Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebelum perdagangan maritim dengan melalui rute rempah-rempah (spice route)


berkembang semenjak awal abad masehi, rempah-rempah dari kepulauan Indonesia belum
menjadi komoditi perdagangan global. Rempah-rempah yang dikonsumsi oleh bangsa
Mesir, Yunani, dan Romawi awal tentu tidak berasal dari kepulauan Indonesia tetapi
berasal dari daerah lain seperti lada dari Gujarat (India) dan kayu manis dari Srilangka.

Seiring berjalannya waktu permintaan terhadap berbagai komoditi dagang dari negeri-
negeri sebrang kian bertambah. Hal ini membuat india tidak mampu lagi menopang
permintaan tersebut disamping persediaan rempah-rempah yang tak lengkap, berbeda
dengan indonesia yang dapat menghasilkan pelbagai jenis rempah-rempah membuat
terjadinya revolusi transportasi yang asalnya terfokus dengan jalur darat yaitu di jalur
sutera, kini mulai merambah ke jalur laut. Perubahan rute perdagangan global ini di
samping dipicu oleh ketidakamanan jalan darat melalui Asia Tengah juga permintaan
produk rempah-rempah yang semakin meningkat yang mampu dihasilkan juga daerah
daerah kepulauan di Nusantara. Sejak saat itu geliat perdagangan rempah-rempah menjadi
sangat spektakuler. Perdagangan rempah-rempah ini menjadi driving force bagi kegiatan
perdagangan dan pelayaran secara umum selama berabad abad. Perdagangan maritim telah
memberikan dampak bagi lahirnya berbagai kerajaan di Nusantara seperti Sriwijaya,
Majapahit, Demak, Ternate, Tidore, Tuban, dan sebagainya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat dibuat perumusan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Kerajaan-Kerajaan di Nusantara?

2. Bagaimana Pelabuhan Besar di Nusantara?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:


1. Mengetahui Kerajaan-Kerajaan di Nusantara

2. Mengetahui Pelabuhan Besar di Nusantara

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kerajaan-Kerajaan di Nusantara
1. Kerajaan Barus
Kesultanan Barus merupakan kelanjutan kerajaan di Barus paska masuknya
Islam ke Barus. Islam masuk ke Barus pada awal-awal munculnya agama Islam
di semenanjung Arab. Dalam sebuah penggalian arkeologi, ditemukan Makam
Mahligai sebuah perkuburan bersejarah Syeh Rukunuddin dan Syeh Usuluddin
yang menandakan masuknya agama Islam pertama ke Indonesia pada Abad ke
VII Masehi di Kecamatan Barus. Kuburan ini panjangnya kira-kira 7 meter
dihiasi oleh beberapa batu nisan yang khas dan unik dengan bertulisan bahasa
Arab, Tarikh 48 H dan Makam Mahligai merupakan Objek Wisata Religius bagi
umat Islam se-Dunia yang Letaknya 75 Km dari Sibolga dan 359 Km dari Kota
Medan.
Raja pertama yang menjadi muslim adalah Raja Kadir yang kemudian diteruskan
kepada anak-anaknya yang kemudian bergelar Sultan. Raja Kadir merupakan
penerus kerajaan yang telah turun- temurun memerintah Barus dan merupakan
keturunan Raja Alang Pardosi, pertama sekali mendirikan pusat Kerajaaannya di
Toddang (tundang), Tukka, Pakkat – juga dikenal sebagai negeri Rambe, yang
bermigrasi dari Balige dari marga Pohan. Pada abad ke-6, telah berdiri sebuah
otoritas baru di Barus yang didirikan oleh Sultan Ibrahimsyah yang datang dari
Tarusan, Minang, keturunan Batak dari kumpulan marga Pasaribu, yang akhirnya
membentuk Dulisme kepemimpinan di Barus.
2. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudra Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara.
Kemunculan kerajaan ini diperkirakan berdiri mulai awal atau pertengahan abad
ke-13 M sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah-daerah pantai yang pernah
disinggahi pedagang-pedagang muslim sejak abad ke-7, ke-8, dan seterusnya.
Kerajaan ini terletak di pesisir Timur Laut Aceh. Kerajaan Samudra Pasai
merupakan gabungan dari kerajaan Pase dan Perlak. Pasai merupakan kerajaan
besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam. Sebagai kerajaan
besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang menghasilkan
karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil memanfaatkan
huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam untuk menulis karya mereka dalam
bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi, dan hurufnya
disebut Arab Jawi. Ada sejumlah sumber tertulis yang menjelaskan tentang
berdirinya Kerajaan Samudra Pasai, diantaranya yaitu dua berasal dari Nusantara,
beberapa dari Cina, satu dari Arab, satu dari Italia, dan satu dari Portugis.
2
Sumber Nusantara antara lain Hikayat Raja Pasai (HRP) dan Sejarah Melayu
(SM). Sumber Cina antara lain Ying-yai Sheng-lan dari Ma Huan, berita Arab
dari Ibn Battutah, kisah pelayaran Marko Polo dari Italia. Antara tahun 1290 dan
1520 kesultanan Pasai tidak hanya menjadi kota dagang terpenting di selat
Malaka, tetapi juga pusat perkembangan Islam dan bahasa sastra Melayu.
Selain berdagang, para pedagang Gujarat, Persia, dan arab menyebarkan
agama Islam. Sebagaimana disebutkan dalam tradisi lisan dan Hikayat Raja-raja
Pasai, raja pertama kerajaan Samudra Pasai sekaligus raja pertama yang
memeluk Islam adalah Malik Al-Saleh yang sekaligus juga merupakan pendiri
kerajaan tersebut. Hal itu dapat diketahui melalui tradisi Hikayat Raja-raja
Pasai, Hikayat Melayu, dan juga hasil penelitian atas beberapa sumber yang
dilakukan para sarjana Barat terutama Belanda seperti Snouck Hurgronye, J.P.
Molquette, J.L. Moens, J. Hushoff Poll, G.P. Rouffaer, H.K.J. Cowan, dan lain-
lain. Dalam Hikayat Raja-raja Pasai disebutkan gelar Malik Al-Saleh sebelum
menjadi raja adalah Merah Sile atau Merah Selu. Ia masuk Islam berkat
pertemuannya dengan Syaikh Ismail, seorang utusan syarif Makkah yang
kemudian memberinya gelar Sultan Malik Al- Saleh. Nisan itu didapatkan di
Gampong Samudra bekas kerajaan Samudra Pasai tersebut.
Raja-raja yang pernah memerintah :
1. Sultan Malik Al-Saleh
2. Muhammad Malik Al-Zahir
3. Mahmud Malik Al-Zahir
4. Manshur Malik Al-Zahir
5. Ahmad Malik Al-Zahir
6. Zain Al-Abidin Malik AL-Zahir
7. Nahrasiyah
8. Abu Zaid Malik Al-Zahir
9. Mahmud Malik Al-Zahir
10. Zain Al-Abidin
11. Abdullah Malik Al-Zahir
12. Zain Al-Abidin
Dalam kehidupan perekonomiannya, kerajaan maritim ini tidak mempunyai
basis agraris. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran.
Pengawasan terhadap perdagangan serta pelayaran itu merupakan sendi-sendi
kekuasaan yang memungkinkan kerajaan memperoleh penghasilan dan pajak
yang besar. Kerajaan ini menjadi pusat perdagangan internasional pertama untuk
mengekspor sutera dan lada. Hubungan dagang antara Pasai dan Jawa
berkembang pesat. Para pedagang Jawa membawa beras ke Pasai, dan sebaliknya
dari kota pelabuhan ini mereka mengangkut lada ke Jawa. Di Samudra Pasai,

