Anda di halaman 1dari 9

Jenis-Jenis Boarding School yang Ada di Indonesia

Beberapa tahun terakhir kepedulian orang tua terhadap nila-nilai agama dan pergaulan anaknya semakin meningkat. Hal ini bisa
dibuktikan dengan banyaknya orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah boarding school. Sekolah berasrama menjadi
favorit banyak orang tua karena memberikan pelajaran agama lebih banyak. Serta pergaulan anak menjadi terkontrol dengan baik.
Meski menjadi favorit tetapi banyak orang tua yang belum tahu jenis-jenis boarding school. Inilah beberapa jenis boarding school.
Menurut Sistem Bermukim Siswa
Jenis boarding school yang pertama menurut sistem bermukim siswa. Menurut sistem bermukim siswa terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu:
All Boarding School
All boarding school merupakan jenis boarding school yang mengharuskan seluruh siswanya untuk tinggal di asrama kampus atau
asrama sekolah. Jenis boarding school ini menjadi yang paling sering digunakan di Indonesia. Mayoritas boarding school di
Indonesia mengharuskan siswanya untuk tinggal di asrama sekolah. Salah satu contoh all boarding school ini adalah SMA
Dwiwarna yang juga merupakan salah satu sekolah islam terbaik di Indonesia.
Boarding Day School
Kedua ada boarding day school. Boarding day school merupakan sekolah boarding school yang mayoritas siswanya tinggal di
asrama sekolah dan sebagian lagi tinggal di lingkungan sekitar kampus atau sekolah.
Day Boarding
Terakhir ada day boarding. Jenis boarding school ini merupakan sekolah boarding school yang mayoritas siswanya tidak tinggal di
asrama sekolah meskipun sebagian diantaranya tetap tinggal di asrama kampus atau asrama sekolah. Artinya pihak sekolah tidak
mengharuskan seluruh siswanya untuk tinggal di asrama sekolah.
Menurut Jenis Siswa
Jenis-jenis boarding school yang kedua yaitu menurut jenis siswa. Menurut jenis siswa, boarding school memiliki tujuh jenis.
Berikut ketujuh jenis tersebut.
Junior Boarding School
Yang pertama ada junior boarding school. Junior boarding school merupakan sekolah boarding school yang menerima siswa dari
tingkat SD hingga SMP. Akan tetapi, Biasanya jenis boarding school ini hanya menerima siswa SMP saja.
Co-education School
Co-education School merupakan sekolah boarding school yang menerima siswa laki-laki maupun perempuan. Bisa dibilang jenis
boarding school ini sama seperti sekolah pada umumnya karena mau menerima siswa laki-laki dan perempuan.
Boys School
Selanjutnya ada jenis boarding school boys school. Dimana boys school memiliki arti sekolah yang hanya menerima siswa laki-
laki saja. Artinya dalam sekolah tersebut hanya terdapat siswa laki-laki saja.
Girl School
kebalikan dari boys school, girl school merupakan sekolah boarding school yang hanya menerima siswa berjenis kelamin
perempuan saja. Jadi, di sekolah ini tidak akan ditemukan siswa laki-laki.
Pre-professional Arts School
Jenis boarding school menurut jenis siswa yang ketiga ada pre-professional art school. Dari namanya saja sudah diketahui jika
sekolah ini berfokus pada seni. Pre-professional itu sendiri merupakan sekolah yang dibangun secara khusus untuk para seniman.
Religious School
Religius school merupakan sekolah boarding school yang menggunakan kurikulum yang mengacu pada agama tertentu.
Special Needs Boarding School
Terakhir ada special needs boarding school. Special needs boarding school merupakan sekolah boarding school yang dibuat
khusus untuk anak-anak yang memiliki masalah atau bermasalah dengan sekolah biasa.  
Menurut Sistem Sekolah
Jenis boarding school yang terakhir yaitu menurut sistem sekolah. Menurut sistem sekolah, boarding school memiliki dua jenis,
antara lain:
Military School
Pertama ada military school. Military school merupakan sekolah boarding school yang mengikuti aturan militer. Biasanya sekolah
ini menggunakan seragam khusus.
5 Day Boarding School
5 day boarding school merupakan sekolah yang membebaskan siswanya untuk bisa memilih tinggal di asrama atau pulang ke
rumah saat akhir pekan. Artinya dalam seminggu sekolah ini hanya mengharuskan siswanya tinggal di asrama selama lima hari
saja, jika akhir pekan bisa pulang. Namun, siswa juga bisa memilih untuk tetap di asrama selama 7 hari dalam satu minggu.
Nah itulah jenis-jenis boarding school di Indonesia yang harus diketahui. Apabila berencana menyekolahkan buah hati di boarding
school maka pilihlah jenis boarding school yang tepat. Dengan memahami berbagai jenis boarding school ini, maka orang tua bisa
memilih jenis mana yang kiranya memang paling sesuai dan dibutuhkan untuk putra putri mereka.
Perang Pesantren di Era Modernitas
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara. Sekitar lebih dari satu abad pondok pesantren berdiri di tanah
Nusantara. Dalam kurun waktu yang panjang, pesantren menghadirkan berbagai tradisi yang menjadi ciri khas pendidikan pondok
pesantren. Jurnalistik menjadi salah satu ciri khas pondok pesantren. Pada era keemasan jauh sebelum pondok pesantren ada,
tradisi tulis menulis atau jurnalistik sudah menjadi ladang dakwah para Ulama Nusantara bahkan Ulama di negara lain. Ulama
terkemuka seperti Imam Ghozali (1058 M – 1111 M) dengan karyanya yang begitu fenomenal Ihya U’lumuddin, Bidayatul
Hidayah, dan puluhan kitab lainnya. Hadhratus Syeikh K.H Hasyim Asy’ari (1875 M – 1947 M) dengan karyanya Adab al-alim
wal Muta’allim fi maa yahtaju Ilayh al-Muta’allim fi Ahwali Ta’alumihi wa maa Ta’limihi, Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama’ah:
Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa’ah wa baya Mafhumis-Sunnah wal Bid’ah, dan puluhan karya lainnya. Badi’uzzaman Sa’id
Nursi (1878 M – 1960) pada saat di penjara bukan menjadi permasalahan primer untuk terus menulis, menebarkan keadilan
hingga sampai pada kitab fenomenal di Turki Risale-I Nur (El Shirazy, 2016). Menurut Zuhairi Misrawi salah seorang intelektual
muda NU, tradisi pesantren adalah tradisi jurnalistik karena setiap yang ingin menjadi seorang Ulama haruslah memiliki karya
atau tulisan.   
