Anda di halaman 1dari 28

Nama : Hepy Sriwahyuni

Nim : 11727201891
Mata Kuliah : Tindak Pidana Korupsi
Dosen : Firdaus, S.H., M.H.

Referensi Buku
TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH EVI HARTANTI, S.H., M.H.

RESUME I
Bab I
TINDAK PIDANA KORUPSI DAN PENEGAKAN HUKUM

Republik Indonesia adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan


Pancasila dan UUD 1945, yang menjunjung tinggi HAM, dan menjamin semua
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta
wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Termasuk dalam permasalahan tindak pidana, salah satu tindak pidana yang dapat
dikatakan cukup meresahkan adalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya
merugikan keuangan negara tetapi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat.
Di berbagai belahan dunia, korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih
dibandingkan dengan tindak pidana lainnya, mengingat dampak negatif yang
dapatmembahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, membahayakan
pembangunan sosial ekonopmi, politik, dan juga dapat merusaknilai-nilai
demokrasi, moralitas.
Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya dan
meluas di masyarakat. Seperti hasil survei Transparency International Indonesia
(TII) menunjukkan bahwa Indonesia masuk kedalam negara paling korup ke enam
dari133 negara yang disurvei pada tahun 2003. Dalam penyebaran korupsi ada
tiga sektor yang dianggap rawan terjadinya tindak pidana korupsi, yaitu: partai
politik, kepolisian, dan pengadilan. Kemudian kecendrungan masyarakat dalam
memberikan suap dalam sektor nonkonstruksi, pertahanan keamanan, migas,
perbankan, dan properti.
Pada lima tahun terakhir di era reformasi, tidak ada upaya pemberantasan
korupsi yang efektif, dimana pemerintah dianggap tidak sungguh-sungguh dalam
pemberantasan korupsi padahal tujuan dari reformasi adalahmemberantas KKN.
Kegagalan elit politik Indonesia dalam mengupayakan pemberantasan korupsi
jelas akan membahayakan demokrasi.
Korupsi di negara Indonesia telah masuk ke dalam tingkat kejahatan korupsi
politik. Korupsi politik dilakukan oleh orang atau institusi yang memiliki
kekuasaan politik, atau orang yang memiliki harta yang dapat melakukan
transaksional kolutif dengan pemegang kekuasaan, sehingga kejahatan yang
dilakukan telah tersistematis.
Merajalelanya korupsi adalah karena faktor perangkat hukumnya lemah.
Undang-Undang Nomor 3Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi atau yang dijuluki undang-undnag sapu jagat karena luasnya
jangkauannya. Kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
dan Tap. MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, dan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme. Dari undang-undang itu mencullah KPKPN (Komisi
Pemerikas Kekayaan Penyelenggara Negara). Kemudian KPKPN tidak berlaku
lagi setelah adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 dinyatakan tidak berlaku setelah adanya Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001. Diberlakukannya undang-undang korupsi adalah dimaksudkan untuk
menanggulangi dan memberantas korupsi.
Nama : Hepy Sriwahyuni
Nim : 11727201891
Mata Kuliah : Tindak Pidana Korupsi
Dosen : Firdaus, S.H., M.H.

Referensi Buku
TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH EVI HARTANTI, S.H., M.H.

RESUME II
Bab II
PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pengertian Tindak Pidana.


Dalam bahasa Belanda staafbaarfeit terdapat dua unsur pembentuk kata,
yaitu staafbaar yang artinya dapat dihukum, dan feit yang artinya kenyataan.
Sehongga arti staafbaarfeit adalah sebagai kenyataan yang dapat dihukum.
Pengertian staafbaarfeit menurut beberapa ahli:
1. Simons
Dalam rumusan staafbaarfeit adalah “tindakan melanggar hukum yang
telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh
undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dpat dihukum”.
2. E. Utrecht
Staafbaarfeit diterjemahkan sebagai istilah peristiwa pidana yang sering
disebut delik, karenaperistiwa itu disebut handelen atau doen-positif atau
suatu melalaikan nalaten-negatif,maupun akibatnya.
3. Pompe
Staafbaarfeit secara teoritis telah dirumuskan sebagai suatu “pelanggaran
norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja atau
tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di mana penjatuhan
hukuman terhadap pelaku itu adalah penting demi terpeliharanya tertib
hukumdan terjaminnya kepentingan umum.”.
4. Moeljatno
Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan yang mana
disertai sanksi berupapidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar
aturan tersebut. Atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang
hukum dan diancam dengan pidana asal saja dalam hal itu diingat bahwa
larangan itu ditujukan pada perbuatannya.

Unsur-unsur tindak pidana terbagi menjadi 2 yaitu:


1. Unsur subjektif
- Kesengajaan dan kelalaian
- Maksud dari suatu perbuatan (Pasal 53 ayat (1) KUHP)
- Sebagai maksud
- Merencanakan terlebih dahulu(Pasal 304 KUHP)
- Perasaan takut(Pasal 308 KUHP)
2. Unsur objektif
- Sifat melawan hukum
- Kualitas dari pelaku (Pasal 415 KUHP)
- Kausalitas (hubungan suatu tindakan penyebab dengan akibat)

Di dalam tindak pidana ada beberapa jenis tindak pidana, yaitu


pelanggaran dan kejahatan. Pembagian tindak pidanaini membawa hukum
materiil yaitu:
- UU tidak membuatperbedaan antara opzet dan culpa dalam suatu
pelanggaran
- Percobaan dalam suatu pelanggaran tidak dapat dihukum
- Keikutsertaan dalam pelanggaran tidak dapat dihukum
- Pelanggaran yang dilakukan pengurus dan anggota pengurus dan para
komisaris dapat dihukum apabila opelanggaran dilakukan terjadi
sepengetahuan mereka.
- Dalam pelanggaran tidak dapat ketentuan bahwa adanya pengaduan yang
menjadi syarat penuntutan.

