kesimpulan ..............................................................................................83
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................85
BIOGRAFI PENULIS ..........................................................................................93
x
DAFTAR GAMBAR
xi
Gambar 16. Posisi perikanan tuna 10 tahun terakhir dalam model
Fox 1970.......................................................................................67
Gambar 17. Hasil manajemen upaya penangkapan ............................68
Gambar 18. Grafik Hasil Tangkapan Ikan Tuna periode 2009 –
2014 di Provinsi Jawa Timur ...............................................70
Gambar 19. Grafik Upaya Penangkapan Ikan Tuna Periode 2009 –
2014 di Provinsi Jawa Timur ...............................................71
Gambar 20. Grafik Hasil Tangkapan Per Upaya Penangkapan
(CPUE) Ikan Tuna Periode 2009 – 2014 di Provinsi
Jawa Timur ..................................................................................72
Gambar 21. Grafik Hubungan CPUE dengan Upaya Penangkapan
Ikan Tuna Periode 2009 – 2014 .........................................73
Gambar 22. Hubungan Kuadratik antara Upaya Penangkapan
Kapal Pancing Ulur dan hasil Tangkapan Ikan Tuna
Model Gordon – Schaefer di Perairan Provinsi jawa
Timur .............................................................................................74
Gambar 23. Hubungan Total Cost (TC) dengan Upaya
penangkapan (E).......................................................................75
Gambar 24. Perbandingan Upaya Penangkapan Kapal Pancing
Pada Masing-Masing Kondisi Pengusahaan
Sumberdaya ................................................................................77
Gambar 25. Perbandingan Hasil Tangkapan Kapal Pancing Pada
Masing-Masing Kondisi Pengusahaan Sumberdaya...78
Gambar 26. Hubungan Kuadratik antara Total Penerimaan dan
Total Biaya dengan Berbagai Tingkat Upaya
Penangkapan Pengusahaan Sumberdaya Ikan Tuna di
Perairan Provinsi Jawa Timur .............................................79
xii
DAFTAR TABEL
xiii
BAB 1
KEANEKARAGAMAN
SUMBERDAYA HAYATI LAUT
1
1.1. SUMBERDAYA HAYATI LAUT
Sumberdaya hayati laut merupakan potensi sumberdaya
yang dimiliki bagi suatu negara untuk menunjang kebutuhan dan
keberlangsungan suatu ekosistem yang ada di perairan. Sumber
Daya Kelautan adalah sumber daya Laut, baik yang dapat
diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui yang
memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif serta dapat
dipertahankan dalam jangka panjang. Pada sumberdaya hayati
laut dapat diklasifikasikan menjadi organisme laut, ekosistem
terumbu karang, ekosistem mangrove, dan ekosistem lamun.
Ketiga ekosistem ini saling mempengaruhi perannya dalam
menjaga kestabilan perairan dan sumberdaya ikan di perairan.
Berikut ini peran dan fungsi dari beberapa ekosistem perairan.
1.2. TERUMBU KARANG
Terumbu karang (coral reefs) adalah kumpulan binatang
karang (reefcoral), yang hidup di dasar perairan dan
menghasilkan bahan kapur CaCO3 (Supriharyono, 2007). Mereka
mendapat makanan melalui dua cara, pertama menangkap
plamkton menggunakan tentakelnya, kedua melalui alga kecil
(zooxhantella) yang hidup di jaringan pada karang. Beberapa jenis
zooxanthella dapat hidup si satu jenis karang, biasa ditemukan
dalam jumlah besar dalam setiap polip, hidup bersimbiosis yang
memberikan pada polip energi dari fotosintesa, dan 90%
kebutuhan karbon polip. Zooxanthella menerima nutrisi penting
dari karang dan memberikan sebanyak 95% dari hasil
fotosintesisnya energi dan nutrsi) kepada karang. Penjelasan
mengenai definisi dari terumbu karang dapat dijelaskan pada
Gambar 1.
4
tersuspensi dari lumpur dan berpengaruh pada tingkat jumlah
cahaya yang masuk kedalam laut. Sementara itu, cahaya sangat
diperlukan bagi zooxanthella yang fotosintetik dan hidup di dalam
jaringan tubuh bintang pembentuk dari terumbu karang.
Kemudian, arus dapat mempengaruhi tingkat kebutuhan oksigen
bagi hewan-hewan terumbu karang. Hal tersebut dapat
mempengaruhi karena jumlah makanan yang terbawa dengan
demikian mempegaruhi kecepatan pertumbuhan dari binatang
karang. Sedangkan, suhu optimum untuk terumbu karang
berkisar 260 - 280 C, kenaikan atau penurunan suhu yang terjadi
secara ektrim dapat mempengaruhi kematian hewan-hewan
karang (Coremap, 2016).
1.3 MANGROVE
Mangrove adalah salah satu ekosistem utama penyusun
wilayah pesisir tropis selain padang lamun, dan terumbu karang.
Ekosistem mangrove sangat berperan dalam penyangga
ekosistem pantai terhadap badai, abrasi, sebagi tempat
pemijahan, mencari makan bagi hewan-hewan laut dan darat
(Samosir et al.,2010). Selain itu, mangrove juga dikenal sebagai
tanaman penyerap karbon. Mangrove dapat menyimpan karbon
lebih banyak dari hampir semua hutan di bumi, potensi
penyerapan karbon tersebut dipengaruhi oleh kemampuan pohon
untuk menyerap karbon melalui proses fotosintesis. Tumbuhan
memerlukan karbondioksisa (CO2) pada proses fotosintesis yang
akan diserap dari udara di atmosfer. Karbon yang diserap akan
tersimpan dalam bentuk biomassa tumbuhan (Rachmawati et al.,
2014).
Ekosistem mangrove dapat digambarkan sebagai ekosistem
hutan dengan faktor fisik yang ekstrem berupa habitat tergenang
air dengan salinitas tinggi di pantai dan sungai dengan kondisi
tanah berlumpur (Herianto dan Subiandono, 2016). Pada
ekosistem mangrove juga terdapat banyak spesies yang hidup
seperti, kepiting bakau, burung bangau, kerang, ular dan masih
banyak spesies lainnya. Setiap jenis tanaman hutan tentunya
6
pembatas pertumbuhan sehingga hanya tumbuh di daerah
tersebut. Ketinggian tanaman hutan ini jarang melebihi
1,5m.
Sumber:
8
pemakan detritus, dan bivalvia pemakan plankton sehingga akan
memperkuat fungsi mangrove sebagai biofilter alami.
1.4 PADANG LAMUN
Lamun (seagrass) disebut tumbuhan tingkat tinggi dan
berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya beradaptasi
hidup terbenam di dalam laut dangkal, yang bereproduksi dengan
bunga (Generative) dan rhizoma (Vegetative). Seperti tumbuhan
lainnya lamun juga memiliki akar dan batang atau yang disebut
dengan rhizoma. Padang lamun (seagrass bed) adalah hamparan
dari tumbuhan-tumbuhan lamun yang menutupi suatu area laut
dangkal yang dapat terbentuk oleh saru jenis lamun
(monospecific) atau lebih (mixed vegetation) dengan kerapatan
tanaman yang padat (dense), sedang (medium), atau jarang
(sparse). Sedangkan untuk ekosistem lamun merupakan satu
sistem ekologi dari padang lamun yang terdapat hubungan timbal
balik antara komponen abiotik dan komponen biotik hewan dan
tumbuhan tertentu, misalnya; ellgrass (Zostera marina), kura-
kura, dugong, manatee grass (Halodule wrightii) (Sjafrie et al.,
2018) .
10
Sumber: www.earthjustice.org
Sumber:
Sumber: www.mongabay.co.id
Sumber:
4. Pendaur hara
Lamun memiliki peran dalam perputaran berbagai zat hara
dan elemen-elemen langka (mikro nutrien) di perairan laut. Fosfat
yang serap oleh daun-daun lamun dapat bergerak sepanjang helai
daun dan masuk ke dalam algae epifitik. Akar lamun dapat
menyerap fosfat yang keluar dari daun yang membusuk yang
terdapat pada celah-celah sedimen. Zat hara tersebut secara
potensial dapat digunakan oleh epifit apabila mereka berada
dalam medium yang miskin fosfat.