Memasuki era modernitas pondok pesantren lazimnya ikut maju dalam mengembangkan visi dakwahnya melalui pendidikan
jurnalistik. Tidak tenggelam dalam alur kehidupan masa lampau, pada masa kolonial kaum sarungan dianggap sebagai orang yang
buta akan modernitas, bahkan tertinggal jauh. Argumentasi seperti itulah yang harus di hilangkan pada zaman ini, bukan berarti
meninggalkan ciri khas pesantren tradisional tetapi menambahkan visi dakwah jurnalistik dalam tulis menulis. Hal ini sepadan
dengan kaidah Ushul Fiqh ” al-Muhafadhotu ‘ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” (menjaga tradisi-tradisi
lama sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi modern yang lebih baik). Jika melihat alur kehidupan modernitas, hampir
semuanya terikat dan tarkait dengan jurnalistik tertutama tulis menulis. Sosial media sudah bukan menjadi tempatnya informasi,
melainkan seperti sudah menjadi ladang jual beli untuk sebuah kelompok yang ingin menguasai. Haq dan bathil sudah tercampur
adukan dalam ranah kehidupan. Dampak terhadap masyarakat tersebarnya rasa kebencian antara satu sama lain dan hilangnya rasa
persatuan sesama golongan.
Langkah Komprehensif Pesantren
Pondok pesantren sepatutnya harus berani mengambil langkah dakwah di era serba modernitas. Teknologi yang kian terus maju,
tetapi kurangnya rasa kesadaran berpikiran maju bagi beberapa pesantren. Akibatnya media yang kurang memahami betul
antara Haq dan Bathil terus maju tanpa disertai dengan nilai-nilai keislaman yang cukup. Kehadiran teknologi informasi dan
komunikasi yang terus berkembang pesat dari waktu ke waktu telah memunculkan realitas baru di tengah masyarakat dunia.
Realitas baru tersebut adalah pasar bebas ide (free market of ideas). Semua itu ditunjang dengan teknologi informasi dan
komunikasi. Semua orang berlomba memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tentang apa saja yang menyangkut hidup dan
kehidupannya (Syah, 2012).
Perlunya langkah komprehensif bagi pondok pesantren melalui jurnalistik dalam dakwah era modernitas. Menghadapi itu, Sardar
dalam bukunya Tantangan Dunia Islam Abad XXI: Menjangkau Informasi, mengemukakan gagasan tentang perlunya strategi
umat Islam dalam menghadapi tantangan abad informasi. Menurutnya strategi yang perlu dirumuskan, antara lain: pertama, sesuai
dengan asas hikmah dan syura, negara-negara muslim harus mengembangkan lembaga-lembaga riset dan pengembangan. Untuk
melepaskan diri dari negara-negara industri, mereka harus melakukan kerjasama dengan sesama negara muslim. Kedua, sesuai
dengan asas istislah, negara-negara muslim harus mengembangkan struktur informasi yang relevan bagi konsumen lokal dan
nasional. Ketiga, sesuai asas a’dl bagian infrastruktur yang didesentralisasi harus memberikan jasa untuk mengembangkan
kemampuan berpartisipasi pada seluruh warga masyarakat muslim. Keempat, berdasarkan prinsip „I’lm – yang didefinisikan
sebagai pengetahuan distributive – komunikasi sains dalam umat harus digalakkan. Jurnalisme Islam harus diwujudkan dalam
pemenuhan kebutuhan ilmuwan dan cendekiawan Islam. Kelima, sesuai dengan prinsip syura dan ummah, diperlukan kerjasama
para peneliti dan cendekiawan lewat jaringan informasi muslim internasional dan jasa informasi referensi Islam. Keenam, para
cendekiawan dituntut tampil sebagai penjaga gawang peradaban Islam dan penyedia (pemasok) gagasan (Sardar, 1988).
Dalam gagasannya bukanlah hal yang mudah bagi pesantren untuk mengimplementaskannya. Jika di lihat dari presentase
pesantren hanya segelintir yang sudah mengaplikasikan jurnalistik sesuai koridor Islam. Adil, tidak berbau sara, dan untuk
kepentingan bersama. Hanya beberapa pondok pesantren modern, seperti halnya Gontor, Ponorogo. Sampai saat ini pun masih
kurang pesantren yang memperhatikan pendidikan Juralistik. Justru hal in yang menjadi momentum kaum Barat untuk
menghancurkan dan mengadu dombakan dunia Islam. Seperti pada akhir tahun 2016 hingga sekarang, arus media yang begitu
cepat dan pesat. Di sinilah peran pesantren  dalam jurnalistik yang mempunyai nilai-nilai Islam dituntut tampil sebagai wahana
budaya tanding (counter culture) terhadap dominasi media Barat di era informasi global. Bahkan hal ini termasuk
mempertahankan persatuan dengan tujuan membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Untuk kedamaian dan kesatuan
bukti cinta persatuan.
Belajar Sejak Santri
“Menulislah agar dipahami, bicaralah supaya didengar dan membacalah untuk mengembangkan diri” begitu salah satu dawuh
Presiden ke-4 K.H Abdurrahman Wahid atau Gus Dur panggilan akrabnya. Menulis merupakan salah satu pembelajaran dalam
jurnalistik. Pentingnya menulis menjadikan setiap insan abadi dalam kehidupanya. Mulai dari membuat sebuah opini, syair, dan
hikayat. Serta apa yang mampu menggoreskan pena dalam tiap lembaran-lembaran putih. Tokoh-tokoh intelektual muslim, seperti
Cak Nur, Gus Dur, Gus Mus sudah belajar jurnalistik dalam masa santrinya. Hingga sekarang tulisannya menjadi rujukan
inspiratif kehidupan bagi semua kalangan. Menulis berdasarkan prinsip-prinsi Islam menjadikan moralitas Islam berkembang
baik. Sejatinya santri mampu menerapkan keilmuan Islamnya dengan tulisan-tulisannya. Praktiknya, media (pers) Islam dalam
aktivitas jurnalistiknya harus tetap dan senantiasa berpedoman pada landasan etis profetik yang sesuai dengan Al-Qur’an dan
Hadits sehingga eksistensinya benar-benar bisa membawa kedamaian dan rahmat bagi semua.
Saatnya Santri membangun Indonesia
Dikala mengelola sebuah negara dengan sistem tertutup dan penuh proteksi sudah tidak bisa dipertahankan lagi, maka
mengandalkan kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dan teknologi menjadi sebuah pilihan terbaik dalam
meningkatkan daya saing dan kemajuan bangsa. Dan untuk membangun sebuah negara yang berdaya saing diperlukan
SDM yang memiliki motivasi, karakter, jiwa, komitmen serta intelektualitas yang tinggi, khususnya dalam menghadapi
persaingan yang sangat ketat di era MEA saat ini.
Membangun kemampuan SDM yang memiliki sejumlah ciri di atas tidaklah segampang membalik tangan, namun bisa
ditempuh dalam beberapa cara diantaranya adalah pendidikan dan pelatihan di sekolah formal maupun non formal
termasuk pendidikan yang dilakukan oleh sejumlah Pesantren di Indonesia. Dalam Pendidikan
Pesantren, “santri” menjadi kunci utama suksesnya upaya pesantren mencapai visi, misi dan tujuan pendidikan yang
diselenggarakan. Keberhasilan Pesantren dalam menciptakan sosok santri yang handal telah dibuktikan keberhasilannya,
paling tidak dapat dilihat dari banyaknya pemimpin di negeri ini yang dilahirkan dari Pesantren di Indonesia, seperti KH
Wahid Hasyim (Anggota PPKI), Syaifuddin Zuhri (Menteri Agama), Idham Cholid ( Ketua MPR) dan masih banyak lagi.
