Anda di halaman 1dari 73

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tujuan Negara Republik Indonesia secara jelas dituangkan dalam

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Indonesia Tahun 1945 bahwa Negara

bertujuan melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,

ikut serta dalam usaha perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

abadi dan keadilan sosial,1 sehubungan dengan hal tersebut maka sudah

sepantasnya masyarakat Indonesia mendapatkan perlindungan terhadap

keselamatan dan keamanan yang secara nyata dalam berbagai bidang kehidupan

saat ini .

Tepatnya diera perdagangan yang kian meluas maka perlu yang namanya

pengawasan yang ekstra oleh para pemerintah dan para penegak hukum yakni

kepolisian, untuk mengawasi sistem jual beli yang kian meluas di kalangan

masyarakat terlebih mengenai jual beli obat-obatan, berdasarkan Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 pasal 1 ayat 8 menjelaskan bahwa obat adalah bahan atau

paduan bahan, termasuk produk bilologi yang digunakan untuk mempengaruhi

atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka diagnosis,

pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi,

untuk manusia.2

1
Nasriah, Tinjauan Yuridis Terhadap Peredaran Obat Palsu, skripsi, Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, (Makasar, 2008), hlm.2.
2
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Pasal 1 Ayat 9 Tentang Kesehatan.
1
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

menyebutkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan

sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

ekonomis, Dengan demikian kesehatan selain sebagai hak asasi manusia,

kesehatan juga merupakan suatu investasi,3 sehingga berdasarkan Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 pasal 197 yang seharusnya setiap orang yang dengan

sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan

yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam pasal 106 ayat (1)

dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda

paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) 4 Pasal 198

setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan

praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 dipidana dengan

pidana paling banyak Rp. 100.000,00 (seratus juta rupiah).5 Pasal 108 ayat 1

praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu

sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat,

pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan

obat, bahan obat, dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan

Perundang-Undangan.6 Mengenai penjelasan Pasal tersebut bahwa penjualan obat

hanya dapat di lakukan oleh mereka yang memiliki keahlian dan izin dari

Pemerintah. Namun kenyataanya saat ini masih ada beberapa oknum yang tidak

3
Muhamad Sadi Is, Etika Hukum Kesehatan, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015),
Hlm.7.
4
Pasal 197 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
5
Pasal 198 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
6
Pasal 108 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
2
bertanggung jawab yang ada di tengah-tengah masyarakat mengambil keuntungan

dengan cara yang tidak rasional melakukan praktik jual beli obat-obatan bekas

dan atau kedaluwarsa di tempat pembuangan sampah sementara (TPS).

Adapun tempat pembuangan sampah sementara (TPS) yang berada di Kota

Pekanbaru terdapat 61 titik, yang tersebar dalam 12 kecamatan puluhan TPS tidak

hanya milik Pemerintah tapi ada juga milik Swasta, adapun lokasi TPS yang

berada di Kota Pekanbaru antara lain di Daerah Bukit Raya, Tenayan Raya,

Sukajadi, Sail, Senapelan, Pekanbaru Kota, Lima Puluh, Payung Sekaki,

Marpoyan Damai, Tampan, Rumbai Dan Rumbai Pesisir,7 adapun oknum yang

melakukan praktik jual beli obat-obatan bekas dan atau kedaluwarsa terdapat di

Kecamatan Payung Sekaki Jalan Air Hitam Kota Pekanbaru, yang mana jual beli

obat-obatan bekas dan atau kedaluwarsa dilakukan oleh orang yang sama sekali

tidak memiliki keahlian di bidang tersebut. Pembeli obat yang disebut sebagai

Obet pihak Distributor (penyalur) sering Melakukan pembelian obat-obatan bekas

dan/atau kedaluwarsa di tempat pembuangan sampah di Jalan Air Hitam, sehingga

para pemulung yang mendapat obat-obatan bekas dan atau kedaluwarsa dari

tumpukan sampah menjualnya dengan harga yang beragam sesuai dengan merek

obat-obatan tersebut antara lain Rp. 5.000,00 per papan, Rp. 2.000,00 dan

Rp.80.000,00. Adapun obat-obatan yang mahal seperti obat jantung, dan paru-

paru, sedangkan antibiotik di bandrol dengan harga murah yang berkisar Rp.

1000,00 per papan, harga beli obat-obatan bekas dan/atau kedaluwarsa juga dilihat

dari segi kelayakan bungkus tersebut, jika dalam hal ini bungkus obat tersebut

7
https://www.pekanbaru.go.id/p/news/ini/-61-titik-tps-sampah-di-pekanbaru di akses
pada hari jum’at, tanggal 29 januari 2021 pukul 09.22 WIB
3
sudah rusak maka obat tersebut dibandrol dengan harga yang murah, karena

setelah membeli obat-obatan bekas dan/atau kedaluwarsa obat tersebut kemudian

di kirim ke penampung besar yang berada di Jakarta dan kemudian akan di jual

kepada dokter yang memiliki klinik untuk meminimalisir pengeluaran biaya

dalam hal membeli obat-obatan yang rasional.8

Jual beli obat-obatan bekas dan atau kedaluwarsa yang berlangsung di

tempat pembuangan sampah di Kecamatan Payung Sekaki Jalan Air Hitam sudah

berlangsung selama 3 (tiga) bulan, yang mana obat tersebut akan di daur ulang

dan kembali dijual kepada masyarakat melalui Apotek maupun pasar. 9 Dari

sumber yang penulis dapatkan bahwa obat-obatan bekas dan atau kedaluwarsa

yang dikumpulkan sejumlah pelaku dari para pemulung kemudian dijual kembali

ke penampung besar yang berada di Jakarta, kemudian obat-obatan bekas dan

kedaluwarsa tersebut di jual di pasar pramuka Jakarta Timur dengan harga yang

sangat terjangkau dari harga pasaran.10 Dalam Undang-Undang Perlindungan

Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 pasal 1 ayat 1 Perlindungan konsumen adalah

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen.11 Sehingga masalah konsumen merupakan

masalah semua orang, dengan demikian masalah konsumen merupakan masalah

nasional yang harus diperhatikan dan diawasi oleh Pemerintah.

Perlindungan konsumen mengandung asas keamanan dan keselamatan


8
Hasil wawancara dengan oknum pembeli obat bekas pada tanggal 16 agustus 2020,
pukul 14.00. WIB.
9
Hasil Wawancara Dengan Ibu Mira Sebagai Pemulung Di Kecamatan Paung Sekaki
Jalan Air Hitam, 16 Agustus 2020, Pukul 13.20. WIB.
10
https://www.republika.co.id/berita/oixfhm384/pelaku-penjual-obat-bekas-mengaku-
memasarkan-obat-ke-pasar-pramuka Diakses Pada Hari Rabu, Tanggal 10 Februari 2021 Pukul
15.09 WIB.
11
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 1 Tentang Perlindungan Konsumen
4
konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan

keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan,

barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan,12 tujuan penyelenggaraan,

pengembangan, dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan

adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen, dan secara tidak

langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya

dengan penuh tanggung jawab.13 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun

2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian pasal 39 ayat 1 setiap tenaga kefarmasian

yang melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat tanda

registrasi.14 Dan berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Nomor 73 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Apotek pasal 2

bagian c berbunyi melindungi pasien dan masyarakat dari pengguna obat yang

tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).15

Dari beberapa sumber yang penulis dapatkan badan pengawas obat dan

makanan (BPOM), melansir sejak 1999 hingga 2006 jumlah obat palsu yang

beredar di pasaran Indonesia mencapai 81 merek, mulai dari obat hipertensi,

diabetes, antibiotik, hingga obat sakit kepala. Badan kesehatan dunia (WHO) juga

melansir, jumlah kerugian akibat obat palsu di Indonesia mencapai 3 triliun per

tahun.16 Sehingga dalam hal ini tidak menutup kemungkinan jika obat-obatan

yang di beli dari tempat pembuangan sampah yang berada di Kecamatan Payung

12
Rosmawati, Pokok-Pokok Hukum Perlindungan Konsumen, (Depok: Prenadamedia
Group, 2018), hlm.34.
13
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Grasindo, 2000), hlm. 18.
14
Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Farmasi Pasal 39 Ayat 1
15
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2016
16
Rizki Prasa, Apotek Rakyat Dan Apotek Waralaba, http:/ Dubidudam. blogspot.c0m.
surakarta, diakses pada hari minggu tanggal 16 Agustus 2020, Pukul 11.00 WIB.
5
Sekaki Kota Pekanbaru, di oplos kembali menjadi obat yang terlihat layak untuk

di konsumsi, mengingat saat ini khususnya di Kota Pekanbaru terdapat beberapa

apotek yang ditutup oleh Balai Besar Obat Dan Makanan (BBPOM) karena telah

melakukan pelanggaran berat, yaitu menjual obat kedaluwarsa dan obat ilegal

tanpa izin edar.17 Mengingat banyak juga kalangan masyarakat yang sama sekali

tidak mengerti obat-obatan dan hanya berpatokan kepada pegawai apotek ketika

hendak membeli obat-obatan yang akan dikonsumsi. Maka dari itu mengenai jual

beli obat-obatan bekas dan atau kedaluwarsa yang dibeli dan kemudian dijual

secara ilegal pemberantasannya sangat sulit untuk dijangkau.

Karena saat ini untuk menyalurkan berbagai obat-obatan sudah semakin

mudah, selain itu apotek merupakan sarana informasi obat kepada masyarakat

dan tenaga kesehatan lainnya,18 ditambah lagi dengan adanya media informasi dan

komunikasi ini merupakan menjadi tempat penjualan yang sangat menguntungkan

bagi mereka yang tidak memiliki keahlian maupun kewenangan untuk

bertransaksi secara online, mengingat perkembangan zaman yang seharusnya diisi

dengan kegiatan-kegiatan yang tidak merugikan orang lain malah terjadi

sebaliknya. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang

Pekerjaan Kefarmasian, Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat

dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Praktek/pekerjaan kefarmasian

yang dimaksud adalah pembuatan Termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,

pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian

17
mediacenter.riau.go.id diakses pada hari senin tanggal 15 februari 2021 pukul 09.58
WIB.
18
Muhamad Firmansyah, Tata Cara Mengurus Perizinan Usaha Farmasi Dan
Kesehatan, ( Jakarta,2009),hlm. 27.
6
Atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,

dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 Tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan antara lain disebutkan

penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan untuk

melindungi masyarakat dari informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan yang

tidak objektif, tidak lengkap dan menyesatkan.19

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul:

“PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009

TENTANG KESEHATAN TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI OBAT-

OBATAN BEKAS DAN/ATAU KEDALUWARSA DI KECAMATAN

PAYUNG SEKAKI KOTA PEKANBARU”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

Tentang Kesehatan Terhadap Praktik Jual Beli Obat-Obatan Bekas Dan

Atau Kedaluwarsa Di Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru?

2. Apa Saja Hambatan Di Dalam Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan Terhadap Orang Yang Tidak Memiliki

Kewenangan Untuk Melakukan Praktik Jual Beli Obat-Obatan Bekas

Dan Atau Kedaluwarsa Di Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru?

3. Bagaimana Upaya Mengatasi Hambatan Di Dalam Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Terhadap

19
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998.
7
Orang Yang Tidak Memiliki Kewenangan Melakukan Praktik Jual Beli

Obat-Obatan Bekas Dan Atau Kedaluwarsa Dikecamatan Payung Sekaki

Kota Pekanbaru?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini, diteliti oleh penulis adalah untuk menelaah beberapa

permasalahan sebagaimana yang sudah disebutkan dalam rumusan masalah diatas

adalah sebagai berikut:

a. Untuk Mengetahui Bagaimana Pelaksanaan Undang - Undang Nomor

36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Terhadap Praktik Jual Beli Obat-

Obatan Bekas Dan Atau Kedaluwarsa Di Kecamatan Payung Sekaki

Kota Pekanbaru.

b. Untuk Mengetahui Apa Saja Hambatan Di Dalam Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Terhadap Orang Yang

Tidak Memiliki wenangan Untuk Melakukan Praktik Jual Beli Obat-Obatan

Bekas Dan Atau Kedaluwarsa Di Kecamatan Payung Sekaki Kota

Pekanbaru.

c. Untuk Mengetahui Bagaimana Upaya Mengatasi Hambatan Di Dalam

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang

Kesehatan Terhadap Orang Yang Tidak Memiliki Kewenangan

Melakukan Praktik Jual Beli Obat-Obatan Bekas Dan Atau

Kedaluwarsa Dikecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru.