1.5 HUBUNGAN DALAM POPULASI
Hubungan Keanekaragaman hayati laut dalam populasi
ialah mahkluk hidup yang berbeda. Perbedaan bisa terjadi di
12
dalam satu spesies, antara spesies yang berbeda, di dalam satu
ekosistem atau diantara ekosistem yang berbeda. Sebagai contoh,
suatu wilayah, bernama A, dihuni oleh satu populasi spesies,
disebut X (kenyataan di alam hal ini hampir tidak mungkin
terjadi). Wilayah lain, B, juga dihuni oleh satu populasi spesies, X.
Spesies X penghuni wilayah B, terdiri dari dua sub-populasi yang
terpisah satu sama lain secara geografis dalam waktu yang relatif
lama. Kondisi ini menyebabkan terjadinya dua sub-populasi
spesies X, pada wilayah B. Wilayah B dikatakan mempunyai
keanekaragaman hayati (didalam spesies) yang lebih tinggi
dibandingkan lokasi A. Pada contoh lain, suatu wilayah, C, dihuni
oleh dua spesies, X dan Y. W ilay ah lain, D, dihuni oleh tiga
spesies, X, Y dan Z. Wilayah D dikatakan mempunyai
keanekaragaman hayati lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah
C, B maupun A. dengan istilah lain, wilayah D dikatakan sebagai
“Most Biodiverse Area”.
Sedangkan istilah dari keanekaragaman hayati (biodiversity)
awalnya digunakan untuk menyebutkan jumlah atau kekayaan
spesies. Kemudian menurut definisi adalah suatu area yang
menyangkut keragaman di dalam dan di antara organisme hidup,
kumpulan organisme, komunitas biotik dan proses biotik, yang
masih bersifat alamiah maupun yang sudah diubah oleh
14
2.1 DEFINIS PERIKANAN TANGKAP
Menurut undang-undang Nomor 31 tahun 2004
menyebutkan bahwa perikanan adalah semua kegiatan yang
berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya
ikan dan lingkungannya mulai dari prapoduksi, produksi, sampai
pengelolaan dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu
sistem bisnis perikanan. Pengelolaan sumberdaya ikan diartikan
sebagai semua upaya yang bertujuan agar ikan dapat
dimanfaatkan secara optimal dan berlangsung terus-menerus,
sedangkan pemanfaatan sumberdaya ikan adalah kegiatan
penangkapan ikan dan atau pembudidayaan ikan.
Menurut UU No.32 tahun 2004, usaha perikanan tangkap
adalah usaha perikanan yang berbasis pada kegiatan
penangkapan ikan. Menurut Monintja (2000) bidang
penangkapan ikan memiliki beberapa karakteristik, diantaranya
adalah sumberdaya tidak terlihat, sumberdaya milik umum,
eksploitasi sumberdaya memiliki resiko yang besar dan produk
mudah rusak.
Menurut UU No.45 tahun 2009, penangkapan ikan adalah
kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam
keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk
kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut,
menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau
mengawetkannya.
Menurut Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik
Indonesia (2010), Industri perikanan tangkap memiliki sumber
daya dengan akses terbuka yang memungkinkan untuk
dimanfaatkan oleh semua orang. Akibatnya, menghilangkan
hambatan keluar dan masuk industri bagi pelaku usaha, dan
memicu eksploitasi berlebih pada sumberdaya yang tersedia.
16
5. Lampara dasar (dilarang beroperasi di seluruh jalur
penangkapan ikan dan di seluruh WPPNRI berdasarkan
PERMEN KP No 71 tahun 2016)
6. Dogol (Danish seines, dilarang beroperasi di seluruh jalur
penangkapan ikan dan di seluruh WPPNRI berdasarkan
PERMEN KP No 71 tahun 2016)
7. Pukat tarik dengan kapal (Scottish seines, dilarang
beroperasi di seluruh jalur penangkapan ikan dan di
seluruh WPPNRI berdasarkan PERMEN KP No 71 tahun
2016)
8. Pukat tarik dengan kapal berpasangan (pair seines, dilarang
beroperasi di seluruh jalur penangkapan ikan dan di
seluruh WPPNRI berdasarkan PERMEN KP No 71 tahun
2016)
9. Pukat tarik lainnya
Pukat hela dibagi menjadi 18 macam, yaitu :
1. Pukat hela dasar (bottom trawls, dilarang beroperasi di
seluruh jalur penangkapan ikan dan di seluruh WPPNRI
(PERMEN KP No 71 tahun 2016)
2. Pukat hela dasar berpalang (beam trawls, dilarang
beroperasi di seluruh jalur penangkapan ikan dan di
seluruh WPPNRI (PERMEN KP No 71 tahun 2016)
3. Pukat hela dasar berpapan (otter trawls, dilarang
beroperasi di seluruh jalur penangkapan ikan dan di
seluruh WPPNRI (PERMEN KP No 71 tahun 2016)
4. Pukat hela dasar dua kapal (pair trawls, dilarang
beroperasi di seluruh jalur penangkapan ikan dan di
seluruh WPPNRI (PERMEN KP No 71 tahun 2016)
5. Neprohps trawls (dilarang beroperasi di seluruh jalur
penangkapan ikan dan di seluruh WPPNRI (PERMEN KP
No 71 tahun 2016)
18
2. Penggaruk tanpa kapal (hand dredges)
Jaring angkat dibagi menjadi 6 macam, yaitu :
1. Anco (portable lift nets)
2. Jaring angkat berperahu (boat operated lift nets)
3. Bagan perahu
4. Bouke ami (stick held deep net)
5. Bagan tancap (share operated stasionary lift nets)
6. Jaring angkat lainnya
Alat yang dijatuhkan dibagi menjadi 2 macam, yaitu :
1. Jala jatuh berkapal (cast gear)
2. Jala tebar lainnya
Jaring insang dibagi menjadi 11 macam, yaitu :
1. Jaring insang tetap (set gillnets)
2. Jaring liong bun
3. Jaring insang hanyut (driftnets)
4. Jaring insang lingkar (encircling gillnets)
5. Jaring insang berpancang (fixed gillnets)
6. Jaring insang berlapis (trammel nets)
7. Jaring klitik
8. Jaring insang kombinasi dengan trammel net
9. Jaring insang lainnya
10. Jaring insang lainnya
Perangkap dibagi menjadi 15 macam, yaitu :
1. Stationary uncovered pound nets
2. Set net
3. Bubu (pots)
20
9. Rawai dasar (set longlines)
10. Rawai hanyut (drifting longlines)
11. Rawai tuna
12. Rawai cucut
13. Longlines
14. Tonda (trolling lines)
15. Pancing lain
16. Pancing layang-layang
Alat penjepit dan melukai lainnya dibagi menjadi 4 macam, yaitu :
1. Tombak (harpoons)
2. Ladung
3. Panah
4. Alat penjepit dan melukai lainnya
Alat tangkap lainnya dibagi menjadi 4 macam, yaitu :
1. Mesin pemanen
2. Pompa
3. Kapal keruk mekanis
4. Mesin pemanen lainnya
5. Alat tangkap lainnya
6. Alat tangkap wisata
7. Alat tangkap tidak diketahui
2.3 JENIS-JENIS IKAN
Menurut UU no.32 tahun 2004 ikan merupakan sumberdaya
alam yang memiliki sifat kembali pulih (renewable). Jenis ikan
dibagi menjadi beberapa kategori yaitu pisces (ikan bersirip),
crustacea (udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya), mollusca
(kerrang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan sebangsanya),
22
(chepalopods). Komoditas perikanan Indonesia yang diekspor
diantaranya adalah cakalang, tongkol, udang, tuna, beberapa
spesies ikan lainnya, dan kepiting. Udang yang merukana hasil
dari perikanan budi daya masih bertahan sebagai primadona
ekspor yaitu menjadi komoditas paling utama dengan tujuan
ekspor ke negara Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa,
kemudian menyusul urutan berikutnya yaitu komoditi tuna dan
cakalang dari perikanan tangkap yang memiliki tujuan ekspor ke
negara Jepang, Amerika Serikat da Uni Eropa.
2.4 PERILAKU PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN
Konsep pengelolaan perikanan tertuang dalam Pasal 1 ayat
(7) UU No.45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No.31 Tahun
2004 tentang Perikanan. Isi UU tersebut ialah : “Pengelolaan
Perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi
dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi,
pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan dan
implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-
undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah
atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan
produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah
disepakati”. Dalam rangka mendukung program pembangunan
nasional dan menurut Wawasan Nusantara, pengelolaan sumber
daya ikan harus dilakukan sebaik mungkin dengan landasan
keadilan dan pemerataan dalam proses pemanfaatan yaitu
mengutamakan perluasan tempat kerja dan meningkatkan
kualitas hidup para pelaku yang terlibat dalam kegiatan
perikanan, dan menjamin pelestarian sumber daya ikan serta
lingkungannya. Food and Agricultural Organization (FAO) pada
tahun 1995 mencetuskan Code of Conduct for Resposible Fisheries
(CCRF) atau Kode Etik Perikanan yang Bertanggungjawab.