Tentang “santri” dan “Pondok Pesantren”
Kata “santri” menurut Nurcholish Madjid dapat dilihat dari “santri” yang berasal dari perkataan“sastri”, bahasa
Sanskerta yang artinya melek huruf. Dan dii sisi lain, Zamkhsyari Dhofier mengatakan bahwa kata “santri” dapat
diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Dari Kamus Umum Bahasa
Indonesia, kata santri mengandung beberapa pengertian, yaitu (a)  orang saleh, orang yang beribadah dengan sungguh-
sungguh dan (b) yaitu “cantrik”, yang dalam bahasa jawa berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana
guru itu pergi. Sehingga menurut para ahli, pengertian  “santri” adalah panggilan untuk seseorang yang sedang menimba
ilmu pendidikan agama Islam selama kurun waktu tertentu dengan jalan menetap di sebuah pondok pesantren.
Kompetensi Santri tidak terlepas dari Pondok Pesantren tempat mereka menempa ilmu. Tercatat di Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama bahwa jumlah santri pondok pesantren di 34 provinsi di seluruh Indonesia, mencapai 3,65
juta yang tersebar di 25.000 pondok pesantren (Kemenag data 2011). Jumlah tersebut terus bertambahnya setiap tahun.
Jumlah santri ini merupakan potensi luar biasa dan dapat menghasilkan dampak besar bagi pembangunan bangsa jika
program dan kegiatan para santri dikelola dengan sistem yang baik. Pondok Pesantren merupakan tempat dimana para
santri belajar, sebagian masih menerapkan pendidikan tradisional, namun banyak juga sudah menggunakan standard
pendidikan modern, sehingga tidak kalah bersaing dengan pendidikan yang ada di sekolah umum. Pendidikan di
lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu ujung tombak bagi terlaksananya sistem pendidikan agama Islam yang
baik dan benar serta pencipta SDM dengan motivasi, jiwa kepemimpinan, akhlak serta intelektual yang tinggi. Sudah
terbukti bahwa Pondok pesantren mampu melahirkan tokoh-tokoh Islam yang sukses, sehingga sistem pendidikan tidak
perlu dibedakan dengan sekolah umum karena memiliki tujuan yang sama yakni bagaimana menciptakan kader pemimpin
masa depan bangsa yang memiliki kepribadian yang luhur.
Sejarah perkembangan pesantren di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan asal-mula lahirnya pesantren yang
terpengaruhi oleh sejarah Walisongo abad 15-16 masehi, sebagaimana disampaikan oleh Abdurrachman Mas’ud yang
antara lain memiliki ciri : (1) Orientasi kehidupan (way of life) yang lebih mementingkan akhirat dari pada kehidupan
dunia, (2) Kepemimpinan (leadership) dari seorang tokoh yang karismatik, seperti kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW dan Walisongo yang menjadi kiblat para santri sehingga kepemimpinan yang bersifat  paternalism dan patron-
client relation yang sudah mengakar pada budaya Jawa, (3) Misi Walisongo sebagai  solution system yaitu selalu
berusaha menerangkan, memperjelas dan memecahkan persoalan masyarakat serta memberi model ideal bagi kehidupan
sosial masyarakat, (4) Menghilangkan dikotomi atau gap antara ulama dan rajaatau yang kita kenal dengan
istilah “Sabdo Pandito Ratu” dan (5) Mendidik dengan cara sederhanasehingga mudah ditangkap dan dilaksakan.
Pendidikan di pondok pesantren secara umum adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki tanggung Jawab
tinggi dihadapan Allah sebagai khalifah sehingga harus memiliki sikap, wawasan, pengamalan iman dan  akhlakul
karimah, tumbuh kemerdekaan, demokratis, toleran dan menjunjung hak asasi manusia, berwawasan global yang
berdasarkan ketentuan dan tidak bertentangan dengan nilai dan norma Islam. Sedangkan misi pendidikan pondok
pesantren secara umum adalah menuju masyarakat madani, melalui pendidikan yang otonom, luwes namun adaptif dan
fleksibel. Proses pendidikan yang dijalankan bersifat terbuka dan berorientasi kepada keperluan dan kepentingan bangsa,
diselenggarakan secara global, memiliki komitmen nasional dan bertindak secara lokal sesuai dengan petunjuk Allah dan
rasul-Nya menuju keungulan insan kamil.
Kondisi empiris saat ini.
Suatu kenyataan yang terjadi dihadapan kita tentang berbagai penangkapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
akibat kasus narkoba, korupsi, kolusi, kenakalan remaja dan pemuda serta kejahatan lain di Indonesia, membuat kita
prihatin dan miris, seolah sudah tidak ada lagi kejujuran, kepercayaan dan keterbukaan lagi di negeri ini. Maraknya kasus
tersebut membuat pemerintah membangun sejumlah institusi yang bergerak dibidang investigasi dan audit seperti KPK,
BPK, BPKP serta perangkat lainnya yang melekat di Institusi, bahkan  wistleblower juga digalakkan dan didorong untuk
mengantisipasi agar kasus-kasus tersebut dapat dicegah dan ditanggulangi dengan baik, termasuk Program Revolusi
Mental juga telah dengan tegas menjadi salah satu system pola pencegahan berbagai kasus di atas. Sejumlah pelakupun
telah disidang dan dihukum. Namun kasus-kasus serupa masih marak terjadi sampai sekarang, seolah tidak ada rem yang
dapat dipakai untuk menghambat laju pertumbuhannya. Pertanyaan yang tidak pernah dapat dijawab hingga saat ini
adalah : Apakah yang menjadi akar masalah atas kasus yang terjadi tersebut ??.
“santri” dan “pesantren” modern berpotensi membangun Indonesia.
Santri memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan lulusan dari sekolah umum, khususnya pengetahuan dan
kecerdasan dibidang spiritual dan akhlak. Bila dikaitkan dengan kasus kriminal yang marak terjadi di Indonesia, maka
mendorong para santri untuk meningkatkan peran mendongkrak keberhasilan pembangunan Indonesia menjadi salah satu
faktor penting yang perlu dipertimbangkan. Kini saatnya pemerintah perlu memberi ruang yang cukup, termasuk iklim
kondusif kepada para “santri” dan “pesantren” agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Pesantren tidak cukup
hanya menciptakan para santri yang memiliki kompetensi tinggi tetapi juga harus mampu menciptakan produk kreatif dan
inovatif yang dapat dikontribusikan ke ranah industri bernuansa islami. Para santri perlu dibekali dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek), agar dapat menjawab berbagai masalah yang terjadi di masyarakat seperti
pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan, pembangunan karakter yang jujur, berkhlak mulia, motivasi tinggi,
tahan malang serta cerdas dan kreatif. Bahkan harus mampu berpartisipasi dalam pembangunan lingkungan strategis
seperti pembangunan dibidang ekonomi, lingkungan hidup, kemanan kedaulatan negara dan budaya. Karena itu pesantren
termasuk pesantren modern seperti yang sekarang kita lihat di berbagai tempat di Indonesia masih perlu terus
diselaraskan baik kualitas maupun jumlah. Program studi yang sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat perlu diperluas,
sehingga partisipasi “santri” dan “pesantren” dalam pembangunan bangsa semakin nampak dan nyata.
