Anda di halaman 1dari 15

Cerita Putri Tangguk

Putri Tangguk adalah seorang petani yang tinggal di Negeri Bunga Tanjung,
Kecamatan Danau Kerinci, Provinsi Jambi, Indonesia. Ia memiliki sawah hanya seluas
tangguk, [1] tetapi mampu menghasilkan padi yang sangat melimpah. Pada suatu hari,
Putri Tangguk dikejutkan dengan sebuah peristiwa aneh di sawahnya. Ia mendapati
tanaman padinya telah berubah menjadi rerumputan tebal. Mengapa tanaman padi
Putri Tangguk secara ajaib berubah menjadi rumput? Temukan jawabannya dalam
cerita Putri Tangguk berikut ini!

***
Alkisah, di Negeri Bunga, Kecamatan Danau Kerinci Jambi, ada seorang
perempuan bernama Putri Tangguk. Ia hidup bersama suami dan tujuh orang anaknya.
Untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, ia bersama suaminya menanam padi di
sawahnya yang hanya seluas tangguk. Meskipun hanya seluas tangguk, sawah itu
dapat menghasilkan padi yang sangat banyak. Setiap habis dipanen, tanaman padi di
sawahnya muncul lagi dan menguning. Dipanen lagi, muncul lagi, dan begitu
seterusnya. Berkat ketekunannya bekerja siang dan malam menuai padi, tujuh
lumbung padinya yang besar-besar sudah hampir penuh. Namun, kesibukan itu
membuatnya lupa mengerjakan pekerjaan lain. Ia terkadang lupa mandi sehingga
dakinya dapat dikerok dengan sendok. Ia juga tidak sempat bersilaturahmi dengan
tetangganya dan mengurus ketujuh orang anaknya.
Pada suatu malam, saat ketujuh anaknya sudah tidur, Putri Tangguk berkata
kepada suaminya yang sedang berbaring di atas pembaringan.
“Bang! Adik sudah capek setiap hari menuai padi. Adik ingin mengurus anak-
anak dan bersilaturahmi ke tetangga, karena kita seperti terkucil,” ungkap Putri
Tangguk kepada suaminya.
“Lalu, apa rencanamu, Dik?” tanya suaminya dengan suara pelan.
“Begini Bang! Besok Adik ingin memenuhi ketujuh lumbung padi yang ada di
samping rumah untuk persediaan kebutuhan kita beberapa bulan ke depan,” jawab
Putri Tangguk.
“Baiklah kalau begitu. Besok anak-anak kita ajak ke sawah untuk membantu
mengangkut padi pulang ke rumah,” jawab suaminya.
“Ya, Bang!” jawab Putri Tangguk.
Beberapa saat kemudian, mereka pun tertidur lelap karena kelelahan setelah
bekerja hampir sehari semalam. Ketika malam semakin larut, tiba-tiba hujan turun
dengan deras. Hujan itu baru berhenti saat hari mulai pagi. akibatnya, semua jalan
yang ada di kampung maupun yang menuju ke sawah menjadi licin.
Usai sarapan, Putri Tangguk bersama suami dan ketujuh anaknya berangkat ke
sawah untuk menuai padi dan mengangkutnya ke rumah. Dalam perjalanan menuju
ke sawah, tiba-tiba Putri Tangguk terpelesat dan terjatuh. Suaminya yang berjalan di
belakangnya segera menolongnya. Walau sudah ditolong, Putri Tangguk tetap marah-
marah.
“Jalanan kurang ajar!” hardik Putri Tangguk.
“Baiklah! Padi yang aku tuai nanti akan aku serakkan di sini sebagai pengganti
pasir agar tidak licin lagi,” tambahnya.
Setelah menuai padi yang banyak, hampir semua padi yang mereka bawa
diserakkan di jalan itu sehingga tidak licin lagi. Mereka hanya membawa pulang sedikit
padi dan memasukkannya ke dalam lumbung padi. Sesuai dengan janjinya, Putri
Tangguk tidak pernah lagi menuai padi di sawahnya yang seluas tangguk itu. Kini, ia
mengisi hari-harinya dengan menenun kain. Ia membuat baju untuk dirinya sendiri,
suami, dan untuk anak-anaknya. Akan tetapi, kesibukannya menenun kain tersebut
lagi-lagi membuatnya lupa bersilaturahmi ke rumah tetangga dan mengurus ketujuh
anaknya.
Pada suatu hari, Putri Tangguk keasyikan menenun kain dari pagi hingga sore
hari, sehingga lupa memasak nasi di dapur untuk suami dan anak-anaknya. Putri
Tangguk tetap saja asyik menenun sampai larut malam. Ketujuh anaknya pun tertidur
semua. Setelah selesai menenun, Putri Tangguk pun ikut tidur di samping anak-
anaknya.