Sebanyak 170 negara yang terdaftar sebagai anggota FAO telah
berpartisipasi CCRF ini. Meski CCRF bersifat tidak wajib, namun
ini dianggap penting untuk diterapkan dan dijadikan komitmen
oleh setiap individu yang bekerja pada bidang perikanan.
Berdasarkan CCRF, setiap negara harus memiliki kebijakan
24
Pemerintah mencetuskan Revolusi Biru sebagai kebijakan
politik perikanan karena melihat kesuksesan pada revolusi di
bidang pertanian. Peningkatan kesejahteraan nelayan menjadi
target utama Revolusi Biru melalui upaya peningkatan efisiensi
serta produktivitas perikanan tangkap. Kebijakan perikanan
tangkap dibuat dengan penggunaan motorisasi dan teknologi alat
tangkap yang lebih canggih, kebijakan pemberian fasilitas kredit
usaha, dan membangun infrastruktur yang mampu menunjang
efektvitas perikanan tangkap dan tempat pelelangan ikan atau TPI
(Prihandoko et al., 2012).
Faktanya, di Indonesia angka produksi perikanan tangkap
dan perikanan budidaya masih jauh berada di bawah negara yang
kekayaan keanekaragaman hayatinya terbilang kecil dengan
potensi sumber daya ikan yang minim. Indonesia dengan produksi
perikanan tangkapnya berada diposisi di bawah negara Cina,
Bangladesh, India, Myanmar, Uganda serta Kamboja. Nilai
produksi perikanan tangkap Indonesia pada tahun 2008 mencapai
323.150 ton sementara Cina mencapai 2.248.177 ton. Sementara
potensi perikanan budi daya Indonesia masih pada angka 1,690
juta ton, dan tertinggal jauh dengan Cina dengan 32,736 ton, hal
ini membuat posisi Indonesia berada di bawah Cina, India, dan
Vietnam. Pengelolaan sumber daya perikanan memiliki tiga aspek
penting yang dijadikan sebagai indikator keberhasilannya,
diantaranya yaitu ekonomi, lingkungan dan sosial. Pada beberapa
titik wilayah di Indonesia, ternyata kegiatan perikanan tangkap
yang dilakukan nelayan memiliki kecenderungan merusak
lingkungan sehingga keseimbangannya terganggu. Bahkan
beberapa spesies ikan di Indonesia terus mengalami penurunan
populasi atau bahkan punah. Permasalahan “tragedy of the open
access” terjadi karena ada faktor pendukung, diantaranya adalah
nelayan salah mengartikan sumber daya ikan sebagai renewable
resource, para pelaku kegiatan perikanan tangkap terus
memaksimalkan hasil tangkap demi keuntungan pribadi, dan para
pelaku kegiatan perikanan tangkap belum memahami bahwa
nelayan – ikan – dan ekosistemnya bukanlah suatu kesatuan yang
26
semakin besar tanggungjawab kontribusi ekonomi si pemiik kapal
pada anak buahnya serta keluarganya. 70,2% nelayan artisanal di
Pantau Utara Jawa Barat telah menanggung 4–5 anggota keluarga
secara ekonomi. Tanggungjawab tersebut meningkatkan dampak
positif nelayan terhadap kegiatan perikanan (Prihandoko et al.,
2012).
Penggunaan kapal bermotor yang masih bertahan menjadi
mayoritas juga menghambat daya jangkau nelayan dalam mencari
ikan, sehingga belum berhasil mencapai zona ekonomi eksklusif.
Diketahui, alat tangkap yang masih digunakan oleh nelayan adalah
alat tangkap konvensional dan belum seluruh nelayan mengenal
teknologi Global Positioning System (GPS). Masalah lain dalam
perkembangan perikanan tangkap di Indonesia yaitu angka
pelanggaran Illegal, Unreported, Unregulated Fishing (IUU Fishing)
yang terjadi masih terbilang cukup tinggi. Kerugian yang yang
dirasakan akibat IUU Fishing selain pada sektor ekonomi, dapat
menimbulkan permasalahan dalam pendugaan stok ikan,
kemudian yang paling krusial yaitu timbulnya konflik sosial antar
nelayan dalam memperebutkan daerah hasil tangkapan baik
sesama nelayan dengan alat tangkap yang sama atau berbeda.
Merosotnya angka potensi subsector perikanan tangkap membuat
pemerintah mengalihkan fokus masyarakat untuk mulai
mengelola subsector perikanan budidaya (Adam, 2013).
Salah satu kearifan lokal yang masih kental yaitu pada
nelayan di Kutai Timur. Beberapa kepercayaan yang masih dianut
diantaranya adalah nelayan harus izin dan pamit kepada keluarga
sebelum melaut agar mendapat petunjuk dimana ikan-ikan bisa
didapat, kemudian masih menaruh sesaji sebagai tanda
penghormtan berupa telur ayam, sirih pinang dan rokok yang
dihanyutkan ke laut, ada pula yang melarang melaut setiap hari
Jumat, kemudian sebelum melaut diharuskan berdoa bersama
sambal mengundang makan-makan bagi para tetangga, ada pula
yang melakukan pesta laut dengan menyembelih ayam atau
kambing untuk tolak bala sebelum melaut dan ada pula yang
melarang nelayan menoleh saat dipanggil menuju laut, kemudian
28
Jawa Timur merupakan salah satu provinsi dengan potensi
sumber daya perikanan laut yang terdiri dari ikan pelagis dan ikan
demersal. Wilayah pengelolaan perikanan di bagian selatan Jawa
Timur yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia,
memiliki potensi pelagis besar yaitu tuna (Thunnus sp) dan
cakalang (K. pelamis) (Rosana dan Prasita, 2015).
Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Pondokdadap di Sendang
Biru memiliki jumlah produksi tuna (Thunnus sp), tongkol (Auxis
sp) dan cakalang (K. pelamis) atau TCT yang besar, di Kabupaten
Malang. Jumlah produksinya pada tahun 2012 mencapai 3787 ton,
hal ini disebabkan karena posisi yang strategis, di dekat Samudera
Hindia yang merupakan daerah penangkapan potensial jenis TCT.
Selain itu, adanya Pulau Sempu sebagai breakwater alami
memberikan keamanan terhadap kapal yang akan berlabuh.
Mayoritas hasil tangkapan TCT ditangkap menggunakan alat
tangkap pancing dengan menggunakan kapal tonda atau kapal
sekoci (Rahmah et al., 2013).
Salah satu upaya mendukung pengelolaan sumber daya ikan
tuna (Thunnus sp) adalah memahami aspek biologi, misalnya
aspek reproduksi. Penelitian mengenai aspek reproduksi meliputi
tingkat kematangan gonad (TKG), fekunditas, dan diameter telur.
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol telah
melakukan usaha budidaya tuna sirip kuning (T. albacares) yang
berdiri sejak tahun 2003 silam (Andamari et al., 2012).
30
3.1 PENGKAJIAN STOK
Pengkajian sumberdaya ikan yang menjadi salah satu dasar
dalam pengelolaan perikanan tertuang dalam Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disahkan Presiden Dr.
H. Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pada tanggal 29 Oktober
2009. Isi penjelasan dari UU tersebut adalah mengenai prinsip-
prinsip pengkajian sumber daya ikan, kaitannya dengan
pengelolaaan perikanan, pentingnya pemahaman mengenai
potensi dan tangkapan ikan. Selain itu dibahas pula pengkajian
sumber daya ikan dalam konteks di Indonesia. Sektor perikanan
merupakan salah satu sektor utama yang akan menghantarkan
Indonesia sebagai negara yang maju perekonomiannya pada
tahun 2030. Untuk mewujudkannya, dibutuhkan pengelolaan
sumber daya ikan yang lestari dan berkelanjutan. Dengan adanya
kajian stok yang berkesinambungan, kebaruan data dapat
dijadikan pijakan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan
sumber daya perikanan secara akurat dan cermat untuk
mewujudkan peningkatan kesejahteraan nelayan di Indonesia.
