Anda di halaman 1dari 11

2.

6 Kebijakan Karantina dan Isolasi Pada Kasus COVID-19

2.6.1 Karantina Pada COVID-19

Seiring terus berkembangnya COVID-19, setiap negara di dunia perlu

mengimplementasikan serangkaian langkah kesehatan yang komprehensif yang

diadaptasikan dengan konteks setempat dan epidemiologi penyakit ini. Tujuan

menyeluruhnya adalah mengendalikan COVID-19 dengan cara memperlambat

penyebaran virus ini dan mencegah penyakit dan kematian terkait. Beberapa langkah

kesehatan masyarakat utama yang memutus rantai penularan sangat penting bagi strategi

menyeluruh ini, termasuk mengidentifikasi, (termasuk isolasi, melakukan tes, dan

perawatan klinis untuk semua kasus), pelacakan serta karantina kontak, dan

menggalakkan penjagaan jarak fisik minimal 1 meter yang disertai dengan kebiasaan

sering mencuci tangan dan menjalankan etiket batuk dan bersin. Komponen-komponen

ini harus menjadi inti dalam setiap upaya nasional penanggulangan COVID-19.

Karantina berarti “pembatasan kegiatan dan/atau pemisahan seseorang suspek

yang tidak sakit (...) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran

penyakit atau kontaminasi.” Penggunaan karantina untuk mengendalikan penyakit

menular memiliki sejarah panjang hingga berabad-abad. Saat ini, banyak negara

memiliki kewenangan hukum untuk memberlakukan karantina yang, sesuai Pasal 3

International Health Regulations (2005), harus sepenuhnya menghormati martabat, hak

asasi manusia, dan kebebasan-kebebasan dasar manusia. Ada dua skenario di mana

karantina dapat diimplementasikan yaitu pada pelaku perjalanan dari daerah di mana

terjadi transmisi komunitas dan pada orang yang kontak dengan kasus-kasus yang

diketahui.
Dalam konteks pembahasan COVID-19, karantina adalah upaya memisahkan

seseorang yang terpapar COVID-19 (baik dari riwayat kontak atau riwayat bepergian ke

wilayah yang telah terjadi transmisi komunitas) meskipun belum menunjukkan gejala

apapun atau sedang dalam masa inkubasi yang bertujuan untuk mengurangi risiko

penularan. Penggunaan karantina dalam konteks langkah-langkah perjalanan dapat

memperlambat masuknya atau masuknya kembali SARS-CoV-2 ke suatu negara atau

daerah, atau dapat memperlambat puncak transmisi, atau keduanya. Namun, jika tidak

diimplementasikan dengan baik, karantina pelaku perjalanan dapat menciptakan sumber-

sumber tambahan kontaminasi dan penyebaran penyakit.

Dalam konteks wabah COVID-19 saat ini, WHO merekomendasikan agar

dilaksanakan identifikasi cepat kasus COVID-19 dan isolasi serta tatalaksana kasus-

kasus tersebut di fasilitas medis atau di tempat lain seperti rumah. WHO

merekomendasikan agar semua kontak orang-orang yang terkonfirmasi atau probable

COVID-19 dikarantina di fasilitas khusus atau di rumah selama 14 hari sejak paparan

terakhirnya.

Masa inkubasi COVID-19 menjadi dasar pertimbangan strategi pemeriksaan,

pelacakan, karantina, dan isolasi. Strategi ini juga dapat dipertajam menggunakan

informasi hasil pemeriksaan laboratorium. Masa inkubasi COVID-19 (waktu sejak

seseorang tertular sampai munculnya gejala) pada umumnya adalah 5-6 hari walaupun

pada sedikit kasus dapat mencapai 14 hari.

