Beberapa tahun terakhir kepedulian orang tua terhadap nila-nilai agama dan pergaulan anaknya semakin meningkat. Hal ini bisa
dibuktikan dengan banyaknya orang tua yang menyekolahkan anaknya di sekolah boarding school. Sekolah berasrama menjadi
favorit banyak orang tua karena memberikan pelajaran agama lebih banyak. Serta pergaulan anak menjadi terkontrol dengan baik.
Meski menjadi favorit tetapi banyak orang tua yang belum tahu jenis-jenis boarding school. Inilah beberapa jenis boarding school.
Menurut Sistem Bermukim Siswa
Jenis boarding school yang pertama menurut sistem bermukim siswa. Menurut sistem bermukim siswa terbagi menjadi tiga jenis,
yaitu:
All Boarding School
All boarding school merupakan jenis boarding school yang mengharuskan seluruh siswanya untuk tinggal di asrama kampus atau
asrama sekolah. Jenis boarding school ini menjadi yang paling sering digunakan di Indonesia. Mayoritas boarding school di
Indonesia mengharuskan siswanya untuk tinggal di asrama sekolah. Salah satu contoh all boarding school ini adalah SMA
Dwiwarna yang juga merupakan salah satu sekolah islam terbaik di Indonesia.
Boarding Day School
Kedua ada boarding day school. Boarding day school merupakan sekolah boarding school yang mayoritas siswanya tinggal di
asrama sekolah dan sebagian lagi tinggal di lingkungan sekitar kampus atau sekolah.
Day Boarding
Terakhir ada day boarding. Jenis boarding school ini merupakan sekolah boarding school yang mayoritas siswanya tidak tinggal di
asrama sekolah meskipun sebagian diantaranya tetap tinggal di asrama kampus atau asrama sekolah. Artinya pihak sekolah tidak
mengharuskan seluruh siswanya untuk tinggal di asrama sekolah.
Menurut Jenis Siswa
Jenis-jenis boarding school yang kedua yaitu menurut jenis siswa. Menurut jenis siswa, boarding school memiliki tujuh jenis.
Berikut ketujuh jenis tersebut.
Junior Boarding School
Yang pertama ada junior boarding school. Junior boarding school merupakan sekolah boarding school yang menerima siswa dari
tingkat SD hingga SMP. Akan tetapi, Biasanya jenis boarding school ini hanya menerima siswa SMP saja.
Co-education School
Co-education School merupakan sekolah boarding school yang menerima siswa laki-laki maupun perempuan. Bisa dibilang jenis
boarding school ini sama seperti sekolah pada umumnya karena mau menerima siswa laki-laki dan perempuan.
Boys School
Selanjutnya ada jenis boarding school boys school. Dimana boys school memiliki arti sekolah yang hanya menerima siswa laki-
laki saja. Artinya dalam sekolah tersebut hanya terdapat siswa laki-laki saja.
Girl School
kebalikan dari boys school, girl school merupakan sekolah boarding school yang hanya menerima siswa berjenis kelamin
perempuan saja. Jadi, di sekolah ini tidak akan ditemukan siswa laki-laki.
Pre-professional Arts School
Jenis boarding school menurut jenis siswa yang ketiga ada pre-professional art school. Dari namanya saja sudah diketahui jika
sekolah ini berfokus pada seni. Pre-professional itu sendiri merupakan sekolah yang dibangun secara khusus untuk para seniman.
Religious School
Religius school merupakan sekolah boarding school yang menggunakan kurikulum yang mengacu pada agama tertentu.
Special Needs Boarding School
Terakhir ada special needs boarding school. Special needs boarding school merupakan sekolah boarding school yang dibuat
khusus untuk anak-anak yang memiliki masalah atau bermasalah dengan sekolah biasa.
Menurut Sistem Sekolah
Jenis boarding school yang terakhir yaitu menurut sistem sekolah. Menurut sistem sekolah, boarding school memiliki dua jenis,
antara lain:
Military School
Pertama ada military school. Military school merupakan sekolah boarding school yang mengikuti aturan militer. Biasanya sekolah
ini menggunakan seragam khusus.
5 Day Boarding School
5 day boarding school merupakan sekolah yang membebaskan siswanya untuk bisa memilih tinggal di asrama atau pulang ke
rumah saat akhir pekan. Artinya dalam seminggu sekolah ini hanya mengharuskan siswanya tinggal di asrama selama lima hari
saja, jika akhir pekan bisa pulang. Namun, siswa juga bisa memilih untuk tetap di asrama selama 7 hari dalam satu minggu.