B. Korupsi
1. Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio “penyuapan” dan
corruptore “merusak. Secara harfiah korupsi dapat diartikan dalam
beberapa bentuk, yaitu:
- Dalam Kamus Besar Bahasa Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris
korupsi artinya adalah kejahatan, kebusukan, dapatdisuap, tidak
bermoral,kebejatan, dan ketidakjujuran.
- Di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Korupsi adalah perbuatan
yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan
sebagainya.
- Korup (busuk; suka menerima uang sogok; memakai kekuasaan
untuk kepentingandiri sendiri), korupsi (perbuatan busuk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya), dan
koruptor (orang yang korupsi).
Dilihat secara harfiah korupsi merupakan sesuatu yang busuk, jahat, dan
merusak. Selain itu jika diartikan secara harfiah korupsi dapat diartikan
sangat luas dapat berupa penyelewengan, penggelapan, busuk, rusak,
menggunakan barang dll.
Menurut Subektidan Tjitrosoedibjo di dalam Kamus Hukum yang
dimaksud curruptie adalah korupsi; perbuatan curang; tindak pidana
yang merugikan keuangan negara.

2. Sifat korusi
- Korupsi yang bermotif terselubung
- Korupsi yang bermotif ganda.
3. Ciri-ciri korupsi
Ciri-ciri korupsi dijelaskan oleh Shed Husein Alatas dalam buku
Sosiologi Korupsi adalah sebagai berikut:
- Korupsi melibatkan lebih dari satu orang.
- Korupsi dilakukan secara rahasia.
- Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
- Mereka yang memperaktekkan korupsi biasanya berusaha untuk
menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di balik kebenaran
hukum.
- Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas.
- Setiap perbuatan korupsi mengamdung penipuan.
- Korupsi adalahbentuk penghianatan kepercayaan.

4. Faktor Penyebab Korupsi


Faktor- faktor penyebab terjadinya korupsi adalah:
- Lemahnya pendidikan agama dan etika.
- Kolonialisme.
- Kekurangan pendidikan.
- Kemiskinan.
- Tidak adanya sanksi yang keras.
- Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi.
- Struktur pemerintahan.
- Perubahan radikal.
- Keamanan masyarakat.

C. Jenis Penjatuhan Pidana pada Perkara Tindak Pidana Korupsi


Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jenis penjatuhan
tindak pidana yang dapat dilakukan oleh hakim terhadap terdakwa tindak
pidana korupsi adalah sebagai berikut:
- Pidana mati
- Pidana penjara
- Pidana tambahan
- Gugatan perdata kepada ahli warisnya
- Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh atau atas nama suatu
korporasi

D. Pendapat Para Pakar tentang Korupsi


- Andi Hamzah
Delik korupsi Pasal 1 ayat (1) sub a UUPTPK urutannya sebagai berikut:
1. melawan hukum.
2. memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan.
3. secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan
perekonomian negara.
Delik korupsi Pasal 1 ayat (1) sub b UUPTPK yang unsur-unsurnya
sebagai berikut:
1. dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atauu badan
2. menyalah gunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan dan kedudukan
3. yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara.

- Sudarto
Menjelaskan bahwa unsur-unsur tindak pidana korupsi terbagi menjadi 3
yaitu:
1. melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain atau badan
2. perbuatan itu melawan hukum
3. perbuatan itu secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan
negara dan perekonomian negara.

- Slamet Wahyudi
Para mantan DPRD yang bersetatus sebagai tersangka dapat diancam
dengan tuntutan ganda sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 yang diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Tindak Pidana Korupsi.
Apabila dalam waktu yang ditentukan terdakwa tidak mengembalikan
uang korupsi maka akan mendapat tuntutan ganda dan sanksi penjara dari
jaksa penuntut umum. Dan terdakwa dapat terkena tiga tuntutan yaitu:
tuntutan pidana pelanggaran pasal, membayar uang ganti apabila sampai
persidangan belum dikembalikan secara lunas, dan pidana kurungan
apabila tidak dapat membayar denda.

- Alatas
Menurut Alatas ciri-ciri korupsi adalah sebagai berikut:
1. Korupsi sering melibatkan banyak orang
2. Bersifat rahasia
3. Melibatkan elemen wajib dan keuntungan timbal balik
4. Koruptor berusaha menyelubungi perbuatannya dengan berlindung di
balik pembenaran hukum
5. Para koruptor menginginkan keputusan yang tegas dan mampu
mempengaruhi keputusan itu
6. Korupsi mengandung penipuan pada publik dan masyarakat umum
7. Korupsi adalah bentuk penghianatan
8. Prilaku korupsi melibatkan fngsi ganda yang kontradiktif
9. Korupsi melanggar norma dan tanggungjawab.

- Selo Soemardjan
KKN merupakan satu kesatuan karena melanggar kaidah kejujuran
dan norma hukum. faktor-faktor yang mendukung KKN adalah
desintegrasi sosial, fokus budaya yang bergeser, pembangunan
ekonomiyang menjadi panglima pembangunan, penyalahgunaan
kekuasaan negara, paternalisme korupsi tingkat tinggi menyebar dalam
masyarakat, dan pranata-pranata sosial kontrol tidak efektif lagi.
- J. Soewartojo
Ada beberapa bentuk dan jenis korupsi, yaitu: pungutan liar
jenistindak pidana (korupsi uang pidana), pungutan liar jenis pidana yang
sulit dibuktikan (komisi tender proyek), pungutan liar jenis pungutan
tidak sah yang dilakukan oleh pemda, penyuapan, pemerasan, pencurian
dan nepotisme.

- MTI (Masyarakat Transparansi Internasional)


MTI menemukan sepuluh pilar penyebab korupsi di Indonesia, yaitu:
absennya kemauan politik pemerintah, amburadulnya sistem administrasi
umum dan keuangan pemerintah, dominan pemeran militer dalam bidang
politik,politisasi birokrasi, tidak independennya anggota pengawas,
kurang berfungsinya parlemen, lemahnya kekuatan masyarakat sipil,
kurang bebasnya media massa, dan oportunismenya sektor wisata.