Pada saat tengah malam, si Bungsu terbangun karena kelaparan. Ia menangis
minta makan. Untungnya Putri Tangguk dapat membujuknya sehingga anak itu
tertidur kembali. Selang beberapa waktu, anak-anaknya yang lain pun terbangun
secara bergiliran, dan ia berhasil membujuknya untuk kembali tidur. Namun, ketika
anaknya yang Sulung bangun dan minta makan, ia bukan membujuknya, melainkan
memarahinya.
“Hei, kamu itu sudah besar! Tidak perlu dilayani seperti anak kecil. Ambil sendiri
nasi di panci. Kalau tidak ada, ambil beras dalam kaleng dan masak sendiri. Jika tidak
ada beras, ambil padi di lumbung dan tumbuk sendiri!” seru Putri Tangguk kepada
anak sulungnya.
Oleh karena sudah kelaparan, si Sulung pun menuruti kata-kata ibunya. Namun,
ketika masuk ke dapur, ia tidak menemukan nasi di panci maupun beras di kaleng.
“Bu! Nasi dan beras sudah habis semua. Tolonglah tumbukkan dan tampikan
padi!” pinta si Sulung kepada ibunya.
“Apa katamu? Nasi dan beras sudah habis? Seingat ibu, masih ada nasi dingin di
panci sisa kemarin. Beras di kaleng pun sepertinya masih ada untuk dua kali tanak.
Pasti ada pencuri yang memasuki rumah kita,” kata Putri Tangguk.
“Ya, sudahlah kalau begitu. Tahan saja laparnya hingga besok pagi! Ibu malas
menumbuk dan menampi beras, apalagi malam-malam begini. Nanti mengganggu
tetangga,” ujar Putri Tangguk.
Usai berkata begitu, Putri Tangguk tertidur kembali karena kelelahan setelah
menenun seharian penuh. Si Sulung pun kembali tidur dan ia harus menahan lapar
hingga pagi hari.
Keesokan harinya, ketujuh anaknya bangun dalam keadaan perut keroncongan.
Si Bungsu menangis merengek-rengek karena sudah tidak kuat menahan lapar.
Demikian pula, keenam anaknya yang lain, semua kelaparan dan minta makan. Putri
Tangguk pun segera menyuruh suaminya mengambil padi di lumbung untuk
ditumbuk. Sang Suami pun segera menuju ke lumbung padi yang berada di samping
rumah. Alangkah terkejutnya sang Suami saat membuka salah satu lumbung padinya,
ia mendapati lumbungnya kosong.
“Hei, ke mana padi-padi itu?” gumam sang Suami.
Dengan perasaan panik, ia pun memeriksa satu per satu lumbung padinya yang
lain. Namun, setelah ia membuka semuanya, tidak sebutir pun biji padi yang tersisa.
“Dik…! Dik…! Cepatlah kemari!” seru sang Suami memanggil Putri Tangguk.
“Ada apa, Bang?” tanya Putri Tangguk dengan perasaan cemas.
“Lihatlah! Semua lumbung padi kita kosong. Pasti ada pencuri yang mengambil
padi kita,” jawab sang Suami.
Putri Tangguk hanya ternganga penuh keheranan. Ia seakan-akan tidak percaya
pada apa yang baru disaksikannya.
“Benar, Bang! Tadi malam pencuri itu juga mengambil nasi kita di panci dan beras
di kaleng,” tambah Putri Tangguk.
“Tapi, tidak apalah, Bang! Kita masih mempunyai harapan. Bukankah sawah kita
adalah gudang padi?” kata Putri Tangguk.
Usai berkata begitu, Putri Tangguk langsung menarik tangan suaminya lalu
berlari menuju ke sawah. Sesampai di sawah, alangkah kecewanya Putri Tangguk,
karena harapannya telah sirna.
“Bang! Pupuslah harapan kita. Lihatlah sawah kita! Jangankan biji padi, batang
padi pun tidak ada. Yang ada hanya rumput tebal menutupi sawah kita,” kata Putri
Tangguk.
Sang Suami pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya tercengang penuh
keheranan menyaksikan peristiwa aneh itu. Dengan perasaan sedih, Putri Tangguk dan
suaminya pulang ke rumah. Kakinya terasa sangat berat untuk melangkah. Selama
dalam perjalanan, Putri Tangguk mencoba merenungi sikap dan perbuatannya selama
ini. Sebelum sampai di rumah, teringatlah ia pada sikap dan perlakuannya terhadap
padi dengan menganggapnya hanya seperti pasir dan menyerakkannya di jalan yang
becek agar tidak licin.
