Anda di halaman 1dari 5

Tugas rutin 2

Matkul : Membaca Sastra

Nama : Mayang Sari Marpaung

Nim : 2223210041

Kelas : B

Cerpen

GOKMA

-karya Hasan Al-Banna

ANAK-ANAK tangga berderak. Langkahnya menyerah pada dakian ketiga. Tinggal


dua tatih lagi, tapi ia harus menata engah napas. Menyibak urai rambut yang kusut.
Ya, tatapan yang nanar musti dibeningkan lagi. Sebab, pintu belakang rumah
panggung di hadapannya, sekonyong-konyong oleng, memunculkan bayangan yang
kacau. Ia lantas meraba bundar perut dengan putaran tapak tangan. Perutnya terasa
kian padat dan berat. Sesekali menyesakkan dada, kadang kali mendesak-desak jauh
ke bawah pusar. Sambil mengatur alur napas, perempuan itu menyabit belukar
peluh ?yang tumbuh di dahi dan leher? dengan lengkung jemarinya.
Kini Gokma mulai merasa tenang. Tapi, matahari yang tak pernah tertatih, menegur
kelengahannya. Maka ia pun bersegera menyiangi daun ubi. Lekas-lekas pula ia
menyurukkan kekayu kering ke jantung tungku, lantas menyalakannya. Tak lama
lagi Daulat pulang memundak linggis dan sekop tua. Tentu, Daulat juga bakal
memapah rasa letih dan lapar. Lantaran itulah, ia tadi memetik beberapa tangkai
daun ubi muda di pekarangan belakang. Seikat sayuran yang segar sekaligus
mendebarkan. Belasan hari belakangan ini, Gokma kerap memetik daun ubi yang
tumbuh sembarang di belakang rumah. Namun, di mana tadi ia menaruh daun ubi
yang telah disianginya itu?
Gokma memang pelupa. Tapi ia tak pernah lupa bagaimana cara merayakan selera
suaminya.
Daulat gemar menyantap gulai daun ubi tumbuk. Apalagi dalam keadaan letih atau
tatkala seleranya lagi sulit disetir. Segandeng mata Daulat selalu berpijar kalau
sedang berhadap-hadap dengan lauk tersebut. Dengan atau tanpa sambal kacang-
teri, suaminya itu bakal makan dengan mulut berdecap-decap. Daulat tak peduli
meski Gokma kerap menggurauinya, ?Enak kali-lah Abang rasa te ni horbo itu, ya??
Memang, Gokma telanjur menamai gulai tersebut dengan sebutan te ni horbo karena
menyerupa setumpuk kotoran kerbau. Hijau tua, dan kacau. Gokma sendiri tak suka.
Namun, bukan berarti ia enggan menyiapkan sekaligus menyajikannya untuk
Daulat.
Apa yang tak Gokma lakukan untuk Daulat. Ia ingin Daulat melupakan penyakit
yang makin menciutkan tubuhnya. Benar, hati bengkak bukan penyakit jinak. Tapi
paling tidak, dengan mengurangi beban pikiran Daulat, tentu penyakit tak terlalu
leluasa bekerja. Sebenarnya, Gokma ingin melerai Daulat bekerja sebagai
penambang liar batu pasir. Tebing-tebing batu yang terjal, bengal dan mencemaskan
itu terlalu berat bagi Daulat. Mulai dari merontokan pundak tebing dengan peralatan
seadanya sampai memipihkannya. Belum lagi harus mengangkut berkarung-karung
serpihan batu ke bak penampungan. Daulat dan beberapa penambang yang lain
harus menaklukkan jalan menurun, curam dan tajam. Dari lokasi tambang ke bak
penampungan berjarak hampir satu kilo. Tak jarang, Daulat harus naik turun sampai
dua puluh kali. Entahlah, itu pekerjaan yang terlampau mengkhawatirkan, terlebih-
lebih karena penyakit Daulat.
Tapi, ya, melarang Daulat bekerja serupa saja seperti menuai beliung serapah dari
pihak keluarga suaminya. Berarti pula, Gokma akan makin sering ke rumah mertua.
Sekitar dua bulan lalu, Daulat tergeletak di tempat tidur. Rasa perih yang luar biasa
di ulu hati menyandera tubuhnya. Pada saat yang bersamaan, usia kandungan
Gokma masuk bulan keenam. Tubuhnya lemah pula. Turun ke sawah sebagai buruh
upahan Gokma tak sanggup. Kalau untuk lauk, bisalah ia padakan tanam-tanaman
yang tumbuh di sekitar rumah. Tapi beras? Tak jarang Gokma harus memintanya ke
rumah mertua. Bagaimana lagi. Simpanan tak punya. Untuk membiayai pengobatan
Daulat ?meski cuma berobat kampung, ia harus utang kian kemari.
Nah, jangankan menjemput beras ke rumah mertua, bertandang saja pun sudah
sebuah petaka. Kata-kata pedas hilir-mudik di telinganya. Apalagi bou ?mertua
perempuan Gokma, bakal mengait-ngaitkan nasib Daulat dengan kutukan: Inilah
akibat kawin semarga! Ia memang semarga dengan Daulat. Tapi menurut Gokma,
aturan adat itu tidak cocok lagi ditunaikan di zaman sekarang. Bukankah itu berlaku
