Anda di halaman 1dari 10

RUMAH ADAT KOTA PEKANBARU -

Balai Adat Melayu Riau ini dibangun dan didesain dengan variasi warna dan ukiran motif
yang bercirikan khas Melayu. Balai Adat ini dibangun untuk berbagai kegiatan yang
berkaitan dengan adat resmi Melayu Riau. Arsitekturnya yang khas melambangkan kebesaran
budaya Melayu Riau. Bangunan terdiri dari dua lantai, di lantai atas terpampang dengan jelas
beberapa ungkapan adat dan pasal-pasal Gurindam dua belas karya Raja Ali Haji. Di tempat
inilah para tokoh adat dan pemuka masyarakat beraktivitas sehari-hari dalam
mengembangkan dan memajukan budaya Melayu Riau. 

Sejarah Berdirinya Kota Pekanbaru Tidak ada yang tahu pasti mengenai asal mula dari
sejarah berdirinya Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15
Masehi. Kota yang berjuluk Kota Bertuah ini bermula dari sebuah kampung yang berada di
aliran Sungai Siak yang bernama Payung Sekaki. Pada awalnya, Payung Sekaki ini hanyalah
sebuah ladang. Namun, akhirnya berkembang menjadi sebuah kampung. Adapun suku yang
bermukim di sana adalah Suku Sinapelan yang mempunyai seorang kepala suku dengan
sebutan Batin. Daerah yang dulunya bernama Payung Sekaki ini kemudian berubah nama
menjadi Batin Senapelan yang lebih dikenal dengan Senapelan atau Chinapelan. Namun juga
ada yang menyebutnya Sungai Pelam. Wilayah Senapelan ini kemudian dipimpin oleh
seorang Bujang Sayang. Seiring berjalannya waktu, wilayah kekuasaan yang dipimpin oleh
Bujang Sayang ini meluas ke berbagai daerah. Hal tersebut tentu saja menimbulkan
persaingan dengan negeri Petapahan yang terletak di Muara Sungai Tapung.

Di sisi lain, Portugis pada tahun 1511 M berhasil menaklukkan Malaka. Kekalahan Malaka
inilah yang kemudian membuat perpindahan pusat pemerintahan ke Djohor-Riau. Akibatnya
Senapelan juga terkena dampaknya dengan menjadi tempat penumpukan komoditi
perdagangan. Baik itu yang berasal dari luar maupun dari pedalaman. Kondisi tersebut
berlangsung hingga tahun 1721. Pada satu tahun berikutnya, berdirilah sebuah kerajaan yang
bernama Siak Sri Indrapura. Pada kala itu, Senapelan/Pekanbaru dipilih untuk menjadi
Ibukota Kerajaan Siak. Hal itu menyebabkan Senapelan menjadi pintu gerbang perdagangan
dan pelabuhannya terletak di Teratak Buluh. Sultan Siak Alamuddinsyah kemudian merintis
berdirinya pekan di Senapelan. Sejak saat itu tepatnya Selasa 21 Rajab 1204 H atau 23 Juni
1784 M nama Senapelan berganti menjadi Pekan Baharu.Pada tahun 1765, Sultan meninggal
dunia yang kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Raja Muhammad Ali bergelar
Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsya. Namun, di bawah kepemimpinan putranya
pengembangan Pekan berjalan lambat. Hal itu menyebabkan pemindahan lokasi ke tempat
yang baru yaitu di Pelabuhan sekarang.

RUMAH ADAT KABUPATEN SIAK


RUMAH ADAT KABUPATEN BENGKALIS

Rumah ini merupakan rumah tradisional Melayu yang oleh Pemda Kabupaten Bengkalis
dipertahankan sebagai ikon Rumah Adat Melayu. Bangunan yang ada sekarang sudah
ditambah dengan bangunan baru yang berfungsi sebagai dapur. Bangunan ini terletak di
belakang yang secara langsung menyambung dengan bangunan induk di depannya.

Luas bangunan asli adalah 153 m2. Jika ditambah dengan bangunan baru, maka
luasnya menjadi 270 m2. Bangunan ini merupakan tipe rumah panggung yang di bagian
bawah (kaki) terdiri dari struktur semen dan bata merah, sedangkan struktur di
atasnya (tubuh) merupakan bangunan kayu.

Bangunan ini mempunyai beranda depan yang diapit (kanan dan kiri) oleh dua buah
tangga/jenjang yang merupakan jalan masuk utama. Jenjang tersebut masing-masing
terbuat dari struktur semen dan bata merah.

Secara keruangan, bangunan ini terbagi ke dalam ruang- ruang yang berada di lajur kanan
dan kiri. Antara kedua lajur ini dibatasi oleh sebuah lorong yang berada di tengah-
tengah sebagai pemisah sekaligus sebagai jalan utama keluar-masuk rumah. Pemilik
rumah ini, almarhum H. Nawawi, merupakan pengusaha sukses di Jakarta. Sekarang
rumah ini ditempati oleh salah seorang kerabat H.
RUMAH ADAT KABUPATEN ROKAN HULU

Istana Rokan terletak di desa Rokan IV Koto berjarak sekitar 46 Kilometer dari Pusat
Pemerintaha Kabupaten Rokan Hulu. Untuk menuju kesana kita bisa menggunakan kenderan
roda dua maupun kenderaan roda empat.