2. Kegunaan Penelitian
8
Kegunaan penelitian yang diharapkan dapat diperoleh dari penulisan

skripsi ini yaitu sebagai berikut:

a. Bagi Penulis

Untuk melengkapi persyaratan dalam memproleh Gelar Sarjana

Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lancang Kuning, dan untuk

mengetahui bagaimana pelaksanaan Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan Terhadap Orang Yang Tidak

Memiliki Kewenangan Untuk Melakukan Praktik jual beli obat-

obatan bekas dan atau kedaluwarsa Di Kecamatan Payung Sekaki.

b. Bagi Universitas

Diharapkan dengan adanya hasil penelitian ini dapat dijadikan

sebagai bahan pembelajaran bagi generasi mendatang, serta untuk

dapat memperkaya pustaka dalam dunia akademik khususnya di

Universitas Lancang Kuning.

c. Bagi masyarakat/instansi.

Semoga dengan adanya penelitian ini masyarakat dan instansi

terkait dapat memahami dan mengatasi penyebaran jual beli obat-

obatan bekas, yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan.

9
D. Kerangka Teori

Pengembangan bidang kesehatan pada dasarnya ditunjukkan untuk

meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang

untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur

kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh pembukaan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tenaga kefarmasian sebagai salah satu

tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat terkait

langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya pelayanan kefarmasian.

Adapun hukum kefarmasian di Indonesia pertama kali diatur dalam Undang-

Undang pokok farmasi, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 tanggal 5

agustus 1963. Adapun dasar pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang

Farmasi 1963 disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang ini, sebagai berikut:20

Undang-Undang ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang tentang

pokok-pokok kesehatan (selanjutnya disingkat Undang-Undang pokok kesehatan

di bidang farmasi) karena tenaga farmasi telah diatur dalam Undang-Undang

Tentang Tenaga Kesehatan, maka Undang-Undang ini khusus mengenai bidang

perbekalan kesehatan di bidang farmasi. Undang-Undang tentang farmasi ini

hanya ditetapkan ketentuan-ketentuan pokok, maka perlu menyusul sebagai

“follow-up’’ Peraturan-Peraturan pelaksanaan, baik yang bersifat farmasi-teknis

maupun yang bersifat administratife organisatoris. Maksud dan tujuan Undang-

Undang tersebut ialah menetapkan ketentuan-ketentuan dasar di bidang farmasi

dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang tentang poko-pokok kesehatan. Kata-

20
Muhamad Sadi Is, Op Cit, hlm. 117.
10
kata “ketentuan-ketentuan dasar” dalam Undang-Undang ini menyatakan bahwa

Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang induk bagi segala Peraturan

mengenai farmasi. Secara konkret dan umum dapat dikatakan, bahwa tujuan

Undang-Undang ini ialah mengusahakan terpenuhinya keperluan rakyat dengan

sebaik-baiknya akan obat-obatan.21 Sehingga dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah

Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian menjelaskan bahwa

pekerjaan kefarmasian dilakukan berdasarkan pada nilai ilmiah, keadilan,

kefarmasian, keseimbangan, dan perlindungan serta keselamatan pasien atau

masyarakat yang berkaitan dengan kesediaan farmasi yang memenuhi standar dan

persyaratan keamanan, mutu, dan kemanfaatan.22

Secara umum pengertian Praktik kefarmasian adalah pembuatan termasuk

pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan

pendistribusi atau penyaluran obat atas resep dokter, “pelayanan farmasi klinik”,

pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan tradisional. 23

Defenisi farmasi adalah salah satu bidang kesehatan yang di kombinasikan dengan

ilmu kimia, yang bertanggung jawab untuk memastikan efektifitas dan keamanan

penggunaan obat. Menurut Syamsuni farmasi merupakan ilmu yang mempelajari

tentang cara membuat, meracik, memformulasi, mengidentifikasi, mengkombinasi,

serta menganalisis obat-obatan dan pengobatannya. 24

21
Ibid, hlm.118.
22
Ibid, hlm. 120.
23
https://farmasetika.com/2021/01/18/pelayanan-farmasi-klinik-dan-defenisi-praktik-
kefarmasian-dalam-ruu-praktik-kefarmasian/ diakses pada hari kamis tanggal 28 januari 2021
pukul 13.41 WIB.
24
https://jagad.id/pengertian-farmasi/ diakses pada hari kamis tanggal 28 januari 2021
pukul 13.28 WIB.
11
Menurut Wikipedia farmasi adalah ilmu kedokteran dan ilmu kimia yang

dikombinasikan, bidang ilmu ini mempunyai tanggung jawab dalam mempelajari

sifat-sifat obat beserta pendistribusian dan memastikan penggunaannya secara

aman. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan

Kefarmasian pasal 39 ayat 1, “Setiap tenaga kefarmasian yang melakukan

pekerjaan kefarmasian di Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi”. Pada

hakikatnya, mengenai aturan paraktik kefarmasian yang diatur dalam Peraturan

Menteri Kesehatan Nomor 73 Tahun 2016 merupakan suatu larangan dan anjuran

mengenai hal yang dilarang dan dianjurkan dalam kefarmasian untuk mencegah

maraknya kasus-kasus penyalahgunaan praktik kefarmasian, sehingga dalam

praktik kefarmasian diperlukan yang namanya pemahaman mengenai

pendistribusian, yang mana pendistribusian merupakan kegiatan

menyalurkan/menyerahkan sediaan farmasi dan alat kesehatan dari tempat

penyimpanan sampai kepada unit pelayanan pasien, adapun sistem distribusi yang

baik harus dengan:

a. Menjamin kesinambungan penyaluran penyerahan

b. Mempertahankan mutu

c. Meminimalkan kehilangan, kerusakan dan kadaluarsa

d. Menjaga ketelitian pencatatan

e. Menggunakan metode distribusi yang efesien, dengan memperhatikan

peraturan perundangan dan ketentuan lain yang berlaku

Berdasarkan uraian diatas maka mengenai farmasi yang sudah tidak

memenuhi syarat sesuai standar yang ditetapkan harus dimusnahkan, penghapusan


12
dan pemusnahan sediaan farmasi yang tidak dapat/boleh digunakan harus

dilaksanakan dengan cara yang baik dan sesuai dengan ketentuan dan peraturan

perundangan yang berlaku. Karena dalam ilmu kesehatan terdapat yang namanya

asas keseimbangan yang mana asas keseimbangan merupakan asas yang berlaku

umum tidak hanya berlaku pada transaksi terapeutik, penyelenggaraan pelayanan

kesehatan harus diselenggarakan secara seimbang antara kepentingan individu dan

masyarakat, anatar fisik dan mental, juga keseimbangan antara tujuan dan sarana,

antara dan hasil, antara manfaat dan resiko yang ditimbulkan dari upaya medik

yang dilakukan,25 sehingga dengan demikian jika dikaji mengenai tujuan dari

diadakannya pengaturan mengenai pekerjaan kefarmasian, sebagaimana diatur

dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan

Kefarmasian, sebagai berikut:

a. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam

memperoleh dan/atau menetapkan kesediaan farmasi dan jasa kefarmasian.

b. Mempertahankan perlindungan kepada pasien dan meningkatkan mutu

penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian sesuai dengan pengembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundang-undangan.

c. Memberikan kepastian hukum bagi pasien masyarakat dan tenaga

kefarmasian.26

Mengenai pembelian obat-obatan bekas dan atau kedaluwarsa yang

kemudian diedarkan kembali kepada masyarakat yang dilakukan oleh oknum yang

tidak bertanggung jawab dapat menyebabkan kerugian materi atau ancaman


25
Zaeni Asyhadie, Aspek-Aspek Hukum Kesehatan Di Indonesia, (Depok: Raja Grafindo
Persada, 2017), hlm.56.
26
Ibid, hlm. 20.
13
bahaya pada jiwa konsumen, maka hukum perlindungan konsumen menurut Az.

Nasution adalah hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah

yang bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi kepentingan

konsumen. Adapun hukum konsumen diartikan sebagai keseluruhan asas-asas dan

kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah antara berbagai

pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan/atau jasa konsumen di dalam

pergaulan hidup.27

Perlindungan konsumen merupakan tujuan dari usaha yang akan dicapai

atau keadaan yang akan diwujudkan, oleh karena itu tujuan perlindungan

konsumen perlu dirancang dan dibangun secara berencana dan dipersiapkan sejak

dini. Tujuan perlindungan konsumen mencakup aktifitas-aktifitas penciptaan dan

penyelenggaraan sistem perlindungan konsumen. Tujuan perlindungan konsumen

disusun secara bertahap, mulai dari penyadaran. Pencapaian tujuan perlindungan

konsumen tidak harus melalui tahapan berdasarkan susunan tersebut, tetapi

dengan melihat urgensinya. Misal, tujuan meningkatkan kualitas barang,

pencapaiannya tidak harus menunggu tujuan pertama tercapai adalah

meningkatkan kesadaran konsumen. Idealnya, pencapaian tujuan perlindungan

konsumen dilakukan secara serentak, sehingga mengenai tanggung jawab produk

adalah istilah yang dialih bahasakan dari product liability, berbeda dengan ajaran

pertanggung jawaban hukum pada umumnya dimana tanggung jawab produk

disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain)

adalah tanggung jawab mutlak produsen yang disebut dengan (strict liability),28
27
Shidarta, Op Cit, hlm.9.
28
Erman Rajagukguk. Pentingnya Hukum Konsumen Dalam Perdagangan Bebas.
(Bandung: Mandar Maju), hlm 29.
14
adapun tujuan perlindungan konsumen berdasarkan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Pasal 3 Ayat (1) meningkatkan kesadaran, kemampuan dan

kemandirian konsumen untuk melindungi diri, ayat (2) mengangkat harkat dan

martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian

barang dan/atau jasa, ayat (3) meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam

memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, ayat (4)

menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian

hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, ayat

(5) menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan

konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam

berusaha, ayat (6) meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,

keamanan, dan keselamatan konsumen. Pasal 4 hak konsumen antara lain ayat (1)

hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa, ayat (2) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan

barang dan/atau jasa tersebut dengan nillai tukar dan kondisi serta jaminan yang

dijanjikan, ayat (3) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai

kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa, ayat (4) hak untuk didengar pendapat

dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan, ayat (5) hak untuk

mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut, ayat (6) hak untuk mendapat pembinaan dan

pendidikan konsumen, ayat (7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar

dan jujur serta tidak diskriminatif, ayat (8) hak untuk mendapatkan kompensasi,

15
ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak

sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya, ayat (9) hak-hak yang

diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-Undangan lainnya. Sesuai dengan

aturan perundang-undangan tersebut menjelaskan bahwa perlunya kepastian

hukum terhadap perlindungan konsumen dalam penggunaan sebuah produk.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

sosiologis, hukum positif, berupa penelitian yang hendak melihat korelasi

antara hukum dengan masyarakat yang alam penelitian ini akan dilihat

bagaimana Pelaksanaan Praktik Kefarmasian Di Kecamatan Payung

Sekaki.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berlokasi pada wilayah Kecamatan Payung Sekaki

Jalan. Air Hitam Kota Pekanbaru, alasan lokasi penelitian karena

ditemukan praktik jual beli obat - obatan bekas oleh oknum yang tidak

memiliki kewenangan.

3. Populasi dan Sampel

a. Populasi

Popolasi adalah keseluruhan atau himpunan bahan atau objek dengan

ciri yang sama. Untuk tercapainya suatu kesimpulan yang menjadi

maksud dan tujuan penelitian ini. Adapun yang menjadi populasi dalam

16
penelitian ini adalah:

1) Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Pekanbaru (BBPOM)

1 (satu) orang.

2) Kepolisian Resort Kota Pekanbaru 1 (satu) orang Kepolisian

3) Pembeli Obat Bekas/Obet 2 (dua) orang.

4) Masyarakat (Penjual) obat bekas 30 (tiga puluh) orang.

b. Sampel

Sampel adalah bagian dari populasi yang akan diteliti yang dapat

mewakili keseluruhan objek penelitian. Metode yang digunakan dalam

pengambilan sampel adalah purposive. Purposive adalah menetapkan

sejumlah sampel yang mewakili jumlah populasi yang ada. Untuk lebih

jelas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel I

Populasi dan Sampel


17
No Jenis Populasi Populasi Sampel Persentase
(%)
1 Balai Besar Pengawas 1 1 100
Obat dan Makanan di
Pekanbaru (BBPOM)

2 Kepolisian Resort Kota 1 1 100


Pekanbaru

3
Pembeli Obat 2 2 100
Bekas/Obet

Masyarakat (Penjual) 30 15 50
4
Obat Bekas

Sumber Data : Data Olahan Tahun 2021

4. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data yang bersumber dari:


a. Data Primer

Data primer yaitu sumber data yang penulis peroleh langsung dari hasil

penelitian lapangan yang berupa pengambilan data dan hasil wawancara

penulis, serta hasil observasi atau pengamatan langsung oleh penulis

sendiri.

b. Data Sekunder

Yaitu data yang dikumpulkan untuk mendukung tujuan penelitian

melalui buku-buku kepustakaan, Peraturan Perundang-Undangan, media

cetak dan elektronik serta data yang diproleh dari buku- buku.

c. Data Tertier
18
Yaitu sumber data yang penulis proleh dari kamus, internet, jurnal dan

lain-lain yang mendukung data primer dan sekunder.

