Anda di halaman 1dari 2

Assalamualaikum wr wb…

Teman-temanku sahabat NU yang dirahmati Allah

Persekusi ternyata masih sering kali terjadi, pemaksaan biasa beralngsung sehari-hari, alih-alih didiskusikan
secara hangat dan terbuka, agama, ras, etnis, masih menjadi ganjalan dimana-mana. Mainan label dan stempel
kadung menjadi hal biasa, cap diletakkan di jidat orang seenaknya, padahal pemerintah sangat pro dengan
toleransi, kebhinekaan menjadi program masif tanpa henti. Mengapa sara masih menjadi masalah yg
menggelisahkan, atau ada problem mendasar yg belum dituntaskan?

Saya Siti Nursetianingsih akan menyampaikan sebuah tausiyah yang berjudul Moderasi Beragama

Moderasi Beragama adalah cara pandang dalam beragama secara moderat yakni memahami dan mengamalkan
ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan (pemahaman agama yang sangat kaku) maupun
ekstrem kiri (pemahaman agama yang sangat liberal).

Kalau kita berbicara perihal moderasi beragama, para ulama’ dan sarjana muslim biasanya mengacu pada surah
al-baqoroh ayat 143

Pada ayat ini, paling tidak ada tiga hal yang perlu kita garis bawahi, yang pertama adalah ummatan yang
menjadi objek pembicaraan dalam ayat ini. Dari sini kita akan mengetahui bahwa agamanya sudah beres
sebenarnya, sudah pasti moderat, tapi yang masalah nih, ummatnya belum tentu moderat. Karena terkadang
umat islam itu tidak menjalankan islamnya dengan baik atau bahkan Sebagian umat islam justru tingkah
lakunya bertentangan dengan nilai-nilai islam.

Oleh karenanya dalam ayat ini yg disuruh menjadi moderat adalah umatnya, kalau agamanya sudah pasti
moderat. Kemudian dalam ayat ini Allah menggunakan kata ja’ala, ja’ala itu artinya menjadikan kalau kholaqa
itu menciptakan. Kalau menciptakan itu bimsalabim jebret, jadi… tapi kalau ja’ala itu harus ada upaya dari kita
untuk menjadikan sesuatu yang diberikan oleh Allah sebagai potensi teraktualisasikan. Oleh karena itu moderasi
itu diberi oleh Allah sebagai potensi melalui agama islam, yang harus kita aktualisasikan selaku umat islam,
dengan cara apa? Dengan mengupayakan moderasi beragama ini berjalan sesuai dengan kaidah-kaidah islam
yang ada dalam al-qur’an dan sunnah. Yang ketiga kata washatan, kalau dibahasa Indonesia sama juga dengan
wasith, kata wasith itu artinya moderat. Moderat itu tidak berlebihan, atau tidak ghulu, karena Allah tidak suka
dengan sesuatu yang berlebihan. Dalam beragama dan beribadah pun, nabi meminta kepada kita untuk tidak
berlebihan, karena itu nabi pernah menasehati Abdullah bin Amr, seorang sahabat yang konon sampai kepada
nabi, beliau ini disiang hari berpuasa, dan tidak berbuka dimalam hari, dan beliau ini shlat malam tanpa tidur.
Bayangin aja, berpuasa tanpa berbuka, bukan imannya yang naik tapi asam lambung yang naik, bayangin juga
sholat malam tanpa tidur, itu kayaknya insomnia juga anemia sekaligus. Kemudian nabi menasehati beliau,
kalau beribadah jangan terlalu berlebihan.
Nah, kenapa kemudian berlebihan dalam beragama itu tidak boleh?

Karena berlebihan dalam beragama itu adalah ciri orang kafir menurut Allah dalam surat Al-maidah ayat 77,
jangan kamu berlebihan dalam agamamu diluar ketentuan yang ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu umat
islam diminta untuk moderat dalam beragama dan beribadah serta dalam berkehidupan secara umum. Nah yang
kedua moderat atau washatiyah ini artinya wasith, wasit itu ada ditengah, ciri pertamanya. Jadi dia harus
melihat permasalahan itu dari tengah, tidak dari kanan atau tidak dari kiri. Karena kalau kita tidak melihat
sesuatu dari tengah, maka kita akan bias dalam menilai.

Semisal, orang ingin menilai gajah dari depan akan mengatakan gajah itu hewan besar yg belalainya Panjang,
orang yang menilai gajah dari belakang, akan mengatakan kalau gajah itu hewan besar yang ekornya Panjang.
Dan dua orang ini bisa berbeda pendapat hingga bertengkar tentang gajah apanya yang Panjang. Oleh karenanya
orang yang moderat akan melihat gajah dari tengah, dari atas, kemudian dilihat ternyata gajah sama-sama
Panjang baik belalainya atau ekornya. Karena itu orang yang moderat akan bijaksana.

Kemudian bagaimana cara mewujudkan moderasi itu, yang pertama kita harus tahu, kita harus punya
pengetahuan. Kalau saya ingin mengetahui siapa yang ditengah, saya harus mengetahui ada berapa banyak
orang diruangan ini, saya berkata yang ditengah adalah yang kedua kalau saya tau ada tiga orang. Tapi kalau 8
orang? Siapa yang ditengah? Tanpa pengetahuan kita tidak bisa melaksanakan moderasi. Inilah yang hilang dari
kita, masing-masing merasa ini dia moderasi, tapi tidak tau, mari kita belajar. Seringkali perbedaan-perbedaan
itu hanya perbedaan dalam istilah tidak selalu perbedaan itu pertentangan. Yang kedua, mengendalikan emosi,
itu sebabnya ayat yang paling berat dilaksanakan nabi itu firman Allah dalm surah Hud, wastaqim kama umirta,
artinya lakukanlah moderasi jangan melampaui batas, ada orang ingin beragama dengan kuat, dia melampaui
batas, yang membunuh sayyidina Ali itu, sholatnya baik, tapi emosi keagaamnnya meluap-luap sehingga dia
menyalahkan semua orang. Boleh jadi ada diantara kita emosinya meluap-luap sehingga berkata ini salah itu
salah, bisa jadi semuanya benar, jadi kita kendalikan emosi kita. Yang ketiga, terus menerus berhati-hati, jangan
cepat-cepat memberi putusan , terus-menerus itulah yang dituntut oleh orang untuk bermoderasi.

Anda mungkin juga menyukai