Menurut (Tangke, 2010) pengelolaan perikanan membutuhkan
suatu informasi yang mendasar agar pengambilan keputusan
dalam pengelolaan efektif dan efisien. Salah satu informasi yang
dibutuhkan yaitu mengenai aspek biologi (pengkajian stok ikan).
Namun saat ini masih minimnya sistem informasi mengenai
perikanan terutama mengenai aspek biologi (pengkajian stok
ikan) akan berakibat pada kesalahan dalam perencanaan
pengelolaan perikanan.
Kajian stok tidak lain adalah upaya untuk melihat
bagaimana pengaruh atau dampak kegiatan perikanan
(penangkapan ikan) terhadap stok atau populasi. Kajian stok
digunakan, antara lain untuk menduga dampak yang mungkin dari
opsi pengelolaan dan konsevasi yang diambil, dan diliputi oleh
ketidakpastian akibat dari data yang tidak lengkap atau data yang
bias, variabilitas alami, perubahan teknologi penangkapan,
perilaku ikan dan armada penangkapan serta interaksi antar
32
kelompok spesies ikan seperti, pelagis besar, pelagis kecil,
demersal, udang, cumi-cumi, ikan hias,moluska dan tripang, benih
alamkomersial, ikan konsumsi perairan karang pertama kali
ditetapkan melalui Keputusan Menteri Pertanian No. 995/Kpts/IK
210/9/99 (Suman, Satria, Nugraha, Priatna , Amri, & Mahiswara,
Status Stok Sumber Daya Ikan Tahun 2016 di Wilayah
Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) dan
Alternatif Pengelolaannya, 2018).
3.2 BEBERAPA MODEL PENGKAJIAN STOK
Menurut (Sparre & Venema, 1992) mengemukakan bahwa
model-model yang digunakan untuk kajian stok ikan (termasuk
ikan pelagis) bagi keperluan pengelolaannya secara garis besar
menjadi dua golongan yaitu : (1) model analitik, (2) model
holistik. Model-model holistik sederhana menggunakan
parameter populasi lebih sedikit dibanding model-model analitis.
Model holistik menganggap suatu stok ikan sebagai suatu
biomassa yang homogen tanpa memperhatikan struktur panjang
dan umur dari stok. Model analitik didasarkan atas deskripsi yang
lebih rinci dari stok dan lebih membutuhkan data masukan yang
baik dalam hal kualitas dan kuantitas.
Sejauh ini, kajian stok ikan pelagis kecil di Indonesia,
khususnya di Laut Jawa menggunakan tiga pendekatan, yakni: (1)
Model produksi surplus, model ini sangat dikenal karena hanya
membutuhkan “catch effort” dan dengan asumsi kondisi
keseimbangan (steady-state equilibrium assumption). (2) Model
Analitik, Yield per recruit atau Y/R (Beverton & Holt, 1957)
memodelkan perubahan populasi dengan waktu dalam
deterministik atau persamaan matematik. Analisis kohor
berdasarkan “catch at length data” untuk menentukan jumlah
individu di laut dan menggambarkan struktur biomassa. (3)
Model simulasi menggunakan variasi dari model surplus produksi,
yakni: dinamika biomassa. Model simulasi digunakan untuk
prediksi perikanan dengan menggabungkan aspek biologi dan
ekonomi (biaya dan tingkat keuntungan bagi kebijakan
34
mengikut-sertakan aspek-aspek lain yang menunjang dinamika
populasinya. Aplikasi model dinamik atau model analitik
dilakukan dengan mengikut-sertakan aspek-aspek dinamika
populasi yang mendukung perkembangan populasi tersebut,
seperti laju pertumbuhan, laju kematian, panjang maksimum,
parameter hubungan panjang-berat (isometrik atau allometrik)
dan laju penangkapan. Analisis data yang dilakukan berdasarkan
kedua model tersebut akan mengarah kepada diperolehnya
tingkat ‘magnitude’ yang antara lain dapat dinyatakan sebagai;
Besarnya biomassa (B/), Potential Yield (Py), Yield per-recruit
(Ymax), dan MSY (the Maximum Sustainable Yield atau hasil
tangkapan maksimum yang berlanjut). Uraian selanjutnya lebih
dititik beratkan kepada bahasan tentang Model Produksi Surplus
(MPS) yaitu salah satu metode analisis data catch dan effort yang
mengarah kepada diperolehnya tingkat MSY dan upaya optimum.
Analisis data tersebut adalah analisis yang paling mudah
dilakukan dan paling mudah difahami oleh para pengelola,
terlepas dari kelemahan, kekurangan-telitian serta terpenuhinya
asumsi-asumsi dasar yang melandasi model tersebut (Badrudin,
2004).
Tabel 1. Beberapa Model dan Metode Pengkajian Stok
Holistik Dinamik Ekosistem
6. Depletion method
B. Analisis data
catch dan effort
(Model Produksi
Surplus):
1. Linier model:
Schaefer
2. Logarithmic
model: Fox,
3. Schnutte, dan
variant-nya
C. Tagging
experiments
Sumber:
36
proses-proses yang terjadi (over-simplified). Model ini hanya
memerlukan data catch dan effort, dua jenis data yang selama ini
telah dikumpulkan dan dikenal sebagai statistik perikanan.
Namun demikian, minimal perlu diketahui karakteristik
sumberdaya ikan, perilaku-perilaku dan batas-batas ketahanan
sumberdaya ikan tersebut terhadap tekanan penangkapan.
Model MPS dibangun dengan asumsi bahwa sumberdaya
ikan berada pada ‘steady state or equilibrium condition’ dan
‘constant catchability’. Dalam kenyataannya kondisi equilibrium
tersebut sangat jarang terjadi. Dari pengalaman di Negara dimana
konsep ini berasal adalah bahwa konsep ini menghasilkan
estimasi yang terlalu tinggi, sehingga dalam aplikasinya harus
benar-benar menerapkan ‘precautionary approach’. Mengacu
kepada statistik perikanan yang ada, pengelompokkan
sumberdaya ikan untuk pengkajian stok antara lain yaitu: ikan
demersal, ikan pelagis kecil, ikan pelagis besar (non tuna), udang,
cumi-cumi, cucut dan pari. Langkah-langkah selanjutnya sebagai
berikut:
Prosedur Penghitungan
Untuk menghitung MSY, Upaya Optimum dan Tingkat
Pemanfaatan, data statistik yang diperlukan adalah:
1) Produksi jenis-jenis ikan.
2) Produksi jenis ikan per-jenis alat tangkap.
3) Jumlah dan jenis alat tangkap.
Alat Produksi ∑
C/A FPI Catatan
Tangkap (C) Alat (A)
Sumber:
Total Effort
Sumber:
38
Menghitung MSY dan Upaya Optimum
Langkah berikutnya adalah menghitung CPUE tahunan yaitu
dengan membagi Total produksi ikan (demersal, pelagis dsb.)
dengan Total Effort tahunan.
Tabel 4. Menghitung MSY dan Upaya Optimum
Tahun Produksi Total Effort (f) CPUE
Sumber:
Sumber:
40
Pada Gambar 7 dapat dijelaskan bahwa teori model
Schaefer: C/f =a – bf C = af - bf 2. Pada titik effort maksimum
(Fmax), maka hasil tangkapan akan menjadi Nol. C = af – bf 2 = 0;
Jika demikian pada titik tersebut a = bf; atau f = a/b. Pada Catch
maksimum (MSY), maka tingkat effort (Fopt) berada pada setengah
tingkat effort maksimum (1/2 . a/b = a/2b).
