Anda di halaman 1dari 4

KISAH NENEK PAKANDE

Disahkan, dua orang anak laki-laki bersaudara yang hidup bersama ayah dan ibu tirinya. Si sulung
berusia 5 tahun dan si bungsu berusia 2 tahun.

Bapak kedua anak ini bekerja sebagai petani. Ketika berangkat ke kebun, kedua anak ini tinggal
bersama dengan ibu tirinya.

Sayang, ibu tiri mereka memiliki perangai yang jahat dan tidak menyukai kedua anaknya. Kerap kali,
mereka tidak diberi makan hingga seharian.

Ketika sang Ayah pulang, barulah si ibu tiri ini menarik anaknya ke dapur dan dia melumuri muka
kedua anak itu dengan nasi. Hal ini dilakukan untuk menunjukkan kepada si Ayah, bahwa kedua
anak tersebut kerjanya cuma makan sepanjang hari.

Saat ayahnya hendak makan, kedua anak itu mendekat meminta makanan karena lapar. Hal ini
membuat sang ayah bertanya kepada si ibu tiri apakah anak-anaknya sudah makan.

Ibu tiri pun berbohong bahwa anak-anak itu tidak berhenti makan.

"Tidak berhenti-hentinya makan. selalu di dapur saja tinggal, coba lihat, masih ada nasi berlumuran di
pipinya," kata ibu tiri.

Begitu setiap hari yang dialami oleh kakak-beradik ini.

Suatu hari, kedua anak ini sedang bermain bola di depan rumah mereka. Tiba-tiba tanpa sengaja
bola yang dimainkan melayang masuk ke dalam rumah dan mengenai tamu.

Si ibu tiri pun murka bukan kepalang. Ia berniat untuk membunuh kedua anak tersebut dan memakan
hatinya.

Ketika si ayah pulang, dibujuknya suaminya untuk turut membunuh sang anak. Dikatakan kepadanya
bahwa kedua anak tersebut menjadi semakin nakal dan jahat sifatnya.

Sang Ayah pun terpengaruh. Ditariknya kedua anaknya untuk dibunuh.

Peristiwa itu disaksikan oleh tetangga mereka. Salah seorang tetangga kemudian menghampiri dan
mengatakan kepada suami istri itu agar jangan membunuh anak mereka sendiri di dalam rumah.

"Biarkanlah saya yang membawanya ke hutan dan membunuhnya. Nanti kedua hatinya akan saya
bawa pulang untuk kalian," bujuk tetangga tersebut.

Akhirnya mereka melepas kedua anak tersebut untuk dibawa ke hutan. Sesampainya di tengah
hutan, si tetangga merasa iba kepada kedua anak tersebut. Ia meminta anak tersebut untuk pergi
membuang diri dan jangan pernah kembali lagi ke rumah tersebut.

Si tetangga kemudian mengambil hati binatang untuk dibawa pulang.

Kedua anak laki-laki tersebut terus berjalan hingga melewati tujuh bukit dan tujuh gunung. Tak
berselang lama, mereka menemukan sebuah rumah tua.
"Kita singgah di sini dik, kita minta nasi," ujar si sulung pada adiknya.

Mereka mendapati rumah tersebut ternyata tidak berpintu. Maka mereka pun langsung masuk. Di
dalam rumah itu terlihat tulang belulang berserakan di lantai dan di meja.

Karena begitu lapar, mereka mencari sang empunya rumah. Namun tak seorang pun dijumpainya.

Hingga ke dapur mereka melihat berbagai makanan tersimpan di sana. Karena rasa lapar yang
begitu mendera, mereka memberanikan diri mengambil makanan dan menyantapnya dengan lahap.

Menjelang malam, tiba-tiba terdengarlah suara seperti guntur. Keduanya kaget dan ketakutan.

"Hmmm... ada yang berbau manusia!," bunyi suara itu menggelegar.

Pada saat itu, barulah mereka sadar bahwa itu adalah rumah Nenek Pakande. Sosok makhluk
perempuan tua pemakan manusia.

Ketika naik ke rumah, berkatalah Nenek Pakande "Siapakah engkau cucu-cucu?".

"Kamilah anak yang tidak beribu. Bapak kami sudah beristri lagi, dan ibu tiri tidak menyukai kami.
Terpaksa kami membuang diri. Dan sampailah kami di rumah ini," kata anak-anak itu.

"Baiklah! Tinggallah kalian di sini cucu-cucu. Kalian jaga rumah ini, sebab saya selalu bepergian,"
bujuk si Nenek.

"Sudahkah kalian makan?" lanjutnya.

"Sudah nek!" jawab anak-anak itu

"Makanlah yang banyak supaya cepat besar!" kata si Nenek.

Kedua anak itu pelan-pelan mulai tenang. Mereka pun percaya dengan ajakan si Nenek Pakande.

"Bagaimana ukuran hatimu cucu?" si nenek bertanya lagi.

"Baru sebesar biji beras, nek," jawab anak-anak itu.

"Makanlah, makanlah supaya engkau lekas besar!" kata Nenek Pakande lagi.

Begitulah dialog yang terjadi setiap hari. Kedua anak itu tinggal di rumah tersebut bersama dengan
Nenek Pakande.

