Anda di halaman 1dari 4

Alkisah, ada dua orang anak laki-laki bersaudara berumur lima dan dua tahun.

Mereka hanya tinggal dengan Sang ayah karena Sang ibu telah meninggal
dunia ketika melahirkan anak bungsunya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari ayah kedua anak itu bekerja sebagai petani lahan kering. Sebelum
matahari terbit dia pergi ke ladang dan baru kembali pada tengah hari (bila
tidak membawa bekal) atau sebelum matahari terbenam (bila membawa
bekal).

Suatu hari, mungkin karena sudah “gatal” ^_^, Sang ayah kawin lagi. Dia
kawin dengan seorang janda bahenol namun sangat judes dan tidak
menyukai anak kecil. Setiap suami pergi ke ladang, anak-anak tidak diberi
makan. Saat telah berada di rumah barulah dia mengajak anak-anak tirinya ke
dapur untuk diberi makan. Dan, agar lebih meyakinkan dilumurilah pipi
mereka dengan nasi. Begitu seterusnya hingga mereka beranjak besar dan
dapat bermain di halaman.

Adapun permainan yang mereka gemari adalah baku lempar raga. Suatu
saat, ketika tengah asyik bermain Sang kakak terlalu bersemangat melempar
bola raganya hingga masuk ke rumah dan mengenai kepala orang yang
sedang bertamu. Sontak saja ibu tiri yang sedang asyik berbincang dengan
tamu menjadi sangat marah. Ketika Sang ayah pulang dari kebun dia
langsung melapor dan mengatakan bawa sifat kedua anaknya sudah tidak
baik lagi. Mereka harus dibinasakan agar kelak tidak terjadi malapetaka pada
keluarga.

Sang ayah bimbang menentukan pilihan. Dia tidak tega bila harus
menghilangkan nyawa kedua anaknya dengan tangan sendiri. Namun,
apabila tidak dilakukan, dia tidak rela ditinggal pergi oleh isteri baru yang
montok menggairahkan ^_^. Untuk mencari jalan keluar dia lalu meminta
tetangga membantu menyelesaikan masalah. Tetangga yang dia pilih adalah
orang yang paling bijaksana di kampung, sehingga diharapkan dapat
mencarikan jalan keluar tanpa merugikan siapapun.

Tanpa diduga, si tetangga malah menyanggupi keinginan Sang ibu tiri. Dia
lalu membawa kedua anak itu menuju hutan. Sampai di tengah hutan
dilepaskanlah mereka sambil berpesan agar jangan pernah kembali lagi ke
rumah. Sebagai ganti, dia menangkap dua ekor binatang hutan yang agak
besar. Hati binatang itu kemudian dia berikan pada Sang ibu tiri agar senang
dan melupakan kedua anak tirinya.

Sementara adik-beradik yang ditinggal di hutan kembali melanjutkan


perjalanan yang tak tentu arah. Mereka melewati tujuh buah bukit dan tujuh
buah gunung hingga sampai di sebuah pondok besar di tengah hutan
belantara. Oleh karena merasa lapar mereka langsung masuk ke dalam
pondok yang kebetulan tidak memiliki daun pintu. Di dalam pondok yang
terkesan kotor itu berserakan tulang-belulang berukuran besar. Tidak jauh
dari serakan tulang-belulang, tepatnya di sudut ruangan, terdapat bermacam-
macam makanan sangat menggiurkan tersaji di atas meja. Namun, karena
pemilik gubuk tidak berada di tempat, mereka tidak berani mengambilnya dan
hanya dapat menanti hingga sang empunya gubuk datang.

Tidak berapa lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang


menggetarkan tanah di sekitarnya. Adik-beradik itu pun menjadi ketakutan.
Mereka berpikir bahwa orang yang sedang menuju gubuk pastilah raksasa
yang oleh masyarakat disebut Nenek Pakande. Dia sangat ditakuti sebab
memakan binatang besar dan buas penghuni hutan serta manusia. Bila
mendapat binatang buruan berupa banteng atau harimau, akan dikuliti dan
dibakar agar dagingnya tidak liat. Sementara bila mendapat manusia akan
langsung dimakan karena dagingnya sudah enak.

Ketika berada dalam gubuk Nenek Pakande melihat ada dua orang anak kecil
berdiri ketakutan. Berbeda dengan kebiasaaannya setiap berjumpa manusia
Sang nenek tidak lantas memakan kedua anak itu. Dia malah menyambut
ramah dan mempersilahkan mereka untuk tinggal di gubuk. Alasannya, Sang
nenek sering pergi berburu binatang sehingga gubuk tidak terawat. Dia
memerlukan orang-orang yang dapat menjaga dan merawat tempat
tinggalnya. Sebagai imbalan, mereka dapat tinggal dan makan sepuasnya.