Untuk itu terdapat tiga hal yang perlu dikembangkan di tingkat awal yaitu pengembangan kelembagaan pesantren,
sumberdaya dan jaringan pesantren. Ketiga hal ini sangat dekat dengan rencana strategis Kementerian Riset Teknologi
dan Pendidikan Tinggi, kenapa?, karena meningkatkan daya saing dan kompetensi santri tidak terlepas dari program dan
kebijakan yang ada di ranah pendidikan, riset dan inovasi. Jika itu dilakukan maka Kementerian di atas wajib
meningkatkan program dan kegiatannya dalam rangka membangun kapasitas “santri” dan  “pesantren” modern sesuai
dengan kebutuhan pembangunan di Indonesia. Walahualam…
Opini: Pendidikan yang Bermartabat
Hari berganti hari, minggu menuju bulan, tahun bergulir menapaki saat ini. Sistem pendidikanpun selalu mengikuti tren, berganti
menteri berganti pula strategi. Sementara itu, pendidikan saat ini telah dihadapkan pada sejumlah masalah yang pada dasarnya
berangkat dari keinginan kuat untuk memperbaiki.
Sebagaimana kita pahami bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan seseorang sehingga menjadi anggota
masyarakat yang aktif, karena pendidikan bertujuan membentuk manusia agar dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk
yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya.
Menurut Jihad dkk (2010:34) secara mendasar permasalahan pendidikan yang selalu diperbincangkan walau dengan teori yang
bermacam-macam pada dasarnya berangkat pada orientasi filosofis dan arah kebijakan. Kerena seperti pernyataan di atas, bahwa
secara tersurat tujuan pendidikan nasional sebenarnya sangat ideal karena menjangkau semua dimensi kemanusiaan (religuisitas,
etis, fisik, keilmuan, dan keterampilan/life skill).
Namun seperti yang menjadi sorotan, pada implementasinya pendidikan kita lebih "menciptakan" manusia yang bertipe pada hal-
hal yang mekanis daripada humanis/kemanusiaan. Dan terkadang hal inilah yang menjadi uraian perpanjangan tangan pendidikan.
Berkaitan dengan fenomena itu, beberapa tahun ini telah tumbuh kesadaran bangsa kita (bidang pendidikan khususnya) untuk
melakukan perbaikan dan terobosan dalam rangka membentuk, dan membina karakter para peserta didik sebagai generasi penerus
bangsa, agar benar-benar menjadi generasi yang memiliki kepribadian unggul. Sejumlah ahli dan yang peduli dengan pendidikan
merumuskannya dalam konsep pendidikan karakter.
Seperti dinyatakan bahwa urgensi pendidikan karakter diutamakan karena salah satu bidang pembangunan nasional yang maha
penting dan menjadi dasar terbentuknya kehidupan masyarakat yang madani, dan yang bermartabat adalah pembangunan karakter.
Tugas ini menjadi kewajiban, fardu kifayah bagi semua elemen bangsa, terutama yang mengatasnamakan dirinya dalam dunia
pendidikan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pendidikan kita tentunya melalui pembelajaran serta segala yang bersinggungan dengan itu, atau
yang ada pada setiap ranah pendidikan harus berlangsung secara konstruktivis (membangun) berdasarkan pemikiran bahwa setiap
individu peserta didik merupakan bibit potensial yang mampu berkembang secara mandiri (Anas, 2012). Dan bahwa adalah hak
setiap anak untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Maka tugas pendidikanlah yang membentuk dasar itu melalui pendidikan
karakter.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai yang baik
tersebut.
Iklan untuk Anda: Ibu rumah tangga ditelan oleh python raksasa berhasil melarikan diri
Advertisement by
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan
akhlak, yang bertujuan membentuk pribadi anak, menjadi manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara
yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, termasuk nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya.

[OPINI] Pendidikan Karakter di Sekolah, Seperti Apa Wujudnya?


Di dalam kurikulum yang berlaku sekarang ini – Kurikulum 2013 – disebutkan adanya pendidikan karakter. Sekelompok orang
mengatakan dengan nada skeptis bahwa pendidikan karakter itu hanya sekadar tempelan. Seperti apa wujud nyata pendidikan
karakter itu? Mari kita mencoba untuk membahasnya.
Kegagalan lembaga pendidikan
Pertanyaan mendasarnya adalah: Perlukah pendidikan karakter? Untuk menjawabnya, mari kita lihat sejumlah keadaan di tanah
air. Kita menyaksikan fenomena tawuran sering terjadi di antara para siswa di banyak kota di Indonesia. Aksi kekerasan dan
kebrutalan semakin merajalela. Paparan pornografi dan penyalahgunaan narkoba semakin marak. Siswa berani memukul guru,
bahkan sampai guru meninggal dunia. Dan astaga! Bocah SD jatuh ke dalam pelukan pelacur tua di Jawa Timur. Dan masih
banyak lagi.
Hal-hal yang memprihatinkan ini menandakan gagalnya institusi pendidikan di Indonesia dalam memberikan pendidikan karakter
bagi para siswa.
Sejatinya, keluarga merupakan peletak dasar utama pendidikan karakter, karena siswa lebih banyak meluangkan waktunya dalam
keluarga ketimbang di sekolah. Dengan demikian, guru perlu bekerja sama dengan orang tua siswa, karena pendidikan di sekolah
dan di rumah itu harus sinkron satu dengan yang lain.
Tak pelak, guru dan orang tua harus menjadi suri teladan yang baik bagi setiap siswa. Bayangkan, bila seorang guru berniat
menanamkan karakter disiplin kepada siswa agar tidak datang terlambat, misalnya, tetapi guru itu sendiri sering datang terlambat.
Bila ini terjadi, jangan berharap siswa mau memperhatikan nasihat atau masukan dari guru yang bersangkutan, karena siswa telah
kehilangan kepercayaan terhadap gurunya sendiri. Jadi kunci utamanya adalah kepercayaan siswa terhadap guru.
