Anda di halaman 1dari 3

Cerita Rakyat Melayu Riau

Batu Batangkup

Cerita rakyat melayu ini sejak aku kecil dah pernah kudengar.
Dahulu setahuku judulnya “Batu Belah Batu Betangkup” yang
berarti batu yang bisa terbuka dan tertutup (terbelah dan
kemudian bersatu kembali) seperti kerang. Pada buku Cerita
Rakyat Melayu keluaran Adicita diberi judul Batu Batangkup
dengan pencerita Farouq Alwi serta disunting oleh Mahyudin Al
Mudra dan Daryatun. Buku ini terbitan Oktober 2006 merupakan
kerjasama antara Balai Kajian dan Pengembangan Budaya
Melayu dengan Adicita Karya Nusa. Berikut saduran/gubahan
dari buku tersebut :

Zaman dahulu di dusun Indragiri Hilir, tinggal seorang janda bernama Mak Minah di
gubuknya yang reyot bersama satu orang anak perempuannya bernama Diang dan
dua orang anak laki-lakinya bernama Utuh dan Ucin. Mak Minah rajin bekerja dan
setiap hari menyiapkan kebutuhan ketiga anaknya. Mak Minah juga mencari kayu
bakar untuk dijual ke pasar sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka.Ketiga
anaknya sangat nakal dan pemalas yang senang bermain-main saja, tak mau
membantu emaknya. Sering mereka membantah nasihat emaknya sehingga Mak
Minah sering bersedih. Mak Minah telah tua dan sakit-sakitan. Merka bermain kadang
sampai larut malam. Mak Minah sering menangis dan meratapi dirinya.“Yaaa Tuhan,
tolonglah hamba. Sadarkanlah anak-anak hamba yang tidak pernah mau
menghormati emaknya,” Mak Minah berdoa diantara tangisnya.

Esok harinya, Mak Minah menyiapkan makanan yang banyak untuk anak-anaknya.
Setelah itu, Mak Minah pergi ke tepi sungai dan mendekati sebuah batu yang bisa
berbicara. Batu itu juga dapat membuka dan menutup seperti kerang. Orang-orang
menyebutnya Batu Batangkup.

“Wahai Batu Batangkup, telanlah saya. Saya tak sanggup lagi hidup dengan ketiga
anak saya yang tidak pernah menghormati orang tuanya,” kata Mak Minah. Batu
Batangkup kemudian menelan tubuh Mak Minah dan yang tersisa adalah seujung dari
rambut Mak Minah yang panjang. Menjelang sore, ketiga anaknya Cuma heran
sebentar karena tidak menjumpai emaknya sejak pagi. Tetap karena makanan cukup
banyak, mereka pun makan lalu bermain-main kembali. Mereka tidak peduli lagi.
Setelah hari kedua dan makanan pun habis, mereka mulai kebingungan dan lapar.
Sampai malam hari pun mereka tak bisa menemukan emaknya. Keesokan harinya
ketika mereka mencari di sekitar sungai, bertemulah mereka dengan Batu Batangkup
dan melihat ujung rambut emaknya. “Wahai Batu Batangkup, kami membutuhkan
emak kami. Tolong keluarkan emak kami dari perutmu,” ratap mereka. “Tidak!!!
Kalian hanya membutuhkan emak saat kalian lapar. Kalian tidak pernah menyayangi
dan menghormati emak,” jawab Batu Batangkup. Mereka terus meratap dan
menangis. “Kami berjanji akan membantu, menyayangi dan menghormati emak,” janji
mereka. Akhirnya emak dikeluarkan dari perut Batu Batangkup.Maka mereka
kemudian rajin membantu emak, menyayangi serta patuh dan menghormati emak.

Tetapi hal tersebut tidaklah lama. Mereka kembali ke tabiat asal mereka yang malas
dan suka bermain-main serta tidak mau membantu, menyayangi dan menghormati
emak.Mak Minah pun sedih dan kembali ke Batu Batangkup. Mak Minah pun ditelan
kembali oleh Batu Batangkup. Ketiga anak Mak Minah seperti biasa bermain dari pagi
sampai sore. Menjelang sore mereka baru sadar bahwa emak tak nampak seharian.
Besoknya mereka mendatangi Batu Batangkup. Mereka meratap menangis seperti
kejadian sebelumnya. Tetapi kali ini Batu Batangkup marah. “Kalian memang anak
nakal. Penyesalan kalian kali ini tidak ada gunanya,” kata Batu Batangkup sambil
menelan mereka. Batu Batangkup pun masuk ke dalam tanah dan sampai sekarang
tidak pernah muncul kembali.

(a) Ilustrasi batu Batangkup


(b) Batu Batangkup

Anda mungkin juga menyukai