3
para pedagang Jawa mendapat hak istimewa, dibebaskan dari bea dan cukai.
Dalam catatan Tome Pirse di Pasai ada mata uang dirham. Diceritakan juga
bahwa setiap kapal yang membawa barang-barang dari Barat dikenakan pajak
6%. Dalam catatannya juga disebutkan bahwa Pasai mengekspor lebih kurang
8.000-10.000 bahan lada per tahun, atau 15.000 bahar bila panen besar.
Selain lada, Pasai juga mengekspor sutera, Cara pembuatan sutera diajarkan
orang Cina kepada penduduk Pasai. Pada saat itu, jika ditinjau dari segi geografis
dan sosial ekonominya Samudra Pasai memang merupakan suatu daerah yang
penting sebagai penghubung antara pusat-pusat perdagangan yang ada di
kepulauan Indonesia, India, Cina, dan Arab. Hal itu menyebabkan Samudra Pasai
menjadi pusat perdagangan yang sangat penting. Adanya mata uang pada saat itu
membuktikan bahwa kerajaan ini merupakan kerajaan yang makmur.
Samudra Pasai sebagai pelabuhan dagang yang maju, mengeluarkan mata
uang dirham berupa uang logam emas. Saat hubungan dagang antara Pasai dan
Malaka berkembang setelah tahun 1400, pedagang Pasai menggunakan
kesempatan mengenalkan dirham ke Malaka. Raja pertama Malaka, Prameswara,
menjalin persekutuan dengan Pasai tahun 1414 memeluk Islam dan menikah
dengan putri Pasai. Uang emas dicetak di awal pemerintahan Sultan Muhammad
(1297-1326) dan pengeluaran uang emas harus mengikuti aturan sebagai
berikut. Seluruh Sultan Samudra Pasai perlu menuliskan frasa al-sultan al-adil
pada dirham mereka.
Mata uang dirham dari Samudra Pasai itu pernah diteliti oleh H.K.J
Cowan untuk menunjukkan bukti-bukti sejarah raja-raja Pasai. Mata uang
tersebut menggunakan nama-nama Sultan, diantaranya yaitu Sulatan Alauddin,
Sultan Manshur Malik Al-Zahir, Sultan Abu Zaid, dan Abdullah. Pada tahun
1973 M, ditemukan lagi 11 mata uang dirham, diantaranya bertuliskan nama
Sultan Muhammad Malik Al- Zahir, Sultan Ahmad, dan Sultan Abdullah yang
semuanya merupakan raja-raja.
A. Kerajaan Ternate
Masyhur Malamo adalah raja pertama yang memerintah pada tahun 1257-
1272. Dibandingkan dengan kerajaan-kerajaan yang tergabung dalam
“Moloku Kie Raha” lainya. Sepeninggalan Masyhur Malamo, Ternate
dipimpin secara berturut-turut oleh Kaicil Yamin (1298-1304), dan Kaicil
Ngara Lomo (1304-1317). Kaicil Ngara lomo dapat dianggap sebagai Kolano
Ternate yang pertama kali meletakan dasar- dasar politik ekspansionaisme.
Pada masa pemerintahan Sida Arif Malamo, Ternate mulai berkembang
sebagai bandar niaga yang didatangi oleh berbgai pedagang dari Makassar,
Jawa, Melayu, Cina, Gujarat, dan Arab Pedagang ini menetap dan membuka
pos-pos perdagangan di Ternate. Sida Arif Malamo sebagai penguasa Ternate

4
memeberikan kemudahan, sehingga para pedagang semakin senang berdagang
di Ternate. Di masa–masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole.
Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja yang
disebut kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi secara total
oleh kerajaan dan penerapan syariat Islam diberlakukan. Sultan Zainal
Abidin meninggalkan gelar kolano dan menggantinya dengan gelar sultan.
Para ulama menjadi figur penting dalam kerajaan.
Setelah sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada jabatan jogugu (perdana
menteri) dan fala raha sebagai para penasihat. Fala raha atau empat rumah
adalah empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan
sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing–masing dikepalai
seorang kimalaha. Mereka yaitu Marasaoli, Tomagola, Tomaito dan Tamadi.
Pejabat–pejabat tinggi kesultanan umumnya berasal dari klan–klan ini. Bila
seorang sultan tak memiliki pewaris maka penerusnya dipilih dari salah satu
klan. Selanjutnya ada jabatan – jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tufkange
(Dewan 18), Sabua Raha, Kapita Lau, Salahakan, Sangaji.
 Sultan Bayanullah
Sultan Bayanullah dari Ternate (1500-1521) adalah putera pertama Sultan
Zainal Abidin (1486-1500). Namanya seringkali berbeda dalam berbagai
sumber sejarah, ia sering juga disebut Sultan Bolief atau Abu Alif dan
sewaktu muda ia lebih dikenal dengan sebutan Kaicil Leliatur.Bayanullah
dibesarkan dalam lingkungan Islam yang ketat. Sejak resmi menjadi
kesultanan pada masa kakeknya Kolano Marhum (1465-1486), Ternate tak
henti-hentinya melakukan perubahan dengan mengadopsi segala hal yang
berbau Islami. Sultan Bayanullah menetapkan Syariat Islam sebagai hukum
dasar kerajaan. Seluruh rakyat Ternate diwajibkan memakai pakaian yang
menutup aurat. Ia membentuk struktur baru dan lembaga pemerintahan sesuai
Islam yang segera diadopsi oleh kerajaan-kerajaan lain di Maluku.
Tindakannya ini berhasil membawa Maluku keluar dari alam animisme ke
monoteisme (Islam).
 Sultan Baabullah
Sultan Baabullah (10 Februari 1528 - permulaan 1583), juga ditulis
Sultan Babullah atau Sultan Baab (tulisan Eropa) adalah sultan dan penguasa
Kesultanan Ternate ke-24 yang berkuasa antara tahun 1570- 1583. Ia dikenal
sebagai sultan Ternate dan Maluku terbesar sepanjang sejarah, yang berhasil
mengalahkan Portugis dan mengantarkan Ternate ke puncak keemasan di
akhir abad ke-16. Sultan Baabullah juga dijuluki sebagai penguasa 72 pulau
berpenghuni yang meliputi pulau–pulau di nusantara bagian timur, Mindanao
selatan dan kepulauan Marshall.

5
B. Kerajaan Tidore
Kesultanan Tidore mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan
Nuku alias Sultan Said-ul Jehad Muhammad al-Mabus Amir ud-din Syah alias
Kaicil Paparangan yang oleh kawula Tidore dikenal dengan sebutan Jou
Barakati. Pada masa kekuasaannya 1797–1805), wilayah Kerajaan Tidore
mencakup kawasan yang cukup luas hingga mencapai Tanah Papua.
Sultan Nuku adalah pemimpin yang cerdik, berani, ulet, dan waspada.
Beberapa usaha yang dilakukan oleh sultan Nuku adalah sebagai berikut:
Menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang
dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate.
Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa- apa kecuali hubungan dagang
biasa. Memperluas wilayah kekuasaan, meliputi Pulau Seram, Makean
Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua. Menata sistem pemerintahan
dengan baik, sehingga pemerintahan dapat berjalan dengan baik dan
rakyatnya sejahtera. Berjuang untuk mengusir Belanda dari seluruh kepulauan
Maluku, termasuk Ternate, Bacan dan Jailolo. Perjuangan tersebut
membuahkan hasil dengan menyerahnya Belanda pada Sultan Nuku pada 21
Juni 1801 M. Dengan itu, Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo kembali
merdeka dari kekuasaan asing. Ia memiliki gelar “Sri Paduka Maha Tuan
Sultan Saidul Jehad el Ma’bus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan”.
C. Kerajaan Buton
Salah satu sumber yang menerangkan kerajaan Buton terdapat dalam
Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Dalam naskah
kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni. Butuni merupakan
sebuah desa tempat tinggal para resi (pendeta) yang dilengkapi taman, lingga
dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Dalam sejarahnya,
cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat orang yang disebut
dengan Mia Patamiana. Mereka adalah: Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo,
Sijawangkati. Menurut sumber sejarah lisan Buton, empat orang pendiri
negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang datang ke Buton pada
akhir abad ke-13 M.
Dengan Wa Kaa Kaa sebagai raja, Kerajaan Buton semakin berkembang
hingga Islam masuk ke Buton melalui Ternate pada pertengahan abad ke-16
M. Selama masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di
antaranya perempuan. Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada tahun
1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai Sultan
Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul Khamis.
Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin berkembang
dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan dengan

6
agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur- unsur sufistik. Kerajaan
Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islam pada masa
pemerintahan Raja Buton ke-6, yaitu Timbang Timbangan atau Lakilapoto
atau Halu Oleo. Beliau yang diIslamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif
Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa
Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton
pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama isterinya pindah ke Adonara
(Nusa Tenggara Timur). Kemudian beliau sekeluarga berhijrah pula ke Pulau
Batu Gatas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.
Pendapat lainnya, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna
Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahwa Sultan Murhum,
Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M –
1537 M. Di dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali
Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahwa “Kesultanan Buton
menegakkan syariat Islam pada tahun 1538 Masehi. Jika kita bandingkan
tahun yang sebutkan diatas (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La
Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi
(1537 M), berarti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan
Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi karena masa beliau telah berakhir
pada tahun 1537 M. Setelah meninjau berbagai aspek, nampaknya kedatangan
Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948
H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
Sebagai kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di
Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model
kebudayaan Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi tulis-
menulis. Bahkan, dari peninggalan tertulis yang ada, naskah peninggalan
Buton jauh lebih banyak dibanding naskah Ternate, negeri dimana Islam di
Buton berasal. Peninggalan naskah Buton sangat berarti untuk mengungkap
sejarah negeri ini, dan dari segi lain, keberadaan naskah-naskah ini
menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah berkembang dengan baik.
Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum, sejarah, silsilah, upacara
dan adat, bat-obatan, primbon, bahasa dan hikayat yang ditulis dalam huruf
Arab, Buri Wolio dan Jawi. Bahasa yang digunakan adalah Arab, Melayu dan
Wolio. Selain itu, juga terdapat naskah yang berisi surat menyurat antara
Sultan Buton dengan VOC Belanda.
Dalam bidang ekonomi, kehidupan berjalan dengan baik berkat relasi
perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah
berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan.
Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu weti.