- Subjek Delik Korupsi


Menurut Martiman Prodjohamidjojo dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999, bahwa subjek delik terbagi menjadi dua, yang mana
keduanya apabila melakukan pelanggaran/ perbuatan pidana diancam
saksi, dan pelaku delik ini adalah manusia, korporasi, pegawai negeri,
dan setiap orang.
Nama : Hepy Sriwahyuni
Nim : 11727201891
Mata Kuliah : Tindak Pidana Korupsi
Dosen : Firdaus, S.H., M.H.

Referensi Buku
TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH EVI HARTANTI, S.H., M.H.

RESUME III
Bab III
PENGATURAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Umum
Istilah korupsi secara yuridispada tahun 1957 dengan adanya Peraturan
PenguasaanMiliter yang berlaku dikekuasaan Angkatan Darat (Peraturan
Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Ada beberapa peraturan yang mengatur
mengenai tindak pidana korupsi yaitu:
1. Masa Peraturan Penguasa Militer
- Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957
- Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/08/1957
- Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/011/1957
- Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat Nomor
PRT/PEPERPU/031/1958 dan peraturan pelaksananya
- Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut Nomor
PRT/z.1/I/7/1958. PRT/z.1/I/7/1958.
2. Masa Undang-Undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang terdapat dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1961.
3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19; TNLRI 2958)
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40; TNLRI 387)
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134; TNLRI 4150).

B. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971


Perumusan tindak pidana korupsi dalam kitab Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 sebagai berikut:
1) barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan-perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan yang secara
langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, atau diketahui patut disangka olehnya bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan negara.
2) Barang siapa melakukan percobaan atau pemufakatan untuk melakukan
tindakan pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d dan e.
Kemudian adanya kemajuan yaitu bahwa perumusan tindak pidana korupsi
dengan unsur melawan hukum, delik tindak pidana korupsi adalah delik
formil dan peraturan perumusan mencakup tindak pidana korupsi bersifat
luas, karena adanya penyelewengan dan atau penyalah gunaan kewenangan,
serta ada tindak pidana suap, dan perluasan terhadap bentuktindak pidana
korupsi berupa percobaan dan pemufakatan telah dikualifikasikan sebagai
tindak pidana korupsi.

C. Masa Berlakunya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-


Undang Nomor 20 Tahun 2001
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001, tindak pidana dapat dilihat daridua hal yaitukorupsi aktif dan
pasif. Rumusan tindak pidana korupsi Pasal 2 ayat (1) yaitu melawan hukum,
memperkaya diri sendiri atauorang lain atau suatu korporasi, dan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dalam Pasal 3 terdapatunsur-unsur tindak pidana korupsi yaitu, tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakankewenangan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan, danyang merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Sesuai Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mengenai alat
bukti yang sah. Alat buktisah dapat dijadikan petunjuk yang dapat diperoleh
dari informasinya yang diucapkan, dikirimkan, dierima, ataudisimpan secara
elektronik dengan alat optik dan hal yang sama dengan itu, kemudian dapat
berbentuk dokumen, kemudian saksi, surat, dan juga keterangan terdakwa.
Pembuktian terbalik terdapa dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 bahwa terdakwa memiliki hak untuk membuktikan bahwa ia
tidak terlibat, dan pengadilan berhak mempertimbangkan bukti itu jika
memang terbukti. Kemudian pada Pasal 37A Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 bahwa terdakwa berhak memberikan keterangan. Selain itu juga
termasuk kedalamnya Pasal 38B, 38C Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001.
Kemudian dalam mewujudkan asas proporsional, diatur juga mengenai
ketentuan rehabilitasi dan kompensasi dalam hak KPK melakukan tugas serta
wewenangnya yang bertentangan dengan Undang-Undang atau hukum yang
berlaku.
Nama : Hepy Sriwahyuni
Nim : 11727201891
Mata Kuliah : Tindak Pidana Korupsi
Dosen : Firdaus, S.H., M.H.

Referensi Buku
TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH EVI HARTANTI, S.H., M.H.

RESUME IV
Bab IV
WEWENANG JAKSA DAN POLRI SERTA PERANANNYA

A. Pengertian Kejaksaan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia pada Pasal 1 butir 1 Jaksa adalah pejabat fungsional yang
diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untukbertindak sebagai penuntut
umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.
Di dalam Pasal 1 butir 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
disebutkan bahwa:
a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini
untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-
Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.

B. Tugas dan Wewenang Kejaksaan


Jaksa sebagai penuntut umum dalam perkara pidana harus mengetahui
secara jelas seluruh pekerjaan yang harus disidik dariawal hingga akhir.
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik
Indonesia Pasal 30 yaitu:
1) Di bidang pidana kejaksaanmemiliki tugas dan wewenang:
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan lepas
bersyarat;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik ddi dalam maupun di luarpengadilan untuk dan atas
nama negara atau pemerintah.
Dalam mempersiapkan penuntutan, penuntutumum diberi wewenang
yaitu:
a. Menerima pemberitahuan dari penyidikdalam hal penyidik melakukan
penyidikan;
b. Menerima berkas perkara dari penyidik;
c. Mengadakan penuntutan;
d. Memberikan perpanjangan penahanan;
e. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan
penahanan dan mencabut penangguhan penahanan;
f. Mengadakan penjualan lelang sitaan yang lekas rusak dan
membahayakan, sehingga tidak mungkin disimpan sampai memperoleh
kekuasaan hukum, dan disaksikan tersangka atau kuasanya;
g. Melarang dan mengurangi kebebasan antara penasehat hukum dengan
tersangka sebagai akibat disalahgunakan haknya; mwngawasi dalam
berinteraksi; dan pengurangan hubungan tersebut dilarang jika perkara
dilimpahkan oleh penuntut umum untuk disidangkan;
h. Meminta dilakukannya praperadilan kepada ketua pengadilan negeri
untuk melihat sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh
penyidik;
i. Dalam perkara koneksitas, perkara pidana harus diselesaikan
dipengadilan dalam lingkngan peradilan umum, dan penuntut umum
menerima berkas perkara dari oditur militer yang dijadikan dasar
mengajukan perkara;
j. Menentukan sikap dalam menentukan berkas perkara memenuhi syarat
untuk dilimpahkan ke pengadilan;
k. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
selaku penuntut umum;
l. Dalam hasil penyidikan penuntut umumdapat melakukan penuntutan, dan
dalam waktu dekat membuat surat dakwaan;
m. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan kerena tidak cukup
bukti;tindakan bukan masuk kedalam tindak pidana; dan perkara ditutup
demi hukum.
Dalam hukum acara pidana dikenaldua asas penuntutan, yaitu:asas
legalitas (penuntut umum diwajibkan menuntut semua orang yang dianggap
cukup alasan bahwa telah melakukan peanggaran hukum), dan asas
oportunitas (penuntut umum tidak diharuskan menuntut seseorang, meskipun
yang bersangkutan terbukti melakukan tindak pidanadan dapat dihukum).