Karantina dilakukan sejak seseorang diidentifikasi sebagai kontak erat atau

memenuhi kriteria kasus suspek yang tidak memerlukan perawatan Rumah Sakit. Pada

kontak erat yang asimtomatik/ bergejala ringan, dilakukan entry test saat memasuki

karantina pada hari pertama yang dilanjutkan dengan exit test pada hari kelima.
Karantina harus dimulai segera setelah seseorang diinformasikan tentang statusnya

sebagai seorang kontak erat, idealnya dalam waktu tidak lebih dari 24 jam sejak

seseorang diidentifikasi sebagai kontak erat dan dalam waktu tidak lebih dari 48 jam

sejak kasus indeks terkonfirmasi.

Seseorang dinyatakan selesai karantina apabila exit test pada hari kelima

memberikan hasil negatif. Jika exit test positif, maka orang tersebut dinyatakan sebagai

kasus terkonfirmasi COVID-19 dan harus menjalani isolasi. Jika exit test tidak dilakukan

maka karantina harus dilakukan selama 14 hari. Jika tidak dapat dilakukan pemeriksaan

NAAT dan RDTAg karena tidak tersedianya sumber daya yang memadai maka karantina

harus dilakukan selama 14 hari.

Karantina dapat dilakukan secara mandiri di rumah masing-masing dengan

memenuhi syarat rumah DAN syarat klinis. Jika syarat tidak terpenuhi, maka dapat

dilakukan karantina terpusat. Karantina terpusat dilakukan untuk semua kontak

erat/kasus suspek yang tidak memerlukan perawatan Rumah Sakit termasuk kasus

dengan penyakit penyerta yang terkontrol dan yang tidak memenuhi syarat klinis dan

syarat rumah untuk melakukan karantina mandiri. Karantina terpusat dilakukan pada

fasilitas Desa/Kelurahan/Kecamatan/Kabupaten/ Kota/Provinsi dan dikoordinasikan oleh

Puskesmas dan Dinas Kesehatan. Pelaksanaan karantina terpusat harus memastikan

pemisahan antara individu yang menjalani karantina.

2.6.2 Isolasi Pada COVID-19

Isolasi dilakukan sejak seseorang suspek mendapatkan perawatan di Rumah Sakit

atau seseorang dinyatakan terkonfirmasi COVID-19, paling lama dalam 24 jam sejak

kasus terkonfirmasi. Isolasi adalah upaya memisahkan seseorang yang sakit yang
membutuhkan perawatan COVID-19 atau seseorang terkonfirmasi COVID-19, dari

orang yang sehat yang bertujuan untuk mengurangi risiko penularan.

Kriteria selesai isolasi dan sembuh pada kasus terkonfirmasi COVID-19

menggunakan gejala sebagai patokan utama:

1. Pada kasus terkonfirmasi yang tidak bergejala (asimtomatik), isolasi dilakukan

selama sekurang-kurangnya 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis

konfirmasi.

2. Pada kasus terkonfirmasi yang bergejala, isolasi dilakukan selama 10 hari sejak

muncul gejala ditambah dengan sekurang-kurangnya 3 hari bebas gejala demam

dan gangguan pernapasan. Sehingga, untuk kasus-kasus yang mengalami gejala

selama 10 hari atau kurang harus menjalani isolasi selama 13 hari.

Karantina dan isolasi mandiri, dapat dilakukan di rumah masing- masing jika

syarat klinis DAN syarat rumah dipenuhi. Isolasi terpusat dilakukan untuk semua kasus

suspek yang memerlukan perawatan Rumah Sakit/kasus konfirmasi COVID19 tanpa

gejala dan gejala ringan yang tidak memenuhi syarat klinis dan rumah untuk melakukan

isolasi mandiri.

