Anda di halaman 1dari 6

CERITA RAKYAT

BATU BETANGKUP
ASAL USUL BATU BETANGKUP

KisahAwal
Dahulu, ada suatu dusun di Indragiri Hilir, Riau, hiduplah seorang janda tua bernama Mak
Minah. Ia tinggal bersama ketiga anaknya. Dua anak laki-laki, bernama Utuh dan Ucin.
Sedangkan anak yang ketiga adalah perempuan, bernama Diang.
Walaupun sudah tua, Mak Minah masih semangat bekerja keras untuk memenuhi kehidupan
ketiga anaknya. Setiap pagi, ia memasak dan mencuci. Setelah pekerjaan rumah selesai, Mak
Minah pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar dan dijual ke pasar. Dari hasil inilah yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhannya.

Ketiga anaknya yang masih kanak-kanak sangatlah nakal juga pemalas. Mereka hanya
bermain, tidak pernah membantu atau merasa iba pada emaknya yang mulai sakit-sakitan.
Bahkan tak jarang mereka membantah nasihat emaknya sampai bersedih.

Pada suatu sore, ketiga anaknya asyik bermain didekat rumah mereka. “Utuh, Ucin,
Diang… !” teriak Mak Minah. Walaupun sudah mendengar panggilan emaknya, mereka tetap
diam saja. “Anak-anakku, Pulanglah! Hari sudah sore,” seru Mak Minah.
Ketiganya masih asyik bermain. Tak lama kemudian, Mak Minah memanggil mereka lagi.
“Utuh, Ucin, Diang…! Pulanglah! Hari telah gelap. Emak sedang kurang enak badan.
Masaklah makan malam!” kata Mak Minah. Karena lemas Mak Minah merebahkan tubuhnya
di pembaringan. Tetapi anaknya masihasyik bermain. Mereka tidak menghiraukan seruan
Mak Minah. Setelah menunggu lama, ketiga anaknya tidak berhenti bermain. Akhirnya, Mak
Minahlah yang memasak, walau badannya lemas.
Sesudah makanan siap, Mak Minah kembali memanggil anaknya. “Utuh, Ucin, Diang… !
Pulanglah, Nak! Makan malam sudah Emak siapkan.” Setelah mendengar itu baru mereka
berhenti bermain. Lalu, mereka langsung ke dapur dengan lahapnya menghabiskan makanan
itu tanpa menyisakan untuk emaknya. selesainya makan, mereka kembali bermain tanpa
membantu mencuci piring.
Hari semakin malam, sakit Mak Minah pun semakin parah. Badannya lemah dan pegal-pegal
karena kelelahan bekerja. “Utuh, Ucin, Diang… ! Tolong pijat Emak, Nak!” minta Mak
Minah pada anaknya. Namun, mereka pura-pura tidak mendenga dan terus bermain sampai
larut malam.
Mak Minah hanya bisa meratapi nasibnya. “Ya Tuhan, tolong hamba! Sadarkanlah ketiga
anakku, supaya peduli pada Emaknya yang tak berdaya ini,” do’a Mak Minah seraya
menangis. Akhirnya Mak Minah pun tertidur.
Keesokan paginya Mak Minah bangun pagi sekali untuk memasak nasi dan lauk yang
banyak. Setelahnya, Mak Minah pergi ke tepian sungai dekat gubuknya tanpa memberi tahu
anaknya. Ia mendekati sebuah batu bernama batu betangkup yang katanya bisa berbicara dan
bisa membuka serta menutup seperti kerang.
Tragedi Batu Betangkup