“Ya… Tuhan! Itukah kesalahanku sehingga kutukan ini datang kepada kami?”
keluh Putri Tangguk dalam hati.
Sesampainnya di rumah, Putri Tangguk tidak dapat berbuat apa-apa. Seluruh
badannya terasa lemas. Hampir seharian ia hanya duduk termenung. Pada malam
harinya, ia bermimpi didatangi oleh seorang lelaki tua berjenggot panjang mengenakan
pakaian berwarna putih.
“Wahai Putri Tangguk! Aku tahu kamu mempunyai sawah seluas tangguk, tetapi
hasilnya mampu mengisi dasar Danau Kerinci sampai ke langit. Tetapi sayang, Putri
Tangguk! Kamu orang yang sombong dan takabbur. Kamu pernah meremehkan padi-
padi itu dengan menyerakkannya seperti pasir sebagai pelapis jalan licin. Ketahuilah,
wahai Putri Tangguk…! Di antara padi-padi yang pernah kamu serakkan itu ada
setangkai padi hitam. Dia adalah raja kami. Jika hanya kami yang kamu perlakukan
seperti itu, tidak akan menjadi masalah. Tetapi, karena raja kami juga kamu
perlakukan seperti itu, maka kami semua marah. Kami tidak akan datang lagi dan
tumbuh di sawahmu. Masa depan kamu dan keluargamu akan sengsara. Rezekimu
hanya akan seperti rezeki ayam. Hasil kerja sehari, cukup untuk dimakan sehari. Kamu
dan keluargamu tidak akan bisa makan jika tidak bekerja dulu. Hidupmu benar-benar
akan seperti ayam, mengais dulu baru makan….” ujar lelaki tua itu dalam mimpi Putri
Tangguk.
Putri Tangguk belum sempat berkata apa-apa, orang tua itu sudah menghilang.
Ia terbangun dari tidurnya saat hari mulai siang. Ia sangat sedih merenungi semua
ucapan orang tua yang datang dalam mimpinya semalam. Ia akan menjalani hidup
bersama keluarganya dengan kesengsaraan. Ia sangat menyesali semua perbuatannya
yang sombong dan takabbur dengan menyerakkan padi untuk pelapis jalan licin.
Namun, apalah arti sebuah penyesalan. Menyesal kemudian tiadalah guna.
***
Demikian cerita Putri Tangguk dari Provinsi Jambi. Cerita di atas tergolong mitos
yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan
sehari-hari. Di kalangan masyarakat Jambi, mitos ini sering dijadikan nasihat orang
tua kepada anak-anaknya agar tidak menyia-nyiakan padi.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keburukan sifat sombong
dan takabbur. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Putri Tangguk yang telah
meremehkan padi dengan cara menyerakkannya di jalan yang licin sebagai pengganti
pasir. Akibatnya, hidupnya menjadi sengsara karena padi-padi tersebut murka
kepadanya.
Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa harta dan pekerjaan dapat
membuat seseorang lalai, lengah, dan tidak waspada dalam berbuat, sehingga
mengakibatkan kebinasaan dan malapetaka. Orang yang memiliki sifat-sifat tersebut
biasanya akan menyadari kesalahannya setelah tertimpa musibah. Sebagaimana
dikatakan dalam ungkapan Melayu, “ingat setelah kena” (Tennas Effendy, 1995: 87).
Hal ini tampak pada sikap dan perilaku Putri Tangguk, yang baru menyadari dan
menyesali semua perbuatannya setelah tertimpa musibah, yakni padi ajaib enggan
untuk kembali dan tumbuh lagi di sawahnya.
Cerita Orang Kayo Hitam ~

Dia, Orang Kayo Hitam, seorang yang terkenal. Namun sebagai seorang raja, ayah
beliau konon kabarnya berasal dari buah nyiur gading. Pada zaman dahulu di negeri
Jambi ini, ada sebatang nyiur gading yang hanya berbuah lima. Kelima buah nyiur
tersebut sampai batangnya tua tetap tidak gugur-gugur. Begitu batang nyiur tadi akan
tumbang karena sudah sangat tua, yang rupanya masa hidupnya sudah berakhir,
kelima buah nyiur tersebut gaib berubah menjadi manusia. Empat menjelma menjadi
laki-laki, dan seorang perempuan. Lelaki yang tertua menjadi raja Mataram yang kedua
raja di Jambi bernama Datuk Temenggung empat Tiang Bungkuk berkuasa di Ranah
Minang, yang kelima, yang paling bungsu, seorang wanita bernama Puteri Mayang
Mengurai.
Datuk Temenggung Mareha Mata kelak mempunyai lima orang anak. Yang tertua
bernama Orang Kayo Hitam, yang kedua Orang Kayo Pinagi, ketiga Orang Kayo Gemuk,
keempat Orang Kayo Padataran, dan yang paling bungsu seorang wanita bernama
Puteri Pinang Masak. Pada masa itu negeri Jambi berhubungan baik dengan kerajaan
Mataram.