Isolasi terpusat dilakukan pada fasilitas Kabupaten/Kota/Provinsi dan

dikoordinasikan oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan. Isolasi terpusat di

Kabupaten/Kota/Provinsi/Rumah Sakit Darurat COVID-19 dapat digunakan oleh pasien

terkonfirmasi COVID-19 tidak bergejala/gejala ringan yang tidak memenuhi syarat klinis

dan rumah. Jika pasien terkonfirmasi berusia >45 tahun maka dirujuk ke ke RS untuk

pemeriksaan lanjutan di poliklinik rawat jalan/poliklinik COVID-19. Dokter pemeriksa

akan menentukan apakah perlu dirawat di RS atau dapat dirujuk ke karantina/isolasi

terpusat.
2.6.3 Karantina dan Isolasi Pada Kasus COVID-19 Varian Omicron

Setiap kasus konfirmasi COVID-19 baik varian Omicron (B.1.1.529) maupun

varian lainnya harus segera dilakukan pelacakan kontak. Ketentuan pelacakan kontak

dan karantina varian Omicron pada prinsipnya sama dengan varian lainnya mengacu

pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/4641/2020 tentang

Panduan Pelaksanaan Pemeriksaan, Pelacakan, Karantina, dan Isolasi Dalam Rangka

Percepatan Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

Setiap kontak erat varian Omicron (B.1.1.529.) wajib segera dilakukan karantina selama

10 hari di fasilitas karantina terpusat dan pemeriksaan entry dan exit test menggunakan

pemeriksaan NAAT.

Kasus probable dan konfirmasi varian Omicron (B.1.1.529.) baik yang bergejala

(simptomatik) maupun tidak bergejala (asimptomatik) harus melakukan isolasi yang

dapat dilakukan di tempat isolasi berdasarkan berat ringannya gejala. Gejala klinis untuk

kasus konfirmasi COVID-19 varian Omicron pada prinsipnya sama dengan gejala klinis

COVID-19 varian lainnya, yaitu dibedakan menjadi tanpa gejala, ringan, sedang, berat

dan kritis (WHO):

1. Tanpa gejala

Kondisi ini merupakan kondisi paling ringan. Pasien tidak ditemukan gejala.

2. Ringan

Pasien dengan gejala tanpa ada bukti pneumonia virus atau tanpa hipoksia.

Gejala yang muncul seperti demam, batuk, fatigue, anoreksia, napas pendek,

mialgia. Gejala tidak spesifik lainnya seperti sakit tenggorokan, kongesti


hidung, sakit kepala, diare, mual dan muntah, penghidu (anosmia) atau hilang

pengecapan (ageusia) yang muncul sebelum onset gejala pernapasan juga

sering dilaporkan. Pasien usia tua dan immunocompromised gejala atipikal

seperti fatigue, penurunan kesadaran, mobilitas menurun, diare, hilang nafsu

makan, delirium, dan tidak ada demam. Status oksigenasi : SpO2 > 95%

dengan udara ruangan.

3. Sedang

Pada pasien remaja atau dewasa: pasien dengan tanda klinis pneumonia

(demam, batuk, sesak, napas cepat) tetapi tidak ada tanda pneumonia berat

termasuk SpO2 > 93% dengan udara ruangan ATAU Anak-anak: pasien

dengan tanda klinis pneumonia tidak berat (batuk atau sulit bernapas + napas

cepat dan/atau tarikan dinding dada) dan tidak ada tanda pneumonia berat).

Kriteria napas cepat : usia 5 tahun, ≥30x/menit.

4. Berat /Pneumonia Berat

Pada pasien remaja atau dewasa: pasien dengan tanda klinis pneumonia

(demam, batuk, sesak, napas cepat) ditambah satu dari: frekuensi napas > 30

x/menit, distres pernapasan berat, atau SpO2 < 93% pada udara ruangan.

ATAU Pada pasien anak: pasien dengan tanda klinis pneumonia (batuk atau

kesulitan bernapas), ditambah setidaknya satu dari berikut ini:

 Sianosis sentral atau SpO2 < 93%;

 Distres pernapasan berat (seperti napas cepat, grunting, tarikan

dinding dada yang sangat berat);

 Tanda bahaya umum: ketidakmampuan menyusu atau minum, letargi

atau penurunan kesadaran, atau kejang.