C. Kewenangan Jaksa dalam Penyidikan Tindak Pidana Korupsi


Di dalam Pasal 91 ayat (1) KUHAP mengatur tentang kewenangan jaksa
(penuntutan umum) untuk mengambil alih berita acara pemeriksaan. Dan
dilam penjelasan mengenai “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana
tersebut pada undang-undang tertentu” dalam Pasal 284 ayat (2) adalah
sebagai berikut:
1. Undang-Undang tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak
Pidana Ekonomi (Undang-Undang Nomor 7 Darurat Tahun 195);
2. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971).
Dengan catatan ketentuan khusus pidana tersebut pada undang-undang
tertentu akan ditinjau kembali, diubah, dan dicabut dalam waktu sesingkat-
singkatnya.

D. Kewenangan Polri
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, di dalam Pasal 14huruf g ditegaskan “Kepolisian Negara
Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan
peraturan perundang-undangan lainnya.”
Wewenang kepolisian dalam proses pidana (Pasal 16):
Huruf a :melakukan penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan;
Huruf b :melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat
kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;
Huruf c :membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam
rangka penyidikan;
Huruf d :menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan dan
memeriksa tanda pengenal diri;
Huruf e : melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
Huruf f : memanggil orang yang didengar dan diperiksa sebagai
tersangka /saksi;
Huruf g : mendatangkang seorang ahli yang dibutuhkan;
Huruf h : mengadakan penghentian penyidikan;
Huruf i : menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
Huruf j : mengajukan permintaan secara langsung ke imigrasi berwenang di
tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah orang yang disangka untumelakukan
tindak pidana;
Huruf k : memberi etunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik PNS
dan menerima penyidik PNS untuk diserahkan ke penuntut umum;
Huruf l : mengadakan tindakan lain menuruthukum yang bertanggung
jawab.
Nama : Hepy Sriwahyuni
Nim : 11727201891
Mata Kuliah : Tindak Pidana Korupsi
Dosen : Firdaus, S.H., M.H.

Referensi Buku
TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH EVI HARTANTI, S.H., M.H.

RESUME V
Bab V
MEKANISME PEMERIKSAAN TINDAK PIDANA KORUPSI

A. Pemeriksaan Pendahuluan
Pemeriksaan pendahuluan adalah pemeriksaan yang mempersiapkan
hasil-hasil intervensi yang dibuat secara tertulis dari pihak tersangka, dalam
tahapan pendahuluaan digunakan untuk mengumpulkanbahan-bahan yang
menjadi barang bukti atau alat-alat bukti dalam suatu rangkaian berkas
perkara, dan kelengkapan dalam pemeriksaan lainnya yang mendasari suatu
perkara dapat diajukan ke pengadilan.
1. Penahanan
Penahanan diartikan sebagai penempatan tersangka atau terdakwa di
tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya, serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
(Pasal 1 butir 21 KUHAP).
2. Jenis Penahanan
Sesuai Pasal 22 KUHAP jenis-jenis penahanan terbagiatas 3 yaitu:
- Penahanan rumah tahanan negara.
- Penahanan rumah (yang dilakukan di rumah tersangka atau terdakwa
dengan adanya pengawasan, penahanan dilakukan 1/3 dari jumlah
lamanya penahanan.
3. Penahanan Rumah dan Kota
Penahanan rumah tahanan negara (rutan) adalah penamaan jenis
penahanan yang di dasarkan pada tempat pelaksanaan penahanan
dilakukan serta ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku bagi penahanan
rutan.
Perbedaan jenis-jenis penahanan sesuai dengan Pasal 22 ayat (1)
KUHAP dapat ditentukandari pidana yang dijatuhkan untuk menentukan
cara pengurangannya. Sedangkan dalam Pasal 22 ayat (4) menjelaskan
bahwa penangkapan dan penahanan (rutan) dikurangkan sepenuhnya dari
pidana yang dijatuhkan, dan pada ayat (5) menyatakan bahwa penahanan
rumah dikurangkan 1/3 sedangkan tahanan rutan 1/5.
Jangka waktu penahanan diatur dalam Pasal 24- Pasal 29 KUHAP
yaitu:
- Penyidik selama 20 hari, jika diperlukandapat diperpanjang paling
lama 40 hari (Pasal 24 ayat (1), (2) KUHAP)
- Penuntut umum 20hari, bila diperlukan dapat diperpanjang oleh
Ketua Pengadilan Negeri paling lama 30 hari (Pasal 25 ayat (1),(2)
KUHAP)
- Hakim yang mengadili perkara selama 30 hari, dapat diperpanjang
paling lama 60 hari (Pasal 26 ayat (1), (2))
- Hakim mengadili perkara di tingkat banding selama 30 hari, dapat
diperpanjang 60 hari (Pasal 27 ayat (1), (2))
- Mahkamah Agung mengadili perkara tingkat kasasi selama 50 hari,
dapat diperpanjang 60 hari (Pasal 28ayat (1), (2))
- Diluar ketentuan penahanan dan perpanjang penahanan (Pasal 24-
Pasal 28, dapat dilakukan dengan alasan: tersangka atau terdakwa
yang menderita gugatan fisik/ mental yang berat dan dibuktikan
dengan adanya surat dokter, dan karena perkara yang diperiksa
diancam dengan pidana penjara 9 tahun (Pasal 29).
4. Jangka Waktu Penahanan dan Hak Tersangka atau Terdakwa
Jangka waktu penahanan adalah sebagai berikut:
- Perintaha penahanan oleh penyidik paling lama 20 hari, dapat
diperpanjang oleh penuntut umum paling lama 40 hari. Dan
setelahwaktu 60 hari penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka
dari tahanan demi hukum.
- Perintahpenahan oleh penuntut umum hanya berlaku selama 20 hari,
dapat di perpanjang paling lama 30 hari, dan dalam waktu 50 hari
penuntut umum harus mengeluarkan tersangka dari tahanan demi
hukum.
- Hakim Pengadilan Negeri mengadili perkara dalam waktu 30 hari
dan dapat diperpanjang selama 60 hari, dalam waktu 90 hari harus
dikeluarkan terdakwa meskipun belum putusnya putusan.
- Hakim Pengadilan Tinggi yang mengadili perkara banding dalam
waktu 30 hari dan dapat diperpanjang dalam waktu 60 hari, dan
dalam waktu 90hari terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi
hukum meskipun perkara belum putus.
- Hakim Mahkamah Agung yang mengadili perkara kasasi dalam
waktu 50 hari dan dapat diperpanjang dalam waktu 60hari, sehingga
dalam waktu 110 hari terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi
hukum walaupun putusan belum diputus.
B. Penuntutan
Sesuai yang telah ditentukan dalam Pasal 1 butir7 KUHAP, penuntutan
adalah tindakan umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang ditur dalam undang-
undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.
Menurut Pasal 1 butir 6 KUHAP berbunyi
a. Jaksa adlah pejabat yang diberi wewenang melakukan penuntutan serta
pelaksanaan putusan pengadilan yang telah diperoleh kekuatan hukum
tetap.
b. Penuntut umum adalah jaksa yang telas diberi wewenang untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