Dengan memasukkan nilai a/2b ke persamaan regresi :
C = af – bf 2, menjadi >> C = a. a/2b – b (a/2b) (a/2b) atau >> C =
a2/2b – a2/4b atau >> C = 2a2/4b – a2/4b, sehingga dengan
demikian maka Cmax atau MSY menjadi :
MSY = A2 / 4 b dan f opt = A/2b
Model Eksponensial - Fox
Rumus Model Eksponential Fox : MSY = - (1 / b) * e (A-1) dan f
opt = 1/b. Akan sangat baik jika nilai MSY dan effort optimum
Dimana :
c = Biaya nominal rata-rata penangkapan (Rupiah/tahun)
ci = Biaya nominal penangkapan responden ke i (Rupiah / tahun)
n = Jumlah responden (nelayan)
42
3.3.3 Contoh Hasil Riset
Berikut ini merupakan contoh studi kasus yang berjudul
“Analisis Bioekonomi Tuna Madidihang (Thunnus albacares
Bonnaterre 1788) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia (WPPNRI) 573” oleh (Krisdiana, Iriana,
Djunaedi, & Dhahiyat, 2014) . Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui (1) besarnya potensi lestari secara biologi (Maximum
Sustainable Yield, MSY), (2) besarnya potensi lestari secara
ekonomi (Maximum Sustainable Yield, MSY). Pengkajian stok
menggunakan data sekunder berupa data produksi dan upaya
penangkapan berdasarkan data statistik perikanan tangkap tahun
2003 sampai tahun 2012 yang diperoleh dari PPN Palabuhan ratu
(Jawa Barat), PPS Cilacap (Jawa Tengah) dan PPN Pengambengan
/PU Benoa (Bali). Data yang diambil berupa; data produksi (Yield)
dan data upaya (effort). Data produksi dan data upaya dari alat
tangkap Rawai Tuna dan Pukat Cincin di ambil secara runtun
(time series) 10 tahun terakhir yaitu dari tahun 2003-2012.
Berikut ini Gambar 8. Kurva Keseimbangan Bio Ekonomi, MSY dan
MEY
Sumber:
44
BAB 4
MANAJEMEN SUMBERDAYA IKAN
48
Indonesia yang memiliki potensi sumberdaya ikan dan termasuk
ke dalam WPP-RI 573. Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor 68/KEPMEN-KP/2016, ikan Lemuru (Sardinella
lemuru) di WPP-RI 573 terkonsentrasi di Selat Bali dengan
produksi rata-rata tahun 2005-2014 sebesar 64.961 ton. Ikan
Lemuru mempunyai peranan sangat penting yaitu sebagai sumber
pendapatan utama bagi masyarakat setempat, karena dari ikan
Lemuru ini menciptakan lapangan pekerjaan seperti usaha
penangkapan dan usaha pengolahan. Usaha penangkapan Lemuru
semakin meningkat sebanding dengan meningkatnya usaha
pengolahan Lemuru dan penggunaan alat tangkap yang
digunakan.
Kondisi lemuru di Selat Bali semakin mengkhawatirkan,
tahun 2011 produksi lemuru di Selat Bali mengalami penurunan
yang sangat besar, selama beberapa bulan nelayan tidak pergi
melaut dikarenakan hasil tangkapan yang sedikit. Produksi hasil
tangkapan ikan Lemuru yang diperoleh di Perairan Selat Bali, saat
ini sudah mengalami penurunan sebagai akibat terjadinya
penangkapan berlebih (overfishing). Penurunan produksi
ditunjukkan oleh ukuran ikan tangkap yang makin kecil, turunnya
produksi unit input dan jumlah struktur populasi yang menurun.
Kondisi lainnya dalam perikanan lemuru yakni terjadinya
produksi yang berfluktuasi, kurang efisiensi pemanfaatan
sumberdaya ikan, serta belum adanya strategi sistem pengelolaan
sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Kegiatan
penangkapan ikan oleh nelayan yang berlebihan adalah salah satu
bentuk esploitasi terhadap populasi ikan hingga mencapai tingkat
yang membahayakan. Semakin sedikitnya sumberdaya ikan, laju
pertumbuhan ikan yang lambat, dan tingkat biomassa yang
rendah merupakan hasil dari penangkapan ikan yang berlebihan,
dan hal tersebut telah dicontohkan dari penangkapan ikan
Lemuru (Sardinella lemuru) yang berlebihan dan membuat
sumberdaya ikan Lemuru di tempat tersebut lama-kelamaan
semakin berkurang.
Simber:
Gambar 9. Grafik Hubungan Effort dan CPUE Lemuru di Selat Bali Tahun
2010–2015
50
2. Koefisien determinasinya (R2) sebesar 0,4996 atau 49,96%.
Hal tersebut berarti variasi atau naik turunnya CPUE
sebesar 49,96% disebabkan oleh naik turunnya nilai effort,
sedangkan sisanya 50,04% disebabkan oleh variabel lain
yang tidak di bahas di dalam model.
3. Koefisien korelasi (R) sebesar 0,71 menandakan bahwa
CPUE dan effort memiliki keeratan yang kuat. Berdasarkan
nilai CPUE (Catch per Unit Effort) mengalami fluktuatif dari
tahun 2010 – 2015. Nilai CPUE tertinggi pada tahun 2015
yaitu sebesar 436 kg/trip dan terendah pada tahun 2011
yaitu sebesar 58 kg/trip. Tinggi rendahnya nilai CPUE
terjadi karena selama periode tersebut terjadi penambahan
dan pengurangan baik dalam penggunaan alat tangkap
maupun trip penangkapan (effort). Kenaikan nilai CPUE
tertinggi terjadi pada tahun 2013 – 2014 dengan kenaikan
sebesar 240 kg/trip. Pada tahun 2011 nilai CPUE mengalami
deplesi itu dikarenakan upaya penangkapan pada tahun
sebelumnya sangat tinggi sehingga sumberdaya ikan yang
didapatkan menurun. Tetapi pada tahun-tahun selanjutnya
nilai CPUE mengalami kenaikan, dimana terjadinya
pemulihan sumberdaya ikan.
Penjelasan tentang sumberdaya lemuru tidak cukup
dijelaskan hanya dengan tingkat produksinya saja, karena tingkat
produksi juga sangat dipengaruhi oleh perubahan jumlah armada
yang beroperasi. Tingkat penjelasan yang lebih proporsional
adalah konsep perbandingan hasil produksi dengan jumlah upaya
yang disebut catch per unit effort (CPUE). CPUE ini yang lebih
akurat untuk mengetahui tingkat perubahan produksi ikan. Hasil
produksi tertinggi terjadi pada tahun 2015 yaitu 22.359.567 kg
dengan tingkat upaya sebanyak 51.240 dan terendah terjadi pada
tahun 2011 dengan hasil produksi 3.208.698 kg dengan tingkat
upaya sebanyak 55.164, namun tingkat upaya tertinggi terjadi
pada tahun 2012, yaitu sebanyak 61.200 trip. Tingkat perubahan
yang terjadi tidak selalu berbanding lurus, dimana pada tingkat
upaya besar belum tentu besar pula hasil produksi, ini sangat
Simber:
52
Bali sehingga dapat ditentukan kapan terjadinya overfishing
dengan membandingkan upaya dan hasil tangkapan setiap
tahunnya. Berdasarkan model Schaefer, didapatkan nilai upaya
penangkapan optimum sebesar 31.232 trip per tahun dan nilai
jumlah tangkapan maksimum lestarinya sebesar 34.284.153 kg
per tahun. Jika dilihat berdasarkan nilai tangkapan maksimum
lestari, jumlah tangkapan yang dihasilkan dari tahun 2010 – 2015
belum mencapai nilai tangkapan maksimum (CMSY). Tetapi upaya
penangkapan yang dilakukan telah melebihi upaya penangkapan
optimum (EMSY), walaupun upaya penangkapan sudah mengalami
penurunanan setiap tahunnya. Tapi terdapat pemulihan
sumberdaya pada tahun 2011 sampai 2015 letak titik bergerak ke
atas. Itu menandakan adanya upaya untuk memulihkan
sumberdaya dengan cara mengurangi trip dalam penangkapan.
Berdasarkan perbandingan antara hasil tangkapan lestari dengan
hasil tangkapan aktual bahwa hasil tangkapan yang diperoleh
setiap tahunnya masih di bawah potensi lestari. Tetapi jumlah
upaya penangkapan telah melebihi upaya penangkapan optimum.
Upaya penangkapan yang melebihi upaya optimum sebaiknya
dilakukan suatu pembatasan upaya penangkapan dan sebaiknya
tidak dilakukan penambahan upaya penangkapan lagi untuk
kegiatan penangkapan ikan Lemuru di Selat Bali.
Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan Lemuru di Selat Bali
mengalami peningkatan dari tahun 2011 sampai tahun 2015
tetapi tidak melebihi 100% atau tingkat pemanfaatan lemuru di
Selat Bali dibawah hasil tangkapan optimum (CMSY) tetapi tingkat
pengupayaan lemuru di Selat Bali sudah melebihi 100% atau
sudah melebihi upaya optimum (EMSY). Tingkat pengupayaan
perlu dibatasi karena tingkat pemanfaatan dan tingkat
pengupayaan yang melebihi potensi lestari (MSY) dapat
mengancam kelestarian sumberdaya ikan Lemuru.