7
Dalam perkembangannya, kemudian tejadi perubahan, dan jabatan ini
ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka
Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga
sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu). Sebagai alat tukar
dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang disebut
Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm, terbuat dari
kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi kain secara
tradisional.
D. Kerajaan Demak
Kerajaan Islam yang pertama di Jawa adalah Demak, dan berdiri pada
tahun 1478 M. Hal ini didasarkan atas jatuhnya kerajaan Majapahit yang
diberi tanda Candra Sengkala: Sirna hilang Kertaning Bumi, yang berarti
tahun saka 1400 atau 1478 M. Kerajaan Demak itu didirikan oleh Raden
Fatah. Beliau selalu memajukan agama Islam di bantu oleh para wali dan
saudagar Islam. Raden Fatah nama kecilnya adalah Pangeran Jimbun.
Menurut sejarah, dia adalah putera raja Majapahit yang terakhir dari garwa
Ampean, dan Raden Fatah dilahirkan di Palembang. Karena Arya Damar
sudah masuk Islam maka Raden Fatah dididik secara Islam, sehingga jadi
pemuda yang taat beragama Islam. Secara geografis Kerajaan Demak terletak
di daerah Jawa Tengah, tetapi pada awal kemunculannya kerajaan Demak
mendapat bantuan dari para Bupati daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang telah menganut agama Islam. Pada sebelumnya, daerah
Demak bernama Bintoro yang merupakan daerah vasal atau bawahan
Kerajaan Majapahit. Kekuasaan pemerintahannya diberikan kepada Raden
Fatah (dari kerajaan Majapahit) yang ibunya menganut agama Islam dan
berasal dari Jeumpa (Daerah Pasai).
Letak Demak sangat menguntungkan, baik untuk perdagangan maupun
pertanian. Pada zaman dahulu wilayah Demak terletak di tepi selat di antara
Pegunungan Muria dan Jawa. Sebelumnya selat itu rupanya agak lebar dan
dapat dilayari dengan baik sehingga kapal dagang dari Semarang dapat
mengambil jalan pintas untuk berlayar ke Rembang. Tetapi sudah sejak
abad XVII jalan pintas itu tidak dapat dilayari setiap saat.
Setelah Raden Fatah wafat, tahta kerajaan Demak dipegang oleh Adipati
Unus. Ia memerintah Demak dari tahun 1518-1521 M. Masa pemerintahan
Adipati Unus tidak begitu lama, karena ia meninggal dalam usia yang
masih muda dan tidak meninggalkan seorang putera mahkota. Walaupun
usia pemerintahannya tidak begitu pasukan Demak menyerang Portugis di
Malaka. Setelah Adipati Unus meninggal, tahta kerajaan Demak dipegang
oleh saudaranya yang bergelar Sultan Trenggana. Sejak tahun 1509 Adipati

8
Unus anak dari Raden Patah, telah bersiap untuk menyerang Malaka.
Namun pada tahun 1511 telah didahului Portugis. Tapi adipati unus tidak
mengurungkan niatnya, pada tahun 1512 Demak mengirimkan armada
perangnya menuju Malaka. Namun setalah armada sampai dipantai
Malaka, armada pangeran sabrang lor dihujani meriam oleh pasukan portugis
yang dibantu oleh menantu sultan Mahmud, yaitu sultan Abdullah raja dari
Kampar. Serangan kedua dilakukan pada tahun 1521 oleh pangeran sabrang
lor atau Adipati Unus. Tetapi kembali gagal, padahal kapal telah direnofasi
dan menyesuaikan medan.
Sulltan Trenggana memerintah Demak dari tahun 1521-1546 M. Dibawah
pemerintahannya, kerajaan Demak mencapai masa kejayaan. Sultan
Trenggana berusaha memperluas daerah kekuasaannya hingga ke daerah Jawa
Barat. Pada tahun 1522 M kerajaan Demak mengirim pasukannya ke Jawa
Barat di bawah pimpinan Fatahillah. Daerah- daerah yang berhasil di
kuasainya antara lain Banten, Sunda Kelapa, dan Cirebon. Penguasaan
terhadap daerah ini bertujuan untuk menggagalkan hubungan antara Portugis
dan kerajaan Padjajaran. Armada Portugis dapat dihancurkan oleh armada
Demak pimpinan Fatahillah. Dengan kemenangan itu, fathillah mengganti
nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta (berarti kemenangan penuh). Peristiwa
yang terjadi pada tanggal 22 juni 1527 M itu kemudian di peringati sebagai
hari jadi kota Jakarta.
Dalam usaha memperluas kekuasaannya ke Jawa Timur, Sultan
Trenggana memimpin sendiri pasukannya. Satu persatu daerah Jawa Timur
berhasil di kuasai, seperti Maduin, Gresik, Tuban dan Malang. Akan tetapi
ketika menyerang Pasuruan 953 H/1546 M Sultan Trenggana gugur.
Usahanya untuk memasukan kota pelabuhan yang kafir itu ke wilayahnya
dengan kekerasan ternyata gagal. Dengan demikian, maka Sultan Trenggana
berkuasa selama 42 tahun. Di masa jayanya, Sultan Trenggana berkunjung
kepada Sunan Gunung Jati. Dari Sunan gunung jati, Trenggana memperoleh
gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Gelar Islam seperti itu sebelumnya telah
diberikan kepada raden patah, yaitu setelah ia berhasil mengalahkan
Majapahit.
E. Kerajaan Tuban

Tuban disebut sebagai salah satu kota pelabuhan utama di pantai utara
jawa yang kaya dan banyak penduuk TiongHoa. orang cina menyebut tuban
dengan nama Duban atau nama lainnya adalah Chumin. pasukan cina-
mongolia (tentara Tar-tar) yang pada tahun 1292 datang menyerang jawa
bagian timur (kejadian yang menyebabakan berdirinya kerajaan majapahit)
mendarat di pantai Tuban. dari sana pulalah sisa-sisa tentaranya kemudian
9
meninggalkan Pulau jawa untuk kembali ke negaranya tapi sejak abad ke 15
dan 16 kapal-kapal dagang yang berukuran sedang saja sudah terpaksa
membuang sau di laut yang cukup jauh dari garis pantai. sesudah abad ke 16
itu memang pantai tuban menjadi angkal oleh endapan lumpur. keadaan
geografis semacam ini membuat kota tuban dalam perjalanan sjarah
selanjutnya sudah tidak menjadi kota pelabuhan yang penting lagi.

Pemerintahan Kabupaten Tuban ada sejak tahun 1293 atau sejak


pemerintahan Kerajaan Majapahit. Pusat pemerintahannya dulu adalah di
Desa Prunggahan Kulon kecamatan Semanding dan kota Tuban yang
sekarang dulunya adalah Pelabuhan karena dulu Tuban merupakan armada
Laut yang sangat kuat. Asal nama Tuban sudah ada sejak pemerintahan Bupati
Pertama yakni Raden Dandang Wacana. Namun, pencetusan tanggal harijadi
Tuban berdasarkan peringatan diangkatnya Raden Haryo Ronggolawe pada
12 November 1293. Tuban dulunya adalah tempat yang paling penting dalam
masa Kerajaan Majapahit karena memiliki armada laut yang sangat
kuat.Berikut sejarah perjalanan Ronggolawe sebagai salah satu Bupati yang
memiliki jasa besar bagi kota Tuban sekaligus sebagai pemberontak kerajaan
Majapahit yang pertama kali.

Ronggolawe diangkat sebagai Bupati Tuban karena jasa-jasanya yang


besar terhadap Majapahit. Namun beliau menjadi pemberontak pertama
Majapahit. Pemberontakan tersebut dipicu oleh ketidakpuasan Ranggalawe
atas pengangkatan Nambi sebagai rakryan patih. Menurut Ranggalawe,
jabatan patih sebaiknya diserahkan kepada Lembu Sora yang dinilainya jauh
lebih berjasa dalam perjuangan dari pada Nambi Dan Ronggolawe akhirnya
berperang dengan pasukan Majapahit dan terbunuh oleh Kebo Anabrang.
Begitulah akhir kisah dari Ronggolawe. Beliau meninggal sebagai
pemberontak pertama dalam sejarah kerajaan Majapahit. Namun nama
besarnya dikenang sebagai pahlawan oleh masyarakat Tuban, Jawa Timur
sampai saat ini.

F. Kerajaan Banten

Sultan pertama Kerajaan Banten ini adalah Sultan Hasanuddin yang


memerintah tahun 1522-1570. Ia adalah putra Fatahillah, seorang panglima
tentara Demak yang pernah diutus oleh Sultan Trenggana menguasai bandar
bandar di Jawa Barat. Pada waktu Kerajaan Demak berkuasa, daerah Banten
merupakan bagian dari Kerajaan Demak. Namun setelah Kerajaan Demak
mengalami kemunduran, Banten akhirnya melepaskan diri dari pengaruh
kekuasaan Demak. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) membuat para
pedagang muslim memindahkan jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Pada
10
masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Kerajaan Banten berkembang menjadi
pusat perdagangan. Hasanuddin memperluas kekuasaan Banten ke daerah
penghasil lada, Lampung di Sumatra Selatan yang sudah sejak lama
mempunyai hubungan dengan Jawa Barat. Dengan demikian, ia telah
meletakkan dasar-dasar bagi kemakmuran Banten sebagai pelabuhan lada.
Pada tahun 1570, Sultan Hasanuddin wafat.