C. Pemeriksaan Akhir
1. Pembacaan Surat Dakwaan
Sesuai Pasal 155 KUHAP, pada persidangan pertama yang dilakukan,
setelah prosedur awal berjalan seperti yang telah ditentukan sampai pada
saat hakim mempersilahkan kepada jaksa untuk membacakan dakwaan,
kemudian hakimmenyimpulkannya agar terdakwa memahami atas apa
yang dituntutan.
Surat dakwaan berisi identitas tersangka, uraianm,engenai tindak
pidana yang didakwaan kepada tersangka dengan menyebutkan waktu
dan tempat tindak pidana dilakukan. Dan lain sebagainya.
2. Eksepsi
Sesuai Pasal 156 KUHAP setelah mendengarkan dakwaan, jika
terdakwa dan penasehat hukumnya merasa keberatan maka dapat
mengajukan eksepsi, eksepsi diajukan sebelum pengadilan memeriksa
pokok perkara, jadi diajukan sebelum sidang pertama.
3. Pemeriksaan Saksi dan Saksi Ahli
Pemeriksaan saksi dan atau saksi ahli adalah untuk meneliti apakah
saksi yang dipanggil sudah di persidangan, saksi diperiksa secara
bergantian. Dan dalam pemeriksaan ada dua saksi yaitu saksi de charge
dan saksi a de charge.
4. Keterangan Terdakwa
Keterangan yang didapatkan dari terdakwa.
5. Pembuktian
Pembuktian meliputi barang bukti yaitu barang yang digunakan
terdakwa dalam melakukan sutu tindak pidana atau hasil dari sutu tindak
pidana. Alat bukti terbagi atas lima yaitu: keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa, hal ini sesuai dengan
Pasal 184 KUHAP.
6. Requisitoir atau Tuntutan Pidana
Sesuai Pasal 187 huruf a KUHAP. Apabila menurut pertimbangan
majelis hakim pemeriksaan atas terdakwa dan saksi telah cukup penuntut
umum dipersilahkan mengajukan tuntutan pidana.
7. Pledoi
Setelah menyampaikan tuntutan, hakim ketua sidang memberi
kesempatan kepada terdakwa dan penasehat hukunya untuk
menyampaikan pembelaan (pledoi), yang isinya pendahuluan, isi
dakwaan, fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, teori hukum,
kesimpulan, permohonan dan penutup.
8. Replik-Duplik
Atas peldoi penuntut umu dapat memberikan jawabannya atau yang
dapat disebut dengan replik, kemudian terdakwa diberikan kesempatan
baikia atau penasehat hukumnya untuk menyampaikan pembelaan atas
replik yang diajukan, dan jawaban atas replik itu biasa disebut dengan
duplik.
9. Kesimpulan
Setelah rangkaian persidangan dari pembacaan dakwaan sampai
dengan duplik maka diambil kesimpulan. Kesimpulan dapat menjadi
ajuan hakim untuk memutuskan sebuah perkara.
10. Putusan Pengadilan
Sesuai dengan Pasal 191 ayat (1), (2) danPasal 193 ayat (1) putusan
dapat dibagi menjadi 3 yaitu:
- Putusan bebas;
- Putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
- Pemindanaan.
Nama : Hepy Sriwahyuni
Nim : 11727201891
Mata Kuliah : Tindak Pidana Korupsi
Dosen : Firdaus, S.H., M.H.

Referensi Buku
TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH EVI HARTANTI, S.H., M.H.

RESUME VI
Bab VI
PUTUSAN HAKIM

A. Defenisi Putusan Hakim


Sesuai dengan peristilahan hukum dan praktik yang dikeluarkan oleh
Kejaksaan Agung Republik Indonesia tahun 1985 adalah hasil atau
kesimpulan yang di dapat dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai
sebaik-baiknya yang berbentuk lisan atau tulisan, atau dapat dikatakan vonis
yang didapat setelah dilakukannya pemeriksaan perkara di persidangan.
1. Dasar- dasar penjatuhan putusan hakim
Pengambilan putusan dilakukan oleh masing-masing hakim anggota
yang mengemukakan pendapat atau pertimbangan serta keyakinan
terhadapsuau perkara yang dipersidnagkan maka dilakukan musyawarah
dan diambilnya mufakat. Dimana dalam menentukan putusan harus
adanya dua alat bukti dan atas dasar alat bukti yang diberikan maka
hakim memiliki keyakinan dalam mengambil putusan.
2. Macam- macam putusan
a. Putusan yang menyartakan tidak berwenang mengadili;
b. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan batal demi hukum;
c. Putusan yang menyatakan bahwa dakwaan tidak dapat diterima;
d. Putusanyang menyatakan bahwaterdakwa lepas dari segala tuntutan
hukum;
e. Putusan bebas; dan
f. Putusan pemindanaan pada terdakwa.

