Anda di halaman 1dari 14

Penjualan Obat Terapi Covid-19 Diatas Harga Eceran Tertinggi

(HET) Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999


Tentang Perlindungan Hukum Konsumen dan Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2015
tentang Pemberian Informasi Harga Eceran Tertinggi Obat

PROPOSAL

Oleh :

Nama : Vira Wijaya

NRP : 120118356

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA
FAKULTAS HUKUM
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas Tuhan Yang Esa, karena berkat

rahmat dan karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan tugas proposal skripsi ini

dengan judul “Penjualan Obat Terapi Covid-19 Di Atas Harga Eceran Tertinggi

(HET) Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Hukum Konsumen dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

98 Tahun 2015 tentang Pemberian Informasi Harga Eceran Tertinggi Obat.” Tujuan

penyusunan proposal penelitian guna untuk memenuhi salah satu persyaratan

kelulusan untuk menerima gelar sarjana hukum dari Fakultas Hukum Universitas

Surabaya, selain itu dalam penelitian ini juga menjadi sumbangan pemikiran dalam

memecahkan suatu masalah terkait perlindungan konsumen. Dalam penyusunannya

dapat terlaksana dengan baik berkat dukungan dari banyak pihak. Pada kesempatan

ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Surabaya Ibu Dr. Yoan Nursari

Simanjuntak, S.H, M.Hum

2. Kepala Laboratorium Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Surabaya

Dr. Hwian Christianto, S.H., M.H.

3. Yanto Wijayanto dan Sholikatul Jannah, merupakan orang tua yang

memberikan motivasi serta mendukung mendoakan kelancaran

4. Devy, Dinda, Nadia, Cyntya, Afri, Nanda, Cyntya dan teman-teman lain

yang tidak bisa saya sebutkan yang selalu mengingatkan saya untuk

mengerjakan penelitian ini


Dalam penelitian ini, penulis menyadari masih belum sempurna, oleh karena itu,

dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan yang sifatnya

membangun yang bisa berguna untuk seluruh pembaca. Dengan danya, semoga

proposal skripsi ini dapat dijadikan acuan tindak lanjut penelitian selanjutnya dan

bermanfaat bagi para pembaca


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dua tahun terakhir ini dunia telah mengalami bencana terkait adanya

penyakit menular yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 atau disebut juga

penyakit Coronavirus (COVID-19). Pertama kali Virus SARS-CoV-2 sendiri

ditemukan di Wuhan, China pada akhir 2019. Pada tanggal 9 Maret 2020, WHO

(World Health Organization) telah menyatakan COVID-19 sebagai pandemic

dikarenakan virus corona telah menyebar keseluruh dunia. Selama 2021

lonjakan kasus COVID-19 di Indonesia terjadi selama Juni-Juli 2021, lonjakan

ini dikenal sebagai gelombang kedua COVID-19, menurut Satgas Covid

gelombang kedua ini disebabkan adananya penemuan varian baru COVID-19

yaitu varian Delta, kasus COVID-19 gelombang kedua di Indonesia memuncak

pada 15 Juli 2021 terdapat pdengan penambahan sejumlah 56.757 kasus

COVID19 (Tempo.Co, 2022).

Masyarakat berhak mendapatkan pelayanan kesehatan karena kesehatan

merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang telah dijamin oleh hukum

Indonesia. Pengertian obat pada Pasal 1 Angka 8 Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (yang selanjutnya disingkat

menjadi UU Kesehatan) yaitu “Bahan atau paduan bahan, termasuk produk

biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi

atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,

penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi, untuk

manusia.” Keberadaan obat sendiri merupakan hal penting bagi masyarakat


yang menderita suatu penyakit namun di sisi lain pedagang obat dapat

menyalahgunakan obat untuk dijadikan sebagai sarana kejahatan terahadap

konsumen, sedikit kemungkinan masyarakat untuk menawar harga obat

tersbut (Yusuf Shofie, 2003:129).

Melonjaknya kasus COVID-19 di Indonesia maka dibarengi dengan

meningkatnya kebutuhan obat terapi COVID-19. Dengan permintaan

masyarakat yang tinggi terhadap obat terapi COVID-19 tersebut membuata

beberapa apotek kewalahan. Dikarenakan permintaan yang melonjak maka

kondisi ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak atau pelaku usaha yang tidak

bertanggung jawab salah satunya dengan menjual obat tersebut dengan harga

yang sangat tinggi, contohnya saja harga obat Ivermectin tablet oral 2MG 10-

010056 yang dijual pada e-commerce bisa mencapai Rp 676.000,00 sedangkan

sebelum adanya kasus COVID-19 di Indonesia harga obat Ivermectin

pertabletnya hanya Rp5.000,00 -Rp7.000,00 dan ada beberapa harga obat terapi

COVID-19 yang lainnya yang juga naik (Liputan6.com, 2021). Dengan adanya

keluhan masyarakat terhadap obat terapi COVID-19 yang semakin mahal maka

pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan nomor

HK.01.07/MENKES/4826/2021 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Dalam