Raja Mataram kebetulan berasal dari negeri Jambi sendiri, yang dahulunya penjelmaan
buah nyiur gading. Sudah menjadi kebiasaan pada waktu itu, setiap tahun, Kerajaan
Jambi mengirim upeti ke Mataram berupa pekasam keluang dan pekasam pacat. Tetapi
ketika Orang Kayo Hitam naik takhta, kebiasaan itu dihentikannya. Tentu saja raja
negeri Mataram sangat marah. Dan ketika itu baginda sudah tahu bahwa berbuat
demikian ialah raja Jambi sendiri, yang bernama Orang Kayo Hitam, segeralah
disusunnya suatu rencana untuk menyerang Jambi.
Untuk menyerang Jambi tidak mudah. Karena itu baginda mendirikan pusat latihan
tentara di Mataram. Pelatih tentara yang dipersiapkan tersebut dipercayakan kepada
sembilan orang hulubang yang dianggap tangguh. Di lain pihak untuk membunuh
Orang Kayo Hitam, sengaja dibuat sebuah keris yang ditempa sembilan tempaan, dan
harus selesai dikerjakan selama sembilan kali Jumat.
Orang Kayo Hitam, dalam pada itu, sudah tahu pula segala rencana pamannya raja
Mataram tersebut. Maka dibulatkannya tekadnya untuk segera berangkat ke Mataram.
Perlengkapan yang dibawanya, tombak bermata tiga berhulu tentang tenggeris bujang
sebuah, jala sutera, seekor burung tiga warna, hitam, putih, dan merah.
Kelima barang tersebut ditaruhnya baik-baik di dalam perahu yang akan dipakainya
untuk berlayar. Ikut bersama Orang Kayo Hitam ialah adiknya sendiri, Orang Kayo
Pingai. Adiknya ini mempunyai sifat yang lain dari pada yang lain. Kalau sudah makan
akan segera jatuh tertidur dengan pulasnya. Tak satu pekerjaan pun yang
disenanginya. Dan memang ia tak suka bekerja.
Orang yang mengerti betul akan sifat-sifatnya ini hanyalah kakaknya sendiri. Orang
Kayo Hitam. Kepada Orang Kayo Hitamlah semua kehendaknya dapat disalurkan.
Orang Kayo Hitamlah dapat memberinya makan kenyang. Itulah sebabnya kemana saja
Orang Kayo Hitam pergi. Orang Kayo Pingai telah turut pula. Ia tak hendak tahu sedikit
pun dengan persoalan kakaknya itu, apalagi bila kakaknya dalam kesulitan.
Baru saja Orang Kayo Hitam sampai di pelabuhan Mataram, ia disambut dengan
tembakan meriam. Tapi Orang Kayo Hitam yang sudah berubah rupa menjadi anak
yang kudisan, tak cedera sedikit pun oleh tembakan tadi. Melihat keadaan yang
demikian, baginda raja segera memerintahkan kesembilan hulubalangnya menangkap
anak kecil yang baru datang itu. Tapi ketika mereka sampai dipelabuhan, bau busuk
menusuk-nusuk hidung, menyebabkan mereka tak dapat mendekat ke perahu anak
kecil tadi. Mereka pun kembali ke tempat raja di pemusatan latihan.
Pada hari Jumat pertama, baginda raja bersama seorang mpu pandai besi telah berada
di sebuah gua batu tempat yang letaknya oleh seorang jua pun. Maklumlah rahasia
kegunaan keris yang akan dikerjakan mpu tersebut tak boleh diketahui oleh siapa saja.
Ketika baginda telah meninggalkan gua batu, dan yang ada di dalamnya hanya mpu
seorang, anak kecil kudisan tadi telah muncul begitu saja disana. Mpu pandai besi tadi
sangat terkejut melihat kedatangan anak kecil yang tak diduga-duganya sebelum itu.
“Eh, mengapa engkau sampai di sini?” Mpu pandai besi bertanya kepada anak kecil
kudisan yang telah berdiri dengan beraninya di dalam gua bersamanya. “Anak siapa
engkau gerangan hingga tersesat sampai kemari ?”
“Hamba tidak tersesat, Mpu!”jawab anak tersebut. “Ketahuilah oleh Mpu, bahwa Mpu
berada hamba pasti bersama Mpu pula. Yang ingin hamba tanyakan, apa yang sedang
Mpu kerjakan di dalam gua batu ini seorang diri?”
“Tidakkah nampak olehmu bahwa aku sedang membuat keris? Keris ini terbuat dari
besi yang diramu di sembilan desa, dan di tempa sembilan tempaan, yang harus selesai
selama sembilan kali Jum’at, kata Mpu itu. “Untuk apa keris yang demikian aneh itu?”
Pertanyaan tersebut tidak dijawabnya sedikitpun oleh Mpu pandai besi itu. Ia tanpa
menoleh meneruskan pekerjaannya. Mengetahui pertanyaannya tak akan dijawab oleh
Mpu tua pandai besi tadi, segeralah ia minta diri. Sebentar kemudian ia telah sampai
kembali di perahunya. Didapatinya adiknya Orang Kayo Pingai mendengkur tidur
dengan nyenyaknya.
Semenjak itu, anak kecil tadi tak lagi pergi kemana-mana. Ia sudah tahu keris yang
dikerjakan mpu tua akan selesai delapan kali Jum’at lagi. Waktunya dihabiskannya di
perahu saja, bermain dengan kelima barang bawaannya yang dibawanya dahulu dari
Jambi. Penduduk negeri Mataram tak hendak mendekat karena bau busuk selalu
tercium dengan lantang dari perahu yang tertambat itu. Menurut perkiraan mereka
pastilah anak kecil yang dihinggapi kudis ganas tersebut akan mati juga akhirnya
seorang diri. Apa gunanya dijenguk kesana. Kalau penyakit tersebut sebangsa penyakit
menular, tentu amat berbahaya untuk didekati. Biarlah anak tersebut mati menurut
panggilan nasibnya. Ketika jangka sembilan Jum’at sudah tiba, anak kecil itu pergilah
kembali ke gua batu tempat mpu sedang membuat keris dahulu.
“Ha, engkau sudah datang pula!” kata mpu pandai besi kepadanya.
“Apakah hamba tidak boleh melihat keris itu?” jawabnya. Kalau hamba boleh
melihatnya, tentu boleh pula memegangnya agak sebentar,” kata anak itu lagi.
“Tidak boleh!” bentak mpu tersebut, “Nanti diketahui raja.”
“Tidak apa-apa, Mpu” kata anak itu, “Mana mungkin raja mengetahuinya. Kita hanya
berdua saja di dalam gua ini.”
Begitulah anak lelaki kecil itu mengugut-ugut terus serta membujuk-bujuk mpu
pembuat keris. Hingga akhirnya keris tersebut ditunjukkannya juga kepada anak kecil
yang cerdik itu.
“Berapa upah yang Mpu terima dari raja untuk membuat keris ini!”
“Kulub” katanya kepada anak kecil setelah ia berada di perahu di pelabuhan. “Boleh
tak boleh aku akan bersembunyi disini. Dapatkah engkau menerimaku?” “Tentu” jawab
anak kecil diperahu tersebut. “Datuk dapat terbaring didalamnya. Percayalah kepada
hamba, tak seorang pun yang akan dapat melihat Datuk.”
Anak kecil kudisan yang telah lama bermukim di pelabuhan tersebut mulai
membersanilan diri pergi ke gelanggang tempat tentara Mataram melakukan latihan.
Ketika ia sampai disana semua orang mengejeknya sejadi-jadinya. Kebanyakan di
antara mereka marah kepada anak kecil tersebut. Anak kecil tadi dengan anak ayam
jantan yang terkepit diketiaknya tidak berbuat sesuatu apa. Ia hanya berdiam diri saja,
biarpun ejekan dan caci maki menjadi-jadi dilontarkan orang banyak. Kudis yang
melekat ditubuhnya digaruk-garuknya juga, menyebarkan bau busuk, yang makin
menimbulkan marah orang banyak.
“Baik kita bunuh anak kecil kudisan itu,” kata salah seorang hulubalang yang delapan
kepada kawan-kawannya. “Apa yang engkau ketahui anak kecil?” serunya pula.
“Tak sesuatu pun yang hamba ketahui Datuk” jawab anak tersebut sambil menggaruk-
garuk kudisnya.
“Kalau demikian mengapa engkau kemari?” bentak salah seorang hulubalang yang
delapan.
“Hamba ingin bermain-main bersama ayam hamba ini,” jawab anak itu. Mendengar
tutur anak kudisan itu tertawa semua orang yang ada di tempat latihan itu.
Seorang yang dikelihatannya amat garang, berkata dengan lantang, “Jawab
pertanyaanku, bedebah! Kalau tidak engkau kubunuh. Permaianan apa yang engkau
kuasai?”
“Hamba tak menguasai sesuatu permainan pun” jawabnya.
“Engkau pandai main ini” tanya hulubalang garang itu pula menirukan gerakan orang
bersilat.
“Hamba tak pandai, Hamba hanya pandai sekedar memainkan kayu.