Apa sih sebenarnya pendidikan karakter itu? Pendidikan karakter adalah pendidikan yang diberikan untuk menyiapkan
keterampilan siswa guna menghadapi kenyataan-kenyataan di dalam kehidupan nyata sehari-hari. Bagaimana membawa diri
dalam pergaulan, bagaimana harus berbicara santun, bagaimana harus bertoleransi kepada orang lain, bagaimana menyikapi
kenaikan harga bahan bakar, listrik, dan lain sebagainya.
Orang tua mana yang tak menginginkan anaknya menjadi pribadi yang berintelektualitas tinggi sekaligus memiliki perilaku yang
baik dan menghormati orang lain? Prestasi akademis sering diutamakan. Akan tetapi, perlu kita ingat bahwa sukses dalam
kehidupan itu tidak selalu bergantung pada kemampuan akademis seseorang.
Bermacam pendapat 
Ada  pihak yang menyatakan bahwa pendidikan karakter itu adalah membuat siswa melakukan apa yang diperintahkan oleh guru.
Hal semacam ini membawa kita kepada pembebanan suatu sanksi dan sistem ’hadiah dan hukuman’ yang hanya berdaya guna
untuk sementara saja. Pemberian ’hadiah dan hukuman’ tak memberikan dampak yang menolok bagi perubahan karakter dalam
jangka panjang
Di samping itu, sistem ini hanya membuat siswa menjadi pengekor gurunya dan tidak terlatih untuk mengekplorasi pengalaman
hidup lebih jauh. Eksplorasi memungkinkan siswa mengalami sendiri berbagai tantangan dan kesulitan yang membentuk mereka
menjadi pribadi yang tekun, tangguh, dan mandiri. Dan setiap siswa itu adalah pribadi yang unik. Karenanya, janganlah kita
mencoba membuatnya menjadi copy cat guru. Tugas guru – seperti yang dikatakan oleh Ki Hajar Dewantara – adalah tut wuri
handayani (dari belakang ikut memberikan dorongan dan arahan). Guru perlu menekan atau mengurangi ego-nya dalam
mempraktikkan pendidikan karakter. Guru dan siswa perlu sama-sama mengasah keterampilan dalam mengembangkan karakter
yang baik.Berdasarkan studi Dr. Marvin Berkowitz – seorang pakar pendidikan karakter dari University of Missouri, St. Lois –
ternyata pendidikan karakter memiliki pengaruh besar terhadap peningkatan motivasi siswa untuk meraih prestasi. Pada kelas-
kelas tertentu terdapat penurunan drastis perilaku negatif siswa yang menghambat keberhasilan akademis. Hal ini muncul, karena
salah satu tujuan pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan kepribadian yang berintegritas terhadap nilai dan aturan yang
ada. Bila siswa berintegritas, maka ia akan memiliki keyakinan terhadap potensi diri untuk menghadapi hambatan dalam belajar.
Wujud nyata                                                                                                                         
Jika ditanya tentang apa dan bagaimana wujud pendidikan karakter itu, maka penulis selalu merujuk pada pendidikan karakter di
sejumlah SD di Jepang.
Setiap jam makan siang, para siswa sudah berbaris rapi di ruang makan, lalu memberikan hormat kepada juru masak. Seusai
makan, mereka membersihkan sendiri seluruh peralatan makan mereka, lalu mengepel lantai. Ya, mengepel lantai secara beregu.
Sebuah contoh nyata bagaimana pendidikan karakter sudah ditanamkan sejak usia dini. Benar-benar melatih siswa untuk
berdisiplin, mandiri, dan mengerti tanggung jawab.Pendidikan karakter itu mencakup ranah pengetahuan (cognitive), perasaan
(affective), sikap (attitude), dan tindakan (action). Harus mampu memberikan ’asupan’ bukan hanya bagi raga, tetapi sekaligus
juga bagi jiwa berupa moralitas untuk menentukan sikap baik-buruk atau benar-salah. Pengembangan dan implementasi
pendidikan karakter harus dilakukan dengan mengacu kepada grand design tersebut.
Itu sebabnya dalam pelajaran Agama, misalnya, jangan hanya ditekankan aspek berdoa dan ibadah saja, melainkan juga
bagaimana menerapkan secara nyata ajaran agama dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat yang majemuk.
Pesan dalam story telling, menurut hemat penulis, merupakan salah satu cara ampuh untuk menyampaikan pendidikan karakter
kepada para siswa. Para siswa dapat secara bergantian membawakan story telling dalam acara di dalam kelas maupun acara-acara
penting yang diselenggarakan oleh pihak sekolah, misalnya HUT sekolah dan peringatan hari raya tertentu. Di sini pesan
pentingnya tidaklah secara masif diindoktrinasikan kepada para siswa, namun nilai-nilai moral yang baik dapat tertanam ke dalam
hati dan pikiran mereka secara ’lembut’. Inilah yang disebut sebagai pendekatan soft-selling dalam komunikasi pemasaran.
Lembut itu kuat.Martin Luther King mengatakan bahwa kecerdasan plus karakter… itu adalah tujuan akhir pendidikan yang
sebenarnya (Intelligence plus character… that is the goal of true education).Jika tokoh besar kaliber dunia – yang memiliki rekam
jejak karakter positif – telah mengatakan betapa pentingnya peran pendidikan karakter, masihkah kita ragu-ragu untuk
menerapkannya?Tantangan – terutama bagi para guru – memang berat. Akan tetapi, janganlah pendidikan karakter membuat kita
keder dalam menerapkannya di tengah zaman yang penuh dengan gejolak negatif.Pendidikan karakter merupakan kunci
membangun peradaban bangsa yang memanusiakan manusia.Pesantren (atau pesantrian) adalah sebuah lembaga pendidikan
Islam tradisional yang para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan
sebutan kiai dan mempunyai asrama untuk tempat menginap santri. Santri tersebut berada dalam kompleks yang juga
menyediakan masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar, dan kegiatan keagamaan lainnya. Kompleks ini biasanya dikelilingi
oleh tembok untuk dapat mengawasi keluar masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.Pesantren juga dapat
dipahami sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seorang kiai
mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh Ulama Abad
pertengahan, dan para santrinya biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. [1]
Sejarah umum[sunting | sunting sumber]
Umumnya, suatu pondok pesantren berawal dari adanya seorang kiai di suatu tempat, kemudian datang santri yang ingin belajar
agama kepadanya.[2] Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau
asrama di samping rumah kiai. Pada zaman dahulu kiai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang
terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri. Kiai saat itu belum
memberikan perhatian terhadap tempat-tempat yang didiami oleh para santri, yang umumnya sangat kecil dan sederhana. Mereka
menempati sebuah gedung atau rumah kecil yang mereka dirikan sendiri di sekitar rumah kiai. Semakin banyak jumlah santri,
semakin bertambah pula gubuk yang didirikan. Para santri selanjutnya memopulerkan keberadaan pondok pesantren tersebut,
sehingga menjadi terkenal ke mana-mana, contohnya seperti pada pondok-pondok yang timbul pada zaman Wali Songo.[3]
Pondok pesantren di Indonesia memiliki peran yang sangat besar, baik bagi kemajuan Islam itu sendiri maupun bagi bangsa
Indonesia secara keseluruhan. Berdasarkan catatan yang ada, kegiatan pendidikan agama di Nusantara telah dimulai sejak tahun