Nah itulah jenis-jenis boarding school di Indonesia yang harus diketahui. Apabila berencana menyekolahkan buah hati di boarding
school maka pilihlah jenis boarding school yang tepat. Dengan memahami berbagai jenis boarding school ini, maka orang tua bisa
memilih jenis mana yang kiranya memang paling sesuai dan dibutuhkan untuk putra putri mereka.
Perang Pesantren di Era Modernitas
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Nusantara. Sekitar lebih dari satu abad pondok pesantren berdiri di tanah
Nusantara. Dalam kurun waktu yang panjang, pesantren menghadirkan berbagai tradisi yang menjadi ciri khas pendidikan pondok
pesantren. Jurnalistik menjadi salah satu ciri khas pondok pesantren. Pada era keemasan jauh sebelum pondok pesantren ada,
tradisi tulis menulis atau jurnalistik sudah menjadi ladang dakwah para Ulama Nusantara bahkan Ulama di negara lain. Ulama
terkemuka seperti Imam Ghozali (1058 M – 1111 M) dengan karyanya yang begitu fenomenal Ihya U’lumuddin, Bidayatul
Hidayah, dan puluhan kitab lainnya. Hadhratus Syeikh K.H Hasyim Asy’ari (1875 M – 1947 M) dengan karyanya Adab al-alim
wal Muta’allim fi maa yahtaju Ilayh al-Muta’allim fi Ahwali Ta’alumihi wa maa Ta’limihi, Risalah Ahlis-Sunnah Wal Jama’ah:
Fi Hadistil Mawta wa Asyrathis-sa’ah wa baya Mafhumis-Sunnah wal Bid’ah, dan puluhan karya lainnya. Badi’uzzaman Sa’id
Nursi (1878 M – 1960) pada saat di penjara bukan menjadi permasalahan primer untuk terus menulis, menebarkan keadilan
hingga sampai pada kitab fenomenal di Turki Risale-I Nur (El Shirazy, 2016). Menurut Zuhairi Misrawi salah seorang intelektual
muda NU, tradisi pesantren adalah tradisi jurnalistik karena setiap yang ingin menjadi seorang Ulama haruslah memiliki karya
atau tulisan.
Memasuki era modernitas pondok pesantren lazimnya ikut maju dalam mengembangkan visi dakwahnya melalui pendidikan
jurnalistik. Tidak tenggelam dalam alur kehidupan masa lampau, pada masa kolonial kaum sarungan dianggap sebagai orang yang
buta akan modernitas, bahkan tertinggal jauh. Argumentasi seperti itulah yang harus di hilangkan pada zaman ini, bukan berarti
meninggalkan ciri khas pesantren tradisional tetapi menambahkan visi dakwah jurnalistik dalam tulis menulis. Hal ini sepadan
dengan kaidah Ushul Fiqh ” al-Muhafadhotu ‘ala qadimi al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” (menjaga tradisi-tradisi
lama sembari menyesuaikan dengan tradisi-tradisi modern yang lebih baik). Jika melihat alur kehidupan modernitas, hampir
semuanya terikat dan tarkait dengan jurnalistik tertutama tulis menulis. Sosial media sudah bukan menjadi tempatnya informasi,
melainkan seperti sudah menjadi ladang jual beli untuk sebuah kelompok yang ingin menguasai. Haq dan bathil sudah tercampur
adukan dalam ranah kehidupan. Dampak terhadap masyarakat tersebarnya rasa kebencian antara satu sama lain dan hilangnya rasa
persatuan sesama golongan.
Langkah Komprehensif Pesantren
Pondok pesantren sepatutnya harus berani mengambil langkah dakwah di era serba modernitas. Teknologi yang kian terus maju,
tetapi kurangnya rasa kesadaran berpikiran maju bagi beberapa pesantren. Akibatnya media yang kurang memahami betul
antara Haq dan Bathil terus maju tanpa disertai dengan nilai-nilai keislaman yang cukup. Kehadiran teknologi informasi dan
komunikasi yang terus berkembang pesat dari waktu ke waktu telah memunculkan realitas baru di tengah masyarakat dunia.
