SKRIPSI
Fanseto Pratama
L 111 08 291
OLEH
FANSETO PRATAMA
L111 08 291
Skripsi
Prof. Dr. Ir. Abdul Haris, M.Si Prof. Dr. Ir. Chair Rani, M.Si
NIP: 196512091992021001 NIP: 196804021992021001
Mengetahui
Prof. Dr. Ir. Jamaluddinn Jompa, M.Sc Dr. Mahatma Lanuru, ST.M.Sc
NIP: 196703081990031001 NIP: 197010291995031001
Tanggal Lulus :
DAFTAR ISI
Halaman
ii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kondisi perairan Pulau karammasang, Kec. Binuang, Kab. Polman ..... 29
1
DAFTAR GAMBAR
2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
membuat ekosistem ini menarik bagi banyak jenis biota laut. Oleh sebab itu
penghuni terumbu karang sangat beraneka ragam, baik yang berupa tumbuh-
terumbu karang adalah hewan seperti ascidian dan berbagai jenis sponge
Sponge adalah hewan filter feeder artinya yang menetap, dimana hewan
ini dapat hidup dengan baik pada arus air yang kuat, karena aliran air tersebut
elektif ditangkap oleh sel-sel berbulu cambuk. Sponge dapat menyaring partikel
yang sangat kecil (diameter < 50μm) yang tidak tersaring oleh hewan-hewan laut
mengenai biota laut karena kurangnya sumber daya manusia untuk pendataan
biota laut, khususnya sponge. Sponge merupakan biota laut yang tinggi akan
manfaat dan keperluannya baik dalam bidang industri pertanian dan kimia
3
Kabupaten Polewali Mandar adalah salah satu pesisir yang memiliki
potensi sumber daya alam laut yang sangat potensial untuk dikembangkan,
itu karena ulah manusia itu sendiri yang terus melakukan eksploitasi dan
penangkapan yang tidak ramah lingkungan seperti bom ikan, dimana kegiatan
tersebut dapat merusak sumber daya alam laut tidak terkecuali karang.
tergolong rusak sampai baik. Kondisi yang rusak dan kritis ditemukan di sebelah
utara Pulau Pasir Putih, Pulau Karamasang, Pulau Dea-Dea, Pulau Salama,
Pulau Battoa dan Pulau Pannampeang tutupan karang hidup di Pulau – Pulau
berada dalam kondisi baik hanya terdapat di lima lokasi, yaitu di selatan Pulau
Pasir Putih, sebelah barat Pulau Pannampeang, Pesisir Pantai Labuang, Pantai
Palippis, dan Pantai Karama dengan tutupan karang hidupnya berkisar 50-70%
potesialnya pengembangan pesisir laut tersebut hal ini juga di ungkapkan oleh
Haris (2013), secara ekologi, sponge merupakan salah satu biota penyusun pada
dan senyawa-senyawa baru untuk keperluan farmasi dan industri pertanian dan
4
B. Tujuan penelitian
Manfaat dari penelitian ini dapat memberi data dan informasi mengenai
Polewali Mandar bagi pihak – pihak yang terkait dalam pengelolaan sumber daya
Pada penelitian ini yang akan dilihat keragaman dan kelimpahan sponge
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
Filum Forifera. Forifera berasal dari kata Pori = pori-pori, Fera/Faro = memiliki
(Ahmad dan Suryati, 1996). Filum Porifera terdiri dari tiga kelas yaitu : Calcarea,
Demospongiae dan Hexactinellida (Haywood dan Wells, 1989; Sara, 1992; Amir
Sedangkan menurut Pechenik (1991) dalam Haris (2013), Filum Porifera terdiri
Sclerospongia.
tubuhnya sederhana. Spikula sponge ini tersusun dari Kalsium Karbonat dan
tidak mengandung spongin. Sebagian besar sponge dari kelas ini bentuknya
kecil-kecil dan berwarna putih keabu-abuan dan ada beberapa jenis berwarna
kuning, merah jambu dan hijau. Elemen kerangka dari calcarea berbentuk
spikula “triaxon” dan tidak ada perbedaan megasklera dan mikrosklera. Beberapa
jenis sponge ini adalah Sycon gelatinosum (berbentuk selinder berwarna coklat
di dalam mesohil (lapisan gelatin yang tersusun atas sel-sel amoebosit yang
keseluruh bagian tubuh porifera). Di dalam mesohil sponge memiliki bentuk sel
sklerosit akan melebur menjadi satu untuk membentuk spikula pada ruang antar
di daerah dalam dengan kedalaman 50 meter bahkan ada yang dapat tumbuh
hingga 1 meter. Disebut juga sponge gelas. Spikula terdiri dari silikat dan tidak
masing bidang terdapat dua jari-jari (Hexactinal). Sponge dari kelas ini belum
banyak dikenal, karena sulit mendapatkan. Contoh sponge ini adalah Euplectella
abiotik yang sangat kecil. Partikel kecil diambil ke dalam melalui arus yang di
ciptakan oleh colla bodies, partikel tersebut diserap melalui saluran dalam
sponge. Collar bodies dilapisi dengan microvili yang menjebak makanan dan
7
Gambar 2. Euplectella aspergillum (wikipedia.org/wiki/Euplectella)
3. Kelas Demospongiae
Demospongia. Sponge dari kelas ini tidak memiliki spikula “triaxon” (spikula kelas
mengandung silikat. Beberapa jenis sponge kelas ini ada yang tidak
pada berbagai ukuran dari beberapa milimeter sampai lebih dari 2 meter. Mereka
dapat membentuk krusta tipis, benjolan, pertumbuhan seperti jari, atau bentuk
guci. Butiran pigmen pada sel amoebocytes sering membuat anggota kelas ini
berwarna cerah, seperti kuning terang, oranye, merah, ungu dan hijau. Tingkatan
bentik. Namun, larvanya memiliki flagela dan mampu berenang bebas. Semua
sponge dari kelas ini adalah filter feeder, hidup dari bakteri dan organisme kecil
8
lainnya. Air mengantar partikel-partikel makanan masuk melalui pori-pori luar
koanosit menangkap sebagia besar makanan yang masuk namun pinocytes dan
penyusun pada ekosistem pesisir dan laut, terutama pada ekosistem terumbu
karang dan padang lamun. Beberapa jenis sponge merupakan makanan ikan-
ikan tertentu, moluska tertentu, dan banyak biota laut lainnya. Sponge juga
makanan bahan-bahan yang terlarut dan tersuspensi dalam air. Selain itu pada
dari 90% dari 5.000 jenis sponge diketahui tergolong ke dalam Demospongiae.
Perbandingan ini belumlah termasuk dari catatan fosil dimana kurang dari
dengan mudah menjadi fosil, begitu keanekaragaman fosil mereka, yang mana
energi hangat yang tinggi hingga ke perairan abisal yang dalam dan dingin.
Tentu saja, semua Porifera yang hidup di air tawar adalah Demospongiae
(Pechenik, 1991).
B. Distribusi Sponge
Sponge berada di dalam arus dan perairan laut, dari kumpulan batu
hingga pada laut dalam, dari laut arcitic yang dingin hingga ke laut tropis yang
hangat. Ada sekitar 10.000 jenis yang telah dikenali, pada dasarnya struktur
mereka sangat baik dan sederhana. Semua jenis sponge melakukan adaptasi
dari 90% dari 5.000 jenis sponge diketahui tergolong ke dalam Demospongiae.
Perbandingan ini belum termasuk catatan fosil dimana kurang dari setengah
dari Demospongiae tidak memiliki rangka yang dengan mudah menjadi fosil.
perairan abisal yang dalam dan dingin. Dan beberapa forifera yang hidup
C. Morfologi Sponge
Sponge atau Porifera termasuk hewan multisel yang mana fungsi jaringan
dan organnya masih sangat sederhana. Hewan ini hidupnya menetap pada suatu
habitat pasir, batu-batuan atau juga pada karang-karang mati di dalam laut.
10
Dalam mencari makanan, hewan ini aktif menghisap dan menyaring air yang
melalui seluruh permukaan tubuhnya. Hal ini dapat dicontohkan pada pada
bentuk sponge yang memiliki kanal internal yang paling sederhana (Gambar 4),
ostia inilah air dan materi-materi kecil yang terkandung di dalamnya dihisap dan
disaring oleh sel-sel berbulu cambuk atau sel kolar (choanocytes), kemudian air
pengisapan dan penyaringan air terjadi juga pada sponge yang memiliki kanal
internal yang lebih rumit, dimana sistem aliran air tersebut melalui beberapa sel
Bentuk tubuh sangat bervariasi yaitu ada yang menyerupai kipas, batang,
terompet dan lainnya, hewan ini sebagian membentuk koloni yang sering tampak
dan dalam tubuhnya mengandung ganggang yang memiliki warna dan mereka
Morfologi luar sponge sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, kimiawi, dan
Sebaliknya spesimen dari jenis yang sama pada lingkungan yang terlindung atau
pada perairan yang lebih dalam dan berarus tenang, pertumbuhannya cenderung
tegak dan tinggi. Pada perairan yang lebih dalam sponge cenderung memiliki
tubuh yang lebih simetris dan lebih besar sebagai akibat dari lingkungan yang
lebih stabil apabila dibandingkan dengan jenis yang sama yang hidup pada
Konsistensi tubuh sponge pada umumnya elastis seperti busa karet tetapi
ada beberapa jenis yang agak keras dan agak rapuh. Tubuh sponge ini
11
diperkokoh oleh suatu kerangka spikula yang mengandung kalsium karbonat
atau silica dan juga didukung oleh kerangka serat-serat karatin atau spongin.
Materi spongin khususnya pada “bath sponge”, sangat kenyal atau lembut dan
tahan terhadap pembusukan, sehingga baik untuk bahan penggosok kulit tubuh
Reseck (1988) mengatakan bahwa ada enam faktor ekologis yang sangat
struktur dasar, arus air, suhu air, level nutrien dan sedimentasi. sponge sangat
yang lebih dangkal, sponge jarang ditemukan, bila ditemukan, ukurannya kecil
Aspek lain yang menarik dari sponge adalah bahwa mereka mempunyai
berbagai metode untuk memperoleh makanannya. Hal ini bisa dilakukan secara
air melalui tubuh sponge (heterotropic), atau secara tidak langsung dengan
sponge seperti ini kemudian diuraikan sebagai sponge fototropik. Ini telah
12
Gambar 4. Struktur sel sponge yang paling sederhana; a) oskulum; b) sel penutup;
c) sel amoebosit; d) sel pori (porosity); e) pori saluran masuk (ostia);
f) telur; g) spikula triaxon; h) mesohil; i) sel mesenkin; j) bulu
cambuk (flagella); k) sel kolar (choanocytes); l) sklerosit; dan m)
spikula monoaxon (Amir dan Budiyanto, 1996).
kuning, orange, merah, atau hijau. Sponge yang berwarna hijau biasanya
berbeda walaupun dalam satu jenisnya. Beberapa sponge juga memiliki warna
dalam tubuh yang berbeda dengan pigmentasi di luar tubuhnya. Sponge yang
hidup di lingkungan yang gelap akan berbeda warnanya dengan sponge sejenis
13
D. Sistem Kerangka
dilengkapi dengan kerangka. Kerangka ini ada yang terdiri dari kapur karbonat
atau silikon dalam bentuk spinkula dari opal, yaitu suatu bentuk silika terhidrasi
kelompok. Spongin ada zat yang secara kimia berkerabat dengan sutera.
yakni sel penghasil spongin. Spikula tertimbun dalam sel-sel yang disebut
scleroblast, yakni sel sponge yang dapat berkembangnya spinkula, dan lebih dari
karbonat dan silikon di ekstrak oleh sel-sel dari air sekitarnya. Susunan serat-
sponge mandi (bath sponges) dibawah mikroskop. Sponge masif tak pernah
berdiri berdiri tegak jika tidak karena adanya spinkula atau spongin yang
tegak, dan mencegahnya rontok seonggok bahan kental seperti agar-agar yang
musica), dimana sponge tersebut hidup dalam rongga karang tersebut (Soest &
1983). Tetapi ada beberapa jenis sponge yang dapat mengikat beberapa
14
E. Reproduksi Sponge
memproduksi sel telur dan sel spermanya pada waktu yang berbeda. Hewan ini
Budiyanto, 1996).
menjadi porivera dewasa. Hewan ini membutuhkan air yang mengalir untuk
melalui oskula, kemudian mengalir dan masuk ke dalam saluran masuk (ostia).
telur dalam mesohil (Gambar 5). Pada jenis sponge yang ovipar, telur yang telah
dibuahi dikeluarkan dari tubuh sponge dan kemudian menetas, sedangkan, pada
jenis sponge vivipar, larva sponge dikeluarkan dari tubuh sponge dan berenang
15
dengan bulu getarnya selama selang waktu tertentu sampai mendapat tempat
sponge, suhu air sering di asumsikan merupakan faktor lingkungan utama yang
dimana perubahan musim terjadi secara drastis (Fell, 1983). Tiga penelitian yag
dilakukan di Karibia tentang waktu reproduksi sponge (Reiswig, 1974; Hoppe dan
berkolerasi dengan fase bulan (Hoppe & Reichert, 1988). Walaupun pada
pada sponge laut selain suhu juga ada beberapa faktor eksternal lain
mempengaruhi repeoduksi seksual (Witte et al., 1994) yaitu fase bulan dan
kcil atau tidak terjadi secara drastis, sangat sedikit penelitian yang mengakaji
tentang reproduksi sponge dan pengaruh faktor ekstrnal yaitu suhu, pasang surut
dan cahaya.