B. Pidana Menurut Pasal 10 KUHP


Ketentuan pidanayang dicantumkan dalam Pasal 10 KUHP adalah terdiri
dari pidana pokokdan pidana tambahan.
Pidana Pokok terdiri atas:
1. Pidana mati
2. Pidana penjara
3. Pidana kurungan
4. Pidana denda
Pidana tambahan adalah sebagai berikut:
1. Pencabutan hak-hak tertentu
2. Perampasan barang tertentu
3. Pengumuman putusan hakim

C. Teori Pemindanaan
1. Teori absolut, teori ini menjatuhkan putusan karena didasarkan atas
perbuatan yang telah dilakukan seseorang yang merupakan kejahatan dan
tindakan pidana lainnya.
2. Teori relatif, menurut teori ini memindana bukanlah untuk memuaskan
tuntutan absolut dari keadilan, dimana teori ini adalah untuk melindungi
kepentingan masyarakat.

D. Konsep Pemindanaan
Dalam pemindanaan ada dua konsep yaitu:\
1. Orang yang dipidana harus menjalani pidananya di belakang tembok
penjara
2. Konsep yang memperhatikan kebutuhan biologis dan lain sebagainya.

E. Penggolongan Putusan Hakim Menurut KUHAP


1. Putusan akhir
Putusan akhir atau yang dikenal dengan istilan putusan saja, terjadi
jika mejelis hakim memeriksa tindak pidana korupsi yang hadir di
persidangan sampai pokok perkara selesai diperiksa, dan dengan pokok
perkaranya selesai diperiksa oleh majelis hakim maka setelah melewati
prosesnya sampailah pada putusan hakim.
2. Putusan yang bukan putusan akhir
Dalam praktiknya putusan yang bukan putusan hakim atau dapat
berupa penetapan atau putusan sela atau istilah Belandanya tussen vonis
merupakan jenis putusan yang mengacu pada Pasal 156 ayat (1) KUHAP.

F. Bentuk Putusan Hakim dalm Tindak Pidana Korupsi


Setelah dilakukannya pemeriksaan di persidnagan dengan titik tolak surat
dakwaan, pembuktian, musyawarah majelis hakim, dan mengacu pada Pasal
191 ayat (1), (2) dan Pasal 193 ayat (1) KUHAP maka putusan hakim dapat
berupa putusan bebas/ vrijspraak dan putusan pemindanaan/veroordeling.

G. Formalitas yang Harus Terdapat dalam Putusan Hakim


Ketentuan formalitas putusan baik tindak pidana korupsi atau tindak
pidana pada umumnya adalah sama, yaitu mengacu pada Pasal 197 ayat (1)
KUHAP. Ketentuan-ketentuan formalitas itu adalah sebagai berikut:
a. Kepala putusan yang bertuliskan berbunyi”DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. Identtas dan segala hal yang diperlukan dari terdakwa;
c. Dakwaan;
d. Pertimbangan secara ringkas mengenai fakta dan keadaan alat bukti yang
diperoleh dari pemeriksaan di persidangan;
e. Tuntutan pidana;
f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemindanaan
atau tindakan dan yang menjadi dasar putusan, dan disertai keadaan yang
memberatkan atau meringankan;
g. Hari dan tanggal diadakan musyawarah majelis hakim;
h. Pernyataan kesalahan terdakwa;
i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlah yang poasti serta ketentuan mengenai barang bukti;
j. Keterangan bahwa seluruh surat adalah palsuatau keterangan mengenai
kepalsuannya;
k. Perintah supaya terdakwa ditahandan tetap dirtahan atau dibebaskan; dan
l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, hakim yang memutus,
dan nama panitera.

H. Barang Bukti dalam Proses Pidana


Barang bukti adalah alat yang digunakan untuk melakukan delik. Atau
dapat juga dari hal yang berhubungan dalam melakukan tindak pidana atau
delik.
Putusan yang berkenaan dengan barang bukti sesuai dengan Pasal 46 ayat
(2) dan Pasal 194 ayat (1) KUHAP yaitu:
1. Dikembalikan kepada yang paling berhak; dan
2. Dirampas untuk kepentingan negaraatau dimusnahkan atau dirusak.
Nama : Hepy Sriwahyuni
Nim : 11727201891
Mata Kuliah : Tindak Pidana Korupsi
Dosen : Firdaus, S.H., M.H.

Referensi Buku
TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH EVI HARTANTI, S.H., M.H.