Realitas baru tersebut adalah pasar bebas ide (free market of ideas). Semua itu ditunjang dengan teknologi informasi dan
komunikasi. Semua orang berlomba memperoleh informasi sebanyak-banyaknya tentang apa saja yang menyangkut hidup dan
kehidupannya (Syah, 2012).
Perlunya langkah komprehensif bagi pondok pesantren melalui jurnalistik dalam dakwah era modernitas. Menghadapi itu, Sardar
dalam bukunya Tantangan Dunia Islam Abad XXI: Menjangkau Informasi, mengemukakan gagasan tentang perlunya strategi
umat Islam dalam menghadapi tantangan abad informasi. Menurutnya strategi yang perlu dirumuskan, antara lain: pertama, sesuai
dengan asas hikmah dan syura, negara-negara muslim harus mengembangkan lembaga-lembaga riset dan pengembangan. Untuk
melepaskan diri dari negara-negara industri, mereka harus melakukan kerjasama dengan sesama negara muslim. Kedua, sesuai
dengan asas istislah, negara-negara muslim harus mengembangkan struktur informasi yang relevan bagi konsumen lokal dan
nasional. Ketiga, sesuai asas a’dl bagian infrastruktur yang didesentralisasi harus memberikan jasa untuk mengembangkan
kemampuan berpartisipasi pada seluruh warga masyarakat muslim. Keempat, berdasarkan prinsip „I’lm – yang didefinisikan
sebagai pengetahuan distributive – komunikasi sains dalam umat harus digalakkan. Jurnalisme Islam harus diwujudkan dalam
pemenuhan kebutuhan ilmuwan dan cendekiawan Islam. Kelima, sesuai dengan prinsip syura dan ummah, diperlukan kerjasama
para peneliti dan cendekiawan lewat jaringan informasi muslim internasional dan jasa informasi referensi Islam. Keenam, para
cendekiawan dituntut tampil sebagai penjaga gawang peradaban Islam dan penyedia (pemasok) gagasan (Sardar, 1988).
Dalam gagasannya bukanlah hal yang mudah bagi pesantren untuk mengimplementaskannya. Jika di lihat dari presentase
pesantren hanya segelintir yang sudah mengaplikasikan jurnalistik sesuai koridor Islam. Adil, tidak berbau sara, dan untuk
kepentingan bersama. Hanya beberapa pondok pesantren modern, seperti halnya Gontor, Ponorogo. Sampai saat ini pun masih
kurang pesantren yang memperhatikan pendidikan Juralistik. Justru hal in yang menjadi momentum kaum Barat untuk
menghancurkan dan mengadu dombakan dunia Islam. Seperti pada akhir tahun 2016 hingga sekarang, arus media yang begitu
cepat dan pesat. Di sinilah peran pesantren dalam jurnalistik yang mempunyai nilai-nilai Islam dituntut tampil sebagai wahana
budaya tanding (counter culture) terhadap dominasi media Barat di era informasi global. Bahkan hal ini termasuk
mempertahankan persatuan dengan tujuan membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah. Untuk kedamaian dan kesatuan
bukti cinta persatuan.
Belajar Sejak Santri
“Menulislah agar dipahami, bicaralah supaya didengar dan membacalah untuk mengembangkan diri” begitu salah satu dawuh
Presiden ke-4 K.H Abdurrahman Wahid atau Gus Dur panggilan akrabnya. Menulis merupakan salah satu pembelajaran dalam
jurnalistik. Pentingnya menulis menjadikan setiap insan abadi dalam kehidupanya. Mulai dari membuat sebuah opini, syair, dan
hikayat. Serta apa yang mampu menggoreskan pena dalam tiap lembaran-lembaran putih. Tokoh-tokoh intelektual muslim, seperti
Cak Nur, Gus Dur, Gus Mus sudah belajar jurnalistik dalam masa santrinya. Hingga sekarang tulisannya menjadi rujukan
inspiratif kehidupan bagi semua kalangan. Menulis berdasarkan prinsip-prinsi Islam menjadikan moralitas Islam berkembang
baik. Sejatinya santri mampu menerapkan keilmuan Islamnya dengan tulisan-tulisannya. Praktiknya, media (pers) Islam dalam
aktivitas jurnalistiknya harus tetap dan senantiasa berpedoman pada landasan etis profetik yang sesuai dengan Al-Qur’an dan
Hadits sehingga eksistensinya benar-benar bisa membawa kedamaian dan rahmat bagi semua.