dulu, tatkala orang semarga yang tinggal sekampung, masih memiliki simpul temali
darah yang erat? Tentu sepasang insan yang masih bertalian darah dan semarga tabu
untuk menikah.
Tapi ia datang dari kampung yang jauh. Ia menyandang marga yang urutan
silsilahnya tak menentu lagi. Ayah Gokma bahkan menikahi seorang perempuan
Jawa, yaitu ibu Gokma. Maka dari itu ia tak ragu menyambut pinangan, meski
ditentang keras keluarga Daulat. Ia merasa tidak sedang menyabung nasib.
Kalaupun perjalanan perkawinannya dengan Daulat tak sekilau impian, bagi Gokma
tak singung-menyinggung dengan kutukan. Tidak bahagialah, dirundung
musibahlah, dikepung kesulitan, mendatangkan bala penyakit, atau bahkan berujung
pada kematian tragis. Itu urusan Tuhan, sungut Gokma.
Ya, termasuk penyakit yang mendera Daulat, menurut Gokma turun dari Tuhan,
bukan kuasa kutukan. Lagi pula, sebelum menikah pun Daulat sudah menanggung
penyakit tersebut. Gokma tak menyesal, dan tak akan pernah menyesal. Kalaupun
ada penyesalan, karena tak bisa membantu Daulat menggalah nafkah. Pekerjaan
berat tentu kian menggirangkan penyakit Daulat. Tapi hidup harus memilih.
Ketimbang sering menahankan kelebat caci-maki keluarga Daulat, Gokma memilih
suaminya tetap pergi ke bahu bukit. Ia tinggal banyak berdoa: Tuhan, kuasa Engkau
yang menurunkan penyakit, kuasa Engkau pula yang mengangkatnya.
Sejatinya, Daulat acap melerai Gokma pergi ke rumah Ibunya. Meski beberapa kali
pula Gokma mengabaikannya.
?Tak usah lagi kau pergi ke sana!?
?Terpaksa, Bang,? jawab Gokma.
?Makanya jangan dipaksa.?
?Ah, sudahlah, Bang.?
?Kalau begitu, jangan kau mengeluh. Inilah, itulah. Kau tahankanlah sendiri,?
Daulat mendadak meletuskan kata-kata ketus.
?Kalau Abang mau kita mati kelaparan, tak apalah, aku tak ?kan ke rumah bou lagi,?
Gokma menangkis, tak kalah sengit.
Tapi tak kuat ia menolak janin tangis.
?Bah, kasar kali kau ngomong, Gokma!?
?Abang kira omongan Abang tadi tak kasar? Aku terpaksa lakukan ini karena kondisi
kita. Untuk kesehatan Abang juga,? Suara Gokma bergetar, ?Meski pedas telingaku
karena sindiran bou, aku tahankan. Tapi kepada siapa lagi aku mengadu kalau bukan
kepada Abang?? Gokma terdesak menghadang isak. Adapun Daulat, kesulitan
menyeret udara ke dadanya. Hening.
?Aku sehat-sehat saja, Gokma. Biarkan aku pergi ke bukit. Pikirkan saja
kandunganmu. Jangan lupa kau makan. Banyak-banyak istirahat,? Daulat memilih
merundukkan amarahnya. Gokma menggigit bibir. Daulat benar, ia memang sering
lupa makan, acap pula lupa istirahat.
Iyalah, Gokma makin pelupa sekarang! Namun ia tak bakal lupa cara meracik lauk
daun ubi tumbuk terbaik bagi suaminya.
Dengan sigap Gokma mendongakkan lesung kayu yang telungkup di pojok dapur,
sekalian meraih alu. Penyedap lain sudah disiapkannya dari tadi: bawang merah,
cabai, segenggam rimbang, serta kincung merah jambu?sudah dicuci bersih, dan siap
dicincang mata alu di rahang lesung.
Sungguh, ada kenikmatan tersendiri ketika ayun alu perlahan berdegap ke jantung
lesung. Sehujam demi  sehujam, menjelma bunyi-bunyi benturan yang terpendam.
Seperti debam jantung Gokma menunggu kepulangan Daulat. Sesekali, tumpuk daun
ubi luput tertumbuk, melahirkan suara berdetuk-berdentang. Suara kepala kayu
beradu dengan perut kayu. Tapi mengapa suaminya belum juga mengetuk pintu?
Terkadang rimbang sebesar pucuk kelingking, atau bawang yang linang terpental-
pental dari liang lesung. Sesekali pula, kepal-kepal daun ubi turut terjungkal. Adakah
di luar sana Daulat sedang tersengal?
Namun Gokma terus melanjutkan pekerjaannya. Sambil menumbuk daun ubi,
Gokma mengaduk-aduk saripati kelapa tua yang dijerang di belanga. Diaduk agar
tidak pecah santan. Hendaknya, seperti nasihat Daulat, ketika santan sudah
menggelegak, daun ubi juga sudah siap diangkut ke belanga penjerangan. Daun ubi
yang sudah ditumbuk tidak boleh lama-lama duduk di pangkuan lesung, karena rasa
pahit perlahan-lahan akan menggerogotinya.
Mmh, Gokma tiba-tiba dirangkul malu. Daulat memang lebih mahir memasak daun
ubi tumbuk ketimbang dirinya. Pada masa mula perkawinan, Daulat begitu sabar