Penguasa Banten selanjutnya adalah Maulana Yusuf (1570-1580), putra


Hasanuddin. Di bawah kekuasaannya Kerajaan Banten pada tahun 1579
berhasil menaklukkan dan menguasai Kerajaan Pajajaran (Hindu). Akibatnya
pendukung setia Kerajaan Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yaitu daerah
Banten Selatan, mereka dikenal dengan Suku Badui. Setelah Pajajaran
ditaklukkan, konon kalangan elite Sunda memeluk agama Islam. Maulana
Yusuf digantikan oleh Maulana Muhammad (1580-1596). Pada akhir
kekuasaannya, Maulana Muhammad menyerang Kesultanan Palembang.
Dalam usaha menaklukkan Palembang, Maulana Muhammad tewas dan
selanjutnya putra mahkotanya yang bernama Pangeran Ratu naik takhta. Ia
bergelar Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir. Kerajaan Banten
mencapai puncak kejayaan pada masa putra Pangeran Ratu yang bernama
Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682). Ia sangat menentang kekuasaan
Belanda. Usaha untuk mengalahkan orang-orang Belanda yang telah
membentuk VOC serta menguasai pelabuhan Jayakarta yang dilakukan oleh
Sultan Ageng Tirtayasa mengalami kegagalan. Setelah pemerintahan Sultan
Ageng Tirtayasa, Banten mulai dikuasai oleh Belanda di bawah pemerintahan
Sultan Haji.

Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dapat


berkembang menjadi bandar perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam.
Adapun faktor-faktornya ialah: (1) letaknya strategis dalam lalu lintas
perdagangan; (2) jatuhnya Malaka ke tangan Portugis, sehingga para
pedagang Islam tidak lagi singgah di Malaka namun langsung menuju Banten;
(3) Banten mempunyai bahan ekspor penting yakni lada. Banten yang menjadi
maju banyak dikunjungi pedagang- pedagang dari Arab, Gujarat, Persia,
Turki, Cina dan sebagainya. Di kota dagang Banten segera terbentuk
perkampungan-perkampungan menurut asal bangsa itu, seperti orang-orang
Arab mendirikan Kampung Pakojan, orang Cina mendirikan Kampung
Pacinan, orang-orang Indonesia mendirikan Kampung Banda, Kampung Jawa
dan sebagainya.

11
Sejak Banten di-Islamkan oleh Fatahilah (Faletehan) tahun 1527,
kehidupan sosial masyarakat secara berangsur-angsur mulai berlandaskan
ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran,
pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman. Pendukung kerajaan
Pajajaran menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan, mereka
dikenal sebagai Suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan
yang artinya Pasundan yang pertama. Mereka mempertahankan tradisi-tradisi
lama dan menolak pengaruh Islam. Kehidupan sosial masyarakat Banten
semasa Sultan Ageng Tirtayasa cukup baik, karena sultan memerhatikan
kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun setelah Sultan Ageng Tirtayasa
meninggal, dan adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan
sosial masyarakat berubah merosot tajam. Seni budaya masyarakat ditemukan
pada bangunan Masjid Agung Banten (tumpang lima), dan bangunan gapura-
gapura di Kaibon Banten. Di samping itu juga bangunan istana yang
dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda, pelarian dari Batavia yang
telah menganut agama Islam. Susunan istananya menyerupai istana raja di
Eropa.
G. Kerajaan Cirebon

Letak Kerajaan Cirebon semula termasuk kedalam daerah Sunda


Pajajaran, bahkan menjadi salah satu kota pelabuhan. Pelabuhan ini sudah
ramai dari perahu pedagang-pedagang luar negri. Pedahang itu dari Arab,
Cina, Pesia. Letak kerajaan Cirebon secara geografis di pesisir pantai pulau
Jawa, merupakan mata rantai dalam jalan perdagangan internasional pada
wwaktu itu yang antara lain membentang dari kepukauan Maluku hingga
teluk Persi Awal mula berdirinya Kerajaan Cirebon pada tahun 1302 cirebon
mempunyai 3 daerah otonom di bawah kekuasaan keraajaan pajajaran yang
masing- masing dikuasai oleh seorang Mangkubumi.

Kerajaan Islam yang terletak di pantai sebelah utara pulau Jawa ini
merupakan Kesultanan Islam pertama yang berdiri di tatar Pasundan. Sumber-
sumber setempat menganggap pendiri Cirebon itu adalah Pangeran
Walasungsang, putera mahkota Kerajaan Pajajaran. Namun, orang yang
berhasil meningkatakan statusnya menjadi Kesultanan, adalah Syarif
Hidayatullah.

Adapun sumber-sumber naskah tentang Cirebon yang disusun oleh para


keturunan kesultanan dan para pujangga kraton umumnya berasal adari abad
ke-17. Diantara itu yang dianggap tertua adalah naskah babad yang ditulis
oleh Pangeran Wangsakerta yang disebut Nagara Karthabumi. Namun selain
itu juga sumber yang disebut Suma Oriental yang berasal dari seorang

12
pengelana bangsa Portugis yang bernama Tome Pires, yang pernah
berkunjung ke Cirebon pada tahun 1513M. Sumber lokal tersebut
menyebutkan pula bahwa Syarif Hidayatullah adalah keponakan sekaligus
pula sebagai pengganti Pangeran Cakrabuana.

Sumber-sumber lokal terutama naskah Babad Cirebon dan Purwaka


Caruban Nagari, menyatakan bahwa pendiri kerajaan Islam Cirebon adalah
Sunan Gunung Jati. Cirebon pada mulanya adalah sebuah desa nelayan yang
tidak berarti, yang bernama Dukuh Pasambangan yang dimana dulunya dibuat
pemukiman oleh Ki Gedeng Alang-Alang. Tokoh ini merupakan penguasa
Pajajaran dan berganti nama menjadi Walangsungsang, ia berhasil
menaklukan Singapura.

Sebagaimana disebutkan dalam Babad Cirebon, di gunung Jati telah


tumbuh pesantren yang cukup ramai, yang dipimpin oleh Syekh Datu Khafi.
Ketika Tom Pies mengunjungi Cirebon pada 1513, ia mengatakan bahwa
Cirebon merupakan sebuah pelabuhan yang berpenduduk sekitar 1.000
keluarga dan penguasanya telah bergama Islam. Pires selanjutnya
menyatakan, Islam telah hadir Cirebon sekitar tahun 1470-1475. De graaf
menyatakan Cirebon merupakan daerah pertama di Jawa Barat yang telah
memeluk Islam. Menurut Babad Cirebon, Cakra bhuni melakukan perjalanan
ibadah ke haji ke Mekkah bersama adiknya yang bernama Rara Santang.
Disebutkan bahwa Rara Santang dinikahi Sultan Mesir dan berputera Syekh
Syarif. Selanjutnya Syekh Syarif atau Syarif Hidayatullah menerima
pemerintahan Cirebon dari pamannya, Cakrabhumi yang pada sekitar 1479 M
serta membuat pusat pemerintahan di Lemah Wungkuk. Ia membangun istana
yang diberi nama Pangkuwati. Pangkuwati inilah kelak menjadi tempat
tinggal raja-raja Cirebon. Berita yeng terkandung dalam dua teks lokal diatas
memang sulit dibuktikan sebagai fakta sejarah.

Islam berkembang di Cirebon dalam dua aliran, Sunni dan Syi’ah.


Penyebar-penyebar Islam generasi pertama adalah para da’i, pedagang,
musafir, para ahli kyai dan seniman di berbagai bidang. Cirebon menjadi salah
satu bandar perdagangan yang pesat pada masanya, sekaligus menjadi pusat
peradaban Islam yang memiliki beberapa karakter antara lain sebagai berikut :

1. Pertumbuhan kehidupan kota bernafaskan Islam dengan pola- pola


penyusutan masyarakat serta hirarki sosial yang kompleks.

2. Berkembangnya arsitektur baik sakra maupun profan, misalnya Mesjid


Agung Cirebon, keraton-keraton Kasaepuhan, Kanoman, Kacerbonan,
dan Kaprabonan.

13
3. Pertumbuhan seni lukis kaca dan seni pahat yang menghasilkan karya-
karya kaligrafi Islam yang sangat khas Cirebon.

4. Perkembangan bidang kesenian lainnya seperti tari, membatik, musik,


dan berbagai seni di pertunjukan tradisioal bernafaskan Islam, ragam
hias awan yang khas Cirebon.

5. Pertumbuhan penulisan naskah-naskah keagamaan dan pemikiran


keagamaan yang sisa-sisanya masih tersimpan di keraton-keraton
Cirebon.

6. Tumbuhnya aliran tarekat Syatariah yang kemudian melahirkan karya-


karya sastra dalam bentuk serat suluk yang mengadung ajaran
wujudiniyah atau martabat yang tujuh.