5. Teknik Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh bahan-

bahan yang diperlukan untuk penyusunan metode penelitian ini

menggunakan studi langsung pada objek penelitian di lapangan dan studi

kepustakaan baik dari buku maupun jurnal. Adapun teknik pengumpulan

data yang dilakukan penulis adalah:

a. Wawancara

Adalah cara untuk memperoleh informasi dengan bertanya secara langsung

kepada narasumber. Wawancara merupakan suatu proses interaksi langsung dan

komunikasi. Adapun wawancara yang penulis lakukan untuk melengkapi data-

data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur, yaitu

wawancara yang disertai dengan suatu daftar pertanyaan.

b. Observasi

Teknik pengumpulan data dengan cara observasi dilakukan dengan cara

pengamatan secara langsung kelokasi penelitian dalam keadaan yang

sebenarnya tentang informasi mengenai kenyataan yang ingin di teliti.

c. Kajian Kepustakaan

Yaitu dengan membaca dan memahami literatur-literatur kepustakaan

yang memiliki korelasi dengan permasalahan yang menjadi objek

penelitian ini.

6. Analisis Data

19
Dalam penelitian ini data dianalisis secara kualitatif, artinya data

dianalisis tidak dengan menggunakan statistik atau matematika ataupun

yang sejenisnya. Sedangkan dalam menarik kesimpulannya penulis

menerapkan metode berpikir induktif yaitu suatu pertanyaan atau dalil

yang bersifat khusus menjadi suatu pertanyaan yang bersifat umum.

20
BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Kecamatan Payung Sekaki

Kecamatan Payung Sekaki merupakan salah satu Kecamatan di

wilayah Kota Pekanbaru, terdiri atas 39 RW dan 181 RT. Luas wilayah

Kecamatan Payung Sekaki adalah 51,36 km, dengan luas masing-masing

Kelurahan sebagai berikut:

1. Kelurahan Labuh Baru Timur: 11,8 km

2. Kelurahan Tampan: 10 km

3. Kelurahan Air Hitam: 2,6 km

4. Kelurahan Labuh Baru Barat: 12 km

5. Kelurahan Sungai Sibam (Pemekaran dari Kelurahan Air Hitam: 3 km)

6. Kelurahan Bandarraya (Pemekaran dari Kelurahan Labuh Baru Barat)

12 km

7. Kelurahan Tirta Siak (Pemekaran dari Kelurahan Tampan): 1 km Batas

- batas wilayah Kecamatan Payung Sekaki adalah:

a. Sebelah timur: berbatasan dengan Kecamatan Sukajadi dan

Kecamatan Senapelan

b. Sebelah barat : berbatasan dengan Kabupaten Kampar

c. Sebelah utara : berbatasan dengan Kecamatan Rumbai

d. Sebelah selatan : berbatasan dengan Kecamatan Tampan dan

Kecamatan Marpoyan Damai.

21
B. Kependudukan

Jumalah penduduk Kecamatan Payung Sekaki mencapai 80.310 jiwa

pada tahun 2014. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 2,2 persen dari

tahun 2013 kepadatan penduduknya mencapai 1.564 jiwa/km2

Penduduk Kecamatan Payung Sekaki terdiri dari penduduk asli dan

pendatang, dimana sebahagian besar penduduk merupakan penduduk agama

islam yang taat, sehingga pengaruh agama dan syariat islam jelas

kelihatannya dalam upacara-upacara perkawinan, perceraian, kematian, dan

upacara adat lainnya. Dari jumlah penduduk yang berbaur dan hidup

berdampingan di Kecamatan Payung Sekaki, menurut data yang penullis

peroleh 78% diantaranya beragama islam, sedangkan selebihnya sebanyak

22% beragama lainnya, seperti Kristen protestan, katolik, hindu dan budha.

Walaupun mayoritas penduduk kota pekanbaru adalah pemeluk agama

islam, namun tolerasi beragama sesama masyarakat terpelihara dengan baik,

hidup rukun, damai, dan tenggang rasa.

Jenis pekerjaan di Kecamatan ini beragam mulai dari pertanian tanaman

pangan, perkebunan, perikanan, peternakan, pertanian lainnya, industri

pengolahan, dan lain sebagainya.

22
C. Keadaan Sosial

Guna melihat gambaran secara umum perkembangan pendidikan di

Kecamatan Payung Sekaki data pendidikan meliputi data TK, SD, SLTP,

dan SLTA baik yang dikelola oleh Pemerintah maupun yang dikelola oleh

swasta. Terdapat 10 sekolah Dasar dan 4 sekolah Dasar swasta. Sebanyak 2

sekolah menengah pertama Negeri dan 11 Sekolah Menengah Pertama

Swasta. Sebanyak 1 sekolah Menengah Atas Negeri dan 6 sekolah

menengah atas swasta. Tidak terdapat Universitas atau Perguruan Tinggi

Swasta di Kecamatan Payung Sekaki.

Data yang dikumpulkan kementerian agama menunjukan bahwa pada

tahun 2020 di Kecamatan Payung Sekaki terdapat 44 Masjid, 18 Gereja, 7

Vihara. Pembangunan bidang kesehatan bertujuan agar semua lapisan

masyarakat dapat memperoleh pelayanan kesehatan secara mudah, murah

dan merata. Dengan tujuan tersebut diharapkan akan tercapai derajat

kesehatan masyarakat yang baik. Usaha kesejahteraan sosial dilaksanakan

oleh Pemerintah bersama dengan masyarakat untuk mewujudkan tata

kehidupan sosial material dan spiritual

23
24
BAB III

TINJAUAN UMUM UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG


KESEHATAN DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1999 TENTANG KONSUMEN

A. Pengertian Hukum Kesehatan

Hukum kesehatan merupakan cabang dari ilmu hukum yang secara relatif baru

berkembang di Indonesia. Hukum kesehatan ini merupakan cakupan dari aspek-aspek

hukum perdata, hukum administratif, hukum pidana, dan hukum disiplin yang tertuju

pada subsistem kesehatan dalam masyarakat. Salah satu unsur dalam hukum kesehatan,

merupakan pengertian-pengertian tersebut, yaitu subjek hukum, hak dan kewajiban,

peristiwa hukum, hubungan hukum, objek hukum, dan masyarakat hukum. Pengertian

ini, misalnya subyek hukum antara lain apotek dan apoteker dan menjadi tenaga

kesehatan kesarjanaan.29 Hukum kesehatan termasuk hukum “lex specialis”, melindungi

secara khusus tugas profesi kesehatan (provider) dalam program pelayanan kesehatan

manusia menuju kearah tujuan deklarasi health for air dan perlindungan secara khusus

terhadap pasien “receiver” untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.30 dengan sendirinya

hukum kesehatan ini mengatur hak dan kewajiban masing-masing penyelenggara

pelayanan dan penerima pelayanan, baik sebagai perorangan (pasien) atau kelompok

masyarakat.31

Perhimpunan hukum kesehatan Indonesia dalam anggaran dasarnya menyatakan

“hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan

pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya serta hak dan kewajiban baik

perorangan dan segenap lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan

maupun dari pihak penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek organisasi;
29
Soerjono Soekanto, Aspek Hukum Apotek Dan Apoteker, (Bandung: Mandar Maju, 1980), hlm.1.
30
Cecep Triwibowo, Etika Dan Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), hlm.16.
31
Soekidjo Notoatmodjo, etika dan hukum kesehatan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hlm 44
25
sarana pedoman medis nasional atau internasional, hukum di bidang kedokteran,

yurisprudensi, serta ilmu pengetahuan bidang kedokteran kesehatan, yang dimaksud

dengan hukum kedokteran ialah bagian hukum kesehatan yang menyangkut pelayanan

medis.32 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum kesehatan adalah seluruh

kumpulan peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan

kesehatan. Sumber hukum kesehatan tidak hanya bertumpu pada hukum tertulis

(Undang-Undang), namun juga pada yurisprudensi, traktat, konsensus, dan pendapat ahli

hukum serta ahli kedokteran (termasuk doktrin), sehingga dalam ilmu kesehatan terdapat

beberapa asas hukum antara lain:

a. Sa science et sa conscience yang artinya ya ilmunya dan ya hati nuraninya. Maksud

dari pernyataan ini adalah bahwa kepandaian seorang ahli kesehatan tidak boleh

bertentangan dengan hati nurani dan kemanusiaannya. Biasanya digunakan pada

pengaturan hak-hak dokter, dimana dokter berhak menolak dilakukannya tindakan

medis jika bertentangan dengan hati nuraninya.

b. Agroti Salus Lex Suprema artinya keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi.

c. Deminimis noncurat lex artinya hukum tidak mencampuri hal-hal yang sepele. Hal

ini berkaitan dengan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Selama

kelalaian tersebut tidak berdampak merugikan pasien maka hukum tidak akan

menuntut

d. Res Ipsa liquitur” artinya faktanya telah berbicara. Digunakan didalam kasus-kasus

malpraktek dimana kelalaian yang terjadi tidak perlu pembuktian lebih lanjut karena

faktanya terlihat jelas.33

32
Sri Siswati, Etika Dan Hukum Kesehatan Dalam Perspektif Undang-Undang Kesehatan, (Jakarta:
Rajawali Pers,2013), hlm. 11.
33
Alexandra Indriyanti Dewi, Etika dan Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher,
2008), hlm. 166.

26
1. Penggolongan Obat

Dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 pasal 1 ayat 8 obat adalah bahan

atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau

menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis,

pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi untuk


27
manusia, sehingga golongan obat adalah penggolongan yang dimaksud untuk

peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi yang

terdiri dari obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras psikotropika dan narkotika. Untuk

mengawasi penggunaan obat oleh rakyat serta untuk menjaga keamanan penggunanya,

berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 942/MenKes/Per/VI/2000

penggolongan obat menjadi 6 (enam) golongan, yaitu:34

a. Obat bebas, merupakan sejenis obat yang bisa secara bebas di perjual belikan,

baik di apotek, toko obat maupun di warung-warung kecil yang bisa

menjajakan berbagai jenis obat dan tidak termasuk dalam jenis narkotika dan

psikotropika. Bisa di beli tanpa harus menggunakan resep dokter.

b. Obat bebas terbatas, obat yang termasuk dalam penggolongan obat bebas

terbatas (dulu di sebut daftar W), yaitu obat keras dengan batasan jumlah dan

kadar isi berkhasiat dan harus ada tanda peringatan (P) boleh dijual bebas

tanpa resep dokter.

c. Obat keras, (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat

berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter.

d. Psikotropika, merupakan sejenis zat atau obat alamiah atau sistensis, bukan

narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan

syaraf pusat yang mengakibatkan timbulnya perubahan khas pada aktifitas

mental dan perilaku.

e. Obat narkotika (dulu disebut obat daftar O = opiate), untuk memperolehnya

harus dengan resep asli bukan copy dari dokter dan apotek diwajibkan

melaporkan jumlah dan macamnya.

34
Stephen Zeenot, Pengelolaan Dan Penggunaan Obat Wajib Apotek , (Yogyakarta: D-Medika,
2000), hlm. 17.
28
f. Obat wajib apotek, merupakan sejenis obat keras yang keberadaannya bisa

diperjualbelikan di apotek tanpa resep dari dokter.

Selain obat tersebut ada beberapa istilah penting dalam dunia obat, yaitu:35

a. Obat tradisional ialah obat jadi atau obat terbungkus yang berasal dari bahan

tumbuh-tumbuhan, hewan, mineral atau sediaan galenik atau campuran dari

bahan-bahan tersebut yang usaha pengobatan berdasarkan pengalaman (Per.

Menkes No. 179/Menkes/Per/VII/1976).

b. Obat jadi yakni obat dalam keadaan murni atau campuran dalam bentuk

serbuk, cairan, salep, tablet, pil, supositoria, atau bentuk lainnya yang

mempunyai nama teknis sesuai dengan FI atau buku lain.

c. Obat paten yakni obat jadi dengan nama dagang yang terdaftar atas nama si

pembuat atau yang dikuasakannya dan dijual dalam bungkus asli dari pabrik

yang memproduksinya.

d. Obat baru ialah obat yang terdiri atau berisi suatu zat baik sebagai bagian yang

berkhasiat, maupun yang tak berkhasiat, misalnya lapisan, pengisi, pelarut,

bahan pembantu (vehiculum) atau komponen lain yang belum dikenal, hingga

tidak diketahui khasiat dan keamanannya.

e. Obat esensial adalah obat yang paling dibutuhkan untuk pelaksanaan

pelayanan kesehatan bagi masyarakat terbanyak yang meliputi diagnose,

profiaksi terapi, dan rehabilitasi.

f. Obat generic berlogo adalah obat esensial yang tercantum dalam daftar obat

esensial nasional (DOEN) dan mutunya terjamin karena diproduksi sesuai

dengan persyaratan CPOB dan diuji ulang oleh pusat pemeriksaan obat dan

makanan departemen kesehatan.