4.1.2 Studi Kasus Perikanan Tangkap Udang
Penelitian oleh (Badrudin, Sumiono, & Wirdaningsih, 2002)
yang berjudul “Laju Tangkap, Hasil Tangkapan Maksimum
54
Laut Arafura secara keseluruhan, maka status perikanan udang di
Laut Arafura dapat diidentifikasi.
Sumber:
Gambar 11. Tren produksi total, upaya, dan hasil tangkapan per satuan
upaya (CPUE) perikanan udang di Laut Arafura (1991-2000)
Sumber:
56
Gambaran tentang aplikasi model eksponensial Fox yang
merupakan salah satu model produksi surplus tersebut tampak
menyiratkan adanya 'optimisme' yaitu seolah-olah masih ada
peluang bagi penambahan upaya. Mengingat prinsip pendekatan
dengan kehati-hatian penambahan upaya tersebut haruslah
dilakukan dengan monitoring yang ketat terhadap hasil tangkapan
per satuan upaya. Dari fenomena tersebut diduga akan jauh lebih
aman bagi sumber daya udang jika upaya pengelolaan
dipertahankan pada tingkat 'status quo'. Dengan kata lain, sampai
dengan diperolehnya data produksi dan CPUE udang tahun-tahun
mendatang, untuk sementara sebaiknya tidak ada penambahan
jumlah upaya.
58
mendapatkan izin usaha adalah sekitar 458 unit. Dengan mengacu
kepada model Fox yang lebih optimistik tersebut, diharapkan
bahwa jumlah kapal pukat udang pada tahun 2002 ini tidak lebih
dari 660 unit, sedangkan menurut (Gillet, 2000) jumlah kapal
yang terdaftar unit sebenarnya sudah melebihi 408 unit yang
hendaknya dijadikan titik acuan pengelolaan yang lebih bersifat
konservatif yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan baik
secara ekologi ataupun ekonomi (ecologically and economically
sustainable). Tujuan utama pengelolaan sumber daya udang
adalah menentukan tingkat hasil tangkapan yang berlanjut dalam
jangka panjang (long term sustainability). Perencanaan dan
pencapaian tujuan dari langkah pengelolaan yang dikembangkan
harus dapat mendukung kelancaran implementasi dan menjamin
efektifitas bagi tiap langkah pengelolaan yang diterapkan. Dari
kegiatan tersebut akan terbuka kesempatan dan langkah yang
jelas yang harus diadopsi, yaitu pemantauan jumlah kapal dan
hasil tangkapan, pengumpulan dan pemanfaatan data,
pemantauan-pengendalian pengawasan, yang semuanya
ditujukan untuk menjamin keberlanjutan pemanfaatan stok udang
yang ada. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu selama periode
penelitian ini persentase udang krosok cenderung naik sedangkan
udang windu dan udang jerbung (banana shrimp) cenderung
menurun. Hasil analisis data catch dan effort periode 1991-2000,
menunjukkan bahwa trend laju tangkap sumber daya udang
selama periode tersebut sedikit menurun. Baik nilai dugaan MSY
ataupun Fopt yang diperoleh melalui aplikasi model exponential
mempunyai kisaran yang sangat lebar, yaitu MSY = 28.000 ton
(kisaran 17.000-75.000 ton, dan Fopt, = 660 (kisaran 408-1754)
unit kapal pukat udang.
4.2 SUMBER DAYA IKAN DI PERAIRAN LEPAS (OFFSHORE)
Dalam konsep pengelolaan sumber daya ikan berkelanjutan
terdapat tiga komponen penting yang berjalan dalam kondisi
berimbang, yaitu: ekologi, sosial, dan ekonomi. Secara empiris
adalah proses tarik ulur antara ketiga kepentingan tersebut
(Satria, 2004). Sedangkan menurut (Kusumastanto, 2002)
60
Indonesia (ZEEI) sampai di luar ZEEI, digerakkan oleh pelaku
yang sudah berciri industrial. Mereka padat modal dan
berteknologi tinggi. Pada saat ini, kebijakan dikendalikan oleh
komisi Internasional yang beranggotakan negara-negara yang
berkepentingan terhadap sumber daya di suatu wilayah laut, dan
terus berupaya mengembangkan dan kecenderungan
menyeimbangkan aspek ekonomi dan ekologi. Seperti, tuna di
Pasifik Selatan dipegang CCSBT. Tuna di Laut India dipegang IOTC.
Tuna di Atlantik dipegang ICCAT. Kebijakan ini mungkin relatif
lebih efektif bagi spesies tuna (Thunnus maccoyii) dan beberapa
spesies tuna lainnya karena diberlakukan embargo perdagangan
Internasional bagi pelanggar.
4.2.1 Populasi Ikan Tuna Dan Penyebarannya
Tuna merupakan salah satu jenis ikan pelagis yang dalam
kelompok ruayanya akan muncul di atas lapisan termoklin
menjelang matahari terbit dan saat matahari akan tenggelam pada
sore hari (Soepriyono, 2009). Pada saat malam hari gerombolan
tuna akan menyebar di antara lapisan permukaan dan termoklin.
Pada kedalaman lebih 300 m, semua jenis tuna kecuali bigeye
tidak tertangkap. Hal ini menunjukkan bigeye tuna merupakan
spesie (Patterson, Evans, Carter , & Gunn, 2008)s tuna yang
memiliki swimming layer terjauh dan mampu beradaptasi pada
suhu rendah. Kelompok tuna jenis bluefin beruaya tidak berada
pada perairan dalam dikarenakan tujuan untuk memijah sehingga
memerlukan perairan dengan suhu hangat (Patterson et al.,
2008). Kedalaman penangkapan tuna jenis yellowfin dan albacore
memiliki kesamaan yaitu pada level lapisan permukaan, hal ini
menunjukkan perairan tropis merupakan daerah yang cocok
untuk menangkap yellowfin tuna, baik yang dekat dengan pulau
maupun yang agak jauh. Secara horisontal, daerah penyebaran
tuna di Indonesia meliputi perairan barat dan selatan Sumatera,
perairan selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, Laut Flores, Laut
Banda, Laut Sulawesi dan perairan utara Papua. Secara vertikal,
penyebaran tuna sangat dipengaruhi oleh suhu dan kedalaman
renang.
62
tuna biasanya hidup pada kedalamannya mencapai 10.000 m di
laut Banda yang merupakan salah satu daerah penangkapan ikan
tuna (terutama ikan tuna mata besar) di kawasan timur Indonesia.
Ikan tuna sirip biru adalah jenis ikan tuna yang punya nilai paling
tinggi. Perairan Samudera Hindia di sebelah selatan Jawa, Bali,
dan Nusa Tenggara merupakan daerah pemijahan dari jenis tuna
ini. Ikan biasanya bermigrasi ke perairan selatan Jawa dan Bali,
dan umumnya nelayan menangkap ketika berada dalam kondisi
memijah pada November dan Januari. Tingginya nilai tuna sirip
biru menyebabkan ikan ini menjadi target penangkapan terutama
oleh armada Jepang, Taiwan, Korea, Selandia Baru,dan Australia.
Tabel 6. Kisaran Suhu Penyebaran dan Penangkapan Serta
Lapisan Renang Ikan Cakalang dan Beberapa Jenis Tuna
64
Sumber:
Sumber:
Sumber:
Gambar 15. Hubungan catch dengan effort model Schaefer dan Fox
Sumber:
66
albacares) dilihat dari nilai R square yang dihasilkan dari analisis
regresi, pada model Fox memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan
dengan nilai R square pada model Schaefer (28%>15%). Model
Fox terpilih menjadi model terbaik berdasarkan keakuratan pada
hasil parameter biologi, dengan pertimbangan memperhatikan
nilai b negatif pada hasil analisis regresi, nilai R square yang
dihasilkan, serta tingkat signifikasi sehingga pada model Fox
dianggap paling logis dalam menentukan status sumberdaya ikan
tuna di perairan Samudra Hindia Jawa Timur (Mulyani A. , 2013).
Penentuan dasar dalam menduga status sumberdaya ikan
tuna sirip kuning status sumberdaya ikan tuna sirip kuning
(Thunnus albacares) di perairan selatan Jawa Timur dengan model
equilibrium menggunakan model Fox didapatkan tingkat
pengusahaan pada saat JTB 107% atau berlebih 7% dari nilai fJTB
dengan status pengusahaan over exploited posisi perikanan tuna
10 tahun terakhir yang diaplikasikan dalam model fox pada
Gambar 13.