Saatnya Santri membangun Indonesia
Dikala mengelola sebuah negara dengan sistem tertutup dan penuh proteksi sudah tidak bisa dipertahankan lagi, maka
mengandalkan kemampuan sumberdaya manusia (SDM) dan teknologi menjadi sebuah pilihan terbaik dalam
meningkatkan daya saing dan kemajuan bangsa. Dan untuk membangun sebuah negara yang berdaya saing diperlukan
SDM yang memiliki motivasi, karakter, jiwa, komitmen serta intelektualitas yang tinggi, khususnya dalam menghadapi
persaingan yang sangat ketat di era MEA saat ini.
Membangun kemampuan SDM yang memiliki sejumlah ciri di atas tidaklah segampang membalik tangan, namun bisa
ditempuh dalam beberapa cara diantaranya adalah pendidikan dan pelatihan di sekolah formal maupun non formal
termasuk pendidikan yang dilakukan oleh sejumlah Pesantren di Indonesia. Dalam Pendidikan
Pesantren, “santri” menjadi kunci utama suksesnya upaya pesantren mencapai visi, misi dan tujuan pendidikan yang
diselenggarakan. Keberhasilan Pesantren dalam menciptakan sosok santri yang handal telah dibuktikan keberhasilannya,
paling tidak dapat dilihat dari banyaknya pemimpin di negeri ini yang dilahirkan dari Pesantren di Indonesia, seperti KH
Wahid Hasyim (Anggota PPKI), Syaifuddin Zuhri (Menteri Agama), Idham Cholid ( Ketua MPR) dan masih banyak lagi.
Tentang “santri” dan “Pondok Pesantren”
Kata “santri” menurut Nurcholish Madjid dapat dilihat dari “santri” yang berasal dari perkataan“sastri”, bahasa
Sanskerta yang artinya melek huruf. Dan dii sisi lain, Zamkhsyari Dhofier mengatakan bahwa kata “santri” dapat
diartikan buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan. Dari Kamus Umum Bahasa
Indonesia, kata santri mengandung beberapa pengertian, yaitu (a) orang saleh, orang yang beribadah dengan sungguh-
sungguh dan (b) yaitu “cantrik”, yang dalam bahasa jawa berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana
guru itu pergi. Sehingga menurut para ahli, pengertian “santri” adalah panggilan untuk seseorang yang sedang menimba
ilmu pendidikan agama Islam selama kurun waktu tertentu dengan jalan menetap di sebuah pondok pesantren.
Kompetensi Santri tidak terlepas dari Pondok Pesantren tempat mereka menempa ilmu. Tercatat di Badan Litbang dan
Diklat Kementerian Agama bahwa jumlah santri pondok pesantren di 34 provinsi di seluruh Indonesia, mencapai 3,65
juta yang tersebar di 25.000 pondok pesantren (Kemenag data 2011). Jumlah tersebut terus bertambahnya setiap tahun.
Jumlah santri ini merupakan potensi luar biasa dan dapat menghasilkan dampak besar bagi pembangunan bangsa jika
program dan kegiatan para santri dikelola dengan sistem yang baik. Pondok Pesantren merupakan tempat dimana para
santri belajar, sebagian masih menerapkan pendidikan tradisional, namun banyak juga sudah menggunakan standard
pendidikan modern, sehingga tidak kalah bersaing dengan pendidikan yang ada di sekolah umum. Pendidikan di
lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu ujung tombak bagi terlaksananya sistem pendidikan agama Islam yang
baik dan benar serta pencipta SDM dengan motivasi, jiwa kepemimpinan, akhlak serta intelektual yang tinggi. Sudah
terbukti bahwa Pondok pesantren mampu melahirkan tokoh-tokoh Islam yang sukses, sehingga sistem pendidikan tidak
perlu dibedakan dengan sekolah umum karena memiliki tujuan yang sama yakni bagaimana menciptakan kader pemimpin
masa depan bangsa yang memiliki kepribadian yang luhur.
