PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring berjalannya waktu permintaan terhadap berbagai komoditi dagang dari negeri-
negeri sebrang kian bertambah. Hal ini membuat india tidak mampu lagi menopang
permintaan tersebut disamping persediaan rempah-rempah yang tak lengkap, berbeda
dengan indonesia yang dapat menghasilkan pelbagai jenis rempah-rempah membuat
terjadinya revolusi transportasi yang asalnya terfokus dengan jalur darat yaitu di jalur
sutera, kini mulai merambah ke jalur laut. Perubahan rute perdagangan global ini di
samping dipicu oleh ketidakamanan jalan darat melalui Asia Tengah juga permintaan
produk rempah-rempah yang semakin meningkat yang mampu dihasilkan juga daerah
daerah kepulauan di Nusantara. Sejak saat itu geliat perdagangan rempah-rempah menjadi
sangat spektakuler. Perdagangan rempah-rempah ini menjadi driving force bagi kegiatan
perdagangan dan pelayaran secara umum selama berabad abad. Perdagangan maritim telah
memberikan dampak bagi lahirnya berbagai kerajaan di Nusantara seperti Sriwijaya,
Majapahit, Demak, Ternate, Tidore, Tuban, dan sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat dibuat perumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Kerajaan-Kerajaan di Nusantara?
C. Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerajaan-Kerajaan di Nusantara
1. Kerajaan Barus
Kesultanan Barus merupakan kelanjutan kerajaan di Barus paska masuknya
Islam ke Barus. Islam masuk ke Barus pada awal-awal munculnya agama Islam
di semenanjung Arab. Dalam sebuah penggalian arkeologi, ditemukan Makam
Mahligai sebuah perkuburan bersejarah Syeh Rukunuddin dan Syeh Usuluddin
yang menandakan masuknya agama Islam pertama ke Indonesia pada Abad ke
VII Masehi di Kecamatan Barus. Kuburan ini panjangnya kira-kira 7 meter
dihiasi oleh beberapa batu nisan yang khas dan unik dengan bertulisan bahasa
Arab, Tarikh 48 H dan Makam Mahligai merupakan Objek Wisata Religius bagi
umat Islam se-Dunia yang Letaknya 75 Km dari Sibolga dan 359 Km dari Kota
Medan.
Raja pertama yang menjadi muslim adalah Raja Kadir yang kemudian diteruskan
kepada anak-anaknya yang kemudian bergelar Sultan. Raja Kadir merupakan
penerus kerajaan yang telah turun- temurun memerintah Barus dan merupakan
keturunan Raja Alang Pardosi, pertama sekali mendirikan pusat Kerajaaannya di
Toddang (tundang), Tukka, Pakkat – juga dikenal sebagai negeri Rambe, yang
bermigrasi dari Balige dari marga Pohan. Pada abad ke-6, telah berdiri sebuah
otoritas baru di Barus yang didirikan oleh Sultan Ibrahimsyah yang datang dari
Tarusan, Minang, keturunan Batak dari kumpulan marga Pasaribu, yang akhirnya
membentuk Dulisme kepemimpinan di Barus.
2. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Kemunculan kerajaan ini diperkirakan berdiri mulai awal atau pertengahan abad
ke-13 M sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah
disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8, dan seterusnya.
Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kerajaan Samudra Pasai
merupakan gabungan dari kerajaan Pase dan Perlak. Pasai merupakan kerajaan
besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan
besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan
karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan
huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam untuk menulis karya mereka dalam
bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya
disebut Arab Jawi. Ada sejumlah sumber tertulis yang menjelaskan tentang
berdirinya Kerajaan Samudra Pasai, diantaranya yaitu dua berasal dari Nusantara,
beberapa dari Cina, satu dari Arab, satu dari Italia, dan satu dari Portugis.
2
Sumber Nusantara antara lain Hikayat Raja Pasai (HRP) dan Sejarah Melayu
(SM). Sumber Cina antara lain Ying-yai Sheng-lan dari Ma Huan, berita Arab
dari Ibn Battutah, kisah pelayaran Marko Polo dari Italia. Antara tahun 1290 dan
1520 kesultanan Pasai tidak hanya menjadi kota dagang terpenting di selat
Malaka, tetapi juga pusat perkembangan Islam dan bahasa sastra Melayu.