RESUME VII
Bab VII
KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

A. Umum
Tindak pidana korupsi yang meluas di masyakat, dan penegak hukumnya
yang dirasa kurang optimal dalam menanganinya, sehingga dibuatlah
Undang-Undang sebagai bentuk untuk mewujudkansupremasi hukum,
berdasarkan ketentuan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak PidanaKrupsi kemudian diubah dengan
Undnag-Undang Nomor 20 Tahun 2001, badan khusus yang disebut Komisi
Pemberantasan Korupsi. Dimana ia memiliki kewenangan untuk melakukan
koordinasi dan supervisi, dan termasuk di dalamnya melakukan penyelidikan,
penyidikan, dan penuntutan.
KomisiPemberantasan Korupsidibuat, dibentuk, tata kerja hingga
susunana organisasinya telat ditetapkan oleh Undang-Undang. Komisi
Pemberantasan Korupsi dapan melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan jika tindakan pidana korupsi meliputu:
1. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain
yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat
penegak hukum dan penyelenggara negara;
2. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
3. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (1
miliar) Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
Kemudian dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Komisi
Pemberantasan Korupsi didasarkan atas asas:
1. Kepastian hukum, dalam menjalankan kebijakan harus berdasar atas
peraturan perundang-undangan;
2. Keterbukaan, membuka diri kepada masyarakat dan tidak ada tindakan
diskriminasi dan harus jujur dan benar dalam menjalankan tugasnya;
3. Akuntabilitas;
4. Kepentingan umum, dimana dalam menjalankan tugasnya harus
mendahulukan kepentingan umum; dan
5. Proporsionalitas.
B. Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Komisi Pemberantasan Korupsi
1. Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi
- Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan korupsi;
- Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutanterhadap tindak
pidana korupsi;
- Melakukan tindakan untuk mencegah tindak pidana korupsi;
- Melakukan monitor terhadap pennyelenggaraan pemerintahan negara
(Pasal 6 Undnag-Undang Nomor 30 Tahun 2002).
2. Wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi
- Mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi;
- Menetapkan sistem pelapor dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi;
- Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi;
- Melaksanakan dengan pendapat atau pertemuan dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
- Meminta laporaninstansi Nomor 30 Tahun 2002) dan dapat dilihat
pada Pasal 12, 13, dan 14 Undnag-Undang Nomor 30 Tahun 2002.
3. Kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi
Komisi Pemberantasan Korupsi berkedudukan di ibukota negara yang
wilayah kerjanya mencakup seluruh wilayah negara, selain itu dapat
membuat perwakilan di daerah provinsi.
- Pimpnan Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas lima anggota;
- Tim nasehat terdiri atas empat anggota;
- Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pelaksana tugas.

C. Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan


Penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan berlaku juga bagi
Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 38 ayat (1). Sesuai Undnag-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 adalah:
1. Penyelidik adalah penyelidikan pada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
(Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002);
2. Penyidikan adalah penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang
diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal
45 ayat (1) Undnag-Undang Nomor 30 Tahun 2002);
3. Penuntutan adalah penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi
yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

D. Pemeriksaan di Sidang Pengadilan


Perkara tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dalam waktu 90 hari kerja sejak awal dilimpahkannya
ke pengadilan. Pemeriksaan diperiksa oleh 5 majelis hakim (2 hakim
Pengadilan Negeri, dan 3 hakim Ad Hoc). Jika akan melakukan banding maka
diajukan ke Pengadilan Tinggi dan diperiksa serta dputus dalam 60 hari kerja.
Dan dalam putusan Pengadilan tinggi Tindak Pidana Korupsi, majelis hakim
dimohonkan kasasi ke Mahkamah Agung dan dapat diperiksa dan diputus
dalam waktu 90 hari kerja.
Dan apabila dalam penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dirugikan
maka sesuai peraturan perundang-undangan dapat mengajukan rehabilitasidan
atau kompensasi. Gugatan tidak mengurangi hak untukmengajukan gugatan
praperadilan.
Nama : Hepy Sriwahyuni
Nim : 11727201891
Mata Kuliah : Tindak Pidana Korupsi
Dosen : Firdaus, S.H., M.H.

Referensi Buku
TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH EVI HARTANTI, S.H., M.H.

RESUME VIII
BAB VIII
BEBERAPA CONTOH KASUS KORUPSI

A. Kasus Korupsi Akbar Tanjung


Kasus Akbar Tanjung adalah kasus korupsi. Setelah melalui proses
persidangan sesuai dengan apa yang terdapat dalam KUHAP maka keluarlah
putusan hakin Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ia terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan korupsi bersama-sama dengan Ketua Yayasan
Raudatul Jannah Dadang Sukandar dan Kontraktor pelaksanaan program
pendistribusian sembako Winfried Simatupang. Yang kemudian Akbar
Tanjung mengaajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta dan menetapkan
dan mengukuhkan yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, tidak berhenti disitu karena ia mengajukan kasasi atas putusan yang
telah ditetapkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta, dan mendapatkan putusan
bahwa Akbar Tanjung tidak melakukan korupsi, selain itu dia tidak
melakukan kegiatan penyaluran pendistribusian sembako dengan
keinginannya sendiri melainkan ia mendapatkan perintah dari Presiden untuk
melakukan itu, dan lagi ada bukti yang menyatakan bahwa Akbar Tanjung
tidak tahu mengenai aliran dana sebesar 40 M dan aliran itu terbukti
digunakan oleh terdakwa II dan III yaitu Dadang Iskandar dan Winfriend
Simatupang.

B. Kasus Korupsi Syahril Sabirin


Kasus ini adalah kasus Bank Bali yang melakukan pembayaran klaim
Bank Bali terhadap Bank BDNI sebesar Rp. 904 M. Dan Syahril Sabirin
selaku gubernur Bank Indonesia pada saat itu memerintahkan untuk
melakukan pembayaran tersebut. Pada saat kasus ini dilimpahkan dan
diproses di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syahril diputus bersalah dan
secara sah dinyatakan melakukan pelanggaran terhadap dakwaan primer.
Tidak berhenti disitu Syahril melakukan banding dan setelah lima bulan
dinyatakan bebas dari dakeaan-dakwaan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta,
walaupun telah dinyatakan bebas murni Kejaksaan Agung tetap melakukan
kasasi atas kasus ini, dan hasilnya Syahril terbukti melakukan tindak oidana
dari fakta0-fakta yang telah ditemukan.

C. Kasus Korupsi Probo Soetedjo


Kasus korupsi direktur utama PT Menara Hutan Buana, H. Probo
Soetedjo yang terbukti bersalah karena tidak memenuhi kewajiban melakukan
penanaman di atas lahan proyek hutan tanam industri (HTI) di Kalimantan
Selatan sesuai dengan perjanjian, sebagai realisasi kerja tahunan (RKT)dari
tahun 1994-1997 yang dibiayai oleh negara melalui dana reboisasi dengan
bunga nol persen. Selain itu Probo menyimpan dana yang tidak dipakai dalam
bentuk deposito di bank Exim dan bank milik Probo. Selain itu Probo
melakukan penjualan saham kepada PT anrof Singapore ltd dan Shining
Spring Resources.