35
Ibid. hlm. 22
29
g. Obat wajib apotek ialah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter

oleh apoteker di apotek.

2. Mekanisme Peredaran Obat

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik

Indonesia Nomor 24 Tahun 2017 Tentang Kriteria Dan Tata Laksana Registrasi Obat,

menjelaskan bahwa mekanisme peredaran obat menentukan sebagai berikut dalam

Pasal 2 ayat (1) obat yang akan diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin

edar. Ayat (2) untuk memperoleh izin edar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

dilakukan registrasi. Ayat (3) registrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan
30
oleh pendaftar kepada kepala badan. Pasal 3 ayat (1) dikecualikan dari ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diperuntukan bagi pemasukan obat

untuk penggunaan khusus. Ayat (2) pemasukan obat untuk penggunaan khusus

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

Perundang-Undangan. Pasal 4 ayat (1) obat yang mendapat izin edar harus memenuhi

kriteria berikut: a.khasiat yang meyakinkan dan keamanan yang memadai dibuktikan

melalui uji nonklinik dan uji klinik atau bukti-bukti lain sesuai dengan status

perkembangan ilmu pengetahuan; b.mutu yang memenuhi syarat sesuai dengan

standar yang ditetapkan, termasuk proses produksi sesuai dengan CPOB dan

dilengkapi dengan bukti yang sahih; dan c.informasi produk dan label berisi informasi

lengkap, objektif dan tidak menyesatkan yang dapat menjamin penggunaan obat

secara tepat, rasional dan aman. Ayat (2) Selain harus memenuhi kriteria sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) obat juga harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a.khusus

untuk psikotropika baru harus memiliki keunggulan dibandingkan dengan obat yang

telah disetujui beredar di Indonesia; dan b.khusus obat program kesehatan nasional,

harus sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh instansi Pemerintah

penyelenggara program kesehatan nasional.

Pelaksanaan izin edar berdasarkan Pasal 60 ayat (1) industri farmasi yang

telah mendapatkan izin edar wajib membuat dan mengirimkan laporan produksi atau

laporan pemasukan obat impor kepada kepala badan. Ayat (2) laporan produksi atau

laporan pemasukan obat Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan. Ayat (3) Laporan produksi

atau laporan pemasukan obat impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

menghapuskan kewajiban bagi Industri farmasi untuk menyampaikan laporan lain

sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan. Pasal 61 (1) pemilik izin


31
edar obat wajib melakukan pemantauan khasiat, keamanan dan mutu obat selama obat

diedarkan dan melaporkan hasilnya kepada Kepala Badan. Ayat (2) Pemantauan

khasiat, keamanan,dan mutu obat selama obat diedarkan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan. 36

Obat-obat yang dilarang penjualan dan peredarannya, ialah:37

a. Thalidomide dan segala sediaan yang mengandung obat tersebut antara lain

softenon (Perancis) dan contergen (grumenthal, Jerman). Obat ini belum pernah

beredar di Indonesia. Sebab dilarang ialah menimbulkan cacat anggota badan

pada bayi yang dilahirkan oeh ibu yang menggunakan obat tersebut. Obat tersebut

digunakan sebagai obat tidur.

b. Meclizine dan segala sediaan yang mengandung obat tersebut antara lain: travel-

on (BKF). Postafene (union chemique Belgium), emsafene (BKF), nonamine

(Pfizer). Obat ini digunakan sebagai obat anti muntah.

c. Phenmetrazine dan segala sediaan yang mengandung obat tersebut antara lain:

preludin dan obazin, obat ini digunakan sebagai obat pengurus badan (anti

obesitas) yaitu mengurangi berat badan.

d. DET; DMNP; DMT; (+) – LYSERGIDE = LSD; LSD -25. Bahan ini merupakan

bahan psitropik yang mempengaruhi psikhe orang.

e. Penggunaan pyramidon = amidozon dan chloroform sebagai bahan obat.

f. Semua obat yang tidak didaftarkan ke BPOM, dinyatakan sebagai obat berbahaya

dalam arti Undang-Undang obat berbahaya.

Semua obat yang ditarik dari peredaran oleh BPOM dinyatakan tidak boleh

dijual atau diedarkan.

36
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2017 tentang Kriteria Dan Tata Laksana Registrasi Obat.
37
Ibid. hlm. 50.
32
3. Pihak Yang Mempunyai Legalitas Menjual Dan Meracik Obat-Obatan

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian, adalah

Peraturan Pemerintah pengganti atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965

Tentang Apotek (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 44,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2752), sebagaimana diubah

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1980 Tentang Perubahan Peraturan

Pemerintah Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotek (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 1980 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
33
Nomor 3169) dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1990 Tentang Masa Bakti Dan

Izin Kerja Apoteker (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 55,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3422).38

Awal penggunaan istilah yuridis pekerjaan kefarmasiaan dan atau praktik kefarmasian

adalah istilah “praktik peracikan obat”, seperti dimaksud ordonasi obat keras, yang

mendefinisikan istilah “apoteker”, yaitu: mereka yang sesuai dengan Peraturan-Peraturan

yang berlaku mempunyai wewenang untuk menjalankan praktik peracikan obat di

Indonesia sebagai seorang apoteker sambil memimpin sebuah apotek.39

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009

Tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 1 ayat (1) pekerjaan kefarmasian adalah termasuk

pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan

pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,

pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional,

ayat (3) tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang

terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmsian, ayat (6) tenaga teknis kefarmasian

adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang

terdiri atas sarjana farmasi, ahli madya farmasi, analisis farmasi, dan tenaga menengah

farmasi/asisten apoteker. Pasal 2 ayat (2) pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan

kewenangan untuk itu, mengenai pekerjaan kefarmasian dalam distribusi atau penyaluran

sediaan farmasi pada Pasal 14 ayat (1) setiap fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan

farmasi berupa obat harus memiliki seorang apoteker sebagai penanggung jawab, ayat

38
Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009, Tentang Pekerjaan Kefarmasian, Bab VII, Ketentuan
Penutup, Pasal 63
39
Ordonasi Obat Keras, St. 1937. 41, Pasal 1 Ayat (1) Huruf (B)
34
(2) apoteker sebagai penanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dibantu oleh apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian.

Selanjutnya jenis tenaga kesehatan yang termasuk dalam kelompok tenaga kefarmasian

yang terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian. Apotek adalah suatu tempat

tertentu dimana dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi

kepada masyarakat. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah

mengucapkan sumpah jabatan apoteker, mereka yang berdasarkan Peraturan Perundang-

Undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai

apoteker. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/MenKes/SK/X/2002

tentang ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek dinyatakan bahwa:

a. Apoteker wajib melayani resep sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian

profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat;

b. Apoteker tidak diizinkan untuk mengganti obat generic yang ditulis dalam resep

dengan obat paten;

c. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker

wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat

d. Apoteker wajib memberikan informasi

Apoteker dalam melaksanakan hak dan kewajibannya harus dengan itikad baik

dan penuh tanggung jawab. Jika apoteker bersalah tidak memenuhi kewajiban itu,

menjadi alasan baginya untuk dituntut secara hukum untuk mengganti segala kerugian

yang timbul sehubungan dengan tidak dipenuhinya kewajiban itu,40 artinya apoteker

harus bertanggung jawab secara hukum atas kesalahan atau kelalaiannya dalam

menjalankan kewajibannya, sehingga dalam hal ini di perlukan yang namanya teori

pengawasan. Teori pengawasan merupakan kegiatan-kegiatan dimana suatu sistem


40
Kode Etik Apoteker Indonesia, 2009, Jakarta, Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi
Indonesia.
35
terselenggarakan dalam kerangka norma-norma yang ditetapkan atau dalam keadaan

keseimbangan bahwa pengawasan memberikan gambaran mengenai hal-hal yang dapat

diterima, dipercaya atau mungkin dipaksakan, dan batas pengawasan (control limit)

merupakan tingkat nilai atas atau bawah suatu sistem dapat menerima sebagai batas

toleransi dan tetap memberikan hasil yang cukup memuaskan.41

Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari adanya

kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang akan dicapai. Melalui

pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan

untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan secara efektif dan efesien, bahkan

melalui pengawasan tercipta suatu aktifitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau

evaluasi mengenai sejauh mana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga

dapat mendeteksi sejauh mana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauh mana

penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut. Dari segi hukum

administrasi negara, pengawasan dimaknai sebagai “proses kegiatan yang

membandingkan apa yang dijalankan, dilaksanakan, atau diselenggarakan itu dengan apa

yang dikehendaki, direncanakan, atau diperintahkan”.42

Hasil pengawasan ini harus dapat menunjukkan sampai di mana terdapat kecocokan

dan ketidak cocokan dan menemukan penyebab ketidak cocokan yang muncul. Dalam

konteks membangun manajemen pemerintah publik yang bercirikan good governance

(tata kelola pemerintahan yang baik), pengawasan merupakan aspek penting untuk

menjaga fungsi pemerintahan berjalan sebagaimana mestinya, dalam konteks ini

41
Basu Swastha, Azas-Azas Marketing, ( Yogyakarta: BPFE, 2000), hlm. 216.
42
http://www.itjen-depdagri.go.id/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=25 Diakses Tanggal 21
Februari 2021. Pukul 10.52 WIB.
36
pengawasan menjadi sama pentingnya dengan penerapan good governance itu sendiri.43

Menurut Schermerhon jenis-jenis pengawasan terbagi menjadi:44

a. Pengawasan feedforward (umpan di depan)

1) Dilakukan sebelum aktifitas dimulai

2) Dalam rangka menjamin: kejelasan sasaran; tersedianya arahan yang memadai;

ketersediaan sumberdaya yang dibutuhkan

3) Memfokuskan pada kualitas sumberdaya

b. Pengawasan concurrent (bersamaan)

1) Memfokuskan kepada apa yang terjadi selama proses berjalan

2) Memonitor aktifitas yang sedang berjalan untuk menjamin segala sesuatu

dilaksanakan sesuai rencana

3) Dapat mengurangi hasil yang tidak diinginkan

c. Pengawasan feedback (umpan balik)

1) Terjadi setelah aktifitas selesai dilaksanakan

2) Memfokuskan kepada kualitas dari hasil

3) Menyediakan informasi yang berguna untuk meningkatkan kinerja dimasa depan

d. Pengawasan Internal & Eksternal

1) Pengawasan internal: memberikan kesempatan untuk memperbaiki sendiri

2) Pengawasan Eksternal: terjadi melalui supervisi dan penggunaan sistem

administrasi formal. Sementara itu, dalam birokrasi dan lembaga, pengawasan

terbagi atas;45

a. Pengawasan Internal & Eksternal

43
Ibid.
44
Schermerhorn, Menejemen SE Edisi Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Library UM, 2001), hlm. 57.
45
http://www.itjen-depdagri.go.id, Loc.cit
37
Pengawasan internal adalah pengawasan dilakukan oleh orang atau

badan yang ada di dalam lingkungan unit organisasi yang bersangkutan seperti

pengawasan atasan langsung untuk pengawasan melekat, contohnya untuk

mengawasi peredaran obat dan makanan di masyarakat dibentuklah BPOM

(Badan Pengawas Obat Dan Makanan), guna mengontrol kualitas kesehatan di

masyarakat.

Pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang

atau badan yang ada di luar unit organisasi yang bersangkutan, contohnya

untuk mengawasi peredaran obat dan makanan di masyarakat MUI (Majelis

Ulama Indonesia) melakukan pengawasan terhadap obat dan makanan yang

halal bagi umat muslim.

b. Pengawasan Preventif dan Represif

Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap

suatu kegiatan sebelum kegiatan itu dilaksanakan sehingga dapat mencegah

terjadinya penyimpangan. Pengawasan represif adalah pengawasan yang

dilakukan terhadap kegiatan setelah kegiatan itu dilakukan.

c. Pengawasan Aktif dan Pasif

Pengawasan Aktif (dekat) adalah pengawasan yang dilaksanakan di

tempat kegiatan yang bersangkutan dan pengawasan ini bersifat melekat,

pengawasan Pasif (jauh) adalah pengawasan dengan melakukan penerimaan

dan pengajuan terhadap laporan pertanggung jawaban.

d. Pengawasan Formal dan Informal

Pengawasan kebenaran formil menurut hak (rechtimatigheid) dan

Pemeriksaan kebenaran materil mengenai maksud tujuan pengeluaran

(doelmatigheid), dalam kaitannya dengan penyelenggaraan Negara,


38
pengawasan ditunjukan untuk menghindari terjadinya “korupsi,

penyelewengan, dan pemborosan anggaran Negara yang tertuju pada aparatur

atau pegawai negeri,” dengan dijalankannya pengawasan tersebut diharapkan

pengelolaan dan pertanggung jawaban anggaran dan kebijakan Negara dapat

berjalan sebagaimana direncanakan.