Sumber:
Gambar 16. Posisi perikanan tuna 10 tahun terakhir dalam model Fox 1970
Sumber:
68
Sustainabel Yield (MSY) menggunakan model Fox (1970)
didapatkan nilai YMSY 1317,453 ton, fMSY sebesar 1.236.774 trip.
Nilai JTB didapatkan fJTB dengan nilai 386.700 trip dan yJTB
1.053,963 ton. (2) Status pengusahaan ikan tuna sirip kuning
(Thunnus albacares) di perairan Selatan Jawa Timur dengan acuan
nilai fJTB yang diperoleh dari model fox 1970, didapatkan tingkat
pengusahaan sebesar 107% sehingga didapatkan status
pengusahaan over exploited. Sisa biomassa ikan tuna pada tahun
2015 sebesar 5420, 298 ton atau setara dengan 80% dari nilai
biomass pada saat JTB didapatkan status over exploited. (30
Alternatif pengelolaan sumberdaya ikan tuna sirip kuning
(Thunnus albacares) di perairan Selatan Jawa Timur adalah
dengan upaya penangkapan ikan diturunkan sebesar 5% dari
upaya penangkapan tahun 2015 sebesar 461.716 trip dengan
rincian 300.116 trip pada saat musim tenggara dan 161.600 trip
pada saat musim barat sehingga akan didapatkan biomass sebesar
5923,227 ton atau setara dengan 87% dari biomass pada saat JTB.
Studi penelitian selanjutnya yaitu studi kasus penelitian
yang dilakukan oleh (Nuddin Harahap & Erlinda Indrayani, 2015)
yang berjudul “Analisis Bioekonomi Sumberdaya Ikan Tuna di
Jawa Timur” membahas mengenai analisis kondisi aktual
pengusahaan sumberdaya ikan tuna, dan menganalisis dan
menentukan tingkat optimum pengusahaan sumberdaya ikan
tuna di Jawa Timur, berdasarkan aspek biologis dan ekonomis.
1. Kondisi Aktual Pengusahaan Sumberdaya Ikan Tuna
a. Hasil Tangkapan Ikan Tuna
Hasil tangkapan Ikan Tuna dengan alat tangkap pancing di
Perairan Provinsi Jawa Timur dari 3 sampel wilayah penangkapan
yaitu Kabupaten Pacitan, Kabupaten Malang, dan Kabupaten
Trenggalek berkisar antara 3.500.000 – 6.000.000 Kg per tahun.
hasil tangkapan rata – rata Ikan Tuna selama periode 2009 – 2014
adalah sebesar 4.943.468 Kg. Perkembangan hasil tangkapan dari
2009 – 2014 dapat dilihat pada gambar 15.
Gambar 18. Grafik Hasil Tangkapan Ikan Tuna periode 2009 – 2014 di
Provinsi Jawa Timur
70
Kabupaten Malang, dan Kabupaten Trenggalek. Upaya
penangkapan Ikan Tuna pada periode 2009 – 2014 cenderung
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun dengan rata – rata unit
penangkapan pada 3 lokasi besar penghasil Ikan Tuna Jawa Timur
sebesar 308 unit kapal. Perkembangan upaya penangkapan Ikan
Tuna dapat dilihat pada Gambar 16.
Sumber:
Gambar 19. Grafik Upaya Penangkapan Ikan Tuna Periode 2009 – 2014 di
Provinsi Jawa Timur
Sumber:
Gambar 20. Grafik Hasil Tangkapan Per Upaya Penangkapan (CPUE) Ikan
Tuna Periode 2009 – 2014 di Provinsi Jawa Timur
72
Timur akan menurun apabila upaya penangkapan mengalami
peningkatan.
Sumber:
Gambar 21. Grafik Hubungan CPUE dengan Upaya Penangkapan Ikan Tuna
Periode 2009 – 2014
Sumber:
74
2. Aspek Ekonomi Pengusahaan Sumberdaya Ikan Tuna
a. Biaya penangkapan
Biaya penangkapan dalam kajian bioekonomi Model Gordon
– Schaefer didasarkan atas asumsi bahwa hanya faktor
penangkapan yang diperhitungkan, sehingga biaya penangkapan
dapat didefinisikan sebagai biaya variabel (bahan bakar, bahan
pengawet, oli, dan pangan) per kapal sekali melaut dan biaya per
kapal untuk sekali melaut dianggap konstan. Perhitungan biaya
penangkapan diperoleh dari perhitungan biaya rata – rata
penangkapan 142 responden pemilik kapal yang beropersi di 3
lokasi besar penghasil Ikan Tuna di Jawa Timur, yaitu Kabupaten
Pacitan, Kabupaten Malang, dan Kabupaten Trenggalek. Biaya rata
– rata tersebut kemudian dipakai untuk menghitung biaya rill rata
– rata dengan memasukkan IHK dalam perhitungannya. Rata –
rata biaya rill penangkapan kapal sekoci (pancing) di Provinsi
jawa Timur sebesar Rp 5.632.073,00
Perhitungan total biaya (TC) kapal sekoci di Provinsi Jawa
Timur menggunakan persamaan TC = 5.632.073 x E dengan
menggunakan aplikasi Maple 18. Perhitungan biaya rill rata – rata
melaut kapal sekoci di Provinsi jawa Timur dapat dilihat Gambar
20 menunjukkan hubungan antara TC dengan Effort di perairan
Provinsi Jawa Timur.
Total Cost
Sumber:
Gambar 23. Hubungan Total Cost (TC) dengan Upaya penangkapan (E)
76
Hasil tangkapan menunjukkan produksi Ikan Tuna yang
dihasilkan pada tingkat upaya tertentu. Total Revenue diperoleh
dari perkaliaan antara harga rill rata – rata Ikan Tuna dengn hasil
tangkapan, sedangkan Total Cost merupakan perkalian antara
biaya penangkapan dengan unit upaya penangkapan yang
beroperasi di 3 lokasi besar penghasil Ikan Tuna Jawa Timur.
Rente ekonomi yang diperoleh dalam pengusahaan sumberdaya
Ikan Tuna merupakan selisih antara penerimaan dan total biaya
untuk unit upaya penangkapan pada masing – masing kondisi
pengusahaan sumberdaya.
Data optimalisasi bioekonomi dalam Tabel 1 dapat menjadi
grafik yang menunjukkan perbandingan antara Upaya
Penangkapan (E), Hasil Tangkapan (h), Total Penerimaan (TR),
Total Biaya (TC), rente ekonomi (π) pada berbagai macam kondisi
pengusahaan sumberdaya.
Grafik perbandingan Upaya Penangkapan pada kondisi
maximum sustainable yield, maximum economic yield, open acces,
dan rata – rata aktual upaya penangkapan di Provinsi Jawa Timur
pada periode 2009-2014 dapat dilihat pada gambar 23.
Sumber:
Sumber:
78
akan berbanding negatif dengan tingkat upaya penangkapan.
Semakin tinggi upaya penangkapan maka semakin rendah hasil
tangkapan yang didapatkan nelayan.
Perbandingan Total Penerimaan dan Total Biaya pada
pengusahaan sumberdaya Ikan Tuna dengan berbagai tingkat
upaya penangkapan di Perairan Provinsi Jawa Timur pada periode
2009 - 2014 dapat dilihat pada gambar 25.
Sumber:
Gambar 26. Hubungan Kuadratik antara Total Penerimaan dan Total Biaya
dengan Berbagai Tingkat Upaya Penangkapan Pengusahaan Sumberdaya
Ikan Tuna di Perairan Provinsi Jawa Timur
80
pada titik MEY maka rente ekonomi tertinggi terletak pada titik
MEY.
Pada kondisi aktual rata – rata tahun 2009 – 2014
pengusahaan sumberdaya Ikan Tuna, hasil tangkapan Ikan Tuna
di Perairan Provinsi Jawa Timur pada periode 2009-2014 sudah
jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi MSY, yang artinya
sumberdaya Ikan Tuna di Perairan Jawa Timur sudah mengalami
eksploitasi besar – besaran. Jika tidak dilakukan pengawasan dan
upaya konservasi maka cepat atau lambat sumberdaya Ikan Tuna
di Perairan Provinsi Jawa Timur akan habis. Perlu kepeduliandan
perhatian dari semua pihak, baik pelaku perikanan ataupun
pemerintah sebagai pemegang kebijakan untuk pengawasi proses
penangkapan Ikan Tuna di Jawa Timur.