D. Kasus Korupsi Rahardi Ramelan


Terbukti bersalah sebagai mantan Menperindag/ Kapal Bulog karena
menggunakan atau menyalahgunakan dana nonbujeter bulog sebesar Rp. 62,9
M.

E. Kasus Korupsi Hamas Ghanny


Hamas Ghanny merupakan wakil ketua DPRD kota Semarang yang
didakwa terlibat dalam perkara korupsi pembuatan kotak suara pemilu tahun
1999 senilai Rp. 169.278.255, 00.

F. Kasus Korupsi DPRD Sukoharjo


Kasus dugaan tindak pidana korupsipelaksanaan proyek pengadaan
sarana transportasi anggota DPRD, yang menelan biaya APBD 2001 sebesar
Rp. 508,5 juta dan ada indikasiketerkaitan Bupati Bambang Riyanto dalam
kasus ini.

G. Kasus Money Politics DPRD Pati


Kasus ini adalah kasus dyugaan politik uang yang menjadi tersangkanya
ada 19 orang yang merupakan anggota DPRD Kabupaten Pati

H. Kasus Korupsi Puskud Jateng


Kasus ini berkaitan dengan tindak pidana korupsi sebanyak Rp. 13 M
yang dilakukan oleh mantan Direktur Utama Puskud Jateng Drs. Achmad
Wahyudi, M.Sc. bersama-sama dengan Drs.Heri Purdiyanto selaku Manajer
Keuangan.
I. Kasus Korupsi Kades Ringinharjo, Grobogan
Kasus tindak pidana korupsi anggaran APBD tahun 2000-2002 sebanyak
Rp. 97.982.000, 00 yang dilakukan oleh kepala desa Ringinharjo, Grobongan
M. Bachtiar Rifai.

J. Kasus Korupsi Kades Sumberejo, Kendal


Kasus tindak pidana korupsi dilakukan atas uang bantuan yang
seharusnya dibukukan agar mengetahui anggaran pendapatan dan belanja
desa. Yang dilakukan oleh Kepala Desa Sumberejo Kecamatan Kaliwungu
Kabupaten Kendal Yulianto.

K. Kasus Korupsi Dr. Dyah Agustina Wurtyani


Kasus tindak pidana korupsi dugaan penyimpangan dana jaring
pengaman sosial bidang kesehatan (JPS-BK)puskesmas Kecamatan Kalikajar,
dan kasus lainnya.
Nama : Hepy Sriwahyuni
Nim : 11727201891
Mata Kuliah : Tindak Pidana Korupsi
Dosen : Firdaus, S.H., M.H.

Referensi Buku
TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH EVI HARTANTI, S.H., M.H.

RESUME IX
BAB IX
BADAN PEMBERANTAS KORUPSI

A. Tim Pemberantasan Korupsi


Dasar Hukum : Keppres Nomor 228Tahun 1967 tanggal 2 Desember
1967 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960.
Pelaksanaan : Ketua Tim Sugiharto(Jaksa Agung)
Penasehat : Menteri Kehakiman, Panglima Abri, Kastaf Angkatan
dan Kapolri.
Tugas : Membantu pemerintah memberantaskorupsi dengan
tindakan preventif dan represif.

B. Komite Anti Korupsi (KAK)


Komite Anti Korupsi dibentuk pada tahun 1970.
Pelaksana : angkatan 66, Akbar Tanjung, Michael Setiawan, Thoby
Mutis, Jacob Kendang, Imam Waluyo, Tutu T. W.,
Soeriwijono, Agus Jun Butata, M. Surachman, Alwi
Nurdin Lucas, Luntungan, Asmara Nababan, Sjahrir, Amir
Karamoy, Pasik Vitue, Mengandang Napitupulu dan
Chaidir Makarim.

C. Komisi Empat
Dasar Hukum : Keppres Nomor 12 Tahun 1970 tanggal 31 Januari 1970
Pelaksana : Wilopo, SH, I.J. Kasimo, A. Anwar Tjokroaminoto dan
Prof. Ir. Johanes.
Tugas : menghubungi pejabat dan atau instansi (militer dan atau
swasta sipil), memeriksa dokumen administrasi pemerintah
dan swasta, dan meminta bantuan aparatur pemerintah pusat
dan daerah.

D. OPSTIB
Dasar Hukum : Inpres Nomor 9 Tahun 1977
Pelaksana : Koordinator Pelaksana Tingkat Pusat (Menpan),
Pelaksana Oprasional (Pangkopkamtib),tingkat daerah
(laksuda, dll)
Tugas : awalnya pembersihan pungutan liar, uang siluman di
pelabuhan, dan pungutan baik resmi atau tidak resmi tetapi
tidak sah menurut hukum. kemudian pada tahun
1977diperluas sasaran penertiban, dari jalanan ke
departemen dan daerah.

E. Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)


Tim Pemberantas Korupsi (TPK) dibentuk pada tahun 1982.
Dasar Hukum : TPK diaktifkan tanpa adanya Keppres yang baru
Pelaksana : menpan J.B Sumarlin, Pangkopkamtib Sudomo, Ketua
MA Mudjono SH, Menteri Kehakiman Ali Said, Jaksa
Agung Ismail Saleh dan Kapolri Jendral Awaloeddin.

F. KPKPN
Dasar Hukum : Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dan Keppres
Nomor 27 Tahun 1998.
Pelaksana : Jusuf Syakir, Chairul Iman, Muchayat dan Abdullah
Hehamahua dan anggota lainnya.
Tugas : Melakukan pemeriksaan kekayaan pejabat negara.

G. TGPTPK
Dasar Hukum : Pasal 27 Undnag-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000.
Pelaksana : Adi A.S., dan anggota polisi (25 orang), kejaksaan dan
aktivis kemasyarakatan.
Tugas : mengungkap kasus-kasus yang sulit ditangani oleh
Kejaksaan Agung.

Anda mungkin juga menyukai