Pengawasan formal dilakukan oleh instansi/pejabat yang berwenang,

baik yang bersifat internal maupun eksternal. Dilain pihak, pengawasan

pengawasan infornal dilakukan olleh masyarakat, baik langsung maupun tidak

langsung atau sebagai social control.

Tujuan utama pengawasan adalah ikut berusaha memperlancar roda

pembangunan serta mengamankan hasil-hasil pembangunan. Pengawasan

diperlukan bukan karena kurang kepercayaan dan bukan pula ditujukan

mencari-cari kesalahan atau mencari siapa yang salah, tetapi untuk memahami

apa yang salah demi perbaikan di masa datang.46

B. Pengertian Perlindungan Konsumen

Istilah konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika),

atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu

tergantung dalam posisi mana ia berada.47 Secara harfiah arti kata consumer adalah

(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang, tujuan penggunaan barang

atau jasa nanti menentukan termasuk konsumen kelompok mana pengguna tersebut,
46
Prayadi, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia), hlm. 12.
47
Celina Tri Siwi Kristiyanti, hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 22.
39
begitu pula kamus bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai pemakai

atau konsumen, pengertian konsumen di Amerika Serikat dan MME, kata konsumen yang

berasal dari consumer yang berarti pemakai, namun di Amerika Serikat kata ini diartikan

lebih luas sebagai korban pemakaian produk yang cacat, baik korban dalam hal ini

pembeli atau pemakai, sehingga konsumen di bedakan menjadi dua :

a. Konsumen akhir merupakan konsumen yang mengonsumsi secara langsung

produk yang diprolehnya. Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum

Nasional) pemakai akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri

atau orang lain dan tidak diperjualbelikan. Menurut YLKI (Yayasan Lembaga

Konsumen Indonesia) pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat bagi keperluan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain dan

tidak untuk diperdagangkan kembali. Menurut KUH Perdata Baru Belanda

(New Bw) orang alamiah yang mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku

orang yang menjalankan profesi atau perusahaan.

b. Konsumen antara merupakan konsumen yang memperoleh produk untuk

memproduksi produk lainnya, contoh: distributor, agen, dan pengecer, pada

dasarnya ada dua cara untuk memperoleh barang yakni dengan cara: Membeli,

bagi orang yang memperoleh suatu barang dengan cara membeli tentu ia

terlibat dengan suatu perjanjian dengan pelaku usaha, dan konsumen

memperoleh perlindungan hukum melalui perjanjian tersebut, cara lain selain

membeli, yakni dengan cara mendapat hadiah, hibah, dan warisan, untuk cara

yang kedua ini konsumen tidak terlibat dalam suatu hubungan kontraktual

dengan pelaku usaha sehingga konsumen tidak mendapatkan perlindungan

hukum dari suatu perjanjian, sehubungan dengan hal tersebut maka cara

pertama diatas yakni dengan cara membeli, inilah yang diperlukan


40
perlindungan dari Negara dalam bentuk Peraturan-Peraturan yang melindungi

keberadaan konsumen, maka jika dilihat dari dua jenis konsumen diatas

Undang-Undang perlindungan konsumen sebagaimana yang diatur pada Pasal

1 Angka 2 memberikan perlindungan kepada setiap konsumen akhir, dalam

Undang-Undang perlindungan konsumen didefenisikan sebagai berikut: setiap

orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup yang

lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Menurut business English dictionary perlindungan konsumen adalah protecting

consumer against unfair or illegal traders. Sementara bleckslaw dictionary

mendefenisikan a statute that safeguards consumers in the use goods and services.

Perlindungan konsumen adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan perlindungan

hukum yang diberikan kepada konsumen dalam usahanya untuk memenuhi

kebutuhannya dari hal-hal yang merugikan konsumen itu sendiri. Undang-Undang

perlindungan konsumen menyatakan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya

yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada

konsumen (Pasal 1 Angka 1), perlindungan konsumen mempunyai cakupan yang luas,

meliputi perlindungan konsumen terhadap barang dan jasa hingga sampai akibat-akibat

dari pemakaian barang atau jasa tersebut. Cakupan perlindungan konsumen itu dapat

dibedakan dalam dua aspek yaitu: perlindungan terhadap kemungkinan barang yang

diserahkan kepada konsumen tidak sesuai dengan apa yang telah disepakati dan

perlindungan terhadap diberlakukannya syarat-syarat yang tidak adil kepada konsumen,

keinginan yang hendak dicapai dalam perlindungan konsumen dalam perlindungan

konsumen adalah menciptakan rasa aman bagi konsumen dalam memenuhi kebutuhan

hidup, terbukti bahwa semua norma perlindungan konsumen dalam Undang-Undang


41
perlindungan konsumen memiliki sanksi pidana, maka segala upaya yang dimaksudkan

dalam perlindungan konsumen dalam Undang-Undang perlindungan konsumen memiliki

sanksi pidana, maka segala upaya yang dimaksudkan dalam perlindungan konsumen

tersebut tidak saja terhadap tindakan prefentif akan tetapi juga tindakan represif dalam

semua bidang perlindungan yang diberikan kepada konsumen, oleh sebab itu Pengaturan

perlindungan konsumen dilakukan dengan:

1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur


keterbukaan akses informasi, serta menjamin kepastian hukum.
2. Melindungi kepentingan pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha.
3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa.
4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktik usaha yang menipu dan
menyesatkan.
5. Memajukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan
konsumen dengan bidang-bidang perlindungan lainnya.48

Tujuan hukum adalah untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum,

sehingga Undang-Undang perlindungan konsumen yang telah diundangkan pada Tanggal

20 April Tahun 1999 yang disebut Undang-Undang perlindungan konsumen Nomor 8

Tahun 1999 diharapkan menjadi tonggak perlindungan konsumen di Indonesia, akan

tetapi kenyataannya yang terjadi sampai saat ini proses pelaksanaan maupun aplikasi di

tengah-tengah masyarakat tidak maksimal dan dari berbagai defenisi diatas, masih

banyak ditemukan berbagai kelemahan terutama para produsen atau pelaku usaha yang

tidak mementingkan kesehatan dan keselamatan konsumen. Perlindungan konsumen ini

adalah jaminan yang seharusnya didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk yang

di beli dari produsen, sehingga berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1999 tentang perlindungan konsumen terdapat 5 (lima) asas antara lain:

a. Asas manfaat

Mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan

konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen


48
Rosmawati, Op.Cit., hlm. 7.
42
dan pelaku usaha secara keseluruhan, yang artinya asas ini menghendaki bahwa

pengaturan dan penegakan hukum perlindungan konsumen tidak dimaksudkan untuk

menempatkan salah satu pihak diatas maupun pihak lainnya tetapi untuk memberikan

produsen, pelaku usaha, serta konsumen apa yang menjadi haknya.

b. Asas keadilan

Dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan

memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh

haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, yang artinya asas ini

menghendaki bahwa melalui pengaturan dan penegakan hukum perlindungan

konsumen ini konsumen dan produsen-pelaku usaha dapat berlaku adill melalui

perolehan hak dan mengenai penunaiannya.

c. Asas keseimbangan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan

konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materil dan spiritual, yang artinya

asas ini menghendaki agar konsumen, produsen-pelaku usaha dan pemerintah

memperoleh manfaat yang seimbang dan pengaturan serta penegakan hukum

perlindungan konsumen harus diwujudkan secara seimbang sesuai dengan hak dan

kewajibannya masing-masing.

d. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan

atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian,

dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan, yang artinya

asas ini menghendaki adanya jaminan hukum bahwa konsumen akan memproleh

manfaat dari produk yang dikonsumsi dan tidak akan membahayakan kesehatan

pemakai, sehingga undang-undang ini membebankan sejumlah kewajiban yang harus

dipenuhi dan menetapkan berbagai laranganyang harus dipatuhi dalam memproduksi


43
atau mengedarkan sebuah produk.

e. Asas kepastian hukum

Asas ini dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan

memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen serta Negara

menjamin kepastian hukum, yang artinya Undang-Undang ini mengharapkan agar

aturan mengenai hak dan kewajiban dapat berjalan sebagaimana mestinya ditengah-

tengah masyarakat luas.

Berdasarkan asas-asas perlindungan konsumen diatas, maka terdapat 6 (enam)

tujuan perlindungan konsumen yang dijelskan pada Pasal 3 Undang-Undang

Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 antara lain:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk


melindungi diri;
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya
ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung usur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha;
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, keamanan, dan keselamatan konsumen;

Pasal 3 Undang-Undang perlindungan konsumen ini merupakan isi

pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam pasal 2 sebelumnya karena

tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang dicapai

dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen,49

sehingga keenam tujuan khusus perlindungan konsumen diatas bila dikelompokkan

ke dalam tiga tujuan hukum secara umum maka tujuan hukum untuk mendapatkan

keadilan terdapat dalam rumusan huruf c, dan huruf e, sementara tujuan hukum

49
Achmad Ali, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), hlm. 34.
44
untuk memberikan kemanfaatan terdapat dalam rumusan huruf a, huruf d, dan huruf

f. tujuan khusus yang diarahkan untuk tujuan kepastian hukum terdapat dalam

rumusan huruf d, sehingga pengelompokan rumusan ini tidak berlaku secara mutlak

karena dalam rumusan pada huruf a sampai dengan huruf f terdapat tujuan yang

harus dikualifikasi sebagai tujuan ganda.

1. Pengguna Barang Dan Jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi

tersebut digunakan kata produk, saat ini produk sudah berkonotasi barang atau jasa

semula kata produk hanya mengacu pada pengertian barang, Undang-Undang pokok

konsumen mengartikan barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak

berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak

dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau


45
dimanfaatkan oleh konsumen. (Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang perlindungan

konsumen Nomor 8 Tahun 1999) Undang-Undang pokok konsumen tidak

menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan”.

Sementara itu jasa diartikan sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan

atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen

(Pasal 1 Angka 5), pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukan jasa tersebut

harus ditawarkan kepada masyarakat yang artinya, harus lebih dari satu orang jika

demikian halnya, layanan yang bersifat khusus (tertutup) dan individual tidak

tercakup dalam pengertian tersebut, sehingga subjek yang disebut sebagai konsumen

ialah setiap orang yang berstatus sebagai pemakai barang dan/atau jasa, berdasarkan

Pasal 1 Angka 2 menjelaskan “konsumen adalah setiap orang pemakai barang

dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,

keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”

sehingga dari defenisi diatas mengandung empat unsur yakni: setiap orang yang

artinya subjek hukum pemegang hak dan kewajiban menurut hukum yang berstatus

sebagai pemakai barang atau jasa seperti individu (natuurlijke person) dan badan

hukum seperti perusahaan, organisasi, dan institusi yang disebut sebagai

(rechtspersoon). Unsur kedua yakni pemakai barang dan jasa yang artinya dalam

hukum Perdata pada buku ke dua tentang benda (van zaken) yang diatur dalam Pasal

503 “ada barang yang bertubuh, dan ada barang yang tak bertubuh” dan Pasal 504

“ada barang yang bergerak dan ada barang yang tak bergerak, menurut ketentuan-

ketentuan yang diatur dalam kedua bagian berikut ini Benda (zaak) berdasarkan Pasal

499 KUHPerdata ialah “segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik”, benda

yang dimaksud KUHPerdata adalah benda-benda berwujud seperti kendaraan

bermotor, tanah, dan lain sebagainya, sedangkan benda tak berwujud seperti hak
46
cipta, hak paten, (hak kekayaan intelektual) yang tidak diatur dalam KUHPerdata.

Unsur yang ke tiga ialah untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhluk hidup lain yang artinya dalam hal ini pengguna barang dan/atau jasa

merupakan layanan prestasi yang berbentuk jasa kesehatan rumah sakit, dan jasa

transportasi, unsur yang ke empat ialah tidak untuk diperdagangkan yang artinya

dalam hal ini terkait dengan konsumen antara dan konsumen akhir, yang mana

konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhhir dari suatu produk, sedangkan

konsumen antara merupakan konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai

bagian dari proses produksi suatu produk.

2. Hak Dan Kewajiban konsumen

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan


konsumen hak konsumen adalah:
a. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang
dan/atau jasa;
b. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa
47
perlindungan konsumen secara patut;
f. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. Hak untuk mendapatkan konpensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
i. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Kewajiban konsumen berdasarkan Pasal 5 adalah:


a. Membaca atau mengikuti petunjuk infoormasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.