Alasan ini sebenarnya hanya akal bulus Nenek Pakande. Baginya tubuh
kedua adik-beradik tadi masih terlalu kecil apabila dijadikan santapan. Oleh
karena itu, dia berencana membesarkan mereka hingga “layak” untuk
dimakan. Adapun caranya adalah dengan memberi makan daging
sebanyaknya agar pertumbuhan mereka berjalan sangat baik. Bila tiba
waktunya, tentu daging mereka akan terasa sangat nikmat sekali.

Nenek Pakande lantas menyuruh mereka makan sampai kenyang. Selesai


makan dipersilahkan beristirahat karena hari telah senja. Pekerjaan
membersihkan gubuk seperti menyapu, mengepel, mencuci perabotan rumah
tangga boleh dilaksanakan keesokan hari. Pekerjaan ini tidaklah terlalu berat
dan boleh dilakukan secara sembarangan, sebab Sang nenek tidak
mempedulikan kebersihan. Begitu seterusnya hingga mereka tumbuh menjadi
remaja sehat dan kuat.
Suatu hari Sang Kakak menemukan sebuah botol berwarna hitam ketika
sedang membersihkan langit-langit. Takut bila tersenggol akan jatuh dan
pecah, botol itu diambil dan ditaruh di atas meja. Ketika Sang nenek pulang
dia langsung memberitahukan bahwa telah menemukan botol kusam. Selain
itu, dia juga menanyakan mengapa botol ditaruh di sana dan apa fungsi dari
botol tersebut.

Nenek Pakande agak terkejut mendengar botol pusaka yang


disembunyikannya dapat ditemukan orang lain. Tetapi karena masih
menganggap si penemu hanyalah remaja yang masih hijau, maka dia tidak
marah. Sebaliknya, dia malah menjelaskan bahwa botol itu berfungsi sebagai
wadah menaruh nyawanya apabila akan pergi berburu. Jadi, walau diterkam
harimau, diseruduk badak, atau diinjak gajah sekalipun akan tetap selamat.

Penjelasan Nenek Pakande merupakan suatu “berkah” tersendiri bagi Sang


kakak dan adiknya. Apabila nanti sewaktu-waktu Nenek Pakande berhasrat
hendak memakan mereka, botol kusam tadi akan dijadikan sebagai senjata
melawannya. Mereka berkeyakinan jika botol itu sampai pecah, maka nyawa
Nenek Pakande kemungkinan besar tidak dapat kembali ke raganya. Namun,
untuk sementara mereka seolah tidak tahu apa-apa dan tetap mengerjakan
tugas seperti biasa. Sebab, tanpa harus bekerja keras, setiap hari Nenek
Pakande selalu membawa daging lezat untuk dimakan.

Beberapa tahun kemudian mereka tumbuh menjadi dua orang dewasa


dengan bentuk fisik sempurna. Nenek Pakande gembira karena penantiannya
selama bertahun-tahun bakal terwujud. Dan untuk melaksanakan niatnya,
tidak seperti biasa, sebelum pergi berburu dia memerintahkan mereka
memasak beras ketan untuk dibuat pulut hitam. Bagi Sang Nenek, campuran
beras ketan yang nantinya ada di dalam perut akan menambah kenikmatan
rasa daging mereka.

Begitu mendapat perintah membuat pulut hitam, mereka pun sadar bahwa
Sang Nenek telah memberikan sebuah “tanda”. Oleh karena itu, Sang kakak
memerintah adiknya agar mencari seekor cicak. Rencananya, si cicak dimintai
tolong sementara mereka melarikan diri dari pondok menggunakan kuda milik
Nenek Pakande. Dengan demikian, Nenek Pakande akan kehilangan jejak
karena sibuk mencari di sekitar rumah.

Namun, rencana mereka tidak sepenuhnya berjalan mulus. Memang ketika


Sang Nenek datang Si cicak memainkan peran dengan baik. Dia selalu
meneriakkan lokasi keberadaan adik-beradik itu di sekitar pondok ketika
dipanggil sehingga Nenek Pakande sibuk berkeliling. Tetapi kebingungan
Sang Nenek hanya bersifat sementara setelah mengetahui kuda
kesayangannya tidak berada di dalam kandang.

Merasa telah ditipu, Nenek Pakande marah dan langsung mengejar. Berkat
indra penciuman yang sangat tajam, dalam waktu relatif singkat dia dapat
membuntuti mereka. Ketika jarak sudah sangat dekat dan akan diterkam,
Sang adik yang memegang botol pusaka segera melemparkannya ke sebuah
batu besar hingga pecah berkeping-keping. Dan, bersamaan dengan
pecahnya botol tersebut melayang pulalah nyawa Nenek Pakande. Dia tewas
secara mendadak karena jatung berhenti berdetak.

Anda mungkin juga menyukai