Istana Rokan yang berjuluk Rumah tinggi ini berumur sekitar 200 tahun dan di bangun pada
saat pemerintahan kesultanan Nagari Tuo. Banyak rumah penduduk sekitar istana mengikuti
ini bentuk dan model bangunan istana yang merupakan khas melayu.

Bila kita mengunjungi istan Rokan, kita dapat melihat langsung tiga tangga yang
melambangkan kekerabatan masyarakat Rokan IV Koto pada masa dahulu. Arti dari lambang
tiga tangga ini yaitu, , penguasa, Adat dan Alim ulama. Selain istana itu di sekitar isatan kita
juga dapat melihat langsung rumah persukuan yang masih terjaga dan terpelihara, ada rumah
suku Mais, suku Modang, dan suku Melayu.
RUMAH ADAT KABUPATEN ROKAN HILIR

BALAI ADAT

Balai Lembaga Adat Melayu Rokan Hilir ini merupakan tempat pembuatan tenun songket di
Kota Bagansiapiapi. Arsitekturnya unik dan memiliki ciri khas Melayu.

Balai Lembaga Adat Melayu Rokan Hilir ini berlokasi di Batu 6 Bagansiapiapi di sekitarnya
juga terdapat museum lain yakni Museum Muslim, Museum Tionghoa Bagansiapiapi,
Museum Ikan bagansiapiapi dan Museum Sejarah rokan Hilir.

RUMAH ADAT KABUPATEN INDRAGIRI HILIR


RUMAH ADAT KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RUMAH TINGGI

Rumah Tinggi berada di Kampung Bersar di Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu.
Rumah Tinggi Kerajaan ini merupakan salah satu peninggalan Kerajaan Indragiri. Saat ini
keadaannya masih sederhana dan isinya pun merupakan koleksi peninggalan kerajaan belum
terkumpul di sana.

Rumah Tinggi dipercaya sebagai bentuk rumah asli masyarakat Indragiri dengan arsitektur
khas Melayu. Rumah Tinggi ini dibangun oleh Seorang Mentri pada masa Kerajaan Indragiri
bernama Raja Haji Muhammad Saleh gelar Raja Togok yang merupakan rumah mentri saat
itu.

Raja Haji Muhammad Saleh diangkat sebagai Mentri Kerajaan Indragiri oleh Sultan Isa
(1883-1902) dengan kekuasaan wilayah Kampung Laut, di mana saat ini bernama Concong
Indragiri Hilir yang merupakan daerah berpenghasilan pajak terbesar untuk Kerajaan
Indragiri.

Bentuk Rumah Tinggi seperti bangunan yang berlantai dua dengan pilar pilar kayu kulim.
Rumah kayu dua lantai ini terlihat cantik dengan ornamen khas Melayu. Lantai dua
merupakan tempat penyimpanan benda-benda peninggalan bersejarah seperti foto-foto hitam
putih raja-raja Indragiri, meriam, dan senapan. Posisi rumah tinggi ini menghadap ke sungai
Indragiri. Saat ini rumah tinggi dijadikan museum Pemerintah Daerah Kabupaten Indragiri
Hulu.
RUMAH ADAT KABUPATEN KAMPAR - RUMAH LONTIK

Lontiok adalah rumah adat yang berada di daerah Riau.[1] Rumah ini merupakan rumah yang
ditinggali oleh masyarakat Kampar.[2] Rumah Lontiok juga dikenal dengan nama rumah
lancang dan pencalang.[1] Rumah Lontiok adalah rumah yang mempunyai ciri seperti rumah
panggung.[1] Kata Lontiok dalam bahasa Indonesia yaitu lentik.[2] Kata Lontiok ini
menunjuk kepada bentuk rumah Lontiok yang melengkung atau bengkok.[2] Rumah Lontiok
adalah salah satu Budaya Indonesia yang harus dilestarikan.[2] Rumah Lontiok saat ini sudah
mulai jarang ditemukan karena sudah mulai termakan usia dan sudah mulai terlihat tidak
terawat.[3]Salah satu rumah Lontiok yang sudah tidak terawat lagi terletak di Dusun Pulau
Belimbing Desa Sipungguk.[4] Namun, rumah Lontiok masih dapat menjadi objek wisata
yang menarik.[3]