Mak Minah berlutut didepan batu itu dan memohon supaya menelan dirinya. “Wahai Batu
Batangkup, telan diriku. aku sudah tidak sanggup hidup bersama ketiga anak ku yang tidak
mendengar nasihat,” pinta Mak Minah.
“Apakah kau tidak akan menyesal, Mak Minah?” tanya Batu Batangkup. “Lalu, bagaimana
nasib dari anak-anakmu?” lanjut Batu Batangkup.
“Biarkan mereka hidup sendiri tanpa emaknya. Mereka sudah tidak perduli pada emaknya,”
jawab Mak Minah.
“Baiklah, kalau itu inginkanmu,” jawab Batu Batangkup.
Dalam sekejap Batu Batangkup menelan Mak Minah dan hanya menyisakan rambut
panjangnya tampak di luar.
Ketika hari sudah sore, ketiga anak Mak Minah pulang bermain dan langsung menyantap
makanan yang disiapkan Mak Minah. Mereka heran karena emaknya belum pulang. Namun
melihat persediaan makanan masih banyak, membuat mereka tidak peduli.
Dua hari kemudian, persediaan makanannya sudah habis. Sedangkan Mak Minah belum
pulang ke rumah membuat ketiga anaknya kebingungan. Mereka mencari ke sana ke mari
tetap tidak menemukan Mak Minah. “Emak, maafkan kami! Kami menyesal tidak peduli
pada Emak…,” sesal ketiga anak itu.
Paginya, ketiga anak itu kembali mencari emaknya mereka menyusuri sungai sampailah
mereka di depan Batu Batangkup. Mereka terkejut ketika melihat rambut emaknya terurai di
sela-sela Batu Batangkup.
“Wahai, Batu Batangkup! Keluarkan Emak kami dari perutmu. Kami butuh Emak kami,”
pinta ketiga anak itu. Tetapi Batu Batangkup diam saja,  ketiga anak itu terus memohon
supaya emaknya dilepaskan.
“Tidak! Kalian hanya membutuhkan emak kalian saat lapar. Kalian tidak pernah membantu
serta mendengar nasihat emak kalian,” ujar Batu Batangkup.
“Batu Batangkup! Kami berjanji akan membantu emak serta mematuhi nasihatnya,” jawab
Utuh sambil menangis. “Iya, Batu Batangkup, kami janji,” tambah Uci dan Diang turut
menangis.
“Baiklah, emak kalian akan ku keluarkan karena kalian sudah berjanji. Apabila kalian ingkar
janji, emak kalian akan kembali kutelan” ancam Batu Batangkup.
Setelah emak mereka di keluarkan mereka berkata:
“Maafkan Utuh, Emak!” “Uci juga, minta maaf Mak! Uci janji akan mematuhi nasihat
Emak,” “Iya, Mak! Diang juga minta maaf. Diang janji akan membantu Emak!”. “Sudah,
Anakku! Kalian Emak maafkan,” jawab Mak Minah. Setelah itu, mereka pun pulang.
Semenjak itu, ketiga anak tersebut rajin membantu Mak Mina bekerja. Utuh dan Uci
membantu mencari kayu bakar di hutan untuk dijual. Sedangkan Diang, sibuk menyiapkan
makanan dirumah. Mak Minah merasa gembira melihat perubahan anak-anaknya.
Tetapi kebahagiaan itu hanya sementara. Perilaku ketiganya pun berubah jadi semakin nakal
dan pemalas. Utuh dan Uci tidak lagi membantu mencari kayu bakar. Begitupun Diang, tidak
lagi memasak. Mereka semakin berani membantah nasihat emaknya membuta hati Mak
Minah sedih.

 Penyesalan
Pada malam hari, Mak Minah memasak nasi dan lauk yang banyak. Karena Mak Minah
sudah tidak tahan dengan perilaku anaknya. Saat ketiga anaknya tertidur Mak Minah
mencium serta menyelimuti anak-anaknya, lalu ia kembali ke Batu Batangkup.
Dengan perasaan sedih Mak Minah berlutut dan memohon pada Batu Batangkup, “Wahai,
Batu Batangkup! Telan kembali aku. Mereka sudah tidak menghormatiku lagi,” pinta Mak
Minah. Tak lama, Batu Batangkup pun menelan Mak Minah.
Keesokan paginya, ketiga anak itu bermain seperti biasa tanpa menghiraukan emaknya yang
dikira pergi ke hutan mencari kayu. Menjelang sore, Mak Minah belum pulang juga, mereka
sadar telah melanggar janji yang sudah sepakati untuk tidak nakal lagi.
Tanpa pikir panjang, ketiga anak itu berlari ke Batu Batangkup. “kami minta maaf, Batu
Batangkup! Kami menyesal. Keluarkan emak kami dari perutmu!” pinta ketiga anak itu.
“Kalian anak nakal. Kali ini tidakakan aku mmaafkan ” jawabBatu Batangkup kesal.
Kemudian BatuBatangkup menelan ketiga anak itu.Ketika tubuh ketiga anak itu sudah masuk
ke perutnya, Batu Batangkup itu punmasuk dalam tanah. Hingga sekarang Batu Batangkup
tidak pernah muncul kembali.