Selain berdagang, para pedagang Gujarat, Persia, dan arab menyebarkan
agama Islam. Sebagaimana disebutkan dalam tradisi lisan dan Hikayat Raja-raja
Pasai, raja pertama kerajaan Samudra Pasai sekaligus raja pertama yang
memeluk Islam adalah Malik Al-Saleh yang sekaligus juga merupakan pendiri
kerajaan tersebut. Hal itu dapat diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-raja
Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian atas beberapa sumber yang
dilakukan para sarjana Barat terutama Belanda seperti Snouck Hurgronye, J.P.
Molquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain-
lain. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan gelar Malik Al-Saleh sebelum
menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam berkat
pertemuannya dengan Syaikh Ismail, seorang utusan syarif Makkah yang
kemudian memberinya gelar Sultan Malik Al- Saleh. Nisan itu didapatkan di
Gampong Samudra bekas kerajaan Samudra Pasai tersebut.
Raja-raja yang pernah memerintah :
1. Sultan Malik Al-Saleh
2. Muhammad Malik Al-Zahir
3. Mahmud Malik Al-Zahir
4. Manshur Malik Al-Zahir
5. Ahmad Malik Al-Zahir
6. Zain Al-Abidin Malik AL-Zahir
7. Nahrasiyah
8. Abu Zaid Malik Al-Zahir
9. Mahmud Malik Al-Zahir
10. Zain Al-Abidin
11. Abdullah Malik Al-Zahir
12. Zain Al-Abidin
Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini tidak mempunyai
basis agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran.
Pengawasan terhadap perdagangan serta pelayaran itu merupakan sendi-sendi
kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak
yang besar. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan internasional pertama untuk
mengekspor sutera dan lada. Hubungan dagang antara Pasai dan Jawa
berkembang pesat. Para pedagang Jawa membawa beras ke Pasai, dan sebaliknya
dari kota pelabuhan ini mereka mengangkut lada ke Jawa. Di Samudra Pasai,
3
para pedagang Jawa mendapat hak istimewa, dibebaskan dari bea dan cukai.
Dalam catatan Tome Pirse di Pasai ada mata uang dirham. Diceritakan juga
bahwa setiap kapal yang membawa barang-barang dari Barat dikenakan pajak
6%. Dalam catatannya juga disebutkan bahwa Pasai mengekspor lebih kurang
8.000-10.000 bahan lada per tahun, atau 15.000 bahar bila panen besar.
Selain lada, Pasai juga mengekspor sutera, Cara pembuatan sutera diajarkan
orang Cina kepada penduduk Pasai. Pada saat itu, jika ditinjau dari segi geografis
dan sosial ekonominya Samudra Pasai memang merupakan suatu daerah yang
penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang ada di
kepulauan Indonesia, India, Cina, dan Arab. Hal itu menyebabkan Samudra Pasai
menjadi pusat perdagangan yang sangat penting. Adanya mata uang pada saat itu
membuktikan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang makmur.
Samudra Pasai sebagai pelabuhan dagang yang maju, mengeluarkan mata
uang dirham berupa uang logam emas. Saat hubungan dagang antara Pasai dan
Malaka berkembang setelah tahun 1400, pedagang Pasai menggunakan
kesempatan mengenalkan dirham ke Malaka. Raja pertama Malaka, Prameswara,
menjalin persekutuan dengan Pasai tahun 1414 memeluk Islam dan menikah
dengan putri Pasai. Uang emas dicetak di awal pemerintahan Sultan Muhammad
(1297-1326) dan pengeluaran uang emas harus mengikuti aturan sebagai
berikut. Seluruh Sultan Samudra Pasai perlu menuliskan frasa al-sultan al-adil
pada dirham mereka.
Mata uang dirham dari Samudra Pasai itu pernah diteliti oleh H.K.J
Cowan untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah raja-raja Pasai. Mata uang
tersebut menggunakan nama-nama Sultan, diantaranya yaitu Sulatan Alauddin,
Sultan Manshur Malik Al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Abdullah. Pada tahun
1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham, diantaranya bertuliskan nama
Sultan Muhammad Malik Al- Zahir, Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah yang
semuanya merupakan raja-raja.
