Anda di halaman 1dari 8

PERADABAN ISLAM DI SUMATERA UTARA

Mengenal Kota Barus dan Proses Islamisasi

Barus merupakan kawasan paling  Barat bagi para pendatang yang berasal dari timur dan barat.  Hal tersebut yang
kemudian menjadikan pelabuhan Barus sebagai tempat singgah serta tempat perdagangan rempah-rempah, termasuk kapur
barus yang saat itu cukup terkenal. Sebelum menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara,
Barus merupakan kota Emporium dan pusat peradaban pada abad 1 – 17 Masehi. Barus juga dikenal dengan nama Fansur.
Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer
selatan Medan. Pada zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun, saat Sriwijaya mengalami
kemunduran dan digantikan oleh kerajaan Aceh Darussalam, Barus masuk dalam wilayah Kerajaan Aceh.

Barus di sebut sebagai kota tertua, mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-
sebut sejak awal masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia, China dan sebagainya. Sebuah
peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria,
Mesir, pada abad ke-2 Masehi, menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama
Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan, dikisahkan pula bahwa kapur barus
yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir dan digunakan untuk pembalseman mayat pada zaman
kekuasaan Fir’aun sejak Ramses II atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi.[1]

Hal itu juga diungkapkan oleh Muchsin (2017, p. 1) dalam pernyataan berikut,

Barus adalah satu bekas kota tua, Bandar, dan kota dagang internasional sejak berabad-abad lalu, terutama dalam
rentang abad 12-17 M. Dalam sejarahnya yang panjang pernah menjadi pusat perdagangan dunia-internasional Timur
dan Barat atau mancanegara. Barus dalam sejarahnya pernah berhubungan intens dengan dua kawasan dari Timur Ten-
gah, yaitu Persia pada satu sisi, dan bagian Timur Laut Tengah pada sisi lain. Dalam sejarahnya Barus telah pernah
menjadi pengeksport hasil bumi seperti damar, kemenyan, kapur barus, lada, kulit binatang dan lainnya. Semua hasil bumi
dimaksud diproduksi dari alam dan wilayah di sekitarnya, seperti dari pedalaman Tanah Karo, Simalungun, Toba, Singkil
dan pulau-pulau di sekitarnya.

Barus sendiri merupakan kota kecil yang letaknya berada di pesisir Barat Provinsi Sumatera Utara. Barus menjadi terkenal
pada abad ke 7 Masehi, saat Barus menjadi kota pelabuhan yang cukup ramai dengan singgahnya kapal-kapal dari berbagai
belahan dunia. Sebutan kota penghasil rempah-rempah menjadi faktor yang membuat Negara pendatang tertarik untuk
melakukan perdagangan. Salah satu rempah yang terkenal yaitu kapur barus dan kemenyan. Dengan kota Barus sebagai
penghasil kapur wewangian, membuat kota ini dijuluki sebagai kota tertua di Nusantara sebagaimana yang tercatat sejak
awal masehi pada berbagai literatur dalam bahasa Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia,  China, dan lain sebagainya.

Pengaruh kapur barus dan kemenyan pada masa itu juga diungkapkan oleh Saleh dalam buku yang berjudul Barus Sebagai
Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara (p,15) berikut:

Pentingnya kapur barus dan kemenyan sebagai komoditas dagang juga dapat ditelusuri melalui catatan dan laporan
perjalanan yang ditulis oleh pedagang-pedagang asing seperti bangsa Armenia, Tamil, Arab, Persia, China, Melayu, Jawa
dan Eropa. Selain itu historiografi mengenai kapur barus dan kemenyan juga telah diteliti, ditulis, dan diterbitkan oleh
para peneliti dalam skala internasional. Catatan dan laporan perjalanan bangsa-bangsa asing tersebut serta berbagai
karya tulis yang dihasilkan oleh para peneliti mengenai kapur barus dan kemenyan merupakan literatur penting yang
harus diulas untuk mengkaji kapur barus dan kemenyan sebagai komoditas dagang penting pada masa lalu.

Keberadaan kapur barus dan kemenyan serta letak Barus yang strategis membuat pelabuhan Barus menjadi ramai dan
menjadi tempat persinggahan para pedagang muslim Arab. Sebelum agama Islam masuk ke Barus, masyarakat setempat
telah menganut agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan adanya orang Arab yang telah diangkat untuk mengepalai orang-
orang Muslim di Ta Shih. Pada abad ke-7 dan 8 M, Barus sudah ramai didatangi para saudagar dari negeri Arab, Parsia, dan
India. [2]Kondisi pelabuhan yang ramai membuat banyak saudagar-saudagar muslim tertarik untuk singgah ke pelabuhan.
Selain itu, letak yang strategis menyebabkan adanya interaksi antara budaya setempat dengan budaya asing.  Sehingga
terjadi akulturasi yang secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan penduduknya termasuk sistem pemerintahannya dan
masuknya Islam pada masa itu.

