Anda di halaman 1dari 10

TELAAH YURIDIS PENYALURAN IMPOR SEDIAAN KEFARMASIAN MELALUI

JALUR ONLINE E-MARKETPLACE

PENDAHULUAN

Pada era digitalisasi yang semakin berkembang, perdagangan melalui platform online
atau e-marketplace telah menjadi fenomena yang signifikan di berbagai sektor, termasuk
sektor farmasi. Salah satu sektor farmasi yang terkena dampak adalah penyaluran impor
sediaan kefarmasian melalui jalur online e-marketplace.

Terdapat beberapa komponen dalam pelayanan kesehatan, dan tahap pengobatan


merupakan salah satu aspek yang tidak dapat diabaikan, karena obat memiliki peran penting
dalam pelayanan kesehatan. Dalam menjalankan operasionalnya, perusahaan farmasi
menghasilkan produk yang disebut obat, yang diatur oleh hukum melalui Pasal 1 angka 8
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Obat keras, yang dijelaskan
dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang – Undang Obat Keras (St. Nomor 419 Tanggal 22 Desember
1949), mencakup obat generic, obat wajib apotek (OWA), narkotik, dan psikotropik. Jika
suatu obat tidak memenuhi persyaratan, dapat berpotensi merusak kesehatan. Namun, obat
yang tidak memenuhi standar tersebut seringkali dijual secara online atau melalui media
sosial oleh produsen yang tidak memiliki izin. Menurut Pasal 30 Ayat 5 Undang-Undang
Kesehatan, setiap fasilitas kesehatan yang mendistribusikan obat wajib memiliki izin; karena
itu, tanpa izin dapat dikategorikan sebagai ilegal.

Penyaluran impor sediaan kefarmasian melalui jalur online e-marketplace memiliki


potensi memberikan akses yang lebih mudah dan cepat bagi masyarakat dalam memperoleh
produk farmasi yang dibutuhkan. Namun, fenomena ini juga menimbulkan berbagai isu dan
tantangan di bidang hukum.

Penelitian ini bertujuan untuk melakukan telaah yuridis terhadap penyaluran impor
sediaan kefarmasian melalui jalur online e-marketplace. Kami akan menganalisis aspek
hukum terkait, termasuk peraturan yang mengatur proses impor, perizinan, dan pengawasan
dalam konteks ini.

Metode penelitian yang akan digunakan adalah metode penelitian hukum normatif.
Kami akan menganalisis peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyaluran
impor sediaan kefarmasian melalui jalur online e-marketplace, serta membandingkannya
dengan praktek yang terjadi di lapangan.

PEMBAHASAN

Pemahaman mengenai peraturan impor obat ilegal dan distribusi obat melalui e-
marketplace di Indonesia sangat penting untuk memastikan keamanan dan kualitas obat yang
beredar di pasaran. Peraturan mengenai impor obat ilegal menurut undang-undang farmasi di
Indonesia tidak disebutkan secara eksplisit dalam hasil penelusuran. Namun, ada beberapa
peraturan terkait pengawasan dan pengelolaan obat-obatan di Indonesia yang mungkin
relevan dengan impor obat-obatan terlarang.

 Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 8 Tahun 2020 tentang
Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan Secara Daring
Peraturan ini melarang pihak ketiga memberikan informasi tentang obat selama
pengiriman dan mengizinkan apotek untuk mengantarkan obat kepada pasien secara
online.
Aturan ini mengindikasikan adanya upaya pengawasan terhadap peredaran obat
secara daring. Melarang pihak ketiga memberikan informasi obat selama pengiriman
bisa diartikan sebagai langkah untuk mengurangi risiko penyalahgunaan atau
penipuan terkait obat. Izin apotek untuk mengantarkan obat secara online
menunjukkan penyesuaian regulasi terhadap perkembangan teknologi dan e-
commerce.
 Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan 24 Tahun 2021 tentang
Pengawasan Pengelolaan Obat, Bahan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Zat
Adiktif Lainnya
Peraturan ini mengatur tentang pengelolaan obat-obatan, termasuk narkotika dan
psikotropika, serta membentuk organisasi dan tata kerja unit pelaksana teknis di
lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan Indonesia.
Peraturan ini menunjukkan fokus pada pengawasan dan pengelolaan obat-obatan,
termasuk yang bersifat adiktif dan berpotensi merugikan kesehatan masyarakat.
Pembentukan organisasi dan tata kerja unit pelaksana teknis memperlihatkan upaya
untuk meningkatkan efektivitas pengawasan di tingkat lembaga.
 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2023 tentang
Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi
Peraturan ini mengatur tentang penggunaan, penyimpanan, dan peredaran narkotika,
psikotropika, dan prekursor farmasi di Indonesia. Peraturan ini juga menetapkan
standar penelitian dan pengembangan terkait narkotika untuk tujuan kesehatan.
Regulasi ini menunjukkan perhatian khusus terhadap substansi-substansi yang
bersifat terlarang dan berpotensi membahayakan kesehatan masyarakat. Menetapkan
standar penelitian dan pengembangan dapat diartikan sebagai upaya untuk
memahami lebih baik substansi-substansi ini dan mungkin menemukan penggunaan
yang lebih aman atau pengobatan yang lebih efektif.
 Pasal 30 Ayat 5 Undang-Undang Kesehatan
Pasal 30 Ayat 5 Undang-Undang Kesehatan menetapkan persyaratan bahwa setiap
fasilitas kesehatan yang terlibat dalam distribusi obat wajib memiliki izin. Ini
menunjukkan bahwa distribusi obat, termasuk penyaluran melalui media online,
harus dilakukan oleh entitas atau fasilitas kesehatan yang telah memperoleh izin dari
otoritas kesehatan yang berwenang. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan
bahwa distribusi obat dilakukan dengan mematuhi standar keamanan dan kelayakan
yang ditetapkan oleh pihak berwenang.
 Pasal 98 Ayat 2 dan 3 Undang-Undang Kesehatan
1) Dilarang bagi siapa saja, kecuali apoteker, dokter, dokter gigi, dokter hewan, atau
tenaga kesehatan lain yang memiliki keahlian dan kewenangan tentang obat,
mendistribusikan obat.
2) Dilarang bagi siapa saja, kecuali apoteker, dokter, dokter gigi, dokter hewan, atau
tenaga kesehatan lain yang memiliki keahlian dan kewenangan tentang obat,
menyediakan obat.
Pasal 98 Ayat 2 dan 3 Undang-Undang Kesehatan mengatur larangan distribusi dan
penyediaan obat bagi mereka yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan tertentu.
Hanya apoteker, dokter, dokter gigi, dokter hewan, atau tenaga kesehatan lain yang
memiliki keahlian dan kewenangan dalam bidang obat yang diizinkan untuk
mendistribusikan dan menyediakan obat. Larangan ini diberlakukan untuk menjaga
keamanan dan kualitas obat yang beredar di masyarakat, serta untuk mencegah
praktik distribusi obat oleh pihak yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai
tentang obat.
Secara keseluruhan, tiga peraturan tersebut menunjukkan upaya pemerintah Indonesia
dalam meningkatkan pengawasan terhadap peredaran obat, bahan obat, narkotika, dan
psikotropika. Selain itu, penyesuaian regulasi dengan perkembangan teknologi dan
pengembangan standar penelitian menunjukkan respons terhadap dinamika dalam bidang
kesehatan dan farmasi.

Faktor Obat Keras Dan Obat–Obat Tertentu Dapat Beredar Melalui Media Online

Faktor-faktor tertentu memungkinkan obat keras dan obat tertentu dapat diperoleh
melalui media online. Perkembangan teknologi informasi dan internet menjadi hasil dari
evolusi informasi yang signifikan. Dampak positif dari perkembangan ini mencakup
interkoneksi jaringan dan kemudahan akses informasi. Meskipun demikian, evolusi ini juga
membawa dampak pada kehidupan sosial dan budaya, serta mendorong pemerintah untuk
merumuskan regulasi guna mengontrol masyarakat.

Peningkatan teknologi informasi juga memberikan kontribusi pada munculnya


kejahatan baru, seperti peredaran obat ilegal melalui internet, terutama melalui media sosial.
Maraknya toko online membuat sulitnya pengendalian terhadap peredaran obat tersebut.
Pasal 30 Ayat 5 Undang-Undang Kesehatan menegaskan bahwa distribusi obat wajib
memerlukan izin; oleh karena itu, penyaluran obat tanpa izin dapat dianggap ilegal.