Sejarah perkembangan pesantren di Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan asal-mula lahirnya pesantren yang
terpengaruhi oleh sejarah Walisongo abad 15-16 masehi, sebagaimana disampaikan oleh Abdurrachman Mas’ud yang
antara lain memiliki ciri : (1) Orientasi kehidupan (way of life) yang lebih mementingkan akhirat dari pada kehidupan
dunia, (2) Kepemimpinan (leadership) dari seorang tokoh yang karismatik, seperti kepemimpinan Nabi Muhammad
SAW dan Walisongo yang menjadi kiblat para santri sehingga kepemimpinan yang bersifat paternalism dan patron-
client relation yang sudah mengakar pada budaya Jawa, (3) Misi Walisongo sebagai solution system yaitu selalu
berusaha menerangkan, memperjelas dan memecahkan persoalan masyarakat serta memberi model ideal bagi kehidupan
sosial masyarakat, (4) Menghilangkan dikotomi atau gap antara ulama dan rajaatau yang kita kenal dengan
istilah “Sabdo Pandito Ratu” dan (5) Mendidik dengan cara sederhanasehingga mudah ditangkap dan dilaksakan.
Pendidikan di pondok pesantren secara umum adalah mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki tanggung Jawab
tinggi dihadapan Allah sebagai khalifah sehingga harus memiliki sikap, wawasan, pengamalan iman dan akhlakul
karimah, tumbuh kemerdekaan, demokratis, toleran dan menjunjung hak asasi manusia, berwawasan global yang
berdasarkan ketentuan dan tidak bertentangan dengan nilai dan norma Islam. Sedangkan misi pendidikan pondok
pesantren secara umum adalah menuju masyarakat madani, melalui pendidikan yang otonom, luwes namun adaptif dan
fleksibel. Proses pendidikan yang dijalankan bersifat terbuka dan berorientasi kepada keperluan dan kepentingan bangsa,
diselenggarakan secara global, memiliki komitmen nasional dan bertindak secara lokal sesuai dengan petunjuk Allah dan
rasul-Nya menuju keungulan insan kamil.
Kondisi empiris saat ini.
Suatu kenyataan yang terjadi dihadapan kita tentang berbagai penangkapan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
akibat kasus narkoba, korupsi, kolusi, kenakalan remaja dan pemuda serta kejahatan lain di Indonesia, membuat kita
prihatin dan miris, seolah sudah tidak ada lagi kejujuran, kepercayaan dan keterbukaan lagi di negeri ini. Maraknya kasus
tersebut membuat pemerintah membangun sejumlah institusi yang bergerak dibidang investigasi dan audit seperti KPK,
BPK, BPKP serta perangkat lainnya yang melekat di Institusi, bahkan wistleblower juga digalakkan dan didorong untuk
mengantisipasi agar kasus-kasus tersebut dapat dicegah dan ditanggulangi dengan baik, termasuk Program Revolusi
Mental juga telah dengan tegas menjadi salah satu system pola pencegahan berbagai kasus di atas. Sejumlah pelakupun
telah disidang dan dihukum. Namun kasus-kasus serupa masih marak terjadi sampai sekarang, seolah tidak ada rem yang
dapat dipakai untuk menghambat laju pertumbuhannya. Pertanyaan yang tidak pernah dapat dijawab hingga saat ini
adalah : Apakah yang menjadi akar masalah atas kasus yang terjadi tersebut ??.
“santri” dan “pesantren” modern berpotensi membangun Indonesia.
Santri memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan lulusan dari sekolah umum, khususnya pengetahuan dan
kecerdasan dibidang spiritual dan akhlak. Bila dikaitkan dengan kasus kriminal yang marak terjadi di Indonesia, maka
mendorong para santri untuk meningkatkan peran mendongkrak keberhasilan pembangunan Indonesia menjadi salah satu
faktor penting yang perlu dipertimbangkan. Kini saatnya pemerintah perlu memberi ruang yang cukup, termasuk iklim
kondusif kepada para “santri” dan “pesantren” agar dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Pesantren tidak cukup
hanya menciptakan para santri yang memiliki kompetensi tinggi tetapi juga harus mampu menciptakan produk kreatif dan
inovatif yang dapat dikontribusikan ke ranah industri bernuansa islami. Para santri perlu dibekali dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek), agar dapat menjawab berbagai masalah yang terjadi di masyarakat seperti
pemberdayaan masyarakat, pengentasan kemiskinan, pembangunan karakter yang jujur, berkhlak mulia, motivasi tinggi,
tahan malang serta cerdas dan kreatif. Bahkan harus mampu berpartisipasi dalam pembangunan lingkungan strategis
seperti pembangunan dibidang ekonomi, lingkungan hidup, kemanan kedaulatan negara dan budaya. Karena itu pesantren
termasuk pesantren modern seperti yang sekarang kita lihat di berbagai tempat di Indonesia masih perlu terus
diselaraskan baik kualitas maupun jumlah. Program studi yang sesuai dengan kebutuhan riil masyarakat perlu diperluas,
sehingga partisipasi “santri” dan “pesantren” dalam pembangunan bangsa semakin nampak dan nyata.