Pendidikan merupakan salah satu titik awal dalam pembentukan karakter, perilaku serta sikap. Hal ini membuat peran para
ulama, guru-guru agama serta raja dalam proses islamisasi menjadi sangat dibutuhkan. Di Barus proses penyebaran agama
Islam melalui pendidikan dilakukan dengan mendirikan pondok pesantren yang mana merupakan tempat pengajaran agama
Islam bagi para santri. Setelah keluar dari pesantren untuk belajar ilmu-ilmu agama, seorang santri akan kembali ke
kampung halaman masing-masing untuk menjadi tokoh keagamaan dan mulai menyebarkan agama Islam di Barus.
            Pada taraf permulaan, di antara saluran Islamisasi yang pernah berkembang adalah perdagangan. Para pedagang
yang berasal dari berbagai Negara, termasuk para pedagang Arab, yang secara tidak langsung menyebarkan agama Islam di
Barus. Penggunaan perdagangan sebagai saluran Islamisasi sangat menguntungkan karena bagi kaum muslim tidak ada
pemisahan antara kegiatan berdagang dan kewajiban menyampaikan ajaran Islam kepada pihak-pihak lain seperti golongan
raja, bangsawan umum dan masyarakat Barus itu sendiri (Notosusanto, 1984:169).

            Selanjutnya, penyebaran agama Islam juga dilakukan melalui perkawinan yang mana cukup memberikan
kemudahan dalam proses islamisasi di Barus. Hal tersebut dikarenakan ikatan perkawinan antara saudagar dengan wanita
pribumi merupakan bagian yang erat dengan Islamisasi. Jalinan baik ini kemudian diteruskan dengan perkawinan antara
putri kaum pribumi dengan para pedagang Islam.

Menengok dari catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, terdapat kerajaan Buddh, yaitu Sriwijaya yang tengah
berkuasa atas Sumatera. Hal tersebut menunjukkan bahwa bukan suatu hal yang mudah untuk mendirikan perkampungan
muslim yang notabenenya berbeda keyakinan dengan yang dianut oleh masyarakat setempat. Sebelum mendapat izin dari
penguasa, pendirian kaum muslim berlangsung selama bertahun-tahun. Mereka harus berbaur dan berinteraksi dengan
penduduk setempat serta penguasa, hingga nantinya mereka telah dipercaya oleh kalangan kerajaan pada saat itu.
Pembauran dilakukan melalui jalur pernikahan dengan penduduk setempat serta memiliki anak. Setelah persyaratan yang
ada telah dipenuhi, barulah mereka, para pedagang Arab Islam, mendirikan perkampungan yang mana nilai-nilai Islam bisa
hidup berdampingan di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya pada masa itu.

Hal lain yang memiliki pengaruh terhadap proses Islamisasi adalah tasawuf. Tasawuf merupakan kategori yang berfungsi
dan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia sebagai hamba Allah. Hal ini berkaitan langsung dengan penyebaran
Islam di Indonesia. Dalam hal ini para ahli tasawuf hidup dalam kesederhanaan, para ahli tasawuf juga selalu berusaha
menghayati kehidupan masyarakatnya dengan hidup bersama di tengah-tengah masyarakatnya (Hasjmy, 1983:98).

Ditemukannya Situs Sebagai Bukti Sejarah

Dalam sejarah dijelaskan bahwa asal-muasal penyebaran agama yang ada di Indonesia datang dari Barus, terutama agama
Islam. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya situs Mahligai dan Situs Papan Tinggi yang membuktikan bahwa
Islam mulai tersebar di Nusantara sekitar abad ke-5 Masehi. Pernyataan inilah yang menetapkan Barus sebagai titik nol
masuknya Islam. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa proses islamisasi ke Barus, terutama ke Sumatra hingga ke
Nusantara erat kaitannya dengan awal dari perjalanan para pedagang arab yang sudah dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW yang menjadikan Barus sebagai tempat singgah. Jika dihubungkan dengan makam-makam yang ada di
situs Mahligai dan situs makam Papan Atas atau Tangga Seribu, maka akan terbukti kebenarannya. Hal tersebut
dikarenakan yang dimakamkan di kedua situs makam tersebut umumnya merupakan orang Arab, seperti makam Syekh
Mahmud yang berada di puncak bukit Tangga Seribu / Papan Atas yang panjangnya mencapai delapan meter. Pada
nisannya, terdapat informasi yang menyatakan bahwa almarhum berasal dari Tanah Arab. Hal ini menandakan di sekitar
Barus pada masa lalu, khususnya dalam rentang abad 12-17 M pernah hidup dan berkembang masyarakat Islam dengan
segala kehebatan dan kebesarannya. Dengan adanya makam bersejarah itu menjadikan Barus sebagai salah satu pintu masuk
Islam ke nusantara.

Pada tahun 1978 kompleks pemakaman Mahligai sudah diteliti oleh Tim Arkeologi Pusat Peneltian Arkeologi Nasional
(Puslit Arkenas) yang dipimpin oleh Prof, Dr, Hasan Muarif Ambary. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bentuk
ragam hias yang ada pada nisan kubur berupa hiasan kaligrafi dan nisan kubur berbentuk kubah yang memberikan
gambaran persamaan dengan hiasan Persia yang sudah dikenal dunia sejak abad ke 6 Masehi.[3]

Samudera Pasai ada pada tahun 692 H atau 1292 M. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu telah banyak orang
Arab yang menyebarkan Islam. Sama halnya dengan berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, ketika
singgah di Aceh tahun 746 H atau 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’I. Agama Islam
kemudian mulai berkembang di mana-mana terutama di kota Barus yang penduduknya belum mengenal Islam, atas kerja
keras para saudagar maka masyarakat Barus menganut agama Islam. Papan Tinggi merupakan sebuah pemakaman di
Bandar Barus, tepatnya di pantai barat Sumatera Utara, di mana terdapat sebuah nama Said Mahmud al-Hadramaut. Syeh
Said Mahmud ini merupakan keluarga Rasulullah Muhammad SAW. Syeh Said Mahmud juga yang mengislamkan raja
Guru Marskot yang merupakan Raja Batak Islam pertama di Barus. Kedatangan Said Mahmud dari Arab ke Barus belum
diketahui dengan pasti (Drakard, 1988:16).[4]