potongan dari sponge yang patah dapat hidup dengan cadangan makanan yang
16
ada di tubuhnya kemudian beregenerasi membentuk tunas baru atau kompleks
Tubuh sponge terdiri dari, ostia yang merupakan saluran masuk air dari
tubuh sponge dan membawa sari-sari makanan. Selain itu juga choanochyte
leher yang dihubungkan oleh microvili yang dikelilingi oleh cilia dengan suatu
pusat flagella yang bergerak dengan aktif menciptakan suatu arus yang menarik
air masuk dan keluar dalam tubuh sponge (Gambar 6). Sel-sel collar ini berjalan
dalam dinding dari kamar kecil di seluruh sistem vaskuler air. Mungkin terdapat
sekitar 7000-18000 milimeter per kubik kamar sponge dan masing-masing kamar
sponge memompa kira-kira 1200 kali dari volume tubuh setiap harinya (Hooper,
1997).
17
Gambar 6. A, B. Choanocyte dari sponge kapur seperti yang terlihat pada
mikroskop cahaya. C. Diagram sebuah choanocyte yang
direkonstruksi dari mikroskop cahaya. D. Pembedahan dari sebuah
choanocyte (Spongilla) berdasarkan mikroskop cahaya (Kozloff,
1990).
Sponge memiliki suatu nilai konstruksi sel seluler tanpa jaringan nyata.
kompleksitas dan bentuk dinding tubuh dari saluran air di sepanjang tubuh
langsung melalui tubuh sponge dan seluruh ruang besar pusat lapisan
choanocyte yang disebut ‘spongocoel’. Air masuk ke dalam ostia, ditarik melalui
spongocoel dan keluar melalui suatu oskulum besar yang tunggal. Sponge
dalam gabungan kelompok ke beberapa objek atau relatif lain dalam laut
18
dangkal. Tipe yang lebih rumit adalah sponge syconoid, secara eksternal mereka
dinding yang lebih tebal. Saluran walaupun bercabang dan air tidak dapat
dilapisi dengan choanocyte, hanya berupa saluran saja. Sponge Syconoid lebih
maju dari tahap Asconoid dalam hal perkembangan mereka yang lebih tinggi dari
berflagella lembut dan saluran air dalam sponge. Pada Demospongiae, spikula
silikon selalu menempel atau tertanam pada spongin membuatnya lebih kaku
dan pada beberapa spesies butiran pasir dimasukkan. Sekresi spikula baru atau
saluran air untuk merespon perubahan tekanan dan aliran air (Harris, 1988).
Pada umumnya setiap individu sponge memiliki lebih dari satu macam bentuk
spikula. Menurut Bergquist (1978), bentuk spikula menurut fungsinya dibagi atas
dari kerangka primer yang berperan untuk membentuk sponge dan dan
19
Peninjauan kembali proses pemecahan silikat dalam sponge pada
tingkatan molekular dan seluler yang sama baiknya dengan fungsi biologi dan
ekologi dari spikula dan kerangka sponge. Kontrol genetik terhadap bentuk
faktor lingkungan dalam mengatur ukuran dan bentuk spikula, ada atau tidak
adanya satu atau lebih jenis spikula. Di samping itu sel pendukung sponge,
spikula dapat membantu larva tinggal bertahan selama dalam bentuk plankton
menangkap mangsa. Dan sebaliknya, peran spikula dan kerangka sponge dalam
menahan mangsanya yang belum ditunjukkan (Uriz, 2004 dalam Haris 2013).
20
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan berlangsung kurang lebih 3 bulan mulai dari bulan
(Gambar 6).
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perahu sampan sebagai
alat transportasi ke lokasi penelitian, alat selam (Scuba Set) untuk menyelam,
kamera bawah air untuk dokumentasi penelitian, alat tulis bawah air (sabak)
panduan identifikasi sponge, secchi disk untuk mengukur kecerahan perairan, roll
21
meter untuk pemasangan transek garis dan kantong sampel untuk memasukan
sampel.
C. Prosedur Penelitian
1. Observasi
melakukan penelitian.
Stasiun I: berada di sebelah Barat Daya Pulau Karammasang, Stasiun II: berada
Timur Laut Pulau Karammasang, dan pada daerah reef flat dan reef slope
sebagai substasiun.
Pada setiap stasiun titik pengamatan dilakukan pada 2 zona tertentu yaitu
pada zona reef flat (0,5 - 1m) dan pada zona reef slope (3 - 5m). Untuk
mengetahui persentase penutupan karang hidup, mati, fauna lain dan unsur
dengan metode PIT (Point Intercept Transect) (Manuputty dan Djuwariah, 2009).
Pada setiap titik diletakkan garis transek sepanjang 50 m yang sejajar garis
pantai. Dengan menggunakan alat selam dan alat tulis bawah air, dicatat jenis
tutupan dasar pada setiap titik dengan interval 50 cm sepanjang garis transek.