Masa Pandemi COVID-19 (yang selanjtnya disingkat menjadi Keputusan

Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021), dalam keputusan

ditetapkan harga eceran tertinggi (HET) pada 11 (sebelas) obat terapi COVID-

19. Keberadaan 11 (sebelas) obat tersebut sering digunakan selama pandemi

COVID-19 berlangsung khususnya dikonsumsi oleh penderita COVID-19

sendiri. Dikeluarkannya kepetusuan agar kemudian hari penjualan obat terapi


COVID-19 tersebut tidak merugikan pasar dan guna mengatur harga obat yang

dijual oleh para pelaku usaha sehingga masyarakat mudah manedapatkan obat

tersebut dangan harga yang terjangkau. Dalam proses jual-beli antara pelaku

usaha dan konsumen dapat timbul suatu permasalahan. Dalam jual-beli obat

terapi COVID-19 sering ditemukannya beberapa permasalahan misal

penimbunan obat terapi COVID-19, klaim obat COVID-19 palsu hingga harga-

obat obat terapi COVID-19 yang tinggi, serta beberapa masalah lainnya. Dalam

hal ini sangat merugikan konsumen. Konsumen yaitu setiap orang yang

mendapatkan barang atau jasa digunakan untuk tujuan tertentu (Az Nasution,

2002:13). Pengertian konsumen sendiri telah di ataur di hukum Indonesia yaitu

pada Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Hukum Konsumen (selanjutnya disingkat UUPK) yaitu :

“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang


tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.“
UUPK juga mengatur pengertian pelaku usaha dijelaskan apada Pasal 1 Angka 3

UUPK yaitu :

“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,


baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi.”

Menurut UU Kesehatan, obat termasuk salah satu sediaan farmasi.

Selanjutnya Dalam Pasal 1 Angka 11 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian (yang selanjutnya


disingkat menajdi PP Nomor 5 Tahun 2009) dijelaskan bahwa “Fasilitas

Pelayanan Kefarmasian adalah sarana yang digunakan untuk

menyelenggarakan pelayanan kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi

rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama.” Maka dengan

adanya ketentuan tersbeut dikatakan pihak yang menyelenggarakan

kefarmasian dapat dikatakan sebagai pelaku usaha sehingga keberadaanya

sangat dibutuhkan oleh konsumen. Keberadaan pelaku usaha tidak dapat

dipisahkan dengan konsumen dikarenakan adanya suatu kegiatan jual-beli antar

para pihak menimbulkan suatu hubungan hukum antara pelaku usaha dan

konsumen.

Meski dikeluarkannya Keputusan Menteri Kesehatan nomor

HK.01.07/MENKES/4826/2021 yang mengetur terkait penetapan harga jual

eceran tertinggi untuk obat terapi COVID-19, namun pada faktanya dalam

proses pelaksanaannya masyarakat masih sering menemukan para pelaku usaha

masih dengan sengaja menjual obat terapi COVID-19 jauh diatas HET untuk

mendapatkan keuntungan yang lebih. Sehingga atas tindakan. Pelaku usha

tersebut dianggap dapat menghambat pecegahan virus Covid-19 dan merugikan

pemerintah karena dengan dinaikkannya harga obat terapi COVID-19 maka

masyarat akan kesulitan dalam menjangkau atau mendapatkan obat tersebut.

Contohnya saja pada bulan Juli 2021 polisi telah menemukan tiga apotek yang

menjual obat terapi COVID-19 diatas HET di daerah Bogor, Apotek tersebut

antara lain yaitu Apotek Medika Pahlawan, Apotek Sentral Pangestu, dan

Apotek Tanjakan Puspa. Menurut Kapolresta Bogor Kota, Kombes Susatyo

Purnomo Condro menyatakan penemuan ketiga apotek ini berasal dari adanya
la;oran masyarakat yang merasa harga jual atas obat terapi COVID-19 yang

dijual ketiga apotek tersebut terlalu tinggi. Diketahui bahwa ketiga apotek

tersebut memang dengan sengaja menaikkan harga jual obat terapi COVID-19

agar mendapat keuntungan yang lebih banyak dari harga yang mereka beli dari

distributor. Harga yang dipatok oleh ketiga apotek tersebut hingga dua kali lipat

HET, obat terapi yang dijual antara lain Ivermectin dan Avigan Favipiravir.

Contohnya pada Apotek Medika menjual Ivermectin dengan Rp. 300.000,00

(harga tiga ratus ribu rupiah) bahkan bisa lebih jika dijual melalui online, yang

mana HET obat Ivermectin sendiri seharusnya dijual dengan harga Rp.