Untuk itu terdapat tiga hal yang perlu dikembangkan di tingkat awal yaitu pengembangan kelembagaan pesantren,
sumberdaya dan jaringan pesantren. Ketiga hal ini sangat dekat dengan rencana strategis Kementerian Riset Teknologi
dan Pendidikan Tinggi, kenapa?, karena meningkatkan daya saing dan kompetensi santri tidak terlepas dari program dan
kebijakan yang ada di ranah pendidikan, riset dan inovasi. Jika itu dilakukan maka Kementerian di atas wajib
meningkatkan program dan kegiatannya dalam rangka membangun kapasitas “santri” dan “pesantren” modern sesuai
dengan kebutuhan pembangunan di Indonesia. Walahualam…
Opini: Pendidikan yang Bermartabat
Hari berganti hari, minggu menuju bulan, tahun bergulir menapaki saat ini. Sistem pendidikanpun selalu mengikuti tren, berganti
menteri berganti pula strategi. Sementara itu, pendidikan saat ini telah dihadapkan pada sejumlah masalah yang pada dasarnya
berangkat dari keinginan kuat untuk memperbaiki.
Sebagaimana kita pahami bahwa pendidikan merupakan upaya untuk membudayakan seseorang sehingga menjadi anggota
masyarakat yang aktif, karena pendidikan bertujuan membentuk manusia agar dapat menunjukkan perilakunya sebagai makhluk
yang berbudaya yang mampu bersosialisasi dalam masyarakatnya.
Menurut Jihad dkk (2010:34) secara mendasar permasalahan pendidikan yang selalu diperbincangkan walau dengan teori yang
bermacam-macam pada dasarnya berangkat pada orientasi filosofis dan arah kebijakan. Kerena seperti pernyataan di atas, bahwa
secara tersurat tujuan pendidikan nasional sebenarnya sangat ideal karena menjangkau semua dimensi kemanusiaan (religuisitas,
etis, fisik, keilmuan, dan keterampilan/life skill).
Namun seperti yang menjadi sorotan, pada implementasinya pendidikan kita lebih "menciptakan" manusia yang bertipe pada hal-
hal yang mekanis daripada humanis/kemanusiaan. Dan terkadang hal inilah yang menjadi uraian perpanjangan tangan pendidikan.
Berkaitan dengan fenomena itu, beberapa tahun ini telah tumbuh kesadaran bangsa kita (bidang pendidikan khususnya) untuk
melakukan perbaikan dan terobosan dalam rangka membentuk, dan membina karakter para peserta didik sebagai generasi penerus
bangsa, agar benar-benar menjadi generasi yang memiliki kepribadian unggul. Sejumlah ahli dan yang peduli dengan pendidikan
merumuskannya dalam konsep pendidikan karakter.
Seperti dinyatakan bahwa urgensi pendidikan karakter diutamakan karena salah satu bidang pembangunan nasional yang maha
penting dan menjadi dasar terbentuknya kehidupan masyarakat yang madani, dan yang bermartabat adalah pembangunan karakter.
Tugas ini menjadi kewajiban, fardu kifayah bagi semua elemen bangsa, terutama yang mengatasnamakan dirinya dalam dunia
pendidikan.
Untuk mewujudkan hal tersebut, pendidikan kita tentunya melalui pembelajaran serta segala yang bersinggungan dengan itu, atau
yang ada pada setiap ranah pendidikan harus berlangsung secara konstruktivis (membangun) berdasarkan pemikiran bahwa setiap
individu peserta didik merupakan bibit potensial yang mampu berkembang secara mandiri (Anas, 2012). Dan bahwa adalah hak
setiap anak untuk mendapatkan pendidikan yang baik. Maka tugas pendidikanlah yang membentuk dasar itu melalui pendidikan
karakter.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pendidikan karakter merupakan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai yang baik
tersebut.
Iklan untuk Anda: Ibu rumah tangga ditelan oleh python raksasa berhasil melarikan diri
Advertisement by
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan
akhlak, yang bertujuan membentuk pribadi anak, menjadi manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara
yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, termasuk nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya.