Anda di halaman 1dari 3

Kerajaan Kutai Martapura

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Kerajaan Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang


memiliki bukti sejarah tertua berupa prasasti Yupa dan berdiri sekitar abad ke-4[1],
bersamaan dengan Kerajaan Tarumanegara di Jawa. Pusat kerajaan ini terletak
di Muara Kaman, yang saat ini adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Kutai
Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Nama Kutai diberikan oleh para ahli
mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi
kerajaan tersebut. Informasi nama Martadipura diperoleh dari kitab Salasilah Raja
dalam Negeri Kutai Kertanegara yang menceritakan pasukan Kerajaan Kutai
Kertanegara dari Kutai Lama menyerang ibu kota kerajaan ini.[2]

Daftar isi

Historiografi[sunting | sunting sumber]
Sumber primer sejarah Kerajaan Martadipura adalah tujuh prasasti yupa yang
ditemukan di Bukit Brubus, Muara Kaman.[3] Penemuan batu bertulis ini tidak
sekaligus, melainkan dalam dua tahap dengan rentang waktu lebih dari setengah
abad. Tahap pertama, empat prasasti ditemukan pada tahun 1879. Setahun
kemudian, keempat prasasti tersebut diangkut ke Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen (kini Museum Nasional, Jakarta). Tahap kedua, tiga
prasasti lainnya ditemukan berselang 61 tahun kemudian, yakni pada 1940.
Ketiganya disimpan di museum yang sama.[4]
Selain sumber prasasti yupa, terdapat kitab Surat Salasilah Raja dalam Negeri Kutai
Kertanegara. Naskah Arab Melayu ini belum dibahas oleh Tim Nasional Penulisan
Sejarah Indonesia sehingga perihal lanjutan riwayat Dinasti Mulawarman tidak
termuat dalam buku babon Sejarah Nasional Indonesia.

Penamaan[sunting | sunting sumber]
Nama kerajaan tertua di Nusantara yang umumnya diketahui oleh khalayak
adalah Kutai. Tim Penyusun Sejarah Nasional Indonesia mengungkapkan,
nama Kutai digunakan oleh para peneliti sejak zaman Belanda untuk menamakan
kerajaan Dinasti Mulawarman berdasarkan lokasi penemuan prasasti yupa di
wilayah Kesultanan Kutai. Tetapi, prasasti yupa sendiri tidak menyebutkan nama
kerajaannya dengan Kutai.[5]

Raja-Raja Kutai Martapura[sunting | sunting sumber]


Hanya ada lima nama raja yang tercatat dalam sumber sejarah, yakni 3 orang di
Prasasti Yupa beraksara Pallawa dan 2 orang dalam kitab Salasilah Raja dalam
Negeri Kutai Kertanegara beraksara Arab Melayu. Adapun informasi lain yang
menyebutkan daftar lebih dari 20 raja tidak berdasarkan sumber sejarah yang
autentik, melainkan dari ucapan meranyau seorang dukun dalam upacara adat
belian.[6][7]
Maharaja Kudungga[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Kundungga
Nama Maharaja Kundungga dimaknai sebagai nama asli orang Indonesia yang
belum dipengaruhi oleh budaya India.[5] Pada awalnya kedudukan Kundungga adalah
sebagai kepala suku, setelah masuk pengaruh Hindu ke Indonesia kemudian ia
mengubah struktur menjadi kerajaan dan dirinya menjadi raja, dan dilakukan secara
turun temurun.[8] Nama Maharaja Kundungga oleh para ahli sejarah ditafsirkan
sebagai nama asli orang Indonesia yang belum terpengaruh dengan nama budaya
India.
Maharaja Aswawarman[sunting | sunting sumber]
Merupakan Raja Kedua dari Kerajaan Martapura sekaligus anak dari Raja
Kundungga. Asmawarman diduga telah terpengaruh budaya Hindu. Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa kata Warman berasal dari bahasa Sanskerta.
Kata itu biasanya digunakan untuk akhiran nama-nama masyarakat atau penduduk
India bagian Selatan.[9][5]
Maharaja Mulawarman[sunting | sunting sumber]
Artikel utama: Mulawarman Nala Dewa
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kundungga. Nama Mulawarman
dan Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sanskerta bila dilihat dari
cara penulisannya. Kundungga sendiri diduga belum menganut agama Hindu.

Masa Kejayaan Kerajaan Kutai Martapura[sunting | sunting


sumber]
Berdasarkan Prasasti Yupa, dapat diketahui bahwa Kerajaan Kutai mencapai
puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Mulawarman.
Mulawarman disebut-sebut sebagai raja yang memiliki budi pekerti baik, kuat, dan
pernah mengadakan upacara persembahan 20.000 ekor lembu untuk
kaum Brahmana yang bertempat di "Waprakecvara". Waprakecvara adalah tempat
suci (keramat) yang merupakan sinkretisme antara kebudayaan Hindu dengan
kebudayaan Indonesia.
Sebagai keturunan Aswawarman, Mulawarman juga melakukan upacara
"Vratyastoma", yaitu upacara penyucian diri untuk masuk pada kasta Ksatria. Pada
masa pemerintahan Mulawarman, upacara penghinduan ini dipimpin oleh
pendeta/kaum Brahmana dari orang Indonesia asli. Hal ini membuktikan bahwa
kemampuan intelektualnya tinggi, karena Bahasa Sanskerta bukanlah bahasa rakyat
sehari-hari. Selain itu, di bawah kekuasaan Raja Mulawarman kehidupan ekonomi
kerajaan mengalami perkembangan pesat dari sektor pertanian dan perdagangan
karena letaknya sangat strategis.

Akhir Kerajaan Kutai Martapura[sunting | sunting sumber]


Kerajaan Kutai Martapura berakhir saat rajanya yang bernama Maharaja
Dermasatia terbunuh dalam peperangan di tangan Raja Kutai Kertanegara ke-
8, Pangeran Sinum Panji Mendapa.
Perlu diingat bahwa Kutai Martapura berbeda dengan Kerajaan Kutai
Kertanegara yang saat itu ibukota di Kutai Lama. Kutai Kertanegara inilah, pada
tahun 1365, yang disebutkan dalam sastra Jawa Negarakertagama.
Kutai Kertanegara selanjutnya menjadi kerajaan Islam. Sejak tahun 1735 kerajaan
Kutai Kertanegara yang semula rajanya bergelar Pangeran berubah menjadi
bergelar Sultan (Sultan Aji Muhammad Idris) dan hingga sekarang
disebut Kesultanan Kutai Kertanegara.

Anda mungkin juga menyukai