A. Kerajaan Ternate
Masyhur Malamo adalah raja pertama yang memerintah pada tahun 1257-
1272. Dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam
“Moloku Kie Raha” lainya. Sepeninggalan Masyhur Malamo, Ternate
dipimpin secara berturut-turut oleh Kaicil Yamin (1298-1304), dan Kaicil
Ngara Lomo (1304-1317). Kaicil Ngara lomo dapat dianggap sebagai Kolano
Ternate yang pertama kali meletakan dasar- dasar politik ekspansionaisme.
Pada masa pemerintahan Sida Arif Malamo, Ternate mulai berkembang
sebagai bandar niaga yang didatangi oleh berbgai pedagang dari Makassar,
Jawa, Melayu, Cina, Gujarat, dan Arab Pedagang ini menetap dan membuka
pos-pos perdagangan di Ternate. Sida Arif Malamo sebagai penguasa Ternate
4
memeberikan kemudahan, sehingga para pedagang semakin senang berdagang
di Ternate. Di masa–masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole.
Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang
disebut kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total
oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal
Abidin meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan gelar sultan.
Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan jogugu (perdana
menteri) dan fala raha sebagai para penasihat. Fala raha atau empat rumah
adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan
sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing–masing dikepalai
seorang kimalaha. Mereka yaitu Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi.
Pejabat–pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan–klan ini. Bila
seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu
klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange
(Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji.
Sultan Bayanullah
Sultan Bayanullah dari Ternate (1500-1521) adalah putera pertama Sultan
Zainal Abidin (1486-1500). Namanya seringkali berbeda dalam berbagai
sumber sejarah, ia sering juga disebut Sultan Bolief atau Abu Alif dan
sewaktu muda ia lebih dikenal dengan sebutan Kaicil Leliatur.Bayanullah
dibesarkan dalam lingkungan Islam yang ketat. Sejak resmi menjadi
kesultanan pada masa kakeknya Kolano Marhum (1465-1486), Ternate tak
henti-hentinya melakukan perubahan dengan mengadopsi segala hal yang
berbau Islami. Sultan Bayanullah menetapkan Syariat Islam sebagai hukum
dasar kerajaan. Seluruh rakyat Ternate diwajibkan memakai pakaian yang
menutup aurat. Ia membentuk struktur baru dan lembaga pemerintahan sesuai
Islam yang segera diadopsi oleh kerajaan-kerajaan lain di Maluku.
Tindakannya ini berhasil membawa Maluku keluar dari alam animisme ke
monoteisme (Islam).
Sultan Baabullah
Sultan Baabullah (10 Februari 1528 - permulaan 1583), juga ditulis
Sultan Babullah atau Sultan Baab (tulisan Eropa) adalah sultan dan penguasa
Kesultanan Ternate ke-24 yang berkuasa antara tahun 1570- 1583. Ia dikenal
sebagai sultan Ternate dan Maluku terbesar sepanjang sejarah, yang berhasil
mengalahkan Portugis dan mengantarkan Ternate ke puncak keemasan di
akhir abad ke-16. Sultan Baabullah juga dijuluki sebagai penguasa 72 pulau
berpenghuni yang meliputi pulau–pulau di nusantara bagian timur, Mindanao
selatan dan kepulauan Marshall.
5
B. Kerajaan Tidore
Kesultanan Tidore mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan
Nuku alias Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus Amir ud-din Syah alias
Kaicil Paparangan yang oleh kawula Tidore dikenal dengan sebutan Jou
Barakati. Pada masa kekuasaannya 1797–1805), wilayah Kerajaan Tidore
mencakup kawasan yang cukup luas hingga mencapai Tanah Papua.
Sultan Nuku adalah pemimpin yang cerdik, berani, ulet, dan waspada.
Beberapa usaha yang dilakukan oleh sultan Nuku adalah sebagai berikut:
Menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang
dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate.
Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa- apa kecuali hubungan dagang
biasa. Memperluas wilayah kekuasaan, meliputi Pulau Seram, Makean
Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Menata sistem pemerintahan
dengan baik, sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan
rakyatnya sejahtera. Berjuang untuk mengusir Belanda dari seluruh kepulauan
Maluku, termasuk Ternate, Bacan dan Jailolo. Perjuangan tersebut
membuahkan hasil dengan menyerahnya Belanda pada Sultan Nuku pada 21
Juni 1801 M. Dengan itu, Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo kembali
merdeka dari kekuasaan asing. Ia memiliki gelar “Sri Paduka Maha Tuan
Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan”.
C. Kerajaan Buton
Salah satu sumber yang menerangkan kerajaan Buton terdapat dalam
Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah
kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni. Butuni merupakan
sebuah desa tempat tinggal para resi (pendeta) yang dilengkapi taman, lingga
dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Dalam sejarahnya,
cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat orang yang disebut
dengan Mia Patamiana. Mereka adalah: Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo,
Sijawangkati. Menurut sumber sejarah lisan Buton, empat orang pendiri
negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke Buton pada
akhir abad ke-13 M.
Dengan Wa Kaa Kaa sebagai raja, Kerajaan Buton semakin berkembang
hingga Islam masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke-16
M. Selama masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di
antaranya perempuan. Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun
1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan
Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.
Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin berkembang
dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan dengan
6
agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur- unsur sufistik. Kerajaan
Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa
pemerintahan Raja Buton ke-6, yaitu Timbang Timbangan atau Lakilapoto
atau Halu Oleo. Beliau yang diIslamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa
Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton
pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara
(Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau
Batu Gatas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.
Pendapat lainnya, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna
Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahwa Sultan Murhum,
Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M –
1537 M. Di dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali
Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahwa “Kesultanan Buton
menegakkan syariat Islam pada tahun 1538 Masehi. Jika kita bandingkan
tahun yang sebutkan diatas (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La
Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi
(1537 M), berarti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan
Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi karena masa beliau telah berakhir
pada tahun 1537 M. Setelah meninjau berbagai aspek, nampaknya kedatangan
Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948
H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di
Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model
kebudayaan Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi tulis-
menulis. Bahkan, dari peninggalan tertulis yang ada, naskah peninggalan
Buton jauh lebih banyak dibanding naskah Ternate, negeri dimana Islam di
Buton berasal. Peninggalan naskah Buton sangat berarti untuk mengungkap
sejarah negeri ini, dan dari segi lain, keberadaan naskah-naskah ini
menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah berkembang dengan baik.
Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum, sejarah, silsilah, upacara
dan adat, bat-obatan, primbon, bahasa dan hikayat yang ditulis dalam huruf
Arab, Buri Wolio dan Jawi. Bahasa yang digunakan adalah Arab, Melayu dan
Wolio. Selain itu, juga terdapat naskah yang berisi surat menyurat antara
Sultan Buton dengan VOC Belanda.
Dalam bidang ekonomi, kehidupan berjalan dengan baik berkat relasi
perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah
berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan.
Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu weti.
7
Dalam perkembangannya, kemudian tejadi perubahan, dan jabatan ini
ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka
Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga
sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu). Sebagai alat tukar
dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut
Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari
kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara
tradisional.
D. Kerajaan Demak
Kerajaan Islam yang pertama di Jawa adalah Demak, dan berdiri pada
tahun 1478 M. Hal ini didasarkan atas jatuhnya kerajaan Majapahit yang
diberi tanda Candra Sengkala: Sirna hilang Kertaning Bumi, yang berarti
tahun saka 1400 atau 1478 M. Kerajaan Demak itu didirikan oleh Raden
Fatah. Beliau selalu memajukan agama Islam di bantu oleh para wali dan
saudagar Islam. Raden Fatah nama kecilnya adalah Pangeran Jimbun.
Menurut sejarah, dia adalah putera raja Majapahit yang terakhir dari garwa
Ampean, dan Raden Fatah dilahirkan di Palembang. Karena Arya Damar
sudah masuk Islam maka Raden Fatah dididik secara Islam, sehingga jadi
pemuda yang taat beragama Islam. Secara geografis Kerajaan Demak terletak
di daerah Jawa Tengah, tetapi pada awal kemunculannya kerajaan Demak
mendapat bantuan dari para Bupati daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang telah menganut agama Islam. Pada sebelumnya, daerah
Demak bernama Bintoro yang merupakan daerah vasal atau bawahan
Kerajaan Majapahit. Kekuasaan pemerintahannya diberikan kepada Raden
Fatah (dari kerajaan Majapahit) yang ibunya menganut agama Islam dan
berasal dari Jeumpa (Daerah Pasai).