Cerita Betangkup Belah


Pada jaman dahulu di tanah Gayo, Aceh – hiduplah sebuah keluarga petani yang sangat
miskin. Ladang yang mereka punyai pun hanya sepetak kecil saja sehingga hasil ladang
mereka tidak mampu untuk menyambung hidup selama semusim, sedangkan ternak mereka
pun hanya dua ekor kambing yang kurus dan sakit-sakitan. Oleh karena itu, untuk
menyambung hidup keluarganya, petani itu menjala ikan di sungai Krueng Peusangan atau
memasang jerat burung di hutan. Apabila ada burung yang berhasil terjerat dalam
perangkapnya, ia akan membawa burung itu untuk dijual ke kota.
Suatu ketika, terjadilah musim kemarau yang amat dahsyat. Sungai-sungai banyak yang
menjadi kering, sedangkan tanam-tanaman meranggas gersang. Begitu pula tanaman yang
ada di ladang petani itu. Akibatnya, ladang itu tidak memberikan hasil sedikit pun. Petani ini
mempunyai dua orang anak. Yang sulung berumur delapan tahun bernama Sulung,
sedangkan adiknya Bungsu baru berumur satu tahun. Ibu mereka kadang-kadang membantu
mencari nafkah dengan membuat periuk dari tanah liat. Sebagai seorang anak, si Sulung ini
bukan main nakalnya. Ia selalu merengek minta uang, padahal ia tahu orang tuanya tidak
pernah mempunyai uang lebih. Apabila ia disuruh untuk menjaga adiknya, ia akan sibuk
bermain sendiri tanpa peduli apa yang dikerjakan adiknya. Akibatnya, adiknya pernah nyaris
tenggelam di sebuah sungai.
Pada suatu hari, si Sulung diminta ayahnya untuk pergi mengembalakan kambing ke padang
rumput. Agar kambing itu makan banyak dan terlihat gemuk sehingga orang mau
membelinya agak mahal. Besok, ayahnya akan menjualnya ke pasar karena mereka sudah
tidak memiliki uang. Akan tetapi, Sulung malas menggembalakan kambingnya ke padang
rumput yang jauh letaknya.
“Untuk apa aku pergi jauh-jauh, lebih baik disini saja sehingga aku bisa tidur di bawah pohon
ini,” kata si Sulung. Ia lalu tidur di bawah pohon. Ketika si Sulung bangun, hari telah
menjelang sore. Tetapi kambing yang digembalakannya sudah tidak ada. Saat ayahnya
menanyakan kambing itu kepadanya, dia mendustai ayahnya. Dia berkata bahwa kambing itu
hanyut di sungai. Petani itu memarahi si Sulung dan bersedih, bagaimana dia membeli beras
besok. Akhirnya, petani itu memutuskan untuk berangkat ke hutan menengok perangkap.
Di dalam hutan, bukan main senangnya petani itu karena melihat seekor anak babi hutan
terjerat dalam jebakannya. “Untung ada anak babi hutan ini. Kalau aku jual bias untuk
membeli beras dan bisa untuk makan selama sepekan,” ujar petani itu dengan gembira sambl
melepas jerat yang mengikat kaki anak babi hutan itu. Anak babi itu menjerit-jerit, namun
petani itu segera mendekapnya untuk dibawa pulang.
Tiba-tiba, semak belukar di depan petani itu terkuak. Dua bayangan hitam muncul menyerbu
petani itu dengan langkah berat dan dengusan penuh kemarahan. Belum sempat berbuat
sesuatu, petani itu telah terkapar di tanah dengan tubuh penuh luka. Ternyata kedua induk
babi itu amat marah karena anak mereka ditangkap. Petani itu berusaha bangkit sambil
mencabut parangnya. Ia berusaha melawan induk babi yang sedang murka itu.