membunuh kegamangan Gokma dalam meracik lauk daun ubi tumbuk. Kadang,
Daulat turut membantu, bahkan pernah memaksakan diri menumbuk daun ubi,
padahal penyakit sedang mencengkeram kekuatan tubuhnya.
Ah, Gokma kerap ditodong tangis setiap pulang ke peristiwa itu. Pun seperti ia sering
disayat kepedihan air mata terkenang sindiran bou atas ketakmahirannya memasak
lauk kegemaran Daulat. Ia sering mencoba maklum, karena lauk daun ubi tumbuk
adalah makanan turun-temurun orang Selatan di tanah Tapanuli. Tapi Gokma
merasa beling sindiran bou terlampau runcing.
?Hei, pindahkan ke belanga sesegera mungkin!? gema suara Daulat memantul ke
telinganya.
Gokma tersentak. Ia memaling ke sekeliling. Ei, begitu jauh ia terseret ke lembah
lamunan. Maka, Gokma pun berupaya kembali ke bukit kesadaran. Ia tak mau lalai
memindahkan jabang santapan ke atas belanga, selekas mungkin. Gokma pun
memastikan hasil tumbukannya: apakah daun ubi sudah sebenar lumat, sudah
menyatu dengan pecahan bawang, rimbang, dan cabai yang menyembulkan biji-
bijiannya? Pun sudah seraga dengan kincung yang telah terberai serat-seratnya?
Tapi, pernah ?bahkan tak sekali dua kali terjadi, santan di pangkuan belanga
menguap nyaris tak tersisa. Saat itu, ia sibuk menimang-nimang wangi daun ubi
sehabis ditumbuk. Gokma pun lupa, bahwa menumbuk dan menjerang-mengaduk
santan harus ditunaikan seapi-selegak.
Dasar, Gokma pelupa! Namun, kali ini ?tepatnya beberapa hari belakangan, ia tak
bakal lupa menderetkan sajian yang sempurna untuk Daulat.
Ya, belasan hari terakhir, Gokma senantiasa menyuguhkan hidangan daun ubi
tumbuk ke hadapan Daulat. Mungkin, ini adalah wujud syukurnya kepada Tuhan.
Entah Daulat sudah sepenuhnya sembuh atau belum. Yang pasti, tubuh Daulat
kelihatan lebih berdaging, lebih bersih. Rona muka suaminya berseri. Memang,
Daulat tidak banyak berbicara kepadanya. Tapi, senyum dan cahaya mata suaminya
begitu melegakan Gokma. Adakah karena tak berapa lama lagi anak pertama mereka
akan lahir?
Mmh, mengembang kelopak hati Gokma menikmati saat-saat daun ubi tumbuk
mentah diceburkan ke geriak santan. Hidungnya mekar merengkuh aroma yang
khas. Ia sering mengibaratkan aromanya seperti uap tanah basah usai dicangkul,
atau batang leher padi yang tertebas sabit.
Namun, menemani Daulat menyantap makan malam, jauh lebih membahagiakan
dirinya. Ia sengaja tak mengusik Daulat dengan keluhan-keluhannya: perutnya
sering sakit, pinggang tegang, dan dadanya sesak. Gokma tak mau suaminya berpikir
keras, lantas sakit lagi. Ia biarkan Daulat menebus lapar setelah seharian bekerja.
Meski sesekali Gokma memegangi perut, senyum tak surut dari bibirnya. Lantas,
setiap kali menyaksikan Daulat tambah-tambah, ia mengalirkan bisikan kepada
kandungannya, ?Lihat, kuat sekali Ayahmu makan. Kau harus tiru Ayahmu, biar
simbur magodang, sehat dan gemuk.?
Gokma terkesima! Mulut suaminya bergelimang nasi. Pada terjal leher Daulat,
seperti ada anak neraca yang sibuk menimbang kelezatan. Maka tak ada alasan bagi
Gokma untuk tak menyaksikan Daulat menyelesaikan suapan terakhir. Pun tatkala
sendawa Daulat susul-menyusul, Gokma terpukau!
?Kalau laki-laki, kau musti rajin bantu Ayahmu bekerja. Nah, kalau perempuan, kau
harus bantu Ibu masak daun ubi tumbuk,? petik batin Gokma sambil memberesi
piring kotor ke dapur. Inilah puncak kegembiraan Gokma beberapa malam ini:
mendapati piring bekas Daulat makan, bersih dan licin. Tak ada sisa nasi, tak ada
ampas daun ubi tumbuk. ?Lahap kali makanmu, suamiku,? bisik Gokma berkali-kali,
tergeli-geli. Meski ketika kembali ke ruang tengah, ia sering kecewa lantaran tak
menemukan suaminya.
Kekenyangan tak pernah mampu menghadang Daulat untuk bangkit ke luar rumah.
Memang, selepas makan, Daulat sering ke luar rumah. Entah membeli rokok, atau
sekadar duduk di kedai kopi. Namun ia tak pernah lupa pamit. Nian, belakangan ini,
Gokma kerap lupa, pamit ke mana suaminya..?
Ah, pelupa betul Gokma. Kini makin parah malah. Dari mana jalannya ia bisa lupa
soal sesusut jenazah ?dengan perut pecah? yang terbujur di rumahnya belasan hari
silam?
Gokma, Gokma…