Secara umum hak dan kewajiban merupakan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan,

yang artinya kedua hal tersebut memiliki keterikatan dalam hal sebab akibat, yang

mana hak merupakan sesuatu yang harus didapatkan setiap individu mulai dari dalam

kandungan, seperti halnya yang terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, sedangkan kewajiban merupakan

sesuatu yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab oleh orang yang

berkepentingan. Hak konsumen merupakan hak yang harus dipatuhi oleh produsen,

mengingat dalam kepustakaan ekonomi terdapat konsumen akhir dan konsumen

antara, yang mana konsumen akhir adalah konsumen yang mengonsumsi secara

langsung produk yang diprolehnya yang digunakan untuk keperluan diri sendiri atau

orang lain dan tidak diperjualbelikan, sedangkan Konsumen antara merupakan

konsumen yang memperoleh produk untuk memproduksi produk lainnya, contoh:

distributor, agen, dan pengecer, yang termaksud dalam hal ini merupakan konsumen

akhir, yang mana masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen

merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam hukum perlindungan konsumen,

terurtama dalam hal beragamnya pilihan barang dan/atau jasa yang memungkinkan

48
konsumen untuk memilih barang dan/atau jasa yang sesuai dengan kebutuhannya

dengan nilai tukar yang ekonomis, sehingga dengan demikian konsumen berhak

mendapatkan informasi yang akurat tentang barang dan/atau jasa yang akan

digunakan, demikian halnya dengan kewajiban.

Berdasarkan Pasal 5 konsumen diwajibkan untuk membaca atau mengikuti

petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa,

demi keamanan dan keselamatan, sehingga dengan demikian setiap konsumen dapat

mengetahui dampak dari pemakaian produk tersebut, karena dengan adanya aturan

kewajiban tersebut membuat pelaku usaha tidak bertanggung jawab apabila konsumen

yang bersangkutan mengalami kerugian akibat mengabaikan kewajiban tersebut,

karena hak dan kewajiban konsumen di pergunakan oleh konsumen untuk menjamin

kepastian hukum.

Hak pelaku usaha berdasarkan Pasal 6 adalah:


a. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
b. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad
tidak baik;
c. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen;
d. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya

Kewajiban pelaku usaha berdasarkan Pasal 7 adalah:


a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya ;
b. Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan
berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang
dan/atau jasa tertentu serta member jaminan dan/atau yang diperdagangkan;
49
f. Member kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa
yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian;

Berdasarkan Pasal 1 Angka 3 pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan

usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia,

baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha

dalam berbagai bidang ekonomi, sehingga yang termasuk dalam pelaku usaha seperti:

a. Perusahaan

merupakan setiap bentuk usaha yang tetap dan terus menerus dan yang didirikan,

bekerja serta berpendudukan dalam Wilayah Negara Republik Indonesia dengan

tujuan memperoleh keuntungan atau laba.

b. Korporasi

Merupakan badan hukum yang berada dibawah Lembaga hukum yang ada dalam

suatu Negara yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan.

c. BUMN

Badan usaha millik Negara yang merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian

besar modalnya dimiliki oleh Negara.

d. Koperasi

Merupakan badan hukum yang didirikan oleh orang perseorangan atau badan hukum

koperasi, dengan memisahkan kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk

menjalankan usahanya yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama dibidang

ekonomi, sosial, dan budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi.

e. Impotir

Merupakan suatu orang maupun Lembaga dalam melakukan perantara dagang yang

mendatangkan barang dari luar Negeri.

50
f. Pedagang

Merupakan orang yang melakukan penjualan barang-barang untuk memenuhi

kebutuhan kelompok konsumen/masyarakat.

g. Distributor

Merupakan orang atau sekelompok yang menyalurkan sebuah produk ke konsumen

akhir.

Berdasarkan uraian tersebut memiliki hubungan timbal balik antara hak dan

kewajiban konsumen dengan hak dan kewajiban pelaku usaha, yang mana hak konsumen

merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha, sedangkan hak pelaku usaha

merupakan kewajiban yang diterima dari konsumen, oleh karena itu pelaku usaha diwajibkan

memiliki iktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya sedangkan konsumen diwajibkan

untuk beriktikad baik dalam melakukan pembelian barang dan/atau jasa, dalam hal ini

memberikan penjelasan bahwa iktikad baik merupakan hal terpenting dalam melakukan

transaksi, mengenai kewajiban iktikad baik Undang-Undang perlindungan konsumen lebih

menekankan kepada pelaku usaha, karena pelaku usaha mencakup semua tahapan dalam

melakukan kegiatan usahanya, baik sejak barang dirancang atau diproduksi sampai kepada

tahap penjualan, sedangkan konsumen hanya diwajibkan untuk beritikad baik ketika

melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa guna mencegah kerugian yang

diakibatkan oleh pelaku usaha, sehingga untuk mencegah kerugian tersebut pelaku usaha

diwajibkan memberikan informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk

agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu, adapun

penyampaian informasi terhadap konsumen tersebut ialah dengan cara representasi,

peringatan, dan berupa intruksi.

Sebagai upaya untuk menghindari akibat negatif dari pemakaian barang dan/atau jasa

maka Undang-Undang perlindungan konsumen Pasal 8 memberikan berbagai larangan bagi


51
pelaku usaha sebagai berikut:

(1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang;
a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiked barang tersebut;
c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan, dan jumlah dalam hitungan
menurut ukuran yang sebenarnya;
d. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan, atau kemanjuran,
sebagaimana dinyatakan dalam label, etiked, atau keterangan barang dan/atau jasa
tersebut;
e. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengoahan, gaya, mode,
atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan
barang dan/atau jasa tersebut;
f. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiked, keterangan, iklan
atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. Tidak mencantumkan tanggal kedaluwarsa atau jangka waktu
penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang teersebut;
h. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan
“halal” yang dicantumkan dalam label;
i. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama
barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal
pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan
lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
j. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam
bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
(3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak,
cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar.
(4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.

Pasal 9 adalah;
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang
dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,
standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor,
persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau
52
aksesoris tertentu;
d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak
mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.

(2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk
diperdagangkan.
(3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.

Pasal 10 adalah;
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau
membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai :
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atassuatu barang dan/atau
jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa Pelaku usaha dalam menawarkan
barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang
tidak benar atau menyesatkan mengenai :
a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau
jasa;
d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa

Pasal 11 adalah;
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang,
dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan:
a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi
standar mutu tertentu;
b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung
cacat tersembunyi;
c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan
maksud untuk menjual barang lain;
d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang
cukup dengan maksud menjual barang yang lain;
e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup
53
dengan maksud menjual jasa yang lain;
f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.

Pasal 12 adalah;
Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu
barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah
tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya
sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau
diiklankan

Pasal 13 adalah;
(1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan
suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah
berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
(2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan
obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan
kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang
dan/atau jasa lain.

Pasal 14 adalah;
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk
diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang
untuk:
a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktuyang dijanjikan;
b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa;
c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan

Pasal 15 adalah;
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan
dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan
baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16 adalah;
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan
dilarang untuk
a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai
dengan yang dijanjikan;
b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.

Pasal 17 adalah;
(1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. mengelabuhi konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan
dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan
barang dan/atau jasa;
b. mengelabuhi jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang
54
dan/atau jasa;
d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau
jasa;
e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang
berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;
f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan
mengenai periklanan.
(2) Pelaku usaha periklanan dilarang melanjutkan peredaran iklan yang telah
melanggar ketentuan pada ayat (1).

Banyaknya larangan-larangan yang ditujukan pada pelaku usaha sebagaimana

yang telah di jelaskan pada Pasal-Pasal di atas merupakan suatu upaya agar setiap

konsumen dapat terhindar dari berbagai produk yang dapat merugikan konsumen,

baik secara materi maupun secara kesehatan, terutama dalam hal kualitas barang yang

sangat rendah dari harga yang dibayar, karena saat ini banyak di temui berbagai

produk yang tidak rasional yang beredar dikalangan masyarakat. Teori due care

tentang kewajiban pelaku usaha terhadap konsumen didasarkan pada gagasan, bahwa

pembeli dan konsumen tidak saling sejajar dan bahwa kepentingan konsumen sangat

rentan terhadap tujuan perusahaan yang memiliki pengetahuan dan keahlian yang

tidak dimiliki konsumen,50 yang artinya pelaku usaha memiliki posisi yang lebih

menguntungkan dari pada konsumen sehingga Menurut Nurmadjito larangan tersebut

pada dasarnya untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang beredar

dimasyarakat merupakan produk yang layak edar, antara lain asal-usul, kualitas sesuai

dengan informasi pengusaha baik melalui label, etiked, iklan, dan lain sebagainya.51

3. Sanksi Bagi Pelanggar

Pasal 60 bagian pertama sanksi administratif


(1) Badan penyelesaian sengketa konsumen berwenang menjatuhkan sanksi
administratif terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19 ayat (2) dan
ayat(3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26.
(2) Sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak
50
Rosmawati, Op Cit, hlm. 70.
51
Husni Syawali , hukum perlindungan konsumen, (Bandung: PT. Mandar Maju,) hlm.18.
55
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(3) Tata cara penetapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan

Bagian Kedua Sanksi Pidana Pasal 61


Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya.

Pasal 62
(1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 8,
Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) hurufa, huruf b,
huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
(2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalamPasal 11,
Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan
huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana
denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
(3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau
kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku

Pasal 63
Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan
hukuman tambahan, berupa
a. perampasan barang tertentu;
b. pengumuman keputusan hakim;
c. pembayaran ganti rugi;
d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian
konsumen;
e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
f. pencabutan izin usaha.

Sanksi merupakan suatu tindakan maupun hukuman yang diberikan atas

perbuatan yang telah dilarang, terutama dalam sengketa konsumen terdapat tiga jenis

sanksi yaitu sanksi pidana pokok, sanksi pidana tambahan, dan sanksi administratif

Badan penyelesaian sengketa konsumen atau yang disingkat dengan (BPSK) memiliki

kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administratif terhadap pelaku usaha yang

melanggar aturan hukum perlindungan konsumen yang mengakibatkan konsumen

mengalami kerugian, yang mana sanksi administratif merupakan sanksi yang berupa

ganti kerugian, pembekuan, dan pencabutan izin. Sanksi pidana pokok merupakan

sanksi yang dijatuhkan oleh pengadilan atas tuntutan jaksa penuntut umum terhadap

56
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, sedangkan sanksi pidana tambahan

dapat dikaji berdasarkan Pasal 63 berupa perampasan barang tertentu, pengumuman

keputusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang

menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari

peredaran; atau, pencabutan izin usaha.

57
BAB IV

PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009

TENTANG KESEHATAN TERHADAP PRAKTIK JUAL BELI

OBAT-OBATAN BEKAS DAN/ATAU KEDALUWARSA DI

KECAMATAN PAYUNG SEKAKI KOTA

PEKANBARU

A. Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Terhadap Praktik Jual Beli Obat-Obatan Bekas Dan/Atau Kedaluwarsa di

Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan Pada Balai Besar Pengawas

Obat Dan Makanan di Pekanbaru (BBPOM) dengan ibu Yenita selaku PFM

Pelaksana Lanjutan, mengenai Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang praktik jual beli obat-obatan bekas dan/atau kedaluwarsa, berdasarkan Pasal

106 bahwa sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah

mendapat izin edar, sedangkan Pasal 98 menyatakan sediaan farmasi dan alat

kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu dan terjangkau, 52 sesuai

dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan

Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merupakan Lembaga Pemerintah

nonkementerian yang menyelenggarakan urusan Pemerintah di bidang pengawasan

obat dan makanan sehingga Badan POM mempunyai kewenangan untuk menerbitkan

izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan persyaratan keamanan,

khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat dan makanan sesuai dengan ketentuan
52
Hasil wawancara dengan ibu yenita, selaku penyidik perlindungan konsumen, pada tanggal 18 Maret
2021, pukul 14.22. Wib.
58
peraturan Perundang-Undangan dan melakukan intelijen dan penyidikan di bidang

pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-

Undangan yang menjerat setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau

mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar

denagn pidana penjara paling lama 15 (lima belas) Tahun dan denda paling banyak

Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah), dan setiap orang yang tidak

memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian dipidana

paling banyak Rp. 100.000 (seratus juta rupiah), sehingga berdasarkan aturan tersebut

guna meningkatkan tugas dan kewenangan Badan POM melakukan kerjasama dengan

Bareskrim Polri untuk melakukan sistem pengawasan yang lebih efektif dan efesien

dalam melindungi keselamatan konsumen dari berbagai produk yang tidak rasional,

dan untuk mengedukasikan kepada masyarakat, Balai Besar Pengawas Obat Dan

Makanan Di Pekanbaru (BBPOM) melakukan kerja sama dengan Ikatan Apoteker

Indonesia (IAI) melalui penyebaran leaflet, edukasi langsung agar masyarakat tidak

membuang sampah obat bekas sembarangan dan dalam menangani kasus tersebut

BBPOM di Pekanbaru memiliki program Nasional POIPO (Pemberantasan Obat

llegal Dan Penyalah Gunaan Obat).