Legenda Batu Belah Batu Betangkup


Suatu hari ketika musim kemarau, ladang kecil yang dimiliki petani tersebut sangat kering
dan tidak membuahkan hasil.
Ayah :Bu, kita sudah tak ada uang. Ladang kering kerontang. Apa yang harus kita lakukan
untuk menyambung hidup?
Ibu :Bagaimana kalau kambing yang kita ternak dijual saja Yah?
Ayah :Tapi kan kambing-kambing itu sangat kurus, tidak akan laku mahal di pasar, Bu.
Ibu :Nanti coba minta tolong Sulung untuk menggembala kambing ke padang rumput supaya
cepat gemuk ya Yah.
Ayah :Iya Bu.
Ayah segera memanggil Sulung.
Ayah :Sulung, tolong kamu beri makan kambing-kambing kita di padang rumput ya.
Persediaan uang sudah menipis, sedangkan ladang kita sedang sangat kering.
Sulung :Tidak mau!
Ibu :Kenapa, Sulung? Tolonglah bantu Ayah dan Ibu.
Ayah :Iya, nak. Rencananya kambing akan Ayah jual di pasar untuk pemasukan kebutuhan
kita.
Tak lama kemudian Sulung mau menggembala dua ekor kambing yang dimikili Ayahnya.
Namun tak sampai di padang rumput yang dituju, Sulung memutuskan untuk tidur di bawah
sebuah pohon hingga sore. Dan ketika bangun, kambing yang dititipkan Ayahnya sudah raib
entah ke mana. Tanpa rasa bersalah, Sulung tak menjelaskan kejadian sebenarnya.
Ayah :Kambing-kambing kita di mana, Sulung? Kok tidak ada?
Sulung :Tadi hanyut di sungai!
Ayah :Apa? Hanyut? Yaampun bagaimana ini? Kenapa bisa hanyut?
Ayah sangat kecewa pada Sulung yang tidak bisa diandalkan, padahal semua hal yang
dimintanya adalah demi kepentingan hidup bersama-sama, yaitu demi kebutuhan pangan.
Kesedihanpun dirasakan Ibu yang selalu bersedia untuk mencari tambahan penghasilan untuk
keluarga. Tanpa pikir panjang, Ayah segera berangkat ke hutan untuk melihat perangkap
yang sengaja dipasang untuk menjerat hewan yang ada di sekitar hutan.
Ayah :Wow ternyata aku dapat! Seekor anak babi hutan, pasti akan laku dijual di pasar.
Lumayan untuk membeli kebutuhan makanan selama seminggu!
Dengan rasa gembira, Ayah melepas jeratan yang ada pada kaki hewan tersebut dan
membawanya pulang. Namun hal tak terduga terjadi sebelum ia keluar dari hutan. Ia diserang
dua ekor induk babi yang penuh amarah melihat anak mereka ditangkap. Serangan babi hutan
tersebut tak kuasa tertahan sehingga Ayah sulung terkapar tak berdaya namun tetap mencoba
melakukan serangan balik pada hewan liar tersebut. Tetapi usahanya tak membuahkan hasil,
justru ia dikejar kawanan babi hutan hingga ke sungai. Sungguh naas nasibnya, ia tewas
ketika melompati bebatuan karena terjatuh dan kepalanya membentur sebuah batu.
Sementara itu, Ibu sedang memarahi Sulung yang tega membuang beras terakhir yang
tersedia di rumah dengan rasa sedih yang tidak terbendung.
Ibu :Sulung! Kamu ini apa-apaan? Selalu bikin susah orang tua! Seenaknya saja kamu buang
beras untuk makan ke dalam sumur?!
Lelah memarahi Sulung, Ibupun meminta tolong agar Sulung mengambil periuk tanah liat di
belakang untuk dijual ke pasar.
Ibu :Yasudah Sulung, tolong Ibu ambil periuk tanah di belakang. Akan Ibu jual ke pasar,
tolong jaga adik karena Ayah belum pulang ke rumah.