Pemakaman Papan Tinggi atau Tompat berlokasi di Desa Pananggahan Kecamatan Barus Utara, 3,5 Km dari Kota Barus,
posisi makam berada pada ketinggian 20 meter dari permukaan laut, Pemakaman Papan Tinggi juga disebut juga dengan
Tuan Tompat, dan untuk sampai ke puncak bukit harus menaiki anak tangga sebanyak 780 anak tangga. Di kompleks itu
terdapat 7 makam dan salah satunya merupakan makam seorang ulama besar pada waktu itu yang bernama Syekh Alim Al
Mukhtazam Syekh Mahmud Qodasallahu Rohahu Al Mukhtarach.
Penetepan Kota Barus Sebagai Peradaban Islam Pertama

Penetapan kota Barus sebagai kota peradaban Islam pertama diresmikan secara langsung oleh Presiden Jokowi pada Jumat,
24 Maret 2017. Peresmian tersebut dilakukan dengan penandatanganan Prasasti Tugu titik nol peradaban islam di
Nusantara. [5]Hal tersebutt membuktikan bahwa sejak abad 7 Masehi peradaban Islam telah berkembanh di Nusantara dan
dimulai dari Barus, kota pelabuhan yang ramai dengan kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia yang singgah
terutama Negara Eropa, Timur Tengah, Persia, Gujarat, India dan Tiongkok. Akan tetapi, penetapan tersebut masih
bersifat debatable karena ada beberapa sejarawan yang masih belum setuju.

Berbagai persoalan  muncul mengenai penetapan Kota Barus setelah lebih 14 abad sejak abad ke 7 Masehi yang mana kini
Kota Barus yang merupakan merupakan Titik Nol Islam sebagai Peradaban Nusantara. Hal tersebut terlihat dari
perkembangan akidah keberagamaannya yang sangat lamban dan tidak dinamis bahkan tidak produktif. Bila dilihat dari
peninggalan situs-situs seperti makam-makam para ulama baik lokal maupun dari Negara-negara Timur Tengah semisal
Persia, Yaman dan Tanah Arab dan lain-lain, maka seyogyanya Barus atau daerah sekitarnya tumbuh peradaban Islam
seperti adanya perguruan- perguruan tinggi sekelas Al Azhar di Mesir, Perguruan Tinggi Islam di India dan Universitas
Cordova yang masih ada di Spanyol. Juga akan kelihatan bangunan-bangunan arsitektur Islam kuno seperti masjid atau
monumen Islam yang menakjubkan serta menunjukkan bahwa dahulu Islam pernah berjaya di Barus. Bahkan
perkembangan Akidah Islam juga sangat memperihatinkan dan tergerus dengan adanya perkembangan agama maupun
kepercayaan lain. Sampai saat ini tidak ada terdapat bahkan tanda-tanda telah atau akan adanya pendirian Perguruan Tinggi
Islam yang besar dan bonafit.[6]

Pahlawan dari Barus

Salah seorang pahlawan sebelum kemerdekaan dari Kota Barus yang gigih melawan Belanda (Penjajah) adalah Sidi Marah
(Marah Sidi). Walaupun dia bukan masyarakat asli Kota Barus (sebagai perantau), tetapi perjuangan heroiknya perlu
diteladani. Sidi Marah tidak setuju dengan kebijakan Belanda yang semena-mena terhadap rakyat. Belanda menerapkan
kebijakan hoofd belasting  (pajak kepala atau individu), inkomsten belasting  (pajak pemasukan suatu barang/cukai),
hedendisten (pajak rodi), landrente  (pajak tanah), wins belasting (pajak kemenangan/keuntungan), meubels
belasting  (pajak rumah tangga), slach belasting  (pajak penyembelihan), tabak belasting (pajak tembakau), adat huizen
belasting  (pajak rumah adat).[7] Akibat dari kebijakan tersebut rakyat menjadi tertindas hingga akihirnya lahirlah
perlawanan yang dilakukan oleh Sidi Marah.

Berbagai usaha dan penyerangan demi mempertahankan Barus telah Sidi Marah lakukan selama kurang lebih tujuh tahun.
Selain itu, terdapat juga pahlawan setelah kemerdekaan, salah satunya bernama Kiai Haji Zainul Arifin atau lengkapnya
Kiai Haji Zainul Arifin Pohan. Di zaman penjajahan Belanda, Kiai Haji Zainul Arifin sudah aktif di organisasi (NU-GP
Ansor), sesuatu kegiatannya yang dianggap penjajah sebagai penggalangan rakyat untuk melawan mereka. Semasa
penjajahan Jepang Kiai Haji Zainul Arifin menjadi Panglima Hizbullah Masyumi, dengan tugas utama mengkoordinasi
pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor. Pascakemerdekaan, Kiai Haji Zainul Arifin banyak dipercaya di
legislatif dan eksekutif. Salah satu jabatan terpenting yang pernah diembannya adalah Wakil Perdana Menteri Indonesia
dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun penuh (1953-1955). Masa jabatan 30 Juli 1953 – 12
Agustus 1955, akan tetapi dalam sejarah Organisasi NU Kiai Haji Zainul Arifin tercatat sebagai orang pertama yang
menduduki jabatan tersebut.