Menurut bapak Dr. Rudi Pardede, S.H.,M.H. selaku anggota Reserse dan

Pengacara di Polresta Pekanbaru mengenai pelaksanaan yang diatur pada Pasal 197 Jo

198 aturan tersebut telah memuat sanksi pidana kurungan dan denda yang seharusnya

aturan ini dapat memberikan efek jera bagi para pelaku yang melakukan pembelian

obat bekas di tempat pembuangan sampah, baik itu laporan dari masyarakat maupun

temuan oleh penyidik itu sendiri, mengenai pembelian obat bekas dan/atau

kedaluwarsa yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut

merupakan delik biasa (Gewone Delicten) tidak delik aduan (klacht delicten), yang
59
mana delik biasa (Gewone Delicten) merupakan tindak pidana yang dapat dituntut

tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan, akan tetapi jika perbuatan tersebut tidak

memenuhi unsur-unsur tindak pidana maka pelaku tersebut dapat lepas dari segala

tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) adapun unsur-unsur tindak pidana

tersebut adalah:

a. Adanya subjek.

b. Adanya unsur kesalahan.

c. Perbuatan bersifat melawan hukum.

d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang-Undang atau

perundangan dan terhadap yang melanggarnya diancam pidana.

e. Dalam suatu waktu, tempat dan keadaan tertentu.

Sedangkan delik aduan (klacht delicten), merupakan tindak pidana yang hanya

dapat dituntut apabila ada pengaduan dari orang yang dirugikan seperti pencemaran

nama baik.53 Namun dari hasil penelitian yang penulis lakukan dilapangan, diketahui

bahwa transaksi jual beli obat-obatan bekas dan/atau kedaluwarsa sangat marak terjadi

dikalangan masyarakat ditempat pembuangan sampah.54 Dari hasil wawancara yang

penulis lakukan terhadap oknum pembeli obat bekas yang sering disapa sebagai Obet

tersebut yang menyatakan bahwa obat-obatan yang dibeli dari para pemulung yang

didapat dari tumpukan sampah tersebut akan di jual kembali ke penampung besar

yang berada di Jakarta dan juga akan disalurkan ke berbagai klinik dan apotek yang

telah melakukan kerja sama dengan oknum tersebut,55 dari sumber Republika.co.id,

penulis mendapatkan informasi bahwa obat-obatan bekas dan/atau kedaluwarsa yang

53
Hasil waancara dengan bapak Dr. Rudi Pardede, S.H.,M.H. di Polresta kota pekanbaru, 15 Maret
2021, pukul 17.30 Wib.
54
Hasil wawancara dengan ibu ayu selaku penjual obat bekas di tempat pembuangan samah, 5 April
2021, pukul 09.30 Wib.
55
Hasil wawancara dengan bapak Obet selaku pembeli obat bekas di tempat pembuangan sampah, 21
februari 2021, pukul 14.10 Wib.
60
dikumpulkan dari para pemulung kemudian diedarkan di pasar Pramuka Jakarta

Timur, jual beli obat-obatan bekas dan/atau kedaluwarsa tersebut terjadi pada Tahun

2011 sampai pada Tahun 2021 oleh oknum yang berbeda-beda,56 akan tetapi saat ini

pembeli obat bekas yang masih aktif dibidang tersebut melakukan transaksi jual beli

obat-obatan bekas di tempat pembuangan sampah yang terletak di Kecamatan Payung

Sekaki Kota Pekanbaru yang telah berlangsung selama 3 (tiga) bulan. 57 Terhitung

sejak bulan September sampai bulan November Tahun 2020 dan kemudian di bulan

Januari Tahun 2021 sampai saat ini pembeli obat bekas tersebut datang ke rumah-

rumah para pemulung untuk melakukan transaksi jual-beli obat-obatan bekas.58

Dari hasil penelitian penulis dengan 3 (tiga) orang responden selaku penjual

obat bekas menyatakan bahwa keuntungan yang diperoleh dari penjualan obat bekas

tersebut dapat membantu secara financial.59 dapat dipahami peran serta masyarakat

dalam menanggulangi kasus tersebut sangat dibutuhkan mengingat terjadinya siklus

jual beli obat-obatan bekas yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab

tersebut bermula dari kebiasaan masyarakat yang tidak memperhatikan tata cara

pembuangan obat bekas yang tidak lagi dikonsumsi yang seharusnya obat-obatan

tersebut tidak dibuang secara utuh akan tetapi obat bekas tersebut dibuang dengan

cara merobek kemasan secara keseluruhan sehingga tidak ada oknum yang mengambil

kesempatan untuk kepentingan pribadi.

Dari hasil wawancara penulis dengan ibu yenita selaku PFM Pelaksana

Lanjutan di BBPOM di Pekanbaru, dalam Link Instagram #bpompekanbaru yang

56
Hasil wawancara dengan bapak simon, selaku penjual obat bekas di tempat pembuangn sampah, 5
April. 2021, pukul 10.49 Wib.
57
Hasil wawancara dengan ibu joi di tempat pembuangan sampah selaku penjual obat bekas, 5 April
2021, pukul 10.35 Wib.
58
Hasil wawancara dengan bapak Iwan selaku penjual obat bekas di tempat pembuangan sampah, 5
April 2021, pukul 11.30 Wib.
59
Hasil wawancara dengan penjual obat bekas di tempat pembuangan sampah, 5 April 2021, pukul
12.00 Wib.
61
dikirim melalui aplikasi Whatsapp kepada penulis yang menyatakan dalam postingan

tersebut “waspada bahaya obat kedaluwarsa dan rusak di sekitaran kita”, sehingga

Balai Besar Pengawas Obat Dan Makanan Di Pekanbaru (BBPOM) melaksanakan

kegiatan “Ayo Buang Sampah Obat” adapun isi postingan tersebut sebagai berikut:

obat kedaluwarsa dan rusak ternyata dapat menimbulkan masalah serius bagi

kesehatan masyarakat apabila tidak dibuang dengan benar, waspada obat illegal

sebagai upaya untuk mengurangi peredaran obat illegal dan penyalahgunaan, yang

disampaikan oleh Wakil Gubernur Riau Bapak Edy Natar Nasution pada saat

membuka acara tersebut secara resmi di area CFD Pekanbaru. Wakil Gubernur Riau

juga menyerukan kepada masyarakat agar tidak sembarangan membuang obat yang

sudah kedaluwarsa dan rusak karena kemungkinan indikasi tindak kejahatan oleh

pihak yang tidak bertanggung jawab seperti tindakan melakukan

perubahan/perpanjangan tanggal kedaluwarsa secara sengaja terhadap obat yang telah

kedaluwarsa dan dapat merugikan kesehatan masyarakat apabila mengonsumsinya.

B. Hambatan Di Dalam Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

Tentang Kesehatan Terhadap Orang Yang Tidak Memiliki Kewenangan Untuk

Melakukan Praktik Jual Beli Obat-Obatan Bekas Dan/Atau Kedaluwarsa Di

Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru.

Hukum merupakan seperangkat aturan yang dibuat oleh pejabat berwenang

yang memuat norma dan sanksi untuk mengatur tingah laku manusia dengan tujuan

untuk memberikan keadilan dan ketertiban agar tidak terjadi kekacauan, yang mana

hukum bersifat mengatur, memaksa, dan melindungi, sehingga terdapat dua teori

tentang tujuan hukum yaitu teori etis dan teori utilities, teori etis bertujuan untuk

mencapai keadilan sedangkan teori utilities bertujuan untuk memberikan manfaat bagi

banyak orang sehingga terdapat 5 (lima) Hambatan dari penegakan hukum itu sendiri
62
diantaranya ialah:

a. faktor hukum

b. faktor penegak hukum

c. faktor sarana atau fasilitas

d. faktor masyarakat dan

e. faktor budaya

ubi societas ibi ius dimana ada masyarakat disitu ada hukum, maka eksistensi hukum

sangat di perlukan dalam mengatur kehidupan manusia, Menurut ibu yenita selaku

PFM Pelaksana Lanjutan BBPOM di Pekanbaru menjelaskan bahwa BBPOM di

Pekanbaru sampai saat ini belum pernah menjumpai kasus jual beli obat-obatan bekas

dan/atau kedaluwarsa di tempat pembuangan sampah, namun jika ditemukan kasus

tersebut maka akan ditindaklanjut sesuai dengan peraturan Perundang-Undangan yang

berlaku.

Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan dengan bapak DR. Rudi

Pardede S.H.,M.H, yang mengatakan bahwa hambatan di dalam Pelaksanaan Undang-

Undang tersebut dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat itu sendiri dalam

mencegah peredaran obat-obatan bekas dengan cara melaporkan oknum tersebut

kepihak berwajib sehingga kasus tersebut dapat diproses sesuai dengan ketentuan

peraturan Perundang-Undangan, namun kasus tersebut tidak pernah dijumpai dan

tidak adanya masyarakat yang melapor perbuatan tersebut kepihak berwajib sehingga

pihak Kepolisian tidak pernah menangani kasus tersebut di Polresta Pekanbaru, akan

tetapi jika ditemukan kasus tersebut maka akan di proses sesuai dengan ketentuan

peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.

Menurut bapak Risky, selaku mantan oknum pembeli obat-obatan bekas dan

atau kedaluwarsa yang pernah menggeluti pekerjaan tersebut selama 2 (dua) Tahun
63
lamanya, menyebutkan bahwa masyarakat setempat pernah melaporkan perbuatannya

kepihak Kepolisian pada Tahun 2016, akan tetapi perbuatan tersebut diselesaikan

melalui jalur perdamaian, dan hanya mendapatkan nasihat dari pihak kepolisian untuk

tidak mengulangi kesalahan tersebut dan berjanji untuk tidak melakukan pembelian

obat bekas dikemudian hari, sehingga ia lepas dari segala tuntutan hukum,60 dan

berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan dengan bapak Hutasoit yang

mengatakan bahwa, oknum pembeli obat bekas tersebut pernah di tangkap oleh pihak

Kepolisian sebanyak 4 (empat) orang di tempat pembuangan sampah saat melakukan

transaksi jual beli obat-obatan bekas dengan para pemulung karena adanya laporan

dari masyarakat setempat terhitung sejak Tahun 2011 sampai pada Tahun 2016, 61

berdasarkan hal tersebut menyatakan bahwa salah satu faktor penghambat dalam

pelaksanaan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan terhadap

praktik jual beli obat-obatan bekas dan/atau kedaluwarsa di Kecamatan Payung

Sekaki Kota Pekanbaru ialah penegak hukum itu sendiri yakni Kepolisian dan

BBPOM di Pekanbaru, yang tidak adanya memberikan upaya represif yang dilakukan

oleh pihak Kepolisian dan BBPOM kepada oknum pembeli obat bekas tersebut yang

dapat memberikan efek jera, yang mana pihak Kepolisian yang merupakan bagian dari

sistem Pemerintahan yang seharusnya dapat memberikan rasa aman dan nyaman

kepada masyarakat terkait peredaran obat-obatan bekas dikalangan masyarakat, malah

menjadi penghambat dalam penegakan hukum itu sendiri yang mengakibatkan krisis

kepercayaan terhadap Aparat penegak hukum. Berdasarkan asas legalitas menjelaskan

bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan

60
Hasil wawancara dengan bapak risky selaku mantan pembeli obat bekas di tempat pembuangan
sampah, 13 Maret 2021, pukul 10.00 Wib.
61
Hasil wawancara dengan bapak hutasoit selaku pemulung di kecamatan payung sekaki, 5 April
2021, pukul 11.00 Wib.

64
perundang-undangan pidana yang telah ada (nullum delictum nulla poena sinepraevia

lege poenali), hal ini disepakati oleh bapak Dr. Rudi Pardede, S.H., M.H. selaku

anggota Reserse dan Pengacara di Polresta Pekanbaru bahwa suatu perbuatan tidak

dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan Perundang-Undangan pidana

yang telah ada, hal ini tidak memenuhi unsur yang terkandung di dalam pasal 197

yang dapat menjerat perbuatan pembeli obat bekas tersebut. Pasal 197 yang

seharusnya setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan

sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana

dimaksud dalam pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15

(lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima

ratus juta rupiah). Pasal 198 setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan

kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam

pasal 108 dipidana dengan pidana paling banyak Rp. 100.000,00 (seratus juta rupiah).

Pasal 108 ayat 1 praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian

mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian

obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan

obat, bahan obat, dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang

mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-

Undangan.

Menurut pandangan penulis bahwa pembeli obat bekas yang disebut sebagai

Obet dapat dijerat jika dihubungkan dengan pasal 378 KUHP tentang penipuan yang

berbunyi “barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang

lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu atau martabat palsu,

dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakkan orang

lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya membeir hutang
65
maupun menghapuskan hutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara

paling lama 4 (empat) tahun, karena praktik jual beli obat-obatan bekas yang

dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut memenuhi unsur-unsur

penipuan antara lain:

1. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan

hukum.