Dari abad Cirebon dan Purwaraka Carubati Nagari, diketahui adanya dua
tempat penting yang menjadi pusat penyeberan Islam paling awal di Jawa
Barat, yakni Kuro (Karawang), dan Gunung Jati (Pasambangan di Cirebon).
Dilihat dari segi kronologisnya, pesantren Kuro dianggap lebih tua, dan
disebutkan bahwa pesantren ini telah berhasil membina dan mengislmakan
seorang tokoh wanita yaitu Nyi Subang Larang yang telah menikah dengan
Prabu Siliwangi, dan menurunkan putera-puterinya yakni Kian Santang dan
Nyi Subang Larang.

Cirebon menjadi basis sosialisasi Islam kearah barat maupun ke selatan.


Dengan dukungan geografi yang startegis, Cirebon berada pada jaringan
sosialisasi dan institusinalisasi Islam mulai dari arah Timur seperti Demak,
Mataram, Gresik, dan Giri, dan dari Barat yaitu Quro (Karawang). Posisi
tersebut sekaligus menempatkan Cirebon pada posisi tengah benturan
kepentingan, termasuk hubungan dengan Mataram yang tidak selalu mulus.
H. Pelabuhan Besar di Nusantara

Dikutip dari sebuah diskusi panel yang berjudul “Rempah-Rempah,


Imperialisme dan Perubahan Peta Maritim di Nusantara Abad XVI-XVII,”
oleh Singgih Tri Sulistyono, menjelaskan bahwa, pada awal abad Masehi,
ekonomi Eropa menjadi semakin baik menyusul terbangunnya Pax Romana.
Hal ini juga mengkondisikan terjadinya kenaikan permintaan terhadap
berbagai komoditi dagang dari negeri-negeri seberang. India barangkali tidak
mampu lagi memenuhi permintaan untuk pasar Eropa. Lagi pula rempah-
rempah dari India tidaklah lengkap karena hanya menyediakan lada. Dalam
hal ini kepulauan Indonesia menghasilkan semua jenis rempah-rempah baik
lada, kayu manis, pala, cengkeh, dan sebagainya. Jadi revolusi transportasi
maritim pertama kali di Nusantara terjadi pada awal abad masehi ketika
terjadi perubahan rute perdagangan dari rute daratan (jalan sutra) ke jalan
14
maritim (jalan rempah- rempah). Perubahan rute perdagangan global ini di
samping dipicu oleh ketidakamanan jalan darat melalui Asia Tengah juga
permintaan produk rempah-rempah yang semakin meningkat yang mampu
dihasilkan juga daerah daerah kepulauan di Nusantara. Sejak saat itu geliat
perdagangan rempah-rempah menjadi sangat spektakuler. Perdagangan
rempah-rempah ini menjadi driving force bagi kegiatan perdagangan dan
pelayaran secara umum selama berabad abad. Perdagangan maritim telah
memberikan dampak bagi lahirnya berbagai emporium di Nusantara seperti
Sriwijaya, Majapahit, Demak, Ternate, Tidore, Makassar, dan sebagainya.

Tuban merupakan sebuah bagaimana contoh yang tipikal mengenai


proses perubahan dari kota pelabuhan yang sangat penting sejak masa
kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur menjadi pelabuhan yang juga penting
pada awal berkembangnya kerajaan-kerajan Islam di pantai utara Jawa.
Fungsi sebagai pelabuhan internasional inilah yang memungkinkan Tuban
menjadi kota yang bersifat kosmopolitan. Bangsa-bangsa asing yang datang
di Tuban antara lain Orang India Utara, India Selatan, Srilangka, Burma,
Kamboja, dan Champa. Menurut cerita dalam Babad Tuban bahwa Aria
Wilatikto adalah anak dan pengganti Aria Tejo, yaitu seorang ulama
keturunan Arab yang berhasil meyakinkan Raja Tuban, Arya Dikara, untuk
memeluk agama Islam. Oleh karena jasanya ia dinikahkan dengan putrinya.
Nama Arab Aria Teja adalah Abdurrahman. Hal ini sesuai dengan kesaksian
Tome Pires bahwa penguasa Tuban pada sekitar tahun 1500 adalah cucu raja
islam yang pertama di kota Tuban.

Pada masa kejayaan Demak, sikap Tuban mendua. Di samping mengakui


Demak sebagai kesultanan Islam, Tuban juga masih menjaga hubungan baik
dengan Majapahit. Hal ini bisa dipahami karena letak Tuban tidak begitu jauh
dari Majapahit sehingga masih ada kemungkinan Majapahit akan
menghancurkannya jika Tuban melakukan penentangan secara frontal
sebagaimana yang terjadi terhadap Juana. Setelah Majapahit hancur, Tuban
masih tetap mengakui Sultan Demak sebagai Maharaja wilayah-wilayah Islam
bahkan ketika Sultan Hadiwijaya memindahkan kratonnya di Pajang, Tuban
masih mengakuinya. Namun demikian setelah Pajang dijatuhkan oleh
Mataram, Tuban berusaha berdiri sendiri sebagai negara merdeka. Tuban
merupakan kekuatan pantai utara Jawa yang menentang penaklukan Mataram.
Beberapa kali Tuban diserang oleh Mataram sejak masa pemerintahan
Senopati yaitu tahun 1587, 1598 dan 1599. Namun demikian baru tahun 1619,
Tuban betul-betul takluk kepada Sultan Agung dari Mataram. Setelah itu
bupati-bupati Tuban diangkat oleh Mataram.

15
Reputasi Tuban sebagai kota dagang di pantai utara Jawa masih bertahan
hingga abad XVI ketika Islam memperoleh pijakan yang kuat di kota-kota di
sepanjang pantai utara Jawa. Pada awal abad XVI, seorang musyafir Portugis,
Tome Pires, mengungkapkan bahwa Tuban merupakan salah satu bandar
penting di Jawa. Jaringan perdagangan Tuban mencakup daerah-daerah dari
Malaka hingga Maluku, termasuk Makassar, Banjarmasin, Palembang, Jambi.
Bahwa Tuban memiliki hubungan dagang yang dengan Maluku dapat
diketahui dari sebuah catatan Portugis bahwa ketika ada pedagang Portugis
pada akhir abad XVI yang berusaha menemui Raja Tuban dalam usahanya
untuk mencari pemandu setempat untuk mengantarkannya ke Maluku, Raja
Tuban lancar berbahasa Portugis. Ia menyarankan agar pedagang Portugis itu
tidak usah datang ke Maluku dan cukup menunggu di Tuban, karena tiga
bulan lagi akan datang lebih dari 40 jung dari Maluku dengan membawa
rempah-rempah. Ini berarti bahwa Tuban telah menjalin hubungan dagang
secara reguler dengan Maluku dan Malaka.

Komoditi dagang yang diperdagangkan di pasar lokal di Tuban antara lain


lada (yang didatangkan dari Banten dan Palembang), bermacam- macam jenis
burung, tulang penyu, cula badak, gading, mutiara, kayu cendana, rempah-
rempah, kapur barus, dan sebagainya. Pada masa Majapahit komoditi dagang
lokal yang utama adalah beras. Sementara itu barang impor yang paling
disukai masyarakat setempat adalah porselen pola biru dari Cina, gading, kain
sutera bersulam emas, dan manik-manik. Kelompok orang kaya di Tuban juga
menyukai bahan pakaian impor yang mahal seperti dari Cina. Selera tinggi ini
sudah muncul sejak jaman Majapahit hingga abad XVI ketika agama Islam
berkembang di kota ini. Komoditi lain yang juga diperjualbelikan oleh
masyarakat Tuban pada abad XVI adalah emas, perak, berbagai macam piring
dari emas dan perak, kain damas, dan barang-barang pecah belah dari
porselen. Perkembangan Tuban tersebut seiring dengan kedatangan dan
rangkaian penaklukan yang dilakukan oleh Portugis, Spanyol, Belanda dan
Inggris.

Sementara itu, kerajaan Demak sedang dalam puncak kejayaan ketika


Portugis datang di perairan Nusantara, meskipun hal itu tidak berlangsung
lama. Menurut Tome Pires dalam bukunya Suma Oriental, kakek raja Demak
yang memerintah pada tahun 1513 adalah seorang budak belian dari Gresik
yang telah mengabdi di Demak saat masih menjadi vasal Majapahit. Dalam
karirnya dia diangkat menjadi capitan dan dipercaya memimpin ekspedisi
melawan Cirebon, sehingga dapat berhasil pada tahun 1470.

16
Secara geografis, Demak memiliki letak yang sangat menguntungkan
baik untuk perdagangan maupun pertanian. Pada waktu itu Kerajaan Demak
merupakan kerajaan maritim yaitu sebuah kerajaan yang perekonomiannya
lebih didasarkan atas sektor perdagangan dan pelayaran. Berdsarkan geo-
morfologi bahwa pada abad XV kota Demak berada di tepi pantai dan
memiliki pelabuhan yang dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai negara.
Menurut cerita babad dari Jawa Timur dan Jawa Tengah, pengganti Raden
Patah adalah Pangeran Sabrang Lor. Nama itu ternyata berasal dari daerah
tempat tinggalnya di seberang utara, yaitu Jepara sebuah daerah yang pada
waktu itu masih terpisah oleh sebuah selat dengan Demak. Sementera itu
menurut Tome Pires penguasa kedua di Demak adalah Pate Rodim Sr. Dia
mempunyai armada laut yang terdiri dari 40 kapal jung.