“Dimana engkau simpan kayumu itu? tanya hulubalang.
“Di dalam perahu di pelabuhan,” jawab anak itu.
Engkau tunggulah disini anak kotor!” kata hulubalang tersebut. “Biar kami yang akan
mengambilnya.”
Maka pergilah hulubalang yang delapan ke pelabuhan menjemput kayu yang dikatakan
anak kecil tadi. Tetapi alangkah kecewa mereka, karena yang mereka temukan hanya
perahu kecil yang kosong. Mereka pun kembali ke tempat latihan dengan marah yang
berapi-api. Ingin rasanya mereka hendak menghabisi anak kecil itu pada saat itu juga.
“Engkau betul-betul seorang pendusta besar!” bentak salah seorang hulubalang yang
baru kembali bersama kawan-kawannya.”Engkau katakan kayumu di perahu, ternyata
engkau hanya ingin mempermainkan kami. Engkau rupanya ingin mengacau. Baik
engkau kami bunuh bersama ayammu sekali.”
“Ayam hamba ini pandai berkokok!” jawab anak kecil itu tanpa menaruh rasa takut
sedikit jua pun. “Kalau hendak mencoba boleh kita coba.” Kemudian dihamburkannya
anak ayam kecil itu… cikcikeiaaaap, ayam itu berkokok dengan lucunya. Semua orang
terdiam keheranan. “Nah, hanya demikianlah kepandaian hamba, Tuk”
Para hulubalang pelatih tentara banyak tadi, sangat marah menyaksikan gelagat anak
kecil yang menjengkelkan mereka. Serentak mereka menyeret anak tersebut menuju
pelabuhan. Di kapalnya teracung mata-mata pedang yang berkilat-kilat tertimpa
cahaya matahari.
Tunggulah sebentar!” kata anak lelaki tersebut kepada kedelapan hulubalang yang
memuncak amarah mereka. “Simpanlah dahulu semua pedang Datuk-datuk”. Ia pun
mengikatkan ayamnya ketiang layar perahunya.
“Sekali ini engkau benar-benar kami bunuh”’ bentak pemimpin hulubalang tersebut.
“Engkau telah mempermainkan kami.
“Inilah kayu yang Datuk-datuk pinta” jawabnya. Serentak dengan itu dilibaskannya
tangkai tombaknya kepada hulubalang delapan yang mengelilinginya sehingga mati
semua.
Setelah semua hulubalang tersebut tewas semuanya, ia langsung melenting kedaratan
dan bergegas ke tempat latihan. Dia mengamuk dan menewaskan semua tentara yang
sedang berlatih disana. Dihabiskannya dalam waktu yang cukup pendek. Tinggallah
sekarang raja seorang diri, dengan memendam rasa marah. Tak diketahui baginda
bahwa anak kecil tersebut anak kemenakannya sendiri.
“Engkau mungkin berhajat hendak menguasai kerajaanku. Buyung!” kata baginda
dengan marah. “Tapi ketahuilah olehmu bahwa selagi hayatku masih ada tak mungkin
kuserahkan kepadamu.”
Anak kecil tersebut tidak tersinggung mendengar ucapan pamannya. Dibujuknya juga
pamannya supaya jangan terlanjur begitu. Tetapi raja Mataram nampaknya tak
memperdulikan sedikit jua pun bujukan tersebut. Bahkan baginda tiba-tiba
menangkap dan menghempaskannya. Tujuh hari tujuh malam lamanya.
Dilanjutkannya menggunakan senjata tujuh hari tujuh malam pula. Namun semua
senjata patah-patah, anak kecil tersebut belum juga cedera. Ia malahan belum
membalas. Kemudian ia direndam pula dalam sumur selama tujuh hari tujuh malam,
namun ia belum juga binasa, dan ia belum juga melawan.
Datuk Darah Putih

Dahulu di Jambi, ada sebuah kerajaan yang memiliki hulubalang bernama Datuk
Darah Putih. karena jika dia terluka, darah yang keluar akan berwarna putih. Ia
hulubalang yang jujur, pandai, dan berani. Suatu hari, Raja memerintahkan Datuk
Darah Putih membentuk pasukan inti kerajaan. Dalam waktu singkat, Datuk Darah
Putih berhasil mengumpulkan puluhan prajurit pilihan, lalu melatih kemampuan
perang mereka. setahun berlatih, seluruh anggota pasukan inti telah menjadi prajurit
yang tangguh dan pemberani.

Raja pun memerintahkan datuk untuk berperang. seluruh pasukan bersiap dengan
segala peralatan perang. Keesokan harinya, Datuk Darah Putih bersama pasukannya
berangkat ke Pulau Berhala dengan menggunakan tiga buah jongkong (perahu) besar.
istri Datuk Darah Putih yang sedang hamil tua, ikut mengantar pasukan kerajaan
tersebut sampai ke pelabuhan.