150.000,00 (seratus lima puluh ribu rupiah). Dalam penyelidikan polisi ketiga

Apotek tersbut mendapatkan obat terapi COVID-19 yaitu Ivermectin dan

Avigan Favipiravir dari distributor PT Indofarma. Hasil penyelidikan polisi

menyatakan bahwa PT Indofarma sebagai distributor kedua obat tersebut

memang benar mendristribusikan Ivermectin dan Avigan Favipiravir kepada

Apotek tersebut antara lain yaitu Apotek Medika Pahlawan, Apotek Sentral

Pangestu, dan Apotek Tanjakan Puspa (Republica, 2021).

Atas penjualan obat terapi COVID-19 diatas HET yang dilakukan oleh

apotek sebagai pelaku usaha juga dapat dikategorikan sebagai perbuatan

melawan hukum. dikarenakan atas tindaakannya tersebut jika di lihat pada Pasal

1365 KUHPerdata maka adanya unsur kesalahan serta dan adanya kerugian

yang timbul atas perbuatan pelaku yang disini yaitu Apotek yang menjual obat

terapi COVID-19 diatas HET. Dengan Keputusan Menteri Kesehatan nomor

HK.01.07/MENKES/4826/202, ketiga apotek tersebut telah mengetahui

bahwa ada 11 (sebelas) obat terapi COVID-19 yang harus dijual dengan harga
yang telah ditetapkan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan tersebut, karena di

dalam lampirannya telah disebutkan secara jelas nominal HET atas ada 11

(sebelas) obat terapi COVID-19. Jika Apotek Medika sebagai pelaku usaha

disini masih menjual diatas HET yang ada maka dengan jelas apotek telah

merugikan konsumen karena harga obat yang dibeli konsumen seharusnya tidak

semahal yang di patokkan oleh Apotek tersebut. Oleh karena itu penulis

mengambil judul “Penjualan obat terapi covid-19 di atas harga Eceran

Tertinggi (HET) ditinjau dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Hukum Konsumen dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 98 Tahun 2015 tentang Pemberian Informasi Harga Eceran

Tertinggi Obat.”

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah

tersebut, maka rumusan masalah yang dapat dianalisis yaitu “Apakah konsumen

mendapatkan perlindungan hukum atas penjualan obat terapi COVID-19 yang

dilakukan oleh Apotek dengan harga diatas HET yang telah ditetapkan oleh

pemerintah?”

1.3 Alasan Pemilihan Judu

Dengan adanya penyakit baru yang ditemukan yaitu COVID-19, maka

diperlukannya obat sebagai salah satu terapi produk kesehatan terhadap

seseorang yang terpapar COVID-19. Dengan seiringnya waktu ada beberapa

obat yang disarankan oleh pemerintah untuk digunakan dalam penanganan

COVID-19. Dikarenakan beberapa harga obat terapi COVID-19 beragam dan

semakin naik maka pemerintah menetapkan HET untuk obat terapi COVID-19
tersebut dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Kesehatan nomor

HK.01.07/MENKES/4826/2021. Penyusunan skripsi dengan judul “Penjualan

obat terapi covid-19 di atas harga Eceran Tertinggi (HET) ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Hukum

Konsumen dan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 98

Tahun 2015 Tentang Pemberian Informasi Harga Eceran Tertinggi Obat”

Alasan pemilihan judul karena Penjualan obat terapi covid-19 di atas harga HET

dapat merugikan konsumen, dikarenakan terdapat Keputusan Menteri

Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/4826/2021 yang telah mengaturnya dan

seharusnya para pelaku usaha khususnya apotek wajib mematuhi aturan

tersebut, sehingga obat terapi COVID-19 mudah untuk dijangkau segala

masyarakat agar nantinya dapat menghambat penambahan kasus COVID-19 di

Indonesia.

1.4 Tujuan Penulisan

Terdapat 2 (dua) tujuan dalam penulisan kajian ilmiah ini yaitu:

1.4.1 Tujuan Akademis

Tujuan akademis yang hendak dicapai ialah memenuhi prasyarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Surabaya

1.4.2 Tujuan Praktis

Tujuan praktis dalam penulisan ini bertujuan untuk mengkaji

mengetahui apakah konsumen mendapatkan perlindungan hukum atas

penjualan obat terapi COVID-19 yang dilakukan oleh Apotek dengan

harga diatas HET yang telah ditetapkan oleh pemerintah


1.5 Metode Penulisan

a. Metode Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian yuridis

normatif, dengan cara menggunakan studi kepustakaan terhadap sumber-

sumber yang ada seperti peraturan perundang-undangan dan luteratur

b. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah dalam penulisan ini menggunakan dua pendekatan

yaitu :