22
4. Kepadatan dan Identifikasi Sponge
ukuran 2x2 meter. Ini dilakukan secara sistematik, kemudian menghitung jumlah
dari setiap jenis sponge yang terdapat dalam transek. Penempatan transek
pada titik 0 m. Sponge yang berada didalam transek kuadran ditentukan jenis
dan dihitung jumlah individunya (koloni). Identifikasi sponge laut dilakukan secara
permukaan.
5. Parameter Oseanografi
23
6. Salinitas
Salinitas (ppt) perairan aliran pasang surut pada tambak diukur dengan
7. Suhu
kemudian diamkan selama 5 menit kemudian dicatat suhu yang tercantum pada
termometer.
8. Kecepatan Arus
V = s/t
9. Kecerahan
pengambilan data.
24
10. BOT
Pengambilan sampel air untuk penentuan BOT ini dilakukan pada setiap
BOT =
Dimana:
316 =
25
D. Analisis Data
secara deskriptif dengan bantuan grafik atau tabel. Kepadatan dan komposisi
Keterangan :
KJ : Komposisi jenis
Ni : Jumlah individu dari setiap jenis
N : Total individu dari semua jenis
hasil analisis ragam disajikan dalam bentuk grafik. Adapun hasil pengelolaan dan
tersebut data yang diperoleh dibuat tabel kontingensi dengan stasiun dan zona
26
sebagai baris dan jenis-jenis kepadatan sponge sebagai kolom. Adapun proses
Lingkungan
menjadi baris stasiun-zona dan tutupan dasar terumbu karang dan parameter
27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
adalah pulau yang letaknya paling timur dari sekian pulau yang ada di Kabupaten
Polewali Mandar dengan jarak tempuh dari Kota Polewali ± 20 menit. Luas Pulau
dengan tipe pantai bagian selatan berpasir dan bagian lainnya berlumpur.
berat, yang relatif baik sekitar 22,5%, sedangkan yang kondisinya cukup baik
laut dari Kabupaten Polewali Mandar dengan menggunakan kapal yang menuju
Pulau Pasir Putih sebagai Pulau pariwisata Kabupaten Polewali Mandar, dengan
alternatif lain menggunakan jolloro. Jarak tempuh kapal dari pantai Binuang
sekitar satu setengah jam. Penentuan titik lokasi penelitian ini di sebelah Selatan
28
Pulau Karammasang. Pulau Karammasang memiliki penduduk yang dominan di
Binuang. Pulau ini memiliki penduduk yang tidak begitu banyak karena daratan
pulau yang berbukit batu, masyarakat hanya tinggal di pinggiran pulau dan
B. Kondisi Lingkungan
1. Suhu
daerah perubahan musimnya besar (Sara 1992; Fromont 1994 dalam Haris dkk
2012). Suhu yang di ukur adalah suhu permukaan. Suhu yang terukur berkisar
29,31 – 30,020C. Suhu tertinggi terdapat pada Stasiun II dan terendah pada
Stasiun III. Nilai suhu yang diperoleh dari kedua Stasiun tersebut menunjukkan
nilai yang tidak jauh berbeda dan masih dalam batas suhu optimal organisme
29
sponge dimana menurut (De Voogd, 2005 dalam Fitrianto, 2009) menyatakan
sponge tumbuh pada kisaran suhu optimal 26 – 310C dan di daerah empat
musimnya.
2. Salinitas
pola sirkulasi air, evaporasi, curah hujan, dan aliran air. Berdasarkan hasil
Stasiun ini menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda dan masih dalam batas
salinitas 28 - 38‰ (De Voogd, 2005 dalam Fitrianto, 2009) dan lebih sensitif
terhadap salinitas yang rendah (Osinga et al., 1998 dalam Fitrianto, 2009).
Sponge dapat memakan bahan organik terlarut dalam jumlah besar dari
11,7mg/L dengan nilai yang tinggi pada Stasiun II dan terendah di Stasiun III.
Nilai BOT yang tidak jauh berbeda didapatkan antara Stasiun II dan Stasiun III
menurut (Reid, 1961 dalam Pirzan dan Petrus, 2008), perairan dengan
30
4. Kecerahan
reef slope dan III memperoleh nilai tertinggi sedangkan reef flat Stasiun II
memperoleh nilai terrendah Menurut (Barnes, 1999 dalam Haris, 2013) sponge
5. Arus
Arus juga berperan penting dalam proses sirkulasi air dalam perairan
Kecepatan arus tertinggi pada Stasiun II zona reef flat dan terendah pada
Stasiun III zona reef slope. Perbedaan nilai pada kedua stasiun terebut
menunjukkan nilai yang tidak jauh berbeda. Menurut (Storr, 1976 dalam
Suharyanto, 1998), sponge dapat tumbuh normal pada kecepatan arus kurang
Pada kondisi terumbu karang yang tergolong rusak, sponge mampu hidup
dan berkembang biak dengan baik karena sponge tidak lagi berkompetisi
31
Gambar 9. Nilai tutupan komponen dasar terumbu karang di setiap stasiun pada
zona reef flat.
zona reef flat didominasi oleh tiga kategori yakni DCA (death coral algae), NA
(non acropora) dan S (sand) (Gambar 9). Tingginya persen tutupan DCA pada
zona reef flat ini dipengaruhi oleh kesuburan perairan tersebut karena tingginya
Brown & Bamwell (1987) dalam Widodo dkk (2010), bahwa proses transformasi
nitrat dengan kepadatan alga, nitrogen-amoniak dan nitrat ini secara besama-
tutupan NA pada zona reef flat ini dipengaruhi oleh kondisi kecerahan yang
oleh Wood, (1983) dalam Prameliasari dkk., (2012), bahwa jumlah atau lama
32
proses fotosintesis. kuatnya penetrasi cahaya yang menembus kolom air ini
menyebabkan alga mampu bertahan hidup dengan baik diperairan tersebut tidak
jenis karang ini kurang mampu bertahan hidup pada perairan tersebut, berbeda
halnya dengan jenis karang Non Acropora (masif, encrusting, dan foliose) yang
memiliki bentuk pertumbuhan yang keras dan mampu bertahan pada kondisi
suatu ekosistem yang sangat sensitif terhadap berbagai gangguan baik yang
Gambar 10. Nilai tutupan komponen dasar terumbu karang di setiap stasiun pada
zona reef slope.
33
Dapat pula dilihat berdasarkan tabel persentase tutupan karang dengan
tutupan kategori yang tertinggi berdasarkan lifeform di setiap Stasiun pada zona
reef slope didominasi oleh 4 kategori yakni rubble, death coral algae, sand, dan
Kategori R, DCA, S dan NA juga ditemukan tinggi pada reef slope, sama
halnya dengan reef flat yang masih dipengaruhi oleh kecerahan. Baiknya
penetrasi cahaya pada zona ini yang mampu menembus kolom perairan
membuat alga dan zooxhatella dapat melakukan proses fotosintesis. Pada reef
slope karang dengan kategori AC juga ditemukan melimpah di setiap stasiun. Hal
ini disebabkan karena aktivitas manusia pada zona reef slope ini tidak begitu
besar bila dibandingkan pada zona reef flat. tingginya kategori R (rubble)
representatif terhadap tutupan Acropora pada zona reef slope namun aktivitas
tangkap nelayan yang tidak ramah lingkungan. Menurut Ikawati dkk (2001),
mencari ikan dengan cara merusak terumbu karang atau mengambil terumbu
34
Sedang
sampai “sedang” dengan nilai tertinggi 33% pada stasiun I dan terrendah 9%
pada staisun III (Gamber 11). Hal yang menyebabkan tingginya persentase
tutupan karang pada Stasiun I dan II ini karena posisi Stasiun terbilang baik
untuk suplay makanan dan unsur-unsur nutrien yang mampu bergerak bebas
masuk sampai ke tepi dibawa oleh arus dibandingkan stasiun III yang tertutupi
persentase tutupan karang yang tinggi dapat dipengaruh oleh beberapa faktor
oceanografi antara lain posisi terumbu yang menghadap angin, dimana arus dari
laut lepas mensuplai banyak makanan dan mempertinggi difusi oksigen dari
udara bebas. kondisi terumbu karang pada Stasiun III dikategorikan rusak. Hal
dikarenakan lokasi pengambilan data pada Stasiun III ini sangat dekat dengan
pemukiman atau aktivitas manusia dipulai tersebut. Menurut Ikawati dkk (2001),
35
mencari ikan dengan cara merusak terumbu karang atau mengambil terumbu
Lampiran 3). Secara umum sponge yang paling banyak ditemukan secara
keseluruhan dari setiap Stasiun yakni dari Famili Aplysinidae dan Axinellidae.