Letak Demak sangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun
pertanian. Pada zaman dahulu wilayah Demak terletak di tepi selat di antara
Pegunungan Muria dan Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan
dapat dilayari dengan baik sehingga kapal dagang dari Semarang dapat
mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang. Tetapi sudah sejak
abad XVII jalan pintas itu tidak dapat dilayari setiap saat.
Setelah Raden Fatah wafat, tahta kerajaan Demak dipegang oleh Adipati
Unus. Ia memerintah Demak dari tahun 1518-1521 M. Masa pemerintahan
Adipati Unus tidak begitu lama, karena ia meninggal dalam usia yang
masih muda dan tidak meninggalkan seorang putera mahkota. Walaupun
usia pemerintahannya tidak begitu pasukan Demak menyerang Portugis di
Malaka. Setelah Adipati Unus meninggal, tahta kerajaan Demak dipegang
oleh saudaranya yang bergelar Sultan Trenggana. Sejak tahun 1509 Adipati
8
Unus anak dari Raden Patah, telah bersiap untuk menyerang Malaka.
Namun pada tahun 1511 telah didahului Portugis. Tapi adipati unus tidak
mengurungkan niatnya, pada tahun 1512 Demak mengirimkan armada
perangnya menuju Malaka. Namun setalah armada sampai dipantai
Malaka, armada pangeran sabrang lor dihujani meriam oleh pasukan portugis
yang dibantu oleh menantu sultan Mahmud, yaitu sultan Abdullah raja dari
Kampar. Serangan kedua dilakukan pada tahun 1521 oleh pangeran sabrang
lor atau Adipati Unus. Tetapi kembali gagal, padahal kapal telah direnofasi
dan menyesuaikan medan.
Sulltan Trenggana memerintah Demak dari tahun 1521-1546 M. Dibawah
pemerintahannya, kerajaan Demak mencapai masa kejayaan. Sultan
Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga ke daerah Jawa
Barat. Pada tahun 1522 M kerajaan Demak mengirim pasukannya ke Jawa
Barat di bawah pimpinan Fatahillah. Daerah- daerah yang berhasil di
kuasainya antara lain Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Penguasaan
terhadap daerah ini bertujuan untuk menggagalkan hubungan antara Portugis
dan kerajaan Padjajaran. Armada Portugis dapat dihancurkan oleh armada
Demak pimpinan Fatahillah. Dengan kemenangan itu, fathillah mengganti
nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (berarti kemenangan penuh). Peristiwa
yang terjadi pada tanggal 22 juni 1527 M itu kemudian di peringati sebagai
hari jadi kota Jakarta.
Dalam usaha memperluas kekuasaannya ke Jawa Timur, Sultan
Trenggana memimpin sendiri pasukannya. Satu persatu daerah Jawa Timur
berhasil di kuasai, seperti Maduin, Gresik, Tuban dan Malang. Akan tetapi
ketika menyerang Pasuruan 953 H/1546 M Sultan Trenggana gugur.
Usahanya untuk memasukan kota pelabuhan yang kafir itu ke wilayahnya
dengan kekerasan ternyata gagal. Dengan demikian, maka Sultan Trenggana
berkuasa selama 42 tahun. Di masa jayanya, Sultan Trenggana berkunjung
kepada Sunan Gunung Jati. Dari Sunan gunung jati, Trenggana memperoleh
gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Gelar Islam seperti itu sebelumnya telah
diberikan kepada raden patah, yaitu setelah ia berhasil mengalahkan
Majapahit.