Penutup

Barus merupakan kawasan yang paling  Barat para pendatang yang berasal dari timur dan barat, yang mana menjadikan
pelabuhan Barus sebagai tempat singgah serta terdapat perdagangan rempah-rempah termasuk kapur barus dan kemenyan
yang pada masa itu cukup terkenal dan berpengaruh terhadap komoditi perdagangan. Seharusnya Barus sudah memiliki
peradaban yang tinggi dalam berbagai hal seperti arsitektur, lembaga pendidikan dan sebagainya. Barus juga disebut sebagai
kota tertua mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal masehi
oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia, China dan sebagainya.

Proses Islamisasi di Kota Barus tidak terlepas dari media yang dapat mempermudah proses Islamisasi tersebut. Media yang
digunakan untuk menjalankan proses Islamisasi tersebut antara lain: media pendidikan, media perdagangan, media
perkawinan, dan media tasawuf . Adanya media-media tersebut membuat proses Islamisasi di Barus dapat berkembang
secara cepat dan mudah, karena media tersebut dijadikan sebagai sarana untuk memudahkan cara berkembangnya agama
Islam di Kesultanan Barus. Namun, hal tersebut juga tidak lepas dari peran para saudagar maupun para ulama yang
menyebarkan Agama Islam di Kesultanan Barus yang tidak mudah putus asa dan memiliki banyak cara agar masyarakat
Barus dapat beragama Islam seluruhnya.

Ditinjau dari segi masanya, dimana sudah cukup lama sejak penetapan Barus menjadi titik awal adanya Peradaban Islam
Nusantara pada abad ke 7 Masehi, maka Barus kini (abad ke 21 Masehi) telah melewati 14 abad lamanya sejak masyarakat
Islam dipercaya sudah ada di Barus. Namun selama 14 abad lamanya tidak nampak peradaban yang menghasilkan
bangunan-bangunan monumental berciri khas Islam seperti masjid, perguruan tinggi yang bonafit atau lainnya selain
makam-makam kuno dengan nisan-nisan yang kebenaran tahun berdirinya masih debatable oleh para ahli sejarah. Namun,
dengan adanya bukti dan sumber sejarah yang ada yaitu ditemukannya beberapa situs makam ulama pada masa itu
memperkuat bukti bahwa Barus menjadi kota titik nol islam atau peradaban islam pertama.

Penulis : Luthfi Sekar Nastiti

Editor : Vicky Nur Amalya

Daftar Pustaka

A . Muchsin, Misri. 2017. Barus Dalam Sejarah: Kawasan Percaturan Politik, Agama dan Ekonomi Dunia.  ADABIYA,
Volume 19 No. 1 Februari 2017

Azhari, Ichwan. 2017. “Politik Historiografi” Sejarah Lokal : Kisah Kemenyan dan Kapur dari Barus, Sumatera
Utara. SEJARAH DAN BUDAYA,  Tahun Kesebelas, Nomor 1, Juni 2017. Universitas Negeri Medan

Riyanti, Festi, dkk. 2014. Islamisasi di Kesultanan Barus Pada Tahun 1292 M. Artikel Ilmiah Mahasiswa, 2014. Universitas
Jember (UNEJ). http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/63231/FESTI%20RIYANTINI.pdf?
sequence=1#:~:text=Islam%20masuk%20ke%20Indonesia%20khususnya,menuju%20Tiongkok%20tentu%20melintasi
%20selat

Saleh, Bahrum. 2020. Barus Sebagai Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara. Medan : Perdana Publishing.

Supriyatno. 2012. Islamisasi di Sumatera Utara : Studi Tentang Batu Nisan di Kota Rantang dan Barus. MIQOT Vol.
XXXVI No. 1 Januari-Juni 2012.USU. http://jurnalmiqotojs.uinsu.ac.id/index.php/jurnalmiqot/article/view/113

Uky Firmansyah Rahman Hakim. 2019. Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara: Tinjauan Sejarah dan Perkembangan
Dakwah. Jurnal Ilmiah Syiar. Vol. 19, No. 02, Desember 2019

[1] Uky Firmansyah Rahman Hakim. 2019. Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara: Tinjauan Sejarah dan Perkembangan
Dakwah. Jurnal Ilmiah Syiar. Vol. 19, No. 02, Desember 2019; hlm. 48

[2] Riyanti, Festi, dkk. 2014. Islamisasi di Kesultanan Barus Pada Tahun 1292 M. Artikel Ilmiah Mahasiswa, 2014. Hal. 2

[3] Saleh, Bahrum. 2020. Barus Sebagai Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara. Medan : Perdana Publishing. Hlm. 43

[4] Riyanti, Festi, dkk. 2014. Islamisasi di Kesultanan Barus Pada Tahun 1292 M. Artikel Ilmiah Mahasiswa, 2014Hlm.2- 3

[5] Saleh, Bahrum. 2020. Barus Sebagai Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara. Medan : Perdana Publishing.

[6] Ibid. Hlm. 9

[7] Ibid, hlm. 18

MENILIK SEJARAH : PROSES ISLAMISASI DI KOTA


BARUS SEBAGAI PERADABAN ISLAM PERTAMA
Mengenal Kota Barus dan Proses Islamisasi

Barus merupakan kawasan paling  Barat bagi para pendatang yang berasal dari timur dan barat.  Hal tersebut yang
kemudian menjadikan pelabuhan Barus sebagai tempat singgah serta tempat perdagangan rempah-rempah, termasuk kapur
barus yang saat itu cukup terkenal. Sebelum menjadi sebuah kecamatan di Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara,
Barus merupakan kota Emporium dan pusat peradaban pada abad 1 – 17 Masehi. Barus juga dikenal dengan nama Fansur.
Kampung kecil ini merupakan sebuah kampung kuno yang berada di antara kota Singkil dan Sibolga, sekitar 414 kilometer
selatan Medan. Pada zaman Sriwijaya, kota Barus masuk dalam wilayahnya. Namun, saat Sriwijaya mengalami
kemunduran dan digantikan oleh kerajaan Aceh Darussalam, Barus masuk dalam wilayah Kerajaan Aceh.