 Napas cepat/tarikan dinding dada/takipnea: usia 5 tahun, ≥30x/menit.


5. Kritis

Pasien dengan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok

sepsis, atau kondisi lainnya yang membutuhkan alat penunjang hidup seperti

ventilasi mekanik atau terapi vasopresor.

Berdasarkan klasifikasi ringan beratnya gejala COVID-19 diatas, maka

ketentuan isolasi pada pasien COVID-19 varian Omicron adalah sebagai berikut:

1) Kasus konfirmasi COVID-19 dengan gejala berat-kritis dirawat di rumah sakit

penyelenggara pelayanan COVID-19.

2) Kasus konfirmasi COVID-19 dengan gejala sedang, atau gejala ringan disertai

komorbid yang tidak terkontrol dapat dirawat di rumah sakit lapangan/rumah

sakit darurat atau rumah sakit yang penyelenggara pelayanan COVID-19.

3) Kasus konfirmasi COVID-19 tanpa gejala (asimptomatik) dan gejala ringan

dapat melakukan isolasi mandiri jika memenuhi syarat klinis dan syarat rumah.

a. Syarat klinis dan perilaku

i. usia < 45 tahun;

ii. tidak memiliki komorbid;

iii. dapat mengakses telemedicine atau layanan kesehatan lainnya; dan

iv. berkomitmen untuk tetap diisolasi sebelum diizinkan keluar

b. Syarat rumah dan peralatan pendukung lainnya

i. dapat tinggal di kamar terpisah, lebih baik lagi jika lantai terpisah;

ii. ada kamar mandi di dalam rumah terpisah dengan penghuni rumah

lainnya; dan

iii. dapat mengakses pulse oksimeter


(Jika pasien tidak memenuhi syarat klinis dan syarat rumah, maka pasien harus

melakukan isolasi di fasilitas isolasi terpusat. Selama isolasi, pasien harus

dalam pengawasan Puskesmas atau satgas setempat. Isolasi terpusat dilakukan

pada fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah pusat, pemerintah daerah,

atau swasta yang dikoordinasikan oleh puskesmas dan dinas kesehatan.)

4) Untuk pasien yang di rawat di rumah sakit dan sudah mengalami perbaikan

klinis dilakukan pemeriksaan RT-PCR sebanyak 2(dua) kali dengan jarak

waktu pemeriksaan 24 (dua puluh empat) jam. Apabila hasil positif, maka

lokasi isolasi pasien dapat dipindahkan ke fasilitas isolasi terpusat, atau

melakukan isolasi mandiri jika memenuhi syarat rumah sesuai dengan kriteria

isolasi.

5) Kasus konfirmasi COVID-19 Warga Negara Indonesia yang merupakan

Pelaku Perjalanan Luar Negeri (PPLN) dapat menggunakan bukti identitas

berupa paspor dan Surat Jaminan Pelayanan (SJP) dari pimpinan rumah sakit

untuk dapat dirawat di rumah sakit lapangan/rumah sakit darurat atau rumah

sakit penyelenggara pelayanan COVID-19. Sebaiknya PPLN dengan gejala

ringan atau tanpa gejala (asimptomatik) isolasi dilakukan di tempat isolasi

khusus untuk luar negeri, sedangkan PPLN dengan gejala sedang dan berat

dilakukan isolasi di rumah sakit.

Penderita COVID-19 varian Omicron dapat dinyatakan selesai dan bebas

isolasi/sembuh dengan beberapa kriteria, antara lain :

1) Pada kasus konfirmasi COVID-19 yang tidak bergejala (asimptomatik), isolasi

dilakukan selama minimal 10 (sepuluh) hari sejak pengambilan spesimen

diagnosis konfirmasi.
2) Pada kasus konfirmasi COVID-19 dengan gejala, isolasi dilakukan selama 10

(sepuluh) hari sejak muncul gejala ditambah dengan sekurang-kurangnya 3

(tiga) hari bebas gejala demam dan gangguan pernapasan.