Mereka bertugas menjaga rumah pada saat si Nenek Pakande pergi. Begitu pulang, si nenek
membawa berbagai macam makanan.

Setiap hari pula Nenek Pakande bertanya kepada mereka mengenai kondisi hati mereka. Tanpa ada
rasa curiga mereka menjawab dari seukuran biji jagung, telur itik, hingga sebesar bakul kecil.

Singkat cerita, kedua anak itupun beranjak dewasa. Mereka semakin pintar dan cerdik. Mereka pun
sudah tau kebiasaan neneknya. Tiap hari mereka memperhatikan kalo sebelum berangkat nenek
selalu menggantung botol di loteng.

"Apakah isi botol yang tergantung itu, nek?" si sulung bertanya.


"Jangan kalian sentuh botol itu. Karena itulah tempat nyawaku. Sebelum bepergian, aku simpan
nyawaku di botol itu, sehingga ketika bertarung dengan hewan buas, aku tidak akan mati," jelas si
Nenek.

Kakak beradik itupun menjadi sadar dan mengetahui rahasia si nenek. Mereka mulai menyusun
rencana.

Si Nenek kembali bertanya sebesar apakah ukuran hati mereka. Si anak menjawab, "Sudah sebesar
nenek, sudah bisa kau makan".

Nenek Pakande riang bukan main. Sudah lama ia tak menyantap daging manusia. Selama ini hanya
daging binatang saja.

Si Nenek kemudian berkata, "Pergilah tidur cucu, besok pagi bangunlah pagi-pagi. Dan masaklah
beras ketan hitam. Makan sampai kenyang."

"Baik nek!" jawab mereka.

Keesokan harinya, mereka berdua bangun pagi sekali. Mereka memasak dan makan dengan
kenyang.

"Ini untuk terakhir kalinya kita makan di sini," kata si Sulung kepada adiknya.

Mereka sudah mempersiapkan rencana untuk kabur. Setelah makan, mereka menemui seekor cicak
yang ada dalam rumah. Diajarinya cicak itu untuk berbicara.

"Bila Nenek Pakande memanggilku dari bawah, menyahutlah, 'Saya di rumah!'. Bila nenek naik ke
rumah, katakan 'Saya di loteng'. Bila nenek naik ke loteng, katakanlah 'Saya di atap rumah'," pesan
anak-anak itu pada si cicak.

Karena kasihan melihat kedua kakak beradik tersebut, si cicak pun menyetujuinya.

Mereka pun pergi dengan mengendarai kuda khusus milik Nenek Pakande. Tak lupa sebelum
berangkat, si Bungsu mengambil botol yang tergantung di loteng.

Kuda miliki Nenek Pakande itu bukan kuda biasa. Ada tiga tali kekangan di lehernya. Tali pertama
ditarik, maka berlarilah kuda itu sekencang angin. Tali kedua ditarik, kuda tersebut tiba-tiba melayang
tak lagi menapak tanah. Tali ketiga ditarik, maka kudang terbang tinggi hingga angkasa.

Sementara itu, Nenek Pakande baru terbangun dari tidur panjangnya. Ia begitu senang karena hari
yang ditunggu-tunggu selama bertahun-tahun telah tiba.

Dicari-carinya kedua cucunya untuk dijadikan sarapan. Dicari hingga ke kolong rumah, tak ada juga.
Maka mulailah ia berteriak memanggil cucunya.

"Cucu-cucuku, di mana kalian?"

"Kami ada di dalam rumah, nek!" Terdengar suara jawaban.

Bergegas ia naik ke rumah. Namun tak seorang pun dijumpai.

"Di mana kalian, cucu?" Nenek berteriak lagi.


"Kami ada di loteng."

Si Nenek pun naik ke loteng. Tapi merekapun tak ada di sana.

"Di mana kalian?"

"Kami di atap rumah."

Si Nenek Pakande pun naik ke atap mengikuti suara tersebut. Namun tak ditemukannya cucunya di
sana.

Ia mulai marah. Di cari-cari kedua cucunya itu dengan matanya. Sayup-sayup terlihat sekilas
bayangan di kejauhan langit.

Itulah mereka. Sekejap Nenek Pakande melompat ke bawah. Di ambilnya satu lagi kudanya. Dan
mulai mengejar anak-anak itu.

Mereka saling berkejar-kejaran di angkasa menggunakan kuda. Peristiwa itu membuat langit
bergemuruh. Kuda-kuda yang mereka gunakan mengeluarkan api dari nafasnya. Keadaan seperti
akan kiamat. Guntur tak henti-hentinya bergemuruh.

Setelah sekian lama, Nenek Pakande berhasil mendekati mereka.

"Celakalah kita kakak. Nenek Pakande akan menyantap kita. Ia semakin dekat. Kita akan mati," kata
si bungsu pada kakaknya.

Mereka berdua pun panik. Namun seketika itu, si Kakak teringat dengan botol Nenek Pakande yang
mereka bawa.

"Ambil dan lemparkan botol itu!"

Adiknya dengan cepat melemparkan botol itu ke bawah, dan terkena batu. Botol itu pun menjadi
pecah. Akhirnya Nenek Pakande pun mati.

Anda mungkin juga menyukai