E. Kerajaan Tuban
Tuban disebut sebagai salah satu kota pelabuhan utama di pantai utara
jawa yang kaya dan banyak penduuk TiongHoa. orang cina menyebut tuban
dengan nama Duban atau nama lainnya adalah Chumin. pasukan cina-
mongolia (tentara Tar-tar) yang pada tahun 1292 datang menyerang jawa
bagian timur (kejadian yang menyebabakan berdirinya kerajaan majapahit)
mendarat di pantai Tuban. dari sana pulalah sisa-sisa tentaranya kemudian
9
meninggalkan Pulau jawa untuk kembali ke negaranya tapi sejak abad ke 15
dan 16 kapal-kapal dagang yang berukuran sedang saja sudah terpaksa
membuang sau di laut yang cukup jauh dari garis pantai. sesudah abad ke 16
itu memang pantai tuban menjadi angkal oleh endapan lumpur. keadaan
geografis semacam ini membuat kota tuban dalam perjalanan sjarah
selanjutnya sudah tidak menjadi kota pelabuhan yang penting lagi.
F. Kerajaan Banten
11
Sejak Banten di-Islamkan oleh Fatahilah (Faletehan) tahun 1527,
kehidupan sosial masyarakat secara berangsur-angsur mulai berlandaskan
ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran,
pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman. Pendukung kerajaan
Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan, mereka
dikenal sebagai Suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan
yang artinya Pasundan yang pertama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi
lama dan menolak pengaruh Islam. Kehidupan sosial masyarakat Banten
semasa Sultan Ageng Tirtayasa cukup baik, karena sultan memerhatikan
kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun setelah Sultan Ageng Tirtayasa
meninggal, dan adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan
sosial masyarakat berubah merosot tajam. Seni budaya masyarakat ditemukan
pada bangunan Masjid Agung Banten (tumpang lima), dan bangunan gapura-
gapura di Kaibon Banten. Di samping itu juga bangunan istana yang
dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda, pelarian dari Batavia yang
telah menganut agama Islam. Susunan istananya menyerupai istana raja di
Eropa.
G. Kerajaan Cirebon
Kerajaan Islam yang terletak di pantai sebelah utara pulau Jawa ini
merupakan Kesultanan Islam pertama yang berdiri di tatar Pasundan. Sumber-
sumber setempat menganggap pendiri Cirebon itu adalah Pangeran
Walasungsang, putera mahkota Kerajaan Pajajaran. Namun, orang yang
berhasil meningkatakan statusnya menjadi Kesultanan, adalah Syarif
Hidayatullah.
12
pengelana bangsa Portugis yang bernama Tome Pires, yang pernah
berkunjung ke Cirebon pada tahun 1513M. Sumber lokal tersebut
menyebutkan pula bahwa Syarif Hidayatullah adalah keponakan sekaligus
pula sebagai pengganti Pangeran Cakrabuana.
13
3. Pertumbuhan seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-
karya kaligrafi Islam yang sangat khas Cirebon.
Dari abad Cirebon dan Purwaraka Carubati Nagari, diketahui adanya dua
tempat penting yang menjadi pusat penyeberan Islam paling awal di Jawa
Barat, yakni Kuro (Karawang), dan Gunung Jati (Pasambangan di Cirebon).
Dilihat dari segi kronologisnya, pesantren Kuro dianggap lebih tua, dan
disebutkan bahwa pesantren ini telah berhasil membina dan mengislmakan
seorang tokoh wanita yaitu Nyi Subang Larang yang telah menikah dengan
Prabu Siliwangi, dan menurunkan putera-puterinya yakni Kian Santang dan
Nyi Subang Larang.
15
Reputasi Tuban sebagai kota dagang di pantai utara Jawa masih bertahan
hingga abad XVI ketika Islam memperoleh pijakan yang kuat di kota-kota di
sepanjang pantai utara Jawa. Pada awal abad XVI, seorang musyafir Portugis,
Tome Pires, mengungkapkan bahwa Tuban merupakan salah satu bandar
penting di Jawa. Jaringan perdagangan Tuban mencakup daerah-daerah dari
Malaka hingga Maluku, termasuk Makassar, Banjarmasin, Palembang, Jambi.