82
5.2 Kesimpulan
Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Keanekaragaman sumberdaya hayati laut yaitu potensi
sumberdaya yang dimiliki bagi suatu negara untuk
menunjang kebutuhan dan keberlangsungan suatu
ekosistem yang ada di perairan. Dimana keaekaragaman
sumberdaya hayati laut misalnya, adanya potensi ekosistem
terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem padang
lamun, dan ekosistem ikan (pisces).kemudian adanya
beberapa faktor yang mempengaruhi keanekaragaman
hayati laut.
2. Karakteristik perikanan tangkap yang ada di Indonesia
menurut Undang-Undang dapat diklasifikasikan
berdasarkan jenis dan macam alat tangkap, jenis-jenis ikan,
dan perilaku pemanfaatan sumberdaya ikan yang ada di
wilayah laut Indonesia.
3. Dinamika stok sumberdaya ikan merupakan suatu upaya
untuk melihat bagaimana pengaruh atau dampak kegiatan
perikanan (penangkapan ikan) terhadap stok atau populasi.
Beberapa model pengkajian besarnya stok sumberdaya ikan
dapat dikelompokkan ke dalam 3 model, yaitu model
holistik, model dinamik/analitik dan model ekosistem.
Aplikasi dari semua metode-metode pengkajian stok
sebenarnya harus ditunjang dengan analisis tentang aspek-
aspek dinamika populasi yang mengarah kepada
diperolehnya tingkat upaya (fishing effort) yang optimal dan
hasil tangkapan yang maksimum dan berkelanjutan.
4. Manajemen sumberdaya ikan dapat diklasifikasikan
berdasarkan sumber daya ikan di daerah pantai (inshore)
dan sumberdaya ikan di perairan lepas (offshore). Dimana
hasil yang didapatkan yaitu pengelolaan sumberdaya ikan di
daerah perairan lepas hasil yang didapatkan lebih unggul
mengenai keberlanjutan komunitas perikanan (sustainable
community) dibandingkan dengan pengelolaan sumberdaya
ikan di daerah pantai.
86
Herianto dan Subiandono, E. 2016. Peran Biomassa Mangrove
Dalam Menyimpan Karbon Di Kubu Raya, Kalimantan Barat.
Jurnal Analisis Kebijakan, 13(1), hal 1-12.
Hilborn, R., Orensanz, J., Lobo, & Parma, A. (2005). Institutions,
incentives and the future of fisheries. Philosophical
Transaction of the Royal Society B 360 , 47–57.
Holden, M., & Rait, D. (1974). Manual of fisheries science. Part 2.
Methods of Resource Investigations and their Application.
FAO Fish Tech. Pap. (115) Rev. 1, 214.
Juliani. 2014. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Berbasis
Kearifan Lokal di Wilayah Pesisir Kabupaten Kutai Timur.
Kalimantan : Agrointek Vol. 8 No.2.
Kariada, Nana dan Irsadi, Andin. 2014. Peranan Mangrove Sebagai
Biofilter Pencemaran Air Wilayah Tambak Bandeng Tapak.
Semarang. Jurnal Manusia dan Lingkungan no. 21(2) hal
188-194.
Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2017. Buku Saku Pengolah
Data Jenis Ikan. Jakarta.
Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2017. Buku Saku Pengolah
Data Alat Tangkap. Jakarta.
Krisdiana, R., Iriana, D., Djunaedi, O., & Dhahiyat, Y. (2014).
Analisis Bioekonomi Tuna Madidihang (Thunnus albacares
Bonnaterre 1788) di Wiayah Pengelolaan Perikanan Negara
Republik Indonesia (WPPNRI) 573. Program Dokor Fakultas
Pertanian Universitas Padjajaran, 1-15.
Kurniawati, Erika. Abdul Ghofar, Suradi Wijaya Saputra, Budi
Nugraha. 2016.Pertumbuhan Dan Mortalitas Ikan Tuna Mata
Besar (Thunnus Obesus) Di Samudera Hindia Yang
Didaratkan Di Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali. Bali :
Diponegoro Journal of Maquares Vol.5 No.4, Hal 371-380.
Kusumastanto, T. (2002). Reposisi “Ocean Policy” Dalam
Pembangunan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
88
Bantul, Provinsi DIY. Timor Leste : Jurnal Wilayah dan
Lingkungan Vol.3 No.3.
Priatna, A., & Wijopriono. (2011). Estimasi Stok Sumber Daya Ikan
Dengan Metode Hidroakustik Di Perairan Kabupaten
Bengkalis. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 17 (1),
1-10.
Prihandoko. Amri Jahi. Darwis S Gani. I Gusti Putu P. Luky
Adrianto. Iwan Tjitradjaja. 2012. Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Perilaku Nelayan Artisanal dalam
Pemanfaatan Perikanan di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat.
Jakarta : Jurnal Penyuluhan Vol.9 No.2.
Primsyastanto, Mimit. Ratih Prita D. Edi Susilo. 2010. Perilaku
Perusakan Lingkungan Masyarakat Pesisir Dalam Perspektif
Islam (Studi Kasus Pada Nelayan dan Pedagang Ikan di
Kawasan Pantai Tambak, Desa Tambakrejo, Kecamatan
Wonotirto, Kabupaten Blitar, Jawa Timur). Malang : Jurnal
Pembangunan dan Alam Lestari Vol.1 No.1 ISSN 2087 –
3522.
Rachmawati, D., Setyobudiandi, I., Hilmi E. 2014. Potensi Estimasi
Karbon Tersimpan Pada Vegetasi Mangrove Di Wilayah
Pesisir Muara Gembong Kabupaten Bekasi. Jurnal Omni-
Akuatika, 13(19) hal 85-91.
Rahmah, A., Tri W. N., Sugeng H. W., Nimmi Z. 2013. Pengelolaan
Perikanan Tonda dengan Pendekatan Soft System
Methodology (SSM) di PPP Pondokdadap Sendang Biru,
Malang). Bogor : Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan
IPB.
Rosana, N. Viv D. P.. 2015. Potensi dan Tingkat Pemanfaatan Ikan
sebagai Dasar Pengembangan Sektor Perikanan di Selatan
Jawa Timur. Surabaya : Jurnal Kelautan Vol. 8 no. 2 ISSN :
1907 – 9931.
90
Suman, A., Satria, F., Nugraha, B., Priatna , A., Amri, K., &
Mahiswara. (2018). Status Stok Sumber Daya Ikan Tahun
2016 di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik
Indonesia (WPP NRI) dan Alternatif Pengelolaannya. Jurnal
Kebijakan Perikanan Indonesia Vol. 10 (2), 107-128.
Sumiono , B., & Priyono, B. (1998). Sumber daya udang penaeid
dan krustasea lainnya. ln: Widodo, J., K.A. Azis, B.E.Priyono,
G.H.Tampubolon, N. Naamin dan A.Djamali (Eds). Potensi
dan Penyebaran Sumber Daya lkan Laut di Perairan
Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumber Daya
lkan Laut - LlPl.
Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang.
Djambatan. Jakarta. 118 hal.
Talib, A. (2017). Tuna dan Cakalang (Suatu Tinjauan: Pengelolaan
Potensi Sumberdaya di Perairan Indonesia). Jurnal Ilmiah
agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate) Vol. 10
(1), 38-50.
Talib, A. 2017. Tuna dan Cakalang (Suatu Tinjauan: Pengelolaan
Potensi Sumberdaya di Perairan Indonesia). Ternate : Jurnal
Ilmiah agribisnis dan Perikanan (agrikan UMMU-Ternate).
Tangkap, D. J. (2005). Undang-Undang RI nomor 31 Tahun 2004
Tentang Perikanan. Jakarta.
Tangke, U. (2010). Ekosistem Padang Lamun (Manfaat, Fungsi,
dan Rehabilitasi). jurnal ilmiah agribisnis dan perikanan Vol.
3 , 9 - 29.
Wahyudi, H. (2010). Tingkat Pemanfaatan dan Pola Musim
Penangkapan Ikan Lemuru (Sardinella lemuru) di Perairan
Selat Bali. Skripsi. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya
Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB.
Widiani. 2010. Strategi Pemberdayaan Masyarakat Di Kawasan
Hutan Sebagai Langkah Antisipatif Dalam Penanganan
92
BIOGRAFI PENULIS
(Harus ada)
Disertai foto terbaru dari penulis
BIOGRAFI PENULIS | 93