Mereka hanya tinggal dengan Sang ayah karena Sang ibu telah meninggal
dunia ketika melahirkan anak bungsunya. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-
hari ayah kedua anak itu bekerja sebagai petani lahan kering. Sebelum
matahari terbit dia pergi ke ladang dan baru kembali pada tengah hari (bila
tidak membawa bekal) atau sebelum matahari terbenam (bila membawa
bekal).
Suatu hari, mungkin karena sudah “gatal” ^_^, Sang ayah kawin lagi. Dia
kawin dengan seorang janda bahenol namun sangat judes dan tidak
menyukai anak kecil. Setiap suami pergi ke ladang, anak-anak tidak diberi
makan. Saat telah berada di rumah barulah dia mengajak anak-anak tirinya ke
dapur untuk diberi makan. Dan, agar lebih meyakinkan dilumurilah pipi
mereka dengan nasi. Begitu seterusnya hingga mereka beranjak besar dan
dapat bermain di halaman.
Adapun permainan yang mereka gemari adalah baku lempar raga. Suatu
saat, ketika tengah asyik bermain Sang kakak terlalu bersemangat melempar
bola raganya hingga masuk ke rumah dan mengenai kepala orang yang
sedang bertamu. Sontak saja ibu tiri yang sedang asyik berbincang dengan
tamu menjadi sangat marah. Ketika Sang ayah pulang dari kebun dia
langsung melapor dan mengatakan bawa sifat kedua anaknya sudah tidak
baik lagi. Mereka harus dibinasakan agar kelak tidak terjadi malapetaka pada
keluarga.
Sang ayah bimbang menentukan pilihan. Dia tidak tega bila harus
menghilangkan nyawa kedua anaknya dengan tangan sendiri. Namun,
apabila tidak dilakukan, dia tidak rela ditinggal pergi oleh isteri baru yang
montok menggairahkan ^_^. Untuk mencari jalan keluar dia lalu meminta
tetangga membantu menyelesaikan masalah. Tetangga yang dia pilih adalah
orang yang paling bijaksana di kampung, sehingga diharapkan dapat
mencarikan jalan keluar tanpa merugikan siapapun.
Tanpa diduga, si tetangga malah menyanggupi keinginan Sang ibu tiri. Dia
lalu membawa kedua anak itu menuju hutan. Sampai di tengah hutan
dilepaskanlah mereka sambil berpesan agar jangan pernah kembali lagi ke
rumah. Sebagai ganti, dia menangkap dua ekor binatang hutan yang agak
besar. Hati binatang itu kemudian dia berikan pada Sang ibu tiri agar senang
dan melupakan kedua anak tirinya.
Ketika berada dalam gubuk Nenek Pakande melihat ada dua orang anak kecil
berdiri ketakutan. Berbeda dengan kebiasaaannya setiap berjumpa manusia
Sang nenek tidak lantas memakan kedua anak itu. Dia malah menyambut
ramah dan mempersilahkan mereka untuk tinggal di gubuk. Alasannya, Sang
nenek sering pergi berburu binatang sehingga gubuk tidak terawat. Dia
memerlukan orang-orang yang dapat menjaga dan merawat tempat
tinggalnya. Sebagai imbalan, mereka dapat tinggal dan makan sepuasnya.
Alasan ini sebenarnya hanya akal bulus Nenek Pakande. Baginya tubuh
kedua adik-beradik tadi masih terlalu kecil apabila dijadikan santapan. Oleh
karena itu, dia berencana membesarkan mereka hingga “layak” untuk
dimakan. Adapun caranya adalah dengan memberi makan daging
sebanyaknya agar pertumbuhan mereka berjalan sangat baik. Bila tiba
waktunya, tentu daging mereka akan terasa sangat nikmat sekali.
Begitu mendapat perintah membuat pulut hitam, mereka pun sadar bahwa
Sang Nenek telah memberikan sebuah “tanda”. Oleh karena itu, Sang kakak
memerintah adiknya agar mencari seekor cicak. Rencananya, si cicak dimintai
tolong sementara mereka melarikan diri dari pondok menggunakan kuda milik
Nenek Pakande. Dengan demikian, Nenek Pakande akan kehilangan jejak
karena sibuk mencari di sekitar rumah.
Merasa telah ditipu, Nenek Pakande marah dan langsung mengejar. Berkat
indra penciuman yang sangat tajam, dalam waktu relatif singkat dia dapat
membuntuti mereka. Ketika jarak sudah sangat dekat dan akan diterkam,
Sang adik yang memegang botol pusaka segera melemparkannya ke sebuah
batu besar hingga pecah berkeping-keping. Dan, bersamaan dengan
pecahnya botol tersebut melayang pulalah nyawa Nenek Pakande. Dia tewas
secara mendadak karena jatung berhenti berdetak.