Ciri Khas

Rumah Lontiok ditopang oleh beberapa tiang penyangga.[3] Rumah ini sengaja dibangun
tinggi dengan beberapa tujuan.[3] Pertama, tingginya rumah Lontiok berguna untuk
melindungi keluarga yang berada dalam rumah dari serangan binatang buas seperti ular atau
harimau.[3] Selain binatang buas, tingginya rumah Lontiok berguna juga menghindari
serangan dari suku-suku lain dalam masyarakat Kampar.[3] Kedua, tinggi rumah Lontiok
juga berguna untuk memelihara hewan atau berternak.[3] Bagian kolong rumah yang cukup
luas dipakai sebagai kandang hewan.[3] Selain kandang hewan, terkadang bagian kolong
rumah lontiok juga berfungsi sebagai gudang baik untuk tempat penyimpanan makanan juga
untuk tempat penyimpanan perahu.[3] Tingginya rumah Lontiok mengakibatkan dibutuhkan
tangga untuk dapat masuk ke dalam rumah.[3] Tangga yang digunakan untuk masuk ke
dalam rumah Lontiok menjadi salah satu ciri khas dari rumah itu.[3] anak tangga umumnya
berjumlah ganjil karena disesuaikan dengan keyakinan masyarakat Kampar.[3] Bentuk atap
rumah Lontiok yang melengkung juga menjadi ciri khas dari rumah Lontiok.[5] Bentuk atap
rumah yang melengkung ini mempunyai makna hubungan manusia dengan Tuhan.[5]
Masyarakat Kampar percaya bahwa bentuk melengkung atap rumah Lontiok menjadi simbok
penghormatan terhadap Tuhan yang mahakuasa.[5] Tidak hanya kepada Tuhan, bentuk atap
yang melengkung itu merupakan penghormatan kepada sesama ciptaan Tuhan.[5] Pada
zaman dahulu kala, rumah Lontiok hanya dibangun oleh masyarakat Kampar yang memiliki
status ekonomi menengah ke atas.[5] Hal ini menyebabkan rumah Lontiok menjadi lambang
status sosial dari masyarakat Kampar.[5] Masyarakat Kampar juga memandang bahwa rumah
Lontiok adalah tempat yang sakral.[5]

Bentuk Rumah

Bentuk rumah Lontiok sangat identik dengan bentuk perahu.[2] Rumah ini mempunyai
bentuk melengkung sesuai dengan namanya yaitu Lontiok (lentik).[2] Rumah Lontiok
mempunyai bentuk seperti rumah panggung.[5] Rumah ini mempunyai dinding yang miring
keluar.[5] Dinding rumah ini ditempelkan dengan ukiran-ukiran yang terdapat pada balok
atap rumah.[5] Balok ini menjadi penyangga sekaligus penghubung antara atap rumah dan
dinding rumah yang miring.[3] Balok atap rumah pun miring dan atap murah mempunyai
bentuk melengkung yang mengarah ke langit.[5] Pintu masuk rumah terhubung dengan anak
tangga yang digunakan oleh anggota keluarga untuk dapat masuk ke dalam rumah.[5]
Umumnya, anak tangga disusun dengan jumlah ganjil.[5] Rumah Lontiok dibangun atas
beberapa tiang penyangga yang menopang lantai dan seluruh badan rumah.[5] Bahan dasar
rumah ini adalah kayu.[3] Kayu tersebut juga bukan kayu sembarangan tetapi kayu pilihan
yang mampu bertahan lama dalam berbagai cuaca.[3]

RUMAH ADAT KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI


RUMAH ADAT DUMAI

RUMAH ADAT KABUPATEN KUANTAN SINGINGI

Kenagarian Sentajo merupakan salah satu Desa Wisata yang saat ini masuk dalam 50 besar
desa wisata nasional oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.

Rumah adat Kuantan Singingi di Kenagarian Sentajo atau yang lebih dikenal dengan sebutan
Rumah Godang Sentajo ini usianya sudah ratusan tahun.

Kuncinya adalah bangga dengan peninggalan leluhur. Ya, secara turun temurun generasi dari
beberapa suku yang ada di tanah Kenagarian Sentajo ini konsisten menjaga Rumah Godang
ini tanpa menghilangkan keasliannya.

Tidak hanya itu, Rumah Godang Sentajo di Kuansing ini juga menjadi tempat pelaksanaan
ritual adat istiadat, misalnya pelaksanaan musyawarah persukuan antara ninik mamak dan
anggota suku, upacara pemberian gelar penghulu, pemberian gelar monti, pemberian gelar
dubalang, serta pemberan gelar datuk bagi anggota suku yang memegang pimpinan adat.
Yang lebih menariknya suasana disaat hari raya idul fitri, masyarakat asli keturunan
Kenagarian Sentajo yang berada diperantauan biasanya akan pulang ke kampung halamanya
ini dan rumah godang tersebut akan menjadi tempat bagi mereka untuk bersilaturahmi.

Secara fisik, Rumah Godang Sentajo ini terdapat atap dua tingkat, bagian rumah memanjang,
dengan beranda yang menjorok ke depan. Jendela berjejer di bagian depan samping kiri dan
kanan pintu masuk. Kebanyakan dari rumah adatini juga masih mempertahankan tangga asli
yang terbuat dari kayu, meski tampak tua, namun masih kuat.

RUMAH ADAT - KABUPATEN PELALAWAN

Anda mungkin juga menyukai