Pasal 98 Ayat 2 dan 3 Undang-Undang Kesehatan melarang distribusi obat oleh


individu yang tidak memiliki keahlian atau kewenangan dalam bidang farmasi. Penjualan
obat keras dan tertentu secara online oleh pelaku usaha yang tidak memiliki sertifikasi
apoteker dianggap sebagai tindakan ilegal. Persyaratan pengelolaan, penyimpanan, dan
distribusi obat tertentu tidak dapat dijalankan oleh individu atau badan hukum yang tidak
memiliki izin dan sertifikasi dari pusat farmasi.

Meskipun produsen obat menjual produknya melalui media online, pemerintah


Indonesia belum membentuk regulasi khusus mengenai perdagangan obat secara online.
Sebagian besar produsen yang menjual obat melalui online tidak memiliki pengetahuan dan
kewenangan yang memadai, mereka hanya memanfaatkan peluang bisnis online yang lebih
sederhana. Dalam konteks penegakan hukum di Indonesia, struktur, substansi hukum, dan
budaya hukum memiliki peran dalam mengatasi tantangan tersebut. Diperlukan pemahaman
menyeluruh terhadap kompleksitas birokrasi penegakan hukum dan evaluasi terhadap
kesejajaran pandangan dalam menghadapi kejahatan serta penegakan hukum. Selain itu,
perumusan undang-undang yang baik, aspiratif, adil, dan dapat diimplementasikan juga
menjadi faktor kunci dalam menanggulangi kejahatan. Budaya hukum masyarakat juga
memiliki pengaruh signifikan terhadap efektivitas hukum di Indonesia.

Sanksi Pidana

Tindak pidana merupakan suatu bentuk perilaku penyimpangan yang hidup dalam
masyarakat, yang artinya tindak pidana akan selalu ada selama manusia masih ada di muka
bumi ini. Hukum sebagai sarana bagi penyelesaian problematika ini diharapkan dapat
memberikan solusi yang tepat. Salah satu kejahatan dalam hukum kesehatan yang marak
terjadi pada saat ini adalah kejahatan dibidang farmasi yaitu pengedaran sediaan farmasi
tanpa izin edar atau tidak terdaftar di Badan Pengawasan Obat Makanan RI.

Pengaturan mengenai tindak pidana pengedar sediaan farmasi tanpa izin edar diatur
dalam beberapa peraturan perundang-undangan. yaitu dalam Pasal 386 ayat (1) KUHP yang
berbunyi,

“Barangsiapa menjual, menawarkan atau menyerahkan barang makanan atau minuman atau obat,
sedang diketahuinya bahwa barang-barang itu dipalsukan dan kepalsuan itu disembunyikan,
dihukum penjara selama-lamanya empat tahun”

Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 8 ayat
(1) butir a “Pelaku usaha di larang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau
jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standard yang dipersyaratkan dan
ketentuan peraturan perundang-undangan; sedangkan ketentuan tindak pidana nya diatur
dalam pasal 62 ayat (1) “ Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 13 ayat (2) pasal 15, pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b,
huruf c huruf e, ayat (2), dan pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

Lebih lanjut Undang – Undang No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 106 ayat
(1) “Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah mendapat izin
edar”. Ketentuan mengenai tindak pidana mengedarkan sediaan farmasi diatur dalam Pasal
197 sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat
kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp.1.500.0000.0000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).”

Ketentuan pidana yang diatur dalam peraturan undang-undangan bertujuan untuk


menghindari terjadinya penyalahgunaan atau penyimpangan dalam menggunakan sediaan
farmasi/alat kesehatan yang dapat membahayakan masyarakat oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab. Walaupun tindak pidana pada Pasal 386 KUHP terdapat bebarapa
kelemahan, hanya mengatur mengenai perbuatan melawan hukum pendistribusian obat palsu
(menjual, menawarkan, atau menyerahkan) sedangkan untuk pelaku yang memproduksi obat
palsu belum diatur secara jelas dalam Pasal 386 KUHP. Dengan tidak diaturnya mengenai
produsen obat palsu maka terdapat kesulitan dalam menindak para produsen obat palsu,
selain itu sanksi yang diberikan dalam KUHP juga masih terlalu ringan yaitu berupa ancaman
pidana penjara maksimal empat tahun, dan tidak ada sanksi mengenai denda, padahal
keuntungan yang besar dan kerugian yang ditimbulkan bagi para konsumen obat juga
tidaklah sedikit.

