Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH

PERILAKU ETIKA DAN PROFESI

APOTEK ONLINE

Disusun oleh :

FIRDA DAMAYANTI (P17335117023)


AYATILLA NIRMALASARI (P17335117034)
RADEN AJENG MUFIDAH M (P17335117038)
RAMLAN IRAWAN (P17335117040)

POLTEKKES KEMENKES BANDUNG


JURUSAN FARMASI
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Seiring dengan berkembangnya zaman, kebutuhan akan sesuatu yang serba instan, mudah
dan praktis menjadi primadona di khalayak ramai. Banyaknya fasilitas yang menyediakan
berbagai pelayanan dari jual beli, jasa hingga kebutuhan komunikasipun semakin berkembang
dengan pesartnya. Dengan berkembangnnya jaringan internet yang semakin memanjakan
masyarakat, turut serta memberikan dampak yang mempengaruhi keseimbangan dalam
perekonomian dewasa ini. Dampak positif dan negative mulai dirasakan, ditandai dengan
semakin menjamurnya smartphone yang denganmudahnyamengakses apapun yang dibutuhkan
melalui jaringan internet. Dengan perkembangan teknologi ini juga ikut eksis dalam dunia
kesehatan terutama kefarmasian. Banyaknya manfaat dari jaringan internet dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang jeli membaca peluang usaha untuk menjadikan lahan bisnis yang
menguntungkan.

Perkembangan teknologi informasi dimanfaatkan oleh setiap orang dalam penjualan obat
melalui media online, sehingga berkembang apotek online, toko obat online atau situs-situs di
internet yang menawarkan dan menjual berbagai produk farmasi berupa obat keras, obat
golongan narkotika atau golongan psikotropika, obat tradisional, obat herbal dan suplemen
kesehatan. Dengan keadaan seperti ini, masyarakat dengan mudah mendapatkan obat-obatan
tersebut sehingga sangat rentan dapat disalahgunakan pemakaiannya atau tidak sesuai
peruntukannya, yang dapat beresiko untuk kesehatan bahkan dapat menimbulkan korban.
Perkembangan penjualan obat melalui media online bergerak pesat, sementara Indonesia belum
memiliki regulasi mengenai penjualan obat melalui media online. Banyak kasus yang terjadi di
lapangan akibat penjualan obat melalui media online. Oleh sebab itu dalam tulisan ini akan
membahas permasalahan mengenai urgensi pembentukan regulasi mengenai penjualan obat
melalui media online dan apa saja yang perlu diatur dalam pengaturan penjualan obat melalui
media online yang sangat berpengaruh terhadap keamanan dan keselamatan masyarakat serta
bertujuan untuk menertibkan penjualan obat melalui media online.
apotek online merupakan salah satu inovasi baru dalam dunia kefarmasian dengan
memanfaatkan jaringan internet. Namun seperti yang kebanyakan dirasakan, terdapat efek positif
dan negative dari inovasi ini, setelah dilakukannya kajian terkait isu tersebut, maka banyak pro
dan kontra dikalangan mahasiswa terkait adanya apotek inline saat ini.

Sisi negaif Apotek online

1. Belum ada ijin khusus / Regulasi khusus tentang apotek on-line, sehingga Ada
kemungkinan apotek online tidak memiliki apoteker berSIPA/STRA
2. Tidak ada jaminan Apotek on-line memiliki bangunan/fasilitas fisik yang memenuhi
persyaratan (pelayanan/penyimpanan obat/arsip-administrasi/pengiriman)
3. Resep yang dilayani Tidak ada jaminan keasliannya
4. Tidak ada Jaminan Apotek on-line mendapatkan obat dari Distributor resmi/legal
5. Sebagian besar apotek online melayani/menjual langsung obat keras tanpa
memerlukan resep dokter
6. Kegiatan pengiklanan yang “berlebihan” , yang mengarah pada pelanggaran etika
7. Resep hasil scan bisa diedit oleh pembeli/pengguna Kemungkinan membeli resep di
lebih dari 1 apotek online (karena yang diminta scan resep)
8. Kemungkinan obat yang dijual bisa saja underdose, ED, dan atau palsu 6. Kerahasiaan
resep dan pasien tidak terjamin 7. Tidak ada jaminan bukan “penipuan”.

Pada tahun 2016 Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dibantu Kementerian
Komunikasi dan Informatika RI, telah menginvestigasi dan menemukan 214 situs yang
digunakan dalam penjualan dan peredaran obat. Dari 214 situs, BPOM menemukan 129 situs
yang menjual obat ilegal dan palsu. Kerugian negara atas penjualan obat palsu dan obat ilegal
tersebut mencapai Rp 5.593.200.000, selain itu menyita 1.312 barang farmasi ilegal, termasuk
yang palsu dengan nilai ekonomi lebih dari 56 miliar rupiah.15 129 situs yang menjual obat
palsu dan obat ilegal sudah diblokir16 tetapi kemudian muncul kembali dengan nama yang
berbeda.

Pada tahun 2017 BPOM telah melaporkan 118 situs penjual obat-obatan melalui media
online. Situs tersebut berpotensi digunakan untuk penjualan obat keras dan terlarang. Dari 118
situs tersebut, sebanyak 98 situs telah diblokir oleh pihak Kementerian Komunikasi dan
Informatika RI.

Akibat bebasnya penjualan obat melalui media online, maka setiap orang dengan mudah
mendapatkan berbagai jenis obat, yaitu obat keras, obat narkotika dan obat psikotropika tanpa
resep dokter. Penggunaan obat keras tanpa anjuran dari dokter bisa menyebabkan efek samping
yang membahayakan kesehatan. Belum lagi pengobatan swadaya tanpa keilmuan kedokteran
yang tepat bisa memperburuk kondisi penyakit seseorang. Keadaan demikian mengakibatkan
muncul kasus-kasus penyalahgunaan obat yang dapat menimbulkan korban, seperti masalah
resistensi antibiotik. Hal ini sudah menjadi rahasia umum bahwa resistensi antibiotik meningkat,
salah satunya disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan indikasi dan
irasional.
BAB II

PEMBAHASAN

1.1. Regulasi tentang Apotek

Sudah banyak penjualan obat melalui media online dilakukan oleh pelaku usaha di bidang
farmasi, tetapi sampai saat ini pemerintah belum mengeluarkan regulasi terkait penjualan obat
secara online. Di era digital ini, para pelaku usaha yang umumnya tidak mengenal dan tidak
memiliki wewenang dalam menjual obat membuat sistem penjualan online yang inovatif, yang
hanya mencoba menangkap peluang bisnis bidang farmasi. Terdapat banyak permasalahan
hukum menyangkut penjualan obat melalui media online, seperti resiko kesehatan dari obat yang
salah atau obat palsu serta alergi yang mungkin dialami oleh konsumen yang tidak diketahui oleh
farmasist ketika menawarkan obat secara online.

Secara yuridis sudah ada beberapa regulasi terkait penjualan obat dan penggolongan obat,
namun masih terdapat kelemahan dari regulasi tersebut, antara lain:

1.1.2. Peraturan Menteri Kesehatan No. 917 Tahun 1993 tentang Wajib Obat Jadi (Permenkes
tentang Wajib Obat Jadi). Berdasarkan Permenkes tentang Wajib Obat Jadi, Pasal 1
angka 3 penggolongan obat terdiri atas obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, obat
narkotika dan obat psikotropika. Berdasarkan pedoman penggunaan obat bebas dan obat
bebas terbatas bahwa:
1. Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran, biasanya memiliki tanda
lingkaran hijau dan dapat dibeli tanpa resep dokter .
2. Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih
dapat dijual atau dibeli tanpa resep dokter dan disertai dengan tanda peringatan serta
memiliki tanda lingkaran biru.
3. Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda
khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis
tepi berwarna hitam.
4. Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada sususnan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Contoh Diazepam,
Phenobartial. Penyerahan obat psikotropika harus dengan resep dokter.
5. Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik
sintetis maupaun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan
menimbulkan ketergantungan. Obat ini pada kemasannya ditandai dengan lingkaran
yang di dalamnya terdapat tanda palang (+) berwarna merah. Contoh: Petidin.
Penyerahan obat narkotika harus dengan resep dokter.
1.1.3. Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2017 tentang Apotek (Permenkes tentang
Apotek). Dalam Pasal 12 ayat (1) Permenkes tentang Apotek mengatur bahwa pendirian
apotek wajib memiliki izin dari menteri yaitu Menteri Kesehatan. Dalam hal ini Menteri
Kesehatan dapat melimpahkan kewenangan pemberian izin apotek ke pemerintah daerah
kabupaten/kota.
1.1.4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 1331 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan
Menteri Kesehatan No 167 Tahun 1972 tentang Pedagang Eceran Obat (Kepmenkes
tentang Pedagang Eceran Obat). Dalam Kepmenkes tentang Pedagang Eceran Obat
bahwa toko obat36 atau pedagang eceran obat dalam menjual obat bebas dan obat bebas
terbatas wajib memiliki izin dari pemerintah kabupaten/ kota37 yang tentunya telah
memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan.

Anda mungkin juga menyukai