Barus di sebut sebagai kota tertua, mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-
sebut sejak awal masehi oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia, China dan sebagainya. Sebuah
peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, salah seorang Gubernur Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria,
Mesir, pada abad ke-2 Masehi, menyebutkan bahwa di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama
Barousai (Barus) yang dikenal menghasilkan wewangian dari kapur barus. Bahkan, dikisahkan pula bahwa kapur barus
yang diolah dari kayu kamfer dari kota itu telah dibawa ke Mesir dan digunakan untuk pembalseman mayat pada zaman
kekuasaan Fir’aun sejak Ramses II atau sekitar 5.000 tahun sebelum Masehi.[1]

Hal itu juga diungkapkan oleh Muchsin (2017, p. 1) dalam pernyataan berikut,

Barus adalah satu bekas kota tua, Bandar, dan kota dagang internasional sejak berabad-abad lalu, terutama dalam
rentang abad 12-17 M. Dalam sejarahnya yang panjang pernah menjadi pusat perdagangan dunia-internasional Timur
dan Barat atau mancanegara. Barus dalam sejarahnya pernah berhubungan intens dengan dua kawasan dari Timur Ten-
gah, yaitu Persia pada satu sisi, dan bagian Timur Laut Tengah pada sisi lain. Dalam sejarahnya Barus telah pernah
menjadi pengeksport hasil bumi seperti damar, kemenyan, kapur barus, lada, kulit binatang dan lainnya. Semua hasil bumi
dimaksud diproduksi dari alam dan wilayah di sekitarnya, seperti dari pedalaman Tanah Karo, Simalungun, Toba, Singkil
dan pulau-pulau di sekitarnya.

Barus sendiri merupakan kota kecil yang letaknya berada di pesisir Barat Provinsi Sumatera Utara. Barus menjadi terkenal
pada abad ke 7 Masehi, saat Barus menjadi kota pelabuhan yang cukup ramai dengan singgahnya kapal-kapal dari berbagai
belahan dunia. Sebutan kota penghasil rempah-rempah menjadi faktor yang membuat Negara pendatang tertarik untuk
melakukan perdagangan. Salah satu rempah yang terkenal yaitu kapur barus dan kemenyan. Dengan kota Barus sebagai
penghasil kapur wewangian, membuat kota ini dijuluki sebagai kota tertua di Nusantara sebagaimana yang tercatat sejak
awal masehi pada berbagai literatur dalam bahasa Arab, India, Tamil, Yunani, Syiria, Armenia,  China, dan lain sebagainya.

Pengaruh kapur barus dan kemenyan pada masa itu juga diungkapkan oleh Saleh dalam buku yang berjudul Barus Sebagai
Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara (p,15) berikut:

Pentingnya kapur barus dan kemenyan sebagai komoditas dagang juga dapat ditelusuri melalui catatan dan laporan
perjalanan yang ditulis oleh pedagang-pedagang asing seperti bangsa Armenia, Tamil, Arab, Persia, China, Melayu, Jawa
dan Eropa. Selain itu historiografi mengenai kapur barus dan kemenyan juga telah diteliti, ditulis, dan diterbitkan oleh
para peneliti dalam skala internasional. Catatan dan laporan perjalanan bangsa-bangsa asing tersebut serta berbagai
karya tulis yang dihasilkan oleh para peneliti mengenai kapur barus dan kemenyan merupakan literatur penting yang
harus diulas untuk mengkaji kapur barus dan kemenyan sebagai komoditas dagang penting pada masa lalu.

Keberadaan kapur barus dan kemenyan serta letak Barus yang strategis membuat pelabuhan Barus menjadi ramai dan
menjadi tempat persinggahan para pedagang muslim Arab. Sebelum agama Islam masuk ke Barus, masyarakat setempat
telah menganut agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan adanya orang Arab yang telah diangkat untuk mengepalai orang-
orang Muslim di Ta Shih. Pada abad ke-7 dan 8 M, Barus sudah ramai didatangi para saudagar dari negeri Arab, Parsia, dan
India. [2]Kondisi pelabuhan yang ramai membuat banyak saudagar-saudagar muslim tertarik untuk singgah ke pelabuhan.
Selain itu, letak yang strategis menyebabkan adanya interaksi antara budaya setempat dengan budaya asing.  Sehingga
terjadi akulturasi yang secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan penduduknya termasuk sistem pemerintahannya dan
masuknya Islam pada masa itu.

Pendidikan merupakan salah satu titik awal dalam pembentukan karakter, perilaku serta sikap. Hal ini membuat peran para
ulama, guru-guru agama serta raja dalam proses islamisasi menjadi sangat dibutuhkan. Di Barus proses penyebaran agama
Islam melalui pendidikan dilakukan dengan mendirikan pondok pesantren yang mana merupakan tempat pengajaran agama
Islam bagi para santri. Setelah keluar dari pesantren untuk belajar ilmu-ilmu agama, seorang santri akan kembali ke
kampung halaman masing-masing untuk menjadi tokoh keagamaan dan mulai menyebarkan agama Islam di Barus.