Selanjutnya pada pasal 63 ayat (1) , Undang undang No. 8 tahun 1999 tentang
perlindungan Konsumen pelaku tindak pidana di kenai ancaman pidana penjara selama 5
(lima ) tahun namun dengan diterbitkanny Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan pada Pasal 197, ancaman tindak pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda
paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan Pasal 201 ayat
(1) dalam hal tindak pidana dimaksud dalam 190 ayat (1), pasal 191, pasal 192, pasal 197,
pasal 198, pasal 199 dan pasal 200 dilakukan oleh korporasi selain pidana dan denda
terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda
dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam pasal 190
ayat (1), pasal 191, pasal 192, pasal 197, pasal 198, pasal 199 dan pasal 200 . Sehigga
dengan berlakunya Sanksi pidana bagi pelaku pengedar sediaan farmasi tanpa izin edar
hendaknya berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang kesehatan,
karena sanksi pidananya lebih berat dibandingkan dengan KUHP dan Undang-Undang
Perlindungan Konsumen
Analisis Teori Sistem Hukum dan Dampaknya terhadap Peredaran Obat Melalui Media
Online di Indonesia

Dalam kerangka teori sistem hukum yang diajukan oleh Lawrence M. Friedman,
dapat dilihat bahwa peredaran obat keras dan tertentu melalui media online di Indonesia
dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam sistem hukum yang dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Struktur (Structure)
Struktur hukum di Indonesia mencakup lembaga penegak hukum seperti kepolisian,
kejaksaan, dan pengadilan. Namun, dalam konteks peredaran obat online, fokus
penegakan hukum masih terbatas. Tim cyber crime Polda Lampung, misalnya, belum
sepenuhnya aktif dalam memantau situs online yang menjual obat ilegal. Kurangnya
jumlah personil dan pengetahuan tentang dunia maya menjadi kendala. Keterbatasan
ini mengakibatkan keterlambatan dalam penindakan.
b. Substansi (Substance)
Ketidakjelasan regulasi terkait cybercrime di Indonesia, terutama yang berkaitan
dengan peredaran obat melalui online, menjadi hambatan utama. Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) belum memberikan sanksi pidana
khusus terkait peredaran obat secara ilegal melalui platform digital. Perlu adanya
revisi pada UU ITE untuk mencakup sanksi pidana terkait perdagangan obat secara
ilegal secara online.
Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2017 dan Perpres RI Nomor 80 Tahun 2017 dari
BPOM, yang seharusnya mengatur efektivitas pengawasan obat, juga dinilai kurang
jelas. Perlunya pembentukan peraturan hukum yang memberikan kewenangan dan
ketetapan hukum yang jelas bagi penegak hukum dalam menanggulangi penjualan
obat ilegal secara online.
c. Kultur Hukum (Legal Culture)
Kurangnya peran aktif masyarakat dalam memberikan informasi akurat kepada
kepolisian terkait peredaran obat melalui online disebabkan oleh rasa takut. Budaya
ketidaktahuan dan ketidakpedulian masyarakat terhadap peredaran obat keras secara
online juga menjadi faktor. Penjual online memanfaatkan perkembangan bisnis digital
dengan menghindari penegakan hukum, dan masyarakat cenderung memilih untuk
tidak melapor.
Diperlukan koordinasi aktif antara Polri dan BPOM serta peningkatan sarana dan
prasarana, seperti alat transportasi dan komunikasi, untuk mengatasi peredaran obat
secara online. Keterlibatan aktif masyarakat dalam memberikan informasi akurat juga
menjadi kunci dalam menanggulangi peredaran obat ilegal melalui platform digital.

KESIMPULAN

Dalam konteks peredaran obat keras dan tertentu melalui media online di Indonesia, dapat
diambil kesimpulan dari analisis teori sistem hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M.
Friedman sebagai berikut:

1. Struktur (Structure)

- Kurangnya aktifitas penegakan hukum dari pihak kepolisian, terutama tim


cyber crime, dalam memantau dan menindak peredaran obat ilegal secara
online.
- Keterbatasan jumlah personil dan kurangnya pengetahuan tentang dunia maya
menjadi hambatan utama dalam operasional penegakan hukum.