1596. Kegiatan agama inilah yang kemudian dikenal dengan nama pondok pesantren. Bahkan dalam catatan Howard M.
Federspiel- salah seorang pengkaji keislaman di Indonesia, menjelang abad ke-12 pusat-pusat studi di Aceh (pesantren disebut
dengan nama dayah di Aceh) dan Palembang (Sumatra), di Jawa Timur dan di Gowa (Sulawesi) telah menghasilkan tulisan-
tulisan penting dan telah menarik santri untuk belajar.[4]
Definisi pesantren[sunting | sunting sumber]
Etimologi[sunting | sunting sumber]
Istilah pesantren berasal dari kata pe-santri-an, di mana kata "santri" (Jw: cantrik) berarti murid padepokan, atau murid orang
pandai dalam Bahasa Jawa.[butuh rujukan] Istilah pondok berasal dari Bahasa Arab funduuq (‫ )فندوق‬yang berarti penginapan.[butuh
rujukan]
 Khusus di Aceh, pesantren disebut juga dengan nama dayah. Biasanya pesantren dipimpin oleh seorang kiai.[butuh rujukan] Untuk
mengatur kehidupan pondok pesantren, kiai menunjuk seorang santri senior untuk mengatur adik-adik kelasnya, mereka biasanya
disebut lurah pondok.[butuh rujukan] Tujuan para santri dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka adalah agar mereka belajar
hidup mandiri dan sekaligus dapat meningkatkan hubungan dengan kiai dan juga Tuhan.[butuh rujukan]
Pendapat lainnya, pesantren berasal dari kata santri yang dapat diartikan tempat santri. [butuh rujukan] Kata santri berasal dari kata
Cantrik (bahasa Sansakerta, atau mungkin Jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru, yang kemudian dikembangkan
oleh Perguruan Taman Siswa dalam sistem asrama yang disebut Pawiyatan. [butuh rujukan] Istilah santri juga dalam ada dalam
bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji, sedang C. C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri, yang
dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu.[butuh
rujukan]
 Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata saint (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata
pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.[5]
Elemen Dasar Sebuah Pesantren[sunting | sunting sumber]
Pondok[sunting | sunting sumber]
Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal
bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan kiai [6] Dengan istilah pondok pesantren
dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan keislaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat
yang sudah disediakan untuk kegiatan bagi para santri. Adanya pondok ini banyak menunjang segala kegiatan yang ada. Hal ini
didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok yang lain biasanya berdekatan sehingga memudahkan untuk komunikasi antara
kiai dan santri, dan antara satu santri dengan santri yang lain.
Dengan demikian akan tercipta situasi yang komunikatif di samping adanya hubungan timbal balik antara kiai dan santri, dan
antara santri dengan santri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Zamakhsyari Dhofier, bahwa adanya sikap timbal balik antara
kiai dan santri di mana para santri menganggap kiai seolah-olah menjadi bapaknya sendiri, sedangkan santri dianggap kiai sebagai
titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi [7]
Sikap timbal balik tersebut menimbulkan rasa kekeluargaan dan saling menyayangi satu sama lain, sehingga mudah bagi kiai dan
ustaz untuk membimbing dan mengawasi anak didiknya atau santri. Segala sesuatu yang dihadapi oleh santri dapat dimonitor
langsung oleh kiai dan ustaz, sehingga dapat membantu memberikan pemecahan ataupun pengarahan yang cepat terhadap santri,
mengurai masalah yang dihadapi para santri.
Keadaan pondok pada masa kolonial sangat berbeda dengan keberadaan pondok sekarang. Hurgronje menggambarkan keadaan
pondok pada masa kolonial (dalam bukunya Imron Arifin, Kepemimpinan kiai) yaitu: “Pondok terdiri dari sebuah gedung
berbentuk persegi, biasanya dibangun dari bambu, tetapi di desa-desa yang agak makmur tiangnya terdiri dari kayu dan batangnya
juga terbuat dari kayu. Tangga pondok dihubungkan ke sumur oleh sederet batu-batu titian, sehingga santri yang kebanyakan tidak
bersepatu itu dapat mencuci kakinya sebelum naik ke pondoknya.
Pondok yang sederhana hanya terdiri dari ruangan yang besar yang didiami bersama. Terdapat juga pondok yang agaknya
sempurna di mana didapati sebuah gang (lorong) yang dihubungkan oleh pintu-pintu. Di sebelah kiri kanan gang terdapat kamar
kecil-kecil dengan pintunya yang sempit, sehingga sewaktu memasuki kamar itu orang-orang terpaksa harus membungkuk,
jendelanya kecil-kecil dan memakai terali. Perabot di dalamnya sangat sederhana. Di depan jendela yang kecil itu terdapat tikar
pandan atau rotan dan sebuah meja pendek dari bambu atau dari kayu, di atasnya terletak beberapa buah kitab” [8]
Dewasa ini keberadaan pondok pesantren sudah mengalami perkembangan sedemikian rupa sehingga komponen-komponen yang
dimaksudkan makin lama makin bertambah dan dilengkapi sarana dan prasarananya.
Dalam sejarah pertumbuhannya, pondok pesantren telah mengalami beberapa fase perkembangan, termasuk dibukanya pondok
khusus perempuan. Dengan perkembangan tersebut, terdapat pondok perempuan dan pondok laki-laki. Sehingga pesantren yang
tergolong besar dapat menerima santri laki-laki dan santri perempuan, dengan memilahkan pondok-pondok berdasarkan jenis
kelamin dengan peraturan yang ketat.
Masjid[sunting | sunting sumber]
Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk
mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima waktu, khotbah dan salat Jumat dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.
Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofier berpendapat bahwa: “Kedudukan masjid sebagai sebagai pusat pendidikan dalam tradisi
pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain kesinambungan sistem
pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW tetap
terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam” [9]
Lembaga-lembaga pesantren di Jawa memelihara terus tradisi tersebut, bahkan pada zaman sekarang di daerah umat Islam begitu
terpengaruh oleh kehidupan Barat, masih ditemui beberapa ulama dengan penuh pengabdian mengajar kepada para santri di
masjid-masjid serta memberi wejangan dan anjuran kepada murid-muridnya.
Di Jawa biasanya seorang kiai yang mengembangkan sebuah pesantren pertama-tama dengan mendirikan masjid di dekat
rumahnya. Langkah ini pun biasanya diambil atas perintah kiainya yang telah menilai bahwa ia sanggup memimpin sebuah
pesantren. Selanjutnya kiai tersebut akan mengajar murid-muridnya (para santri) di masjid, sehingga masjid merupakan elemen
yang sangat penting dari pesantren.