Sinopsis : kehidupan serta ketabahan, menghadapi dan menjalani hidup kekurangan, menjaga dan
menemani suaminya yang sakit, serta ketidaksukaan mertuanya karena menikah samarga.

Tema :

1. Jasmaniah: daulat diceritakan memiliki penyakit hati, serta menyebutkan Daulat Yang sering
sakit pinggang.
2. Sosial: permasalahan, dengan mertuanya menyangkut pernikahan semarga.
3. Organik:, dan daulat bertengkar karena ia melarang, pergi ke rumah orang tua Daulat.

Ideologi :

Etnosentrisme : Orang-orang etnosentris menilai kelompok lain relatif terhadap kelompok atau
kebudayaannya sendiri, khususnya bila berkaitan dengan bahasa, perilaku, kebiasaan, dan
agama

Hasan al-banna menitikberatkan masalah gokma terhadap pandangan mertua-Nya yang tidak
menyetujui pernikahan semarga yang katanya dapat mendatangkan musibah terhadap keluarga titik
namun Gokma tetap Teguh pendirian. Meski begitu, di akhir cerita Hasan al-banna tidak
memberikan buah terhadap keteguhan goma. Kalimat tersirat yaitu "Jenazah" mengartikan daulat
telah tiada. Hasan Albana menunjukkan bahwa pernikahan semarga berkemungkinan mendatangkan
nasib buruk.

Anda mungkin juga menyukai