Beberapa saat kemudian, ketiga jongkong tersebut berlayar menuju ke Pulau Berhala.
Setelah Datuk Darah Putih dengan pasukannya sampai di Pulau Berhala, mereka
langsung mengatur strategi, membuat benteng-benteng pertahanan, dan tempat
pengintaian. Keesokan harinya, tampak dari kejauhan iring-iringan kapal pasukan
Belanda akan memasuki Selat Berhala.
Ketika iring-iringan kapal Belanda memasuki Selat Berhala, ketiga jongkong pasukan
kerajaan langsung meluncur ke arah kapal-kapal Belanda. Saat jongkong-jongkong
tersebut merapat, Datuk Darah Putih beserta pasukannya segera berlompatan masuk
ke dalam kapal-kapal Belanda sambil menebaskan pedang dan menusukkan keris ke
arah musuh. Pasukan Belanda yang mendapat serangan mendadak itu menjadi panik.
Mereka tidak sempat lagi menggunakan bedil mereka. Untuk mengimbangi serangan
dari pasukan kerajaan, mereka menggunakan pedang panjang. Namun karena dalam
keadaan tidak siaga, mereka pun tidak berdaya dan menagaku kalah. Pasukan Datuk
Darah Putih merayakan kemenangan itu.
Tiga hari kemudian, tampak iring-iringan tiga kapal besar dengan jumlah serdadu yang
lebih banyak sedang memasuki Selat Berhala. Namun, hal itu tidak membuat Datuk
Darah Putih gentar. Ia pun segera menyiapkan pasukannya untuk menghadang
mereka. Pasukan Datuk Darah Putih segera menaiki jongkong-jongkong lalu meluncur
dan merapat ke kapal-kapal Belanda. Kali ini, mereka menghadapi musuh yang lebih
berat. Jumlah pasukan Belanda lebih banyak dibanding pasukan kerajaan, sehingga
pertempuran itu tampak tidak seimbang. Di haluan kapal, tampak Datuk Darah Putih
dikeroyok oleh tiga orang serdadu Belanda.
Tidak lama, ia pun mulai terdesak dan tiba-tiba lehernya tersabet pedang seorang
serdadu Belanda. Keluarlah darah putih dari lehernya itu,tapi ia tetap melakukan
perlawanan. Namun pada akhirnya mereka mumdur ke pulau Berhala Datuk Darah
Putih segera mendapatkan perawatan. Sesampainya di sana, ia didudukkan di tempat
yang aman dan tersembunyi. Para prajurit telah berusaha menutup luka pimpinannya,
namun darah putih tetap saja keluar.
“Tolong carikan aku batu sengkalan untuk menutupi luka di leherku ini!” perintah
Datuk Darah Putih. Dengan sigap, salah seorang prajurit segera mencari batu itu.
Tidak berapa lama, prajurit itu pun kembali membawa sebuah anak batu sengkalan
yang tipis, lalu menempelkannya pada luka di leher Datuk Darah Putih. Darah putih
itu pun berhenti seketika. Begitu lukanya tertutup batu sengkalan, Datuk Darah Putih
bangkit, lalu melompat ke atas jongkong. Meskipun masih terluka, Datuk Darah Putih
mampu melakukan perlawanan. Tidak berapa lama, akhirnya seluruh serdadu Belanda
tewas. Namun, di balik kemenangan itu tersimpan rasa sedih melihat keadaan Datuk
Darah Putih yang terluka parah. Mereka pun kembali ke benteng pertahanan di Pulau
Berhala sambil memapah Datuk Darah Putih.
Cerita Putri Cermin Cina

Alkisah Pada Jaman dahulu kala di daerah Jambi ada sebuah negeri yang dipimpin
oleh seorang Raja yang bernama Sutan Mambang Matahari. Sutan memiliki seorang
anak laki-laki bernama Tuan Muda Selat serta seorang anak perempuan bernama Putri
cermin Cina. Tuan Muda Selat adalah pemuda yang rupawan tapi sifatnya sedikit
ceroboh. Sementara Putri Cermin Cina merupakan seorang putri yang cantik jelita, baik
hati, dan lemah lembut.

Pada suatu hari, datanglah saudagar muda ke daerah tersebut, saudagar muda itu
bernama Tuan Muda Senaning. Pertama-tama tujuan Tuan Muda Senaning hanya
untuk berdagang, tapi saat penjamuan makan Tuan Muda Senaning bertamu dengan
Putri Cermin Cina. Pada saat itu Tuan Muda Senaning jatuh hati pada Putri Cermin
Cina. Demikian juga, diam-diam Putri Cermin Cina juga menaruh hati pada Tuan Muda
Senaning. Putri Cermin Cina menyarankan untuk Tuan Muda Senaning untuk datang
kepada ayahandanya Sutan Mambang Matahari untuk melamarnya.