            Pada taraf permulaan, di antara saluran Islamisasi yang pernah berkembang adalah perdagangan. Para pedagang
yang berasal dari berbagai Negara, termasuk para pedagang Arab, yang secara tidak langsung menyebarkan agama Islam di
Barus. Penggunaan perdagangan sebagai saluran Islamisasi sangat menguntungkan karena bagi kaum muslim tidak ada
pemisahan antara kegiatan berdagang dan kewajiban menyampaikan ajaran Islam kepada pihak-pihak lain seperti golongan
raja, bangsawan umum dan masyarakat Barus itu sendiri (Notosusanto, 1984:169).

            Selanjutnya, penyebaran agama Islam juga dilakukan melalui perkawinan yang mana cukup memberikan
kemudahan dalam proses islamisasi di Barus. Hal tersebut dikarenakan ikatan perkawinan antara saudagar dengan wanita
pribumi merupakan bagian yang erat dengan Islamisasi. Jalinan baik ini kemudian diteruskan dengan perkawinan antara
putri kaum pribumi dengan para pedagang Islam.

Menengok dari catatan sejarah, pada seperempat abad ke-7 M, terdapat kerajaan Buddh, yaitu Sriwijaya yang tengah
berkuasa atas Sumatera. Hal tersebut menunjukkan bahwa bukan suatu hal yang mudah untuk mendirikan perkampungan
muslim yang notabenenya berbeda keyakinan dengan yang dianut oleh masyarakat setempat. Sebelum mendapat izin dari
penguasa, pendirian kaum muslim berlangsung selama bertahun-tahun. Mereka harus berbaur dan berinteraksi dengan
penduduk setempat serta penguasa, hingga nantinya mereka telah dipercaya oleh kalangan kerajaan pada saat itu.
Pembauran dilakukan melalui jalur pernikahan dengan penduduk setempat serta memiliki anak. Setelah persyaratan yang
ada telah dipenuhi, barulah mereka, para pedagang Arab Islam, mendirikan perkampungan yang mana nilai-nilai Islam bisa
hidup berdampingan di bawah kekuasaan kerajaan Budha Sriwijaya pada masa itu.

Hal lain yang memiliki pengaruh terhadap proses Islamisasi adalah tasawuf. Tasawuf merupakan kategori yang berfungsi
dan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia sebagai hamba Allah. Hal ini berkaitan langsung dengan penyebaran
Islam di Indonesia. Dalam hal ini para ahli tasawuf hidup dalam kesederhanaan, para ahli tasawuf juga selalu berusaha
menghayati kehidupan masyarakatnya dengan hidup bersama di tengah-tengah masyarakatnya (Hasjmy, 1983:98).

Ditemukannya Situs Sebagai Bukti Sejarah

Dalam sejarah dijelaskan bahwa asal-muasal penyebaran agama yang ada di Indonesia datang dari Barus, terutama agama
Islam. Hal tersebut dibuktikan dengan ditemukannya situs Mahligai dan Situs Papan Tinggi yang membuktikan bahwa
Islam mulai tersebar di Nusantara sekitar abad ke-5 Masehi. Pernyataan inilah yang menetapkan Barus sebagai titik nol
masuknya Islam. Adapun pendapat yang menyatakan bahwa proses islamisasi ke Barus, terutama ke Sumatra hingga ke
Nusantara erat kaitannya dengan awal dari perjalanan para pedagang arab yang sudah dimulai sejak zaman Nabi
Muhammad SAW yang menjadikan Barus sebagai tempat singgah. Jika dihubungkan dengan makam-makam yang ada di
situs Mahligai dan situs makam Papan Atas atau Tangga Seribu, maka akan terbukti kebenarannya. Hal tersebut
dikarenakan yang dimakamkan di kedua situs makam tersebut umumnya merupakan orang Arab, seperti makam Syekh
Mahmud yang berada di puncak bukit Tangga Seribu / Papan Atas yang panjangnya mencapai delapan meter. Pada
nisannya, terdapat informasi yang menyatakan bahwa almarhum berasal dari Tanah Arab. Hal ini menandakan di sekitar
Barus pada masa lalu, khususnya dalam rentang abad 12-17 M pernah hidup dan berkembang masyarakat Islam dengan
segala kehebatan dan kebesarannya. Dengan adanya makam bersejarah itu menjadikan Barus sebagai salah satu pintu masuk
Islam ke nusantara.

Pada tahun 1978 kompleks pemakaman Mahligai sudah diteliti oleh Tim Arkeologi Pusat Peneltian Arkeologi Nasional
(Puslit Arkenas) yang dipimpin oleh Prof, Dr, Hasan Muarif Ambary. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bentuk
ragam hias yang ada pada nisan kubur berupa hiasan kaligrafi dan nisan kubur berbentuk kubah yang memberikan
gambaran persamaan dengan hiasan Persia yang sudah dikenal dunia sejak abad ke 6 Masehi.[3]

Samudera Pasai ada pada tahun 692 H atau 1292 M. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa itu telah banyak orang
Arab yang menyebarkan Islam. Sama halnya dengan berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, ketika
singgah di Aceh tahun 746 H atau 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’I. Agama Islam
kemudian mulai berkembang di mana-mana terutama di kota Barus yang penduduknya belum mengenal Islam, atas kerja
keras para saudagar maka masyarakat Barus menganut agama Islam. Papan Tinggi merupakan sebuah pemakaman di
Bandar Barus, tepatnya di pantai barat Sumatera Utara, di mana terdapat sebuah nama Said Mahmud al-Hadramaut. Syeh
Said Mahmud ini merupakan keluarga Rasulullah Muhammad SAW. Syeh Said Mahmud juga yang mengislamkan raja
Guru Marskot yang merupakan Raja Batak Islam pertama di Barus. Kedatangan Said Mahmud dari Arab ke Barus belum
diketahui dengan pasti (Drakard, 1988:16).[4]