Pengajaran Kitab-kitab Klasik[sunting | sunting sumber]
Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren
yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap paham Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan
bagian integral dari nilai dan paham pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini
belum diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna
kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah
banyak dicetak dengan kertas putih.
Pengajaran kitab-kitab Islam klasik oleh pengasuh pondok (kiai) atau ustaz biasanya dengan menggunakan
sistem sorogan, wetonan, dan bandongan. Adapun kitab-kitab Islam klasik yang diajarkan di pesantren menurut Zamakhsyari
Dhofir dapat digolongkan ke dalam 8 kelompok, yaitu: (1) Nahwu (gramatika Bahasa Arab) dan Sharaf (morfologi),
(2) Fiqih (hukum), (3) Ushul Fiqh (yurispundensi), (4) Hadits, (5) Tafsir, (6) Tauhid (teologi Islam), (7) Tasawuf dan Etika, (8)
cabang-cabang lain seperti Tarikh (sejarah) dan Balaghah (retorika). [10]
Kitab-kitab Islam klasik adalah kepustakaan dan pegangan para kiai di pesantren. Keberadaannya tidaklah dapat dipisahkan
dengan kiai di pesantren. Kitab-kitab Islam klasik merupakan modifikasi nilai-nilai ajaran Islam, sedangkan kiai merupakan
personifikasi dari nilai-nilai itu. Di sisi lain keharusan kiai di samping tumbuh disebabkan kekuatan-kekuatan mistik yang juga
karena kemampuannya menguasai kitab-kitab Islam klasik.
Sehubungan dengan hal ini, Moh. Hasyim Munif mengatakan bahwa: “Ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab kuning tetap
merupakan pedoman hidup dan kehidupan yang sah dan relevan. Sah artinya ajaran itu diyakini bersumber pada kitab Allah Al-
Qur’an dan sunnah Rasulullah (Al-Hadits), dan relevan artinya ajaran-ajaran itu masih tetap cocok dan berguna kini atau nanti” [11]
Dengan demikian, pengajaran kitab-kitab Islam klasik merupakan hal utama di pesantren guna mencetak alumnus yang menguasai
pengetahuan tentang Islam bahkan diharapkan di antaranya dapat menjadi kiai.
Santri[sunting | sunting sumber]
Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok
atau asrama pesantren yang telah disediakan. Ada pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang
biasa disebut dengan santri kalong sebagaimana yang telah penulis kemukakan pada pembahasan di depan.
Menurut Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Santri yaitu murid-murid yang tinggal di dalam pesantren untuk mengikuti
pelajaran kitab-kitab kuning atau kitab-kitab Islam klasik yang pada umumnya terdiri dari dua kelompok santri yaitu: - Santri
mukim yaitu santri atau murid-murid yang berasal dari jauh yang tinggal atau menetap di lingkungan pesantren. -
Santri kalong yaitu santri yang berasal dari desa-desa sekitar pesantren yang mereka tidak menetap di lingkungan kompleks
peantren tetapi setelah mengikuti pelajaran mereka pulang [12]
Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat
fasilitas yang sama antara santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan menaati peraturan yang ditetapkan di dalam
pesantren tersebut dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
Kiai[sunting | sunting sumber]
Istilah kiai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa [13] Kata kiai mempunyai makna yang agung, keramat, dan
dituahkan. Selain gelar kiai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar kiai juga
diberikan untuk benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun pengertian paling luas di Indonesia,
sebutan kiai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan
hidupnya untuk Allah SWT serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.
Kiai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam tata kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren. Dalam
kedudukan ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian kiai sebagai suri teladan dan sekaligus pemegang
kebijaksanaan mutlak dalam tata nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kiai sangat besar
sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan perbuatan (Ar: 'amaliyah), penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak,
pendidikan beramal, dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat. Dan dalam hal
pemikiran kiai lebih banyak berupa terbentuknya pola berpikir, sikap, jiwa, serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan
latar belakang kepribadian kiai [14]
Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa peran kiai sangat menentukan keberhasilan pesantren yang diasuhnya.
Demikianlah beberapa uraian tentang elemen-elemen umum pesantren, yang pada dasarnya merupakan syarat dan gambaran
kelengkapan elemen sebuah pondok pesantren yang terklasifikasi asli meskipun tidak menutup kemungkinan berkembang atau
bertambah seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Peranan[sunting | sunting sumber]
Pesantren pada mulanya merupakan pusat penggemblengan nilai-nilai dan penyiaran agama Islam.[butuh rujukan] Namun, dalam
perkembangannya, lembaga ini semakin memperlebar wilayah garapannya yang tidak melulu mengakselerasikan mobilitas
vertikal (dengan penjejalan materi-materi keagamaan), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran sosial). [butuh rujukan] Pesantren kini
tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (religious-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga
kurikulum yang menyentuh persoalan masyarakat (society-based curriculum).[butuh rujukan] Dengan demikian, pesantren tidak bisa
lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga (seharusnya) menjadi lembaga sosial yang hidup yang
terus merespons karut-marut persoalan masyarakat di sekitarnya.[15]
Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya Indonesia. [butuh rujukan] Keberadaan
pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya
telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam.[butuh rujukan] Sebagai lembaga pendidikan yang telah lama berurat akar di negeri
ini, pondok pesantren diakui memiliki andil yang sangat besar terhadap perjalanan sejarah bangsa. [16]
Banyak pesantren di Indonesia hanya membebankan para santrinya dengan biaya yang rendah, meskipun beberapa pesantren
modern membebani dengan biaya yang lebih tinggi.[butuh rujukan] Meski begitu, jika dibandingkan dengan beberapa institusi
pendidikan lainnya yang sejenis, pesantren modern jauh lebih murah.[butuh rujukan] Organisasi massa (ormas) Islam yang paling
banyak memiliki pesantren adalah Nahdlatul Ulama (NU).[butuh rujukan] Ormas Islam lainnya yang juga memiliki banyak pesantren
adalah Al-Washliyah dan Hidayatullah.[butuh rujukan]
Jenis pesantren[sunting | sunting sumber]
Seiring perkembangan zaman, serta tuntutan masyarakat atas kebutuhan pendidikan Umum, kini banyak pesantren yang
menyediakan menu pendidikan umum dalam pesantren. kemudian muncul istilah pesantren salaf dan pesantren modern. Pesantren
salaf adalah pesantren yang murni mengajarkan pendidikan agama. Sedangkan Pesantren Modern menggunakan sistem
pengajaran pendidikan umum, dengan sistem kelas dan kurikulum.