Tak lama kemudian tuan Muda Senaning datang menghadap Sutan Mambang Matahari
untuk melamar Putri Cermin Cina. Sutan Mambang Matahari dengan senang hati
menerima lamaran Tuan Muda Senaning karena memang Tuan Muda Senaning
memiliki pribadi yang baik dan sopan. Namun Sutan Mambang Matahari terpaksa
menunda pernikahan Tuan Muda Senaning dengan Putri Cermin Cina selama 3 bulan
karena Sutan harus berlayar untuk mencari bekal pesta pernikahan putrinya. Sebelum
berangkat berlayar, Sutan Mambang Matahari berpesan kepada Tuan Muda Selat
untuk menjaga adiknya dengan baik.
Pada suatu hari, ketika keberangkatan Sutan Mambang Matahari, Tuan Muda
Senaning dan Tuan Muda Selat asyik bermain gasing di halaman istana. Mereka
tertawa tergelak-gelak makin lama makin asyik sampai orang yang memdengar juga
turut tertawa senang. Hal tersebut membuat Putri Cermin Cina penasaran dan ingin
melihat keasyikan kakaknya dan calon suaminya, dia melihat dari jendela. Kehadiran
Putri Cermin Cina terlihat oleh 2 orang itu, sambil menoleh kearah jendela, Tuan Muda
Senaning melepas tali gasingnya dan Gasing Tuan Muda Senaning mengenai gasing
Tuan Muda Selat. Karena berbenturan keras sama keras, gasing Tuan Muda Selat
melayang dan terlempar tinggi.
Gasing itu terlempar kearah Putri Cermin Cina yang melihat dari jendela. Gasing
tersebut berputar diatas kening Putri Cermin Cina. Putri Cermin Cina pun menjerit
kesakitan Kening Putri Cermin Cina berlumuran darah, dia lalu jatuh ke lantai tak
sadarkan diri. Semua orang panik serta berusaha menolong Putri Cermin Cina. Tapi
takdir berkata lain, Putri yang cantik jelita tersebut akhirnya menghembuskan nafas
yang terakhir.
Tuan Muda Senaning sangat merasa bersalah karena kematian Putri Cermin Cina, dia
menjadi putus asa serta gelap mata. Dia melihat 2 tombak bersilang di dinding, dengan
cepat tombak itu di tarik serta di tancapkan ke tanah dengan posisi mata tombak
menghadap ke atas. Lalu Tuan Muda Senaning melompat kearah mata tombak dan
seketika itu mata tombak menembus perutnya sampai punggungnya. Kemudian Tuan
Muda Senaning meninggal untuk menyusul Putri Cermin Cina.
Semua warga membantu mengurus 2 jenazah orang yang saling jatuh cinta tersebut.
Tuan Muda Selat begitu kalut serta bingung. Ayahandanya pasti marah besar kalau
mengetahui kejadian tersebut. Kedua jenazah tersebut akhirnya dikuburkan. Jenazah
putri Cermin Cina dikubur di tepi sungi, Sementara jenazah Tuan Muda Senaning
dibawa anak buahnya ke kapal, dan kapal tersebut berlayar ke seberang. Jenazah Tuan
Muda Senaning dikuburkan di tempat tersebut diberi nama dusun Senaning.
Tuan Muda Selat pun merasa bersalah karena kematian adik tercintanya, dia selalu
menyalahkan dirinya karena gasingnya, Putri Cermin Cina meninggal dunia. Kemudian
Tuan Muda Selat pergi meninggalkan negerinya bersama orang-orang kampung.
Orang-orang yang ikut dengannya ditinggal di sebuah tempat dan tempat itu di sebut
Kampung Selat. Tapi Tuan Muda Selat pergi tanpa mempunyai tujuan yang jelas.
Tidak lama kemudian Sutan Mambang Matahari sampai di kampungnya. Sutan
bingung karena kampungnya begitu sepi, dia menuju istanan tapi hanya tersisa
beberapa orang yang menjaga istana beberapa orang yang menjaga istana. Setelah
Sutan tau tentang kejadian sebenarnya, Sutan Mambang Matahari merasa sedih,
kemudian dia beserta pengikutnya pergi meninggalkan kampungnya, mereka pergi ke
dusun seberang serta mendirikan kampung disana. Kampung tersebut terletak
diantara kubur Tuan Muda Senaning, dan kapal Tuan Muda Selat Kampung tersebut
bernama Dusun Tengah Lubuk Ruso.

Anda mungkin juga menyukai