Pemakaman Papan Tinggi atau Tompat berlokasi di Desa Pananggahan Kecamatan Barus Utara, 3,5 Km dari Kota Barus,
posisi makam berada pada ketinggian 20 meter dari permukaan laut, Pemakaman Papan Tinggi juga disebut juga dengan
Tuan Tompat, dan untuk sampai ke puncak bukit harus menaiki anak tangga sebanyak 780 anak tangga. Di kompleks itu
terdapat 7 makam dan salah satunya merupakan makam seorang ulama besar pada waktu itu yang bernama Syekh Alim Al
Mukhtazam Syekh Mahmud Qodasallahu Rohahu Al Mukhtarach.

Penetepan Kota Barus Sebagai Peradaban Islam Pertama

Penetapan kota Barus sebagai kota peradaban Islam pertama diresmikan secara langsung oleh Presiden Jokowi pada Jumat,
24 Maret 2017. Peresmian tersebut dilakukan dengan penandatanganan Prasasti Tugu titik nol peradaban islam di
Nusantara. [5]Hal tersebutt membuktikan bahwa sejak abad 7 Masehi peradaban Islam telah berkembanh di Nusantara dan
dimulai dari Barus, kota pelabuhan yang ramai dengan kapal-kapal dagang dari berbagai belahan dunia yang singgah
terutama Negara Eropa, Timur Tengah, Persia, Gujarat, India dan Tiongkok. Akan tetapi, penetapan tersebut masih
bersifat debatable karena ada beberapa sejarawan yang masih belum setuju.
Berbagai persoalan  muncul mengenai penetapan Kota Barus setelah lebih 14 abad sejak abad ke 7 Masehi yang mana kini
Kota Barus yang merupakan merupakan Titik Nol Islam sebagai Peradaban Nusantara. Hal tersebut terlihat dari
perkembangan akidah keberagamaannya yang sangat lamban dan tidak dinamis bahkan tidak produktif. Bila dilihat dari
peninggalan situs-situs seperti makam-makam para ulama baik lokal maupun dari Negara-negara Timur Tengah semisal
Persia, Yaman dan Tanah Arab dan lain-lain, maka seyogyanya Barus atau daerah sekitarnya tumbuh peradaban Islam
seperti adanya perguruan- perguruan tinggi sekelas Al Azhar di Mesir, Perguruan Tinggi Islam di India dan Universitas
Cordova yang masih ada di Spanyol. Juga akan kelihatan bangunan-bangunan arsitektur Islam kuno seperti masjid atau
monumen Islam yang menakjubkan serta menunjukkan bahwa dahulu Islam pernah berjaya di Barus. Bahkan
perkembangan Akidah Islam juga sangat memperihatinkan dan tergerus dengan adanya perkembangan agama maupun
kepercayaan lain. Sampai saat ini tidak ada terdapat bahkan tanda-tanda telah atau akan adanya pendirian Perguruan Tinggi
Islam yang besar dan bonafit.[6]

Pahlawan dari Barus

Salah seorang pahlawan sebelum kemerdekaan dari Kota Barus yang gigih melawan Belanda (Penjajah) adalah Sidi Marah
(Marah Sidi). Walaupun dia bukan masyarakat asli Kota Barus (sebagai perantau), tetapi perjuangan heroiknya perlu
diteladani. Sidi Marah tidak setuju dengan kebijakan Belanda yang semena-mena terhadap rakyat. Belanda menerapkan
kebijakan hoofd belasting  (pajak kepala atau individu), inkomsten belasting  (pajak pemasukan suatu barang/cukai),
hedendisten (pajak rodi), landrente  (pajak tanah), wins belasting (pajak kemenangan/keuntungan), meubels
belasting  (pajak rumah tangga), slach belasting  (pajak penyembelihan), tabak belasting (pajak tembakau), adat huizen
belasting  (pajak rumah adat).[7] Akibat dari kebijakan tersebut rakyat menjadi tertindas hingga akihirnya lahirlah
perlawanan yang dilakukan oleh Sidi Marah.

Berbagai usaha dan penyerangan demi mempertahankan Barus telah Sidi Marah lakukan selama kurang lebih tujuh tahun.
Selain itu, terdapat juga pahlawan setelah kemerdekaan, salah satunya bernama Kiai Haji Zainul Arifin atau lengkapnya
Kiai Haji Zainul Arifin Pohan. Di zaman penjajahan Belanda, Kiai Haji Zainul Arifin sudah aktif di organisasi (NU-GP
Ansor), sesuatu kegiatannya yang dianggap penjajah sebagai penggalangan rakyat untuk melawan mereka. Semasa
penjajahan Jepang Kiai Haji Zainul Arifin menjadi Panglima Hizbullah Masyumi, dengan tugas utama mengkoordinasi
pelatihan-pelatihan semi militer di Cibarusa, dekat Bogor. Pascakemerdekaan, Kiai Haji Zainul Arifin banyak dipercaya di
legislatif dan eksekutif. Salah satu jabatan terpenting yang pernah diembannya adalah Wakil Perdana Menteri Indonesia
dalam Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang memerintah dua tahun penuh (1953-1955). Masa jabatan 30 Juli 1953 – 12
Agustus 1955, akan tetapi dalam sejarah Organisasi NU Kiai Haji Zainul Arifin tercatat sebagai orang pertama yang
menduduki jabatan tersebut.