Pesantren salaf[sunting | sunting sumber]
Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama Islam saja umumnya disebut pesantren salaf.[butuh rujukan] Pola tradisional yang
diterapkan dalam pesantren salaf adalah para santri bekerja untuk kiai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi
empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kiai mereka tersebut. [butuh
rujukan]
 Sebagian besar pesantren salaf menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang
rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali.[butuh rujukan] Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari
dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh pada waktu pagi hingga mereka tidur kembali pada waktu malam.[butuh
rujukan]
 Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada waktu sore mereka menghadiri
pengajian dengan kiai atau ustadz mereka untuk memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an. [butuh rujukan]
Pesantren modern[sunting | sunting sumber]
Ada pula pesantren yang mengajarkan pendidikan umum, di mana persentase ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama
Islam daripada ilmu umum (matematika, fisika, dan lainnya).[butuh rujukan] Ini sering disebut dengan istilah pondok pesantren modern,
dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. [butuh rujukan] Pada
pesantren dengan materi ajar campuran antara pendidikan ilmu formal dan ilmu agama Islam, para santri belajar seperti di sekolah
umum atau madrasah.[butuh rujukan] Pesantren campuran untuk tingkat SMP kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah
Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dengan nama Madrasah Aliyah.[butuh rujukan] Namun, perbedaan pesantren
dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak. [butuh
rujukan]
 Ada juga jenis pesantren semimodern yang masih mempertahankan kesalafannya dan memasukkan kurikulum modern di
pesantren tersebut seperti yang terdapat di Pondok Pesantren Al - Ittihad Cianjur.
Modernisasi pesantren[sunting | sunting sumber]
Sebab-sebab terjadinya modernisasi Pesantren di antaranya:
 Munculnya wancana penolakan taqlid dengan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah sebagai isu sentral yang mulai
ditadaruskan sejak tahun 1900. Maka sejak saat itu perdebatan antara kaum tua dengan kaum muda, atau kalangan
reformis dengan kalangan ortodoks/konservatif, mulai mengemuka sebagai wancana publik.
 Kian mengemukanya wacana perlawanan nasional atas kolonialisme belanda.
 Terbitnya kesadaran kalangan Muslim untuk memperbaharui organisasi Islam mereka yang berkonsentrasi dalam
aspek sosial ekonomi.
 Dorongan kaum Muslim untuk memperbarui sistem pendidikan Islam. Salah satu dari keempat faktor tersebut dalam
pandangan Karel A. Steenbrink, yang sejatinya selalu menjadi sumber inspirasi para pembaharu Islam untuk
melakukan perubahan Islam di Indonesia.[17]
Sekolah asrama
Sekolah Asrama adalah sebuah sekolah tingkat pra-universitas dimana sebagian besar atau seluruh murid bermukim selama
masuk sekolah tersebut. Kata "asrama" dipakai dalam pengartian "kamar dan papan" seperti halnya lobi dan hidangan. Sekolah-
sekolah asrama juga dikenal dengan sebutan Sekolah Persiapan Universitas atau Kolese, alias "Sekolah Persiapan". Beberapa
sekolah asrama juga memiliki murid-murid yang menghadiri lembaga tersebut yang kembali ke keluarga mereka pada sore hari.
Pesantren Salaf
Pesantren Salaf, Pesantren Salafi, atau Pesantren Salafiyah adalah sebutan bagi pondok pesantren yang mengkaji kitab-kitab
kuning (kitab kuno). Pesantren salaf identik dengan pesantren tradisional (klasik) yang berbeda dengan pesantren modern dalam
hal metode pengajaran dan infrastrukturnya.
Pada dasarnya, pesantren salaf adalah bentuk asli dari lembaga pesantren itu sendiri. Sejak munculnya pesantren, format
pendidikan pesantren adalah bersistem salaf. Kata salaf dibelakang kata 'pesantren' merupakan bahasa Arab yang berarti
terdahulu, klasik, kuno, tradisional, atau bisa juga diartikan bahwa pesantren tersebut selalu menjunjung dan mengamalkan ajaran
orang-orang salaf melalui kitab-kitab kuning.
Seiring berkembangan zaman, tidak sedikit pesantren salaf yang beradaptasi dan mengkombinasikan sistem pembelajaran modern.
Dalam klasifikasi tipe pesantren di lingkungan Kemenag, disebut sebagai pesantren kombinasi. Kemenag membagi tiga tipe
pesantren, yaitu Pesantren Salafiyah, Pesantren Khalafiyah (Ashriyah) dan Pesantren Kombinasi.

Metode Belajar Mengajar[sunting | sunting sumber]


Metode belajar mengajar di pesantren salaf terbagi menjadi dua yaitu metode sorogan-wetonan/ sorogan-bandongan dan
metode klasikal. Metode sorogan (talaqqi) adalah sistem belajar mengajar di mana santri membaca kitab yang dikaji di depan
ustadz atau kyai. Sedangkan sistem wetonan/ bandongan (halaqah) adalah kyai membaca kitab yang dikaji sedang santri
menyimak, mendengarkan dan memberi ma'na (terjemah lafadz-perlafadz beserta posisi lafadz dari segi i'rab) pada kitab
tersebut.Metode sorogan dan wetonan/ bandongan merupakan metode klasik dan paling tradisional yang ada sejak pertama kali
lembaga pesantren didirikan dan masih tetap eksis dan dipakai sampai saat ini. Adapun metode klasikal adalah metode sistem
kelas yang tidak berbeda dengan sistem modern. Hanya saja bidang studi yang diajarkan mayoritas adalah keilmuan agama.
Ciri Khas Kultural Pesantren Salaf[sunting | sunting sumber]
 melestarikan pemakaian aksara Jawi/ Pegon/ Pego dalam pengajian kitab kuning,
 dalam pengajaran kitab kuning memakai sistem ma'na gundul dan ma'na terjemahan bebas sekaligus (murad),
 sangat menganjurkan para santri putra untuk memakai sarung dan peci dalam kegiatan sehari-hari,
 berada di bawah naungan Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI NU),
 mengajarkan dan mengamalkan;
-madzhab fikih Syafi’i,
-akidah metodologi Asy’ariyah dan Maturidiyah,
-tasawuf metodologi Al-Ghazali, Junaid Al Baghdadi dan imam sufi lainnya,
 memiliki rutinitas pembacaan tahlil, istighatsah, manaqib (biografi) para ulama dengan berjamaah,
 memperingati maulid Nabi dengan membaca kitab-kitab sirah nabawiyah,
 sistem penerimaan santri tanpa seleksi. Setiap santri yang masuk langsung diterima. Sedangkan penempatan kelas
sesuai dengan kemampuan dasar ilmu agama yang dimiliki sebelumnya.
Ciri Khas Kualitas Keilmuan
 menguasai literatur klasik Islam berbahasa Arab Klasik dan bahasa Arab Baku Modern dalam berbagai disiplin ilmu
agama (kitab kuning),
 menguasai ilmu gramatika bahasa Arab (nahwu, sharaf, arudl, ma'ani, bayan, badi', dan mantik) secara mendalam
karena ilmu-ilmu tersebut dipelajari sangat intens dan menempati porsi cukup besar dalam kurikulum pesantren
salaf di samping fikih madzhab Syafi’i,
 memiliki sanad ilmu agama yang bisa dipertanggungjawabkan

Anda mungkin juga menyukai