Kekuatan Demak terpenting adalah kota pelabuhan Jepara, yang


merupakan kekuatan laut terbesar di laut Jawa dan sekaligus juga pemasok
beras yang utama ke Malaka. Pada masa Trenggana, dia berusaha memimpin
suatu koalisi Islam yang mungkin menghancurkan kerajaan Hindu-Budha
utama terakhir yang berpusat di Kediri. Ia memang tidak merebut suatu
kerajaan Jawa yang mapan, tetapi sekembali di pusat kekuasaannya di Demak
Sultan Trenggana terus-menerus menyerang sejumlah musuh yang masih
memeluk agama Hindu. Gelar Sultan yang menurut tradisi disandangnya sejak
tahun 1524 dengan hak (otorisasi) yang di bawa Sunan Gunung Jati dari
Mekkah merupakan indikasi bahwa Demak adalah sebuah kerajaan berbentuk
baru di Jawa. Gambaran itu menunjukkan bahwa Demak benar-benar
merupakan kekuatan yang signifikan di Jawa pada abad ke-16. Pada masa Pati
Unus atau Pangeran Sabrang Lor, tepatnya tahun 1512 dan 1513, Demak
menyerang Malaka yang pada waktu itu dikuasai oleh Portugis dengan
menggunakan gabungan seluruh angkatan laut bandar-bandar Jawa, dan
Sumatra namun berakhir dengan hancurnya angkatan laut dari Jawa.

Menurut kesaksian Tome Pires, pelabuhan Demak banyak dikunjungi


oleh pedagang-pedagang Persia, Arab, Gujarat, Melayu, dan sebagainya.
Dengan kegiatan dagangnya mereka menjadi kelompok sosial yang kaya.
Mereka membangun masjid dan membangun solidaritas keislaman serta
melakukan perkawinan campur dengan masyarakat setempat. Sebagai bandar
utama di Nusantara, jangkauan jaringan pelayaran Demak mencakup hampir
seluruh wilayah Nusantara dari Maluku hingga Malaka. Bahkan dengan
datangnya pedagang asing sebagaimana yang disebutkan di atas berarti
jaringan perdagangan Demak juga telah mencapai kawasan di sebelah barat
Selat Malaka hingga dunia Arab.

17
Sejalan dengan perpindahan pusat kekuasaan dari kota Demak ke Pajang
dan proses perubahan ekologi di ‘Selat Muria’ yang menempatkan Demak
tidak lagi sebagai kota pelabuhan, maka kehidupan maritim Demak menjadi
mundur. Fungsi Demak digantikan oleh Jepara hingga VOC mengalihkan
kegiatan dagang dari Jepara ke Semarang pada abad XVII. Akibat dari
situasi ini, maka pelabuhan laut kota Demak menjadi kurang berarti pada
akhir abad ke-XVI. Namun sebagai produsen beras dan hasil pertanian lain
daerah Demak masih lama mempunyai kedudukan penting dalam
perekonomian kerajaan Mataram.

Di Banten, perkembangan perniagaan kaum Muslim memberikan


kontribusi yang sangat signifikan dalam proses formasi kekuatan politik
Islam. Perpaduan antara perkembangan perdagangan dan kekuatan politik
akhirnya menempatkan kerajaan sebagai sebuah imporium yang besar di
kawasan Selat Sunda yang mendasarkan perekonomiannya pada pelayaran
dan perdagangan.

Banten memiliki posisi geografis yang sangat strategis sebagai sebuah


kota pelabuhan. Kota Banten yang terletak di ujung bagian Barat pulau Jawa
dan berada di pintu Selat Sunda ini dapat dikatakan berfungsi sebagai pintu
gerbang barat dari kepulauan Nusantara. Penaklukan Malaka oleh Portugis
pada tahun 1511 dapat dikatakan sebagai blessing in disguise bagi Banten.
Sejak saat itu, para pedangang Muslim yang sebelumnya biasa berdagang di
Malaka memindahkan pusat kegiatan mereka ke Banten yang pada akhirnya
menyebabkan Banten berkembang menjadi pelabuhan transito komoditi-
komoditi yang diperdagangkan oleh para pedagang Islam. Tome Pires juga
pernah datang ke Banten antara tahun 1512-1513. Dalam catatannya, Tome
Pires menggambarkan Banten sebagai suatu pelabuhan yang ramai. Banyak
perahu jung Cina yang berlabuh di tempat tersebut. Disebutkannya komoditi
yang diperdagangkan di Banten adalah beras, bahan makanan dan lada.
Hubungan antara Banten dengan Demak memang sangat erat. Proses
Islamisasi yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dan putranya dapat
berhasil secara baik karena dibantu oleh kekuatan militer dari Demak. Dalam
pertengahan abad ke-16 dapat dikatakan bahwa Demak telah dapat
menggalang kekuasaan politik yang membentang di sepanjang pantai Jawa
bagian Barat yaitu dari Cirebon, Sunda Kelapa hingga ke Banten.

Perdagangan lada membuat Banten menjadi kota pelabuhan yang penting.


Kapal-kapal dagang Cina, India dan Eropa singgah dan berdagang di Banten.
Dalam melaksanakan perdagangan, Banten menerapkan sistem perdagangan
terbuka. Artinya semua pedagang dari berbagai bangsa dibebaskan untuk

18
berdagang di Banten. Masa kejayaan Banten sebagai pelabuhan pusat
perdagangan di bagian Barat Nusantara berlangsung dari pertengahan abad
ke-16 hingga menjelang akhir abad ke-17. Puncak kurun niaga yang disebut
oleh sejarawan Anthony Reid berlangsung antara tahun 1570 hingga 1630
rupanya bertepatan dengan masa kejayaan Banten sebagai kota palabuhan.

Selain komoditi utama berupa lada, komoditi rempah-rempah lainnya


seperti cengkeh dari Maluku Utara maupun pala dari Banda juga
diperdagangkan di Banten. Tidak hanya rempah-rempah yang diperdagangkan
di Banten namun juga komoditi-komoditi lainnya seperti beras, keramik dan
tekstil. Berbagai barang dagangan tersebut di bawa ke Banten oleh para
pedagang yang datang dari berbagai penjuru dunia. Pedagang dari berbagai
bangsa bertemu dan saling melakukan kontak budaya. Dalam masa
kejayaannya Banten dapat dikatakan sebagai pelabuhan dagang terbesar di
Nusantara. Di Banten ditemukan para pedagang dari berbagai bangsa seperti
Bugis, Jawa, Melayu, Portugis, Arab, Turki, Cina, Keling, Pegu, Bengali,
Gujarat, Malabar dan Abesenia.

Semaraknya kegiatan perdagangan di Banten telah menarik kedatangan


para penduduk dari berbagai suku bangsa untuk menetap di sana.
Sebagaimana lazimnya kota-kota pelabuhan di Nusantara pada saat itu, di
Banten juga terdapat perkampungan orang-orang Cina yang disebut dengan
Pecinan. Pada abad XVII di kota Banten terdapat komunitas etnis lainnya
seperti orang-orang Jawa, Makassar, Melayu, Bengal, Arab, Gujarat dan
sebagainya. Bahkan orang-orang Eropa juga turut bermukim dan membuka
kantor dagang di Banten. Di kota pelabuhan tersebut terdapat kantor dagang
milik orang Portugis, Perancis, Denmark, Inggris dan kantor dagang milik
orang Belanda.

Sebagai penunjang bagi keberhasilan dari kegiatan perdagangan


internasional, Banten juga menjalin hubungan diplomatik dengan berbagai
bangsa. Pada tahun 1681 tercatat bahwa Banten memiliki seorang duta besar
yang ditempatkan di kota London, Inggris. Keberadaan duta besar Banten di
Inggris itu mencerminkan bahwa kesulatanan Banten pada abad ke-XVII
mendapat pengakuan internasional dan dipandang sejajar dengan negara-
negara besar berdaulat lainnya.

Sementara itu proses Islamisasi dan formasi politk Islam di Cirebon juga
tidak banyak berbeda dengan Demak dan Banten. Hanya saja sumber- sumber
tradisional mengesankan adanya transfer kekuasaan dari Hindu ke Islam
secara elegan dalam sebuah proses kontinuitas. Sumber-sumber tradisional
setempat menyebutkan bahwa pendiri dinasti Cirebon yaitu Syarif
19
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bukanlah orang dari Pasai tetapi dia adalah
cucu raja Siliwangi dari Pajajaran dan menantu Walangsungsang, seorang
penguasa pelabuhan Muara Jati. Di bawah pimpinan Syarif Hidayatullah
inilah Cirebon yang sudah Islam memutuskan hubungan dengan kerajaan
Galuh yang masih Hindu dengan di bawah perlindungan kerajaan Demak.
Dengan begitu berdirilah kerajaan Islam Cirebon yang mendasarkan
perekonomiannya pada aktivitas perniagaan. Baru setelah periode itu,
perluasan kekuasaan kerajaan Cirebon dilakukan. Pada tahun 1528 kerajaan
Galuh bisa ditaklukkan demikian juga daerah Kuningan pada tahun 1530.
Sementara itu daerah Babadan, Luragung, Indramayu dan Krawang menerima
daulah Islamiyah dengan cara damai.