- Pendekatan Statue Approach atau pendekatan perundang-undangan

yaitu pendekatan dengan melihat pada peraturan perundang-

undangan dan regulasi hukum terkait dengan isu hukum yang sedang

ditangani

- Pendekatan Conceptual Approach yaitu pendekatan yang beranjak

dari doktrin-doktrin dan pandangan-pandangan yang berkembang

dalam ilmu hukum terkait, yang akan melahirkan pengertian hukum

dan asas-asas hukum yang relevas atas permasalahan dalam

penulisan ini

c. Bahan Hukum

Untuk menyelesaiakan masalah pada penelitian ini maka bahan hukum

yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi 3 (tiga) sumber

bahan hukum antara lain sebagai berikut :

1. Bahan Hukum Primer, merupakan Bahan hukum primer meliputi

peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

a. Undang-Undang Dasar Negara Indonesia 1945


b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Hukum Konsumen

d. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2020 tentang Cipta Kerja

e. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 98 Tahun 2015 Tentang

Pemberian Informasi Harga Eceran Tertinggi Obat

f. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009

Tentang Pekerjaan Kefarmasian

g. Keputusan Menteri Kesehatan nomor

HK.01.07/MENKES/4826/2021 tentang Harga Eceran Tertinggi

Obat Dalam Masa Pandemi COVID-19

2. Bahan Hukum Sekunder, merupakan sebagai bahan hukum yang

mendukung, memperkuat serta memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer berupa pendapat ahli hukum, buku, artikel,

jurnal hukum, hasil penelitian, dokumen-dokumen resmi dan lain

sebagainya yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas.

1.6 Pertanggungjawaban Sistematika

Di dalam penulisan penelitian ini pertanggungjawaban sistematika ini terdiri

dari 4 (empat) bab yang diuraikan dalam masing-masing bab yang saling

berkaitan antara bab yang satu dengan bab yang lain dan saling mendukung

diantaranya. t. Adapun sistematika penulisan ini yaitu tersusun sebagai berikut

sebagai berikut :
a. Bab I

Pada Bab I ini berupa pendahuluan , yang mana di dalam bab ini memuat

latar belakang, rumusan masalah, metode penelitian, tujuan penelitian dan

pertanggungjawaban sistematika. Yang pada intinya di dalam

pendahuluan ini memuat alasan-alasan penulis dalam melakukan

penelitian ini. Selain itu, pada Bab I ini juga dipaparkan tata cara penelitian

hukum mengikuti kaidah penelitian ilmiah yang telah berlaku umum,

sehingga dapat diperoleh hasil penelitian yang obyektif.

b. Bab II

Dalam bab ini terdapat Tinjauan Umum Terkait Harga Eceran Tertinggi

(HET), Perlindungan Konsumen, Perbuatan Melanggar Hukum. Pada sub

bab pertama menjelaskan terkait HET pada obat terapi COVID-19. Sub

bab kedua menjelaskan mengenai ruang lingkup perlindungan konsumen.

Sub bab ketiga. Sub bab keempat menjelaskan terkait Perbuatan

Melanggar Hukum

c. Bab III

Pada Bab III ini terkait perlindungan hukum terhadap konsumen atas

apotek yang menjual obat terapi COVID-19 diatas HET. Pada subab

pertama yaitu terkait posisi kasus dan subab kedua yaitu analisa kasus

mengenai tanggung jawab apotek dalam melakukan penjualan obat

terapi COVID-19 diatas HET. Bab IV

Pada Bab IV ini merupakan akhir penulisan atau penutup, yang berisikan

kesimpulan dan saran. Subab pertama yaitu kesimpulan yaitu yang

ditarik dari fakta hukum, peraturan dan sumber hukum lainnya atas
apotek dalam melakukan penjualan obat terapi COVID-19 diatas HET,

sedangkan subbab kedua yaitu saran adalah pendapat yang dapat

berbentuk usul yang dikekemukakan untuk dipertimbangkan dan dapat

bermanfaat bagi para pihak

Daftar Pustaka

Shofie, Yusuf. (2009). Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen

Hukumnya (Ed. Rev, Cet.3). Jakarta. PT Citra Aditya Bakti

Nasution ,Az. (2002). Hukum Perlindungan Konsumen;Suatu Pengantar, Jakarta:

Daya Widya

https://nasional.tempo.co/read/1566720/2-tahun-pandemi-covid-19-ringkasan-

perjalanan-wabah-corona-di-indonesia

https://www.liputan6.com/news/read/4602479/panic-buying-tak-berguna-hukum-

pihak-yang-naikkan-harga-obat-covid-19

https://www.republika.co.id/berita/qwdunu384/oknum-apotek-diamankan-jual-

obat-terapi-covid-di-atas-het

Anda mungkin juga menyukai