2. Substansi (Substance)

- Ketiadaan peraturan hukum yang spesifik dan tegas terkait cybercrime dan
perdagangan obat ilegal secara online.
- Perlunya revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE) untuk mencakup sanksi pidana terkait perdagangan obat secara ilegal
melalui platform digital.
- Ketidakjelasan regulasi, seperti Inpres Nomor 3 Tahun 2017 dan Perpres RI
Nomor 80 Tahun 2017 dari BPOM, menjadi kendala dalam efektivitas
pengawasan obat.

3. Kultur Hukum (Legal Culture)

- Kurangnya peran aktif masyarakat dalam memberikan informasi akurat


kepada pihak penegak hukum, disebabkan oleh rasa takut dan
ketidakpedulian.
- Masyarakat cenderung tidak mau melapor terkait peredaran obat keras secara
online.
- Budaya ketidaktahuan dan ketidakpedulian masyarakat terhadap peredaran
obat keras melalui online menjadi faktor yang mempermudah pelaku usaha
dalam menghindari penegakan hukum.

Dampak pada Peredaran Obat

- Penyaluran impor sediaan kefarmasian melalui jalur online e-marketplace


dapat memberikan akses yang lebih mudah bagi masyarakat, tetapi juga
menimbulkan isu dan tantangan di bidang hukum.
- Keberadaan obat ilegal yang dijual secara online tanpa izin dapat
membahayakan kesehatan masyarakat.
- Sanksi pidana yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan menjadi kunci dalam menanggulangi peredaran obat ilegal
secara online.

Rekomendasi:

- Perlu adanya revisi peraturan, terutama UU ITE, untuk mencakup sanksi


pidana yang lebih tegas terhadap perdagangan obat ilegal melalui platform
digital.
- Peningkatan koordinasi aktif antara Polri dan BPOM serta peningkatan sarana
dan prasarana untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum.
- Pendidikan dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai bahaya obat ilegal
serta pentingnya peran aktif dalam memberikan informasi kepada pihak
berwajib.

DAFTAR PUSTAKA

Nining & Yeni. (2019). "EDUKASI DAN SOSIALISASI GERAKAN MASYARAKAT


CERDAS MENGGUNAKAN OBAT (GEMA CERMAT)." Kesehatan Jurnal
Pengabdian Kepada Masyarakat (Indonesian Journal of Community Engagement),
5(1), 36–48. DOI: 10.22146/jpkm.32434.
Putra, D. A., Lestari, R., & Fitriani, R. (2014). "PENGAWASAN PENJUALAN OBAT
KERAS OLEH BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN PEKANBARU
BERDASARKAN UNDANG UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG
KESEHATAN." Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Hukum, 1(24), 1-15.
Rusmini, A., et al. (2017). "TINDAK PIDANA PENGEDARAN DAN
PENYALAHGUNAAN OBAT FARMASI TANPA IZIN EDAR MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN." Al-
Adl : Jurnal Hukum, 3(16), 23-44. DOI: 10.31602/al-adl.v8i3.674.
Setiawan, N., Gusti, A. I., & Wairocana, N. (2012). "IMPLEMENTASI PERIZINAN
PEREDARAN OBAT NARKOTIKA DI KOTA DENPASAR." Kertha Wicara :
Journal Ilmu Hukum, 1, 1-10.
Supardi, S., et al. (2012). "KAJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG PEMBERIAN INFORMASI OBAT DAN OBAT TRADISIONAL DI
INDONESIA." Jurnal Kefarmasian Indonesia, 2(1), 20–27. DOI:
10.22435/JKI.V2I1.4040.20-27.
Turisno, B. E. (2012). "PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM IKLAN OBAT."
Masalah-Masalah Hukum, 41(1), 20–28. DOI: 10.14710/MMH.41.1.2012.20-28.
Yansean. (2018, October 19). "Penjualan Obat Illegal Online." Kompasiana. Retrieved from
https://www.kompasiana.com/yansean/5a5b3496bde57568a17bc772/penjualan-obat-
ilegal-online.

Anda mungkin juga menyukai