Bahwa Tuban memiliki hubungan dagang yang dengan Maluku dapat
diketahui dari sebuah catatan Portugis bahwa ketika ada pedagang Portugis
pada akhir abad XVI yang berusaha menemui Raja Tuban dalam usahanya
untuk mencari pemandu setempat untuk mengantarkannya ke Maluku, Raja
Tuban lancar berbahasa Portugis. Ia menyarankan agar pedagang Portugis itu
tidak usah datang ke Maluku dan cukup menunggu di Tuban, karena tiga
bulan lagi akan datang lebih dari 40 jung dari Maluku dengan membawa
rempah-rempah. Ini berarti bahwa Tuban telah menjalin hubungan dagang
secara reguler dengan Maluku dan Malaka.
16
Secara geografis, Demak memiliki letak yang sangat menguntungkan
baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada waktu itu Kerajaan Demak
merupakan kerajaan maritim yaitu sebuah kerajaan yang perekonomiannya
lebih didasarkan atas sektor perdagangan dan pelayaran. Berdsarkan geo-
morfologi bahwa pada abad XV kota Demak berada di tepi pantai dan
memiliki pelabuhan yang dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.
Menurut cerita babad dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, pengganti Raden
Patah adalah Pangeran Sabrang Lor. Nama itu ternyata berasal dari daerah
tempat tinggalnya di seberang utara, yaitu Jepara sebuah daerah yang pada
waktu itu masih terpisah oleh sebuah selat dengan Demak. Sementera itu
menurut Tome Pires penguasa kedua di Demak adalah Pate Rodim Sr. Dia
mempunyai armada laut yang terdiri dari 40 kapal jung.
17
Sejalan dengan perpindahan pusat kekuasaan dari kota Demak ke Pajang
dan proses perubahan ekologi di ‘Selat Muria’ yang menempatkan Demak
tidak lagi sebagai kota pelabuhan, maka kehidupan maritim Demak menjadi
mundur. Fungsi Demak digantikan oleh Jepara hingga VOC mengalihkan
kegiatan dagang dari Jepara ke Semarang pada abad XVII. Akibat dari
situasi ini, maka pelabuhan laut kota Demak menjadi kurang berarti pada
akhir abad ke-XVI. Namun sebagai produsen beras dan hasil pertanian lain
daerah Demak masih lama mempunyai kedudukan penting dalam
perekonomian kerajaan Mataram.
18
berdagang di Banten. Masa kejayaan Banten sebagai pelabuhan pusat
perdagangan di bagian Barat Nusantara berlangsung dari pertengahan abad
ke-16 hingga menjelang akhir abad ke-17. Puncak kurun niaga yang disebut
oleh sejarawan Anthony Reid berlangsung antara tahun 1570 hingga 1630
rupanya bertepatan dengan masa kejayaan Banten sebagai kota palabuhan.
Sementara itu proses Islamisasi dan formasi politk Islam di Cirebon juga
tidak banyak berbeda dengan Demak dan Banten. Hanya saja sumber- sumber
tradisional mengesankan adanya transfer kekuasaan dari Hindu ke Islam
secara elegan dalam sebuah proses kontinuitas. Sumber-sumber tradisional
setempat menyebutkan bahwa pendiri dinasti Cirebon yaitu Syarif
19
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bukanlah orang dari Pasai tetapi dia adalah
cucu raja Siliwangi dari Pajajaran dan menantu Walangsungsang, seorang
penguasa pelabuhan Muara Jati. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah
inilah Cirebon yang sudah Islam memutuskan hubungan dengan kerajaan
Galuh yang masih Hindu dengan di bawah perlindungan kerajaan Demak.
Dengan begitu berdirilah kerajaan Islam Cirebon yang mendasarkan
perekonomiannya pada aktivitas perniagaan. Baru setelah periode itu,
perluasan kekuasaan kerajaan Cirebon dilakukan. Pada tahun 1528 kerajaan
Galuh bisa ditaklukkan demikian juga daerah Kuningan pada tahun 1530.
Sementara itu daerah Babadan, Luragung, Indramayu dan Krawang menerima
daulah Islamiyah dengan cara damai.
20
pelabuhan di Jawa Timur dan Madura serta dari Palembang. Sebaliknya dari
pelabuhan-pelabuhan lain, khususnya dari Batavia, pelabuhan Cirebon
mengimpor pakaian, candu, arak, gula putih, porselin, lilin, tembaga, besi tua,
panci besi, perunggu Jepang dan sebagainya.
Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, para pedagang
Islam yang biasa mengunjungi Malaka untuk berdagang mulai menghindari
kota pelabuhan tersebut. Salah satu pelabuhan terdekat yang paling potensial
untuk dijadikan pelabuhan pengganti sebagai tempat tujuan berdagang di
Selat Malaka adalah Aceh. Sejak saat itu Aceh menjadi bandar dagang utama
bagi para pedagang Islam yang membawa cengkeh dan pala dari Maluku dan
Banda serta Lada dari Sumatra Selatan dan Aceh sendiri ke laut Merah di
Asia Barat. Dari Laut Merah barang- barang dagangan tersebut diangkut
menuju Eropa. Di Aceh terdapat beraneka ragam hasil alam yang
diperdagangkan seperti minyak tanah, belerang, kapur, kemenyan, dan emas.
Komoditi yang cukup diandalkan selain lada adalah sutera.
21
Para pedagang yang telah sejak lama berdagang di Aceh adalah para
pedagang dari Arab dan India. Mereka senang berdagang di Aceh karena
kesultanan ini menganut agama Islam, sama dengan agama yang mereka
yakini. Para pedagang India membawa komoditi seperti tembikar, besi, baja,
kapas dan intan. Di Aceh, mereka membeli kemenyan, kapur dari Barus, lada
dan porselen dari Cina. Perahu-perahu dagang Cina (jung) juga banyak
terdapat di Aceh. Selain memperdagangkan porselen, orang-orang Cina
memperkenalkan cara budidaya sutera kepada orang Aceh. Selain mereka
terdapat pula para pedagang dari Turki, Siam, Jawa dan orang- orang Eropa
yang terdiri dari orang Portugis, Perancis dan Inggris.
22
perdagangan di Sumatera Barat Iskandar Muda mengirimkan para panglima
Aceh ke daerah-daerah penghasil emas dan lada dan pelabuhan-pelabuhan di
mana barang-barang tersebut dikirimkan. Para pedagang asing tidak dijinkan
untuk berdagang secara langsung ke daerah-daerah penghasil lada dan
emas. Mereka hanya dijinkan untuk memperdagangkan komoditi tersebut di
pelabuhan Aceh di bawah pengawasan langsung dari para pegawai sultan.
Pada abad ke-15 ada empat pusat perdagangan cengkeh di Maluku Utara
yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo (Halmahera). Pulau-pulau lainnya
yang mengahasilkan cengkeh lambat laun terkait dalam jaringan perdagangan
melalui salah satu di antara keempat pusat perdagangan tersebut. Munculnya
empat buah pusat perdagangan berkait erat dengan struktur tradisional
masyarakat Maluku Utara. Sistem empat penguasa di Maluku Utara
23
dilembagakan ke dalam suatu konsep tradisional yang disebut ‘Maluku Kie
Raha’ atau Maluku Empat Gunung. Konsep ini mengacu pada adanya
hubungan federatif yang damai di antara empat kekuatan politik utama di
Maluku Utara demi kepentingan perdagangan cengkeh.
Pada tanggal 22 Mei 1599 dua buah kapal Belanda (Amsterdam dan
Utrech) dengan 560 awak kapal di bawah pimpinan kapten Wybrant van
Warwyk untuk pertama kali tiba di Ternate. Kunjungan ini disambut dengan
hangat oleh pihak Ternate. Sultan bersama 32 armada kora-kora yang
mengangkut para pendayung dan para penyanyi mengitari kapal- kapal
Belanda tersebut sambil melantunkan lagu-lagu Ternate dan menari. Setelah
terjadi penyambutan yang hangat, urusan transaksi dagang menjadi lancar.
Kunjungan orang-orang Belanda berikutnya ke Ternate di bawah pimpinan
pimpinan Laksamana Jacob van Neck berlangsung pula dengan mulus.
24
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
25
DAFTAR PUSTAKA
Badrika, Wayan. 2006. Sejarah untuk SMA kelas XI. Jakarta: Erlangga
Darmawijaya. 2010. Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pusatka Al-Kautsar.
H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, 2003, Kerajaan Islam Pertama di Jawa,
Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti
26