Stasiun Genus
Ptilocaulis
Haliclona
Stasiun I Leiosella
Dysidea
Aplysina
Baikolospongia
Homosclerophorida
Aplysina
Ptilocaulis
Gelliodes
Stasiun II Callyspongia
Ircinia
Dysidea
Carterospongia
Pleraplysilla
Oceanapia
Petrosina
Leiosella
Haliclona
Stasiun III Phyllospongia
Carterospongia
Stillisa
Aplysina
36
Kedua family sponge tersebut dominan disebabkan kondisi lingkungan
yang baik untuk kehidupan sponge. Famili Aplysinidae biasanya ditemukan pada
bagian pecahan karang (rubble) atau di dekat batu langsung di dasar pasir untuk
menangkap plankton dari arus air. Famili Aplysinidae tumbuh subur di daerah
berarus yang kuat dan tingkat penetrasi cahaya yang cukup rendah. Famili ini
membutuhkan arus air yang langsung yang kuat di dekat lokasi untuk memberi
sponge ditemukan pada perairan yang jernih bukan yang keruh. Arus air yang
lewat melalui sponge membawa serta zat buangan dari tubuh sponge, maka
penting agar air yang keluar melalui oskulum dibuang jauh dari badannya karena
air ini sudah tidak berisi makanan lagi, tetapi mengandung asam karbon dan
sampah nitrogen yang beracun lagi bagi hewan tersebut (Romimohtarto dan
Juwana, 2001).
organisme sponge kedua yang paling sering ditemukan. Hal ini disebabkan
karena kondisi oseanografi yang cukup alami untuk kehidupan sponge. Menurut
Rani & Samawi (2003), bahwa famili Darwinillidae, Dysideidae, Petrosiidae dan
Chalinidae sering ditemukan pada kondisi Oseanografi yang relatif masih alami.
Selain itu, famili yang ditemukan seperti dari Famili Lubomiskiidae, Famili
untuk tumbuh. Namun pada beberapa famili yang tidak dominan umumnya
37
sehingga dapat bersaing dengan organisme lain. Menurut Amir dan Budiyanto
(1996), bahwa sponge dapat berkompetisi dengan alga dan karang dalam
Perbedaan jumlah famili pada setiap stasiun karena kondisi fisik perairan
dari Stasiun II dan Stasiun III (Gambar 13) lebih memungkinkan keberadaan
sponge di banding Stasiun I. Salah satunya adalah kondisi karang hidup, hal ini
Bergquist & Tizard (1969) dalam Amir & Budiyanto (1996), bahwa pertumbuhan
ruang
2. Kepadatan Sponge
38
stasiun II dan III yang berbeda nyata dengan stasiun I yang nyata lebih rendah.
(Lampiran 1)
kandungan BOT yang tinggi, (Tabel 1). Berbeda pada stasiun I yang memiliki
nilai bahan organik terlarut yang rendah sehingga diduga menjadi penyebab
39
Gambar 14. kepadatan sponge di setiap zona
nyata antara zona reef flat dan zona reef slope (Gambar 15). Fenomena ini
slope. Hasil ini dapat dikatakan bahwa zona mempengaruhi kepadatan dari
sponge.
dimana kepadatan sponge ini di dukung oleh kondisi lingkungan sponge itu
sendiri. Perbedaan tingkat kepadatan di setiap zona ini sangat dipengaruhi oleh
faktor fisik perairan oleh karna itu lingkungan selalu menjadi faktor penting
sebagai bahan rujukan yang harus diamati. Selain bahan organik terlarut
II dengan nilai sebesar 54% dan zona reef slope dengan nilai sebesar 85,71%.
Hal ini sesuai dengan pendapat Barnes (1999) dalam Haris (2013), bahwa
sponge sangat menyukai perairan yang cukup jernih karena sponge termasuk
plankton feeder. Sponge mampu menyaring air dan menyerap zat organik yang
larut dalam air laut. Selain kecerahan, arus juga menjadi salah satu faktor tinggi
40
kepadatan sponge pada Stasiun II khususnya pada zona reef flat dan reef slope.
perkembangan sponge.
sponge. Kondisi perairan yang sesuai dengan kehidupan sponge yang di alam
menelitian ini, kondisi perairan meliputi arus, salinitas, bahan organik terlarut,
kecerahan dan suhu yang di ukur pada pengambilan data di lapangan. Grafik
0,6
BOT
flat 20,4 R
Salinitas
slope 1 slope 3
AC
0,2
flat 1 DCA
NA
0 flat 3
-1,5 -1 -0,5 0 0,5 1
-0,2
Kecerahan FS
S + RB
-0,4
Suhu
Arus Jumlah Jenis
SC
Kelimpahan
-0,6
-0,8
-1
-1,2 slope 2
-1,4
Gambar 15. Hubungan faktor lingkungan terhadap kelimpahan dan jumlah jenis
41
Kondisi perairan yang di amati terdiri dari beberapa parameter fisik dan
kimia, perairan memperlihatan variasi yang cukup besar dari setiap titik
pengamatan seperti suhu, arus dan BOT demikian pula terhadap jumlah jenis
dan kelimpahan.
korelasi antara parameter fisik, kimia dan kategori tutupan dasar terumbu karang
perairan sebagai variabel aktif, sedangkan jumlah jenis sebagai suplemen. Ini
oseanografi.