Penutup

Barus merupakan kawasan yang paling  Barat para pendatang yang berasal dari timur dan barat, yang mana menjadikan
pelabuhan Barus sebagai tempat singgah serta terdapat perdagangan rempah-rempah termasuk kapur barus dan kemenyan
yang pada masa itu cukup terkenal dan berpengaruh terhadap komoditi perdagangan. Seharusnya Barus sudah memiliki
peradaban yang tinggi dalam berbagai hal seperti arsitektur, lembaga pendidikan dan sebagainya. Barus juga disebut sebagai
kota tertua mengingat dari seluruh kota di Nusantara, hanya Barus yang namanya sudah disebut-sebut sejak awal masehi
oleh literatur-literatur Arab, India, Tamil, Yunani, Syria, Armenia, China dan sebagainya.

Proses Islamisasi di Kota Barus tidak terlepas dari media yang dapat mempermudah proses Islamisasi tersebut. Media yang
digunakan untuk menjalankan proses Islamisasi tersebut antara lain: media pendidikan, media perdagangan, media
perkawinan, dan media tasawuf . Adanya media-media tersebut membuat proses Islamisasi di Barus dapat berkembang
secara cepat dan mudah, karena media tersebut dijadikan sebagai sarana untuk memudahkan cara berkembangnya agama
Islam di Kesultanan Barus. Namun, hal tersebut juga tidak lepas dari peran para saudagar maupun para ulama yang
menyebarkan Agama Islam di Kesultanan Barus yang tidak mudah putus asa dan memiliki banyak cara agar masyarakat
Barus dapat beragama Islam seluruhnya.

Ditinjau dari segi masanya, dimana sudah cukup lama sejak penetapan Barus menjadi titik awal adanya Peradaban Islam
Nusantara pada abad ke 7 Masehi, maka Barus kini (abad ke 21 Masehi) telah melewati 14 abad lamanya sejak masyarakat
Islam dipercaya sudah ada di Barus. Namun selama 14 abad lamanya tidak nampak peradaban yang menghasilkan
bangunan-bangunan monumental berciri khas Islam seperti masjid, perguruan tinggi yang bonafit atau lainnya selain
makam-makam kuno dengan nisan-nisan yang kebenaran tahun berdirinya masih debatable oleh para ahli sejarah. Namun,
dengan adanya bukti dan sumber sejarah yang ada yaitu ditemukannya beberapa situs makam ulama pada masa itu
memperkuat bukti bahwa Barus menjadi kota titik nol islam atau peradaban islam pertama.

Penulis : Luthfi Sekar Nastiti

Editor : Vicky Nur Amalya


Daftar Pustaka

A . Muchsin, Misri. 2017. Barus Dalam Sejarah: Kawasan Percaturan Politik, Agama dan Ekonomi Dunia.  ADABIYA,
Volume 19 No. 1 Februari 2017

Azhari, Ichwan. 2017. “Politik Historiografi” Sejarah Lokal : Kisah Kemenyan dan Kapur dari Barus, Sumatera
Utara. SEJARAH DAN BUDAYA,  Tahun Kesebelas, Nomor 1, Juni 2017. Universitas Negeri Medan

Riyanti, Festi, dkk. 2014. Islamisasi di Kesultanan Barus Pada Tahun 1292 M. Artikel Ilmiah Mahasiswa, 2014. Universitas
Jember (UNEJ). http://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/63231/FESTI%20RIYANTINI.pdf?
sequence=1#:~:text=Islam%20masuk%20ke%20Indonesia%20khususnya,menuju%20Tiongkok%20tentu%20melintasi
%20selat

Saleh, Bahrum. 2020. Barus Sebagai Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara. Medan : Perdana Publishing.

Supriyatno. 2012. Islamisasi di Sumatera Utara : Studi Tentang Batu Nisan di Kota Rantang dan Barus. MIQOT Vol.
XXXVI No. 1 Januari-Juni 2012.USU. http://jurnalmiqotojs.uinsu.ac.id/index.php/jurnalmiqot/article/view/113

Uky Firmansyah Rahman Hakim. 2019. Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara: Tinjauan Sejarah dan Perkembangan
Dakwah. Jurnal Ilmiah Syiar. Vol. 19, No. 02, Desember 2019

[1] Uky Firmansyah Rahman Hakim. 2019. Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara: Tinjauan Sejarah dan Perkembangan
Dakwah. Jurnal Ilmiah Syiar. Vol. 19, No. 02, Desember 2019; hlm. 48

[2] Riyanti, Festi, dkk. 2014. Islamisasi di Kesultanan Barus Pada Tahun 1292 M. Artikel Ilmiah Mahasiswa, 2014. Hal. 2

[3] Saleh, Bahrum. 2020. Barus Sebagai Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara. Medan : Perdana Publishing. Hlm. 43

[4] Riyanti, Festi, dkk. 2014. Islamisasi di Kesultanan Barus Pada Tahun 1292 M. Artikel Ilmiah Mahasiswa, 2014Hlm.2- 3

[5] Saleh, Bahrum. 2020. Barus Sebagai Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara. Medan : Perdana Publishing.[6] Ibid.
Hlm. 9

[7] Ibid, hlm. 18

Anda mungkin juga menyukai