Perkembangan pelabuhan Cirebon didukung oleh beberapa faktor antara


lain geografis dan kekayaan alam di daerah pedalaman. Hal ini bisa dijumpai
pada kesaksian Tome Pires: ‘This Cherimon has a good port… It has a great
deal of rice and abundant foodstuffs. This place has better wood for making
junks than anywhere else in Java’.

Perkembangan pelabuhan Cirebon pada masa Islam didorong oleh


beberapa faktor antara lain: pertama, Cirebon bertindak sebagai penyedia
barang kebutuhan bekal perjalanan kapal. Di samping itu Cirebon juga
mengekspor beras ke Malaka sebelum jatuh ke tangan Portugis. Kedua,
Cirebon telah menjadi tempat bermukimnya para pedagang besar. Setelah
Portugis menguasai Malaka, beberapa pedagang mulai berpindah ke
pelabuhan Islam lainnya termasuk Cirebon. Tome Pires waktu itu
memperkirakan bahwa penduduk Cirebon sekitar 1000 orang. Di kota
pelabuhan ini tinggal kurang lebih 7 orang pedagang besar, satu di antaranya
adalah Pate Quedir seorang bangsawan pedagang yang pernah menjadi kepala
perkampungan Jawa di Malaka yang diusir oleh tentara Portugis karena
dituduh berkomplot dengan tentara Demak yang menyerbu Malaka.

Sebelum dianeksasi oleh VOC, pelabuhan Cirebon memiliki peranan


sebagai pusat perdagangan yang cukup besar. Pelabuhan ini memiliki
hubungan dagang dengan Batavia. Arsip-arsip Belanda menginformasikan
dengan cukup detail mengenai aktivitas pelabuhan Cirebon dengan Batavia.
Barang-barang yang dibongkat di Batavia yang berasal dari Cirebon adalah
beras, padi, lada, kayu jati, gula merah, tembakau, minyak kelapa, ikan,
garam, bawang merah, bawang putih, kelapa, buah pinang, kapas, sapi,
kambing, kulit kerbau, kulit rusa, tembikar, rotan, dan sebagainya. Sudah
tentu komoditi ini tidak semuanya diproduksi oleh Cirebon tetapi juga berasal
dari pelabuhan di sekitarnya seperti Pekalongan dan Tegal dan pelabuhan-

20
pelabuhan di Jawa Timur dan Madura serta dari Palembang. Sebaliknya dari
pelabuhan-pelabuhan lain, khususnya dari Batavia, pelabuhan Cirebon
mengimpor pakaian, candu, arak, gula putih, porselin, lilin, tembaga, besi tua,
panci besi, perunggu Jepang dan sebagainya.

Pada tahun 1681, Mataram menyerahkan Cirebon kepada VOC. Dengan


tampilnya penguasa baru ini, perdagangan pribumi mendapatkan pengawasan
dan tekanan yang ketat. Dalam perjanjian tahun 1681 itu disebutkan bahwa
Kumpeni mendapatkan hak monopoli impor pakaian, kapas, opium, dan
monopoli ekspor untuk komoditi lada, kayu, gula, beras, dan produk apapun
yang dikehendaki Kumpeni yang semuanya itu bebas bea ekspor dan impor
yang sebelumnya pernah dikenakan sebesar 2% dari nilai barang. Perjanjian
itu juga mengatur bahwa pelayaran pribumi harus mendapatkan lisensi dari
VOC dan sangat dibatasi. Tidak semua kapal boleh masuk, kecuali atas ijin
Kumpeni. Tanaman lada yang diusahakan di wilayah Cirebon diatur oleh
Kumpeni dan Kumpeni pula yang menetapkan harganya.

Sementara itu, Aceh merupakan kerajaan maritim yang tampaknya tidak


memiliki basis historis sebagai kekuatan politik dan kultural pra- Islam yang
kuat. Berdasarkan sumber sejarah lokal, yaitu kitab Adat Aceh dikisahkan
bahwa pada tahu 601 Hijriyah Aceh di-Islamkan oleh seseorang yang
bernama Sultan Jauhansyah yang datang dari “negeri di atas angin”.
Bersamaan dengan proses islamisasi tersebut diangkatlah seorang sultan yang
pertama dengan gelar Sultan Johan Syah. Pada sekitar awal abad ke-16
kesultanan Aceh yang masih kecil berhasil melepaskan diri dari pengaruh
negara tetangganya, Pedir. Bahkan dalam perkembangan selanjutnya
kesulatanan Aceh berkembang menjadi semakin besar setelah berhasil
menyatukan kerajaan-kerajaan Islam kecil yang ada di sekitarnya.

Setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511, para pedagang
Islam yang biasa mengunjungi Malaka untuk berdagang mulai menghindari
kota pelabuhan tersebut. Salah satu pelabuhan terdekat yang paling potensial
untuk dijadikan pelabuhan pengganti sebagai tempat tujuan berdagang di
Selat Malaka adalah Aceh. Sejak saat itu Aceh menjadi bandar dagang utama
bagi para pedagang Islam yang membawa cengkeh dan pala dari Maluku dan
Banda serta Lada dari Sumatra Selatan dan Aceh sendiri ke laut Merah di
Asia Barat. Dari Laut Merah barang- barang dagangan tersebut diangkut
menuju Eropa. Di Aceh terdapat beraneka ragam hasil alam yang
diperdagangkan seperti minyak tanah, belerang, kapur, kemenyan, dan emas.
Komoditi yang cukup diandalkan selain lada adalah sutera.

21
Para pedagang yang telah sejak lama berdagang di Aceh adalah para
pedagang dari Arab dan India. Mereka senang berdagang di Aceh karena
kesultanan ini menganut agama Islam, sama dengan agama yang mereka
yakini. Para pedagang India membawa komoditi seperti tembikar, besi, baja,
kapas dan intan. Di Aceh, mereka membeli kemenyan, kapur dari Barus, lada
dan porselen dari Cina. Perahu-perahu dagang Cina (jung) juga banyak
terdapat di Aceh. Selain memperdagangkan porselen, orang-orang Cina
memperkenalkan cara budidaya sutera kepada orang Aceh. Selain mereka
terdapat pula para pedagang dari Turki, Siam, Jawa dan orang- orang Eropa
yang terdiri dari orang Portugis, Perancis dan Inggris.

Ketika orang Inggris pertama kali mendarat di Aceh, mereka mendapat


kesan bahwa Aceh adalah sebuah kota yang besar. Mengenai seberapa banyak
jumlah penduduk Aceh kiranya sukar untuk diperkirakan. Namun demikian
menurut kesaksian orang Perancis yang mengunjungi Aceh dinyatakan bahwa
sultan Iskandar Muda dapat mengerahkan sekitar 40.000 pasukan.
Sebagaimana kota-kota pelabuhan lainnya di Asia Tenggara pemukiman
penduduk di kota Aceh dikelompokkan menurut latar belakang etnis dari
penghuninya. Oleh karena itu di Aceh terdapat nama-nama kampung seperti;
kampung Portugis, kampung Gujarat, kampung Arab, kampung Bengali,
kampung Cina dan kampung Pegu. Pada awal abad ke-17 Sultan Aceh pernah
mengirim utusan ke negeri Belanda. Perutusan itu merupakan balasan atas
misi persahabatan yang dikirim oleh Prins Maurits dari Belanda ke Aceh.
Delegasi yang dikirim Aceh ke Belanda terdiri dari Abdul Hamid sebagai
ketua dengan anggota delegasi Laksamana Laut Sri Muhammad dan Mir
Hasan. Pada tanggal 20 Juli 1602 perutusan Aceh tiba di Zeeland negeri
Belanda. Pengiriman misi diplomasi tersebut merupakan perutusan pertama
dari negara Asia yang memberi pengakuan kepada Belanda ketika mereka
sedang terlibat perang 80 tahun (1568-1648) melawan Spayol dan Portugis.
Dalam masa kunjungan di negeri Belanda ketua delegasi Abdul Hamid yang
telah berusia 71 tahun wafat dan kemudian dikebumikan di gereja Saint Peter
di Middelburg.

Pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, daerah kekuasaan Aceh


meluas meliputi pelabuhan-pelabuhan di Pesisir Barat maupun Timur
Sumatera seperti Pasai, Pedir, Deli, Aru, Pasaman, Tiku dan Pariaman. Di luar
pulau Sumatera kekuasaan Aceh bahkan mencapai semenanjung Malaka yang
meliputi wilayah Johor, Pahang, Kedah dan Perak. Sultan Iskandar Muda
sangat menyadari bahwa daerah Sumatera barat sangat penting bagi
perdagangan lada dan emas. Untuk dapat mengendalikan jalannya kegitan

22
perdagangan di Sumatera Barat Iskandar Muda mengirimkan para panglima
Aceh ke daerah-daerah penghasil emas dan lada dan pelabuhan-pelabuhan di
mana barang-barang tersebut dikirimkan. Para pedagang asing tidak dijinkan
untuk berdagang secara langsung ke daerah-daerah penghasil lada dan
emas. Mereka hanya dijinkan untuk memperdagangkan komoditi tersebut di
pelabuhan Aceh di bawah pengawasan langsung dari para pegawai sultan.

Masa kejayaan Sultan Iskandar Muda mulai menurun ketika pasukan


yang dikirimnya untuk merebut Malaka dari tangan Portugis menderita
kekalahan. Sebagai upaya untuk mendapat dukungan dari kekuatan lain, ia
kemudian menjalin kerjasama dengan orang-orang Belanda dengan memberi
mereka ijin untuk selama 4 tahun berdagang di seluruh wilayah Aceh dengan
tanpa dikenakan pajak. Supremasi politik maupun ekonomi Aceh di kawasan
Selat Malaka semakin merosot ketika pada tahun 1641 orang-orang Belanda
dapat merebut Malaka.

Ternate muncul dalam pangung sejarah sebagai salah satu pelabuhan


dagang di kepulauan Maluku Utara berkaitan erat dengan interaksi yang
semakin intensif diantara kota-kota pelabuhan di Asia Tenggara sebagai
akibat dari munculnya jaringan emporium di kawasan tersebut. Pemicu
dari maraknya kegiatan perdagangan di Maluku Utara adalah ekspedisi kapal-
kapal Cina yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho dari tahun 1371 hingga
1435 Masehi. Meskipun ekspedisi tersebut tidak mencapai daerah Maluku
Utara, namun mulai saat itu nampaknya orang-orang Ternate mulai menyadari
nilai ekonomi dari komoditi cengkeh yang mereka hasilkan. Kata cengkeh
sendiri berasal dari bahasa Mandarin Zhi Jia atau dalam dialek Kanton Zhen
Ga yang artinya adalah paku. Kata cengkeh mulai umum digunakan dalam
bahasa Melayu sejak abad ke-16.

Ternate merupakan salah sebuah pulau yang termasuk wilayah Maluku


Utara. Ternate dan wilayah maluku pada umumnya memang merupakan
wilayah penghasil utama dari komoditi cengkeh. Sebagai salah satu daerah
utama penghasil cengkeh Ternate sepanjang abad ke-16 hinggga 18 menjadi
ajang pertarungan kepentingan hegemoni ekonomi yang pada akhirnya sering
berujung pada pertarungan politik maupun militer.

Pada abad ke-15 ada empat pusat perdagangan cengkeh di Maluku Utara
yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo (Halmahera). Pulau-pulau lainnya
yang mengahasilkan cengkeh lambat laun terkait dalam jaringan perdagangan
melalui salah satu di antara keempat pusat perdagangan tersebut. Munculnya
empat buah pusat perdagangan berkait erat dengan struktur tradisional
masyarakat Maluku Utara. Sistem empat penguasa di Maluku Utara
23
dilembagakan ke dalam suatu konsep tradisional yang disebut ‘Maluku Kie
Raha’ atau Maluku Empat Gunung. Konsep ini mengacu pada adanya
hubungan federatif yang damai di antara empat kekuatan politik utama di
Maluku Utara demi kepentingan perdagangan cengkeh.

Sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa pada abad ke-16, Ternate


melakukan perdagangan cengkeh dengan para pedagang yang datang dari
Jawa, Melayu, Makassar, Bugis, dan Banten. Bangsa Eropa yang pertama kali
tiba di Ternate ialah orang-orang Portugis. Mereka tiba pertama kali pada
tahun 1512 di bawah pimpinan Fransisco Serrao. Pada tahun 1570 pecah
pertempuran antara Ternate dengan Portugis yang menyebabkan Sultan
ternate Hairun terbunuh. Pengganti Sultan Kahirun, Sultan Baabullah berhasil
mengusir Portugis dari Maluku pada tahun 1577.

Dalam masa pemerintahan Sultan Baabullah Ternate mencapai masa


kejayaanya. Armada perahu Ternate yang terkenal dengan sebutan kora- kora
melakukan ekspedisi militer untuk memperluas wilayah kerajaan. Daerah
yang dapat dikuasai Ternate terbentang dari Maluku Utara sampai pulau Buru,
Seram, Sulawesi Utara dan beberapa tempat di sekitar Teluk Tomini.
Wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan diwajibkan untuk membayar pajak
tahunan kepada Ternate dan penduduknya diwajibkan untuk membantu
Ternate jika sewaktu-waktu terjadi peperangan.

Pada tanggal 22 Mei 1599 dua buah kapal Belanda (Amsterdam dan
Utrech) dengan 560 awak kapal di bawah pimpinan kapten Wybrant van
Warwyk untuk pertama kali tiba di Ternate. Kunjungan ini disambut dengan
hangat oleh pihak Ternate. Sultan bersama 32 armada kora-kora yang
mengangkut para pendayung dan para penyanyi mengitari kapal- kapal
Belanda tersebut sambil melantunkan lagu-lagu Ternate dan menari. Setelah
terjadi penyambutan yang hangat, urusan transaksi dagang menjadi lancar.
Kunjungan orang-orang Belanda berikutnya ke Ternate di bawah pimpinan
pimpinan Laksamana Jacob van Neck berlangsung pula dengan mulus.

Cengkeraman Belanda melalui perusahaan dagang VOC semakin


menguat di Ternate, setelah pada tanggal 23 Februari 1605 armada Belanda
di bawah pimpinan laksamana Steven van der Hagen berhasil merebut
benteng Portugis di Ambon. Selanjutnya Steven van der hagen dan para
penggantinya mendapat perintah dari markas besar VOC di Amsterdam untuk
menduduki seluruh Maluku dan mengusai perdagangan cengkeh. Berdasarkan
perintah tersebut, maka dimulailah berbagai upaya VOC di Maluku untuk
menerapkan sistem monopoli terhadap komoditi cengkeh.

24
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang dulu sempat melahirkan


banyak sekali kerajaan-kerajaan yang sempat berperan dalam rute perdaganagan
dunia, kerajaan-kerajaan tersebut di antaranya: Barus, Samudera pasai, Ternate,
Tiodre, Buton, Demak, Tuban, Banten dan Cirebon. Salah satu pelabuhan besar
di Nusantara yang berperan penting dalam hal kemaritiman yaitu Pelabuhan di
Kerajaan Tuban yang merupakan sebuah tipikal mengenai proses perubahan dari
kota pelabuhan yang sangat penting sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa
Timur, menjadi pelabuhan yang juga penting pada awal berkembangnya
kerajaan- kerajan Islam di pantai utara Jawa. Fungsi sebagai pelabuhan
internasional inilah yang memungkinkan Tuban menjadi kota yang bersifat
kosmopolitan. Bangsa-bangsa asing yang datang di Tuban antara lain Orang
India Utara, India Selatan, Srilangka, Burma, Kamboja, dan Champa. Menurut
cerita dalam Babad Tuban bahwa Aria Wilatikto adalah anak dan pengganti Aria
Tejo, yaitu seorang ulama keturunan Arab yang berhasil meyakinkan Raja
Tuban, Arya Dikara, untuk memeluk agama Islam. Oleh karena jasanya ia
dinikahkan dengan putrinya. Nama Arab Aria Teja adalah Abdurrahman. Hal ini
sesuai dengan kesaksian Tome Pires bahwa penguasa Tuban pada sekitar tahun
1500 adalah cucu raja islam yang pertama di kota Tuban.

25
DAFTAR PUSTAKA

Badrika, Wayan. 2006. Sejarah untuk SMA kelas XI. Jakarta: Erlangga
Darmawijaya. 2010. Kesultanan Islam Nusantara. Jakarta: Pusatka Al-Kautsar.

Edhie, Dea. 2011. Sepuluh Kerajaan Besar Islam Nusantara. Bandung: CV


Dea Art Pustaka.

H.J. De Graaf dan TH. Pigeaud, 2003, Kerajaan Islam Pertama di Jawa,
Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti

Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari


Emporium sampai Imperium Jilid 1. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kertawibawa, Besata Besuki. 2009. Dinasti Raja Petapa II Syarif Hidayatullah


Sang Pengembang Kerajaan Cirebon. Bandung: PT. Kiblat Buku Utama.

Muarif Ambary, Hasan. 1998. Menemukan Peradaban Jejak Arkeologis dan


Historis Islam Indonesia. Jakarta: PT LOGOS Wancana Ilmu

Muljana, Slamet. 2007. Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya


Negara- negara Islam di Indonesia. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

Yusuf, Mundzirin dkk. 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia.


Yogyakarta: Penerbit Pustaka.

Zuhdi, Susanto. 1996. Kerajaan Tradisional Sulawesi Selatan Kesultanan


Buton. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

26

Anda mungkin juga menyukai