Stasiun II dan III pada daerah reef flat Stasiun III dan reef flat dan slope pada
Stasiun II yang dicirikan oleh jumlah jenis dan kelimpahan, FS dan S+RB.
Melimpahnya jumlah jenis sponge pada kelompok ini dipengaruhi oleh subtrat
pasir dan rubble (S+RB). Meskipun salinitas rendah namun faktor substrat masih
diduga menjadi faktor utama sehingga keberadaan sponge lebih banyak dan
padat. Hal ini di dukung oleh cukup tingginya tutupan rock (RK) stasiun 3 pada
zona reef slope (Gambar 10). Seperti halnya hewan sessil, sponge lebih
menyukai substrat yang keras atau kasar (Toonen dalam Setyadji dan
Panggabean, 2010).
DCA, R dan NA. Salinitas merupakan faktor penting dalam kehidupan biota laut
dalam hal ini sponge. keberadaan sponge pada kelompok ini 2 ini dipengaruhi
oleh salinitas untuk osmoregulasi yang baik bagi sponge, dimana salinitas pada
lokasi penelitian masih dalam batas toleransi sponge atau salinitas normal
42
dengan nilai rata-rata 31,51‰. Hal ini juga dikatakan oleh Suryanto (1998)
bahwa, salinitas optimum untuk kehidupan sponge adalah antara 30-36‰ selain
itu bahan organik terlarut memperlihatkan komposisi kandungan yang baik untuk
mendukung kehidupan sponge pada zona reef flat di setiap Stasiun dan zona
reef slope pada Stasiun I. Menurut Hynes (1970) dalam Ramli (2009), bahan
organik yang terkandung dalam air merupakan faktor penting dalam rantai
sebagai makanan sponge mampu hidup pada perairan terseut. Menurut Toonen
dalam Setyadi dan Panggabean (2001) bahwa, seperti halnya hewan sessil yang
menyukai substrat yang keras termasuk DCA tetapi dalam penelitian ini, DCA
Analiysis sponge diuraikan menurut Stasiun. Untuk Stasiun I dapat diliat pada
(Gambar 15). Dari hasil analisis menunjukkan bahwa informasi utama terpusat
ditentukan kelompok dan titik sampling besarta sampling sponge yang menjadi
penciri.
Leiosella, Baikalospongia dan Petrosina pada Stasiun II zona reef flat. Kedua
jenis sponge ini lebih sering ditemukan pada kondisi perairan yang masih alami.
Menurut Rani & Samawi (2003), bahwa bahwa Famili Darwinillidae, Dysideidae,
relatif alami.
43
Pada kelompok II (Tabel 2) terlihat sponge penciri jenis Aplysina dominan
pada zona reef flat di Stasiun II dan III . Hal ini ditandai bahwa jenis ini akan lebih
sering ditemukan pada zona rendah pesisir dan bersubsrat lumpur dan melekat
pada batu tetapi tak jarang dari jenis ini mampu hidup pada perairan yang dalam.
Styllisa yang dominan pada Stasiun III zona reef slope, sedangkan kelompok IV
dan Ircinia yang dominan pada Stasiun II zona reef slope. Selain itu kelompok V
(Gambar 17) yang menjadi penciri jenis sponge yang dominan pada zona reef
slope di Stasiun I yakni Ptilocaulis. pada kelompok sponge yang dominan pada
zona reef slope karena kemampuan terhadap arus yang menjadi salah satu
faktornya. Kecepatan arus sangat dibutuhkan sponge antara lain untuk keperluan
suplai oksigen dan pakan (plankton) serta bermanfaat untuk kebersihan partikel-
Haliclona pada zona reef flat di Stasiun I ini membuktikan bahwa Haliclona yang
44
a
predator akan tertus bertahan dan berkembang dengan baik. Hal ini juga
diperkuat oleh Soest (1976 dalam Amir dan Budiyanto 1996), bahwa sponge
45
dapat berkompetisi dengan alga dan karang dalam mendapatkan cahaya dimana
46
V. SIMPULAN & SARAN
A. Simpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimplan
sebagai berikut:
Timur Laut Pulau Karammasang lebih tinggi dan berbeda nyata daripada di
zona reef slope lebih tinggi dan berbeda nyata daripada di zona reef flat.
b. Kondisi terumbu karang pada setiap staisun berada dalam kategori ”rusak”
sampai “sedang” dengan tutupan karang hidup rata-rata sebesar 33% pada
B. Saran
sebagai sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan secara terus menerus
47