2. Dengan menggunakan salah satu atau lebih alat penggerak penipuan (nama palsu,

martabat palsu/keadaan palsu, tipu muslihat, dan rangkaian kebohongan)

3. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang, atau memberi

utang, atau menghapus utang.

Selain Pasal penipuan, pembeli obat bekas yang disapa sebagai obet tersebut juga

dapat dijerat berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

perlindungan konsumen ayat 2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang

yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara

lengkap dan benar atas barang dimaksud. ayat 3 Pelaku usaha dilarang

memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan

tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

Menurut penulis dengan adanya pasal ini telah memenuhi unsur untuk menjerat

pembeli obat bekas tersebut, dari Link Instagram yang dikirim pihak Balai Besar

Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) kepada penulis mengenai anjuran membuang

sampah obat dengan benar menimbulkan berbagai pertanyaan dari penulis dan juga

kekeliruan yang tidak rasional, yang mana pada umumnya tiap segala sesuatunya

memiliki asal mulanya yang artinya pihak BBPOM pernah menggelar aksi membuang

sampah obat dengan benar untuk menghindari penyalahgunaan obat oleh oknum yang

tidak bertanggung jawab, akan tetapi sampai saat ini pihak Balai Besar Pengawas
66
Obat dan Makanan (BBPOM) mengatakan belum pernah menjumpai dan menangani

kasus tersebut, dalam hal ini dapat dilihat bahwa sistem pengawasan yang dilakukan

oleh Balai Besar Pengaas Obat dan Makanan di Pekanbaru (BBPOM) belum berjalan

dengan baik sebagaimana mestinya Mengingat BBPOM merupakan unit pelaksanaan

teknis oprasional dibidang pengawasan obat dan makanan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang dipercaya untuk mengawasi sistem peredaran

obat yang terjadi ditengah-tengah masyarakat

C. Upaya Mengatasi Hambatan Di Dalam Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 36

Tahun 2009 Tentang Kesehatan Terhadap Orang Yang Tidak Memiliki

Kewenangan Untuk Melakukan Praktik Jual Beli Obat-Obatan Bekas Dan Atu

Kedaluarsa Di Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru

Pada dasarnya untuk mencapai keberhasilan dari suatu peraturan yang

ditetapkan oleh pejabat berwenang harus adanya kesadaran dari setiap individu

tersebut untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum, terutama bagi para

penegak hukum yang merupakan ujung tombak dari keberhasilan suatu peraturan

yang dibuat untuk setiap orang. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang

kesehatan yang mengatur mengenai larangan kepada setiap orang yang tidak memiliki

kewenangan untuk melakukan praktik jual beli obat-obatan bekas dan/atau

kedaluwarsa seharusnya dapat diwujudkan dengan memberikan efek jera terhadap

oknum yang tidak bertanggung jawab tersebut, dengan cara memberikan upaya

represif yang artinya, memberikan penindakan dengan menangkap pelaku dan

menghukum sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku,

karena jika tidak adanya upaya represif yang dilakukan oleh penegak hukum maka

siklus jual beli obat-obatan yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab

tersebut tidak akan berhenti dan semakin marak terjadi ditengah-tengah masyarakat
67
luas.

Dari sumber Republika.ac.id, penulis menemukan informasi bahwa pada

Tahun 2016 di Pasar Pramuka Jakarta Timur pernah dilakukan pemeriksaan oleh

pihak Penyidik yakni Kepolisian, terkait peredaran obat bekas dan kedaluwarsa yang

dikumpulkan oleh sejumlah pelaku dari para pemulung yang kemudian dilakukan

pembubaran pasar oleh pihak Kepolisian guna mengatasi peredaran obat bekas, dari

sumber TRANS TV Official penulis menemukan informasi bahwa 90% pedagang

penjual obat di Jakarta menjual obat bekas yang mana obat-obatan tersebut di

kumpulkan dari berbagai daerah yang salah satunya dari Pekanbaru oleh oknum yang

tidak bertanggung jawab,62 dan dari sumber Metro News.com penulis menemukan

informasi bahwa pembeli obat bekas tersebut berasal dari padang dan jawa, 63

kemudian pada Tahun 2018 oknum penjual obat bekas dan kedaluwarsa kembali

ditemukan oleh pihak Kepolisian di Jakarta Barat sedang melakukan penjualan obat di

toko oknum tersebut, yang kemudian pihak Kepolisian Jakarta Barat melakukan

upaya represif sehingga di jatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat

selama 2 (dua) Tahun 8 (delapan) bulan kurungan penjara, akan tetapi khususnya di

Kota Pekanbaru terdapat beberapa apotek yang ditutup oleh Balai Besar Obat Dan

Makanan (BBPOM) karena telah melakukan pelanggaran berat, yaitu menjual obat

kedaluwarsa dan obat ilegal tanpa izin edar namun hanya dilakukan sanksi

administrasi yaitu penutupan secara sementara.

Sehingga upaya untuk mengatasi hambatan tersebut ialah perlunya ketegasan

oleh pihak Kepolisian dan BBPOM terutama di kota Pekanbaru karena jika tidak

adanya ketegasan oleh penegak hukum maka masyarakat yang menjumpai kasus

62
Trans Tv Official.com, hati-hati! Obat bekas yang berbahaya ternyata dijual ditoko,, (online)
https://youtu.be/O4a0MMovCYI, diakses pada hari minggu tanggal 9 Mei 2021 pukul 14.03. Wib.
63
Metro news com, pengakuan pemulung obat bekas,, (online) https://m.medcom.id/video/nsi/Rb
17GEzK-pengakuan-pemulung-obat-bekas, diakses pada hari minggu 9 Mei 2021 Pukul 14.10
68
tersebut tidak akan melakukan pelaporan kembali, dan upaya yang harus dilakukan

untuk mengatasi hambatan didalam pelaksanaan tersebut ialah perlunya peningkatan

pengawasan langsung oleh Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di

Pekanbaru mengingat BBPOM merupakan unit pelaksana teknis dari BPOM itu

sendiri, yang mana pengawasan seharusnya tidak hanya di lakukan pada saat sebelum

produk tersebut beredar (Pre-Market) dan pada saat produk tersebut telah beredar

(Post-Market), akan tetapi pengawasan tersebut juga harus dilakukan ditempat

pembuangan sampah yang menjadi siklus peredaran jual beli obat-obatan oleh oknum

yang tidak bertanggung jawab, selain dari penegasan yang dilakukan oleh pihak

Kepolisian, dan peningkatan pengawasan oleh Balai Besar Pengawas Obat dan

Makanan (BBPOM), juga harus melakuan revisi terhadap peraturan mengenai pelaku

pembeli obat bekas yang dikenal dengan Obet, permasalahan yang ada pada saat ini

bahwa peraturan hanya mengatur mengenai penjelasan Pasal tersebut bahwa

penjualan obat hanya dapat di lakukan oleh mereka yang memiliki keahlian dan izin

dari Pemerintah, penjelasan tersebut tidak merumuskan mengenai penjual obat yang

dilakukan oleh Obet selaku pembeli obat bekas, sehingga tidak memenuhi unsur-

unsur dalam menjerat pelaku penjual obat bekas, dengan adanya perubahan terhadap

peraturan tersebut dengan merumuskan penjualan obat bekas oleh Obet maka pelaku

tersebut dapat dijerat dan menerima pemidanaan.

Di sisi lain, pembeli obat bekas tidak akan berjalan apabila tidak ada pihak

yang mendukung, seperti masyarakat yang menjual sisa obat bekas terhadap pembeli

obat bekas, masyarakat masih berpikir dengan menjual sisa obat tersebut dapat

memperoleh keuntungan daripada membuang obat bekas tanpa memperoleh

keuntungan. Prinsip ini harus diubah karena juga dapat merugikan konsumen yang

membeli obat bekas dan tentunya akan memiliki dampak yang buruk terhadap tubuh
69
konsumen yang mengkomsumsi obat bekas, menciptakan kesadaran dari diri sendiri

merupakan langkah awal yang besar untuk melakukan perubahan dan menciptakan

kenyamanan dan kestabilan sebagai akibat dari pelaksanaan peraturan.

70
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan pada bab-bab

sebelumnya, maka akhirnya didapatilah dan ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaksanaan terhadap praktik jual beli obat-obatan bekas dan/atau

kedaluwarsa, Secara teori yang mengatur mengenai kesehatan, farmasi,

alat kesehatan, tenaga kesehatan, obat, dan pelayanan kesehatan, diatur

dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,

sehingga pelaksanaan ini telah memuat berbagai tata cara penanganan dan

kerja sama yang baik untuk memberantas oknum yang tidak bertanggung

jawab yang melakukan pembelian obat bekas di tempat pembuangan

sampah, baik itu kerjasama yang dibangun antara pihak Balai Besar

Pengawas Obat dan Makanan di Pekanbaru dengan Bareskrim Polri dan

juga kerjasama dengan IAI (Ikatan Apooteker Indonesia) melalui

penyebaran leaflet, edukasi langsung agar masyarakat tidak membuang

sampah obat bekas sembarangan dan dalam menangani kasus tersebut

BBPOM di Pekanbaru memilliki program Nasional POIPO

(Pemberantasan Obat Ilegal Dan Penyalah Gunaan Obat).

2. Adapun hambatan pelaksanaan terhadap praktik jual beli obat-obatan

bekas dan/atau kedaluwarsa ialah lemahnya peraturan yang mengatur

perbuatan tersebut, yang mengakibatkan banyaknya pihak-pihak yang

tidak bertanggung jawab mengambil keuntungan dari kelemahan Undang-

Undang tersebut, yang mana dalam asas legalitas menjelaskan bahwa

71
suatu perbuatan tidak dapat di pidana, kecuali berdasarkan kekuatan

ketentuan Perundang-Undangan pidana yang telah ada, yang artinya

perbuatan yang seharusnya dapat dijerat guna memberikan efek jera

terhadap oknum yang tidak bertanggung jawab, tidak dapat di pidana, serta

tidak adanya upaya represif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum

yakni kepolisian yang mana pihak kepolisian hanya menyelesaikan kasus

tersebut melalui jalur perdamaian.

3. Adapun upaya untuk mengatasi hambatan tersebut ialah perlunya

kesadaran untuk menciptakan kepastian hukum serta kesadaran oleh

Pejabat Berwenang dan Pemerintah untuk membuat suatu peraturan

Perundang-Undangan yang dapat menjerat oknum pembeli obat bekas,

guna memutus siklus peredaran obat-obatan bekas dan/atau kedaluwarsa di

kalangan masyarakat luas yang berdampak buruk bagi kesehatan,

mengingat kasus tersebut telah berlangsung sejak tahun 2011 sampai saat

ini, dan dari beberapa media yang penulis dapatkan bahwa khususnya

Negara Indonesia mengalami kerugian sebesar 3 (tiga) triliun per Tahun

akibat peredaran obat palsu yang berasal dari pembelian obat bekas yang

dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab di tempat

pembuangan sampah, yang juga dapat merugikan kesehatan para

konsumen yang mengkonsumsi obat-obatan tersebut. Suatu edukasi dan

juga pengawasan yang dilakukan oleh pihak BBPOM tidak ada maknanya

jika tidak disertai dengan penindakan secara represif.

B. SARAN

Sesuai dengan kesimpulan diatas, penulis menyampaikan saran sebagai

berikut:
72
1. Disarankann kepada pihak Pemerintah untuk melakukan revisi atau

pembuatan suatu aturan baru, yang secara tegas mengatur mengenai

larangan pembelian obat bekas dan/atau kedaluwarsa di tempat

pembuangan sampah oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, karena

hal tersebut sangat merugikan kesehatan para konsumen yang

menggunakan obat tersebut, dan juga kepada aparat penegak hukum yakni

Kepolisian serta Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan di Pekanbaru

untuk menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional dan lebih

meningkatkan sistem pengawasan dibidang peredaran obat-obatan bekas

dan/atau kedaluwarsa di kalangan masyarakat.

2. Saran terhadap konsumen selaku pengguna suatu produk untuk lebih

memperhatikan media online terkait tata cara pengenalan obat yang rasional

yang aman untuk dikonsumsi agar tidak tertipu dengan produk-produk yang

dapat merugikan kesehatan serta untuk tidak membuang sisa obat secara

sembarangan agar tidak disalah gunakan.

3. Adapun saran penulis kepada pembeli dan penjual obat bekas ialah untuk

lebih memperhatikan dampak dari suatu perbuatan yang dilakukan, karena

hal tersebut sangat berdampak, terutama bagi kesehatan, tidak dapat

dipungkiri bahwa faktor ekonomi menjadi alasan utama perbuatan tersebut,

namun perlu diketahui bahwa setiap perbuatan ada konsekuensinya.

73

Anda mungkin juga menyukai