Dengan demikian untuk kasus-kasus yang mengalami gejala selama 10

(sepuluh) hari atau kurang harus menjalani isolasi selama 13 (tiga belas) hari.

Dalam hal masih terdapat gejala setelah hari ke 10 (sepuluh), maka isolasi

mandiri masih tetap dilanjutkan sampai dengan hilangnya gejala tersebut

ditambah 3 (tiga) hari.

3) Pada kasus konfirmasi COVID-19 yang sudah mengalami perbaikan klinis

pada saat isoman/isoter dapat dilakukan pemeriksaan NAAT termasuk

pemeriksaan RT-PCR pada hari ke-5 dan ke-6 dengan selang waktu

pemeriksaan 24 jam. Jika hasil negatif atau Ct>35 2 kali berturut-turut, maka

dapat dinyatakan selesai isolasi/sembuh. Pembiayaan untuk pemeriksaan ini

dilakukan secara mandiri.

4) Pada kasus konfirmasi COVID-19 yang sudah mengalami perbaikan klinis

pada saat isoman/isoter akan tetapi tidak dilakukan pemeriksaan NAAT

termasuk pemeriksaan RT-PCR pada hari ke-5 dan ke-6 dengan selang waktu

24 jam, maka pasien harus melakukan isolasi sebagaimana ketentuan kriteria

selesai isolasi/sembuh pada angka 2) diatas.


Contoh Penerapan Analisis PDSA Pada Kebijakan Isolasi Kasus COVID-19 Pada

Rumah Sakit “B”

PLAN
Masalah Penyebab Prioritas Rencana Rencana
Penyebab Perbaikan Monitoring
Masalah dan Evaluasi
Menumpuknya  Banyaknya Kebijakan RS Sosialisasi Dilakukan
pasien pasien COVID yang merawat mengenai monitoring
COVID- 19 asimtomatik & semua pasien kebijakan dan evaluasi
yang sedang gejala ringan terkonfirmasi isolasi dan selama
isolasi di yang sedang tanpa melihat karantina pelaksanaan
Rumah Sakit isolasi di RS berat-ringannya pada pasien sosialisasi.
B sehingga B. gejala. COVID-19
tidak tersedia (Kemenkes)
tempat untuk dan Edukasi
pasien  Kebijakan RS mengenai
COVID-19 yang merawat layanan
lain dengan semua pasien telemedicin
kondisi yang terkonfirmasi e untuk
memerlukan tanpa melihat pasien yang
perawatan berat- sedang
isolasi di ringannya karantina/
Rumah Sakit. gejala. isolasi
mandiri.

DO
Sosialisasi mengenai kebijakan isolasi dan karantina pada pasien COVID-19 yang
ditujukan kepada para staff medis dan non-medis dari pihak Rumah Sakit

Sosialisasi dan edukasi mengenai layanan telemedicine pada pasien suspek, probable,
dan terkonfirmasi COVID-19 yang memenuhi syarat untuk karantina / isolasi mandiri

Monitoring selama sosialisasi dan melakukan monitoring jumlah dan kondisi pasien
COVID-19 yang mendapat perawatan isolasi di RS.
STUDY
Study dilakukan dengan mengevaluasi apakah kebijakan karantina dan isolasi pasien
COVID-19 berdasarkan peraturan Kemenkes sudah diterapkan di RS B dengan
melihat jumlah dan kondisi pasien COVID-19 yang mendapat perawatan isolasi di
RS.
ACTION
Berdasarkan laporan, pasien COVID-19 yang mendapat perawatan isolasi di RS
hampir hanya pasien dengan gejala sedang-berat-kritis dan gejala ringan+komorbid
saja, sehingga dapat dikatakan sosialisasi dan edukasi yang dilakukan berhasil.
Mempertahankan dan melakukan pemantauan secara terus menerus.

Anda mungkin juga menyukai