Sulung :Untuk apa aku ambil periuk dan menjaga si Bungsu?!!! Aku jadi tidak bisa main!
Mending aku pecahkan saja periuk ini!!!!
Tak disangka periuk hasil buatan Ibu dipecahkan begitu saja oleh anak nakal yang satu ini.
Sungguh keterlaluan dan membuat hati Ibu hancur berkeping-keping layaknya periuk yang
sudah pecah itu.
Ibu :Suluuuung….. Apa kamu tidak tahu, kita butuh makan. Kenapa kamu pecahkan periuk
itu? Padahal itu adalah satu-satunya sisa harta yang kita punya. (sambil meneteskan air mata)
Sungguh terlalu, Sulung justru membentak Ibunya dengan nada tinggi yang tak terkira. sikap
Sulung itu sangat keterlaluan pada Ibunya. Ia tak sadar bahwa suatu saat nanti penyesalan dan
penderitaan pasti akan ia alami jika sang Ibu sudah tiada. Sementara itu, Bungsu yang baru
satu tahun hanya bisa menyaksikan kesedihan mendalam pada Ibunya. Jika sudah sebesar
Sulung, mungkin adiknya itu akan berinisiatif untuk menolong Ibunya. Tak lama kemudian,
salah satu tetangga datang di tengah kekacauan dalam rumah itu.
Tetangga:Bu, saya ingin menyampaikan informasi bahwa suami Ibu ditemukan sudah tak
bernyawa di tepi sungai. Saya beserta warga yang lain turut berduka cita sedalam-dalamnya
atas kepergian Almarhum.
Ibu :Innalillahi wainailaihi rajiun… (semakin tersedu mendengar kabar buruk tersebut)
Namun tak nampak raut wajah kesedihan dari wajah Sulung. Ia justru berpikir bahwa tanpa
Ayahnya, ia berarti bebas karena tidak ada yang menyuruh-nyuruhnya lagi.
Ibu :Sulung… Ibu tak sanggup lagi hidup di dunia ini. Ibu sangat sedih melihat perilaku
kamu. Tolong jaga Bungsu, Ibu mau menyusul Ayahmu…
Ibu Sulung pergi menuju sebuah batu yang disebut Batu Belah tempat suaminya terjatuh dan
meninggal. Kemudian iapun bersenandung sambil berjalan menuju batu tersebut…
“Batu belah batu bertangkup. Hatiku alangkah merana. Batu belah batu bertangkup. Bawalah
aku serta.”
Angin sesaat bertiup kencang dan membuat Ibu Sulung terperangkap di Batu Belah yang
tidak bisa terbuka kembali untuk selamanya. Menyadari Ibunya telah tiada, Sulungpun sangat
menyesal.
Sulung :Ibuuuuu!!!! Maafkan aku!!! Ibu kembalilah, Buuu!!!! Aku menyesaaal!!! Ibuuuu!!!!
Sambil merintih dan terus menerus memohon Ibunya kembali, usaha Sulung tetap sia-sia.
Batu Belah kini tertutup dan ia tak akan bisa bertemu Ibunya.
Itulah salah satu contoh naskah drama cerita rakyat (eg. Cerita legenda) yang menceritakan
tentang akibat perbuatan anak yang durhaka pada kedua orang tuanya. Penyesalan di akhir
hanyalah sesuatu yang sia-sia dan tak bisa mengembalikan semua situasi terdahulu yang
pernah ia perbuat. Sungguh sebuah legenda yang mengajarkan tentang pentingnya sikap
santun pada orang tua yang wajib dilakukan semua anak di dunia.
Pesan Moral Batu Belah Batu Bertangkup

Cerita Rakyat Melayu Sambas: Batu Belah Batu Betangkup ini berasal dari Kecamatan
Pemangkat yang memberikan pesan moral kepada anak-anak khususnya, dan semua orang
pada umumnya agar bisa selalu patuh akan perintah orang tua, pentingnya sebuah janji dan
berani bertanggung jawab atas apa yang dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai